Cara :
- 0,5 larutan baku kerja dan 0,5 ml darah ditambah 7,0 ml air suling,
campur homogeny dan diamkan 15 menit . Tambahkna ke dalamnya 2
ml TCA 15 %, kocok dan pusingkan. Ambil supernatant 5 ml, kemudian
tambahkan 0,5 ml NaNO2 0,1 % diamkan selama 3 menit. Tambahkan
kedalamnya 0,5 ml ammonium sulfamat 0,5 %, Reaksikan selama 2
menit. Tambahkan 2,5 ml N (naftil) etilen diamina dihidroklorida 0,1 %
, Diamkan selama 10 menit . Amati serapannya pada maksimum !
- Tabelkan hasil pengamatan dan buat kurva kadar larutan baku kerja
terhadap serapannya pada kertas grafik berskala sama ! Hitung prosen
recovery dengan cara sebagai berikut :
Memasukkan nilai serapan larutan baku recovery pada persamaan kurva
baku sehingga memperoleh harga kadar sulfametoksazol yang diperoleh
kembali.
Hitung prosen recovery dengan membagi perolehan kembali
sulfametoksazol dalam darah dengan kadar sebenarnya,
kemudian dikalikan 100 %
C perolehan kembali
% Recovery = x 100 %
C sebenarnya
B. Recovery
Sulfametoksazol 100 mg ( 0.90 g 0.11 g )
Berat botol timbang + zat = 12.9550 g
Berat botol timbang kosong = 12.8518 g
Berat zat = 0.1032 g (masuk rentang)
Perhitungan data hasil percobaan
1. Baku induk (untuk baku kerja) Baku induk (untuk recovery)
Baku induk 1 Baku induk 1
Na salisilat = 01071 g = 107,1 mg Na salisilat = 0,1032 g = 103,2 mg
BI= 107,1 mg/100 mglx 1000 ppm BI= 103,2 mg/100 ml x 1000 ppm
=1071 ppm =1032 ppm
Baku kerja 5 = 107,1 ppm Baku kerja 5 = 103,2 ppm
Baku kerja 4 = 53,55 ppm Baku kerja 4 = 51,6 ppm
Baku kerja 3 =32,13ppm Baku kerja 3 = 30,96 ppm
Baku kerja 2 = 21,42 ppm Baku kerja 2 = 20,64 ppm
Baku kerja 1 = 10,71ppm Baku kerja 1 = 10,32 ppm
Tabel Nilai serapan
sulfametoksazol pada berbagai
kadar untuk pembuatan kurva
baku
Kadar yang
Kadar (ppm) Serapan (y) didapat %recovery
kembali (x)
10,32 0,086 19.9277 193.10 %
20,64 0,128 29.2613 141.77 %
30,96 0,155 35.4674 114.56 %
51,60 0,263 60.2918 116.84 %
103,20 0,468 107.4122 104.08 %
Gambar Kurva Recovery
Tabel Nilai Serapan Sampel
Selain itu, AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang dapat
mencapai sirkulasi sistemik. Nilai AUC yang tinggi menunjukkan
bioavailabilitas yang semakin tinggi.
(http://dokumen.tips/documents/56149097-p-4-daster-55cf4de502a07.html)
PEMBAHASAN, cont
Rute pemberian obat ( Routes of Administration) merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan
fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan
tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda,
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan
tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat
mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat (Katzung, B.G, 1989).
Dalam praktikum ini, parameter dalam penentuan bioavailabilitas
adalah menggunakan data darah dengan hewan coba kelinci. Yang
diberikan obat sulfametoksazol dengan rute pemberian yang berbeda,
diantaranya secara peroral, intramuscular dan intravena. Berikut data hasil
dari semua kelompok :
PEMBAHASAN, cont
Pada percobaan yang dilakukan, bioavaibilitas obat tidak dapat
dibandingkan akibat data hasil praktikum kurang bagus dan kurang valid
(dikarenakan banyak kesalahan yang dilakukan para praktikan pada saat
praktikum) untuk dilakukan perhitungan bioavailabilitas. Oleh sebab itu
pada bagian pembahasan ini akan dibandingkan nilai AUC dari tiap
kelompok, karena menurut teori, nilai AUC yang tinggi menunjukkan
bioavailabilitas yang semakin tinggi pula.
