2.1.2 Etiologi
Kanker payudara terjadi karena adanya pertumbuhan abnormal sel payudara.
Organ-organ dan kelenjar dalam tubuh (termasuk payudara) terdiri dari jaringan yang
berisi sel-sel. Umumnya pertumbuhan sel normal mengalami pemisahan dan mati ketika
sel menua sehingga dapat digantikan sel-sel baru. Tetapi ketika sel-sel lama tidak mati
dan sel-sel baru terus tumbuh, jumlah sel-sel yang berlebihan bisa berkembang tidak
terkendali sehingga membentuk tumor. Menurut Smettzer & Bare,(2002) tidak ada
satupun penyebab spesifik dari kanker payudara, sebaliknya serangkaian faktor genetik,
hormonal, dan kemungkinan kejadian penunjang dapat menyebabkan kanker ini. Bukti
yang terus bermunculan menunjukkan bahwa perubahan genetik berkaitan dengan
kanker payudara, namun apa yang menyebabkan perubahan genetik masih belum
diketahui.
2.1.3 Faktor-faktor resiko :
1. Mutasi gen BRCA-1 atau BRCA-2 pada wanita dengan mutasi gen
memiliki perubahan 50-90% meningkatkan kanker payudara dan
kemungkinan perkembangan kanker payudara sebelum usia 50 tahun
(Lewis, 2007 dalam Monika 2012).
2. Riwayat keluarga, merupakan faktor resiko yang penting. Khususnya
jika terdapat anggota keluarga yang juga memiliki riwayat kanker
payudara atau ovarium. Dennis (2009) mengatakan bahwa bila ada
riwayat keluarga yang menderita kanker seperti ayah/ ibu, saudara
perempuan ayah/ibu, kakak/ adik, mempunyai resiko 2-3 kali lebih
besar terhadap terjadinya kanker payudara.
3. Usia relatif muda (kurang dari 12 tahun) saat pertama kali
mendapatkan menstruasi dapat meningkatan resiko kanker payudara.
Saat ini di Negara berkembang terjadi pergeseran usia menarche
menjadi usia 12-13 tahun. Kehamilan pertama pada usia lebih dari 35
tahun, wanita nullipara atau belum pernah melahirkan dan lama masa
menyusui dapat meningkatkan angka kejadian kanker payudara
(Rasjidi, 2010). Angka kejadian kanker payudara di bawah 25 tahun
sangat sedikit dan meningkat secara bertahap hingga usia 60 tahun
(Lewis, 2007).
4. Terapi sulih hormone (TSH) dapat meningkatkan resiko kanker
payudara. Terdapat pengningkatan resiko sebesar 2,3% setiap
tahunnya pada wanita pascamenopause yang memakai TSH. Wanita
yang menggunakan kontrasepsi oral lebih dari 5 tahun kemungkinan
meningkatkan faktor resiko.
5. Obesitas, wanita yang mengalami kelebihan berat badan (obesitas)
dan individu dengan konsumsi tinggi lemak beresiko 2 kali lebih
tinggi dari yang tidak sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak.
6. Konsumsi alkohol, sebagai faktor resiko masih menjadi kontroversi.
Pola hidup di negara maju yang mengkonsumsi wine secara teratur
(misalnya Italia dan Perancis) memiliki angka kejadian kanker
payudara lebih tinggi.
2.1.4 Tanda dan gejala
Gejala kanker payudara pada awal permulaan sering tidak dirasakan oleh
penderita. Kanker payudara pada tahap dini biasanya tidak menimbulkan keluhan.
Tanda yang mungkin dirasakan pada stadium dini adalah terabanya benjolan pada
bagian payudara. Gejala dan tanda khas kanker payudara yang bisa diamati pada
stadium lanjut antara lain teraba ada benjolan kecil yang keras di payudara, benjolan
semakin membesar, benjolan yang keras itu tidak bergerak (terfiksasi) dan pada
awalnya tidak terasa sakit. Perubahan bentuk dan ukuran payudara terjadi karena
pembengkakan menyebabkan rasa panas, nyeri atau sangat gatal di daerah sekitar
puting. Gejala pada puting meliputi perubahan bentuk puting (masuk kedalam atau
nipple retraction) dan mengeluarkan cairan atau darah. Selain adanya benjolan dan
perubahan puting, perubahan juga terjadi pada bagian kulit payudara. Perubahan
pada kulit payudara diantaranya perubahan warna kulit, berkerut dan iritasi seperti
kulit jeruk (peau dorange). Hal ini dapat terjadi jika benjolan pada awal stadium
tidak diindahkan oleh penderita.
