Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

KETENTUAN HAID DAN NIFAS

KELOMPOK 5
Disusun Oleh:

1. Fraga Batara. KT
2. Nining Rohimah
3. Nur Aina Sari
4. Nurulhijriah Awaliah.R
5. Nurhidayah Apriana Syam

MATA KULIAH AGAMA


AKADEMI KEPERAWATAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
2015/2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan petunjuk dan
atas limpahan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Agama
Islam ini. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen selaku
fasilitator mata kuliah Agama Islam, yang selama ini telah membimbing kami dalam
mempelajari materimateri tersebut.

Makalah ini kami susun sebagai tugas seminar dalam perkuliahan. Materi
yang dimuat dalam makalah yakni mengenai Ketentuan Menstruasi/Haidh dan Nifas.
Selain dari itu, makalah ini kami susun sebagai salah satu literatur untuk menambah
pengetahuan Mahasiswa lainnya dalam mempelajari materi yang bersangkutan.

Kami menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna. Oleh


karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang
sifatnya membangun, agar dapat kami gunakan sebagai masukan dalam penyusunan
makalah selanjutnya. Atas perhatian dan partisipasi yang telah diberikan kami
menghaturkan terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin..

Samarinda, September 2015

Penyusun
Kelompok 5

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan ............................................................................... 1
1. Latar Belakang ..................................................................... 1
2. Tujuan ................................................................................... 2
BAB II Pembahasan ................................................................................ 3
1. HAID...................................................................................... 3
1.1 Hakikat Haid ................................................................ 3
1.2 Ciri-ciri Darah Haid ..................................................... 7
1.3 Warna Darah Haid........................................................ 9
1.4 Tempo Haid.................................................................. 12
1.5 Hal-hal Terkait dengan Haid........................................ 15
1.6 Riwayat-riwayat Hadits Tentang Darah Haid.............. 20
2. NIFAS.................................................................................... 21
2.1 Makna Nifas................................................................. 21
2.2 Hukum-Hukum Nifas................................................... 23
2.3 Dalil Nifas dalam Hadis............................................... 26
2.4 Hal yang Dilarang Dilakukan Wanita Sedang Nifas.... 28
3. PERBEDAAN HAID DAN NIFAS....................................... 32
4. BEBERAPA HUKUM TERKAIT HAID DAN NIFAS........ 32
BAB III Penutup ...................................................................................... 35
A. Kesimpulan ..........................................................................
35
B. Saran ..................................................................................... 35

ii
Daftar Pustaka .............................................................................................. 36

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Al-Qur'an membawa sebuah revolusi paling besar dalam pemberian martabat


paling terhotmat kepada wanita. wanita dalam islam adalah ssok terhormat dengan
hak-hak sangat istimewa. satu hal yang tidak pernah dinikmati oleh wanita lain diluar
Islam. kehadiran islam telah menjungkirbalikkan pandangan negatif manusia trhadap
wanita menjadi pandangan positif. pada sebuah kesempatan, Rasulullah pernah
bersabda "Wanita-wanita itu adalah sodara sekandung kaum laki-laki." Makalah ini
menyinggung mengenai hak dan kewajiban wanita dari sisi hukum dan moralitas
mengenai haidh dan nifas. betapa pentingnya seorang wanita mengetahui ketentuan-
ketentuan hukum islam yang mengatur kodrat wanita. seorang wanita pada masanya
pasti mengalami siklus haid dan nifas dalam hidupnya.

Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh
wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi baik
FSH-Estrogen atau LH-Progesteron. Periode ini penting dalam hal reproduksi.
Pada manusia, hal ini biasanya terjadi setiap bulan antara
usia remaja sampai menopause. Haid mengandung dua pengertian, secara bahasa dan
istilah. Haid menurut bahasa merupakan bentuk mashdar dari hadha-haidh. Hadhat
al-mar'ah haidhan, mahadhan, dan mahidhan berarti "ia haid". Kata al-haidhah
menunjukkan bilangan satu kali haid. Sedangkan al-hidhah adalah kata nama, bentuk
jamaknya al-hiyadh.

Nifas dari segi bahasa berasal dari kata na fi sa yang bermaksud melahirkan.
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan melahirkan atau setelah
melahirkan. Darah nifas merupakan darah yang tertahan dan tidak bisa keluar dari

1
rahim selama hamil. Ketika melahirkan, darah tersebut keluar sedikit demi sedikit.
Darah yang keluar sebelum melahirkan, disertai tanda-tanda kelahiran yang disebut
juga sebagai darah nifas. Menurut Imam Asy-Syafi'i, darah nifas adalah darah yang
keluar dari Rahim wanita yang sebelumnya mengalami kehamilan, meskipun darah
yang keluar hanya berwujud segumpal darah.

2. Tujuan

1. Untuk memenuhi nilai tugas kelompok mata kuliah Agama.


2. Agar Mahasiswa Mengetahui Ketetentuan Islam mengenai Haid
3. Agar Mahasiswa Mengetahui Ketetentuan Islam mengenai Nifas
4. Agar Mahasiswa Mengetahui Perbedaan Haidh Dan Nifas
5. Agar Mahasiswa Mengetahui Beberapa Hukum Terkait Haid Dan Nifas

BAB II

2
PEMBAHASAN

1. HAID
1.1 Hakikat Haid

a. Hakikat Haid dari Segi Bahasa dan Istilah

Haid mengandung dua pengertian, secara bahasa dan istilah. Haid


menurut bahasa merupakan bentuk mashdar dari hadha-haidh. Hadhat al-
mar'ah haidhan, mahadhan, dan mahidhan berarti "ia haid". Kata al-haidhah
menunjukkan bilangan satu kali haid. Sedangkan al-hidhah adalah kata nama,
bentuk jamaknya al-hiyadh. Haidhah juga berarti kain yang dipakai untuk
menutupi seorang wanita. Demikian juga al-mahidhah, bentuk jamaknya
adalah al-maha'idh.

Allah berfirman. "Dan mereka bertanya kepadamu tentang al-mahidh."


Artinya, waktu dan tempat juga haid itu sendiri. Makna dasarnya adalah
waktu dan tempat, serta majaz dari haid. Ath-Thabari menjelaskan, "Al-
Mahidh adalah nomenklatur untuk haid." Aslinya ia bermakna mengalir dan
memancar. Hadha as-sail wa fadha; hadhat asy-syajarah berarti "jika
kelembabannya mengalir". Makna lain dari haid adalah al-haudh (kolam),
karena air mengalir di dalamnya. Orang Arab memasukkan wawu ke dalam
ya' dan ya' ke dalam wawu karena keduanya dari jenis yang sama.

