Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan
masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia
prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek.
Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah
sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang
berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam
memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta merupakan penyakit
menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam
jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Kelompok yang
berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan
kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,
asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain yang dapat
menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi
dari wanita.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi kusta ?
2. Bagaimanakah etiologi kusta ?
3. Bagaimanakah manifestasi klinis kusta ?
4. Bagaimanakah patofisiologi kusta ?
5. Bagaimanakah komplikasi kusta ?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan kusta ?
7. Bagaimanakah Web Of Caausation ( WOC) kusta ?
8. Bagaimanakah manajemen asuhan keperawatan kusta ?
1.3 TUJUAN
1. Untuk menjelaskan definisi kusta.
2. Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta.
3. Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.
4. Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.
5. Untuk menjelasakan bagaimanakah komplikasi kusta.
6. Untuk menjelaskan bagaimanakah penatalaksanaan kusta.
7. Untuk menjelaskan bagaimanakah Web Of Caausation ( WOC) kusta.
8. Untuk menjelaskan bagaimanakah manajemen asuhan keperawatan
kusta.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. (Depkes RI, 1998)Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan
oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh
mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf
perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

2.2 ETIOLOGI

Klasifikasi ilmiah.
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Upaordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : M. Leprae.

Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang bersifat


obligat intraseluler, yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti
mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat.Masa membelah diri mycrobacterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya
antara 40 hari 40 tahun. Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah
kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH
Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk

3
batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang tidak
utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya
membentuk kompleks imun yang mengendap dalam vaskuler.Reaksi tipe 2 yang
tipikal pada kulit ditandai dengan nodul nodul eritematosa yang nyeri, timbul
mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih dalam.Berbagai faktor yang dianggap
sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain : setelah pengobatan
antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan stres fisik.

Penjelasan lebih lanjut dari kuman kusta :


Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh
G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf
lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8
mikron.
Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora,
dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa
ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat
lama , yaitu 2-3 minggu , diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis )kuman
kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,dalam Leprosy
Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting , 1985). Pertumbuhan
optimal kuman kusta adalah pada suhu 2730 C ( Depkes, 2005).
M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar
dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas :
a. M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat
dibiakkan dimedia buatan.
b. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
c. M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang
mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).

4
d. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang
menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.
e. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen
antigenic yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu
uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif pada
penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinalberikut: 1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul,
nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas
kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA
dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
KLASIFIKASI
Kelainan kulit & hasil
No. Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
1. Bercak (makula)
jumlah 1-5 Banyak
ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral, simetris
asimetris
konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
batas Tegas Kurang tegas
kehilangan rasa pada Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
bercak jika ada terjadi pada yang
sudah lanjut
Bercak masih
kehilangan Bercak tidak berkeringat, bulu tidak

5
berkemampuan berkeringat, ada bulu rontok
berkeringat,berbulu rontok rontok pada bercak
pada bercak
2. Infiltrat
Kulit Tidak ada Ada,kadang-kadang
tidak ada
membrana mukosa Tidak pernah ada Ada,kadang-kadang
tersumbat perdarahan tidak ada
dihidung
3. Ciri hidung central healing
a.punched outlession
penyembuhan ditengah b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium
dini lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif

Dibagi menjadi 2 :
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta
cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak
keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa,
sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering,
perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini
lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu
menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.

6
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih
awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti
tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling
banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya
terhadap kuman kusta cukup tinggi.

2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)


Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di
selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan
tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa
bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai
penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila
juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan,
muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping
telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan
hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari
perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies
leonina).

Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau


perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara
keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

2.4 PATOFISIOLOGI

7
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum
diketahui secara pasti.Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penularannya yang paling sering melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.Setelah mycrobacterium leprae masuk
ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat
sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler tinggi, berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah,
berarti berkembang ke arah lepromatosa. Mycrobacterium leprae berpredileksi di
daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasiyang sedikit. Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada sel
makrofag disekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann
jaringan saraf, bila kuman masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag untuk memfagosit.
1. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler
yang rendah dimana makrofag tidak mampu menghancurkan kuman,
dan dapat membelah diri dan dengan bebas merusak jaringan.
2. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana
makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman
difagositosis, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian
bersatu membentuk sel, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitar.
Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak,
sehingga respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat
meningkat.Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi
limfosit.Tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti antigen M. leprae
mana yang mendasari kejadian patologis tersebut dapat terjadi.Determinan
antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta pada tiap penderita
mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat berbeda pula sekalipun tipe
lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak didapati pada kulit dan
jaringan saraf. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi

8
karena respons imun pada tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding
dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

2.5 KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
kusta.Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan
kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau
reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien.Reaksi
ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan
dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun
sesudah mulai pengobatan.

2.6 PENATALAKSANAAN
Reaksi lepra harus diobati dan dikontrol untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti
mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang
adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama fase aktif neuritis.Imobilisasi dan
tindakan bedah dapat mencegah dan memulihkan gangguan saraf. Tujuan utama
program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens
penyakit.
Prinsip pengobatan yaitu, pemberian obat anti reaksi.Obat yang dapat
digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti
implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari. Klorokuin 3x150
mg/hari, Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan
atau dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari,
berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon
maksimal.Untuk melepas ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II

9
(ENL) digunanakan talidomid.Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-
angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur
karena talidomid bersifat teratogenik.Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa
ulang untuk melihat keadaan klinis.Bila tidak ada perbaikan maka dosis prednison
yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya
dari 15 mg menjadi 20 mg sehari).Setelah ada perbaikan dosis diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan
klofazimin.Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis).Dosis
klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan kusta.Untuk orang dewasa 3x100
mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu
diturunkan menjadi 2x100 mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1x100
mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis
semula, yaitu 50 mg/hari.

2.7 Web Of Causation ( WOC )


2.8 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

10
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman
micobakterium leprae.
2. Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
3. Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat
obligat intraseluller, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain
seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali
susunan saraf pusat.
4. Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang
khas dan kehilangan sensibilitas.
5. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu
dilakukan adalah melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik,
menentukan diagnosa keperawatan, kemudian memberikan tindakan
perawatan yang komprehensip.

3.2 SARAN
Semoga dengan membaca laporan ini pembaca dapat memahami
mengenai penyakit kusta dan dapat menerapkan dalam ilmu keperawatan
serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Penulis merasa
cukup dan menunggu saran dari pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.


Nanda.

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Psoses Penyakit Edisi 6.


Jakarta : EGC

Sjamsoe Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia

Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai