Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan


oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat
dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen
yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai
seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.1,2
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan komponen intrinsik pada
sistem saraf enterik yang ditandai oleh absennya sel-sel ganglion pada pleksus
myenterik dan submukosa di intestinal distal. Karena sel-sel ini bertanggung jawab
untuk peristaltik normal, pasien-pasien penyakit Hirschprung akan mengalami
obstruksi intestinal fungsional pada level aganglion .3
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang
paling sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup.
Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada
kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%.1,4
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap
tahunnya ke RS Cipto Mangunkusomo Jakarta. Data Penyakit Hirschprung di
Indonesia belum ada. Bila benar insidensnya 1 dari 5.000 kelahiran, maka dengan
jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil,
diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir dengan Penyakit Hirschsprung.4
Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan
dengan berat lahir 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan)
yang terlambat mengeluarkan tinja.1,2 Trias klasik gambaran klinis pada neonatus
adalah pengeluaran mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama,
muntah hijau, dan perut membuncit keseluruhan.5
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa

1
pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan
septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan
komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila
tidak ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan enema barium,
pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi.1
Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah
dan tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Tindakan
bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah sementara yang bertujuan
untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal di bagian distal dan tindakan bedah definitif yang
dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan
Rehbein.1 Dari sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada
klinisi untuk segera mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung.
Karena penemuan dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mengurangi
insidensi Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya di Indonesia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan embriologi kolon

Secara embriologik , kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan


kolon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam
perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional
sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan
ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama
halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid
dengan radiksnya yang sempit.7
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar
5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter
usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5
cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi
sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks
yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci
pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan
sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura
lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan
anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh
sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9
inci.7

3
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis,
tela submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-
gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna
tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada
sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik
dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia
melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut
apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus
lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada
usus halus.

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan


inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai

4
dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika
superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika
dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior
memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum
sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri
sigmoidea.

Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media


dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan
rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena
hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke
hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan
merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena
hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal
dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid.

Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi


preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik
pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada
sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase
karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe
virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah
hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi
iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum
mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.

5
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri
utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa
(meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah
aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural
(Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan
medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan
penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada
penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.8

6
Fisiologi Kolon

Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi
mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-
1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang
dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum,
atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di serap di usus,
sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian
dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari.
Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas
tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.5

Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan


oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat
dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen
yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai
seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.1,2

7
Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta.4
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-
laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down
Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya
fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks
vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).

Etiologi

Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di


ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan
pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan
oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal.
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek
ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschsprung ataukah
defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam
kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada
penyakit Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi
parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat
ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi.
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur bedah

8
definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai
dengan preservasi sfingter anal.4

Patologi

Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada


dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang
yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik
terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-
sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik
menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan
pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi
dengan konsentrasi asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot
dan pada submukosa.1
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian
usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang
sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon
proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk
megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik
meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung klasik.
Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih
sering daripada anak perempuan. Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari
sigmoid disebut Hirschsprung segmen panjang. Bila aganglionosis mengenai
seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan
hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal.5

Diagnosis

Berbagai teknologi tersedia untuk menegakan diagnosis penyakit


Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi

9
anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar
kasus dapat ditegakkan.4

Manifestasi Klinis
Gejala gelaja yng mungkin timbul seperti distensi abdominal, muntah,
terminal meconium dan konstipasi. Seperti juga dijelaskan pada beberapa
literature. Beberapa pasien mengelami gelaja pada awal kelahiran hanya pada
10% kasus dapat di temukan pada usia setelah 1 tahun dengan gejala konstipasi
12
kronis. Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia, dan gejala klinis yang mulai terlihat pada :
(i). Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada
neonatus cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan
tanda klinis yang signifikans. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium
pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus
penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk
waktu 48 jam setelah lahir.

Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala


mekonium dapat dikeluarkan segera. Distensi abdomen merupakan manifestasi
obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti
atresia ileum dan lain-lain. Muntah yang berwarna hijau disebabkan oleh
obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase
usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis
intrauterine. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung, dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi
yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada
usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia 1 minggu.

Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan


disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan

10
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Dalam kebanyakan kasus, hisprung dapat terjadi pada periode baru
lahir dengan tanda sebagai berikut: (1) pengeluaran mekonium yang tertunda (>24
jam setelah lahir); (2) distensi abdomen; (3) muntah; dan (4) enterokolitis
neonatal. Beberapa pasien hisprung juga di temukan pada masa bayi atau dewasa
dengan kesulitan saat buang air besar yang berat, distensi abdomen kronis,
muntah, dan gagal pertumbuhan.1,4,5,9

(ii). Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi.1,4,5
Anamnesis

a. Muntah hijau

b. mekonium terlambat keluar lebih dari 24 jam

c. distensi abdomen

d. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam

e. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
f. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2
minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi

apabila pada masa neonates tidak ditemukan gejala akan bertambah berat dengan
bertambahnya usia pada masa anak-anak dengan gejala :

a. kontsipasi berat

b. pertumbuhan terhambat

c. anoreksia

11
d. berat badan tidak bertambah

diagnosis akhir dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dari biopsy rectal yang
ditemukan aganglionik.

Pemeriksaan Fisik

a. Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami


obstipasi

b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
tampak perut anak sudah kempes lagi

Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen sangat


distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang menandakan awal terjadi
komplikasi infeksi. Pasien tampak amat menderita akibat distensi abdomennya

Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

12
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung
adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

13
Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

Biopsy Rectal

Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah


dengan biopsy rectal full-thickness.

Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata
karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.

Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan


pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama
prosedur ini dilakukan.

14
Simple Suction Rectal Biopsy

Dokter bedah harus mendapatkan jumlah yang cukup dari biopsi rektal
yang dilakukan, ukuran dan kedalaman yang cukup. Kemudian dokter bedah
menempatkan sampel dalam larutan formalin 10%. Sampel sebaiknya diambil
dengan biopsi pada tiga tingkatan atau lebih. Setiap biopsi harus ditandai dengan
benar untuk menunjukkan berapa dalam sampel di ambil. 11

Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik
mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist

Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau
silinder khusus memotong jaringan yang diinginkan.

Manometri Anorektal

Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal sphincter


setelah distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan
tidak ditemukan pada pasien penyakit Hirschsprung.

Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960,


dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak
keterbatasan. Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali
penting. Hasil positif palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus,
dan negatif palsu dilaporkan sebanyak 24% dari kasus.

Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri


anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat

Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas


tempat tidur pasien.

Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara


patologis dari sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy
lebih sulit dibandingkan pada jaringan yang diambil dengan teknik full-
thickness biopsy

Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan


pewarnaan asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf
yang hipertropi sepanjang lamina propria dan muskularis propria pada
jaringan.

15
Penemuan Histologis

Baik pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner)


tidak ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami
hipertropi yang terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga ditemukan
sepanjang lamina propria dan muskularis propria. Sekarang ini telah terdapat
pemeriksaan imunohistokimia dengan calretinin yang juga telah digunakan untuk
pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan terdapat penelitian yang telah
menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan lebih akurat dibandingkan
asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.

Penatalaksanaan

Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:

1. Penanganan komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi,

Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan


elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi
sistemik, seperti sepsis. Maka dari itu, hidrasi intravena, dekompressi
nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki
peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.

2. Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan,

Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube


berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya
ketidakseimbanganelektrolit.
Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi
prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya enterocolitis

16
Tindakan bedah

Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan


hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis
teknik yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave.
Apapun teknik yang dilakukan, membersihan kolon sebelum operasi definitif
sangat penting.

1. Prosedur Swenson
Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan
untuk menangani penyakit Hirschsprung
Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian
anastomosis oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian
distal

2. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai
modifikasi prosedur Swenson
Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa
bagian rektum yang aganglionik dipertahankan.
Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit.
Usus bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal
(diantara rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis
dilakukan pada rektum yang tersisa

3. Prosedur Soave
Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang
mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah
ujung muskuler rektum aganglionik.
Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari
pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang
aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan
membuat anastomosis primer pada anus.