Haid termasuk perkara yang sering terjadi. Ia merupakan fitrah


penciptaan bagi wanita dan tabiat yang biasa dan mereka. Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri, ia berkata: Rasulullah keluar pada
hari raya Idul Adha atau Idul Fitri menuju tempat shalat dan melewati kaum
wanita, lalu beliau bersabda: "Wahai kaum wanita, perbanyaklah sedekah,
karena saya lihat kalianlah penghuni neraka yang terbanyak." Mereka
bertanya, "Mengapa demikian wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Kalian

3
banyak melaknat dan kufur terhadap keluarga dekat. Saya tidak melihat
orang yang lebih lemah akal dan agamanya daripada kalian." Mereka
bertanya kembali, "Mengapa akal dan agama kamu kurang, ya Rasulullah?"
Nabi menjawab, "Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari
persaksian seorang laki-laki?" Mereka menukas, "Benar." Rasulullah
bersabda lagi, "Itulah kurangnya akal wanita. Bukankah jika ia haid tidak
shalat dan tidak puasa?" Mereka menukas, "Benar, ya Rasulullah." Beliau
bersabda, "Itulah kurangnya agama wanita."

Haid dan suci keduanya dinamakan qar'a dengan baris fathah atau qur'a
dengan baris dhammah. Di antara ulama ada yang membedakan, di antara
keduanya menjadi dua mazhab; Ada yang mengatakan ithlaq dalam isytirak,
dan ada yang mengatakan pasti pada bagian yang bersama-sama. Namun,
bagian bersama itu masih diperdebatkan; Ada yang mengatakan bahwa
berkumpulnya darah dalam tubuh selama suci, atau dalam rahim ketika haid,
karena makna qur'a pada awalnya adalah bersatu, seperti qara'tu al-ma';
berarti "aku mengumpulkan air". Sama halnya dengan qira'ah (membaca)
buku karena ia mengumpulkan huruf demi huruf dan kalimat demi kalimat.
Sedangkan contoh yang bersama-sama dari segi waktu adalah sebagaimana
ucapan orang Arab, ja'a fulan li qur'ihi; artinya "ia datang untuk waktunya",
karena keduanya memiliki waktu-waktu tersendiri.

Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, Dia itu adalah
suatu kotoran (najis). Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari
wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka,

4
sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih),
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada
kalian. (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata:




Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha
puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat. (HR. Al-Bukhari No. 321 dan
Muslim No. 335)

b. Hakikat Haid Menurut Ilmu Alam

Secara alamiah, haid merupakan sisa-sisa tubuh dan makanan yang tidak
bisa diserap lagi. Oleh karena itu, baunya menyengat, warnanya menjijikkan,
dan berbeda dengan daerah biasa.

c. Hakikat Haid Secara Syar'i

Kalangan ahli fiqh mendefinisikan haid secara beragam dengan bahasa


yang berbeda-beda, namun maknanya satu, yaitu haid adalah darah yang
dikeluarkan oleh rahim seorang wanita setelah ia sampai pada waktu
tertentu.

d. Haid Menurut Ulama Hanafiyah

Menurut ulama Hanafiyah, "Haid adalah nama untuk darah khusus, yaitu
darah yang keluar dari tempat khusus, yaitu kemaluan perempuan, tempat
keluarnya anak anak dan melakukan hubungan dengan cara-cara tertentu,
jika ia menemukan darah itu maka ia haid dan jika keluar di waktu itu maka
ia istihadhah."

5
Al-Kasani mendefinisikan haid dalam kitabnya Al-Bada'i dengan
definisi yang lebih lengkap: "Haid dalam terminologi syaraf adalah nama
untuk darah yang keluar dari rahim yang tidak diikuti kelahiran, memiliki
waktu-waktu tertentu dan tempo yang sudah diketahui." Beliau menjelaskan
tempat keluarnya haid dan perbedaannya denga darah nifas, dan bahwa haid
memiliki waktu-waktu tertentu dan durasi yang sudah ditentukan.

e. Haid Menurut Ulama Malikiyah

Ulama Malikiyah mendefinisikan haid sebagai "Darah yang keluar


sendiri dari kemaluan wanita dan biasanya wanita yang sudah bisa hamil."
Keluar sendiri berarti tidak karena ada sebab melahirkan, malakukan
hubungan, luka, pengobatan, sakit, atau gangguan pada anggota tubuh
sehingga bisa keluar darah istihadhah. Adapun ucapan mereka, "keluar dari
kemaluan" maksudnya untuk mengecualikan darah yang keluar dari dubur
karena ia bukan haid. Sedangkan maksud dari ucapan mereka, "biasanya ia
sudah bisa hamil", untuk mengecualikan wanita yang masih di bawah usia
baligh, yaitu sembilan tahun atau wanita yang sudah berumur tujuh puluh
tahun, karena ia bukan darah haid lagi.

Penulis Kitab Ar-Raudh An-Nadhir mengatakan, "Haid menurut


terminologi syariat adalah penyakit yang keluar dari rahim yang sudah
ditentukan batas maksimal dan minimalnya, dan suci di antara kedua
penyakit itu dijadikan petunjuk untuk menentukan hukum dan mengetahui
'illat pada hukum yang lain." Termasuk dalam kategori penyakit adalah
darah kekuningan dan yang keruh, yang keluar pada saat haid. Maksud
ucapannya "keluar dari rahim", untuk mengecualikan darah yang keluar dari
tempat lain. Dan ucapannya, "yang sudah ditentukan batas maksimal dan
minimalnya" adalah untuk mengecualikan darah nifas sebab tidak ada batas
maksimal dan minimal. Dan ucapannya, "dan bersih di antara keduanya"

6
untuk memasukkan satu hari dia antara hari-hari haid, Dan ucapannya,
"dijadikan petunjuk untuk menentukan hukum" seperti baligh. bersihnya
rahim dari anak, dan habisnya waktu 'iddah. Sedangkan ucapannya, "dan
untuk mengetahui 'illat pada hukum yang lain" seperti haramnya jimak,
shalat, menyentuh mushaf, membaca Al-Qur'an, dan yang lainnya.

1.2 Ciri-ciri Darah Haid

Ciri darah haid seperti yang dikisahkan Allah dalam firman-Nya,


"Katakanlah haid itu penyakit". Atha', Qatadah, dan As-Suddi mengatakan,
ia adalah kotoran, dan menurut bahasa adalah segala sesuatu yang tidak
disukai.

Sedangkan menurut penjelasan Rasulullah, haid memiliki ciri; pertama,


berwarna hitam; kedua, terasa panas; ketiga, darahnya hitam seakan terbakar;
keempat, keluarnya perlahan-lahan dan tidak sekaligus; kelima, memiliki bau
yang sangat tidak enak, berbeda dengan daerah yang lain karena ia berasal
dari sisa tubuh; keenam, sangat kemerahan.

