Sejarah JEN PDF
Sejarah JEN PDF
1. Bab Satu
Kilas Balik Kegiatan dan Awal Mula Pembentukan
2. Bab Dua
Kegiatan di Masa Kepimpinan yang Silih Berganti
dari
Tahun 1988-2005
3. Bab Tiga
Pandangan Pelbagai Pihak akan Peran JEN Saat ini
dan Mendatang
4. Bab Empat
Daftar Alamat dan contact person Anggota LA
JEN
Photo Kegiatan JEN dari Masa ke Masa
5. Bab Lima
Suplemen: Membangun Kapasistas
Membangun Kapasitas Meneliti: Suatu Kajian
Oleh Charles Surjadi Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma
Jaya
Pendahuluan
Tulisan ini disusun untuk menjelaskan sejarah Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN) agar
diketahui oleh peneliti yang bergabung di Lembaga Anggota JEN serta peneliti muda yang
menjadi anggota Lembaga Anggota JEN. Kilas balik ini juga dimaksudkan untuk anggota senior
JEN untuk menilai apakah semangat yang melatar belakangi pendirian JEN tetap terjaga dan
tujuan yang dicita-citakan sudah tercapai. Bagi masyarakat ilmiah lainnya tulisan ini juga
dapat merupakan masukan akan upaya pewujudan ide dan cita-cita dalam mengembangkan
masyarakat ilmiah terutama di kalangan pemerhati kesehatan masyarakat, epidemiologi dan
ilmu sosial, dan perilaku yang berkaitan dengan masalah kesehatan di Indonesia.
Pada bulan Desember 1987, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia dengan
dukungan Dr. Henry W. Mosley dan Dr. Michael J. Dibley - Program Officer dari The Ford
Foundation - menginisiasi sebuah kegiatan baru bernama Community Epidemiology Network
(CEN) sebagai upaya untuk membuat link antara pusat-pusat penelitian epidemiologi dengan
pusat-pusat penelitian sosial ke dalam satu jaringan.
Inisiatif membentuk jaringan dipandang sebagai satu langkah maju yang dapat membawa
organisasi-organisasi yang ada di Indonesia yang berada di wilayah yang cukup jauh satu sama
lainnya untuk memfokuskan diri pada kebutuhan masing-masing daerah, menghasilkan banyak
informasi yang bermanfaat serta kegiatan yang tidak tumpang tindih serta saling mendukung.
Dengan adanya sebuah jaringan antar lembaga, diharapkan lembaga anggota jaringan tersebut
bisa mengembangkan kemampuannya dalam rangka memecahkan masalah-masalah kesehatan
sosial yang diprioritaskan melalui pendekatan epidemiologi, ilmu sosial, serta manajemen
kesehatan masyarakat. Pada saat yang sama, Jaringan itu di tingkat nasional dapat ikut
membantu pemerintah memecahkan masalah melalui kegiatan di masing-masing pusat
penelitian yang dilakukan di tingkat sosial.(Dr. Budi Utomo, Progress Report & Evaluation,
1988-1990)
Menindak lanjuti hal tersebut di atas, pada tanggal 5-6 Maret 1988, dalam sebuah pertemuan
manajemen komunitas epidemiologi di hotel Sofyan, Jakarta, Dr. Michel J. Dibley,
MBBS.MPH., bersama beberapa ketua lembaga penelitian di beberapa kota di Indonesia
antara lain Prof. MK. Tajudin, Dr. Budi Utomo, Dr. Meiwita Budiharsana, Dr. Lily P. Kak, Dr.
A.A. Gde Muninjaya, Dr. Tonny Sadjimin, Dr. Julfita Rahardjo, Dr. Buchari Lapau, Dr. Rossi
Sanusi, Dr. Fatimah Muis, Dr. Rusdi Ismail, Dr. Farhan Hamid, Dr. Hadi Pratomo, Dr. Hudoyo
Hupudio dan Dr. Charles Surjadi, mendiskusikan bersama tujuan dan kegiatan dari sebuah
jaringan di Indonesia yang menjalin hubungan antar lembaga-lembaga penelitian dengan
menggunakan pendekatan epidemiologi dan sosial yang diawali dengan membangun jejaring
antara lembaga penelitian atau kelompok studi yang mendapat dana bantuan dari Ford
Foundation. Pertemuan ini dihadiri pula oleh perwakilan dari Population Council, Dr. Gour
Dasvarma, dan WHO, Dr. Robert Bernstein. (Progress & Financial Report, 1988)
Jaringan tersebut dibutuhkan karena adanya pluralisme masalah dan potensi masyarakat
Indonesia dan sumber daya dari masing-masing pusat penelitian/kelompok studi. Variasi
masalah kesehatan yang dijumpai membutuhkan upaya pengembangan kemampuan lokal untuk
mendiagnosis, menetapkan prioritas, mencoba alternatif, serta melakukan pembaharuan
program kesehatan dengan memperkuat sistem survailans kesehatan, sistem informasi
manajemen, serta program program latihan yang sesuai (Bulepin No. 1 September 1988).
Struktur Organisasi
Akhirnya pada pertemuan manajemen tersebut disepakati untuk mengubah kata komunitas
epidemiologi menjadi Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN) dengan 12 lembaga sebagai
kelompok inti Jaringan:
1. Pusat Penelitian Kesehatan (d/h. UPEKA) Universitas Indonesia, Depok
2. UPLEK FK Udayana, Denpasar
3. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Diponegoro, Semarang
4. CE & BU Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
5. Pusat Penelitian Kependudukan (d/h. PPT) LIPI, Jakarta
6. Perinasia, Jakarta
7. FETP, Depkes, Jakarta
8. BPPK Universitas Syiah Kuala, Aceh
9. KKP & LPD, Universitas Sriwijaya, Palembang
10. COME, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada
11. Pusat Penelitian Kesehatan (d/h. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan) Unika Atma
Jaya, Jakarta
12. Unit Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran, Bandung
Pada awal berdirinya sampai tahun 1989, Sekretariat JEN dibantu oleh Dr. Buchari Lapau
sebagai koordinator JEN. Sampai tahun 1990 Skretariat JEN juga mendapat bantuan tenaga
konsultan dari Ford Foundation: Lily P. Kak, PhD., yang aktif membantu mengembangkan
kegiatan-kegiatan JEN dan anggotanya.
Pada perkembangan selanjutnya, mulai Januari 1989 sampai September 1990, JEN dibantu
oleh Dr. Joedo Prihartono sebagai Sekretaris Eksekutif. Beliau mengemban tugas untuk
mengembangkan kegiatan bagi 12 anggota JEN yang berbeda jenis kegiatannya satu dengan
yang lain. Dalam perjalanan waktu, posisi Sekretaris Eksekutif ini berganti-ganti. Dari Dr.
Joedo Prihartono digantikan oleh Dr. Pandu Riono (periode kepemimpinan Prof. Budi Utomo),
kemudian oleh Dra. Ancilla Murdyastuti, kemudian digantikan oleh dr. Agustini Raintung
(Periode kepemimpinan Prof.Tonny Sadjimin), digantikan oleh Dr. Bambang Winardi, kemudian
dipegang kembali oleh Dra. Ancilla Murdyastuti (Periode kepemimpinan Prof. Satoto).
Mengingat kondisi keuangan JEN, pada periode Prof. Charles Surjadi dan Dr. Siti Pariani
tidak ada lagi posisi Sekretaris Eksekutif. JEN hanya dibantu oleh Dinni yang mengurusi
semua keperluan/ kegiatan sekretariat.
Dalam perkembangannya, Jaringan juga turut diwarnai oleh peran aktif para ahli ilmu sosial
yang dipelopori oleh Dr. Yulfita Rahardjo dari Pusat Penelitian Tenaga Kerja dan
Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPT-LIPI). Beliau sudah ikut serta
sejak awal pertemuan pendirian JEN .
Kegiatan Insidental
Pada saat ini JEN telah berkembang menjadi suatu jaringan yang merupakan gabungan dari
sejumlah lembaga penelitian yang berbasis epidemiologi dan sosial. Bahkan, banyak lembaga
lain maupun perorangan berminat untuk menjadi anggota Jaringan. Sementara itu, lembaga
anggota yang sudah menjadi anggota sejak berdirinya JEN juga berkembang. Ketua dan staf
dalam lembaga tersebut berganti sesuai dengan kondisi universitas dan institusi tempat
lembaga itu berada. Ada lembaga yang surut kegiatannya, ada pula lembaga yang berkembang
di lingkungan komunitas kesehatan masyarakat Indonesia, sejalan dengan perkembangan
perhatian dunia kesehatan masyarakat global maupun nasional.
Pelbagai isu kesehatan ikut mewarnai perkembangan JEN dan menjadi fokus perhatian. Isu
tersebut ialah isu Kelangsungan Hidup Anak (Child Survival), Peranan Antropologi dan Ilmu
Sosial dalam Kesehatan (Health And Social Antropology), Kesehatan dan Kematian Ibu
(Maternal Health and Mortality), Kesejahteraan Keluarga dan HIV/AIDS (family health
welfare and HIV/AIDS), Kesehatan Reproduksi (Reproductive Health) dan Desentralisasi
Kesehatan (Health Decentralization).
Kaderisasi
Ketua terpilih pada saat JEN didirikan adalah Prof. Budi Utomo yang saat itu menjabat
sebagai Kepala Pusat Penelitian LPUI. Prof. Budi Utomo selanjutnya terpilih menjadi Ketua
JEN untuk dua periode yaitu 1988-1989 dan 1990-1991.
Pemilihan ketua JEN awalnya dilakukan setiap tahun pada akhir kegiatan Temu Tahunan,
kemudian setelah pertemuan tahunan VI tahun 1992 di LIPI Jakarta, disepakati bahwa
pemilihan ketua dilakukan dua tahun sekali dalam kongres nasional JEN.
Selama masa kepemimpinan setiap ketua hingga saat ini, ternyata bahwa semua ketua yang
terpilih pada satu periode selalu mendapat suara untuk terpilih kembali pada periode
berikutnya. Oleh karena AD/ART JEN telah mengatur bahwa ketua terpilih hanya bisa
terpilih dalam dua periode kepemimpinan, pergantian ketua JEN selama ini menunjukkan
bahwa ketua terpilih terpaksa diganti sesuai dengan peraturan yang disepakati, bukan
karena kegagalan atau kekurangan ketua terpilih dalam menjalankan tugasnya selama periode
yang diembankan kepadanya. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap periode kepemimpinan,
ketua terpilih mempunyai visi dan misi yang sangat konstruktif untuk mengembangkan JEN
dan memperkenalkan JEN.
Kegiatan-kegiatan yang diadakan JEN selama ini merupakan salah satu tolok ukur kesuksesan
ketua terpilih pada masa kepemimpinannya. Sampai saat tulisan ini disusun, JEN telah berusia
17 tahun, sweet seventeen, sebuah usia yang seharusnya menunjukkan kematangan dan
kemapanan Jaringan yang telah dibangun.
Sesuai dengan umurnya dalam tubuh JEN saat ini banyak wajah baru, sementara wajah lama
masih ada yang terlibat, dan ada sebagian kurang aktif. Hal ini mengindikasikan bahwa proses
regenerasi sedang berjalan perlahan tapi pasti. Agar wajah-wajah baru yang terlibat dalam
aktivitas JEN tidak kehilangan arah dan dapat memahami visi dan misi JEN sejak pertama
kali didirikan, informasi tentang sejarah JEN ini merupakan hal yang amat penting.
Semangat dan cita cita pendirian JEN diharapkan dapt tetap lestari dan berkesinambungan
sehingga bermanfaat bagi perkembangan kesehatan masyarakat dan epidemiologi di
Indonesia. Selain itu, informasi ini juga dapat dijadikan sebagai bahan refleksi, guna melihat
sejauh mana cita-cita pendirian JEN sudah mencapai tujuan pendirinya 17 tahun yang lalu.
Dalam periode 17 tahun itu tidak dapat dilupakan peranan Ford Foundation melalui program
officernya yang telah memberikan perhatian dan dukungan atas keberadaan dan kegiatan
JEN. Beliau adalah Dr. Michael Dibley, Dr. Cynthia Minti, Dr. Rosalia Sciortino, dan kemudian
Dr. Meiwita Budiharsana, yang dengan gayanya masing-masing telah mendukung kegiatan JEN
dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tidak dilupakan pula peran Dr.
Henry Mosley yang memulai proses pemberian bantuan Ford Foundation pada lembaga
anggota pendiri JEN dalam kaitan pengembangan Epidemiologi Komunitas di kawasan Asia
Pasifik.
Untuk memudahkan mencerna perkembangan JEN maka uraian selanjutnya dilakukan sesuai
dengan periode kepengurusan dari tahun 1988 sampai dengan 2005 yang dimulai dari periode
kepemimpinan Prof. Budi Utomo, kemudian dilanjutkan oleh Prof. Tonny Sadjimin, kemudian
beralih ke Prof. Satoto, lalu ke Prof. Charles Surjadi, dan periode kepemimpinan berjalan
yaitu dr. Siti Pariani, PhD., dapat disimak di halaman berikut.
Bab Dua
Kegiatan di Masa Kepimpinan yang Silih Berganti
Tahun 1988-1991
Masa Kepeminpinan Prof. BUDI UTOMO, dr., MPH, PhD
CURRICULUM VITAE
Pendidikan
PhD 1996, Research School of Social Sciences, Australian National University,
Master of Public Health 1977, University of Hawaii, 1977
Dokter 1974, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pekerjaan
Juli 2000 2005, Country Director, Population Council, Indonesia
1985-1992, dan Direktur Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia
1997- Juli 2000
April 1998 - Profesor Kesehatan Masyarakat
1975 sekarang, Dosen pada Departemen Populasi dan Biostatistik FKM
UI, Jakarta
Pada saat didirikan JEN ini beranggotakan 12 lembaga yang tersebar di beberapa kota
Indonesia, disebut sebagai kelompok inti. Setiap kepala pusat penelitian adalah juga anggota
dari steering committee yang membuat keputusan bagi Jaringan.
Keduabelas lembaga yang menjadi kelompok inti JEN (Bulepin no.1 September 1988) adalah:
Meskipun organisasi ini terdiri dari anggota yang lokasinya saling berjauhan, terdapat satu
pusat yang berfungsi sebagai sekretariat yang bertugas sebagai penghubung di antara
anggota-anggota JEN. Semua kegiatan secara administrasi dilakukan di sekretariat ini.
Secara struktural sekretariat berada di bawah Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia, Kampus Depok, dan mendapat bantuan dana dari Ford Foundation.
Pada awal keberadaan JEN, dibentuk Task Forces yang terdiri dari tiga komponen:
a. Task Force on Management
b. Task Force on Computer Usage in Data Management, dan
c. Task Force on Information Retrieval
Task Forces ini dibentuk untuk membantu anggota JEN agar mereka dapat mandiri dalam
mengelola keberadaan unit masing-masing. Selain itu dibentuk pula Clearinghouse Activities
yang berfungsi sebagai pusat informasi anggota JEN; semua anggota memberikan informasi
tentang apa saja yang mereka lakukan serta publikasi yang dilakukan. Dengan demikian bila
ada anggota yang memerlukan informasi tertentu mereka dapat meminta ke sekretariat
dengan sedikit biaya pengganti.
Publikasi yang pertama kali diterbitkan oleh JEN adalah BULEPIN yang terbit 3 kali dalam
satu tahun; terbitan pertamanya adalah edisi September 1988 yang didistribusikan pada
bulan Oktober 1988. BULEPIN lebih ditujukan sebagai media saling tukar informasi antar
anggota JEN, yang beberapa artikelnya ditulis oleh anggota JEN yang membutuhkan
publikasi.
Selain itu beberapa training dan technical assistance juga dilakukan pada awal berdirinya
JEN, antara lain:
1. Puslitkes Unika Atma Jaya (d/h. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan) dibantu oleh
Pusat Penelitian Unika Atma jaya, menyelenggarakan pelatihan penggunaan SPSS
melalui komputer bagi anggota JEN, dan
2. Puslit Kependudukan LIPI (d/h. PPT LIPI), menyelenggarakan workshop
pengembangan modul kuesioner.
3. Kegiatan lainnya adalah dengan melatih beberapa anggota jaringan agar mereka dapat
menyumbangkan kemampuannya di dalam kelompoknya masing-masing.
Technical assistance juga dilakukan oleh JEN pada kegiatan Birthweigh Distribution, Low
Birth Weight and Perinatal Mortality in Seven Selected Rural Areas of Indonesia dan The
Management of Neonatal Asphyxia and Thermal Control at the Community Level in
Indonesia.
Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan JEN yang dilaksanakan pada masa kepemimpinan Prof.
Budi Utomo, MPH.:
Tahun 1988-1989
Temu Ilmiah
1988, Temu Tahunan I, Hotel Wisata, Jakarta 31 Oktober 4 November): Memperkuat
penggunaan ilmu epidemiologi sebagai alat untuk memecahkan masalah pelayanan
kesehatan primer in Indonesia . Pertemuan ini juga menyediakan forum bagi anggota
JEN untuk mereview kegiatan-kegiatan serta proposal-proposal anggota JEN.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai organisasi baik instansi pemerintah, LSM, maupun
lembaga donor yang ada di Indonesia. Pada kesehampatan ini 30 project review
dipresentasikan dalam sesi yang terpisah.
1989, Temu Tahunan II, Semarang, 20 25 November 1989: Memperbaiki Komunikasi
Kesehatan untuk Mencapai Sehat untuk Semua menuju tahun 2000
Pelatihan
1989 (Mei): Workshop on Qualitative Research Methods, Jakarta.
(Juni): Training on Epidemiology Methods, Yogyakarta.
(Juli-Agustus), Application of SPSS in Child Survival Research, Unila Atma Jaya,
Jakarta.
(September), Workshop on Qualitative Research Methods, Palembang
Proyek Penelitian
1989, KB Menyusui untuk meningkatkan kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia
Tahun1990-1991
Temu Ilmiah
1990, Temu Tahunan III, Bandung, 25 Novmeber 1 Desember: Memperbaiki Kualitas
Manusia Melalui Kesehatan Ibu dan Anak.
1991, Temu Tahunan IV, Yogyakarta, 2-6 Desember: Faktor yang Menentukan dan
Konsekuensi dari Kebijakan Kesehatan Menuju Perubahan Status Kesehatan di
Indonesia.
Pelatihan
1990 -Workshop mengenai Kesehatan Perempuan di Asia Tenggara, Hotel Indonesia,
Jakarta
-Workshop on the use of SPSS for Data Analysis, Unika Atma Jaya, Jakarta
Visi ke dalam:
JEN memfasilitasi penguatan kapasitas institusi anggota JEN dan penelitian, pelatihan,
konseling teknis bidang epidemiologi dan sosial, JEN bersikap responsif
Dengan cara membentuk pokja-pokja dengan fokus isu manajerial dan penelitian dimana
pokja-pokja tersebut beranggotakan personal institusi anggota JEN yang dianggap mampu
serta dapat meluangkan waktu. Juga melakukan publikasi
Visi ke luar:
JEN melalui institusi anggota JEN melahirkan hasil-hasil penelitian yang menanggapi
kebijakan dan program kesehatan prioritas
Melalui diseminasi kegiatan anggota JEN yang mendiskusikan hasil penelitian, temu tahunan
CURRICULUM VITAE
Pendidikan :
Master of Public Health 1977, The Johns Hopkins University, School of Hygiene
and Public Health, The Departemen of International Health
Master of Sciene 1983, McMaster University, Health Science Centre, the
Depart. Of Clinical Epidemiology and Biostatistic.
PhD 1986, The University of Western Ontario, The Faculty of Postgraduate, the
Depart. Of Epidemiology.
Fellowship 1996, Friedman Found, Social Medidine, Harvard University
Pekerjaan
1979 sekarang Dosen Bagian Ilmu Penyakit Anak, FK UGM
1987 sekarang Dosen Pasca Sarjana UGM
1996 sekarang Ketua Tim Ahli Gardunas TB, Depkes
1999 sekarang Konsultan Nasional Program ICDC Paket B, Depkes RI
Kepemimpinan JEN berpindah kepada Prof.Dr. Tonny Sadjimin dari CEBU FK UGM yang
terpilih pada pertemuan tahunan ke 4 di Yogyakarta. Kepemimpinan periode Prof.Dr. Tonny
Sadjimin dimulai pada awal Januari 1992 dengan tetap berkantor di Yogyakarta, sementara
sekretariat JEN tetap berada di UI Depok. Di samping memelihara komunikasi jarak jauh
melalui telpon, fax dan media lain, Prof. Tonny secara fisik berkunjung ke sekretariat JEN di
Depok setiap satu atau dua bulan sekali.
Fungsi steering committee adalah memberi nasihat kepada ketua dalam menjalankan hasil
keputusan rapat anggota.
Pada periode ini JEN mendapatkan grant dari Ford Foundation untuk proyek penelitian
AIDS di Indonesia bagi anggota JEN. Kegiatan ini bertujuan untuk menghimbau semua
anggota JEN agar melakukan penelitian yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Dari kegiatan ini
terdapat 32 penelitian yang terpilih dan dibiayai untuk dikembangkan.
Ke 32 hasil penelitian tersebut dipresentasikan pada Temu Tahunan JEN V di LIPI, Jakarta.