2.1.5 Patofisiologi
Kanker payudara berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada
sistem duktal, mulamula terjadi hiperplasia sel sel dengan perkembangan sel
sel atipik. Sel - sel ini akan berlanjut menjadi carsinoma insitu dan menginvasi
stroma. Carsinoma membutuhkan waktu tujuh tahun untuk bertumbuh dari sel
tunggal sampai menjadi massa yang cukup besar untuk dapat diraba ( kira kira
berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira kira seperempat dari kanker payudara
telah bermetastasis. Sel kanker akan tumbuh terus menerus dan sulit untuk
dikendalikan. Kanker payudara bermetastasis dengan penyebaran langsung ke
jaringan sekitarnya dan juga melalui saluran limfe dan aliran darah ( Price, 2005).
Sel kanker dapat menyebar melalui aliran pembuluh darah dan permeabilitas
kapiler akan terganggu sehingga sel kanker dapat berkembang pada jaringan kulit.
Sel kanker tersebut akan terus menginfiltrasi jaringan kulit, menghambat dan
merusak pembuluh darah kapiler yang mensuplai darah ke jaringan kulit.
Akibatnya jaringan dan lapisan kulit akan mati (nekrosis) kemudian timbul luka
kanker.
Jaringan nekrosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri,
baik yang bakteri aerob atau anaerob. Bakteri tersebut akan menginfeksi dasar
luka kanker sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Selain itu, sel kanker
dan proses infeksi itu sendiri akan merusak permeabilitas kapiler kemudian
menimbulkan cairan luka (eksudat) yang banyak. Cairan yang banyak dapat
menimbulkan iritasi sekitar luka dan juga gatal-gatal. Pada jaringan yang rusak
dan terjadi infeksi akan merangsang pengeluaran reseptor nyeri sebagai respon
tubuh secara fisiologis akibatnya timbul gejala nyeri yang hebat. Sel kanker itu
sendiri juga merupakan sel imatur yang bersifat rapuh dan merusak pembuluh
darah kapiler yang menyebabkan mudah perdarahan. Adanya luka kanker, bau
yang tidak sedap dan cairan yang banyak keluar akan menyebabkan masalah
psikologis pada pasien. Akhirnya, pasien cenderung merasa rendah diri, mudah
marah/tersinggung, menarik diri dan membatasi kegiatannya. Hal tersebut yang
akan menurunkan kualitas hidup pasien kanker.
2.1.6 Distribusi dan Klasifikasi
Dari seluruh kanker payudara sekitar 50 % tumbuh pada kuadran lateral atas,
10% pada ketiga kuadran lain dan 20% sub areolar. Klasifikasi kanker payudara
menurut Robbin, (2002) adalah sebagai berikut:
a. Non Invasif (Non infiltratif)
1) Karsinoma intraduktal
2) Karsinoma intraduktal dengan penyakit paget
3) Karsinoma lobuler insitu.
b. Invasif (Infiltratif)
1) Karsinoma intraduktal invasif
2) Karsinoma duktal invasif dengan penyakit paget
3) Karsinoma lobuler invasif
4) Karsinoma meduler
5) Karsinoma koloid
6) Karsinoma tubular
7) Karsinoma kista adenoid
8) Karsinoma apokrin
9) Karsinoma papiler skuamosa.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan TNM menurut Smeltzer & Bare (2002).
Tumor primer (T) :
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor kurang dari 2 cm
T2 Tumor lebih dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm
T3 Tumor lebih dari 5 cm
T4 Perluasan kedinding dada, inflamasi
Kelenjar getah bening regional (N) :
N0 Tidak ada tumor dalam kelenjar getah bening regional.