Inilah ciri-ciri utama darah haid berdasarkan nash Al-Qur'an dan hadis
Rasulullah. Namun, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa darah haid
berbeda dengan istihadhah. Setiap darah yang keluar dengan ciri-ciri di atas ia
adalah haid, dan yang tidak memiliki sifat seperti itu ia bukan haid, dan jika
terjadi kemiripan antara keduanya maka pada dasarnya taklif tetap dan tidak
gugur dan taklif baru bisa gugur jika ada penghalang, yaitu datangnya haid.

Jika haid tidak bisa ditentukan, maka semua taklif tetap wajib
dijalankan seperti apa adanya. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa
ciri-ciri ini terkadang menyulitkan sebagian orang dan membuat bingung.
Allah telah menetapkan ukuran waktu secara jelas, maka kapan saja seorang
wanita menemukan ada darah maka berlakulah hukum haid, apa pun cirinya.

7
Dan kapan saja darah itu keluar di luar waktu yang sudah ditentukan maka ia
bukan darah haid, apa pun bentuknya. Tujuannya jelas, menghilangkan
kesusahan dan kesulitan dari seorang mukallaf. Oleh karena itu, terminologi
syariat membatasi darah haid dengan batas waktu ang sudah diketahui.

Dalam kitab Al-Masbuth, As-Sarkhasi menjelaskan perbedaan antara


darah yang sehat dan yang rusak. Ia mengatakan bahwa darah yang rusak ada
beberapa jenis, yaiu sebagai berikut.

1. Darah yang keluar kurang dari tempo minimal haid, sebab batas
syariat menolak tempo yang kurang dari ukuran minimal haid untuk
dijadikan bagian dari tempo haid.

2. Jika tempo lebih dari batas maksimal, dikarenakan batas maksimal


haid menurut syariat sudah ditentukan, maka yang lebih dari itu tidak
dapat disatukan hukumnya, jika tidak maka tidak ada arti dari
pembatasan itu.

3. Darah yang keluar lebih dari tempo maksimal nifas.

4. Darah yang terlihat oleh wanita yang sedang hamil, walaupun ada
perbedaan di antara para ulama.

5. Darah yang dilihat oleh wanita yang masih sangat belia karena belum
sampai waktunya sehingga tidak dapat disamakan dengan darah yang
sehat. Jika kita samakan, itu sama artinya dengan kita menetapkan
masa balighnya, sedangkan ia masih sangat belia.

6. Darah yang terlihat oleh wanita lanjut usia.

Wanita suci adalah yang bersih dari haid. Wanita haid adalah wanita
yang melihat darah pada waktunya dengan beberapa syarat. Wanita
mustahadhah adalah wanita yang melihat darah setelah selesai dari haid

8
dengan ciri yang tidak sama dengan haid. Sedangkan wanita yang memiliki
darah rusak adalah wanita yang senantiasa keluar darah dan bukan darah haid.

1.3 Warna Darah Haid

Darah haid itu ada enam warna. Sebagian sudah disepakati dan sebagian
lagi belum disepakati. Enam warna itu adalah hitam, merah, keruh,
kekuningan, kehijauan, dan kecokelatan.

Warna hitam adalah darah haid dan sudah disepakati oleh ulama sesuai
dengan sabda Rasulullah. "Darah haid itu berwarna hitam, berbau tidak sedap,
dan terbakar." Demikian juga darah warna merah termasuk darah haid, sebab
ia warna asli darah hitam. seperti dalam hadis rasulullah SAW

Darah haid itu adalah suatu jenis darah hitam yang sudah di
kenal. (HR abu dawud dan nasai).

Imam Asy-Syafi'i mengatakan, "Darah haid hanya berwarna hitam


saja." Ia berdalil dengan hadis yang diriwayatkan dari Nabi ketika beliau
bersabda kepada Fathimah binti Hubaisy ketika ia mengalami istihadhah:
"Jika memang ia haid maka darahnya berwarna hitam, maka tinggalkanlah
shalat dan jika selain itu maka cukuplah kamu berwudhu, lalu kerjakan
shalat."

Ulama Hanafiyah berdalil dengan firman Allah, "Mereka bertanya


kepadamu tentang haid maka katakanlah ia adalah penyakit." Allah
menjadikan haid sebagai penyakit dan darah penyakit itu tidak hanya
berwarna hitam. Diriwayatkan bahwa para sahabat wanita pernah mengirim
kapas yang sudah dipakai untuk membersihkan kemaluan ketika haid kepada
Aisyah, lalu ia berkata, "Belum bersih, sehingga kalian melihat ada garis putih

9
yang bersih." Aisyah menceritakan bahwa selain yang berwarna putih adalah
haid. Yang tampak dari cerita itu bahwa Aisyah menceritakan apa yang pernah
didengarnya dari Rasulullah, karena ini adalah satu hukum yang tidak bisa
dibuat hanya dengan berijtihad sendiri. Selain itu, darah haid juga sangat
tergantung dengan makanan yang dimakan dan dengan begitu tidak tepat jika
ada pembatasan.

Adapun darah yang berwarna keruh, jika terjadi di akhir hari haid,
hukumnya adalah haid tanpa perbedaan di antara ulama Hanafiyah. Demikian
juga di awal hari haid, menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Abu
Yusuf mengatakan ini bukan haid, adapun yang berwarna kecokelatan sama
seperti yang berwarna keruh.

Sementara yang berwarna kekuningan, ada yang mengatakan jika ia


terlihat pada hari pertama haid maka ia haid. Jika ia terlihat di hari terakhir
suci dan bersambung dengan waktu haid maka tidak termasuk haid,
sedangkan menurut pendapat masyarakat umum ia termasuk haid, apa pun
keadaannya.

Sedangkan yang berwarna kehijauan, sebagian mengatakan sama


seperti yang berwarna keruh dan tetap ada perbedaan pendapat.Namun
mengenai darah kuning dan keruh diatas para fuqaha masih banyak yang
berbeda pendapat, tentang apakah jenis darah tersebut masuk kategori darah
haid atau bukan. Menurut sebagian fuqaha itu termasuk kategori darah haid.
Ini juga di perkuat oleh pendapat imam syafii dan imam abu hanifah. Dalam
kitab al mudawwanah, imam malik berpendapat darah jenis diatas termasuk
haid , baik keluarnya langsung setelah darah haid atau ada bekas darah haid.

Sebab perbedaan di kalangan para fuqaha itu adalah adanya dua haidts
yang lahirnya saling bertentangan.