Pada pertemuan ini pula dihasilkan pernyataan tentang AIDS oleh anggota JEN serta
rekomendasi bagi program aksi tentang AIDS. Dari 32 hasil penelitian, JEN kemudian
membuat buku ringkasan berupa Executive Summary of AIDS Research Study yang dibuat
dalam bentuk monograph.
Sebagai kelanjutan dari kegiatan penelitian tersebut, pada bulan Juli 1992 JEN mengirimkan
perwakilannya untuk mengikuti konferensi AIDS sedunia di Amsterdam, yaitu:
1. Prof.Dr. Hadi Pratomo, MPH.
2. Prof.Dr. A.A. Gde Muninjaya, MPH., dan
3. Dra. Ancilla Murdyastuti, M.Ed.
Selain itu, JEN juga mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti konferensi internasional
tentang AIDS DI Asia dan Pacific pada bulan November, 1992 di New Delhi, India. Dana
pengiriman didapatkan dari pihak penyelenggara yang diupayakan oleh sekretariat JEN.
Personil yang dikirim oleh JEN adalah:
1. Dr. Paul F. Matulessy
2. Prof.Dr. Siti Fatimah Muis
3. Dra. Yayi S. Prabandari
4. Dr. Ova Emilia
5. Dr. SusantoTjokrosonto, dan
6. Dra. Ancilla Murdyastuti, M.Ed.
Pihak penyelenggara juga memberikan bantuan biaya bagi anggota JEN yang lain, yaitu
Prof.Dr. A.A. Gde Muninjaya, MPH. dan Dr. Surya Chandra Surapaty.
Pada tahun 1993 sekretariat JEN pindah dari kampus UI Depok ke Gedung Mochtar di
Penganggsaan Timur no. 16, Jakarta. Hal ini dilakukan karena lokasi sekretariat di Depok
terlalu jauh dengan pusat kota sehingga menyulitkan aktivitas JEN.
Pada tahun ini pula BULEPIN berubah menjadi Jurnal Jaringan Epidemiologi Indonesia. Untuk
menghimbau serta meningkatkan kreativitas anggota dalam menulis, JEN memberi award
kepada penulis terbaik yang tulisannya diterbitkan dalam Jurnal JEN. Award yang diberikan
berupa pembiayan untuk mengikuti Temu Tahunan JEN serta sertifikat best article in
Jurnal. Untuk menyebarluaskan informasi tentang kegiatan JEN atau kegiatan-kegiatan di
luar negeri yang relevan dengan misi JEN, sekretariat menerbitkan semacam berita
informasi yang diberi nama Brief Info. Brief Info disebarkan tidak saja untuk semua lembaga
anggota JEN tetapi juga instansi lain yang berminat.
Untuk mengukuhkan keberadaan JEN secara formal dan memperkuat JEN dalam upaya
pencarian dana, pada tahun 1994 secara resmi dikukuhkan menjadi yayasan. Keperluan
formalitas dan kebutuhan pencarian dana diperlukan karena JEN tidak mungkin bergantung
secara terus menerus kepada Ford Foundation.
Yayasan JEN didirikan oleh 13 orang yang berasal dari institusi anggota JEN dan bersifat
pribadi, artinya anggota badan pendiri tidak mengatasnamakan institusi masing-masiung.
Pengurus yayasan identik dengan pengurus JEN dengan mekanisme pemilihan sebagai berikut:
1. Institusi anggota JEN, dalam hal ini diwakili oleh ketua institusi atau staf yang
ditunjuk untuk mewakili institusi, melalui rapat anggota memilih 5 orang anggota
dewan pengarah yang salah satu di antaranya dipilih untuk menjadi ketua JEN. Ketua
JEN terpilih kemudian diajukan kepada badan pendiri yayasan untuk disetujui
menjadi ketua pengurus yayasan.
2. Untuk memperkuat kepengurusan, Ketua dibantu oleh seorang wakil ketua, yang
dipilih di antara 4 anggota dewan pengarah terpilih lainnya, dan sekretariat harus
berkedudukan di Jakarta. Wakil ketua JEN kemudian diajukan ke badan pendiri untuk
disetujui menjadi wakil ketua.
3. Dalam melaksanakan tugas hariannya, pengurus JEN mengangkat seorang sekretaris
eksekutif, yang kemudian diajukan kepada badan pendiri yayasan untuk disetujui
menjadi sekretaris yayasan.
4. Masa kepengurusan JEN/yayasan adalah 2 (dua) tahun.
Untuk memperluas Jaringan dan wilayah, JEN juga membuka diri bagi lembaga lain yang ingin
bergabung menjadi anggota. Penerimaan anggota baru diputuskan melalui rapat anggota
dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- institusi calon anggota sudah established, dan
- keahliannya (bidang spesialisasi lembaga tersebut) sangat dibutuhkan oleh JEN
Tahun 1992-1993
Temu Ilmiah
1992, Temu Tahunan V, Jakarta 30 November 4 Desember Meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap pencegahan AIDS,
Pelatihan
1992 - Workshop Penggunaan SPSS dan EPI Info untuk Data Analysis, Unika Atma Jaya,
Jakarta
- Seminar & workshop on social science & health research in Indonesia, Januari, Bali.
- The tenth scientific meeting of INCLEN, Januari, Bali, bekerjasama dengan
INCLEN
- Seminar & workshop on developing health research management manual, LIPI,
Jakarta
Proyek Penelitian
AIDS di Indonesia, berupa 32 studi penelitian pada kondisi perilaku sosial berkaitan dengan
AIDS di Indonesia.
1993
- Seminar & workshop dialog dan peran pemuka agama dalam pencegahan HIV/AIDS
di Indonesia, Jakarta
- Seminar perbaikan kualitas hidup lansia, Jakarta
- Workshop kualitas pelayanan jaminan kesehatan, Jakarta
Tahun 1994-1995
Temu Ilmiah
Temu Tahunan VI. Mengantisipasi pembangunan jangka panjang (PJP) II melalui perbaikan
kualitas jaminan kesehatan, Palembang, 2-7 Oktober
Pelatihan
1994, workshop pengembangan proposal AIDS, Jakarta
1995, workshop penulisan ilmiah, Jakarta
Proyek Penelitian
1995, KB Suntik
Visi Ketua II
Visi ke dalam:
Semua anggota JEN bisa menjadi pintar, terkenal dan kaya
Misi:
1. Pada setiap saat institusi anggota JEN harus mempunyai kegiatan penelitian yang masih
berjalan
2. Mencarikan sponsor penelitian yang akan dilaksanakan oleh institusi anggota JEN
3. Memberikan bimbingan kapasitas penelitian secara safari kepada semua institusi anggota
JEN
4. Mendekatkan JEN ke pengambil keputusan di Depkes
Mulai tahun 1994, JEN tidak lagi mengalokasikan dana untuk travel, perdiem dan akomodasi
bagi anggota JEN untuk setiap kegiatan yang dikoordinasikan oleh JEN
CURRICULUM VITAE
Nama : SATOTO
Tempat & tanggal lahir : Kudus, 21 April 1945
Status : Menikah, dengan 2 anak
Alamat kantor : Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro
Gedung Widya Puraya lt. II Pedalangan,
Tembalang, Semarang 50275 Gedung Widya
Puraya lt. II Pedalangan, Tembalang, Semarang
Telp & Fax. 024-746 0038
Pendidikan
Dokter- 1971, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Doktor - 1990, Universitas Diponegoro
Profesor 1997, Universitas Diponegoro
Pekerjaan
1997 sekarang , Direktur Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro,
Semarang,
1997 - Ketua Asian Red Cross/Red Crescent Task Force for AIDS
1997 - WHO Expert Committee on Integrating Child Development into
Nutrition Programme, 1997
1995 - Short-term Consultant/Resource Person of PCD/Oxford
University for development of School Health Programme in
Vietnam
1994 - Medium-term Consultant of Asian Development Bank (ADB) for
developing population programme ub tge Solomon Islands
1990 - Consultant to UNICEF-HQ, preparing assessment of growth
monitoring & promotion in China
Pada periode Prof. Satoto (Alm), dibuat konsolidasi organisasi untuk menyempurnakan tata
kerja organisasi JEN berkaitan dengan beberapa hal, yaitu:
- Perubahan anggaran dasar
- Penataan mekanisme
- Kelengkapan organisasi perkantoran JEN
Berdasarkan pemikiran tersebut maka diangkatlah direktur eksekutif JEN, yaitu dr.Bambang
Winardi (Alm). Bersamaan dengan pengangkatan tersebut terjadi perpindahan kantor JEN
dari Gedung Mochtar di Pegangsaan ke Gedung Puslitbang. Yantekkes. Di Departemen
Kesehatan, Jl. Percetakan Negara no. 23A, Jakarta.
Periode Prof. Satoto merupakan awal perubahan kebijakan penganggaran pemerintah dengan
terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia. Menyesuaikan kebijakan pemerintah serta
mengingat visi dan misinya, JEN sepakat untuk melakukan beberapa pembaharuan, yaitu:
- meningkatkan peranan JEN sebagai Jaringan dan forum konsultasi/pelayanan
- meningkatkan jumlah dan mutu penelitian dan pengembangan epidemiologi
- meningkatkan sistem informasi melalui jurnal, internet, dan pusat informasi
- menunjang kegiatan dari proyek HAPP yang diselenggarakan di Jakarta, Surabaya dan
Manado
Pada tahun 1997 Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional (Jurnal JEN) berubah nama menjadi
Jurnal Epidemiologi Indonesia (JEI) dengan maksud agar tidak berkesan eksklusif untuk
anggota JEN saja. Selanjutnya pada tahun 1998 Jurnal ini mendapatkan akrediatasi dari
DIKTI melalui surat keputusan no. 111/DIKTI/Kep/1998.
Pada tahun 1998 terdapat 3 institusi bergabung dengan JEN: kelompok Studi Epidemiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi, Manado, Pusat Penelitian Kesehatan
Masyarakat dan Kependudukan Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta dan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan setahun kemudian (1999) 3 institusi
mengundurkan diri: PPK Unsri mengundurkan diri karena kegiatan telah selesai, FETP dan
COME dianggap mengundurkan diri karena tidak pernah aktif lagi berkenaan dengan
selesainya proyek mereka dan peleburan institusi itu kedalam fakultas kedokteran. Jumlah
anggota JEN saat itu menjadi 18 institusi.
Pada pertemuan tahunan IX di Makasar, diputuskan bahwa pertemuan dua tahunan JEN untuk
selanjutnya dinamakan Kongres Nasional JEN.
Kegiatan-kegiatan JEN yang dilakukan selama kepemimpinan Prof. Satoto adalah sebagai
berikut:
Tahun 1996-1997
Temu Ilmiah
1996
- Temu Tahunan VII, Surabaya, 24-27 November: Re-konseptual untuk program aksi
- Seminar, Kesehatan Perkotaan Nasional, Jakarta
1997
Proyek Penelitian
Penilaian PMS ke 1: kasus manajemen dan prevalensi studi PMS pada PSK di Jakarta,
Surabaya dan Manado
Tahun 1998-2000
Temu Ilmiah
1998
- Temu Tahunan VIII, Denpasar, 24-28 November: Kesehatan reproduksi remaja
1999
-Temu Tengah Tahunan IX, Makasar 8-9 November: Dampak krisis ekonomi terhadap
pembangunan kesehatan di kawasan Indonesia Timur
2000
- Kongres Nasional JEN IX, Unika Atma Jaya, Jakarta, 7 November: Kesehatan
Perkotaan di Indonesia: Masalah kesehatan Remaja dalam era desentralisasi.
Pelatihan
1998, - Workshop Documenting Best Practices in HIV/AIDS Program (Denpasar)
1999, - Seminar Internet dan Kesehatan Masyarakat (Jakarta)
Proyek Penelitian
1998, - Penilaian kualitas manajemen PMS di fasilitas kesehatan terpilih di Jakarta,
Surabaya dan Manado
1999, - Penilaian PMS ke 2: kasus manajemen dan prevalensi studi PMS pada PSK di
Jakarta, Surabaya dan Manado
Apa yang diperlukan di masa mendatang: JEN (sudah) mengalami tiga fase kehidupannya,
yaitu:
Periode-1:Establishment
JEN didirikan 1987 karena adanya common interest tentang pengembangan organisasi
peminat epidemiologi di Indonesia. Common interest tersebut didukung penuh oleh Ford
Foundation dengan penyediaan dana modal (seed money) kepada para organisasi JEN
Founders, dana operasional untuk JEN sendiri, dan dukungan kerjasama dengan berbagai
organisasi internasional lain. Dalam periode ini, dipimpin pak Budi dan pak Tonny, JEN
berada dalam puncak kejayaannya. rasa kebersamaan antara anggota tinggi, berbagai
program berjalan dengan dukungan partisipasi anggota.
Periode-2:Transition
Selama masa kepemimpinan saya, JEN mulai mulai mengencangkan ikat pinggang. Dukungan
dana dari Ford Foundation dihentikan, JEN bertopang pada kemampuan manajemen
mengelola sisa dana yang kian tipis dan kemampuan untuk menyusun proposal dan
melaksanakan kegiatan penelitian, serta menyisihkan dana untuk menopang manajemen JEN.
Sementara itu, keanggotaan JEN membengkak, anggota baru bermunculan, sementara
beberapa anggota mengundurkan diri.
Ciri yang mencolok dalam periode ini sulitnya menyeimbangkan kepentingan organisasi
anggota JEN masing-masing dengan kepentingan bersama JEN dalam keterbatasan
pendanaan yang ada. Sehingga acap muncul pikiran di kalangan petinggi organisasi anggota
JEN: yah pakai JEN manakala ada untungnya saja, kalau tidak ya balik ke organisasi
masing-masing saja.
Kegiatan JEN terfokus pada keaktifan beberapa anggota terkait metoda dan lokasi proyek
penelitian. Sehingga kadang timbul salah kesan di kalangan anggota bahwa JEN tidak
memperlakukan anggotanya secara adil.
Untungnya, dalam situasi seperti itu, JEN didukung sistem manajemen yang baik, melalui
berbagai 'bongkar pasang', (upaya mengontrak pak Bambang yang agak kurang berhasil,
kesungguhan cinta Ancilla kepada JEN, dan akhirnya Dinni yang cinta dan kesetiaannya
kepada JEN tak diragukan lagi). Peranan pak Charles (sebagai Wakil Ketua) yang memiliki
jaringan luas juga sangat mendukung, terutama untuk mencari proyek penelitian. Dukungan
Depkes, terutama Badan Litbang (bisa disebut nama Agus Suwandono) dengan mendaftarnya
P4K sebagai anggota, peminjaman Ruang Kantor di Jalan Percetakan Negara untuk JEN, juga
sangat membantu.
Kesan saya: yaaaaah, tambah sebaris kalimat, karena jarak dan kesibukan, saya tidak bisa
'full' di JEN, namun pelajaran yang terpenting ialah bahwa 'segila' apa pun keinginan kita,
kalau beberapa orang memiliki 'common interes' dan 'willing to share for its
achievement', jadi tuh. Hidup menjadi lebih hidup jua.
Periode-3: Independence
Dalam periode ini (mencakup separuh jamnya pak Charles ke depan), JEN harus merdeka,
mandiri dan dewasa. 'Sangu/bekal'nya lumayan banyak. Organisasi JEN yang nggak mati-
mati, beberapa physical items (kantor & segala peralatan dan kepustakaan), jurnal dan modal
yang terpenting yang dimiliki JEN ialah kegigihan dan kecrewetan Charles, Muninjaya,
Pariani, Sustini, Hadi Pratomo, dkk. di semua lokasi organisasi anggota JEN untuk selalu
'uplek' men-JEN-kan diri. Untuk mimpi atau ngelindur sekalipun, kadang tentang JEN, dan
selalu mengingat JEN setiap kali ada masalah kesehatan di Indonesia.
Tantangan terbesar yang dihadapi JEN ialah eksistensinya sebagai Kelompok Epidemiologi di
Indonesia. Tantangan ini harus dijawab dalam bentuk pernyataan-pernyataan dan kajian-
kajian cepat dan kajian mendasar jangka panjang tentang berbagai hal terkait kesehatan
masyarakat. Agar orang di luar sana tahu apa itu JEN, dan kapan bangsa Indonesia
memerlukan JEN.
Rules untuk masalah akut ialah (misalnya) H+3 selalu ada pernyataan petinggi JEN tentang
segala sesuatu (misalnya, yang kemarin belum: flu burung, antrax, malaria di Jawa Barat,
Aceh, dllsbg). Untuk yang mendasar, yuk kita bikin buku tentang reformasi dan
desentralisasi kesehatan yang nggak selesai-selesai.
Tantangan berikutnya ke depan ialah karena keterbatasan dana yang beredar di udara, maka
kalau JEN mau exist terus, perlu sedikit 'menggeser diri' menjadi konsultan sesuai Kepres
No.80 (dan penggantinya tahun 2005 - Din, dicarikan nomernya ya) dan juga di tingkat
internasional (dealing with pinjaman luar negeri di Indonesia) yang aktif seeking for
opportunity to do health consultancy dan kumpulin uang untuk menopang eksistensi JEN.
Saya tidak tahu apa seorang Executive Secretary atau Executive Director masih diperlukan
untuk menggerakkan roda gila JEN (di bawah pengurus JEN)? Kalaupun iya, nampaknya
mencari figur yang tepat sangat prominen untuk keberhasilannya. Mudah-mudahan ada
kawan-kawan di Jakarta yang memenuhi kriteria untuk mengemban tugas itu.
Jurnal adalah bukti kepiawaian JEN. Karenanya, upaya publikasi menarik untuk didalami. Ford
Foundation dan organisasi internasional lain kadang memiliki dana untuk mendukung
penerbitan buku dll. dalam tema tertentu. JEN dapat seek ke sana.
Tahun 2001-2005
Masa Kepempinan Prof.CHARLES SURJADI, dr., MPH, PhD
CURRICULUM VITAE
Nama : Charles Surjadi, M.D., M.P.H. Ph.D. Tempat & tgl. lahir :
Jakarta, Juni, 1951
Alamat kantor : Center for Health Research, Atma Jaya Catholic University
Jalan Jenderal Sudirman 51, P.O. Box 2639
Jakarta 10001, Indonesia
Status : Menikah mempunyai 2 anak
Pendidikan
Dokter - 1976, Fakultas Kedokteran University of Indonesia, Jakarta
Master of Public Health - 1981, University of the Philippines,
Manila, Institute of Public Health
Ph.D. 1997, Faculty of medicine University Amsterdam The Netherlands
Profesor Kesehatan Masyarakat FK Unika Atmajaya - 1999
Pekerjaan
2003 -2005, Kepala Puslitkes Unika Atmajaya
1997- saat ini, Dosen bagian ilmu kesehatan masyarakat FK Unika Atmajaya
1988 1996, Ketua Kelompok Studi Kesehatan perkotaan UNIKAAtma Jaya
Berdasarkan hasil rapat anggota pada kongres JEN IX tahun 2000 di Jakarta, Prof. Charles
Surjadi terpilih menjadi Ketua JEN untuk periode berikutnya. Dalam rapat anggota tersebut
terdapat perubahan rencana strategis yang pernah ditetapkan dalam Temu Tahunan JEN VII
dan disempurnakan menjadi:
1. Visi: Pada tahun 2010, JEN menjadi Jaringan yang berhasil mengembangkan kegiatan
lembaga anggota JEN (LA-JEN) dalam bidang epidemiologi dan ilmu-ilmu sosial
kesehatan, untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan dan memelihara
kesehatannya sesuai dengan potensi dan kondisi yang ada.
Kemudian rapat organisasi yang sama juga menyepakati untuk membentuk peningkatan potensi
pusat dan regional berupa:
Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selama periode Prof. Charles Surjadi,
dr., MPH, PhD
Tahun 2001-2002
Temu Ilmiah
2001 -Dialog interaktif penanganan masalah lanjut usia di Indonesia, 12 September,
LIPI, Jakarta
2002 - Temu Tengah Tahunan X, Unika Atma Jaya, Jakarta 27-28 April: Kesehatan kota &
lansia.
Pelatihan
2002, - Komunikasi Kesehatan: Disaster Management, 25-26 April, Unika Atma Jaya
Temu Ilmiah
2003 - Kongres Nasional JEN X. Penanggulangan penyakit dalam upaya peningkatan
kesehatan
keluarga di era otonomi daerah (Malang, 30 Januari 1 Februari)
2004 -Temu Tahunan XI, Universitas Airlangga, Surabaya, 14 Februari : Tantangan
pengembangan kesehatan reproduksi di tingkat kabupaten/kota di Indonesia
Pelatihan
2003 - Model & Praktek Pelayanan Dokter Keluarga Berbasis Mutu, Malang, 28-29
Januari.
- Disaster Management, Malang, 28-29 Januari.
- Best Practice, DBD, Malang, 28-29 Januari
2004, - Workshop PRA tentang kesehatan remaja dan lansia, Surabaya, 14 Februari.
Proyek Penelitian
2004 - Advokasi Kesehatan Reproduksi bagi anggota legislative di 4 kota: Jakarta,
Bandung, Surabaya dan Mataram. Mei 2002-2004.
Seminar
- Beberapa kegiatan Seminar DBD bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Prop. DKI
Jakarta, di Jakarta: 3 April 2004, 22 Mei 2004, 26 Mei 2004, 1 Juli 2004, 7 Juli
2004.