N1 Metastasis ke kelenjar ipsilateral yang dapat berpindah-pindah
N2 Metastasis ke kelenjar ipsilateral yang menetap
N3 Metastasis ke kelenjar mamaria interna ipsilateral
Metastasis jauh (M) :
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh (termasuk menyebar ke kelenjar supraklavikular ipsilateral)
b. Tahap II
Tumor lebih dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm, nodus limfe tidak terfiksasi
negative atau positif dan tidak terdeteksi adanya metastasis.
c. Tahap III
Tumor lebih dari 5 cm, nodus limfe terfiksasi positif dalam area clavikular dan
tidak terdeteksi adanya metastasis.
d. Tahap IV
Tumor sembarang ukuran lebih dari 5 cm, nodus limfe normal atau kankerosa
dan metastasis jauh.
2.1.8 Pengobatan
Menurut Ramli, (1995) dalam hal pengobatan yang perlu diketahui :
a. Pengobatan pada stadium dini akan memberi harapan kesembuhan dan
harapan hidup yang baik
b. Jenis-jenis pengobatan:
Pada stadium I, II dan III awal (stadium operable), sifat pengobatan adalah
kuratif. Pengobatan pada stadium I,II dan IIIa adalah operasi yang primer,
terapi lainnya hanya bersifat ajuvant. Untuk stadium I,II pengobatan adalah
radikal mastektomi atau modified radikal mastektomi, dengan atau tanpa
radiasi dan sitostatika ajuvant. Jika kelenjar getah bening aksila mengandung
metastase maka diberikan terapi radiasi ajuvant dan sitostatika ajuvant. Jika
kelenjar getah bening aksila tidak mengandung metastase, maka terapi radiasi
dan sitostatika ajuvant tidak diberikan. Stadium IIIa adalah simpel
mastektomi dengan radiasi dengan sitostatika ajuvant. Untuk stadiun lanjut,
yaitu stadium IIIb dan IV sifat pengobatannya adalah paliasi, yaitu terutama
untuk mengurangi penderitaan penderita dan memperbaiki kualitas hidup.
Untuk stadium IIIb atau yang dinamakan locally advanced pengobatan utama
adalah radiasi dan dapat diikuti modalitas lain yaitu hormonal terapi dan
sitostatika. Stadium IV pengobatan yang primer adalah yang bersifat sistemik
yaitu hormonal dan kemoterapi. Radiasi terkadang diperlukan untuk paliasi.
c. Kemoterapi Cyclofosfamid Adriamycin Fluorasil (CAF) dan
Cyclofosfamid Epirubisin Fluorasil (CEF)
Kemoterapi ajufan untuk kanker payudara melibatkan kombinasi obat
multiple yang lebih efektif daripada terapi dosis tunggal. Kombinasi yang
paling sering dianjurkan disebut CAF dan meliputi siklofosfamid (Cytoxan),
Adriamycin , fluorasil (5-FU) dengan atau tanpa tamoksifen. Terapi ini
biasanya diberikan selama 3-6 bulan. Adriamycin memiliki efek samping
mengganggu perfusi jantung oleh karena itu pasien yang memiliki penyakit
jantung dapat digantikan dengan Epirubicin sehingga kombinasi ini disebut
CEF (Wim, 1997).
Saat kita menentukan usia sebuah luka maka pertama harus ditentukan
apakah luka tersebut akut atau kronik. Penentuan dapat menjadi sulit bila hanya
berpatokan pada kurun waktu. Selain pertimbangan waktu maka perlu diingat
bahwa luka disebut akut bila luka tersebut baru atau mencapai kemajuan
penyembuhan luka sesuai yang diharapkan. Sementara luka kronik adalah luka
yang tidak sembuh dalam waktu yang diharapkan. Hal ini yang penting adalah
pada luka kronik proses penyembuhan melambat atau berhenti dan luka tidak
bertambah kecil atau tidak bertambah dangkal. Meskipun dasar luka tampak
merah, lembab dan sehat tetapi bila proses penyembuhan luka tidak mengalami
kemajuan maka dikatagorikan sebagai luka kronik.