10
Pertama, hadits ummu athiyah yang menyatakan:

dari ummu athiyah r.a, ia berkata: kami tidak menganggap warna kuning dan
keruh sebagai darah haid stelah suci dari haid.(HR. Abu dawud dan bukhari)

Kedua, hadits riwayat aisyah r.a :


:
( )

dari al qamah bin abi al qamah dari ibunya marjanah mawlat aisyah r.a
ia berkata: para wanita telah diutus menghadap kepada aisyah r.a, dengan
membawa wadah make up yang di dalamnya terdapat kapas yang terkena
(darah haid) berwarna kuning. Maka aisyah berkata; janganlah tergesah -
gesah (mandi), sampai kalian melihat kapas itu berwarna putih.(HR malik
dan muhammad bin al hasan, serta di riwayatkan oleh bukhari secara mualaq)

Ulama yang menguatkan hadits aisyah menganggap shufrah (darah


kuning) itu sebagai darah haid,baik keluar pada masa haid atau tidak, maupun
keluar bersamaan dengan darah haid atau tidak. Ada pun fuqaha yang
memahami lahir hadits ummu athiyah secara mutlak. Tanpa memperhitungkan
itu keluar pada masa haid atau tidak, keluar langsung atau setelah darah haid
terputus.

Sedangkan ulama yang menggunakan metode komprehensip dalam


memahami kedua hadits di atas menyatakan bahwa hadits ummu athiyah
harus di fahami, jika darah kudrah (keruh) dan shufrah (kuning) keluar setelah
darah haid terputus itu tidak dianggap darah haid. Sedang hadits aisyah di
fahami, jika itu keluar langsung mengiringi atau ada bekas haid maka shufrah

11
dan kudrah tersebut di anggap darah haid. Jadi dapat di fahami hadits aisyah
itu berlaku jika keluarnya pada masa haid dan hadits ummu athiyah berlaku
jika keluarnya buakan pada masa haid.

1.4 Tempo Haid

a. Apakah Haid Memiliki Tempo?

Terkait dengan permasalahan ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa


haid memiliki batas waktu, baik maksimal atau minimalnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa haidh. Para


fuqaha Madinah berkata sesungguhnya masa haidh itu tidak lebih dari lima
belas hari, namun bisa saja jadi lebih dari lima belas hari, dan seterusnya.
Sedangkan jika ternyata lebih dari lima belas hari, maka itu tidak lagi disebut
haidh, namun ia adalah istihadhah. Ini adalah madzhab Malik dan sahabat-
sahabatnya.

Juga diriwayatkan dari Malik, bahwa tidak ada batas minimial dan
maksimal bagi seorang wanita yang haidh, kecuali sesuai kebiasaan apa yang
ada pada wanita. Seakan-akan dia mengembalikannya pada kebiasaan wanita.

Muhammad bin Maslamah berkata, Batas minimal suci adalah lima


belas hari. Pandangan ini adalah pandangan sebagian besar ulama Baghdad
dari kalangan penganu madzhab Maliki. Ini adalah pendapat Imam Asy-
Syafii, Abu Hanifah dan sahabat-sahabat mereka berdua serta Ats- Tsauri.

Al-Qarafi berkata dalam Kitab Adz-Dzakhirah: "Batas minimal haid


tidak ada, warna kekuningan dan yang berwarna keruh dianggap haid, baik
terjadi di awal haid atau ujung haid. Satu kali darah keluar dianggap haid, baik
terjadi di awal haid atau ujung haid. Satu kali darah keluar dianggap haid."
Dalam Kitab Al-Mudawwanah dijelaskan, jika darah keluar satu kali maka ia

12
tetap dianggap haid. Jika darah terhenti dan tidak keluar lagi, kecuali yang
pertama tadi hendaklah ia mandi dan shalat. Diriwayatkan dari Imam Malik
bahwa beliau mengatakan tidak ada batas waktu minimal dan maksimal,
kecuali apa yang ada pada wanita. Seakan beliau meninggalkan pendapat
pertamanya, mengembalikannya kepada kebiasaan wanita.

Sedangkan jumhur ulama berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh


Abu Umamah Al-Bahili dari Nabi beliau bersabda, "Tempo paling minimal
bagi seorang wanita, janda, dan perawan, semuanya adalah tiga hari. Dan
batas maksimalnya adalah sepuluh hari. Yang lebih dari sepuluh hari adalah
darah istihadhah." Ini adalah hadis yang mahsyur.

Diriwayatkan juga sebagian sahabat, di antaranya Abdullah bin Mas'ud,


Anas bin Malik, Imran bin Hushain, dan Utsman bin Abi Al-'Ash Ats-Tsaqafi,
mereka menyatakan bahwa tempo haid adalah tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan, sembilan, dan sepuluh hari. Dan tidak ada riwayat lain yang
bertentangan dengan ini sehingga bisa dianggap konsensus.

Ukuran syariat menolak sesuatu yang tidak ditetapkan batasnya


disamakan hukumnya dengan yang sudah ditetapkan batasnya. Sehingga hadis
yang mahsyur dan ijma' yang terjadi sebagai penjelas apa yang ada dalam Al-
Qur'an, dan menjadikan nifas sebagai acuan adalah tidak tepat karena tempo
minimal haid bisa diketahui dengan keluarnya darah dalam rahim, sedangkan
nifas dengan lahirnya anak, dan untuk haid tidak ada kelahiran.

b. Batas Maksimal dan Minimal Waktu Haid

Berikut tiga pendapat seluruh ulama fiqh tentang batas minimal dan
maksimal tempo haid, yakni sebagai berikut:

1. Tempo minimal haid adalah tiga hari dan maksimal sepuluh hari, ini
adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Syiah Zaidiyah.

13
2. Tempo minimal haid adalah sehari semalam dan maksimal adalah lima
belas hari, ini pendapat ulama Syafi'iyah dan ulama Hanabilah menurut
pendapat yang mahsyur dari mereka.

3. Tidak ada batas minimal khususnya dalam hal ibadah, ini ulama
Malikiyah dan Zhahiriyah dan maksimal lima belas hari menurut ulama
terdahulu dari mazhab ini dan tujuh belas hari menurut ulama terkini.

1.5 Hal-hal Terkait dengan Haid


a. Tempo Minimal Masa Suci

Ulama sudah sepakat tidak ada batas maksimal untuk masa suci.
Mereka juga sepakat jika seorang wanita melihat darah keluar sesaat lalu
kemudian berhenti, tidak dianggap haid. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat pada batas minimal suci.