- Seminar Kesehatan Reproduksi, Jakarta: 2-4 April 2004
- Forum Kesehatan Reproduksi bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Prop. DKI
Jakarta dan Puslit. Kesehatan Unika Atma Jaya, Jakarta: 2004 sekarang
- Simposium di Medan yang diinisiasi oleh Epi-Treat PS USU dengan tema Penerapan
Surveilans Epidemiologi untuk menjawab Tantangan Pembangunan Kesehatan di Era
Otonomi Daerah dalam Menuju Indonesia Sehat tahun 2010 pada tanggal 15 Juli
2004 bertempat di Hotel Danau Toba International Medan
Tahun 2005
Yang terlaksana
Di beberapa kota anggota JEN aktip menfasilitasi forum kesehatan reproduksi sebagai
sarana kemitraan dengan dinas kesehatan dan LSM kesehatan, dan ditingkat pusat mulai
tersedia dana endowment untuk pendirian kantor sekretariat yang permanen.
CURRICULUM VITAE
Pendidikan
Dokter 1975, Fakultas Kedokteran University Airlangga, Surabaya
Master of Science - 1987, University of Southern California
Ph.D. 1989, Faculty of Sociology University of Southern California
Pekerjaan
- sekarang Kepala Bagian IKM KP FK Unair
2001 sekarang Ketua KSE FK Unair th 2001 - sekarang
2005 sekarang Ketua JEN th 2005 - sekarang
2006 sekarang Anggota KDKI (Kolegium Dokter Keluarga Indonesia)
Berdasarkan hasil rapat anggota pada kongres JEN XI tahun 2005 di Makassar, Siti Pariani,
dr., PhD terpilih menjadi Ketua JEN untuk periode berikutnya. Dalam rapat anggota tersebut
terdapat beberapa catatan untuk program pengurus dalam dua tahun ke depan:
Tahun 2005-2006
Temu Ilmiah
- Kongres Nasional JEN XI di Makassar, 8-11 Juni 2005 bekerjasama dengan Puslit.
Pangan Gizi & Kesehatan Universitas Hasanudin mengambil tema Bersatu Membangun
Kesehatan Masyarakat Indonesia Pasca Tsunami
- Seminar Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi Auditorium LIPI Jakarta,
16 Agustus 2005, bekerjasama dengan BKKB Prov. DKI Jakarta & Puslit.
Kependudukan LIPI
- Seminar Kelangsungan Hidup Ibu Bayi dan Anak (KHIBA), Atma Jaya Semanggi,
Jakarta, 28 September 2005, bekerjasama dengan BKKB Prov. DKI Jakarta &
Puslitkes. UAJ
- Seminar Peningkatan Peran Provider dalam Program KB Mandiri Atma Jaya
Semanggi, Jakarta, 29 September 2005, bekerjasama dengan BKKB Prov. DKI
Jakarta & Puslitkes. UAJ.
- Temu Tahunan JEN XII Upaya Penanggulangan Kurang Gizi/ Busung Lapar di
Indonesia dari pelbagai perspektif, Auditorium FK Usakti, Jakarta, 23 Agustus
2006, kegiatan ini bekerjasama dengan Puslitkes. Masyarakat & Kependudukan
Lemblit Usakti.
- Sebagai fasilitator dalam menyelenggarakan raker BKS IKM KP KK dalam upaya
membahas kurikulum dokter di Indonesia dengan tema Upaya mendidik dokter agar
dapat melakasanakan pelayanan kesehatan primer seperti upaya penanggulangan
masalah gizi di masyarakat dengan pendekatan keluarga, Jakarta, 22 25 Agustus
2006
Penelitian
- Focus Group Discussion Assessment Gizi di Jakarta dan Surabaya dengan bantuan
dana dari World Vision International, Agustus September 2005. Kegiatan di
Surabaya di lakukan oleh KSE FK Unair sedangkan di Jakarta dilakukan oleh Puslitkes
UAJ.
- Development of Reproductive Health Services for Adolescent Student at University
as a Model of Socialization of Reproductive Health Services in Three Cities in
Indonesia, 2005-2006. Kegiatan di Jakarta di lakukan oleh Puslitkes UAJ, di
Surabaya oleh KSE FK Unair sedangkan di Semarang oleh Puslitkes Undip. Kegiatan
ini mendapat bantuan dari the Ford Foundation.
- Nutritonal Status of People with HIV/AIDS in Selected Area Province in Indonesia.
Januari-Desember 2006. Kegiatan di Jakarta di lakukan oleh KSEGK UKI & RSPI SS,
di Surabaya oleh KSE FK Unair & RS.Dr. Soetomo sedangkan di Makassar dilakukan
oleh Puslit. Pangan Gizi & Kesehatan Unhas & RS.Dr. Wahidin. Kegiatan ini mendapat
dukungan dari IHPCP-Jakarta.
Pelatihan
- Evidence Base Public Health dilaksanakan dalam rangkaian Konas JEN XI di
Makassar, 8-9 Juni 2005.
- Workshop 1 Nutritonal Status of People with HIV/AIDS in Selected Area Province
in Indonesia 13-14 Maret 2006 di Hotel Mandarin Surabaya. Kegiatan di Jakarta di
lakukan oleh KSEGK UKI & RSPI SS, di Surabaya oleh KSE FK Unair & RS.Dr.
- Workshop 2 Nutritonal Status of People with HIV/AIDS in Selected Area Province
in Indonesia Bapelkes Cilandak Jakarta, 17-18 Juni 2006. Workshop 3 Nutritonal
Status of People with HIV/AIDS in Selected Area Province in Indonesia 16-18 Julit
2006 di Hotel Atlantik Jakarta.
Lain-lain
- Pembuatan buku pedoman gizi untuk odha, dilaksanakan oleh Dr. Paul F. Matulessy,
MN. Bekerjasama dengan Depkes dan LSM terkait dengan dukungan dana dari WHO.
- Round Table Discussion Penelitian Kesehatan & Program Kesehatan yang
Berdasarkan Fakta: Antara Harapan & Kenyataan, bekerjasama dengan Puslit.
Kependudukan LIPI, Auditorium LIPI, Jakarta, 4 Oktober 2006.
Tahun 2007
- Seminar Nutritonal Status of People with HIV/AIDS in Selected Area Province in
Indonesia, 6 Februari 2007, Hotel Shangri-La Surabaya
- Seminar Gizi bagi ODHA, 7 Februari 2007, Hotel Shangri-La Surabaya
- Workshop Gizo HIV/AIDS bagi Petugas Kesehatan 4 Februari 2007 Hotel
Mandarin Surabaya & 5 Februari 2007 di RS. Dr. Soetomo, Surabaya.
- Berpartisipasi pada Pertemuan Nasional HIV/AIDS ke 3 di Hotel Shangri-la
Surabaya dengan mengikutsertakan anggota JEN yang abstraknya diterima dalam
sesi makalah bebas dan poster
- Roundtable discussion Penelitian HIV/AIDS: antara fakta dan harapan
bekerjasama dengan KPAN, 6 Februari 2007. Hotel Shangri-la Surabaya.
- Seminar Upaya peningkatan kesehatan seksual di kalangan Mahasiswa di Semarang,
Jakarta dan Surabaya di Gd. Antonius Unika Soegijapranata, 28 Februari 2007.
Bekerjasama dengan Unika Soegijapranata Semarang.
- Seminar Upaya peningkatan kesehatan seksual di kalangan Mahasiswa di Semarang,
Jakarta dan Surabaya: Tindak Lanjut di UI Depok, 19 April 2007. Bekerjasama
dengan Universitas Indonesia
- Kongres Nasional JEN XII Mencapai Sasaran Pembangunan Millenium dalam Situasi
Bencana dan Krisis Kesehatan, Semarang, 20-21 Juli 2007. Bekerjasama dengan
Univ. Diponegoro, Unika Soegijapranata dan Univ. Negeri Semarang.
Fellowship:
Menjawab tawaran Fellowship dari Ford Foundation maka JEN mengajukan beberapa calon
untuk mengikuti kursus Social Epidemiology di Florence Italia selama 2 minggu. Ford
Foundation memilih 2 orang anggota JEN untuk mengikuti kursus ini pada bulan Juni 2007.
Mereka yang mewakili JEN adalah Dr. Sri Sunarti dari Puslit. Kependudukan LIPI dan dr.
Regina Satya dari Puslit. Kesehatan Unika Atma Jaya. Diharapkan setelah mengikuti pelatihan
ini dapat ditularkan ilmunya kepada semua anggota JEN melalui pelatihan serupa yang
rencananya akan diselenggarakan oleh JEN.
Visi Ketua V
Visi:
Mengembangkan jaringan penelitian kesehatan yang kuat untuk membantu memecahkan
masalah kesehatan di Indonesia dengan pendekatan epidemiologi
Misi:
1. Menjalin hubungan antar anggota di bidang informasi kesehatan/sharing informasi
2. Capacity Building
3. Multicenter study
4. Membuat modul epidemiologi bagi dokter puskesmas (field epidemiology) dan
clinical epidemiology untuk dokter di rumah sakit
5. Membuat case study dokter keluarga di Jakarta, Malang & Surabaya
Yang terlaksana :
Dalam tahun pertama periode kepemimpinan (2005-2006) baru beberapa anggota JEN saja
yang terlibat dalam kegiatan penelitian, mudah-mudahan dalam periode mendatang target
yang diinginkan dapat terlaksana
- Pandangan Pelbagai Pihak akan Peran JEN Saat ini dan Mendatang
Pendahuluan
Sejarah perkembangan JEN mau disusun? Untuk apa? Siapa akan mendapat manfaat apa?
Pertanyaan kritis seperti ini mungkin tidak terdengar oleh pengurus tetapi dirasakan oleh
anggota.
Komentar ini saya susun berdasarkan hasil pengamatan sejak awal JEN terbentuk. Secara
emosional saya terlibat dengan proses pembentukan dan pengembangan JEN, meskipun
skenarionya dan format pengembangannya sudah disusun oleh sang sutradara yaitu Michael
Dibley dari FF Jakarta dan wakil sutradaranya (DR. Budhi Utomo) ketua JEN yang pertama.
Mungkin tanggapan saya ini kurang objektif karena lebih banyak menggunakan persepsi saya
sendiri. Tetapi, itulah tanggapan yang saya bisa berikan sesuai dengan permintaan pengurus.
Kelemahan lainnya muncul dari keragaman profil organisasi anggota JEN yang tersebar luas di
seluruh Indonesia. Keunikan yang ada pada JEN karena keanggotaannya beragam belum
dikelola dengan baik oleh pengrus JEN. Keramagan anggota harus dikelola agar mendapatkan
manfaat bersama. Keragaman LA JEN memang dirancang sejak awal. Ada LA JEN yang sudah
eksis sejak lama karena memang sudah menjadi bagian dari lembaga penelitian sebuah
universitas. Frekwensi dan kapasitas penelitian yang dilakukan oleh staf juga berbeda,
demikian pula dengan kapasitas staf untuk meraih dana dari donor, dan pendekatan
epidemiologi atau ilmu-ilmu sosial yang digunakan, organisasinya berbentuk LSM atau tidak
dsb. Keragaman latar belakang LA JEN seperti itu akan lebih sulit digerakkan jika pengurus
JEN tidak memiliki visi dan misi yang jelas, apalagi persaingan terselubung antar LA JEN
dibiarkan semakin berkembang.
Kalau ingin mengembangkan peran JEN ke depan lebih efektif, kajian kilas balik ini sebaiknya
digunakan untuk menyusun strategi baru untuk mengubah peran JEN sebagai mitra kerja
pemerintah. Ini tantangan untuk pengurus JEN yang baru. Untuk masing-masing LA JEN,
perannya akan lebih dirasakan penting di era desentralisasi ini karena Pemda khususnya Dinas
Kesehatan membutuhkan bantuan dari pihak untuk mem-back-up capacity building staf dan
organisasi Dinas, RS dan Puskesmas. Diharapkan masing-masing LA JEN akan mampu
memanfaatkan kesempatan yang terbuka lebar di era otonomi ini.
Sekretariat JEN
Investasi dana untuk tugas-tugas sekretariat belum dirasakan manfaatnya oleh L.A. JEN dan
anggota. Pernah, JEN menggunakan seorang sekretaris eksekutif yang tugas utamanya adalah
mengendus dana dan program donor yang dapat dimanfaatkan oleh JEN. Tetapi dana yang
diperoleh dari pihak donor belum sebanding dengan besarnya investasi yang dilakukan oleh
pihak JEN untuk menggajih sekretariat.
Sekretariat juga memungut iuran dari anggota. Tetapi iruran ini kurang dirasakan manfaatnya
oleh anggota terutama anggota yang tidak memiliki anggaran mencukupi. Kalau sekretariat
JEN kurang dirasakan manfaatnya, hapus saja sekretariat JEN. Aset JEN kemudian dijual.
Untuk itu, sistem pemilihan ketua JEN juga sebaiknya diubah. Ketua JEN ditetapkan secara
paket bersamaan dengan lembaga anggota JEN yang akan menjadi penyelenggara kongres dua
tahun kemudian. Sekretariat LA JEN bertindak sebagai sekretaiat JEN sampai
penyelenggaraan kongres JEN selesai. Jadi tugas utama ketua dan LA JEN adalah
menyelenggarakan kongres dan mengembangkan komunikasi dengan anggota JEN lainnya dan
pengurus JEN. Pendapat ini saya usulkan karena JEN saat ini tidak punya dana untuk
membayar sekretariat yang fungsi dan tugasnya dianggap kurang efektif.
Journal JEN
Sebaiknya JEN tidak menerbitkan Journal epidemiologi Indonesia. Tugas ini sebaiknya
diserahkan saja kepada Asosiasi Epidemiologi Indonesia yang keanggotaannya bersifat
perorangan. Biarkan lembaga yang menerbitkannya journal epid. Indonesia karena lembaga ini
lebih pantas melakukannya. Selain itu, JEN tidak punya staf atau dana, karena orang-orang
yang menjadi staf LA JEN sudah sibuk mengugurus tugas-tugas yang diberikan oleh
lembaganya sendiri.
Saya berharap, pertemuan tahunan dan dua tahunan dapat dijadikan ajang saling tukar
menukar pengalaman dan hasil penelitian serta pengembangan proposal baru oleh anggota,
atau untuk merancang model intervensi masalah kesehatan masyarakat yang berkembang
khas di setiap daerah. Asalkan dirancang dengan baik, saya percaya, donor juga tertarik
untuk membiayai pertemuan JEN. Programnya PMPK UGM yang terkait dengan desentralisasi
sangat diminati oleh para ketua Dinas Kesehatan karena mereka sangat membutuhkan
pertemuan seperti itu untuk refreshing mereka. Mengapa JEN sebagai forum tidak mencoba
memanfaatkan isu desentralisasi kesehatan sebagai skenario pertemuan tahunan JEN, tetapi
skenario bisa saling melengkapi dengan PMPK. Peran yang menonjol dari JEN adalah mengkaji
penyelenggaraan program kesehatan untuk intervensi masalah kesehatan yang potensial
berkembang di daerah dikaji dari aspek epidemiologi dan ilmu-ilmu sosial.
Penutup
JEN sudah berumur 17 tahun; eksistensinya di Indonesia sudah mulai diakui oleh
stakeholders terutama Depkes dan donor Agencies. Umur 17 tahun bagi manusia adalah umur
yang penuh gairah menghadapi masa depannya. Bagi JEN, umur 17 tahun juga sudah dianggap
matang untuk berkembang sendiri. Pertanyaannya, apakah JEN sudah berkembang menjadi
organisasi yang belajar (a learning organization)?
Kondisi JEN saat ini barangkali adalah saat yang kritis. Apakah JEN akan terus dibiarkan
berkembang dengan jumlah anggota yang semakin besar tetapi kehilangan arah dan jati diri
sebagai organisasi yang memanfaatkan ilmu epidemiologi dan ilmu-ilmu sosial? Apa yang kita
pakai untuk mengukur produktifitas JEN dan lembaga anggota JEN? Era desentralisasi dan
reformasi ini adalah momen yang cukup strategis.
Banyak isu kesehatan di daerah yang bisa dikaji oleh JEN seuai dengan kapasitas kita sebagai
jaringan lembaga penelitian. Untuk itu, kapasitas organisasi harus dibenahi dulu. Mudah-
mudahan pengurus JEN mampu mewujudkan harapan anggota ini.
Keterlibatan
Pertama kali saya terlibat pada kegiatan Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN) pada Temu
Tahunan V pada tanggal 29 Nopember 1992 sampai dengan 2 Desember 1992 di Jakarta.
Temu tahunan tersebut mengambil tema tentang Meningkatkan Kepedulian Masyarakat dalam
Penanggulangan AIDS. Keterlibatan saya sebagai peserta Lokakarya Intervensi Perilaku,
Pembicara tentang Pencegahan pada Remaja dan Komentator Makalah.
Saya merasa terkesan sekali dengan pertemuan itu karena menerima saya sebagai pembicara
sekaligus menjadi komentator makalah orang. Padahal saya tidak bekerja di perguruan tinggi
sebagai peneliti maupun dosen pada saat itu. Apalagi yang hadir pada pertemuan itu yang
paling dominan adalah berlatarbelakangkan dokter dengan gelar lebih dari satu. Kelompok
penggerak nampak penuh kepercayaan diri dan diperhitungkan oleh pemerintah, terbukti
seluruh peserta bisa diterima oleh Gubernur DKI Jaya.
Lalu yang kedua saya diundang kembali menjadi peserta dan pembawa makalah di Palembang
dalam Pertemuan Tahunan VI pada 2 7 Oktober 1994. Makalah saya tentang Pendidik
Sebaya di Kalangan Pelacur kemudian dibukukan oleh Universitas Atmajaya. Acara yang kedua
tidak sesemarak yang pertama.
Berikutnya saya mengikuti acara pertemuan tahunan sebagai peserta di Bali, Surabaya,
Jakarta, Malang dan Bandung. Kecuali pada pertemuan di Malang dan Bandung yang terakhir
saya diminta menjadi pembicara dan komentator yang terkait dengan advokasi ke legislatif
bersama Zumrotin dari Komnas Ham. Kemudian saya sedikit terlibat pada acara JEN di
tingkat lokal Surabaya yang terkait dengan advokasi dengan adanya Forum Kesehatan
Reproduksi. Jadi penilaian pribadi berikut adalah berdasarkan pengetahuan dan pembicaraan
yang saya dapat dari semua pertemuan yang saya sebutkan di atas.
Organisasi
Saya termasuk salah satu orang yang menggagas tentang ide sinergi antara LSM dengan
perguruan tinggi dalam posisi yang setara bukan subordinat. Teori ilmu-ilmu sosial idealnya
diangkat dari realitas sehari-hari yang terjadi yang kemudian dialektikakan. Bagi saya ada
kemandengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan kesehatan di Indonesia.
Psikologi, antropologi dan sosiologi kesehatan yang diberikan kepada mahasiswa jauh dari
persoalan riil yang ada di masyarakat. Teori-teorinya tidak membumi. Kalaupun mau membumi,
biasanya pembahasan tidak mendalam karena pengetahuan dan keterlibatan dosen secara
tidak langsung pada persoalan nyata yang ada. Padahal di era HIV/AIDS dan kesehatan
seksual saat ini, memerlukan keterlibatan disiplin ilmu tersebut untuk menggerakan
perubahan perilaku dan masyarakat yang memberdayakan. Nampaknya ilmu tersebut
diberikan kemudian tidak terpakai di lapangan. Kekosongan tersebut kemudian diisi oleh
orang-orang medis yang menaruh perduli pada masalah sosial. Dominasi pendekatan medis
tentu tidak bisa dihindari. Hanya sayang mereka tidak terlatih secara mendetail
mengaplikasikan ilmu-ilmu sosial.
Karena itu sebagai orang lapangan yang bertemu dengan masalah-masalah riil yang ada di
masyarakat dari hari ke hari, saya melihat kebutuhan akan intervensi yang lebih kuat dari
sekedar kerja lapangan untuk menyadarkan masyarakat akan perilakunya yang tidak sehat.
Pemikiran yang dikembangkan untuk intervensi di lapangan yang terkait dengan kesehatan
seksual dan HIV/AIDS masih berkiblat pada pemikir-pemikir barat. Menurut saya pemikiran
yang dipakai di Indonesia perlu melalui proses adaptasi karena konteks sosialnya berbeda.
Bahkan di Indonesia pun ada berbagai konteks sosial yang berbeda.
Dalam kerangka kebutuhan untuk mendapatkan intervensi yang lebih berdampak, maka saya
mencoba untuk menjalin kolaborasi dengan perguruan tinggi dan atau lembaga penelitian,
termasuk niat untuk menjadi anggota JEN. Ide untuk menjadi anggota JEN pernah saya
lontar secara pribadi. Katanya, sekarang terbuka untuk menjadi anggota JEN bagi LSM.
Namun hingga sekarang belum ada tawaran. Bagi saya organisasi JEN bersifat ekslusif,
kolektif dan lebih bersifat kelembagaan dengan menarik pimpinan-pimpinan strategis
perguruan tinggi yang terkait dengan penelitian, juga didominasi dari kalangan kedokteran.
Keanggotaan seperti itu memiliki kelemahan yang menghalangi JEN untuk menjadi pusat
pemikiran epidemiologi di Indonesia dan menjadi agent perubahan masyarakat. Jadi tidak ada
inovasi dalam pendekatan organisasi karena pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
yang hirarkis dan paternalistik.