Selain itu pengkajian luka kanker payudara dapat dilakukan dengan cara mengkaji:
a. Letak dan luas luka
Pengkajian luka kanker terutama untuk menilai lokasi luka dan kemungkinan
letak penyebaran. Kemudian ukur besarnya luka meliputi panjang, lebar dan
ketinggian karena biasanya luka kanker menonjol /keatas.
b. Warna dasar luka.
Luka kanker memiliki bentuk menonjol sehingga cukup sulit membaginya ke
dalam stadium luka. Kemudahan untuk menilai derajat keseriusan luka kanker
adalah menilai warna dasar luka. System ini bersifat konsisten, mudah
dimengerti dan sangat tepat guna dalam membantu memilih tindakan dan terapi
perawatan luka serta mengevaluasi kondisi luka. Menurut Netherland
Woundcare Consultant Society, (1984) dikutip dari Gitaraja, (2004)
penggolongan berdasarkan warna dasar luka meliputi:
Red / Merah
Luka dengan dasar warna luka merah tua atau merah terang dan selalu
tampak lembab. Merupakan luka bersih dengan banyak vaskularisasi,
karenanya mudah berdarah.Tujuan perawatan luka adalah
mempertahankan lingkungan luka dalam keadaan lembab dan mencegah
terjadinya trauma/perdarahan.
Yellow/Kuning
Luka dengan dasar warna luka kuning/kuning kecoklatan/kuning
kehijauan / kuning pucat adalah jaringan nekrosis. Merupakan kondisi
luka yang terkontaminasi atau terinfeksi dan avaskularisasi. Luka pada
kanker payudara stadium lanjut berwarna kuning yang menunjukkan
adanya jaringan nekrosis dan buruknya vaskularisasi. Tujuan
perawatannya adalah meningkatkan sistem autolysis debridemen agar
luka berwarna merah, absorb eksudat, menghilangkan bau tidak sedap
dan mengurangi kejadian infeksi.
Black/Hitam
Luka dengan dasar warna luka hitam adalah jaringan nekrosis,
merupakan jaringan avaskularisasi. Tujuan perawatannya sama dengan
dasar warna luka kuning.
2.2.3 Masalah Khas Pada Luka Kanker Payudara
Menurut Gitaraja , (2004) masalah khas pada luka kanker payudara adalah
1) Bau tidak sedap
Bau tidak sedap disebabkan karena terjadinya penurunan vaskularisasi
jaringan/hipoksia sehingga jaringan granulasi menjadi nekrosis. Jaringan
nekrotik yang dibiarkan tak terawat sangat mudah terkontaminasi dengan bakteri
aerob dan anaerob dan sangat cepat berkembang biak sehingga menimbulkan
bau yang tidak sedap. Pengkajian masalah bau tidak sedap masih tergolong
subyektif karena tergantung dari penilaian seseorang untuk mengenal bau
dengan lebih baik. Menurut Gitaraja, (2004) beberapa kriteria yang dapat
memonitor bau dan dapat membantu dalam pengkajian dan evaluasi perawatan
yaitu ; Bau kuat : bau tercium kuat dalam ruangan (6-10 langkah dari pasien)
dengan balutan tertutup. Bau sedang : bau tercium kuat dalam ruangan (6-10
langkah dari pasien) dengan balutan terbuka. Bau ringan : bau tercium bila dekat
dengan penderita pada saat balutan dibuka. Bau tidak ada : bau tidak tercium
saat disamping penderita dengan balutan terbuka.
3) Perdarahan
Kelainan hemostasis dapat berupa perdarahan yang disebabkan oleh infiltrasi sel
tumor sekitar pembuluh darah, gangguan fungsi dan jumlah trombosit turun atau
defisiensi faktor koagulasi.
