Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PT Bank Maju cabang Balikpapan dilaporkan oleh seorang nasabah bernama Mahmud karena
telah melakukan pendebetan dari rekening nasabah tersebut tanpa persetujuan nasabah.
Pendebetan dilakukan oleh Bank Maju untuk setoran deposito Aman yang juga terdapat
produk asuransi didalamnya. Produk deposito Aman merupakan hasil kerja sama dengan
perusahaan asuransi PT Positif.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan bahwa Sdr. Mahmud juga dialami oleh banyak nasabah Bank
Maju lainnya sehingga pengawas bank melakukan pemeriksaan khusus kepada bank tersebut.
Sebelumnya bank ini tidak pernah diperiksa sejak 10 tahun terakhir dikarenakan jumlah transaksi
yang relatif kecil terhadap total transaksi bisnis Bank Maju sehingga tidak termasuk sampling
kantor cabang yang perlu diperiksa.
Pada saat pemeriksaan, pengawas meminta informasi keterangan dan data nasabah termasuk data
simpanan, dan transaksi penjualan produk deposito Aman kepada Bank Maju, namun Bank Maju
menolak memenuhi permintaan pengawas alasan bahwa produk deposito Aman bukan produk
murni dari Bank melainkan produk asuransi sehingga tidak termasuk kewenangan pengawas
bank. Bank Maju juga berpendapat bahwa bank akan melanggar ketentuan Rahasia Bank
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) apabila memberikan
data nasabah.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, deposito Sdr. Mahmud yang terdapat di Bank Maju tercatat
Rp500 juta dan tabungan sebesar Rp1 milyar. Isteri beserta 3 orang anaknya juga memiliki
simpanan di Bank Maju masing-masing sebesar Rp500 juta. Untuk tabungan tersebut Bank Maju
memberikan bunga sebesar 12% p.a. sedangkan suku penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan
yang berlaku saat itu sebesar 10% p.a. Pengawas telah mengingatkan kepada Bank agar
pemberian bunga simpanan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB II Pertanyaan
1. Ada yang berpandangan bahwa timbulnya kasus Sdr. Mahmud di Bank di atas
disebabkan sistem pengawasan bank yang berbasis risiko (risk-based supervision/RBS) yang
diterapkan oleh pengawas bank saat ini tidak tepat dalam mengidentifikasi potensi pelanggaran
ketentuan yang dilakukan oleh pengurus dan pegawai bank.
b. Untuk menekan potensi pelanggaran ketentuan oleh bank, apakah Saudara memiliki
usulan untuk menyempurnakan sistem pengawasan bank di atas sejalan dengan wewenang
pengawasan bank dan industri keuangan non bank (IKNB) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dalam UU No. 21 Tahun 2011?
2. Menurut Saudara, apakah penolakan pegawai Bank untuk memberikan data nasabah
kepada pengawas bank dengan alasan bahwa produk deposito MURNI bukan produk murni
Bank sehingga dapat melanggar ketentuan Rahasia Bank dapat dibenarkan sesuai dengan UU
Perbankan? Apakah perbedaan antara prinsip Rahasia Bank yang bersifat absolut dan yang
bersifat relatif menurut doktrin hukum perbankan? Apakah Saudara memiliki usulan untuk
menyempurnakan ketentuan Rahasia Bank yang berlaku dan bagaimana pandangan Saudara
terhadap permintaan beberapa institusi publik/pemerintah saat ini untuk dapat diberikan
pengecualian dari ketentuan Rahasia Bank ini, antara lain dalam rangka intensifikasi pajak.
5. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan
Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, Bank MAJU dikategorikan
termasuk dalam Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan karena itu dipandang
sebagai salah satu Domestic Systemically Important Bank (D-SIB). Jelaskan pemahaman
Saudara terkait dengan Bank MAJU sebagai DSIB dan jelaskan proses resolusi Bank ini
apabila ditetapkan sebagai bank bermasalah oleh pengawas sesuai dengan ketentuan yang
berlaku termasuk UU LPS.