Pimpinan lembaga yang terlibat pada JEN sering mendelegasikan tugasnya ke staf dan staf
yang terlibat juga bervariasi. Begitu banyak orang yang terlibat sehingga program yang
muncul tergantung pada latar belakang orang-orang yang mengelolanya. Fokus perhatian dan
persoalan menjadi hilang. Lalu yang nampak adalah presentasi pemikiran di forum-forum yang
ada, dengan tidak ada pretensi untuk melakukan intervensi yang serius.
Di era kepemimpinan Prof. Charles mulai digagas untuk mengaplikasikan pengetahuan ke dalam
program praktis dengan program advokasi ke legislatif beberapa daerah di Indonesia. Begitu
juga pada kepemimpinan Dr. Siti Pariani yang hendak menerapkan program intervensi
kesehatan reproduksi pada anak muda di Perguruan Tinggi. Perubahan kebijakan JEN yang
hendak mengaplikasikan penelitian ke dalam program aksi saya kira merupakan tantangan
besar. JEN dengan penggeraknya banyak yang belum terlatih bekerja sebagai akademisi yang
aktifis. Selama ini gerak mereka adalah akademisi yang belum terlatih keluar dari pakem yang
ada.
Program intervensi di lapangan seperti itu jauh hari telah diterapkan oleh LSM kesehatan
reproduksi dan HIV/AIDS. Pengalaman belajar yang bisa dipetik dari keberhasilan maupun
kegagalan LSM, saya kira perlu disimak agar JEN tidak tersandung pada masalah yang sama
yang pernah dialami oleh LSM.
Pendanaan
Katanya JEN mendapat dana besar dengan banyak proyek penelitian, ketika program
officernya adalah Michael Dibly dan Cynthia Myntti yang bekerja di Ford Indonesia sampai
dengan September 1993. Dana yang besar dimungkinkan karena ketika itu The Ford
Foundation masih mengembangkan program epidemiologi masyarakat. Ketika The Ford
Foundation beralih ke program kesehatan reproduksi nampaknya pendanaan ke JEN menjadi
lebih terbatas pada isu yang terkait dengan program baru yang dikembangkan seperti AIDS
dan kesehatan reproduksi remaja. Setelah pertemuan tahun 1992 kelihatannya dana dari
Ford untuk penelitian tidak lagi kelihatan.
Terkait dengan partisipasi dan pendanaan pada kegiatan pertemuan JEN, pertemuan tahun
1992 saya membayar sendiri semuanya. Begitu juga dengan pertemuan pada tahun 1994 (pada
saat itu saya belum masuk dalam jaringan kerja The Ford Foundation). Selanjutnya saya
didanai oleh The Ford Foundation langsung dalam kaitan dengan masalah kesehatan
reproduksi remaja dan HIV/AIDS. Lalu yang terakhir didanai oleh JEN dengan dana The
Ford Foundation.
Katanya kemunculan JEN di Indonesia karena dorongan The Ford Foundation. Karena itu
program-program yang digagaskan tergantung sekali pada pendanaan The Ford Foundation.
Situasi seperti itu bukanlah situasi yang ideal karena keberadaannya tergantung pada faktor
luar yang dinamis sekali. Sekalipun The Ford Foundation sebagai penggagasnya tetapi
keberadaan JEN tidak ada hubungan langsung. Karena itu jalannya organisasi dan program
tergantung pada visi dan misi serta masalah aktual yang dihadapi masing-masing organisasi.
Berdasarkan pengalaman sebagai Direktur Eksekutif yang telah lama berhubungan dengan
donor, saya melihat bahwa donor tidak ada yang mau terikat lama dengan lembaga yang
dibantu untuk isu yang sama. Topik keberlangsungan program merupakan topik yang
menentukan donor mau memberi bantuan atau tidak. Bantuan biasanya diberikan untuk
pemancing kembangkan program baru yang inovatif. Setelah itu ada asistensi untuk
kemandirian lembaga yang dibantu.
Selain isu keberlangsungan program yang saya kira juga diterapkan pada JEN yang telah
mendapatkan bantuan besar dari The Ford Foundation untuk waktu yang relatif lama; saya
melihat terjadi titik penting yang berpengaruh pada jalannya JEN ketika The Fod Foundation
di bidang kesehatan beralih strategi dari dukungan ke epidemiologi masyarakat ke hak dan
kesehatan reproduksi yang dimulai tahun 1990an.
Kesan saya, The Ford Foundation memainkan peranan penting dalam kaitannya dengan
Konferensi Kairo dan Beijing. Barangkali The Ford Foundation mengambil peranan sentral
dalam menyukseskan rencana aksi kedua konferensi tersebut di Indonesia.
Lalu perubahan besar apa yang terjadi sebagai konsekwensi dari strategi program baru yang
ditetapkan oleh The Ford Foundation tersebut? Sesuai dengan amanat rencana aksi
Konferensi Kairo dan Beijing maka pertama, isu keterlibatan LSM sebagai pilar yang akan
membawa perubahan sosial kesehatan yang memperjuangkan dan memasukkan unsur hak
kesehatan reproduksi dan seksual menjadi besar. Kedua, perempuan sebagai korban dari
policy kependudukan yang selama ini banyak yang berfokus pada populasi dengan mengabaikan
hak perempuan, menjadi perhatian serius The Ford Foundation. Ketiga, isu sosial kesehatan
mendapat tempat yang luas, karena definisi kesehatan reproduksi dari Konferensi Kairo
meliputi aspek fisik, psikis, dan sosial. Di Indonesia masalah sosial dan psikologis yang terkait
dengan kesehatan reproduksi belum dikembangkan.
Konsistensi The Ford Foundation sebagai pemegang amanat pelaksana rencana aksi Kairo dan
Beijing nampak pada kepempimpinan program officer kesehatan Reproduksi : Rosalia
Sciortino (1993-1999) dan Meiwita Budiharsana (1999-2005). Sekalipun mereka berdua
berlatar belakang ilmu yang berbeda namun mereka nampaknya menjadi pengemban visi dan
misi yang sama atau searah. Perbedaan tekanan memang nampak namun arahnya tidak
berbeda jauh. Saya melihat The Ford Foundation di negara lain juga memiliki visi dan misi
yang sama. Mereka bersama-sama sering merancang program bersama di mana saya sering
terlibat.
Jadi saya melihat adanya strategi baru yang diambil oleh The Ford Foundation dalam
kaitannya dengan kesehatan pada awal tahun 1990an tidak begitu menguntungkan JEN karena
JEN tidak terlibat langsung dan menfokuskan diri pada urusan pekerjaan LSM, perempuan
dan kesehatan sosial. Tidaklah mengejutkan kalau kemudian muncul keluhan dari pengurus
maupun anggota JEN pada The Ford Foundation. Bagi JEN ketiga isu tersebut bukanlah isu
sentral.
Saya sebagai aktifis LSM, bekerja terutama untuk pembelaan perempuan dan kesehatan
sosial pernah mendapat kritik keras atas komentar saya di pertemuan tahunan JEN oleh
salah satu anggota yang akhir-akhir ini tidak aktif di JEN. Dia terkejut sekali dengan apa
yang saya katakan termasuk style saya yang langsung kritik tanpa tedeng aling-aling. Kritik
yang disampaikan secara informal tersebut saya kira bisa mewakili pikiran komunitas JEN
yang belum memahami dunia LSM yang bekerja di isu perempuan dan kesehatan sosial.
Ketidakpahaman tersebut saya kira menjadi sumber tiadanya apresiasi yang serius.
Nampaknya LSM masih dianggap kacau balau dalam soal penelitian dan tidak mampu
melontarkan pemikiran inovatif yang bisa melahirkan teori baru. Dalam hal ini saya kira JEN
perlu mengubah diri kalau ingin berkontribusi pada perubahan sosial dalam memperjuangkan
kesehatan sebagai hak asasi manusia termasuk perempuan.
Sebenarnya sayang sekali kalau dikaitkan dengan nama yang diemban. Seperti Yayasan AIDS
Indonesia yang harusnya menjadi LSM payung bagi LSM HIV/AIDS di Indonesia namun
nyatanya YAI seperti LSM HIV/AIDS yang lain. YAI peranannya ada pinggiran saja sekarang
ini. Malah namanya hampir tidak pernah terdengar dalam program penanggulangan
HIV/AIDS.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin pertama karena JEN tidak menfokuskan diri pada isu
tertentu. Semua yang terkait dengan epidemiologi nampaknya menjadi perhatian JEN. Karena
itu jaringan yang dibangun menjadi sangat luas dan tidak komprehensif karena tergantung
pada isu. Kedua, JEN tidak menunjukkan usaha untuk mengatasi masalah epidemiologi secara
langsung. Kiprahnya terbatas pada penelitian dan pertemuan. Dampak secara langsung dari
kerja JEN sulit dievaluasi karena apa yang dikerjakan bersifat memperkaya pengetahuan
anggota dan orang-orang yang terlibat.
Saya kira, alasan itulah yang membuat lembaga donor tidak begitu tertarik memberi dana
pada JEN karena kaitan langsung untuk melakukan intervensi ke masyarakat tidak begitu
nampak.
Harapan
Sebenarnya JEN bisa jauh lebih banyak berperanan karena anggotanya adalah elite/tokoh di
tempat masing-masing. Kalau ada penggerak yang menyatukan mereka kedalam satu visi yang
jelas, saya yakin mereka akan menjadi agent perubahan kesehatan masyarakat yang penting.
Di beberapa tempat di dunia selama ini, dokter merupakan agent perubahan masyarakat yang
penting terutama yang membawa masyarakat yang masih irasional berubah menjadi rasional
dalam masalah perilaku kesehatan.
Di Indonesia pun seperti itu. Tokoh pergerakan di Indonesia banyak yang berlatar belakang
dokter. Peranan dokter di daerah terpencil nampak menonjol. Mereka dalam kapasitas
tertentu mengganti posisi dukun. Sayangnya akhir-akhir ini posisi itu tidak lagi ditunjukkan,
terutama di saat isu hak asasi manusia mencuat.
Banyak dokter yang bersikap defensif untuk menghadapi tuduhan malpraktek yang
dilontarkan dengan seenak perut sendiri oleh orang-orang yang mau mencari keuntungan
pribadi. Sekarang ini tidak aneh lagi, kalau melihat pengacara yang tidak punya nama
berkeliaran di rumah-rumah sakit besar untuk mempengaruhi pasien yang mendapatkan
musibah.
Bagi saya dunia kedokteran tetap menjadi harapan penggerak perubahan masyarakat.
Mengapa? Pertama, masalah kesehatan merupakan masalah vital manusia. Di dalamnya terkait
banyak hal yang menentukan hidup manusia. Kedua, praktek kedokteran adalah profesi yang
tertua sehingga telah mengembangkan metodologi yang mantap dalam melakukan pelayanan.
Ketiga, metodologi yang dikembangkan bersifat praktis karena langsung dan terus menerus
diuji ke manusia yang dilayaninya. Untuk bisa menjadi tenaga penggerak perubahan positif
masyarakat maka orang-orang kedokteran perlu bersikap terbuka menerima dan mengolah
perubahan yang terjadi secara produktif.
Bab Empat
7 Pusat Penelitian Pengembangan Sistim & - Jl. Percetakan Negara no. 23A T & F) 021-4211013
Kebijakan Kesehatan Badan Penelitian Jakarta 10560
dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI T) 031-3528748
- Jl. Indrapura no. 17, Surabaya
Jakarta, Ketua: Dr. Suwandi Makmur, MM. 60176 F) 031-3528749
sumartono@yahoo.com
Dr. Andryansyah: 0811 349 015
10 Pusat Penelitian Pengembangan Ekologi Jl. Percetakan Negara no. 29 T & F) 021-42872392
Badan Penelitian Pengembangan Depkes RI Jakarta 10560 tppek@litbang.depkes.go.id
Kepala: Dr. Faizati Karim, MPH.
Pusat Penelitian Pengembangan
11 Pemberantasan Jl. Percetakan Negara no. 29 T) 021-4245386
Penyakit (P5) Jakarta 10560 F) 021-4244693
Badan Penelitian Pengembangan Depkes RI dragus@indosat.net.id
Kepala: Dr. Erna Tresnaningsih
15 Clinical Epidemiologi & Biostatistic Unit RS. Dr. Sardjito T & F) 0274 - 563388
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada Jl. Kesehatan no. 1 cebu@yogya.wasantara.net.id
Ketua: Dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc. Yogyakarta
Prof. Tonny ; 0811 2939 50 tsadjimin@yogya.wasantara.net.id
17 Unit Penelitian Latihan Epidemiologi Klinik Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali T & F) 0361-226346
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana uplek@denpasar.wasantara.net.id
Ketua: Prof.Dr. A.A. Gde Muninjaya, MPH.
23 Kelompok Peminat Study Epidemiologi Jl. Veteran, Malang, Jawa Timur T) 0341-575 848 / 564 755
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya F) 0341-575 849
Ketua: Dr. Siswanto, MSc. ikm@mail.fk.unibraw.ac.id
0812 3302 661 Dr. Hanafi: R) 0341-472 821
27 Epi-Treat Unit Program Pasca Sarjana Jl. Sivitas Akademika T & F) 061-821-1369
Universitas Sumatera Utara Kampus USU, Medan 20155
Ketua: Prof.Dr. Sori Muda Sarumpaet drnovida@yahoo.com
0811 - 640 351 sorimuda_sarumpaet@yahoo.com
28 Pusat Kajian Kesehatan Masyarakat Gedung F Kampus Sekaran, G. Pati T & F) 024 - 8508107
Jurusan IKM FIK Lemlit Univ. Negeri
Semarang Semarang ikm-unnes@telkom.net
Kepala: Dr. Oktia Woro KH, M.Kes.
29 Kelompok Kajian Lansia Universitas Respati Indonesia T) 021 - 8458258
Prof.Dr. Tri Budi W. Rahardjo Jl. Bambu Apus I no. 3, Cipayung F) 021 - 8457628
Dra. Atik Kridawati Jakarta Timur 13890
30 Pusat Riset Epidemiologi & Surveilens Gedung A lt. 1 Depok T) 021-7863474/ 78849031
Dept. Epidemiologi FKM UI F) 021-78849032
Ketua: Prof. Nasrin Kodim, dr
Institute of Health Economics of Policy Jl. Ir. Sutami no. 36A, Surakarta
31 Studies 57126 T) 0271 - 634 004
Fak. Kedokteran Univ. Sebelas Maret F) 0271 - 664 178
Ketua: Bhisma Murti, dr., MPH.MSc.PhD. / ikmuns@yahoo.co.id
Sekr: Ari N. Probandari, dr., MPH. 0813 - 2804 8659
Abstrak
Makalah ini menguraikan pengertian dan ruang lingkup membangun Kapasitas Meneliti
(research capacity building), faktor yang berkaitan dan kegiatan mengembangkan kapasitas
penelitian, dan mendiskusikan upaya yang sebaiknya dilakukan dalam membangun Kapasitas
Meneliti. Kapasitas Meneliti adalah meningkatkan dan membangun 1) Ketrampilan, 2)
Keterkaitan dengan program aksi, 3)Kerjasama,4)Diseminasi, 5)Infrastruktur, dan 6)
Keberlanjutan. Di sampi itu perlu juga dikembangkan lingkungan yang mendukung budaya
meneliti berupa antara lain penghargaan, manajemen waktu dan sumber daya, dan
menyediakan unit pendukung. Satu hal penting lain dalam membangun Kapasitas Meneliti ialah
menetapkan tolok ukurnya sehingga proses penilaian dapat dilakukan. Hal ini berguna untuk
merancang kegiatan peningkatan kapasitas meneliti sesuai dengan kondisi lokal. Dikemukakan
juga perlunya kesepakatan tentang agenda pengembangan kapasitas riset kesehatan serta
fokus kegiatan di tingkat nasional. Agenda tersebut hendaknya disepakati dan dirancang
bersama oleh segenap pemangku kepentingan, sehingga penelitian kesehatan yang dilakukan
dan pengembangan kapasitas meneliti dapat sejalan dengan rencana peningkatan
kesejahteraan bangsa dan negara.
Pendahuluan
Salah satu hambatan dalam mengembangkan sistim kesehatan yang efektif ialah kurangnya
data lokal tentang masalah kesehatan masyarakat dan cara menanggulanginya. Hal ini terjadi
karena terbatasnya ilmuwan dan profesional lokal yang dapat melakukan penelitian yang
berkualitas1. Data masalah kesehatan masyarakat tingkat lokal dan faktor yang berkaitannya
dibutuhkan untuk merumuskan kebijaksanaan dan program yang sesuai dengan kondisi dan
budaya lokal. Di samping itu adanya penelitian yang berkualitas akan mendorong digunakannya
hasil penelitian untuk kebijakan dan program. 2.3 Untuk ini diperlukan upaya membangun
kapasitas penelitian di tingkat lokal dan upaya mengembangkan sistim penelitian kesehatan
nasional. 4 Membangun kapasitas riset terutama riset yang multidisplin di bidang kesehatan
dibutuhkan untuk membantu upaya mencapai target Millenium Development Goal.5,6
Perguruan tinggi yang menghasilkan penelitian yang diakui di tingkat nasional dan
internasional merupakan salah satu ukuran keberhasilan suatu universitas. Bagi kaum
profesional, membangun Kapasitas Meneliti berkaitan erat dengan upaya meningkatkan
kontribusi profesi tersebut untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu upaya membangun
Kapasitas Meneliti di kalangan profesional kesehatan seperti perkumpulan dokter, menjadi
perhatian asosiasi profesional tersebut. Hal ini tidak hanya menjadi perhatian profesional di
negara berkembang akan tetapi juga di negara maju seperti misalnya Kanada dan Australia.7
Dilaporkan bahwa dokter praktek umum lebih sedikit melakukan penelitian dibandingkan
dengan dokter di bidang penyakit dalam, bedah, dan kesehatan masyarakat.8
Makalah berikut ini ditulis dengan harapan menjadi masukan dan bahan diskusi bagi penentu
kebijakan dan peneliti di kalangan universitas maupun perkumpulan profesional. Makalah ini
menguraikan pengertian dan ruang lingkup membangun Kapasitas Meneliti (research capacity
building), kegiatan mengembangkan kapasitas penelitian, dan mendiskusikan upaya yang
sebaiknya dilakukan dalam membangun Kapasitas Meneliti. Walaupun bahasan yang dilakukan
lebih banyak menyangkut Kapasitas Meneliti di bidang kesehatan masyarakat, uraian pada
makalah ini dapat juga dipakai sebagai masukan pada bidang keilmuan lainnya.
Upaya membangun Kapasitas Meneliti akan lebih mudah dipahami bila dilihat dalam kerangka
yang lebih luas yaitu mengembangkan kapasitas (capacity development). Sejak tahun 1950
sampai tahun 1990, hal ini menjadi perhatian kerjasama teknis pembangunan.9 Akan tetapi,
pada periode itu perhatian lebih diutamakan pada apa dan mengapa/what and why, sedangkan
tentang how atau bagaimana kurang dibahas. Oleh karena itu kegiatan pengembangan
kapasitas pada masa itu lebih didominasi pada pengembangan sumber daya fisik, manusia, dan
keuangan daripada perencanaan dan manajemen. Baru setelah tahun 1990 perhatian pada
bagaimana mengelola kegiatan membangun kapasitas mendapat perhatian.
Dari definisi tentang membangun Kapasitas Meneliti yang diuraikan itu dapat diketahui
membangun kapasitas riset mencakup beberapa komponen seperti tujuan, upaya, sarana/
input dan lingkungan yang mendukung termasuk proses manajerial dalam mengelolanya.
Gambaran kegiatan dan output/hasil dari membangun kapasitas meneliti dipelihatkan pada
Gambar 1. Di sini digambarkan secara skematis enam faktor utama yang berkaitan dengan
membangun kapasitas meneliti, tiga dimensi kapasitas meneliti yang dibedakan atas tingkatan
dan ruang lingkup, dan ada tidaknya tim/pusat unggulan.
Gambar 1. Satu Kapasitas Meneliti, ukuran, dimensi serta faktor faktor yang berkaitan
Kapasitas Meneliti
Infrastuktur Kontinuitas
Manajemen Keberlanjutan
Kepemimpinan
Dari Gambar 1 di atas terlihat ada lima hal yang berkaitan dengan kapasitas meneliti yaitu: 1)
untuk apa, 2) untuk siapa, 3) karakteristik, 4) hasil, dan 5) dampaknya. Selain itu Kapasitas
Meneliti itu dapat dibedakan atas tingkat individu, kelompok kerja, institusi/lembaga, dan
jejaring.
Untuk apa. Institusi/lembaga, organisasi perlu menetapkan dengan jelas untuk apa dilakukan
kegiatan dan kebijakan membangun Kapasitas Mneliti; ummnya,upaya peningkatan Kpasitas
Mneliti di idang kesehatan difasilitasi oleh lembaga donor dengan tujuan ada data yang diakui
kualitasnya sehingga berdasarkan data itu dapat dirancang upaya perbaikan kesehatan yang
sesuai dengan keadaan dan budaya lokal. Dengan demikain,tujuan membangun Kpasitas Mneliti
adalah agar ada kemampuan melakukan penelitian yang berkualitas sehingga ada fakta lokal
untuk perbaikan kesehatan.
Untuk siapa. Prlu dirumuskan siapa target sasarannya apakah masyarakat miskin,
departemen kesehatan, pemerintah daerah, lembaga penelitian,dan lain lain. Secara umum,
ibedakan atas peneliti, lembaga peneliti, dan sistim yang lebih besar seperti universitas,
negara, regional, dan internasional.