4) Nyeri
Nyeri pada kanker terbagi menjadi dua katagori yaitu nyeri timbul oleh karena
sel tumor yang bermetastase atau nyeri timbul sebagai akibat dari pemberian
pengobatan kanker. Hampir sebagian klien mengeluh nyeri yang timbul
berhubungan dengan saat mengganti balutan. Balutan yang menempel kuat pada
luka tentulah sulit untuk dibuang sehingga pada saat dicabut menimbulkan
perdarahan dan nyeri.
6) Infeksi
Kejadian infeksi pada luka kanker dapat diidentifikasikan dengan adanya
eritema yang makin meluas, edema, cairan berubah purulen, nyeri yang lebih
sensitif, peningkatan temperatur tubuh, peningkatan jumlah sel darah putih dan
timbul bau yang khas. Pseudomonas aeruginase dan staphylococcus aureus
merupakan organisme patogenik yang sering muncul, namun selama komponen
sistemik tubuh mampu mengatasi hal ini dan kolonisasi bakteri tidak melebihi
jumlah normal, teknik pencucian dan perawatan yang tepat cukup mampu
mengatasi hal tersebut.
a. Fase Inflamatory
Terjadi segera setelah luka dan berakhir 3-4 hari. Dua proses utama yang terjadi
pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian
perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar didaerah luka, retraksi
pembuluh darah, endapan fibrin dan pembentukan bekuan darah di daerah luka.
Selama sel berpindah, lekosit (terutama netrofil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24
jam setelah luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui
proses yang disebut fagositosis.
b. Fase proliferasi
Berlangsung dari hari ke 3 atau 4 sampai hari ke 21 setelah pembedahan.
Fibroblast yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah
pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang
disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Seiring perkembangan
kapilarisasi jaringan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi, jaringan
yang lunak dan mudah pecah.
c. Fase maturasi
Dimulai hari ke 21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan. Fibroblast terus
mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya, menyatukan srtuktur yang lebih
kuat. Bekas luka menjadi lebih kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan
garis putih.
A. Pengkajian Luka
Menurut Carville (1998), Pengkajian luka meliputi :
1. Type Luka
a. Luka akut yaitu berbagai jenis luka bedah yang sembuh melalui intensi primer atau luka
traumatik atau luka bedah yang sembuh melalui intensi sekunder dan melalui proses
perbaikan yang tepat pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas anatomis sesuai
dengan proses penyembuhan secara fisiologis.
b. Luka kronik, adalah terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak sesuai dengan waktu yang
telah diperkirakan dan penyembuhannya mengalami komplikasi, terhambat baik oleh
faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang berpengaruh kuat pada individu, luka atau
lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa luka kronis merupakan kegagalan penyembuhan
pada luka akut.
2. Type Penyembuhan
a. Primary Intention, Jika terdapat kehilangan jaringan minimal dan kedua tepi luka
dirapatkan baik dengan suture (jahitan), clips atau tape (plester). Jaringan parut yang
dihasilkan minimal.
b. Delayed Primary Intention, Jika luka terinfeksi atau mengandung benda asing dan
membutuhkan pembersihan intensif, selanjutnya ditutup secara primer pada 3-5 hari
kemudian.
c. Secondary Intention, Penyembuhan luka terlambat dan terjadi melalui proses granulasi,
kontraksi dan epithelization. Jaringan parut cukup luas.
d. Skin Graft, Skin graft tipis dan tebal digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan
dan mengurangi resiko infeksi.
e. Flap, Pembedahan relokasi kulit dan jaringan subcutan pada luka yang berasal dari
jaringan terdekat.
3. Kehilangan Jaringan
Kehilangan jaringan menggambarkan kedalaman kerusakan jaringan atau berkaitan
dengan stadium kerusakan jaringan kulit.
a. Superfisial, Luka sebatas epidermis.
b. Parsial (Partial thickness), Luka meliputi epidermis dan dermis.
c. Penuh (Full thickness). Luka meliputi epidermis, dermis dan jaringan subcutan.
Mungkin juga melibatkan otot, tendon dan tulang.
