Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL MODUL 6

BLOK 4.2

KEGAWATDARURATAN DAN MEDIKOLEGAL

KELOMPOK 8B

TUTOR : dr. ULYA UTI FASRINI

ANGGOTA :

1. ZHAFRAN ABARTHA R 1410312044


2. FADEL MUHAMMAD 1410312042
3. TAUFIK RACHMAN 1410312082
4. CHINTIA AMALIA 1410312008
5. RASYIDA RUMAISYA 1410312091
6. CINDY ARIONATA 1410311014
7. LISSYANTIKA HIDAYATULLAH 1410311054
8. NURUL RAMADHANI 1410311119
9. DWININTA ALFATHIKA 1410312028
10. FANNY PERMATA ANDRIANI 1410311099

PROFESI DOKTER

UNIVERSITAS ANDALAS

2017
LEARNING OBJECTIVES

1. Derajat Luka Korban Tindak Pidana

Untuk menentukan derajat luka secara tepat, maka dokter sebaiknya melakukan evaluasi dengan
beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Cek apakah cedera tersebut memenuhi salah satu dari kriteria luka berat menurut pasal
90 KUHP. Pasal 90 KUHP menyatakan bahwa luka berat, adalah:
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
2. Yang menimbulkan bahaya maut
3. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian
4. Kehilangan salah satu pancaindera
5. Mendapat cacat berat
6. Menderita sakit lumpuh
7.Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu
8.Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
9. Luka yang memenuhi salah satu kriteria pada pasal 90 KUHP merupakan luka derajat tiga atau luka
berat. Jika luka tersebut tidak memenuhi kriteria tersebut diatas, maka lukanya termasuk derajat satu
atau dua.

b. Untuk membedakan luka derajat satu atau dua, maka dilakukan pengujian dengan
beberapa kriteria sbb:
1. Apakah luka tersebut memerlukan perawatan medis, seperti penjahitan luka, pemberian infus dsb
2. Apakah luka atau cedera tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi (fungsiolesa)?
3. Apakah lokasinya di tempat yang rawan, seperti mulut, hidung, leher, skrotum?
4. Apakah lukanya tunggal, sedikit, atau banyak?
5. Jika luka tersebut mutlak memerlukan perawatan medis, menyebabkan gangguan fungsi, lokasinya
pada lokasi rawan dan jumlah lukanya banyak, maka lukanya pada umumnya merupakan luka derajat
dua. Jika tidak ada satupun hal tersebut yang
terpenuhi maka derajat lukanya adalah satu. Pembedaan luka derajat satu dan dua pada banyak kasus
merupakan hal yang sulit, sehingga kesimpulan seorang dokter dengan dokter lainnya kadang berbeda.

Pasal 89 KUHAP menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan. Dalam konteks ini, maka kasus keracunanpun dapat dan harus diperlakukan
seperti perlukaan fisik. Jadi pada kasus keracunanpun kita harus juga menentukan derajat lukanya.
Penentuan derajat luka pada kasus keracunan didasarkan atas efek racun terhadap metabolisme dan
fungsi organ. Jika keracunan tersebut mempunyai dampak yang ringan saja, sehingga tidak memerlukan
pengobatan spesifik oleh dokter atau tenaga medis, dan pulih sendiri, maka lukanya termasuk luka
derajat satu. Jika keracunannya menimbulkan gejala yang cukup berat, sehingga korbannya memerlukan
perawatan medis, memerlukan pemberian antidotum dan dampaknya tidak segera pulih, maka derajat
lukanya adalah derajat dua. Jika keracuna tersebut menimbulkan dampak pada tubuh sesuai dengan
salah satu kriteria pasal 90 KUHP, maka lukanya termasuk luka derajat tiga.
2. Pemeriksaan Forensik dan Pembuatan Visum et Repertum Korban Hidup

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi)
penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun
bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk
kepentingan peradilan.

Jenis Visum et Repertum


1. Visum et Repertum untuk orang hidup (perlukaan, peracunan,perkosaan). Jenis ini dibedakan
lagi dalam:
a. Visum et Repertum biasa. Visum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban
yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
b. Visum et Repertum sementara. Visum ini sementara diberikan apabila korban memerlukan
perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila
sembuh dibuat VeR lanjutan.
c. Visum et Repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut
karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
2. Visum et Repertum psikiatri : visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
3. Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah) Pada pembuatan VeR ini, dalam hal korban mati
maka penyidik mengajukanpermintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk
dilakukan bedah mayat (autopsi)

Struktur visum et repertum


1. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu bermeterai.
2. Pendahuluan
Memuat identitas pemohon VeR, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VeR, identitas
dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa: nama, jenis kelamin,
umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan
pemeriksaan.
3. Pemberitaan (hasil pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama dilihat dan
ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa.
Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal.
Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak
antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis
permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Pada
pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa yang
diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari
kekerasan atau tindak pidana atau diduga kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan, yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan
korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum
dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, yakni alasan
tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua
temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu
diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter
dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting
untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 (enam) unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada
tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.