.
Karakteristik Kapasitas Penelitian. Umumnya, yang ingin dikembangkan adalah kapasitas
peneliti dan lembaga penelitian. Untuk ini sebaiknya diperhatikan karakteritistik dari
kapasitas penelitian yaitu: a)fleksibel, b)dinamis, c)sistematik, d)memberdayakan peneliti dan
organisasinya, dan e)proses pembelajaran yang terus menerus. Karakteristik lanilla hdala
berprinsipkan tatakelola yang baik/good governance yang bercirikan responsif pada
kebutuhan anggota dan segenap pemeran/stakeholders, partisipatif, transparan,
merata/equitable, akuntabel, berorientasi pada konsensus, efektif dan efisien, strategik
(mencakup rencana jangka pendek dan jangka panjang, dan berorientasi pada perubahan yang
lebih baik), dan dilakukan berdasarkan komitmen yang disepakati. Semua ini harus dipimpin
oleh pemimpin yang mempunyai komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat.
Hasil. Indikator hasil, pada tahap awal dapat berupa jumlah peneliti yang terlatih yang
melakukan penelitian, jumlah publikasi yang dihasilkan, sumber daya keuangan yang diraihnya,
jumlah lembaga donor yang diajaknya membiayai penelitian yang dilakukan. Pada tahap lebih
lanjut diukur dari jumlah laporan riset yang dihasilkan dan dipublikasi serta jumlah laporan
riset yang digunakan sebagai acuan untuk kebijakan dan pelaksanaan program. Termasuk
dalam indikator hasil adalah keikutsertaan peneliti dalam pengambilan keputusan dalam
lembaga nasional dan asosiasi profesi dan lain-lain (lihat Tabel 1).
Indikator. Indikator dampak diukur dari segi jumlah progam kegiatan yang dirancang dan
diperbaiki berdasarkan hasil riset yang dilakukan serta peningkatan anggaran yang
dialokasikan pada kelompok masyarakat yang diteliti dan akhirnya peningkatan status
kesehatan masyarakat yang terjadi karena perubahan kebijakan dan program yang difasilitasi
oleh hasil penelitian atau program penelitian aksi.
Kegiatan membangun kapasitas meneliti, pada gambar satu digambar sebagai kotak luar.
Kegiatan itu dibedakan pada enam bidang utama yang saling berkaitan satu sama lain. Keenam
bidang itu ialah 1) Membangun ketrampilan dan kepercayaan, 2) Mengaitkan penelitian dengan
aksi/program, 3) Kerjasama dan kolaborasi, 4) Diseminasi yg tepat guna, 5) Kontuinitas dan
keberlanjutan, dan 6) Infra stuktur
Yang dimaksud kerjasama adalah adanya dua atau lebih pihak yang sepakat untuk melakukan
kegiatan untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama. Hal ini dipandang sebagai salah satu
komponen penting penguatan kapasitas penelitian.
Untuk melakukan kerjasama ada tiga hal yang harus diperhatikan: 1) Konstruksi filosopis yang
mendasari kerjasama antara partner 2) Adanya ketertarikan yang sama tentang riset
tertentu atau tujuan tertentu 3) Adanya kecocokan individu antara institusi yang bekerja
sama. Selain itu dalam melaksanakan kerjasama dibutuhkan dukungan institusi.19
Ada sepuluh prinsip kemitraan dalam penelitian yaitu 1)Tentukan tujuan bersama, 2) Bangun
dan kembangkan kepercayaan secara timbal-balik/mutual, 3) Share informasi dan
kembangkan jejaring kerjasama, 4) Distribusikan serta sharing tanggung jawab, 5) Awasi dan
evaluasi kerjasama yang dilakukan, 6) Diseminasi hasil, 7) Laksanakan perbaikan, 8) Sharing
keuntungans secara merata, 9) Tingkatkan kapasitas meneliti, dan 10) Membangun dari hasil
yang dicapai
Berkaitan dengan proses kerjasama adalah adanya dukungan staf adminstrasi dan sekretariat
yang mengenal pelbagai lembaga dan cara komunikasinya dalam kaitan pengajuan dana dan
riset proposal riset serta membuat laporan riset. Hal ini akan memperlancar upaya
membangun kontinuitas dan keberlanjutan karena secara berkala pelbagai lembaga dapat
memberikan informasi akan kegiatan dan kerjasama yang dikembangkannya.
Selain itu, staf adminstrasi dapat membantu tim peneliti untuk secara berkala membuat
lembar informasi tentang kegiatan dan agenda riset serta kapasitas peneliti dari tim
peneliti, lembar informasi ini secara berkala dikirim ke pelbagai institusi sebagai langkah awal
untuk menjamin kontinuitas dan keberlanjutan tim peneliti.
6.Infra stuktur
Infrastruktu yang mendukung penguatan kemampuan peneliti tidak hanya dana dan peralatan
akan tetapi organisasi dan kemampuan manajerial pimpinan lembaga peneliti, peneliti dan tim
peneliti. Yang diharapkan secara efisien dan tepat guna mengelola penelitian. Adanya ukuran
keberhasilan serta proses penilaian/apraisal secara berkala tentang infrastruktur termasuk
kinerja manajemen merupakan unsur mutlak dalam proses membangun Kapasitas Meneliti.
Karakteristik kepemimpinan dengan prinsip good governance seperti yang dikemukakan dalam
pengembangan kapasitas dalam proses pembangunan yang bercirikan ciri responsif pada
kebutuhan anggota dan segenap pemeran/stakeholders, partisipatif, transparan, merata/
ekuitabel , akuntabel, berorientasi pada konsensus, efektip dan efisien , strategik (mencakup
rencana jangka pendek dan jangka panjang, dan berorientasi pada perubahan yang lebih baik),
merupakan proses pembelajaran bersama yang dilakukan berdasarkan komitmen yang
disepakati merupakan unsur penting dalam mengembangkan kapasitas penelitian.
Ukuran infra struktur, di samping dana dan waktu yang dialokasikan oleh tim peneliti dan staf
pendukung, mencakup pula hal lain yaitu: struktur supervisi dan mentorship, pengembangan
peneliti dan tim peneliti yang bereputasi, proses penilaian/apraisal secara berkala, sistim
authorship dalam proyek penelitian, dan sistim pengembangan karier peneliti dan tim peneliti
. Berkaitan dengan infrastruktur perlu disadari bahwa sumber daya dari sistim yang ada
merupakan interaksi dari keahlian, motivas,i dan peluang yang ada ( Sumber daya sistim =
keahlian X motivasi X kesempatan ). Selain itu, dari segi organisasi atau manajemen, perlu
disadari empat faktor yang saling berkaitan yaitu: 1) Dinamika politik organisasi, 2) Peneliti;
kualitas dan kuantitas termasuk reputasi , 3) Struktur dan sumber daya, dan 4) Budaya, nilai
dan lingkungan yang mendukung. Interaksi keempat faktor itu digambarkan pada gambar pada
annex Gambar 1.
Dari evaluasi proyek pengembangan kapasitas meneliti di pelbagai negara20 dikemukakan
beberapa langkah mengembangkan kerjasama dalam kaitan membangun Kapasitas Meneliti .
Langkah tersebut ialah: 1) Memonitor lingkungan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan
kesempatan untuk melakukan perubahan organisasi, 2) Mengkaji strategi organisasi, 3)
Mengidentifikasi kebutuhan penguatan kapasitas, 4) Membuat rencana upaya penguatan dan
pengembangan kapasitas, 5) Melakukan negosiasi untuk dukungan pihak luar, 6) Menglola
kegiatan pengembangan kapasitas, dan 7) Memonitor dan mengevalusasi kegiatan
pengembangan kapasitas
Pengalaman di Mancanegara
Pada bagian ini uraian pengalaman membangun kapasitas meneliti di mancanegara
dikelompokkan dalam enam bidang kegiatan yang digambarkan pada kotak luar pada Gambar 1
yaitu meningkatkan dan membangun 1)Ketrampilan, 2) Keterkaitan dengan program aksi,
3)Kerjasama, 4)Diseminasi, 5)Infrastruktur , dan 6) Keberlanjutan.
Membangun ketrampilan
Kurang jelasnya domain bidang ilmu serta ruang lingkup masalah yang digeluti peneliti
mengakibatkan kurangnya ketrampilan untuk menghasilkan produk penelitian yang dapat
mengatasi masalah yang dihadapi. Di samping itu kurangnya kegiatan interdispilin, tidak
adanya sistim mentorship bagi peneliti muda, dan kurang adanya kurikulum untuk pelatihan
pada bidang bidang tertentu, mengakibatkan kurang adanya kelompok massa peneliti di suatu
institusi/negara yang mengakibatkan kurangnya ketrampilan dan kepercayaan di kalangan
peneliti itu sendiri. 21 Tidak adanya riset agenda dan kurangya ketrampilan peneliti serta
kurang adanya kaitan antara penelitian dengan masalah yang dihadapi pemerintah serta
program mengakibatkan rendahnya kepercayaan pihak pemerintah pada penelitian. Kurangnya
minat meneliti di kalangan personil kesehatan dan dokter karena gaji dan beban kerja peneliti
tidak menarik. ini terjadi tidak hanya di negara berkembang akan tetapi dinegara maju
seperti Australia. 8
Berkaitan dengan pengembangan Kapasitas Meneliti dikemukakan bahwa agenda riset kurang
ditetapkan oleh banyak organisasi profesional dan lembaga penelitian.22 Dalam menetapkan
agenda riset perlu diperhatikan keseimbangan tipe penelitian. Pada penelitian kesehatan
diharapkan terjadi keseimbangan antara a) Spektrum biomedis, klinis, vs kesehatan
masyarakat, b) Lebih berdasarkan pendapat peneliti vs pendapat penentu kebijakan, c)
Merupakan penelitian sistem kesehatan vs penelitian mengenai masalah kesehatan dan
penyakit, d) Berorientasi pada tujuan perbaikan sistem/program vs orientasi proses
pelaksanaan atau deskriptif, e) Penelitian aksi vs penelitian non aksi untuk mengetahui apa,
sebab dan mengapa.23
Untuk mengatasi masalah itu diusulkan menempatkan praktisi program dalam lembaga
penelitian ikut serta meneliti dan menjadi bagian dari tim peneliti atau istilah asingnya
research secondment atau mengikut sertakan LSM. Keeratan penelitian dengan program aksi,
dapat lebih mudah bila lembaga peneliti mengikut sertakan NGO/LSM dalam proses
perancangan dan pelaksanaan penelitian, LSM biasanya terampil dalam beberapa hal seperti
misalnya proses advokasi, menetapkan prioritas sesuai dengan masalah yang di masyarakat,
memobilisikan sumber daya, menggunakan hasil riset dan mengembangkan jejaring dengan
demikian peneliti lebih mudah merancang penelitian aksi.24 Di samping itu partisipasi NGO
dapat menfasilitasi partisipasi dalam bentuk tenaga, tempat dari masyarakat (partisipasi
inkind) yang dapat dipandang sebagai pendukung ke arah keberlanjutan.
Kerjasama dan kolaborasi
Pada kenyataan di lapangan melakukan kerjasama dan kolaborasi riset tidak mudah. Ini
disebabkan antara lain agenda riset yang berbeda-beda antara pelbagai institusi. Akibatnya
sinergi dan kerjasama pengembangan kapasitas meneliti sulit dilaksanakan. Perbedaan itu
dapat terjadi di dalam satu organisasi dan lembaga penelitian dan antara pelbagai lembaga
penelitian.
Kerjasama yang baik akan tercapai bila ada komunikasi yang baik dan ada proses keterbukaan,
fleksibilitas dan ada upaya untuk melakukan kerja bersama sama merumuskan kebutuhan,
kekuatan, kelemahan dan tujuan masing masing pihak. Melalui kerjasama, pihak yang ikut
serta akan saling menguatkan. Dari pengalaman melakukan kerjasama penelitian dalam
membangun kapasitas penelitian antara dua negara yang berbeda kemampuannya (negara
berkembang dan negara maju) penting adanya prinsip kesetaraan antara kedua belah pihak;
pihak negara maju umumnya mempunyai kelebihan finansial dan teknologi sedangkan pihak
negara berkembang mempunyai pengetahuan tentang budaya lokal dan ketrampilan bekerja
dengan komunitas lokal.
Upaya membangun Kapasitas Meneliti melalui penelitian kemitraan merupakan cara yang
paling didukung dan dirasakan paling bermanfaat akan tetapi mempunyai kelemahan seperti
misalnya terjadi kerjasama yang tidak setara antara peneliti negara maju dan negara
berkembang. Untuk mengatasi hal ini dianjurkan agar kemitraan dilakukan dalam jangka waktu
yang panjang dan mengikutkan kerjasama antara pelbagai partner di negara berkembang
(lebih dari satu partner). Selain itu, hendaknya ada pula pemerataan dan keseimbangan dari
segi tenaga, uang, waktu, fleksibel dan mecakup tidak hanya melakukan penelitian akan tetapi
pelatihan, serta ada persiapan yang cukup dalam proses merancang rencana kerjasama itu dan
mengutamakan partisipasi dari segenap pihak yang terlibat (horton). Di samping itu, penting
dirumuskan sumber daya, kemampuan dan kapasitas yang dipunyai masing-masing mitra serta
kegiatan yang harus dipenuhi oleh setiap partner. Kesulitan yang dijumpai sering kali kurang
ada lembaga donor yang mau mendukung kerjasama yang komprehensif, dan memberi
komitmen jangka panjang.25
Berkaitan dengan kerjasama, patut disadari bahwa tidak ada ada satu pun model untuk
intervensi penguatan kapasitas penelitian melalui proses kemitraaan 26 Dari segi memilih
lembaga partner untuk kerja sama dikemukakan perlunya diperhatikan gambaran sebagai
berikut: 1) Prioritaskan Lembaga akademik, yang biasanya mempunyai kaitan dengan
pengembangan kapasitas sumber daya manusia terutama penelitian kebijakan, 2) Gunakan
pendekatan demand driven approaches. Kerjasama ditujukan pada kebutuhan akan tuntutan
masalah yang dirasakan masing masing pihak, 3) Pelatihan lokal. Dalam melakukan pelatihan,
lebih baik pelatihan dilakukan secara lokal, 4) Perhatikan keberlanjutan. Dalam kegiatan
seperti pelatihan dan penelitian, aspek keberlanjutan dan kontinuitas harus menjadi
perhatian.
Dalam kaitan kemitraan penelitian dikemukakan lima prinsip utama yaitu: 1) Saling percaya
dan berbagi proses memutuskan, 2) Kepemilikan nasional yang menjamin kegiatan riset
dipunyai oleh pihak lokal sedangkan pihak asing hanya memberikan masukan, teknis dan advis,
3) Melakukan perencanaan sejak awal untuk menerjemahkan hasil penelitian pada kebijakan
dan praktek, 4) Mengembangkan kapasitas riset secara nasional: apakah penelitian sesuai
dengan kebijakan nasional dan regional, apakah kerjasama dimonitor dan evaluasi secara
internal dan eksternal, dan partner tingkat nasional cukup terwakili dalam proses evaluasi,
dan 5)Kesinambungan: siapa yang mendapat pelatihan, berapa lama, di mana, apa yang
terjadi dengan staf lokal bila proyek riset berakhit, apakah kemitraan dapat mencegah
perpindahan peneliti ke lembaga internasional, dan bagaimanan lembaga penelitian menjaga
keberlangsungan penelitian setelah proyek berakhir
Untuk tingkat internasional, beberapa lembaga yang aktip menfasilitasi kerjasama penelitian
ialah Inclen trust, Global Health Research, Wellcome Trust dan lain-lain (uraian dari lembaga
ini dapat dilihat pada lampiran).
Infrastuktur
Seperti telah diuraikan di bagian muka, di banyak institusi penelitian di negara berkembang,
tidak adanya rencana strategis yang menempatkan penelitian menjadi salah satu misi atau
strategi organisasi merupakan masalah yang utama.
Terbatasnya waktu yang disediakan menjadi lebih buruk bila secara bersamaan fasilitas
pendukung untuk bekerja juga terbatas. Manajemen waktu masing peneliti dan kelompok
peneliti berkaitan dengan produktivitas perorangan dan tim menjadi penting, sebab dapat
terjadi waktu yang ada dan sumber daya yang tersedia tidak digunakan dengan baik untuk
peningkatan produktivitas peneliti. Di samping perlunya rencana agar sumber daya dan
tehnologi yang tersedia digunakan dengan baik dan dianjurkan untuk tidak membentuk
organisasi atau struktur baru sebaiknya memperkuat yang sudah ada. Selain itu karena
terbatasnya sumber daya, proses penetapan prioritas menjadi penting.31
c. Unit Pendukung
Untuk memperkuat kapasitas peneliti dan lembaga penelitian, dibeberapa tempat di bentuk
unit khusus pengembangan dan dukungan penelitian yang tugasnya ialah: 1), Membantu
pembuatan proposal riset dan kerja sama riset dari segi administrasi, 2) Membantu pelatihan
dan lokakarya bagi peneliti, dan 3) Membantu proses aplikasi dana dan riset pada lembaga
donor. Unit ini dapat juga membantu sebagai pihak yang berfungsi sebagai katalisator seperti
clearing house dari metode, publikasi, daftar keahlian, dan menfasilitasi agar peneliti mampu
menggunakan kemajuan tehnologi informasi.
Tahapan Mengembangkan Kapasitas Meneliti
a. Dua tahapan
Dalam mengembangkan kapasitas meneliti, diusulkan dua tahapan, tahapan pertama
mengembangkan kapasitas personal peneliti mencakup ketrampilan, reputasi dan lain-lain dan
tahan kedua mengembangkan kapasitas organisasi/lembaga peneliti. Pada tahapan kedua ini
konsentrasi ditujukan pada pengembangan organisasi 32 yang terutama difokuskan pada
membangun reputasi lembaga dan peranan pada konsultansi dan pengembangan pelatihan
serta lokakarya di tingkat nasional dan internasional, dan pengembangan jejaring penelitian.
Termasuk dalam kategori ini adalah keikutsertaan anggota tim peneliti menjadi editor dari
majalah peer review nasional dan internasional serta publikasi hasil riset pada jurnal yang
bergengsi sesuai dengan bidangnya. Lembaga penelitian perlu membantu tim peneliti untuk
merancang kegiatan agar hasil penelitian dapat dipublikasikan dalam majalah yang paling
bergengsi, upaya untuk meningkatkan reputasi peneliti dan lembaga penelitian, dan dukungan
sumber daya keuangan dan tenaga termasuk upaya peningkatan pendapatan. Upaya ini perlu
diukur dari segi kuantitas dan kualitas.
Dalam jangka pendek, kemampuan meneliti dari para peneliti dapat ditingkatkan misalnya
seperti yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan meneliti tentang tembakau.
Direncakanan konsolidasi jejaring, manajemen diseminasi, dan berbagi pengetahuan untuk
melakukan riset di bidang tembakau melalui web virtual dari individu dan organisasi melalui
internet antara lain berupa penyediaan direktori lembaga dan organisasi penelitian,
informasi data dasar sumber daya alat dan hasil riset dan diskusi secara online.
Dikemukakan, bahwa kegiatan yang sebaiknya dilakukan oleh peneliti dan instusinya adalah33,34
1. Kegiatan pada tingkat peneliti
a. Orientasi penelitian pada masalah pembangunan yang dihadapi oleh negara dan
mendiskusikan tema riset terutama pada tema yang mempunyai dampak lokal dan
nasional
b. Identifikasi kebutuhan penelitian dengan masyarakat dan penentu kebijakan
c. Menyebar luaskan hasil penelitian pada masyarakat luas
d. Menyebar luaskah hasil penelitian dikalangan akademik melalui majalah internasional
yang merupakan peer review publikasi
e. Mendukung dan ikut menyusun program penelitian yang menjadi agenda lembaga
penelitian
f. Melakukan upaya agar penentu kebijakan tertarik dengan penelitian yang dilakukan
g. Ikut membantu dan melakukan kegiatan yang meningkatkan status penelitian dan peneliti
c. Merupakan siklus
Tahapan mengembangkan kapasitas merupakan suatu siklus/lingkaran yang dibedakan
atas:35.36
a) Menilai sumber daya dan kesenjangan kapasitas meneliti dari segi peneliti dan lembaga
serta lingkungan/sistem yang dilakukan dengan mengikut sertakan seluruh pemeran/
stakeholders
b) Merancang strategi dan kegiatan untuk mengatasi kesenjangan menggunakan sumber
daya yang tersedia
c) Melakukan evaluasi pencapaian upaya mengembangkan kapasitas meneliti dengan
indikator yang jelas dari segi input, proses dan output.(35)
a. Dukungan multi-stakeholder
Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan mempercepat upaya peningkatan kapasitas penelitian
kesehatan di negara berkembang, diusulkan dilakukan kegiatan mendukung multi-stakeholder
sebagai bagian dari proses pembelajaran. Upaya yang dilakukan harus berorientasi
mengurangi biaya melalui sharing pengetahuan dan teknologi dan ditujukan pada kebutuhan
akan pengetahuan baru dari pada meningkatkan bantuan/supply dengan memberdayakan
pengguna riset.
