Anda di halaman 1dari 36

FARMAKOKINETIKA

PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP


BIOAVAIBILITAS SUATU OBAT DENGAN
MENGGUNAKAN DATA DARAH
Nama Anggota Kelompok :
1. Putri Sari Astuti 2013-003
2. Lina Amalia 2013-011
3. Anitya Nor Azizah 2013-017
4. Eka Ismiyanti 2013-026
5. Linda Sari 2013-034
6. Risa Andriani 2013-043
7. Nurika Murbarani 2013-070
8. Reni Tania 2013-206
Tujuan percobaan
Umum
Membandingkan bioavaibilitas suatu obat dari rute pemakaian
yang berbeda
Khusus
Melakukan uji bioavaibilitas suatu obat dari sediaan
suspensi (peroral) dan larutan injeksi (intramuskular dan
intravena) dengan menggunakan data darah.
Menghitung dan mengintepretasikan bioavaibilitas suatu
obat.
Prinsip Percobaan
Rute pemakaian obat dapat mempengaruhi bioavaibilitas
obat dalam tubuh. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan
mekanisme pelepasan obat dari bentuk sediaan pada tempat
pemakaian dan perbedaan fisiologik jalur yang ditempuh obat dari
masing-masing rute pemakaian menuju sirkulasi sistemi. Oleh
karena itu, pola kadar obat dalam darah setiap waktu dari masing-
masing rute pemakaian akan berbeda, menyebabkan perbedaan
bioavaibilitas.
Dasar Teori
Bioavailabilitas merupakan kecepatan dan jumlah obat
yang mencapai sistem sirkulasi sistemik dan secara
keseluruhan menunjukkan kinetik dan perbandingan zat
aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat
yang diberikan. Pengukuran konsentrasi (kadar) obat dalam
darah, serum, atau plasma darah merupakan pendekatan
langsung untuk penetapan farmakokinetika obat dalam
tubuh. Darah lengkap mengandung unsur-unsur seluler
diantaranya sel darah merah, sel darah putih, platelet dan
berbagai protein lain seperti albumin dan globulin.
Dasar Teori, Cont.
Pada umumnya, serum atau plasma paling
sering digunakan untuk pengukuran obat. Untuk
mendapatkan serum, darah lengkap dibiarkan
untuk menggumpal dan serum dikumpulkan dari
supernatan setelah disentrifugasi. Plasma diperoleh
dari supernatan sentrifugasi darah lengkap yang
ditambahkan suatu antikoagulan seperti heparin.
Oleh karena itu, kandungan protein serum dan
plasma tidak sama. (Shargel edisi kelima)
Dasar Teori, Cont.
Sulfametoksazol merupakan antibiotik yang banyak
digunakan dalam klinik, dan termasuk golongan sulfonamid
yang kebanyakan diberikan melalui oral karena absorpsinya
cepat di lambung dan usus halus serta di distribusikan
keseluruh jaringan tubuh. Obat yang diabsorpsi akan
berkaitan dalam protein dalam jumlah besar dan sebagian
akan di setilasi atau di metabilosme menjadi tidak aktif,
sehingga pemeriksaan dengan menggunakan darah (whole
blood) lebih baik daripada plasma atau serum (Katzung,
2005).
Dasar Teori, Cont.
Sulfametoksazol terutama diekskresi
melalui metabolisme, pada umumnya perubahan
sirkadian dapat mempengaruhi kinetik dari
sulfametoksazol dipengaruhi oleh fluktuatif fisiologi
seseorang, namun hal itu tidak diketahui apakah ada
ketergantungan sementara dari farmakokinetik
sulfametoksazol (Shik and Jung, 2001).
Parameter farmakokinetika dari sulfametoksazol
yang ditentukan adalah konsentraasi obat dalam darah
maksimum (Cmaks), Tmax, dan AUC ( luas area
dibawah kurva yang dihitung dari waktu nol sampai
waktu yang ditenukan ).
Dasar Teori, Cont.
Adapun beberapa rute pemberian obat yang digunakan dalam praktikum kali ini
diantaranya :
1. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam
vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk
obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya
berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek)
(Joenoes, 2002).
2. Intramuskular (IM) (Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam air
yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan
juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan
penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang
tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi)
(Joenoes, 2002).
3. Peroral merupakan rute pemberian obat yang paling umum digunakan. Jalur
lintasan obat dari saluran cerna hingga masuk ke dalam darah dipengaruhi
oleh factor biologis dan fisiko kimia obat dan bentuk sediaan obat.
Alat dan Bahan
Bahan dan Pereaksi
Sulfametoksazol
Asam Trikhloro Asetat 15%
Natrium Nitrit 0,1%
Ammonium Sulfamat 0,5%
N (naftil) etilen diamina dihidrokhlorida 0,1%
Alat dan Bahan
Bahan dan Pereaksi Alat
Sulfametoksazol Spektrofotometer
Asam Trikhloro Asetat 15% Alat pemusing
Natrium Nitrit 0,1% Disposable syringe 1cc
Ammonium Sulfamat 0,5% Cage (kotak kelinci)
N (naftil) etilen diamina Vortex mixture
dihidrokhlorida 0,1% Alat pencukur
Alat gelas
Subjek Coba Mouth block
Hewan coba kelinci Feeding tube
Tahapan percobaan

