Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan


peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe2 di berbagai penjuru dunia.
WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup
besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang
DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun
2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi,
laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka
diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di
daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan
penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan
rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban
dan 8,1 juta di daerah rural.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen
Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia
diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar
1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan Barat yang mencapai
11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara
4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat.
Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang diabetes di Indonesia
sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri
oleh dokter spesialis/ subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang
ada.
1
Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber
daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua
pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha
penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.
Pada strategi pelayanan kesehatan bagi penyandang diabetes, peran dokter
umum menjadi sangat penting sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan primer.
Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum
di pelayanan kesehatan primer. Penyandang diabetes yang berpotensi mengalami
penyulit DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada dokter spesialis penyakit
dalam atau dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin, metabolisme, dan
diabetes di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi di rumah sakit rujukan.
Demikian pula penyandang diabetes dengan glukosa darah yang sukar dikendalikan
dan penyandang diabetes dengan penyulit. Pasien dapat dikirim kembali kepada
dokter pelayanan primer setelah penanganan di rumah sakit rujukan selesai.
Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur
hidup. Dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain dokter, perawat, ahli gizi, dan
tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi
kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan memberikan pemahaman mengenai
perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan DM, akan sangat
membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaiki hasil
pengelolaan. Dalam konteks ini keberadaan organisasi perkumpulan penyandang
diabetes seperti PERKENI, PERSADIA, PEDI, dan lain-lain menjadi sangat
dibutuhkan, mengingat perkumpulan tersebut dapat membantu meningkatkan
pengetahuan penyandang diabetes tentang penyakitnya dan meningkatkan peran aktif
mereka dalam memodifikasi pengobatan DM.
Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna, serta
untuk menekan angka kejadian penyulit DM, diperlukan suatu standar pelayanan
minimal bagi penyandang diabetes. Penyempurnaan dan revisi secara berkala standar
pelayanan harus selalu dilakukan dan disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan ilmu
mutakhir, sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar- besarnya bagi penyandang
diabetes.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2014, Diabetes melitus
merupakan suatu penyakit kronis kompleks yang membutuhkan perawatan
medis yang lama atau terus-menerus dengan cara mengendalikan kadar gula
darah untuk mengurangi risiko multifaktorial.
Menurut PERKENI 2015, Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

B. Klasifikasi
1. Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.
Autoimun
Idiopatik
2. Tipe 2
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
3. Tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas (seperti Cystic fibrosis)
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ)
4. Diabetes melitus gestasional

3
C. Faktor Risiko
Pengujian Diabetes melitus tipe 2 harus dilakukan di semua orang dewasa
yang kelebihan berat badan atau obesitas (BMI 25 atau 23 di Amerika Asia)
yang memiliki faktor risiko diabetes 1 dari daftar berikut
1. Pengecekan seharusnya dimulai saat usia 45 tahun
2. Jika tes normal, tes ulang dilakukan minimal 3 tahun interval

Screening untuk prediabetes dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria


A1C, GDP, 2 jam PP dan setelah 75-g TTGO

1. Pada pasien dengan diabetes, identifikasi dan obati faktor risiko penyakit
kardiovaskular
2. Pengecekan mungkin dipertimbangkan pada anak dan remaja yang kelebihan
berat badan atau obesitas dan memiliki 2 atau lebih faktor risiko diabetes.

Faktor risiko Diabetes tipe 2

Ketidak aktifan aktivitas fisik


Riwayat keluarga Diabetes melitus
Ras/etnis dengan risiko tinggi
Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan >4000 gr atau riwayat DM
gestasional
HDL <35 mg/dL TG >250 mg/dL
Hipertensi (140 / 90 mmHg atau sedang terapi)
A1C 5.7%, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) maupun
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) pada pengujian sebelumnya
Kondisi yang terkait dengan resistensi insulin: obesitas berat, acanthosis
nigricans, PCOS
Sejarah CVD

4
D. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di
bawah ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Kriteria diagnosis Diabetes menurut ADA 2014

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,


bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

5
Tabel 4. Kadar tes laboratorium darah untuk diganosis diabetes dan
prediabetes.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):


Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dantetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelumpemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminumdalam waktu 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untukpemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah bebanglukosa.
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahatdan tidak
merokok.

E. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat

6
dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa
darah puasa. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass
screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya
tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan
adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat
pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa darah
sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada
tabel berikut.

Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa Plasma vena < 100 100 199 > 200
darah sewaktu Darah kapiler < 90 90 199 > 200
(mg/dl)

Kadar glukosa Plasma vena < 100 100 125 > 126
darah puasa Darah kapiler < 90 90 99 > 100

(mg/dl)

Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,


dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
resiko lain pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

7
F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Adapun tujuan khusus dari penatalaksanaan pada DM
adalah:
a. Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa


darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

Pilar penatalaksanaan DM :
Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani


selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan.

1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat.

8
Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.

2. Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
a. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat
tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)

9
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat
dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan
buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
c. Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll),
daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan
65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
d. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan
anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
e. Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran

10
serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
f. Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan
fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol
dan xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes
karena efek samping pada lemak darah.
Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake / ADI)

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke
pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM
dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.

11
4. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
a. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dantiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.
DPP-IV inhibitor
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahan
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
optimal
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.
Cara kerja utama Efek samping Penurunan A1C

12
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik, 1.0-2%
insulin hipoglikemia

Glinid Meningkatkan sekresi BB naik, 0.5-1.5%


insulin hipoglikemia

Metformin Menekan produksi Diare, dyspepsia, 1, 5 2,0 %


glukosa hati dan asidosis laktat
menambah
sensitivitas terhadap
insulin

Penghambat Menghambat absorbs Flatulens, tinja 0, 5 0,8 %


glukosidase alfa glukosa lembek

Tiazolidindion Menambah Edema 0,5 1,4 %


sensitivitas terhadap
insulin

Insulin Menekan produksi Hipoglikemia, BB 1,5 3,5 %


glukosa hati, naik
menstimulasi
pemanfaatan glukosa

DPP -4 inhibitor Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5 -0,8%


insulin, menghambat
sekrresi glukagon

Inkretin analog / Meningkatkan sekresi Meningkatkan 0,5 1,0 %


mimetik insulin, menghambat sekresi insulin,
sekrresi glukagon menghambat
sekrresi glukagon

13
b. Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyangtidak
terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

14
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin)
Efek samping terapi insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinyahipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin
yang dapat menimbulkan alergi insulinatau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi
insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi
insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan
glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai
dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan
untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal
(insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran
terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan
pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial
adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek

15
(short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial
dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali
insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau
penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi
pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1
bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain
adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada
proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

16
17
18
G. Pencegahan

H. Komplikasi

19
20

Anda mungkin juga menyukai