Keterbatasan dana tidak hanya bagi negara berkembang akan tetapi juga di negara maju.
terbatasnya dana dikuatirkan mengurangi peran universitas dalam menghasilkan penelitian
baru dan hal ini pernah dikemukakan pada sekitar tahun 1996.39 Dikemukakan bahwa untuk
membangun kapasitas suatu bagian akademik dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh tahun, akan
tetapi untuk membangun kapasitas bagian yang sudah ada dibutuhkan waktu lebih singkat,
hanya beberapa tahun saja.40 Salah satu cara yang dikembangkan adalah dengan membangun
pusat riset unggulan regional, dengan syarat berkomitmen pada pemecahan masalah di
masyarakat, bersedia dan mampu melayani kebutuhan regional, dan berorientasi multidisplin
Selain itu, cara yang dirancang untuk menguatkan kapasitas meneliti di masing masing negara
ialah melalui pemberian dana riset bagi lulusan baru dibidang gizi, pelatihan jangka pendek
untuk keahlian yang spesifik, dan mengembangkan agenda riset agenda. Pada yang terakhir ini
patut diperhatikan bahwa agenda riset yang diharapkan bukanlah agenda yang ditetapkan
oleh pemerintah atau oleh donor, melainkan ditetapkan berdasarkan masalah yang dihadapi
dan keadaan dan kemampuan lokal
Dalam suatu evaluasi kegiatan penelitian di kalangan dokter umum di Inggris, dikemukakan
bahwa upaya peningkatan ketrampilan individu tidak hanya pelatihan akan tetapi mencakup:
ketersediaan waktu untuk melakukan riset, bekerja dengan orang yang berpengalaman dalam
meneliti, mentorship, atau adanya ahli yang memberikan nasehat praktis dan bimbingan
selama proyek penelitian dilakukan, dan nasehat pencarian dana penelitian.42
Pengalaman di Indonesia
Di Indonesia, pada sekitar tahun 1990 pada bidang penelitian kesehatan masyarakat, ada dua
jejaring yaitu jejaring Peneliti Epidemiologi Klinis yang dikembangkan oleh CEBU UGM melalui
jejaring INCLEN Rockefeller Foundation dan jejaring JEN dengan dukungan The Ford
Foundation. Di samping itu di bidang lingkungan hidup juga dikembangkan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup, sedangkan di bidang kependudukan dan keluarga berencana dikembangkan
jejaring Pusat Studi Kependudukan
Berkaitan dengan penelitian kesehatan, di Unika Atmajaya penulis ikut serta dalam JEN dan
pernah ikut serta dalam pertemuan yang diorganisir oleh INCLEN. Selain itu penulis pernah
mendapat bantuan lembaga donor internasional yaitu IDRC Kanada melakukan beberapa
penelitian baik bantuan untuk penelitian yang dilakukan sendirian oleh lembaga penulis maupun
penelitian multisenter bersama beberapa lembaga yang ada di Singapura, Kuala Lumpur ,dan
Manila. Uraian berikut ini didasarkan pengalaman pribadi penulis.
Delapan langkah ini, yang dilakukan penulis pada setiap penelitian, dilakukan agar penulis dan
tim memahami masalah penelitian secara menyeluruh. Pada penelitian dengan kerjasama
dengan pihak luar negeri biasanya juga dihasilkan artikel pada majalah internasional dan buku
teks yang berkaitan dengan topik penelitian. Penulis misalnya pernah ikut serta menulis buku
teks yang berkaitan dengan kepadatan lingkungan perkotaan.
Beberapa kesempatan dan peluang yang berkaitan dengan langkah yang dilakukan adalah
kelompok peneliti penulis menjadi akrab dengan pihak pelaksana program/ Pemerintah serta
Lembaga Internasional seperti WHO. UNFPA, dan The World Ban. Hal ini menjadi modal
awal pengembangan kerjasama dengan lembaga lain sehingga tersedia sumber daya dan
terjadi perluasan jejaring dalam melakukan penelitian.
Dalam proses pelaksanaan penelitian itu, kelompok peneliti penulis mendapat kesempatan
bekerja sama dengan ADDR Harvard school of Public Health, Stockholm Environment
Institute, WHO Kobe Centre, ISEAS Singapore, UNCHS Habitat Nairobi, International
Institute of Environment Development Inggris, dan lain-lain. Di samping itu, setelah
penelitian selesai dan laporan penelitian dihasilkan dan diseminarkan di tingkat kota, tim
peneliti mendapat dukungan untuk hadir dalam seminar di tingkat internasional. Pada tahap
awal sekitar tahun 1980, tim peneliti penulis belum berani mengajukan makalah untuk
presentasi.Akan tetapi, oleh IDRC dan The Ford Foundation, melalui JEN, tim peneliti di
dukung agar ikut sebagai peserta pada seminar tingkat internasional.
Di Indonesia, ada dua jejaring penelitian yang dikembangkan dalam kaitan penguatan
kapasitas meneliti yang pernah diikuti penulis yaitu a) Epidemiology Network dan INCLEN,
dan b) Jejaring Health and Environment in Cities. Pada JEN dan HEC penulis ikut serta
menjadi pelaku sedangkan pada INCLEN penulis pernah ikut serta dalam pertemuan
internasional sebagai wakil dari JEN, karena itu bahasan lebih berdasarkan pengalaman
penulis di JEN dan HEC
JEN difasilitasi oleh The Ford Foundation khususnya oleh Dr HenryMosley dan Dr Michael
Dibley dengan tujuan membangun Kapasitas Meneliti institusi penelitian kesehatan di
Indonesia yang berorientasi pada community epidemiology yang terutama melakukan
penelitian kesehatan dengan mengaplikasikan prinsip epidemi. Pendirian jejaring ini berkaitan
dengan dicetuskannya konsep kerangka pengembangan kelangsungan hidup anak (Mosley and
Chen) yang mengemukakan pentingnya upaya penelitian pada faktor sosial dan pentingnya
upaya penggunaan riset pada tingkat pelaksana program terutama dinas kesehatan dan
dokter puskesmas. Untuk ini Ford Foundation memberikan dana pada sejumlah peneliti dari
pelbagai universitas di Indonesia berupa bantuan pelatihan keluar negeri untuk pelatihan
jangka pendek, melakukan penelitian, dan memberikan dana pengembangan. Dana diberikan
juga untuk koordinasi pelatihan, pertemuan tahunan, penelitian multisenter, dan kerjasama
dengan jejaring lain dan donor lain.
Melalui JEN terbentuk kelompok peneliti yang memfokuskan diri pada penelitian epidemiologi
komunitas dan social yang menerapkan penelitiannya melalui metode kuantitatif dan kualitatif
dengan partisipasi para ahli ilmu sosial dan antropologi. Kelompok peneliti yang menjadi
anggota JEN difasilitasi oleh The Ford Foundation untuk mengorganisiri lokakarya dan
pelatihan. Narasumber dan pengajar dari seminar dan lokakarya itu diambil dari anggota
jejaring yang dibantu narasumber internasional. Beberapa pelatihan yang pernah dilakukan
adalah analisis data kuantitatif menggunakan SPSS (di lakukan oleh Atmajaya bekerja sama
dengan ANU), penelitian kualitatif dan kuantitatipfberkaitan dengan masalah kesehatan
anak, dan komunikasi kesehatan.
Jejaring ini setiap tahun mengorganisir seminar tahunan yang memberi kesempatan peneliti
anggota JEN mempresentasikan hasil penelitiannya. SElain itu, diorganisir pula pelatihan
tentang topik tertentu dengan mengundang narasumber internasional seperti misalnya
masalah ASI, Komunikasi Kesehatan, Keluarg Berencana, dan lain lain.
Dalam kaitan pengembangan JEN, sebagian anggota Jejaring ini difasilitasi untuk ikut dalam
kegiatan penguatan Kapasitas Meneliti penyakit diare yang didukung oleh ADDR. Selain itu,
masing-masing lembaga juga menjalin kerjasama dengan jejaring lain di luar negeri. Kelompok
Studi kesehatan Perkotaan Unika Atmajaya misalnya, ikut aktif bekerjasama dalam HEC
guna mengembangkan penelitian di bidang kesehatan perkotaan pada kelompok miskin. Dana
untuk ini diperoleh dari pemerintah Belanda. Beberapa anggota peneliti Atmajaya juga ada
yang ikut serta dalam penelitian multisentertentang hubungan lingkungan dan kesehatan
penduduk miskin di perkotaan. Demikianlah, melalui jejaring nasional, lembaga penelitian
penulis mendapat kesempatan ikut serta di jejaring internasional dan penelitian multi senter
tingkat internacional sehingga memberi banyak kesempatan pada penulis ikut dalam kegiatan
internasional dan ikut menulis publikasi pada beberapa majalah internasional.
Secara singka,t beberapa kegiatan yang menurut hemat penulis amat bermakna sebagai
bagian penguatan Kapasitas Meneliti bagi penulis dan lembaga penelitian penulis adalah
jejaring tingkat Nasional melalui JEN dan Jejaring tingkat nasional melalui HEC dan
penelitian multisenter internasional. Berpolakan kegiatan yang digambarkan pada Gambar 1
pada tabel diperlihatkan manfaat dari tiga kegiatan.
Tabel 3 memperlihatkan jejaring nasional seperti JEN dan Jejaring Internasional merupakan
sarana bagi penulis dalam membangun ketrampilan. Khusus untuk jejaring internasional nilai
tambah yang diperoleh adalah agenda riset yang menjadi perhatian pada masa-masa
mendatang. Dari ketiga pendekatan itu penelitian multisenter lebih banyak meningkatkan
ketrampilan meneliti penulis terutama dalam upaya menjaga standar kualitas pengumpulan
data, analisa data, dan penulisan hasil penelitian. Akan tetapi kontiunitas dan keberlanjutan
kegiatan penelitian lebih didukung melalui kegiatan jejaring nasional dan internasional.
Ditinjau dari segi penguatan kapasitas, kapasitas peneliti lebih banyak ditingkatkan melalui
penelitian multisenter, akan tetapi kapasitas lembaga lebih banyak ditingkatkan melalui
jejaring nasional dan internacional. Ini diperlihatkan di Tabel 4.
Dengan kegiatan jejaring nasional dan internasional serta penelitian dan lokakarya serta
publikasi yang dilakukan oleh kelompok peneliti penulis, status kelompok peneliti penulis
ditingkatkan oleh universitas menjadi Pusat Penelitian Kesehatan, yang berarti setiap tahun
dapat mengajukan anggaran untuk operasional dan rencana pengembangan. Ini berarti
kelompok peneliti penulis dari segi pendanaan mendapat jaminan ke arah keberlanjutan dan
tidak tergantung pada adanya tawaran kerjasama dan proyek penelitian.
Pembahasan
Untuk membangun kapasitas penelitian kesehatan, kegiatan yang umumnya dilakukan adalah
menata sumber daya meliputi tenaga, peralatan dan keuangan. Dari uraian terdahulu diketahui
ruang lingkup dan sasaran bila suatu universitas atau lembaga ingin membangun Kapasitas
Meneliti. Sasaran kegiatan tidak hanya peneliti akan tetapi mencakup organisasi
penelitian/lembaga penelitian, hubungan antara kelompok peneliti, dan upaya menciptakan
lingkungan yang mendukung. Selain itu, perlu pula dilakukan enam kegiatan yang terdiri atas 1)
Membangun ketrampilan dan kepercayaan, 2) Mengaitkan penelitian dengan aksi/program, 3)
Melakukan kerjasama dan kolaborasi, 4) Melakukan diseminasi yg tepat guna, 5)
Mengusahakan kontinuitas dan keberlanjutan, dan 6) Membangun infrastuktur yang baik
untuk peneliti, lembaga penelitian, serta pusat unggulan.
Dalam merancang dan melakukan kegiatan pengembangan Kapasitas Meneliti, ukuran tentang
Kapasitas Meneliti yang mencakup pula produktivas atau kinerja peneliti dan lembaga,
merupakah salah satu ukuran yang penting. Selain ketrampilan dan kemampuan mengelola
penelitian, dibutuhkan pula pengetahuan dan kemampuan kemimpinan/manajerial yang dapat
menghasilkan sejumlah penelitian, publikasi penelitian, dan masukan dana. Seorang peneliti
juga diharapkan mempunyai keterampilan dalam kerjasama dan kemitraaan serta organisasi.
Peneliti diharapkan mengerti dengan jelas perannya dan ikut serta dalam proses perencanaan
serta ikut menjadi bagian dari jejaring profesi dan masyarakat sehingga mampu menfasilitas
kerjasama dengan sesama profesi dan pihak pengguna (pemerintah dan masyarakat). Hal ini
diperlihatkan atau dapat dinilai dari ukuran seperti keikut sertaaan peneliti menjadi anggota
panel penilai penelitian nasional, anggota penilai makalah konperensi tingkat nasional dan
internasional, menjadi nara sumber atau pengajar lokakarya penelitian atau bidang yang
digelutinya di tingkat nasional dan internasional, serta bantuan dana yang diterimanya untuk
melakukan penelitian dan dukungan melakukan kegiatan pasca doktor.
Ini semua dilihat dalam suatu kesatuan dan menjadi bagian dari kegiatan pengembangan
kapasitas lembaga atau suatu pusat penelitian yang ukuran produktivitasnya adalah agenda
riset, selain jumlah staf penelitinya. Ukuran lainnya adalah jumlah penelitian yang dilakukan
dengan kerjasama dan bantuan dana lembaga lain, jumlah laporan dan publikasi penelitian yang
dihasilkan, jumlah laporan penelitian yang digunakan sebagai masukan untuk merancang
perbaikan kegiatan dan program oleh pihak pemerintah dan LSM serta masyarakat, serta
jumlah staf peneliti yang mempunyai posisi/pengaruh dalam pengambilan keputusan pada
lembaga nasional di pemerintah, swasta, dan LSM. Selain produktivitas juga dikemukakan
adanya indikator dampak yang ukurannya ialah jumlah program yang dirancana serta
diperbaiki berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian serta jumlah
anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan masyarakat yang menjadi sasaran penelitian.
Selain kegiatan pada tingkat peneliti dan lembaga penelitian, kegiatan kemitraan dan
pengembangan kerjasama dan jejaring penelitian merupakan salah satu langkah yang
dianjurkan banyak publikasi. Oleh karena itu, ketrampilan memilih lembaga mitra dan
mengelola jejaring penelitian tingkat nasional dan internasional merupakan salah satu unsur
penting dalam upaya membangun kapasitas penelitian agar merupakan proses yang berlanjut
dan berkesinambungan (sustainable), di samping perlunya memilih fokus dalam
mengembangkan pusat unggulan.
Selain itu dikemukakan kegiatan terutama pada pengembangan dukungan dari banyak
pemangku kepentingan (lembaga penelitian, pemerintah dan LSM, serta lembaga intenasional)
untuk secara bersama merancang dan mengembangkan kapasitas penelitian yang difokuskan
pada suatu masalah, dukungan pada pengguna riset agar mampu menggunakan hasil riset dan
mengidentifikasi kesenjangan antara masalah dan penelitian yang dilakukan serta
membedakan riset yang baik dan buruk dan menyimpulkan hasil riset yang saling
bertentangan.
Di Indonesia, perhatian pada dukungan dana untuk meneliti dan pengelolaan penelitian oleh
peneliti dan lembaga penelitian juga dilakukan tidak hanya pihak universitas dan lembaga
nasional dan internacional. Proses kemitraan penelitian mulai banyak menjadi perhatian, ini
juga berkaitan dengan terbukanya dukungan dana dari lembaga internasional yang juga
memberikan dana terutama pada penelitian yang merupakan kerjasama antara peneliti negara
berkembang dan negara maju seperti misalnya dana yang didukung oleh Masyarakat Ekonomi
Eropa bagi peneliti negara Asean.
Berkaitan dengan itu di tingkat nasional, di samping agenda riset penelitian yang
dikembangkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi serta rencana pengembang penelitian
kesehatan, agenda pengembangan kapasitas riset serta fokus kegiatan yang akan dilakukan
perlu disepakati serta dirancang bersama oleh pihak yang terkait. Di samping itu, perlu pula
dilakukan pemetaan pusat unggulan dan peningkatan mekanisme berbagi informasi tentang
rencana penelitian serta hasil penelitian yang diproduksi masing-masing lembaga dalam rangka
sinergi produktivitas penelitian. Hal ini perlu sebagai bagian pengembangan sistim penelitian
yang berkelanjugan dan fokus penelitian yang bertepat guna bagi peningkatan kesejahteraan
bangsa dan negara. Sedangkan di tingkat lembaga, perhatian akan peran peneliti dan lembaga
penelitian dalam pengembangan jejaring perlu menjadi perhatian. Menurut pengalaman
penulis, hal ini kurang banyak menjadi perhatian sehingga peneliti yang mau ikut serta
mengembangkan jejaring penelitian amat terbatas. Perhatian peneliti dan lembaga penelitian
lebih banyak dipusatkan sebagai peserta jejaring dan bukan ikut mengelola dan
mengembangkan jejaring di tingkat nasional maupun internasional.
Kepustakaan
1. Mazk, Ward, Eissenberg 2004, Promotion and education 2004, vol 11 n0 2 pag 93-98
2. Page, Heller and Kinlay et all Attitudes of developing world physicians to where medical
research is performed and reported, BMC Public Health 2003 vol 3 no 6 1471
3. NCHRD,Newsletter n0 29 July-sept 2002 Geneva)
4. Lansang, Dennis, 2004 Building capacity in health research in developing country Bulletin
WHO vol 82,lss 10 p764-773)
5. Haines, Shaping the future global health. Bulletin WHO, 2003 vol 81 :855, Lee, Walt,
6. Haines, The challenge to improve global health : financing the MDG Journal of American
Medical Association 2004 : 291:2636-2638)
7. Cairsn The Canadian Clinical Research initiative transforming Canadian Clinical research
capacity , Clinical and Investigative Medicine dec 2004 vol 27 lss 6 page 292-296
.)Ottawa
8. McAvoy. Primary care research what in the world is going on? Medical Journal of
Australia
july 2005 vol 183, lss 2 p 110-113.
9. UNDP, 1997 Capacity development) Management development and government division
technical advisory paper no 2)
10. White, 2003, Building education research capacity: practical steps for funders ,NERF
Working paper number 1.2 United Kingdom)
11. Trostle, 1992).
12. NCRCH)
13. Bates, Akoto, Ansong et al 2006 Evaluating Health Research Capacity Building : an
Evidene
based Tool Plos Medicine vol 3 n0 8 :e299.DOI:10.1371/Journal.pmed.0030299
14. Cooke 2005(14) A framework to evaluate research capacity building in health care BMC
Family practice 2005 6:44
15. Ried,Farmer, Weston 2006 Setting Resources for capacity building in primary health
care :
a survey of research network, BMC Family Practice, 2006 vol 7 no 8
16. Reddy P, Taylor S, Sifunda S. Research Capacity Building and collaboration between
South
African and American partners: The adapatation of an intervention model for HIV/AIDS
education prevention in corrections research AIDS Education and Prevention 2002 vol 14
p
92-103 New York
17. Sanders, Haines,2006 Implementation Research is needed to achieve international health
goals, Plos Med 3(6):e186.DOI 10.1371/journal.pmed.0030186
18 . konstruksi fiilosopis
19. Maselli, Lys, Schnidd 2004 Improving impact of research partnerships Swiss oran sion
for
research partnership with developing countries KFP Geographica Berne 86 pp)
20. Horton Alexaki dan Lartey et al Developing and Evaluating Capacity in Research and
Development Organizations 2003, INAR Breifing papers
21. Wimbush, E 1999, Strengthening Research Capacity in health promotion practice settings
Health Education vol 99 no 4 page 169
22. WHO, Strategies for Health Research Systems Development in South East Asia Region
WHO \SEARO October 2001
23. Bowen and Zwi (2005) to evidence informed policy and practices : a framework for
action
Plos med 2(7) :e166 .
24. Dellisle, Roberts, Munro et al 2005, The role of NGOs in global health research for
development Health Research Policy and Systems 2005 vol 3 no 3 page 1478)
25. Smith, Tewksburyl Hugh Potter at al practitioner-research partnering for productivity
Correction today Jul 2005, vol 67 p106-108
26. Csaszar and Lal improving health in developing conutries Issues in science and technology
no
2004 http//issues.Org21.1/p_csaszar.html
27. West Schalekton, YSHEPIA: Buildiing a research capacity network in Africa ADEA
Working
group on higher education The World Bank Washington DC 1999,
28. Haddad, Zakus, 2002 Promoting Canadian Involvement and Capacity Building in Global
Health
Policy and Systems Research: perspectives and recommendation **Institute of
Population
and Public Health Canadian Institutes of Health Research May 2002
29. Eckstein, 2004 Effort to build capacity in research ethics: an overview)
30. Hurni and Merselli, (experience in strengthening research capacity : a summary of
contribution to the workshop)
31. Sainburry, Ward, 1999 The Vitious Cycle: Implications of the health and medical
research
Strategic Review Australian and New Zealand Journal of Public Health Canberra feb
1999
Vol 23 no 1 page 3-7
32. Rowley Developing researcg capacity the second step The international Journal of
Educational Management Bradford 1999 vol 13 no 4 p 208
33. Hurni,Christ, Lys et all The challenge in enhancing research capacities
34. IFPRI 2000 , Best practices strengthening policy research capacity around the world
IFPRI
Washington DC)
35. Bates, Akoto and Ansong et al 2006, Evaluating health research capacity building : an
evidence based tool Plos Med 3(6): e299.DOI 10.1371?journal.pmed.0030299
36. Milen. What do we know about capacity building? an overview of existing knowledge and
good
practice WHO Department of Health Service Provision Geneva June 2001
37. Amorn, Somrongthong, Reeder at al Strengthening health research capacity in
developing
countries. A critical element for acheiving health equity Amorn, Somrongthong, Reeder
at al
200 British Medical Journal vol 321 lss 7264 pg 813816
38. Bharat, 2002. Capacity Building for Research in Sexual Behavour and Sexuality: The
Indian
Experience Tata Instititute for Social Science mimeograph New Dehli India
White, 2003 Building education research capacity : practical steps for funders NERF
Working paper number 1,2 United Kingdom.