Jumhur ulama selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa tempo


minimal suci yang memisahkan antara dua haid adalah lima belas hari,
semestinya tempo minimal haid lima belas hari juga. Tidak ada batas
maksimal, karena dapat berlanjut samapi satu aau dua tahun, dan ada juga
wanita yang tidak haid sama sekali, atau haid hanya sekali dalam setahun.

Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa tempo minimal suci


antara dua haid adalah tiga belas hari, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad dari Ali, "Seorang wanita datang kepadanya setelah dicerai oleh
suaminya, ia mengakui haid sebanyak tiga kali dalam sebulan. Ali brtanya
kepada Syuraih, 'Apa pendapatmu?' Syuraih menjawab, 'Jika ia bisa
mendatangkan beberapa orang saksi dari keluarganya yang bisa dipercaya
agama dan amanahnya maka saya akan menerima pengakuannya, jika tidak
maka ia adalah pendusta.' Ali berkata, 'Ia orang yang baik.'" Ucapan Ali ini

14
berupa penguatan kepadanya. Sebuah ucapan yang keluar dari mulut seorang
sahabat yang sangat terkenal dan tidak ada yang menentangnya, dan tiga kali
haid dalam sebulan menjadi bukti nyata bahwa tiga belas hari adalah masa
suci yang benar dan meyakinkan.

Maksud dari suci adalah waktu bersihnya seorang wanita dari darah
haid dan nifas. Suci itu ada dua tanda, keringnya darah dan keluar lendir putih
berupa cairan tipis yang muncul di akhir masa haid.

b. Bersih dari Darah pada Hari-hari Haid

An-naqa' artinya tidak ada darah, pada awalnya darah keluar secara
normal, kemudian berhenti beberapa waktu, lalu keluar kembali. Berikut
merupakan dua pendapat mengenai selama darah berhenti di hari haid
dianggap haid atau bukan:

1. Pendapat ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah, mereka mengatakan


besih ada hari-hari haid dianggap haid. Jika seorang wanita melihat
darah satu hari dan hari berikutnya suci, andaikan kain digosokkan pada
kemaluannya, lalu tidak ada bekas darahdan hari berikutnya keluar
darah, demikian seterusnya selama dalam tempo haid maka ia dianggap
sebagai orang yang haid pada saat itu.

2. Pendapat ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah, mereka memakai


konsep talfiq, yaitu menggabungkan satu darah dengan darah yang laind
dan menjadikan hari-hari bersih sebagai suci yang bena. Jika seorang
wanita haid melihatdarah sehari atau dua hari, lalu suci sehari atau dua
hari, maka ia harus mengumpulkan hari-hari haid menjadi satu dan
sisanya adalah hari suci. Semua orang sudah sepakat bahwa suci antara
dua haid jika temponya lima belas hari atau lebih merupakan pemisah

15
antara dua haid dalam tempo haid, sebelum dan sesudahnya dianggap
haid jika sampai tempo minimal masa haid.

c. Hukum Jika Darah Keluar Lagi Setelah Berhenti

Jika darah kembali keluar maka tidak lepas dari dua ketegori; keluar
dalam tempo haid dan keluar di luar tempo haid. Jika keluar dalam tempo haid
ada dua pendapat, yaitu sebagai berikut.

1. Masih termasuk haid sebab ia keluar dalam tempo haid, sama artinya
darah belum berhenti. Ini pendapat Ats-Tsauri, pendukung ra'yi, dan
Asy-Syafi'i.

2. Bukan termasuk haid.Ini pendapat Al-Khiraqi, dan mazhab Atha' karena


ia keluar setelah suci yang sah, sama artinya dengan keluar setelah habis
tempo haid. Berdasarkan riwayat ini hukumnya sama dengan
seandainya ia keluar setelah habis tempo haid.

d. Tanda-tanda Bersih dan Haid

Para ulama berbeda pendapat tentang tanda-tanda suci dari haid:

Sebagian berpendapat tanda bersih dari haid adalah munculnya


lendir putih atau kering. Ini pendapat Ibnu Hubaib pengikut
Imam Malik, baik memang sudah menjadi kebiasaannya ia bersih dengan
ciri atau dengan kering, yang mana saja ia dapatkan itulah tanda
bersihnya.

Sebagian lagi berpendapat, jika ia biasa melihat lendir putih


maka sah bersihnya kecuali dengan hal itu. Dan jika biasanya ia tidak
melihat lendir putih maka cukup dengan kering saja.

16
Akar perbedaan pendapat mereka adalah karena sebagian
mempertimbangkan aspek kebiasaan dan sebagian mempertimbangkan
aspek berhentinya darah saja.

Dikatakan kering jika sehelai kain dimasukkan ke dalam kemaluan dan


keluar tanpa ada sisa darah, walaupun basah karena lembabnya kemaluan.

Lendir putih adalah cairan putih seperti mani atau gumpalan bassah
keluar dari rahim ketika haid berhenti. Dan lendir lebih kuat untuk
menunjukkan bersihnya rahim, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Malik dari Al Qamah bin Abi Al Qamah, dari ibunya, budak Aisyah RA,
Ummul mu'minin, ia berkata: "Para wanita mengirim sehelai kain yang
berisikan kapas di dalamnya ada bercak kekuningan dari darah haid, mereka
bertanya tentang hukum shalat, kemudian Aisyah menjawab, 'Jangan
tergesa-gesa sampai kalian melihat lendir putih, maksudnya adalah tanda
bersihnya haid.'"

Menurut ulama Malikiyah, siapa yang biasa suci dengan keduanya atau
salah satunya maka dengan melihatnya ia dianggap suci dan tidak perlu
menunggu kering. Dan siapa yang melihatnya di masa permulaan haid,
sebaiknya ia menunggu waktu terakhir dan bersiap-siap mengerjakan shalat.
Barangsiapa yang terbiasa dengan kering, maka kapan saja ia melihat hal itu
atau melihat lendir putih, ia dianggap suci dan tidak perlu menunggu waktu
akhir dari keduanya, demikian juga wanita pemula yang belum pernah sama
sekali haid.

Agar lendir bisa keluar maksimal, sebaiknya ia menunggu sejenak


setelah kering, dan menurut ulama Malikiyah, jika ia menggunakan obat-
obatan untuk mempercepat tempo maka sejak saat itu ia bersih. Barangsiapa
yang kebiasaannya haid delapan hari, lalu ia meminum obat setelah tiga hari,

17
maka sisanya ia dianggap bersih. Namun, ulama menyatakan pengobatan ini
makruh hukumnya karena bisa membawa penyakit.

e. Waktu Keluar Haid

Para ulama sepakat bahwa umur minimal seorang wanita haid adalah
sembilan tahun qamariyah. Jika ia melihat darah sebelum umur ini, ia
dianggap darah rusak karena perempuan yang masih kecil tidak haid, sesuai
firman Allah "Dan wanita-wanita yang belum haid" (QS: At-Thalaq (65): 4)
dan yang menjadi alat ukur adalah keberadaan wanita yang seperti itu dan di
sini tidak ada wanita yang haid di bawah umur itu.