BAB III Jawaban
Pendekatan pengawasan berbasis kepatuhan (compliance) sulit untuk dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Pendekatan ini menuntut perlakuan yang sama pada lembaga keuangan,
sekalipun mereka memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda. Di samping itu, pendekatan
berbasis kepatuhan menuntut perhatian yang sama pada semua lembaga keuangan yang
diawasi, sehingga membutuhkan biaya dan sumber daya manusia yang luar biasa besar.
Sejumlah fakta menunjukan pula bahwa beberapa lembaga keuangan yang patuh pun
ternyata mengalami ke Bermasalahan. Untuk menjembatani paradoks ini, muncul gagasan
pengawasan berbasis risiko. Pengawasan berbasis risiko pada dasarnya menggunakan risiko
sebagai ukuran dasar dalam menentukan kebijakan pengawasan. Hal ini diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia No.5/ 21 /DPNP Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
(2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan
buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan
penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
(3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Bank wajib memberikan data nasabah kepada pengawas, namun data yang diberikan oleh
Bank hanya untuk kepentingan penyelidikan pengawas dan bukan untuk diumumkan.
Penolakan pegawai Bank dengan alasan bukan merupakan sebuah produk bank murni tidak
tepat karena rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan
lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Produk deposito bancassurance masuk ke dalam kategori rahasia bank yang dapat dibuka
apabila dibutuhkan untuk penyelidikan pengawas.
Bank diperbolehkan untuk membuka rahasia atau memberikan keteranagn nasabah mengenai
nasabahnya, jika untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau
kepentingan hukum. Artinya bahwa adanya pengecualian dari rahasia nasabah itu untuk
memungkinkan bank membuka informasi itu yang berkaitan dengan suatu badan atau
instansi diperbolehkan untuk meminta informasi atau keterangan data tentang keuangan
nasabah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peerundang-undangan yang berlaku.
3. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/35/DPNP tanggal 23 Desember 2010 Perihal
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Kerjasama Permasaran
dengan Perusahaan Asuransi (Bancassurance) terdapat pengaturan yang jelas mengenai
praktek bancassurance. Berdasarkan surat edaran tersebut, definisi bancassurance adalah
aktivitas kerjasama antara bank dengan perusahaan asuransi dalam rangka memasarkan
produk asuransi melalui bank.
Selama ini bank-bank secara tidak langsung telah lama menjadi alat pengembangan pasar
asuransi. Misalnya, dengan adanya kebutuhan untuk mengasuransikan potensi resiko
pelunasan kredit yang telah disalurkan kepada debiturnya, kebutuhan untuk mengasuransikan
jaminan-jaminan (collateral) yang menjadi jaminan pelunasan utang debitur bank tersebut.
Termasuk juga asuransi untuk menjamin resiko kehilangan jiwa, dan bentuk-bentuk produk
asuransi lain yang dibutuhkan oleh bank untuk perlindungan kepentingannya dari potensi
kerugian. Potensi pasar inilah yang menjadi alasan fundamental bagi perusahaan asuransi
dalam mengembangkan kerjasama saling menguntungkan dengan pihak bank yang lebih
dikenal dengan bancassurance. Melalui kerjasama bancassurance ini, pelaku asuransi
mengharapkan bank dapat menggali potensi pasar asuransi tersebut tidak saja melalui
kebutuhan perlindungan terhadap kredit ataupun investasi yang disalurkannya, akan tetapi
juga diharapkan akan berkembang kepada seluruh kebutuhan dan aktivitas hidup para
nasabah bank terlepas dari akibat perikatannya dengan bank itu sendiri, Atau dengan kata
lain, melalui hubungan ini, perusahaan asuransi telah membangun secara formal sebuah
channel baru sebagai penunjang usaha asuransi dalam mendristribusikan (channel
distribution) dagangannya ke pembeli. Oleh karena itulah konsolidasi kekuatan antara
perusahaan asuransi dengan pihak bank semakin berkembang.