Atau dapat juga digambarkan melalui beberapa stadium luka (Stadium I IV ).
a. Stage I : Lapisan epidermis utuh, namun terdapat erithema atau perubahan warna.
b. Stage II : Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan epidermis dan
dermis. Erithema dijaringan sekitar yang nyeri, panas dan edema. Exudte sedikit
sampai sedang mungkin ada.
c. Stage III : Kehilangan sampai dengan jaringan subcutan, dengan terbentuknya rongga
(cavity), terdapat exudat sedang sampai banyak.
d. Stage IV : Hilangnya jaringan subcutan dengan terbentuknya (cavity), yang melibatkan
otot, tendon dan/atau tulang. Terdapat exudate sedang sampai banyak.
4. Penampilan Klinis
Tampilan klinis luka dapat di bagi berdasarkan warna dasar luka antara lain :
a. Hitam atau Nekrotik yaitu eschar yang mengeras dan nekrotik, mungkin kering atau
lembab.
b. Kuning atau Sloughy yaitu jaringan mati yang fibrous, kuning dan slough.
c. Merah atau Granulasi yaitu jaringan granulasi sehat.
d. Pink atau Epithellating yaitu terjadi epitelisasi.
e. Kehijauan atau terinfeksi yaitu terdapat tanda-tanda klinis infeksi seperti nyeri, panas,
bengkak, kemerahan dan peningkatan exudate.
5. Lokasi
Lokasi atau posisi luka, dihubungkan dengan posisi anatomis tubuh dan mudah dikenali
di dokumentasikan sebagai referensi utama. Lokasi luka mempengaruhi waktu penyembuhan
luka dan jenis perawatan yang diberikan. Lokasi luka di area persendian cenderung bergerak
dan tergesek, mungkin lebih lambat sembuh karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma
(siku, lutut, kaki). Area yang rentan oleh tekanan atau gaya lipatan (shear force) akan lambat
sembuh (pinggul, bokong), sedangkan penyembuhan meningkat diarea dengan vaskularisasi
baik (wajah).
6. Ukuran Luka
Dimensi ukuran meliputi ukuran panjang, lebar, kedalaman atau diameter (lingkaran).
Pengkajian dan evaluasi kecepatan penyembuhan luka dan modalitas terapi adalah komponen
penting dari perawatan luka. Semua luka memerlukan pengkajian 2 dimensi pada luka terbuka
dan pengkajian 3 dimensi pada luka berrongga atau berterowongan
a. Pengkajian dua dimensi
Pengukuran superfisial dapat dilakukan dengan alat seperti penggaris untuk
mengukur panjang dan lebar luka. Jiplakan lingkaran (tracing of circumference) luka
direkomendasikan dalam bentuk plastik transparan atau asetat sheet dan memakai
spidol.
b. Pengkajian tiga dimensi
Pengkajian kedalaman berbagai sinus tract internal memerlukan pendekatan tiga
dimensi. Metode paling mudah adalah menggunakan instrumen berupa aplikator
kapas lembab steril atau kateter/baby feeding tube. Pegang aplikator dengan ibu jari
dan telunjuk pada titik yang berhubungan dengan batas tepi luka. Hati-hati saat
menarik aplikator sambil mempertahankan posisi ibu jari dan telunjuk yang
memegangnya. Ukur dari ujung aplikator pada posisi sejajar dengan penggaris
sentimeter (cm). Melihat luka ibarat berhadapan dengan jam. Bagian atas luka (jam
12) adalah titik kearah kepala pasien, sedangkan bagian bawah luka (jam 6) adalah
titik kearah kaki pasien. Panjang dapat diukur dari jam 12 jam 6 . Lebar dapat
diukur dari sisi ke sisi atau dari jam 3 jam 9 .
Contoh Pengukuran
Luas luka 15 cm (P) x 12 cm(L) x 2 cm(T), dengan goa/undermining
7. Eksudasi
Hal yang perlu dicatat tentang exudate adalah jenis, jumlah, warna, konsistensi dan bau.
a. Jenis Exudate
Serous : cairan berwarna jernih
Hemoserous : cairan serous yang mewarna merah terang.
Sanguenous : cairan berwarna darah kental/pekat.