Selain itu, Allah menciptakan haid untuk satu tujuan pendidikan anak,
sedangkan anak itu belum bisa hamil, jadi tidak ada hikmah di sini.
Diriwayatkan dari Aisyah, "Jika seorang wanita sudah mencapai usia 50
tahun, ia sudah keluar dari batas haid." (HR. Ahmad). Ia juga pernah
berkata, "Kamu tidak akan pernah melihat wanita melahirkan anak jika ia
sudah berumur 50 tahun." (HR. Abu Ishaq As-Salanji).

f. Hukum Cairan Keruh dan Cairan Kuning Setelah atau Sebelum


Suci

Ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum wanita yang melihat


cairan keruh (kudrah) atau yang berwarna agak kekuningan (shufrah) ketika
sedang haid atau ketika sedang suci, apakah ia termasuk haid atau bukan?

Sebagian ulama mengatakan ia termasuk bagian haid saat haid dan jika
terlihat setelah bersih dari haid maka ia bukan haid. Ini adalah pendapat

18
Imam Asy-Syafi'i, Abu Hanifah, Malik, ulama Hanabilah, Zaid bin Ali, Al-
Hadi, Al-Muayyid Billah, dan Abu Thalib.

Sedangkan Abu Dawud dan Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah
berkata: "Cairan kuning dan keruh tidak termasuk haid, kecuali setelah
keluar darah".

Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi


Aisyah radhiyallahu anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan
kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :

Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat


gumpalan putih. (Atsar ini terdapat dalam Shahih Bukhari).

1.6 Riwayat-riwayat hadits tentang darah haid

Aisyah r.a. berkata ada seorang wanita muslimah yang


tidak memiliki pakaian, kecuali satu potong yang sudah
terkena darah haid. jika bajunya terkena tetesan darah haid,
maka wanita itu membersihkannya dengan cara meludahinya,
lalu dengan mengerik-ngeriknya dengan kuku (HR. Bukhari)

Hadits ini merupakan dalil bahwa darah haid itu hukumnya najis,
begitu juga dengan darah nifas sedangkan selain darah haid dan nifas,maka
dalil yang mengategorikannya najis masih diperselisihkan dan simpang siur.
Oleh karenanya ,hukum darah-darah itu mengikuti hukum asal atau dalam
kaidah fiqih disebut dengan al-baraah al-ashliyyah atau al-istish-haab, sampai
bertemu dengan dalil hukum yang murni dari lebih pertentangan, baik oleh

19
dalil yang lebih kuat daripadanya maupun yang sederajat dengannya. Dan
dalil yang seperti ini amat sukar ditemukan.

Rasulullah SAW. Telah bersabda dalam sebauh hadits:

:
: :
) :
() .

Dari Aisyah r.a, ia berkata : kami bepergian kami tidak bertujuan


apa-apa kecuali mau berhaji, ketika kami telah sampai di sarif
saya haid, maka ketika rasulullah Saw. Menemui saya, saya
menangis, lalu beliau bertanya: apa yang terjadi denganmu?
Apakah kamu haid? Saya menjawab: ya, kemudian beliau
bersabda: sesungguhnya haid ini adalah sesuatu yang telah di
tetapkan allah kepada anak cucu adam wanita, selesaikanlah
hajimu, tetapi kamu jangan melakukan tawaf di baitul haram.
dalam satu riwayat...sampai engkau suci. (HR. Al Bukhari
dan Muslim).

Petunjuk Rasulullah pada Fatimah binti Hubaisy dengan sabdanya:


()

Jika haid itu datang tinggalkanlah shalat, kemudian jika (darah itu terus
keluar) melebihi batas (biasa), cucilah darah itu dan shalatlah (HR. Bukhari
dan Muslim)

Tata cara mandi bagi wanita setelah selesai haid dan nifas:

20
Dalam riwayat Aisyah r.a. yang lainnya disebutkan Ambillah
sepotong kain atau kapas yang telah diberi minyak wangi, lalu usap saja
sebanyak tiga kali. Kala itu Rasulullah SAW merasa risih sekali dengan
perkara yang satu ini dan beliau cepat-cepat memalingkan wajahnya.

(HR. Bukhari dan Muslim)

2. NIFAS

2.1 Makna Nifas


Secara etimologi kata nifas berarti melahirkan. Sedangkan menurut
terminologi/syara nifas adalah darah yang keluar setelah kosongnya rahim
dari kandungan karna melahirkan. Pengertian lain dalam kitab bidayatul
mujtahidin mengartiakan nifas adalah darah yang keluar bersamaan dengn
lahirnya bayi atau sesudanya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa darah nifas adalah
darah yang keluar dari rahim perempuan bersamaan pada saat melahirkan bayi
atau sesudahnya.
Menurut Imam Asy-Syafi'i, darah nifas adalah darah yang keluar dari
Rahim wanita yang sebelumnya mengalami kehamilan, meskipun darah yang
keluar hanya berwujud segumpal darah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita
ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3
hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak,
maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas
minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang
sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak
ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati
darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika
berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya
40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak

21
hadist.
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut
kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan
berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika
tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada
umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu
sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah
hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada
masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam


hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah
dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan
berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk
itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.
Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak
dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang
sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum
jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi
dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum
wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari
dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu
Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita
mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak
perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan
tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan
kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata

22
demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali
mengerjakan kewajiban".

2.2 Hukum-Hukum Nifas


Hukum hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum hukum haid,
kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
1. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab,
jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena
melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah
melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah
dijelaskan.
2. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa
nifas tidak. Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan
menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat
bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami
menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat
bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan
menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam
masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak
dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi
selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap
dihitung terhadap sang suami.
3. Baligh. Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena
seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masa
baligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului
kehamilan. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih
dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya,
seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari
haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan
kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali

23
datang itu adalah darah haid. Adapun darah nifas, jika berhenti
sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat
puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita
shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan
terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal- hal yang
wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang
diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib di
qadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha'
dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang
dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak,
maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka
merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang
disebutkan dalam kitab Al-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:
"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga
hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak,
berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam
masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-
masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan
pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas
segala sesuatu.
Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun
thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama
yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika
seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan
kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya.
Sebagaimana firman Allah:

24




"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupan.. " [Al-Baqarah/2: 286]



"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..."
[At-Taghabun/64: 16]
4. Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka
suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas,
jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh
menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak
dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan
bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari
Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum
empat puluh hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku!".
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang
menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati- hati
Ustman, yakni khawatir kalau isterinya belum suci benar, atau
takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau
sebab lainnya. Wallahu a'lam.

