PENDAHULUAN
1
pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan
septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan
komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila
tidak ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan enema barium,
pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi.1
Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah
dan tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Tindakan
bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah sementara yang bertujuan
untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal di bagian distal dan tindakan bedah definitif yang
dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan
Rehbein.1 Dari sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada
klinisi untuk segera mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung.
Karena penemuan dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mengurangi
insidensi Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya di Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis,
tela submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-
gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna
tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada
sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik
dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia
melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut
apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus
lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada
usus halus.
4
dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika
superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika
dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior
memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum
sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri
sigmoidea.
5
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri
utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa
(meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah
aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural
(Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan
medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan
penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada
penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.8
6
Fisiologi Kolon
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi
mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-
1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang
dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum,
atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di usus,
sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian
dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari.
Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas
tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.5
Penyakit Hirschsprung
7
Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta.4
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-
laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down
Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya
fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks
vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).
Etiologi
8
definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai
dengan preservasi sfingter anal.4
Patologi
Diagnosis
9
anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar
kasus dapat ditegakkan.4
Manifestasi Klinis
Gejala gelaja yng mungkin timbul seperti distensi abdominal, muntah,
terminal meconium dan konstipasi. Seperti juga dijelaskan pada beberapa
literature. Beberapa pasien mengelami gelaja pada awal kelahiran hanya pada
10% kasus dapat di temukan pada usia setelah 1 tahun dengan gejala konstipasi
12
kronis. Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia, dan gejala klinis yang mulai terlihat pada :
(i). Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada
neonatus cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan
tanda klinis yang signifikans. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium
pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus
penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk
waktu 48 jam setelah lahir.
10
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Dalam kebanyakan kasus, hisprung dapat terjadi pada periode baru
lahir dengan tanda sebagai berikut: (1) pengeluaran mekonium yang tertunda (>24
jam setelah lahir); (2) distensi abdomen; (3) muntah; dan (4) enterokolitis
neonatal. Beberapa pasien hisprung juga di temukan pada masa bayi atau dewasa
dengan kesulitan saat buang air besar yang berat, distensi abdomen kronis,
muntah, dan gagal pertumbuhan.1,4,5,9
(ii). Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi.1,4,5
Anamnesis
a. Muntah hijau
c. distensi abdomen
e. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
f. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2
minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi
apabila pada masa neonates tidak ditemukan gejala akan bertambah berat dengan
bertambahnya usia pada masa anak-anak dengan gejala :
a. kontsipasi berat
b. pertumbuhan terhambat
c. anoreksia
11
d. berat badan tidak bertambah
diagnosis akhir dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dari biopsy rectal yang
ditemukan aganglionik.
Pemeriksaan Fisik
b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
tampak perut anak sudah kempes lagi
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
12
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung
adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
13
Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
Biopsy Rectal
Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata
karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.
14
Simple Suction Rectal Biopsy
Dokter bedah harus mendapatkan jumlah yang cukup dari biopsi rektal
yang dilakukan, ukuran dan kedalaman yang cukup. Kemudian dokter bedah
menempatkan sampel dalam larutan formalin 10%. Sampel sebaiknya diambil
dengan biopsi pada tiga tingkatan atau lebih. Setiap biopsi harus ditandai dengan
benar untuk menunjukkan berapa dalam sampel di ambil. 11
Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik
mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist
Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau
silinder khusus memotong jaringan yang diinginkan.
Manometri Anorektal
15
Penemuan Histologis
Penatalaksanaan
Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
16
Tindakan bedah
1. Prosedur Swenson
Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan
untuk menangani penyakit Hirschsprung
Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian
anastomosis oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian
distal
2. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai
modifikasi prosedur Swenson
Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa
bagian rektum yang aganglionik dipertahankan.
Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit.
Usus bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal
(diantara rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis
dilakukan pada rektum yang tersisa
3. Prosedur Soave
Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang
mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah
ujung muskuler rektum aganglionik.
Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari
pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang
aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan
membuat anastomosis primer pada anus.
17
bahwa kondisi bawaan dapat diobati tetapi harus memiliki perhatian lebih dari
dokter keluarga, dokter anak dan ahli bedah. Sebuah indeks kecurigaan yang
tinggi harus dipertahankan dalam semua kasus obstruksi usus neonatal dan
sembelit kronis. 10
Komplikasi
1. Enterokolitis
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat berakibat
kematian. Mekanisme timbulnya enterokolitis karena adanya obstruksi
parsial. Obstruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis,
sfingter ani dan kolon aganglionik yang tersisa masih spastic. Manifestasi
klinik dari enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obstruksi
seperti; muntah hijau, feses keluar secara eksplosif cair dan berbau busuk.
Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi parah yang dapat
menyebabkan nekrosis dan perforasi
2. Kebocoran Anastomose
Kebocoran dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis
anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan
ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur
atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Terjadi peningkatan suhu tubuh terdapat infiltrat atau abses rongga pelvis.
3. Stenosis
Stenosis dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah
anastomse, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta
prosedur bedah yang dipergunakan. Manifestasi yang terjadi dapat berupa
gangguan defekasi, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
Prognosis
Secara umum prognosis baik. 90% pasien yang segera dilakukan tindakan
pembedahan akan mengalami penyembuhan.
18
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
prof. Dr. R. D. Kandou manado periode januari 2010 september 2014 . Jurnal
e-clinic, Vol 3. No 1, pp 229-36.
4. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-82.
5. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.
Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 646-647.
6. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan. Dalam : Embriologi Kedokteran Langman.
Edisi 7, Jakarta : EGC, 243-271.
7. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 1, Edisi 6. Jakarta.
EGC. 456-468.
8. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksi usus.
Mahanani, Dewi Asih,dkk. Dalam: Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta. EGC5.
532-538.
9. Amiel, Emison, Barcelo et all, 2011, Hirschsprung disease, associated syndromes
and genetics: a review.J Med Genet, Vol 45, pp 1-14
10. Ishfaq, Ahmad, Manzoor, 2014, Hirschsprungs disease; diagnosis and
management: experience at Ibn-e-siena and nishtar hospital, multan. The
Professional Medical Journal. Vol 21, No 1, pp 20-26
11. Barberi, Lina E J, 2011, Proposed recommendations and guidelines for
diagnosis of Hirschsprungs disease in mucosal and submucosal biopsies from
the rectum, Asociaciones Colombianas de Gastroenterologa, pp273-77
12. Arias, Romero, 2013, Surgical treatment of Hirschsprungs disease at the
National Childrens Hospital Dr. Carlos Saenz Herrera during the period
2000-2010, Vol 55, No 2, pp 86-90
20