39. Wood and Macleans Toronto vol 109 lss 48 page 62-66
40. Working group report omn capacity building on research Nutrition Manila
41. Bacigalupo, Cooke,Hawler,2006 Research activity, interest and skills in a health and
social
are setting , a snapshot of a primary care trust in nothern England : implications for
collaboration an capacity. Primary Health Care Research and Development 2006 vol 7
page
68-77
42. Pollard, 2002 The challengeof building research capacity, Building Research capacity
april
2002 issue 2 Cardiff University United Kingdom)
Annex 1 Faktor yang berkaitan dengan pengorganisasian kapasitas meneliti
Penghargaan
Sumber daya Orientasi
Uraian tugas, prosedur Inovasi
Kebijakan Ukuran produktivitas
Umpan balik Penilaian pd
STRUKTUR BUDAYA
Dinamika
politik
Organisasi
PENELITI
Transparan
Partisipatip
Konsensus
Kemampuan teknik Prioritas
Kemampuan negosiasi dan Efektip
komunikasi Efisien
Reputasi Komunikatip
Motivasi Kebutuhan
Identitas profesional stakeholders
Kuantitas dan kualitas
5.2. Membangun Kapasitas Penelitian Institusi: Studi kasus UPLEK FK
Universitas Udayana
Oleh A. A. Gde Muninjaya
Pendahuluan
Di tengah-tengah sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang masih sedang mencari bentuk,
manajemen Perguruan Tinggi (PT) semakin banyak menghadapi tantangan untuk
mengembangkan kapasitas dan mutu Tri Dharma PT. Pelaksanaan sinkronisasi Tri Dharma juga
menghadapi banyak kendala di lapangan. Program penelitian dan pengabdian masyarakat
kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan program pendidikan. Dharma Pengabdian
Pada Masyarakat (P2M) yang seharusnya bisa dikembangkan sebagai model tanggung jawab
sosial PT (corporate social responsibility) untuk masyarakat di lingkungannya juga belum
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di lingkungannya.
Membangun kapasitas penelitian institusi sebuah lembaga pendidikan tinggi sangat erat
terkait dengan strategi dasar dan kebijakan pengembangan institusi. Untuk maksud tersebut,
lembaga pendidikan tinggi membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki motivasi
dan keterampilan khusus melakukan penelitian. Selain itu, manajemen PT perlu
mengalokasikan anggaran yang memadai untuk biaya operasional lembaga penelitian, akses ke
jurnal ilmiah yang terakriditasi, dukungan sistem komputerisasi untuk analisis data, dan
penyediaan akses internet untuk memudahkan staf peneliti menyebar luaskan hasil
penelitiannya. Kondisi seperti itulah yang sampai saat ini masih belum terwujud sehingga
tidak kondusif dengan strategi membangun kapasitas penelitian institusi di UNUD.
SDM (staf dosen) yang menjadi handalan utama untuk membangun kapasitas penelitian
institusi masih rendah motivasi dan keterampilannya melakukan penelitian. Selain itu, staf
dosen juga wajib melakukan dharma penelitian, dan dharma PT yang lain untuk bisa memenuhi
kredit poin kenaikan pangkat dan jabatannya. Jika kredit poin ketiga dharma PT secara
proporsional belum bisa terpenuhi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi Depdiknas, pengembangan karier mereka sebagai staf akademik bisa
dipastikan akan terganjal.
Khusus untuk Fakultas Kedokteran, hampir semua staf dosennya adalah dokter yang
melakukan praktek dokter di sore hari dan di rumah sakit swasta. Waktu, energi, dan
perhatian mereka tentunya akan lebih dicurahkan untuk melakukan praktek dokter
dibandingkan untuk bekerja sebagai peneliti. Masalahnya, imbalan uang yang bisa didapat
jauh lebih kecil sebagai peneliti dibandingkan uang dari hasil praktek dokter. Kondisi inilah
yang secara umum menjadi kendala umum bagi pimpinan FK untuk mendorong staf dosennya
mengembangkan karier mereka di bidang penelitian. Kalau dicermati, sesungguhnya kondisi
seperti ini adalah paradoks. Di satu sisi, pimpinan FK ingin mengembangkan kapasitas
penelitian institusi tetapi kemampuan institusi memberikan insentif berupa uang kurang
memadai jika dibandingkan dengan insentif yang bisa diterima oleh dokter jika melakukan
praktek dokter di RS dan sore hari. Selain itu, waktu, energi, dan perhatian yang mereka
curahkan untuk melakukan kegiatan penelitian jauh lebih banyak dibandingkan modal yang
dibutuhkan untuk melakukan praktek dokter. Bisa dibayangkan bagaimana kapasitas penelitian
institusi di FK bisa dikembangkan di tengah-tengah kondisi paradoks seperti itu.
Di lingkungan internal FK yang paradoks seperti itulah, Unit Penelitian dan Latihan
Epidemiologi Komunitas (UPLEK) FK UNUD dibentuk tahun 1987 dengan hibah dari The Ford
Foundation. Tulisan singkat ini akan mengungkap kiat-kiat UPLEK FK UNUD mengembangkan
kapasitas penelitian institusi dengan memanfaatkan bantuan hibah dari berbagai institusi di
luar PT seperti donor internasional dan sumber dana lain seperti APBN dan APBD.
Profil UPLEK
UPLEK FK UNUD didirikan pada tanggal 1 Mei 1987 dengan memanfaatkan hibah (block grant)
Ford Foundation (FF). Berdirinya UPLEK FK UNUD tidak dapat dilepaskan dari sejarah
Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN) yang kelahirannya dibidani oleh Henri Mosley selaku
direktur FF Jakarta dan Michael Dibley selaku direktur program kelangsungan hidup anak FF
pada saat itu. UPLEK bersama dengan sebelas institusi pendiri JEN 1 lainnya punya misi yang
sama yaitu mengembangkan penelitian institusi dengan menggunakan pendekatan epidemiologi
komunitas dan ilmu-ilmu sosial. Untuk mengembangkan kapasitas penelitian, institusi lembaga
anggota JEN bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan BKKBN di masing-masing wilayah
kerjanya.
UPLEK yang merupakan unit fungsional FK UNUD juga punya misi untuk menyelenggarakan
penelitian dan pelatihan menggunakan pendekatan epidemiologi komunitas dan ilmu-ilmu sosial.
Secara organisatoris, UPLEK berada di bawah administrasi Dekan FK UNUD, oleh karenanya
bertanggung jawab kepada Dekan FK UNUD 2 . Hampir dua tahun, UPLEK berkantor di Jurusan
IKM FK UNUD. Pada akhir tahun kedua, UPLEK menempati gedung yang lokasinya masih
berada di kampus UNUD di Jalan Sudirman Denpasar. Ruangan dengan luas sekitar 300 m2
memiliki ruangan kerja khusus untuk pimpinan, ruang kerja staf, ruang pertemuan, dan ruang
perpustakaan. Selain itu, ruangan kerja staf juga dilengkapi dengan berbagai peralatan
kantor seperti komputer, printer, scanner, jaringan telpon dan peralatan kantor yang lain.
Ruangan kerja UPLEK adalah gedung milik UNUD yang direnovasi atas izin Rektor dan Dekan
FK UNUD menggunakan bunga uang deposito dari hibah FF.
Secara organisatoris, pengelolaan unit fungsional ini dilakukan oleh pengurus inti UPLEK yang
terdiri dari seorang koordinator yang dibantu oleh dua orang ketua. Masing-masing ketua
bidang bertanggung jawab untuk mengembangkan program penelitian dan pelatihan. Mereka
adalah staf Jurusan IKM FK UNUD yang bekerja paruh waktu (part time). Selain itu,
organisasi UPLEK juga dilengkapi tiga orang staf sekretariat non PNS yang bekerja penuh
waktu. Staf sekretariat terdiri dari seorang asisten peneliti (research assisstant), seorang
sekretaris dan seorang bendahara. Tugas mereka adalah memperlancar kegiatan administrasi
penelitian dan pelatihan.
Kegiatan UPLEK untuk pengembangan penelitian dan pelatihan yang paling banyak menyita
waktu staf adalah penyiapan proposal dan kerangka acuan lokakarya, mengadministrasikan
dana dan pertanggung jawabannya. Dalam hal ini, staf sekretariat UPLEK berperan penting
untuk membantu para peneliti mengarsipkan semua file-file pelatihan dan hasil penelitian
yang akan dikemas ulang untuk dipublikasikan dan juga untuk mempersiapkan penyusunan
laporan tahunan.
1
Pusat penelitian Kesehatan UI, pusat penelitian di bidang kependudukan LIPI, CEBU dan COME UGM,
kelompok studi gizi UNDIP, Perinasia, penelitian kesehatan anak UNSRI, Pusat penelitian Atmajaya.
Kelompok Penelitian Univ. Syah Kuala banda Aceh, Kelompok Penelitian Kesehatan anak UNPAD, dan
UPLEK FK UNUD.
2
SK Dekan FK UNUD no. 53/PT.17.H4/FK.5.2/I.3/1987 tahun 1987, dan diperbaharui lagi tahun 2003
dengan SK Dekan FK UNUD no. 56/714.1.17/PP.07.02/2003
Sebagai anggota JEN, UPLEK memiliki komitmen untuk menunjang program kegiatan JEN.
Untuk itu, proses pengembangan penelitian institusi (proses internal) di UPLEK sejak awal
sudah dikaitkan dengan agenda temu tahunan JEN. Selain itu, UPLEK juga mengalokasikan
anggaran khusus untuk mengirim staf ke setiap temu tahunan JEN baik mereka yang akan
berpartisipasi pada kegiatan ilmiah maupun kegiatan organisasi selama temu tahunan JEN.
Selain memanfaatkan dana hibah yang bersumber dari FF, UPLEK FK UNUD sejak tahun 1994
juga mengembangkan strategi untuk menggali dana dari sumber lain baik dari donor
internasional 3 maupun dari sumber dana di dalam negeri yaitu APBN dan APBD. Kemampuan
UPLEK menarik dana penelitian dari berbagai sumber tidak terlepas dari dukungan staf
UPLEK terutama staf sekretariat. Tugas utama mereka adalah mengelola administrasi
keuangan dan kesekretariatan. Kegiatan administrasi ini sangat besar dukungannya untuk
kegiatan pengembangan proposal penelitian dan penulisan modul pelatihan. Kemampuan staf
inti UPLEK berbahasa Inggris sangat mendukung produktivitas penelitian dan pelatihan
UPLEK karena komunikasi dengan pihak donor internasional akan berjalan lebih mudah.
Strategi lain untuk meningkatkan kapasitas penelitian institusi, tim UPLEK juga
mengembangkan kerjasama dengan staf Dinas Kesehatan dan BKKBN Prov. Bali, dengan
institusi di lingkungan UNUD seperti jurusan IKM FK, Jurusan Anthropologi, Jurusan Sosial-
ekonomi Fakultas Pertanian, Jurusan tata negara Fak. Hukum, Jurusan manajemen Fak
Ekonomi termasuk Fak lain di luar UNUD seperti Fak. Sospol Universitas Warmadewa
Denpasar.
UPLEK juga merekrut beberapa staf peneliti yang bekerja untuk UPLEK berdasarkan kontrak
selama proyek penelitian berlangsung. Tugas utama mereka adalah menyusun proposal dan
melakukan penelitian di bawah manajemen UPLEK. Mereka mendapat bimbingan dari staf
peneliti UPLEK, berhak menggunakan fasilitas kerja UPLEK selama kontrak seperti ruangan
kerja, komputer, perpustakaan dan jaringan telpon termasuk dibiayai hadir pada temu
tahunan JEN untuk mempresentasikan hasil penelitiannya.
Membangun kapasitas penelitian di UPLEK tidak terlepas dari jumlah dan komitmen staf
termasuk dukungan dana yang bersumber dari berbagai donor. Tema penelitian yang dianut
oleh donor juga harus difahami arahnya dan dijabarkan ke dalam program penelitian dan
pelatihan institusi. Masalah kesehatan masyarakat di era tahun 1980-an ditandai tingginya
3
Sumber dana UPLEK selain dari FF juga dari WHO, USAID, Applied Diarhoeal Diseases Research
Harvard Institute for International development (ADDR - HIID), CIDA, DHS-1, BKKBN, APBD-I Bali
4
Skema proses pengembangan penelitian institusi
angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di beberapa negara berkembang
termasuk di Indonesia 5 . Dengan mengangkat kondisi umum masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang, child survival (kelangsungan hidup anak) digunakan sebagai tema umum
oleh donor internasional untuk mengalokasikan dana yang akan dihibahkan. Tema ini juga
diusung oleh FF di akhir era tahun 1980-an untuk menyalurkan hibahnya kepada anggota JEN.
Tema ini dijabarkan ke dalam program penelitian dan pelatihan yang dikoordinir oleh UPLEK
di Bali dan NTB 6 . Sasaran pelatihan adalah staf Puskesmas bekerjasama dengan Dinas
Kesehatan Daerah Tingkat II 7 . Mereka dilatih di kelas untuk memahami konsep dan teknik
identifikasi masalah kesehatan masyarakat dan faktor risikonya. Ilmu epidemiologi diskriptif,
statistik dasar, asas asas manajemen dan dasar-dasar ilmu komunikasi menjadi topik utama
pelatihan di kelas selama 5 hari kerja efektif. Selain di kelas, pelatihan juga dilakukan di
lapangan yaitu di tempat kerja masing-masing peserta. Di lapangan, mereka menyusun
perencanaan program kesehatan masyarakat dengan kelompok sasaran Ibu dan anak yang
tinggal di wilayah kerja masing-masing Puskesmas sesuai dengan teori yang diberikan di kelas.
Penjabaran tema ke dalam program pelatihan dan penelitian disesuaikan dengan pola penyakit
dan berbagai faktor risiko yang paling memengaruhi tingginya kematian anak di era tahun
1980-an. Penyakit utama penyebab kematian anak pada saat itu di Bali dan Lombok adalah
Diare. Tema child survival juga dimanfaatkan untuk mengemas paket komunikasi, informasi,
dan edukasi (KIE) terkait dengan masalah kesehatan utama yang berkembang di kedua
wilayah tersebut.
Donor internasional lain seperti USAID melalui HIID (Harvard Institute for International
Development) menggunakan topik diare sebagai masalah utama dikaji dari berbagai aspek.
Proyek ini dibiayai oleh USAID melalui ADDR (applied Diarrhoeal Diseases research) - HIID
selama dua tahun. Salah satu keprihatinan yang disampaikan oleh para konsultan ADDR
tentang jumlah publikasi ilmiah oleh sarjana Indonesia adalah langkanya penerbitan mereka
yang bisa dijumpai di website jurnal internasional terutama yang terkait dengan masalah
diare padahal masalah kesehatan masyarakat ini sangat dominan berkembang di berbagai
wilayah Indonesia.
Tahap-tahap proses pengembangan penelitian seperti yang diterapkan oleh ADDR HIID
sangat berbeda dari pola yang dianut donor lainnya. Kami merasakan betapa besarnya
manfaat proses pengembangan kapasitas dan mutu penelitian institusi seperti yang
diperkenalkan oleh para konsultan ADDR kepada para peneliti anggota JEN termasuk tim
UPLEK.
Selama tahun 1992-1994, UPLEK bersama dengan anggota JEN lainnya dan kelompok peneliti
dari Thailand mengikuti proses pengembangan penelitian melalui beberapa tahapan. Prosesnya
diawali lokakarya pengembangan proposal, disediakan dana untuk melaksanakan penelitian.
Para peneliti juga didampingi oleh konsultan internasional yang dibayar oleh ADDR untuk
menjaga mutu pengumpulan dan analisis data, sampai dengan lokakarya untuk melatih peneliti
mampu menulis hasil penelitian yang akan dipresentasikan di forum pertemuan diare se-Asia
di Nepal dan publikasi hasil penelitian staf di international journal on diarrhoeal diseases 8 .
5
AKI dan AKB di Indonesia sampai saat ini masih relatif tinggi di antara anggota ASEAN.
6
Lihat hasil penelitian dan pelatihan UPLEK pada fase awal berdirinya UPLEK.
7
Pada saat itu masih digunakan istilah Daerah Tingkat II. Saat ini diganti dengan pemerintah
Kabupaten/kota setelah UU otonomi no 22 dikeluarkan tahun 1999 (diganti dengan UU 32 tahun 2004).
8
ADDR HIID project di Indonesia melalui child survival program FKM UI yang dipimpin oleh dr. Alex
Papilaya MPH.
Setelah beberapa tahun UPLEK mengusung tema child survival untuk pengembangan program
penelitian dan pelatihan, muncul lagi tema global yang baru yaitu safe motherhood
(keselamatan hidup maternal). Tema ini sebenarnya masih erat kaitannya dengan tema
sebelumnya karena juga berpengaruh pada kelangsungan hidup anak terutama untuk perinatal
dan neonatal. Terkait dengan tema ini, masalah kesehatan reproduksi juga dimasukkan ke
dalam agenda pengembangan program penelitian dan pelatihan UPLEK.
Salah satu kegiatan penelitian UPLEK yang mendapat bantuan dana dari WHO Geneva
bekerjasama dengan Litbangkes Depkes RI juga dikaitkan dengan masalah kesehatan
reproduksi. Kegiatan penelitian ini adalah untuk mengkaji aspek lain keberhasilan program
keluarga berencana di Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui survei infertilitas di tingkat
komunitas (community based infertility survey) di seluruh Bali. Tim penelitinya terdiri dari
staf UPLEK dan seorang staf dari bagian Obgyn FK UNUD/RSUP Sanglah. Hasil survei ini
sudah dipublikasikan secara luas dan menjadi cikal bakal pengembangan program bayi tabung
di RSUP Sanglah. Selama proses penyiapan penelitian ini, beberapa kali pertemuan supervisi
dilakukan oleh staf peneliti WHO Geneva yang berkolaborasi dengan Departement of
epidemiology Med. Faculty Prince Songlla University - Hat Jai, South Thailand.
UPLEK juga melakukan kerjasama dengan world vision international. Topik penelitian yang
dipilih adalah tentang masalah kesehatan reproduksi remaja dengan menggunakan kelompok
remaja umur 15-24 tahun sebagai sample. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku
seks pranikah di kalangan remaja di Bali dan berbagai faktor yang terkait dengan
pengetahuan dan sikap mereka terhadap kesehatan reproduksi.
Masih berkaitan dengan tema pertama dan kedua, sampai tahun 1994 program UPLEK
terfokus pada upaya pencegahan masalah HIV/AIDS. Kasus AIDS pertama di Indonesia
dilaporkan dari Bali - seorang wisatawan Belanda yang meninggal akibat penyakit ini.
Merebaknya kasus ini dari Bali justru menempatkan posisi UPLEK FK UNUD untuk lebih
mudah mendapat tambahan hibah dana dari FF. Program kerja UPLEK pada fase awal
penyebaran penyakit ini cukup padat yang diisi dengan kegiatan penelitian dan penyuluhan
untuk mencegah faktor risiko masalah HIV/AIDS di Bali.
Kegiatan utama UPLEK terkait dengan masalah HIV/AIDS adalah pengembangan paket-paket
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) untuk kelompok berperilaku risiko tinggi di Bali.
Untuk kegiatan ini, UPLEK bekerjasama dengan berbagai lembaga baik pemerintah maupun
swasta yaitu manajemen hotel, travel agent, pemandu wisata, PWI Bali, kelompok pekerja
seks komersial, waria, dan gigolo di daerah wisata Sanur, Kuta dan Ubud. Kerjasama dengan
kelompok media dilakukan melalui pelatihan wartawan yang bertujuan untuk memperbaiki
akurasi dan empati pemberitaan tentang penderita HIV/AIDS di media massa; Kerjasama
dengan Kanwil Pendidikan Bali dilakukan untuk mengembangkan program pendidikan kesehatan
reproduksi di kalangan siswa di seluruh Bali. Program pencegahan HIV/AIDS untuk remaja di
Bali juga dilaksanakan dengan melatih kelompok guru-guru SMU se-Bali yaitu guru biologi,
guru bahasa, guru agama, guru BK, dan guru olah raga. Program ini berhasil melembagakan
terbentuknya kelompok siswa dan mahasiswa peduli AIDS untuk SMP dan SMA (KSPA) tahun
1994 se-Bali termasuk mahasiswa (KMPA FK UNUD) pada tahun 1996.