Penggabungan produk dua lembaga keuangan ini tentunya bertujuan untuk memberikan
manfaat yang lebih besar bagi pihak bank, perusahaan asuransi maupun nasabah itu sendiri.
Tetapi, di Indonesia sampai saat ini keberadaan bancassurance masih belum diatur secara
hukum. Dalam pasal 10 (b) Undang-Undang Perbankan memang secara tegas diatur bahwa
bank tidak diperbolehkan melakukan usaha perasuransian. Akan tetapi, dalam bancassurance
pihak bank bukanlah sebagai pihak yang memproduksi jasa pertanggungan tersebut dan
kemudian menjualnya kepada para konsurnen atau nasabahnya, melainkan hanya sebagai alat
ataupun agen yang merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan asuransi kepada calon
tertanggung.
4. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa bancassurance merupakan aktivitas yang
melibatkan pihak bank dan perusahaan asuransi (insurance company) dalam menjual produk-
produk asuransi.Bank diberikan kebebasan untuk memberikan suku bunga diatas yang telah
ditetapkan LPS, hal ini sering digunakan bank-bank kecil untuk mencari capital. Namun
apabila bank tersebut memberikan nilai bunga diatas ketentuan LPS, lebihnya bunga tersebut
tidak menjadi obyek jaminan LPS sehingga resiko harus ditanggung oleh nasabah.
Apabila terjadi pencabutan izin usaha oleh OJK, sesuai UU 24 tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan pasal 16, LPS wajib membayar klaim penjaminan kepada nasabah
penyimoan dari bank yang dicabut izinnya selama nasabah dapat membuktikan data
simpanan dan tercatat pada bank.
5. Bank MAJU dikategorikan termasuk dalam Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha
(BUKU) 4 dan karena itu dipandang sebagai salah satu Domestic Systemically Important
Bank (D-SIB). Karena termasuk kedalam kategori bank yang sangat berpengaruh terhadap
kestabilan perbankan maka LPS bertugas untuk mengamankan bank tersebut agar tidak
berdampak sistemik. Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh
suatu Bank, LKBB, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat
menyebabkan kegagalan sejumlah Bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan
hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.
Penanganan Bank Bermasalah oleh LPS didasarkan pada Pasal 4 UU LPS yang menyatakan
bahwa fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 5 ayat (2)
menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem
perbankan, LPS mempunyai tugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam
rangka memelihara stabilitas sistem perbankan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan
penyelesaian Bank Bermasalah yang tidak berdampak sistemik dan melaksanakan
penanganan Bank Bermasalah yang berdampak sistemik.
2. Bank masih memiliki prospek usaha yang baik dengan indikator memiliki NPL netto
lebih kecil dari 5% dan tidak melanggar BMPK dan PDN, memiliki predikat tingkat
kesehatan bank palng rendah Kurang Sehat dengan peringkat komposit 4, terdapat direksi
yang memenuhi persyaratan fit and proper test, masih melakukan kegiatan usaha sebagai
bank dan terdapat investor potensial, dilihat dari adanya kesepakatan dan adanya setoran
dana di escrow account.
3. Bank memenuhi persyaratan administratif, antara lain berupa adanya pernyataan RUPS
untuk setidak tidaknya menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS,
menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS, tidak menuntut LPS apabila proses
penyelamatan tidak berhasil sepanjang LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang undangan, menyerahkan surat kuasa dari seluruh pemegang saham kepada
LPS untuk melakukan penjualan atas seluruh saham yang dimiliki, kedua bank
menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia
beserta agunan, data keuangan nasabah debitur, struktur permodalan dan susunan
pemegang saham tiga tahun terakhir dan informasi lain terkait aset, kewajiban dan
permodalan bank.