Purulent : kental mengandung nanah.
b. Jumlah, Kehilangan jumlah exudate luka berlebihan, seperti tampak pada luka bakar atau
fistula dapat mengganggu keseimbangan cairan dan mengakibatkan gangguan elektrolit.
Kulit sekitar luka juga cenderung maserasi jika tidak menggunkan balutan atau alat
pengelolaan luka yang tepat.
c. Warna,Ini berhubungan dengan jenis exudate namun juga menjadi indikator klinik yang
baik dari jenis bakteri yang ada pada luka terinfeksi (contoh, pseudomonas aeruginosa
yang berwarna hijau/kebiruan).
d. Konsistensi, Ini berhubungan dengan jenis exudate, sangat bermakna pada luka yang
edema dan fistula.
e. Bau, Ini berhubungan dengan infeksi luka dan kontaminasi luka oleh cairan tubuh seperti
faeces terlihat pada fistula. Bau mungkin juga berhubungan dengan proses autolisis
jaringan nekrotik pada balutan oklusif (hidrocolloid)
8.Kulit Sekitar Luka
Inspeksi dan palpasi kulit sekitar luka akan menentukan apakah ada sellulitis, edema, benda
asing, ekzema, dermatitis kontak atau maserasi. Vaskularisasi jaringan sekitar dikaji dan batas-
batasnya dicatat. Catat warna, kehangatan dan waktu pengisian kapiler jika luka mendapatkan
penekanan atau kompresi. Nadi dipalpasi terutama saat mengkaji luka di tungkai bawah. Penting
untuk memeriksa tepi luka terhadap ada tidaknya epithelisasi dan/atau kontraksi.
9. Nyeri
Penyebab nyeri pada luka, baik umum maupun lokal harus dipastikan. Apakah nyeri
berhubungan dengan penyakit, pembedahan, trauma, infeksi atau benda asing. Atau apakah nyeri
berkaitan dengan praktek perawatan luka atau prodak yang dipakai. Nyeri harus diteliti dan
dikelola secara tepat.
10. Infeksi Luka
Infeksi klinis dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan organisme dalam luka yang
berkaitan dengan reaksi jaringan. (Westaby 1985). Reaksi jaringan tergantung pada daya tahan
tubuh host terhadap invasi mikroorganisme. Derajat daya tahan tergantung pada faktor-faktor
seperti status kesehatan umum, status nutrisi, pengobatan dan derajat kerusakan jaringan. Infeksi
mempengaruhi penyembuhan luka dan mungkin menyebabkan dehiscence, eviserasi, perdarahan
dan infeksi sistemik yang mengancam kehidupan. Secara reguler klien diobservasi terhadap
adanya tanda dan gejala klinis infeksi sistemik atau infeksi luka.
Berdasarkan kondisi infeksi, luka diklasifiksikan atas:
a. Bersih. Tidak ada tanda-tanda infeksi. Luka dibuat dalam kondisi pembedahan yang
aseptik, tidak termasuk pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau
pencernaan.
b. Bersih terkontaminasi. Luka pembedahan pada sistem perkemihan, pernafasan atau
pencernaan. Luka terkontaminasi oleh flora normal jaringan yang bersangkutan namun
tidak ada reaksi host.
c. Kontaminasi. Kontaminasi oleh bakteri diikuti reaksi host namun tidak terbentuk
pus/nanah.
d. Infeksi. Terdapat tanda-tanda klinis infeksi dengan peningkatan kadar leukosit atau
makrophage.
11. Implikasi Psikososial
Efek psikososial dapat berkembang luas dari pengalaman perlukaan dan hadirnya luka.
Kebijaksanaan dan pertimbangan harus digunakan dalam pengkajian terhadap masalah potensial
atau aktual yang berpengaruh kuat terhadap pasien dan perawatnya dalam kaitannya terhadap ;
Harga diri dan Citra diri.
Perubahan fungsi tubuh.
Pemulihan dan rehabilitasi.
Issue kualitas hidup.
Peran keluarga dan sosial.
Status finansial.
Ada pula yang menyatakan perawatan luka kanker dengan menggunakan metronidazole
telah digunakan secara luas sebagai agen topikal untuk mengatasi malodor (Bale et al, 2004).