UPLEK juga ditetapkan sebagai Pusat Informasi AIDS (PIA) di Indonesia oleh Dirjen P2M
Depkes RI. Melalui PIA, UPLEK juga mendapat hibah dari WHO melalui Direktorat
Pemberantasan Penyakit Menular Depkes RI yang dananya dicairkan untuk pembelian
komputer, peralatan kantor dan perpustakaan. Selain itu, pengembangan kapasitas penelitian
di bidang HIV/AIDS juga bermanfaat bagi staf UPLEK karena bisa hadir pada pertemuan
internasional HIV/AIDS seperti di New Delhi (India tahun 1990), Amsterdam (Belanda,
1992), Berlin (Jerman 1993), Toronto (Canada tahun 1994), Chiangmai (Thailand 1995),
Manila (Philiphina 1996). UPLEK menerbitkan majalah HIV/AIDS yang didistribusikan kepada
para pemerhati masalah HIV/AIDS di seluruh Indonesia, dan menyampaikan informasi
HIV/AIDS melalui telpon bagi masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan yang terkait dengan
masalah HIV/AIDS juga ikut mewarnai kegiatan ilmiah temu tahunan JEN di era awal tahun
1990-an. UPLEK juga pernah membawa rombongan penari dari Akademi Seni Tari Indonesia
(ASTI), Bali, yang mementaskan tari AIDS pada saat temu tahunan JEN di gedung LIPI
tahun 1994. Skenario ceritera tarian ini dibuat oleh tim UPLEK dan juga didokumentasikan
dalam bentuk CD. UPLEK juga menerbitkan dua buku tentang masalah HIV/AIDS yaitu
AIDS dikenali untuk dihindari, dan Analisis kebijakan pemerintah tentang masalah AIDS.
Kedua buku ini dijual di toko buku Gramedia di banyak kota di Indonesia sejak tahun 1998.
Semua kegiatan UPLEK berkaitan dengan masalah HIV/AIDS sampai tahun 1996 dapat
dilihat pada lampiran laporan ini 9 .
Sampai tahun 1995, tema child survival dan safe motherhood disesuaikan dengan masalah
HIV/AIDS, kesehatan reproduksi, dan Diare masih tetap mewarnai kegiatan UPLEK. Setelah
itu, ada masalah kesehatan masyarakat lain yang diangkat oleh tim UPLEK, misalnya masalah
gizi pada ibu dan anak di beberapa desa di Flores (Kabupaten Ende) dan pulau Timor
(Kabupaten Timor Timur Selatan - TTS) di Nusa Tenggara Timur (NTT). UPLEK menerima
hibah IDRC (International Development Research Centre yang berpusat di Toronto, Kanada)
untuk mengembangkan penelitian dan pelatihan dengan topik tersebut selama dua tahun di
NTT.
Kegiatan proyek yang mengusung tema child survival ini diawali dengan participatory rural
assessment (PRA). Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pola konsumsi dan
pengelolaan hasil pertanian serta peternakan oleh masyarakat di kedua wilayah kabupaten
tersebut di NTT. Untuk melaksanakan proyek penelitian operasional ini, UPLEK bekerjasama
dengan Dinas Kesehatan dan Pertanian NTT, Kabupaten Flores dan TTS. Setelah PRA,
dilaksanakan pelatihan petugas lapangan yang diambil dari sarjana tamatan Politani UNDANA.
Mereka dipilih yang mampu berbahasa lokal masyarakat Flores dan TTS NTT. UPLEK juga
bekerjasama dengan LSM setempat dan yayasan World Neighbourgh yang berkantor pusat di
Bali.
Mulai tahun 2000, tema child survival dan safe motherhood yang sebelumnya selalu mewarnai
program UPLEK secara bertahap ditinggalkan. Tema baru kegiatan UPLEK dikaitkan dengan
reformasi dan desentralisasi kesehatan sejalan dengan kebijakan reformasi pemerintah dan
dimulainya otonomi daerah. Di sektor kesehatan, kebijakan ini diikuti oleh reformasi dan
desentralisasi kesehatan. Dana hibah yang sebelumnya bersumber dari FF dan USAID serta
donor internasional lainnya juga ikut berubah. Di era otonomi daerah ini, program UPLEK
mulai lebih banyak ditujukan untuk memperkuat proses pemberdayaan organisasi kesehatan
di daerah. Untuk proyek pengembangan penelitian dan pelatihan di era desentralisasi ini,
dukungan dana mulai diperoleh dari WHO melalui Depkes RI, DHS-1 dan APBD melalui Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali. Tema pengembangan kapasitas pelatihan dan
penelitian institusi juga bergeser dari pendekatan yang terkait dengan faktor risiko masalah
kesehatan masyarakat dengan menggunakan epidemiologi komunitas dan ilmu-ilmu sosial ke
program pemberdayaan organisasi kesehatan daerah (Puskesmas, Dinas Kesehatan dan RS)
menggunakan ilmu manajemen kesehatan.
9
Lihat daftar hasil kegiatan UPLEK di bidang penelitian dan pelatihan di era tahun 1990-an terkait dengan
masalah HIV/AIDS.
Seperti yang sudah disinggung di atas, sebagai lembaga penelitian yang berkedudukan di
daerah, program kerja UPLEK di era otonomi ini lebih difokuskan untuk membantu proses
pemberdayaan organisasi kesehatan di daerah. Untuk itu, kegiatan UPLEK ditujukan untuk
lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas program pelayanan kesehatan di Kab/Kota
sejalan dengan kebijakan reformasi, desentralisasi kesehatan dan otonomi daerah. Seperti
sebelumnya, tema global Health for all for 2000 mewarnai proyek bantuan negara donor
untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Tema global ini dijabarkan lagi menjadi
beberapa subtema yaitu Child survival dan safe motherhood.
Di era milenium baru, MDGs (Milleneum Development Goals) menjadi tema global yang baru.
Tema ini dijabarkan ke dalam berbagai isu pembangunan kesehatan seperti sistem kesehatan,
pengembangan SDM, dan pemberdayaan organisasi kesehatan. Proposal kegiatan yang
dikembangkan oleh UPLEK juga disesuaikan dengan kebutuhan dan arah pembangunan sektor
kesehatan di daerah. Misalnya, pengembangan sistem kesehatan daerah, reformasi
(revitalisasi) Puskesmas, pengembangan rencana strategis RS, business plan RS, evaluasi
sistem pembiayaan Jaminan kesehatan Kabupaten Jembrana (dikenal dengan JKJ),
pengembangan instrumen untuk pendataan kemiskinan, penelitian tentang struktur organisasi
kesehatan di era otonomi daerah (kajian organogram), analisis perencanaan dan penganggaran
Dinas Kesehatan (District health account), sistem jaminan pembiayaan kesehatan,
pengembangan program kesehatan terkait dengan pelayanan obstetri dan neonatal esensial
melalui RS dan Puskesmas, dan pengembangan manajemen strategis organisasi Kesehatan di
Bali.
Tidak terasa, perjalanan waktu sudah sampai di penghujung tahun 2006. Tanggal 1 Mei 2007,
UPLEK akan berusia 20 tahun. Tahap-tahap pengembangan kapasitas penelitian institusi
sudah dilalui oleh UPLEK FK UNUD. Tentu saja banyak hal-hal penting yang bisa dipetik
sebagai pembelajaran bagi tim UPLEK. Banyak pengalaman berharga bisa dipetik melalui
berbagai kegiatan untuk mengembangkan kapasitas penelitian institusi. Sejauh mana
kapasitas penelitian institusi sudah dikerjakan oleh staf UPLEK, biarkan saja waktu yang akan
mencatatnya. Masih banyak tantangan yang harus dilalui untuk mengembangkan UPLEK lebih
lanjut terutama setelah para pengasuhnya harus minggir dari area karena usia pengabdian
sebagai dosen FK UNUD akan berakhir pada waktunya nanti. Saya sangat berharap akan
semakin banyak staf muda FK UNUD, dan fakultas/program studi di UNUD mau menekuni
kegiatan penelitian secara profesional sehingga kapasitas penelitian institusi bisa terus
dikembangkan. Selain itu, publikasi ilmiah di forum dan jurnal internasional juga diharapkan
akan semakin dilakukan oleh peneliti muda dari UNUD dan lembaga pendidikan tinggi lainnya
di Indonesia pada umumnya.
Modal utama untuk membangun kapasitas penelitian institusi adalah kemauan, komitmen dan
ketekunan para staf peneliti. Saya sampai menghentikan praktek sebagai dokter praktek
swasta tahun 1992 sampai sekarang. Mengapa? Kegiatan akademik saya mulai lebih terfokus
untuk melakukan kegiatan penelitian dan jaringan penelitian saya baik nasional maupun
internasional juga semakin berkembang.
Sebagai unit fungsional yang khusus bergerak di bidang penelitian, para peneliti harus
dilengkapi dengan staf sekretariat. Tidak mungkin fokus melakukan penelitian, kalau sebagian
waktu juga harus dimanfaatkan untuk mengurus administrasi penelitian terutama aspek
keuangannya. Staf sekretariat UPLEK sangat membantu staf peneliti mengembangkan
kapasitas dan produktivitas penelitian institusi.
Di balik keberhasilan dan potensi, kami juga mengalami kendala mengembangkan karier staf
melalui kegiatan penelitian. Seperti yang sudah dijelaskan di bagian pendahuluan laporan ini,
mengembangkan karier staf sebagai peneliti di PT masih terganjal oleh tuntutan
kesejahteraan staf sejalan dengan semakin meningkatnya senioritas masing-masing peneliti.
Menjadi peneliti di Indonesia memang belum menjanjikan peningkatan kesejahteraan. Apalagi
untuk dokter yang penghasilannya jauh lebih besar bisa diperoleh melalui praktek dokter di
beberapa RS dan sore hari.
Oleh karena itu, masalah terbesar yang dihadapi institusi untuk mengembangkan kapasitas
penelitian (terutama institusi FK) adalah kelangkaan staf dosen yang mau, mampu, tekun dan
berdisiplin melakukan penelitian, apalagi bersedia turun ke lapangan untuk mengumpulkan
data. Sampai saat ini, secara umum staf FK yang mau serius, tekun dan profesional menjadi
peneliti masih sangat langka.
Selain kendala mengembangkan motivasi staf untuk menjadi peneliti dan dikaitkan dengan
masalah insentif, lemahnya keterampilan staf menyusun proposal juga merupakan kendala lain.
Kendala ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa Inggris dan ketekunan
membaca hasil penelitian yang diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah. Kemampuan ini juga tidak
terlepas dari lemahnya kemampuan menulis dan minat baca staf sejak masih menjadi pelajar
di sekolah lanjutan.
Untuk mengantisipasi hambatan ini, proses pelatihan penyusunan proposal memegang peranan
penting. Proses ini sudah saya buktikan sangat membantu untuk membangun kapasitas
penelitian institusi. Kami menimba banyak pengalaman berharga setelah beberapa kali
mengikuti pelatihan pengembangan penelitian yang diselenggarakan oleh tim ADDR dari HIID
bekerjasama dengan child survival centre FKM UI. Proses pengembangannya sangat
komprehensif mulai dari studi kepustakaan untuk perumusan masalah yang akan menjadi
dasar penyusunan proposal, workshop untuk analisis data dan publikasi hasil penelitian,
termasuk disediakan dana dan didampingi sampai ke pertemuan internasional untuk
mempresentasikan hasil penelitian.
Masalah ketersediaan dana untuk mendukung kegiatan penelitian sebenarnya bukan masalah
utama. Yang penting, manajer institusi penelitian mampu mengembangkan kerjasama dengan
berbagai sumber pendanaan baik nasional (APBN dan APBD), maupun donor internasional.
Semua donor internasional mempunyai kebijakan untuk mengalokasikan sejumlah dana untuk
menunjang pengembangan penelitian oleh para peneliti dari perguruan tinggi. Dalam hal ini,
kepiawaian manajer lembaga penelitian PT untuk mengembangkan jaringan kerjasama dan
hubungan personal dengan para manajer donor termasuk kemampuan berbahasa Inggris.
Menjalin kerjasama dengan donor bisa dilakukan pada saat manajer lembaga penelitian
menghadiri pertemuan ilmiah internasional. Ajang pertemuan seperti ini akan sangat
bermanfaat untuk mencari hubungan dan menjalin kerjasama dengan para donor apalagi kalau
para peneliti juga membawa proposal penelitian yang sudah siap dipasarkan.
Jika dirasakan masih ada hambatan untuk membangun kapasitas penelitian institusi di
Indonesia maka masalahnya mungkin saja terletak pada belum kondusifnya kebijakan dan
sistem. Seperti dijelaskan pada awal tulisan ini, kondisi ini sangat erat terkait dengan sistem
pendidikan di Indonesia yang belum kondusif untuk pengembangan dharma penelitian di PT.
Kelemahan sistem ini diperparah lagi oleh rendahnya alokasi anggaran pemerintah untuk
menunjang pengembangan program penelitian. Selain itu, keruwetan sistem birokrasi
keuangan di Indonesia juga sangat menghambat proses pengembangan penelitian termasuk
lambatnya turunnya anggaran. Rendahnya insentif dan penghargaan yang diberikan kepada
staf PT yang tekun melakukan penelitian juga sangat mengganggu motivasi staf
mengembangkan karier sebagai peneliti profesional. Harap jangan dibandingkan insentif
sebagai peneliti dengan insentif dokter yang didapat dari praktek sore (masalah ini khas di
FK).
Salah satu insentif sebagai peneliti yang bisa diberikan kepada staf peneliti PT adalah
kenaikan pangkat, dukungan dana untuk berpartisipasi di forum pertemuan ilmiah
internasional dan nasional. Jika mutu penelitian staf PT bisa dikategorikan baik dan dihargai
oleh masyarakat ilmiah internasional, sebenarnya para peneliti PT tersebut sudah ikut
memberikan dharma baktinya untuk menyumbang pengembangan ilmu pengetahuan terkait
dengan topik penelitian yang ditekuninya.
Sebagai lembaga penelitian di sebuah negara berkembang, UPLEK FK UNUD juga tidak luput
dari tema global yang diusung oleh donor internasional. Pemilihan tema penelitian seperti ini
memang tidak bisa dihindari. Meskipun demikian, institusi kita seharusnya masih bisa
menerima kondisi seperti ini dengan akal sehat. Pemilihan tema global oleh donor
internasional yang berkantor di Indonesia tidak mungkin bisa dilepaskan dari masalah
kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di Indonesia, termasuk yang bertujuan
untuk memberdayakan organisasi pelayanan kesehatan di daerah. Yang mungkin bermasalah
adalah bagaimana tema yang diusung oleh institusi penelitian bisa menghasilkan penelitian dan
pelatihan yang bermutu serta relevan dengan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan
kepada masyarakat di negeri ini.
Penutup
Membangun kapasitas penelitian institusi membutuhkan investasi baik waktu, SDM, dana, dan
perhatian termasuk yang tidak kalah penting yaitu strategi dan kebijakan institusi yang
kondusif untuk menunjang pengembangan penelitian staf. Untuk melihat hasil, membangun
kapasitas penelitian sebuah institusi membutuhkan waktu minimal tiga tahun apalagi
penelitian memang sengaja dirancang untuk mengangkat gengsi dan nama institusi. Itupun
kalau jumlah dana penelitian yang tersedia memadai dan tidak terputus di tengah jalan
karena berubahnya sistem keuangan pemerintah dan kebijakan pimpinan institusi.
Untuk mengembangkan kapasitas penelitian, staf peneliti juga perlu mendapat pelatihan
khusus untuk meningkatkan kompetensi mereka sebagai peneliti. Selain itu, strategi dan
kebijakan pimpinan institusi terkait dengan penyediaan dana dan pengiriman staf ke luar
institusi untuk mengikuti program pendidikan dan pelatihan harus kondusif dengan proses
pengembangan kapasitas penelitian institusi. Untuk itu, perencanaan strategis pengembangan
lembaga yang terkait dengan peningkatan kapasitas penelitian institusi harus dituangkan ke
dalam rencana strategis lembaga seperti pengembangan perpustakaan institusi,
pengembangan jaringan internet, penyediaan anggaran penelitian, pemberian insentif bagi
staf yang berprestasi di bidang penelitian, dan pengembangan jaringan kerjasama institusi
baik dengan donor internasional maupun dengan institusi pendidikan yang maju di luar negeri.
Sekali investasi untuk mengembangkan kapasitas penelitiain institusi disambut positif oleh
staf dosen, strategi dan kebijakan selanjutnya adalah menjaga momentum dan komitmen para
peneliti sampai mereka bisa menularkan kompetensinya kepada mahasiswa dan staf yang
lebih muda. Berbagai kegiatan yang bisa dikategorikan mendukung pengembangan kapasitas
penelitian institusi adalah penyelenggaraan seminar akademik di Jurusan/Fakultas atau
program studi secara rutin yang mempresentasikan hasil-hasil penelitian staf. Kegiatan ini
akan bisa menjaga momentum dan spirit pengembangan kapasitas dan mutu penelitian
institusi.
Berbagai insentif dan disinsentif untuk staf perlu dikembangkan dalam bentuk kebijakan
pimpinan. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan staf dosen yang benar-benar ingin
mengembangkan karier sebagai peneliti dan mereka yang sebagian waktunya di kampus
digunakan hanya untuk mengajar saja. Mereka yang mampu menghasilkan penelitian yang
bermutu dan yang mampu menyumbang hasil penelitiannya untuk pengembangan khasanah ilmu
pengetahuan seharusnya mendapat penghargaan dari lembaga untuk lebih mendorong mereka
untuk terus berkarya di bidang penelitian.
Selain itu, yang juga menjadi kunci keberhasilan pengembangan kapasitas penelitian institusi
adalah leadership ketua lembaga penelitian. Dengan kebijakan dan strategi yang
dikembangkannya, lembaga penelitian sebuah institusi akan kelihatan maju atau mundur.
Kriteria kemajuan biasanya ditentukan dari jumlah dana hibah bersaing yang mampu diperoleh
oleh staf peneliti yang terhimpun oleh lembaga penelitian institusi, jumlah publikasi yang
disampaikan oleh staf institusi di berbagai forum pertemuan nasional yang bergengsi dan
jurnal terakreditasi nasional dan internasional.
Lampiran 1
Umpan balik
Fase
Kegiatan
Pengembangan
proposal Proposal Lokakarya Konsep
penelitian pengembangan paper
proposal penelitian
Jurnal ilmiah
terakreditasi
Diadopsi dari A. A. Gde Muninjaya langkah-langkah praktis penyusunan proposal dan publikasi ilmiah,
hal. 10; EGC 2003
Lampiran 2
1. Home Treatment of Acute Diarrhoea in Bali, Indonesia, pada Journal Diarrhoeal Disease
Research, Bangladesh tahun 1991
2. Tata Cara Penulisan Makalah Ilmiah, pada Medika No. 8, 18 Agustus 1992
3. Praktek Pemberian Suntikan Pada Empat Puskesmas di Bali, pada Majalah Berita AIDS
Indonesia Vol. II No. 3, 1993
4. Development of Culturally Appropriate Educational Material to Improve Home Case
Management of Diarrhea in Rural Lombok, Indonesia, pada Journal Community Health
Education tahun 1994
5. Factors Associated with the Use of oral Rehydration Solution Among Mothers in West
Lombok, Indonesia, pada Journal Diarrhoeal Disease Research, Bangladesh tahun 1994
6. AIDS dan Keluarga Berencana, Berita AIDS Indonesia tahun 1994
7. Keppres 36/94 dan Ketahanan Keluarga, Majalah Kesehatan Perkotaan, Desember 1994
8. Dibalik Misteri AIDS, Berita AIDS Indonesia, Juni 1995
9. AIDS dan Ebola, Serupa tapi Tak Sama, Berita AIDS Indonesia, Juni 1995
10. AIDS dan Produktifitas SDM, Berita AIDS Indonesia Januari 1996
11. Development of Culturally Appropriate Educational Material to Improve Home Case
Management of Diarrhea in Rural Lombok, Indonesia, Jurnal Kedokteran YARSI Januari
1995
12. Potensi Penularan HIV Melalui Supir Truk: Studi Kasus Rute Surabaya Denpasar, Medika
Februari 1996
13. Kontroversi Test HIV pada Bayi, Medika Februari 1997
14. AIDS Muncul, TBC semakin berkembang, Majalah PMP AIDS Juli 1997
15. Peranan Keluarga dalam Upaya Penanggulangan AIDS di Indonesia, Jurnal Kajian Hindu,
Budaya dan Pembangunan Widya Satya Dharma Maret 1997
16. Abortus, Infertil, dan Program KB Nasional, Medika No. 1 Tahun XXIV Januari 1998.
17. Dampak Ekonomi Demam Berdarah Dengue di Kota Denpasar, Majalah Kedokteran
Udayana Vol. 34 No. 121 Juli 2003.
18. Kinerja Pokjanal Demam Berdarah Dengue dalam Penanggulangan DBD, Majalah Ilmiah
ATMA nan JAYA Tahun XVII No. 2 Agustus 2003.
19. Dampak Ekonomi Demam Berdarah di Kota Denpasar, Medika No. 11 Tahun ke XXIX,
November 2003.
20. Hasil Evaluasi Program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) Sebuah Skema Pembiayaan
Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, Majalah Kesehatan Perkotaan
Volume 12, Juli 2005.
21. Menyikapi Tujuan Pendidikan Kedokteran Kita, Buletin Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Edisi 6, November 2005.
22. Dampak ekonomi dari Avian influenza (H5N1) di Bali, Jurnal PMPK UGM vol.
09./no.01/Maret/2006.
23. Meta analisis kinerja sistem kesehatan Prov. Bali, majalah kedokteran Udayana (in-press
2006)
24. Kesehatan mental Pemuda: sebuah kajian ekonomi, Majalah Piramida Fak. Ekonomi UNUD
(in-press, 2006)