Berbagai prosedur bedah seperti Swenson, Soave, Duhamel dan modifikasi


yang mereka memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri. Faktanya adalah

17
bahwa kondisi bawaan dapat diobati tetapi harus memiliki perhatian lebih dari
dokter keluarga, dokter anak dan ahli bedah. Sebuah indeks kecurigaan yang
tinggi harus dipertahankan dalam semua kasus obstruksi usus neonatal dan
sembelit kronis. 10

Komplikasi
1. Enterokolitis
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat berakibat
kematian. Mekanisme timbulnya enterokolitis karena adanya obstruksi
parsial. Obstruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis,
sfingter ani dan kolon aganglionik yang tersisa masih spastic. Manifestasi
klinik dari enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obstruksi
seperti; muntah hijau, feses keluar secara eksplosif cair dan berbau busuk.
Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi parah yang dapat
menyebabkan nekrosis dan perforasi

2. Kebocoran Anastomose
Kebocoran dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis
anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan
ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur
atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Terjadi peningkatan suhu tubuh terdapat infiltrat atau abses rongga pelvis.

3. Stenosis
Stenosis dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah
anastomse, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta
prosedur bedah yang dipergunakan. Manifestasi yang terjadi dapat berupa
gangguan defekasi, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.

Prognosis
Secara umum prognosis baik. 90% pasien yang segera dilakukan tindakan
pembedahan akan mengalami penyembuhan.

18
KESIMPULAN

1. Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai


dengan tidak danya sel ganglion (aganglionik) parasimpatik pada pleksus
mesentrikus aurbach dan pleksus submukosa meissner mengaikbatkan
terhambatnya gerakan peristaltik sehingga terjadi obstruksi fungsional
dan hipertrofi serta dilatasi dari kolon proksimal.

2. Gejala klinis pada masa neonatus berupa pengeluaran mekonium yang


terlambat, muntah hijau, distensi abdomen. Sedangkan pada masa anak-
anak berupa konstipasi berat dan kurang asupan gizi.

3. Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos abdomen dan barium enema


penting dalam mengeakkan diagnosis berupa gambaran kolon yang
mengalami dilatasi serta pemeriksaan biopsy rectal yang ditemukan secara
histology tidak ditemukannya sel-sel ganglion (aganglionik).

4. Penatalaksanaan berupa tindakan pengobatan dan pembedahan dengan


membuang bagian kolon yang aganglion dengan beberapa prosedur yaitu
Swenson, Duhamel, soave

5. Komplikasi penyakit hisrschprung yang paling berat adalah enetrokolitis,


diikuti dengan kebocoran anastomose, stenosis.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit


Hirschsprung) .Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Edisi 15, Jilid II. Jakarta: EGC, 1316-1319
2. Mansjoer Arief, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika,
Setiowulan Wiwiek, 2000. Penyakit Hirschsprung. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius FK UI, 380-
381.
3. Corputty, Lampus, Monoarfa, 2015. Gambaran pasien hirschsprung di rsup

prof. Dr. R. D. Kandou manado periode januari 2010 september 2014 . Jurnal
e-clinic, Vol 3. No 1, pp 229-36.
4. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-82.
5. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.
Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 646-647.
6. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan. Dalam : Embriologi Kedokteran Langman.
Edisi 7, Jakarta : EGC, 243-271.
7. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume 1, Edisi 6. Jakarta.
EGC. 456-468.
8. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksi usus.
Mahanani, Dewi Asih,dkk. Dalam: Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta. EGC5.
532-538.
9. Amiel, Emison, Barcelo et all, 2011, Hirschsprung disease, associated syndromes
and genetics: a review.J Med Genet, Vol 45, pp 1-14
10. Ishfaq, Ahmad, Manzoor, 2014, Hirschsprungs disease; diagnosis and
management: experience at Ibn-e-siena and nishtar hospital, multan. The
Professional Medical Journal. Vol 21, No 1, pp 20-26
11. Barberi, Lina E J, 2011, Proposed recommendations and guidelines for
diagnosis of Hirschsprungs disease in mucosal and submucosal biopsies from
the rectum, Asociaciones Colombianas de Gastroenterologa, pp273-77
12. Arias, Romero, 2013, Surgical treatment of Hirschsprungs disease at the
National Childrens Hospital Dr. Carlos Saenz Herrera during the period
2000-2010, Vol 55, No 2, pp 86-90

20

Anda mungkin juga menyukai