1. Pembutan larutan baku kerja sulfametoksazol

- Buatlah larutan baku induk 1000 mcg/ml dari 100 mg


sulfametoksazol dilarutkan dalam NaOH 0,1 N dan H2SO4
4 N (1:5) , kemudian tambahkan air suling sampai 100 ml.

- Buatlah larutan baku kerja sulfametoksazol dengan cara


mengencerkan larutan baku induk dengan air suling sampai
didapat larutan dengan kadar 10,20,30,50 dan 100 mcg/ml
2. Penentuan panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan


larutan baku kerja 10 dan 100 mcg/ml. Reaksikan larutan baku
kerja 10 dan 100 mcg/ml sesuai prosedur penetapan kadar
sulfametoksazol dan amati nilai serapan pada panjang gelombang
antara 520 560 nm. Dibuatlah kurva serapan terhadapa panjang
gelombang dari larutan baku kerja 10 dan 100 mcg/ml pada
kertas grafik berskala sama !tentukan maksimumm !
3. Pembuatan kurva baku

- Lakukan pengamatan serapan dari larutan baku kerja pada 1 yang


telah direaksikan seperti pada penetapan kadar sulfametoksazol
dalam darah dengan metode azotasi di Bratton Marshal pada
panjang gelombang maksimum yang telah didapat dari (2).
- Buatlah table hasil pengamatan dan buatlah kurva kadar larutan
baku kerja terhadapa serapan pada kertas grafik berskala sama !
Hitung koefisien korelasinya, dan buatlah persamaan garisnya
4. Penetapan kembali kadar sulfametoksazol yang ditambahlan dalam darah
(recovery)
Digunakan larutan baku kerja dengan kadar 10,20,30,50,100 mcg /ml

Cara :
- 0,5 larutan baku kerja dan 0,5 ml darah ditambah 7,0 ml air suling,
campur homogeny dan diamkan 15 menit . Tambahkna ke dalamnya 2
ml TCA 15 %, kocok dan pusingkan. Ambil supernatant 5 ml, kemudian
tambahkan 0,5 ml NaNO2 0,1 % diamkan selama 3 menit. Tambahkan
kedalamnya 0,5 ml ammonium sulfamat 0,5 %, Reaksikan selama 2
menit. Tambahkan 2,5 ml N (naftil) etilen diamina dihidroklorida 0,1 %
, Diamkan selama 10 menit . Amati serapannya pada maksimum !
- Tabelkan hasil pengamatan dan buat kurva kadar larutan baku kerja
terhadap serapannya pada kertas grafik berskala sama ! Hitung prosen
recovery dengan cara sebagai berikut :
Memasukkan nilai serapan larutan baku recovery pada persamaan kurva
baku sehingga memperoleh harga kadar sulfametoksazol yang diperoleh
kembali.
Hitung prosen recovery dengan membagi perolehan kembali
sulfametoksazol dalam darah dengan kadar sebenarnya,
kemudian dikalikan 100 %

C perolehan kembali
% Recovery = x 100 %
C sebenarnya

Pengumpulan sampel darah


Lakukan pengambilan sampel darah pada waktu berikut :
- i.v = 0.5.10.15,20,30,45,60,90, dan 120 menit setelah pemberian
obat.
- i.m = 1,10,20,30,45,60,90, dan 120 menit setelah pemberian obat.
- P.o = 0,10,20,30,45,60,90 dan 120 menit setelah pemberian
5. Penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah

Tetapkan kadar sulfametoksazol dalam cuplikan darah


dengan reaksi azotasi dari Bratton Marshal dan amati
serapannya pada panjang gelombang maksimum. Masukkan
data serapan ke persamaan garis recovery untuk
mendapatkan data kadar sulfametoksazol dalam darah dari
setiap waktu pengambilan.
Penimbangan Kelinci
Bobot wadah + Kelinci = 3.5 kg
Bobot wadah kosong = 2 kg
Bobot kelinci = 1.5 kg

Dosis yang digunakan ( Pemberian secara i.m )


i.m = 50 mg/kgBB

Dosis = 50 mg/kg x 1.5 kg = 75 mg

Dosis yang diberikan :