Metronidazole topikal bekerja dengan berikatan dengan DNA bakteri dan mengganggu replikasi
bakteri kemudian luka bebas dari malodor selama 7 hari (Bower et al, 1992, dalam Bale et al,
2004). Metronidazole dapat diberikan secara sistemik dengan dosis 200 mg, 3 kali sehari, akan
tetapi pemberian melalui cara ini dapat menimbulkan efek samping mual. Thomas et al (1998,
dalam Naylor, 2002) menyebutkan pemberian antibiotik secara sistemik tidak efektif pada
jaringan nekrotik dengan sirkulasi darah yang buruk. Selain itu madu juga telah digunakan sejak
beberapa abad yang lalu dan semakin populer penggunaannya saat ini, karena mampu melawan
bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Madu yang memberikan lingkungan hiperosmotik pada
luka mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan membantu debridemen luka (Cooper dan
Molan, 1999; Edward, 2000; Morgan, 2000, dalam Naylor, 2002). Madu juga dapat melepaskan
hidrogen peroksida secara perlahan pada luka sebagai agen antibakteri (Dunford, 2000).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Penyakit kanker payudara merupakan neoplasma ganas, suatu pertumbuhan jaringan
payudara yang abnormal yang tidak memandang jaringan sekitarnya, tumbuh infiltrative,
destruktif dan dapat bermetastase. Tumor ini tumbuh progresif dan relatif cepat membesar.
Penyakit ini dapat menyerang berbagai lapisan usia mulai dari remaja, dewasa, hingga
lansia. Saat ini penderita kanker payudara cukup tinggi. Oleh sebab itu perlu perhatian
khusus bagi klien yang memiliki luka kanker untuk dilakukan perawatan luka. Adapun
tujuan perawatan luka kanker payudara dengan bau adalah membuang jaringan mati dan
mengeliminasi kontaminasi bakteri. Autolitik atau enzymatic debridement merupakan
metode yang cukup dianjurkan untuk membuang jaringan mati. Penggunaan therapy
antibiotic topikal pada luka kanker payudara seperti metronidazole sangat efektif untuk
membunuh bakteri yang dapat menimbulkan bau (Gitaraja, 2004). Pembalut luka merupakan
sarana vital untuk mengatur kelembaban kulit, menyerap cairan yang berlebihan, mencegah
infeksi, dan membuang jaringan mati pada luka kanker ( Keast, 2007). Diharapkan perawat
memiliki kemampuan khusus dalam merawat luka kanker paudara.
4.2 Saran
Diharapkan dalam perawatan luka kanker payudara perawat dapat mengembangkan
keterampilan klinisnya dalam melakukan asuhan keperawatan khusunya kanker payudara
stadium IV. Pihak manajemen rumah sakit diharapkan juga terus memfasilitasi pelaksanaan
asuhan keperawatan dengan sarana dan pra sarana yang memadai, dan terus mendukung
keterampilan perawat dengan meningkatkan aktivitas pelatihan, dan kegiatan-kegiatan
ilmiah lainnya yang dapat diikuti perawat secara berjenjang dan berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
th
Dennis A. Casciato. (2009). Manual of Clinical Oncologi. 6 Ed. Lippincott Williams.
Philadelphia
Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta :FKUI. Gitaraja.
(2004). Manajemen perawatan luka akut dan kronik, Perawatan luka kanker.
Jakarta : RS Kanker Darmais.
Kalinski, C., Schnepf, M., Laboy, D., Hernandez, L., Nusbaum, J., Grinder, M.B., et. Al.
(2005). Effectiveness of a Topical Formulation Containing Metronidazole for
Wound Odor and Exudate Control. Diakses 2 Juli 2013, dari
http://www.naccme.com/woundcare.
Keast, D., & Orsted, H. (2007) The basic principles of wound healing. Diakses 10
November 2017 dari http:// www.cawc.net
Kusminarto. (2005). Deteksi sangat dini kanker payudara, jawaban untuk menghindar.
Artikel Diakses 10 November 2017 dari http://www.Depkes.pydr.htm.