Adapun hasil percobaan tiap kelompok adalah sebagai berikut:
Parameter Kelp 1 Kelp 2 Kelp 3 Kelp 4 Kelp 5 Kelp 6
Farmakokinetik (oral) (oral) (im) (im) (iv) (iv)
AUC 1155.65 920.55 4885.6405 6572.5 12955,04 26262.62
K el 0.0154 0.0126 - - 0.013 0,0198
45
t 55 menit - - 54 menit 35 menit
menit
K dis - - - - 0.1386 -
K abs 0.03465 - - - - -
PEMBAHASAN, cont
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa AUC rute IV > IM>
Oral. Secara umum, menurut teori ketika obat diberikan secara intravena
maka obat diabsorbsi 100% dalam plasma. Sedangkan jika diberikan secara
per oral maka bioavailabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya
bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna
(jumlah obat yang diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi
presistemik (metabolisme lintas pertama) di mukosa usus dan dalam hepar
(Setiawati, 2005 dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32825/4/Chapter%20II.pdf)
Sementara itu, sediaan intramusukular biasanya diinjeksikan dalam suatu
massa otot, seperti pada otot gluteus atau dalam otot deltoid. Absorbsi obat
dapat terjadi bila berdifusi dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan
kemudian ke darah (Shargel, 2012).
Meskipun hasil percobaan tidak dapat digunakan untuk menghitung
bioavailabilitas obat, namun data praktikum dapat menunjukkan bahwa
melalui parameter AUC, seharusnya biavailabilitas Sulfametoksazol rute
IV>IM>ORAL
PEMBAHASAN,
Perbandingan Rute
ORAL
Dari rute pemberian secara peroral (pemberian obat melalui mulut masuk
kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul agar
tidak membahayakan bagi hewan uji. Pemberian obat secara oral
merupakan cara pemberian obat yang umum dilakukan karena mudah,
aman, dan murah. Rute peroral memiliki bioavailabilitas yang paling kecil
dibandingkan secara intramuscular dan intavena. Hal ini karena jalur
lintasan obat yang cukup panjang . Selain itu, pada pemberian secara
peroral didapatkan kurva dua puncak. Hal ini dikarenakan obat mengalami
2 kali fase absorbsi, dimana obat awal akan diabsorbsi di usus, dan obat
yang tidak diabsorbsi akan berpindah dan diabsorbsi menuju
kompartemen sentral. Pada data diatas juga didapatkan bahwa waktu
paruh pada pemberian secara peroral cukup lama yaitu pada kelompok 1 =
45 menit dan kelompok 2 = 55 menit.
PEMBAHASAN,
Perbandingan Rute
INTRAMUSKULAR
Berdasarkan rute pemberian secara intramuscular, obat masuk dan
berdifusi pasif melewati lipid (lemak) hingga ke sirkulasi. Sehingga obat
pun release secara perlahan. Hal ini menyebabkan tidak terdapatnya
puncak konsentrasi pada plasma. Karena obat yang disuntikkan pada
daerah yang terdapat banyak lemak melalui difusi pasif yang lambat untuk
sampai ke sirkulasi sistemik. Oleh karena itu, berdasarkan kurva hanya
dapat ditentukan AUC dan durasi kerja obat untuk mengetahui kapan obat
selanjutkan akan diberikan. Selain itu, pemberian secara intramuscular
memiliki bioavailabilitas yang besar dibandingkan dengan pemberian
secara peroal. Walaupun tidak sebesar bioavailabilitas dengan pemberian
secara intravena. Hal ini dikarenakan obat tidak memiliki jalur lintasan
sekompleks peroral.
PEMBAHASAN,
Perbandingan Rute
INTRAVENA
Sedangkan pada rute pemberian secara intravena, pemberian
sulfametoksazol akan mengalami fase distribusi dan eliminasi. Obat tidak
mengalami first pass metabolism atau mengalami eliminasi langsung.
Karena sebelumnya telah dibahas, bahwa rute pemberian secara iv
memiliki bioavailabilitas 100% karena seluruh obat langsung diinjeksikan
ke sirkulasi darah. Berdasarkan data diatas pun juga dapat dilihat, bahwa
pemberian secara intravena memiliki nilai AUC yang paling besar
dibandingkan rute pemberian secara peroral dan intramuscular.
KESIMPULAN