250 75
= =

75
= x ml =
250
= 0.3 ml
Penimbangan
A. Kurva Baku
Sulfametoksazol 100 mg ( 0.90 g 0.11 g )
Berat botol timbang + zat = 12.7156 g
Berat botol timbang kosong = 12.7085 g
Berat zat = 0.1071 g (masuk rentang)

B. Recovery
Sulfametoksazol 100 mg ( 0.90 g 0.11 g )
Berat botol timbang + zat = 12.9550 g
Berat botol timbang kosong = 12.8518 g
Berat zat = 0.1032 g (masuk rentang)
Perhitungan data hasil percobaan
1. Baku induk (untuk baku kerja) Baku induk (untuk recovery)
Baku induk 1 Baku induk 1
Na salisilat = 01071 g = 107,1 mg Na salisilat = 0,1032 g = 103,2 mg
BI= 107,1 mg/100 mglx 1000 ppm BI= 103,2 mg/100 ml x 1000 ppm
=1071 ppm =1032 ppm
Baku kerja 5 = 107,1 ppm Baku kerja 5 = 103,2 ppm
Baku kerja 4 = 53,55 ppm Baku kerja 4 = 51,6 ppm
Baku kerja 3 =32,13ppm Baku kerja 3 = 30,96 ppm
Baku kerja 2 = 21,42 ppm Baku kerja 2 = 20,64 ppm
Baku kerja 1 = 10,71ppm Baku kerja 1 = 10,32 ppm
Tabel Nilai serapan
sulfametoksazol pada berbagai
kadar untuk pembuatan kurva
baku

Kadar (ppm) Serapan


10,71 0,040
21,42 0,073
32,13 0,157
53,55 0,249
107,1 0,456

Persamaan Kurva Baku :


Y = 4.3506x10-3 X 6.9685x10-4
r = 0.9950
Didapatkan dari regresi Kadar ke 1, 3 dan 5 berdasarkan gambar Kurva
Baku pada slide selanjutnya.
Gambar Kurva Baku
Tabel Nilai Serapan Sulfametoksazol
pada Berbagai Kadar untuk
Pembuatan Kurva Recovery

Kadar yang
Kadar (ppm) Serapan (y) didapat %recovery
kembali (x)
10,32 0,086 19.9277 193.10 %
20,64 0,128 29.2613 141.77 %
30,96 0,155 35.4674 114.56 %
51,60 0,263 60.2918 116.84 %
103,20 0,468 107.4122 104.08 %
Gambar Kurva Recovery
Tabel Nilai Serapan Sampel

Sampel Sampel menit ke Absorbansi


1 0 0.078
2 10 0.179
3 20 0.087
4 45 0.081
5 60 0.016
6 75 0.147
7 90 0.119
8 105 0.088
9 120 0.208
10 135 0.198
11 150 0.046
12 165 1.540
13 180 0.056
Gambar Kurva Time VS Kadar
Data Untuk Perhitungan AUC

Sampel Sampel menit ke Absorbansi AUC


1 0 0.078 213.1785
2 10 0.179
9 120 0.208 4081.3135
10 135 0.198 591.1485

AUC Total = (213.1785 + 4081.3135 + 591.1485)


= 4885.6405
Gambar Kurva Time VS Kadar
Setelah Data di-reject
PEMBAHASAN

Percobaan yang dilakukan bertujuan untuk membandingkan


bioavailabilitas obat dari rute pemakaian yang berbeda. Untuk menghitung
Bioavailabilitas (BA) suatu obat diperlukan data AUC. AUC dapat dihitung
secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC
(Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu.

(Waldon, 2008 dalam


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32825/4/Chapter%20II.pdf).

Selain itu, AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang dapat
mencapai sirkulasi sistemik. Nilai AUC yang tinggi menunjukkan
bioavailabilitas yang semakin tinggi.
(http://dokumen.tips/documents/56149097-p-4-daster-55cf4de502a07.html)
PEMBAHASAN, cont
Rute pemberian obat ( Routes of Administration) merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan
fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan
tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda,
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan
tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat
mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat (Katzung, B.G, 1989).
Dalam praktikum ini, parameter dalam penentuan bioavailabilitas
adalah menggunakan data darah dengan hewan coba kelinci. Yang
diberikan obat sulfametoksazol dengan rute pemberian yang berbeda,
diantaranya secara peroral, intramuscular dan intravena. Berikut data hasil
dari semua kelompok :
PEMBAHASAN, cont
Pada percobaan yang dilakukan, bioavaibilitas obat tidak dapat
dibandingkan akibat data hasil praktikum kurang bagus dan kurang valid
(dikarenakan banyak kesalahan yang dilakukan para praktikan pada saat
praktikum) untuk dilakukan perhitungan bioavailabilitas. Oleh sebab itu
pada bagian pembahasan ini akan dibandingkan nilai AUC dari tiap
kelompok, karena menurut teori, nilai AUC yang tinggi menunjukkan
bioavailabilitas yang semakin tinggi pula.
Adapun hasil percobaan tiap kelompok adalah sebagai berikut:
Parameter Kelp 1 Kelp 2 Kelp 3 Kelp 4 Kelp 5 Kelp 6
Farmakokinetik (oral) (oral) (im) (im) (iv) (iv)
AUC 1155.65 920.55 4885.6405 6572.5 12955,04 26262.62
K el 0.0154 0.0126 - - 0.013 0,0198
45
t 55 menit - - 54 menit 35 menit
menit
K dis - - - - 0.1386 -

K abs 0.03465 - - - - -
PEMBAHASAN, cont
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa AUC rute IV > IM>
Oral. Secara umum, menurut teori ketika obat diberikan secara intravena
maka obat diabsorbsi 100% dalam plasma. Sedangkan jika diberikan secara
per oral maka bioavailabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya
bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna
(jumlah obat yang diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi
presistemik (metabolisme lintas pertama) di mukosa usus dan dalam hepar
(Setiawati, 2005 dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32825/4/Chapter%20II.pdf)
Sementara itu, sediaan intramusukular biasanya diinjeksikan dalam suatu
massa otot, seperti pada otot gluteus atau dalam otot deltoid. Absorbsi obat
dapat terjadi bila berdifusi dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan
kemudian ke darah (Shargel, 2012).
Meskipun hasil percobaan tidak dapat digunakan untuk menghitung
bioavailabilitas obat, namun data praktikum dapat menunjukkan bahwa
melalui parameter AUC, seharusnya biavailabilitas Sulfametoksazol rute
IV>IM>ORAL
PEMBAHASAN,
Perbandingan Rute
ORAL
Dari rute pemberian secara peroral (pemberian obat melalui mulut masuk
kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul agar
tidak membahayakan bagi hewan uji. Pemberian obat secara oral
merupakan cara pemberian obat yang umum dilakukan karena mudah,
aman, dan murah. Rute peroral memiliki bioavailabilitas yang paling kecil
dibandingkan secara intramuscular dan intavena. Hal ini karena jalur
lintasan obat yang cukup panjang . Selain itu, pada pemberian secara
peroral didapatkan kurva dua puncak. Hal ini dikarenakan obat mengalami
2 kali fase absorbsi, dimana obat awal akan diabsorbsi di usus, dan obat
yang tidak diabsorbsi akan berpindah dan diabsorbsi menuju
kompartemen sentral. Pada data diatas juga didapatkan bahwa waktu
paruh pada pemberian secara peroral cukup lama yaitu pada kelompok 1 =
45 menit dan kelompok 2 = 55 menit.
PEMBAHASAN,
Perbandingan Rute
INTRAMUSKULAR
Berdasarkan rute pemberian secara intramuscular, obat masuk dan
berdifusi pasif melewati lipid (lemak) hingga ke sirkulasi. Sehingga obat
pun release secara perlahan. Hal ini menyebabkan tidak terdapatnya
puncak konsentrasi pada plasma. Karena obat yang disuntikkan pada
daerah yang terdapat banyak lemak melalui difusi pasif yang lambat untuk
sampai ke sirkulasi sistemik. Oleh karena itu, berdasarkan kurva hanya
dapat ditentukan AUC dan durasi kerja obat untuk mengetahui kapan obat
selanjutkan akan diberikan. Selain itu, pemberian secara intramuscular
memiliki bioavailabilitas yang besar dibandingkan dengan pemberian
secara peroal. Walaupun tidak sebesar bioavailabilitas dengan pemberian
secara intravena. Hal ini dikarenakan obat tidak memiliki jalur lintasan
sekompleks peroral.
PEMBAHASAN,
Perbandingan Rute
INTRAVENA
Sedangkan pada rute pemberian secara intravena, pemberian
sulfametoksazol akan mengalami fase distribusi dan eliminasi. Obat tidak
mengalami first pass metabolism atau mengalami eliminasi langsung.
Karena sebelumnya telah dibahas, bahwa rute pemberian secara iv
memiliki bioavailabilitas 100% karena seluruh obat langsung diinjeksikan
ke sirkulasi darah. Berdasarkan data diatas pun juga dapat dilihat, bahwa
pemberian secara intravena memiliki nilai AUC yang paling besar
dibandingkan rute pemberian secara peroral dan intramuscular.
KESIMPULAN

Tujuan praktikum adalah membandingkan Bioavailabilitas


obat dari penggunaan rute yang berbeda. Data hasil
percobaan tidak dapat digunakan untuk menghitung
boavailabilitas obat sehingga parameter yang dapat
dibandingkan dari semua rute adalah AUC dimana AUC rute
IV > im > oral.

Anda mungkin juga menyukai