2.3 Dalil Nifas dalam Hadis

:

( )

25
Dari Ummu Salamah ia berkata: Salah seorang wanita ari istri-istri nabi
Saw. mereka duduk (tidak shalat) di waktu nifas selama 40 malam. Nabi Saw,
tidak memerintahkan mengqadha shalat yang di tinggalkannya karena nifas.
(HR. Abu Dawud)

Umumnya para ulama mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan


untuk sebuah nifas bagi seorang wanita paling cepat adalah hanya sekejap
atau hanya sekali keluar. bila seorang wanita melahirkan dan darah berhenti
begitu bayi lahir maka selesailah nifasnya. dan dia langsung serta puasa
sebagaimana biasanya.

Menurut as Syafi`iyah biasanya nifas itu empat puluh hari, sedangkan


menurut al Malikiyah dan juga as Syafi`iyah paling lama nifas itu adalah
enam puluh hari. menurut al Hanafiyah an al Hanabilah paling lama empat
puluh hari. Bila lebih dari empatpuluh hari maka darah istihadhah.

Dalilnya adalah hadis berikut ini :

Dari Ummu Slamah r.a berkata: para wanita yang mendapat nifas, dimasa
Rasulullah duduk selama empat puluh hari empat puluh malam (HR.
Khamsah kecuali Nasa`i).

At-Tirmizi berkata setelah menjelaskan hadis ini: Bahwa para ahli


ilmu dikalangan sahabat Nabi, para tabi`in dan orang-orang yang sesudahnya
sepakat bahwa wanita yang mendapat nifas harus meninggalkan salat selama
empat puluh hari kecuali darahnya itu berhenti sebelum empat puluh hari. bila
demikian ia harus mandi dan salat. namun bila selama empat puluhhari darah

26
masih tetap keluar kebanyakan ahli ilmu berkata bahwa dia tidak boleh
meninggalkan salatnya.

2.4 Hal-Hal yang Dilarang Dilakukan Wanita yang Sedang Nifas

Wanita yang sedang nifas sama dengan hal-hal yang diharamkan oleh
wanita yang sedang haidh, yaitu :

1. Salat

Seorang wanita yang sedang mendapatkan Nifas diharamkan untuk


melakukan salat. Begitu juga mengqada` salat. Sebab seorang wanita yang
sedang mendapat nifas telah gugur kewajibannya untuk melakukan salat.
Dalilnya adalah hadis berikut ini:

`Dari Aisyah r.a berkata: `Dizaman Rasulullah SAW dahulu kami


mendapat nifas, lalu kami diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak
diperintah untuk mengqada` salat (HR. Jama`ah).

Selain itu juga ada hadis lainnya:

`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila
kamu mendapatkan nifas maka tinggalkan salat`

2. Berwudhu atau mandi janabah

As Syafi`iyah dan al Hanabilah mengatakan bahwa: `wanita yang


sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah. Adapun

27
sekedar mandi biasa yang tujuannya membersihkan badan, tentu saja tidak
terlarang. Yang terlarang disini adalah mandi janabah dengan niat mensucikan
diri dan mengangkat hadats besar, padahal dia tahu dirinya masih mengalami
nifas atau haidh.

3. Puasa

Wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang menjalankan puasa


dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.

4. Tawaf

Seorang wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang melakukan


tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab
tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.

Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu
mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf
disekeliling ka`bah hingga kamu suci (HR. Mutafaqq `Alaih)

5. Menyentuh Mushaf dan Membawanya

Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang


menyentuh Al-Quran :

28
Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.`(Al-Qariah ayat 79)

Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk


juga orang yang nifas dilarang menyentuh mushaf Al-Quran.

6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran

Kecuali dalam hati atau doa/zikir yang lafaznya diambil dari ayat Al-
Quran secara tidak langsung.

Janganlah orang yang sedang junub atau haidh membaca sesuatu dari Al-
Quran. (HR. Abu Daud dan Tirmizy)

Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita nifas membaca


Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan
hafalannya bila masa nifasnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak
terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik. Demikian disebutkan
dalam Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal 133. Hujjah mereka adalah karena hadits
di atas dianggap dhaif oleh mereka.

7. Masuk ke Masjid

Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku


halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhori, Abu Daud
dan Ibnu Khuzaemah.)

8. Bersetubuh

Wanita yang sedang mendapat nifas haram bersetubuh dengan


suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:

29




`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu


adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.` (QS. Al-baqarah :222)

Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.

Sedangkan al Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang


nifas pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi
persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau
ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau
menjawab:

`Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan (HR. Jama`ah)`.

Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang nifas ini tetap


belangsung sampai wanita tersebut selesai dari nifas dan selesai mandinya.
Tidak cukup hanya selesai nifas saja tetapi juga mandinya. Sebab didalam al
Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram
disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar
berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al
Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al Hanafiyah.

30
.

3. PERBEDAAN HAID DAN NIFAS

Nifas berbeda dengan haidh dari tiga aspek, yaitu sebagai berikut:

1. Iddah dihitung dengan haidh menurut ulama Hanafiyah dan ulama Hanabilah,
karena berakhirnya iddah ketika sudah datang quru (bersih/haid) dan nifas
tidak dengan quru.
2. nifas tidak harus diawali dengan baligh karena hamil bisa terjadi sebelum itu,
karena anak bisa terbentuk dari pertemuan antara laki-laki dan perempuan.
3. Tempo nifas tidak diperhitungkan bagi wanita yang terkena ila, sesuai dengan
firman Allah swt yg artinya :
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). (QS. Al-Baqarah (2): (226); Dikarenakan ini bukan sesuatu yang biasa,
berbeda dengan haid.

4. BEBERAPA HUKUM TERKAIT HAID DAN NIFAS


1. Hukum Shalat dan Puasa bagi Wanita Haid dan Nifas
Kaum muslimin sepakat bahwa haid dan nifas menghalangi seseorang dari
mengerjakan shalat dan puasa. Hal ini didasarkan pada sejumlah hadis dan
riwayat, antara lain;
Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said bahwa Rasulullah saw.
Pernah berkata kepada para istrinya, Bukanlah persaksian seorang wanita
setengah dari laki-laki? Mereka menjawab betul. Nabi saw bersabda, itulah
kurangnya akal mereka? Bukanlah jika ia haid, tidak shalat dan tidak puasa?
Mereka menjawab, betul Rasulullah menjawab, itulah kelemahan agamanya.
(Mukhtashar dari Al-Bukhari).