4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang
ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan
dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka
dan kekerasan dan derajat kualifikasi/derajat luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak
didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan.
Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati.
Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh
suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu
pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang
berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya
dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan,
melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku.

5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat
sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji
lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat
VeR.

3. Pemeriksaan Forensik pada Jenazah


A. PEMERIKSAAN LUAR
1. Identitas Korban
Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas korban sesuai
dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat permintaan visum et repertum.
2. Label
Dijelaskan label pada mayat terletak atau terikat pada bagian tubuh yang mana, terbuat dari
apa, berwarna apa, ada atau tidak materai/cap, bertuliskan apa.
3. Tutup atau Bungkus Mayat
Dijelaskan dengan rinci apa yang digunakan untuk menutup/membungkus mayat lapis demi
lapis, bahannya apa, bertuliskan apa, ukurannya.
4. Perhiasan Mayat
Dijelaskan jenis perhiasan, bentuk, warna, dan bahannya
5. Pakaian Mayat
Dijelaskan jenis, merk, warna dasar, corak dan warna pakaian. Saku-saku dijelaskan
jumlahnya dan apa yang terdapat dalam saku tersebut
6. Benda Samping Mayat
Dijelaskan secara rinci benda apapun yang terdapat didekat mayat pada waktu mayat
ditemukan atau diantar oleh pihak yang berwajib.
7. Kaku Mayat
Tingkat kaku mayat dinilai dengan memfleksikan lengan dan kaki untuk mengetesn tahanan.
a) Kaku mayat mulai tampak 2 jam setelah mati klinis
b) Setelah 12 jam mati klinis kaku mayat menjadi lengkap
c) Setelah 24 jam kaku mayat menghilang
8. Lebam Mayat
Lebam mayat biasanya muncul 20-30 menit paska mati, makin lama intensitasnya
bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam.
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian, memperkirakan sebab
kematian, misalnya keracunan CO dan CN lebam berwarna merah terang, keracunan anilin,
nitrit dan nitrat lebam berwarna kecoklatan
9. Identifikasi Khusus
Kelainan kongenital dari beberapa tipe dilaporkan dari talipes ekuinofarus sampai spina
bifida, dari nevus sampai kaki tambahan.
10. Rambut
Dirincikan keadaan rambut yaitu rambut kepala, alis mata, bulu mata, kumis dan jenggot.
Warna dan jenis rambut
11. Mata
Mendeteksi petekie pada sisi luar dari kelopak mata, konjungtiva, dan sclera. Juga dirincikan
apakah mata mayat dalam keadaan terbuka atau tertutup.
12. Hidung, Telinga Dan Mulut
a. Hidung, teliti bentuk hidung, kelainan anatomis, atau kelaianan akibat trauma, warna ,
cairan yang keluar, dan adanya krepitasi
b. Telinga, apakah ada kelainan atau tidak dan apakah telinga masih utuh atau tidak
c. Mulut, apakah terdapat benda asing, obat-obatan, gigi yang rusak, gusi dan bibir yang
luka dan lidah yang tergigit pada epilepsy atau pukulan rahang ataupun karena
,menahan sakit sesaat sebelum kematian.
13. Gigi Geligi
Pemeriksaan meliputi: pencacatan data gigi, dan rahang yang dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan menua, sinar X, dan pencetakan gigi serta rahang.