31
Ucapan Nabi: Tidak shalat Dan Tidak Puasa memberikan petunjuk bahwa
larangan shalat dan berpuasa bagi wanita haid ditetapkan oleh nash syariat
sebelum terjadi pertemuan ini, dan hadis ini menunjukkan tidak wajibnya
berpuasa dan sholat bagi wanita haid dan ini hasil jima. Ia juga menunjukkan
bahwa akal bisa bertambah dan berkurang seperti halnya iman.
Kedua, hadis yang diriwayatkan oleh Muadzah, ia berkata, saya pernah
bertanya kepada Aisyah mengapa wanita haid meng-qadha puasa dan tidak
meng-qadha shalat? Aisyah Menjawab, apakah kamu menukas, kami pernah
mengalami hal itu lalu kami diperintah untuk meng-qadha puasa dan tidak
meng-qadha shalat. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Ketiga, ijma Ulama . ibnu Mundzir mengatakan, para ahli ilmu sudah ber-
jima mengenai gugurnya kewajiban shalat bagi wanita haidh pada saat ia haidh,
dan meng-qadha shalat yang ia tinggalkan pada saat haidh tidak wajib sesuai
dengan sabda Rasulullah kepada Fatimah Binti Hubaisy, jika haidh datang maka
tinggalkan shalat. (HR. Muttafaq Alaih).

Wanita yang mengalami istihadhah (pendarahan) dan nifas:

Dalam riwayat imam muslim disebutkan,Ketika ummu habibah r.a.


masih menjadi istri Abdurrahman bin auf,ia pernah mengadu kepada
Rasulullah SAW.perihal darah istihadhah.Setelah mendengar pengaduan
ummu habibah ,lalu rasulullah berkata kepadanya,Tunggulah dalam
rentang waktu haid yang biasa kamu alami .Kemudian kalau sudah
berlalu,silahkan mandi. Setelah itu ummu habibah mandi setiap kali akan
shalat .Dalam riwayat muslim yang lainnya disebutkan sayyidah aisyah
pernah berkata,kala itu ummu habibah mandi di sudut kamar saudari
kandungnya zainab binti jahsy,sampai-sampai warna kemerahan darah
sempat muncul di permukaan air.Asma binti umais berkata bahwa aku
pernah berkata kepada rasulullah SAW,wahai rasulullah ,fathimah binti
abi hubaisy mengalami istihadhah sejak sekian hari karenanya dia tidak
pernah melaksanakan shalat .Setelah mendengar penuturanku ini maka

32
rasulullah SAW berkata, Subhanallah! Ini adalah pekerjaan
setan.sekarang katakan padanya untuk duduk di pojokan rumah,kemudian
kalu dia melihat cairan kekuning-kuningan yang mengambang di
permukaan air maka suruhlah dia mandi satu kali untuk shalat zuhur dan
ashar.Dan kalau sudah tiba waktu magrib dan isya suruhlah dia mandi satu
kali ,kemudian suruh dia sholat magrib dan isya.Untuk shalat fajar ,dia
pun cukup mandi satu kali lalu shalat,dan antara waktu shalat fajar dan
zuhur ,dia mesti menyelenginya dengan berwudhu.ibnu Abbas berkata,
ketika fathimah sudah kepayahan mandi, maka rasulullah
memerintahkannya untuk menyatukan dua shalat itu dalam satu waktu
dengan satu kali mandi saja. (HR. ABU DAWUD)

Ummu salamah r.a. berkata, pada zaman rasulullah ada seorang


wanita yang mengalami pendarahan yang cukup parah,karenanya aku
meminta fatwa kepada rasulullah SAW ,beliau menjawab, hendaknya si
wanita itu segera menghitung jumlah hari dan malam yang biasa dia haid
dalam satu bulannya sebelum datang penyakitnyatadi. Kemudian
tinggalkanlah shalat sesuai jumlah hari-hari haidnya pada tiap tiap
bulannya. Kalau masa haid yang dia tentukan tadi sudah berlalu,maka
mandilah,kemudian tutuplah dengan kain dan setelah itu silahkan kamu
sholat.(HR Empat imam perawi hadits,kecuali at-Tirmidzi).

33
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Al-Qur'an membawa sebuah revolusi paling besar dalam pemberian martabat


paling terhormat kepada wanita. pada sebuah kesempatan, Rasulullah pernah
bersabda "Wanita-wanita itu adalah sodara sekandung kaum laki-laki.".dalam
pandangan islam betapa pentingnya seorang wanita mengetahui ketentuan-ketentuan
hukum islam yang mengatur kodrat wanita. seorang wanita pada masanya pasti
mengalami siklus haid dan nifas dalam hidupnya. Menstruasi atau haid atau datang
bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan
dipengaruhi oleh hormon reproduksi baik FSH-Estrogen atau LH-Progesteron. Haid
menurut bahasa merupakan bentuk mashdar dari hadha-haidh. Hadhat al-mar'ah
haidhan, mahadhan, dan mahidhan berarti "ia haid". Kata al-haidhah menunjukkan
bilangan satu kali haid. Sedangkan al-hidhah adalah kata nama, bentuk jamaknya al-
hiyadh. Sedangkan Nifas dari segi bahasa berasal dari kata na fi sa yang bermaksud
melahirkan. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan melahirkan
atau setelah melahirkan. Darah nifas merupakan darah yang tertahan dan tidak bisa
keluar dari rahim selama hamil. Menurut Imam Asy-Syafi'i, darah nifas adalah darah
yang keluar dari Rahim wanita yang sebelumnya mengalami kehamilan, meskipun
darah yang keluar hanya berwujud segumpal darah.

2. Saran

Sebagai muslimah kita tentunya harus mengetahui ketentuan-ketentuan hukum


islam yang mengatur kodrat manusia, salah satunya adalah tentang haid dan nifas.
Setelah membaca makalah ini diharapkan para pembaca khususnya muslimah dapat
mengetahui tentang haid dan nifas secara mendalam menurut pandangan islam.

34
DAFTAR PUSTAKA

Jarullah, Syaikh Abdullah bin Ibrahim. (1996). Problem Mendasar Kaum Muslimah.
Solo: Pustaka Mantiq

Zaki, Syaikh Imad. (2003). Tafsir Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Shalih, Su'ad Ibrahim. (2011). Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah

Al-Jamal, Syekh Ibrahim Muhammad. (2003). 146 Wasiat Nabi untuk Wanita.
Jakarta: Gema Insani

Sa'dawi, Amru Abdul Karim. (2009). Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi. Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kutsar

35

Anda mungkin juga menyukai