4. Antropologi Forensik

Definisi : Iscan (1988): Antropologi forensic bidang multidisiplin yang menggabungkan bidang
antropologi fisik, arkeologi, odontologi forensik, patologi forensik dan kriminalistik.
Adams (2007):Antropologi forensic komponen antropologi fisik yang mempelajari populasi manusia dari
perspektif biologi dan evolusi
Antropologi fisik merupakan subdisiplin dari antropologi yang mempelajari manusia dari karakteristik
fisik dan nonbiologis (budaya).
Antropologi forensic pemanfaatan antropologi untuk kepentingan penegakan hukum/medikolegal
Antropolog forensik sering pula bekerjasama dengan patolog, detektif dan odontolog dalam
mengidentifikasi korban, waktu kematian dan barang bukti penting lainnya.
Tugas Antropolog Forensik :
1. Analisis TKP outdoor (termasuk arkeologi dan tafonomi forensik)
2. Menentukan postmortem interval.
3. Menentukan apakah tulang merupakan tulang manusia atau non-manusia serta menentukan
profil biologisnya (umur, sex, ras, TB)
4. Analisis trauma pada tulang (sebab dan cara kematian)
5. Identifikasi pada bencana massal
6. Investigasi kuburan massal dan kasus genosida
7. Antropologi forensik pada korban hidup: memperkirakan umur seseorang jika tidak tersedia
identitas/dokumen. Identifikasi foto dan wajah. Perkiraan usia anak yang terlibat pornografi
Teknik Antropologi Forensik :
Pengamatan : antroposkopi: osteoskopi, somatoskopi
Pengukuran : antropometri: osteometri, somatometriindex
Instrumen dalam antropometri antropometer, calipergeser, caliper lengkung, goniometer,
kraniostat, osteostat dll.
1. Apakah tulang?
Tulang vs Non Tulangperiksa strukturnya makroskopis dan mikroskopis
Tulang vertebra memiliki komponen kompakta/kortikal pada bagian tepi/permukaan eksternal dan
pada bagian internal terdapat struktur spongiosa seperti jala.
2. Apakah ini tulang manusia?
Manusia punya 206 buah tulang
Tulang manusia: tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih dan tulang tak beraturan
Struktur tulang manusia: bagian luar disebut struktur kompakta/kortikal, bagian dalam disebut
struktur spongiosa. Pada persendian, bagian kompakta ditutupi bagian subchondral
Bagian tulang panjang yang panjang dan silindris disebut diafisis. Epifisis adalah ujung akhir tulang
panjang dan metafisis adalah ujung tulang panjang yang melebar kesamping
Tulang hewan dan manusia 90% berupa kolagen. Pada dewasa kolagen terisi bahan anorganik
hidroksiapatit (kalsium fosfat)
3. Apakah jenis kelaminnya?
Laki-Laki:
a. Sub pubic angle/lengkung pubik <90
(sempit)
b. Ilium tinggi mengarah tegak keatas
c. Foramen obturator besar
d. Small pelvic outlet (lihat dari inferior)
e. Sendi sakroilium besar
f. Acetabulum lebih besar
g. Simfisis pubis tinggi,segitiga,bikonveks,arah
anteroposterior
h. Sakrum melengkung kedepan (lihat dari
superior)
i. Jarak ilia lebih dekat (lihat dari inferior)
j. Narrow schiatic notch
k. Hiatus sacrum lebar dan dalam
Crest dan ridges lebih menonjol
Tulang tengkorak kasar, tidak beraturan
Arkus supersiliaris nyata
Glabella menonjol
Protuberantia oksipitalis eksterna nyata
Dagu petak
Prosesus mastoid lebar dan kasar
Kening lebih landai
Forehead boss menonjol

Perempuan:
a. Sub pubic angle/lengkung pubik >90 (lebar)
U
b. Ilium lebar-Shovel like ilium
c. Foramen obturator lebih kecil
d. Big pelvic outlet
e. Sendi sakroilium kecil
f. Acetabulum lebih kecil
g. Flexible simfisis pubis
h. Sakrum melengkung ke belakang
i. Jarak ilia lebih lebar
j. Wide sciatic notch
k. Hiatus sacrum sempit dan dangkal
l. Ramus iskiopubik bagian atas konkaf
4. Berapa usia kematian?
A. Subadult: bayi,anak,remaja
Perkembangan gigi tumbuh molar 3 permanen (wisdom teeth): 18-25 tahun
Fusi epifisis: paling terakhir fusi medial klavikula (collarbone) 18-25 tahun. Bersatunya epifisis dengan
diafisis tulang panjang misal femur <23 tahun Panjang tulang panjang Radiografik tangan
B. Adult: setelah usia 30 tahun problem banyak multiple analysis statistical analysis:
Perubahan morfologi simfisis pubis (Metode Todd, metode McKern&Steward dan metode Suckey-
Brooks)
Perubahan morfologi pada ujung sternal tulang iga ke empat.
Obliterasi sutura penggunaan metode ini harus dikombinasi dengan metode lain dsb
5. Berapa tingi badan?
Beberapa rumus penentuan TB
1. Rumus antropologi ragawi UGM untuk pria dewasa suku Jawa
Ex: TB=897+1.74 y (femur kanan)
TB=879+2.12 y (tibia kanan)
dsb
2. Rumus Trotter dan Gletser untuk ras Mongoloid
Ex: TB=1.22 (fem+fib) + 70.24 (3.18 cm)
TB=2.68 (hum) + 83.19 (4.25 cm)
dsb
3. Rumus Djaja Surya Atmaja populasi dewasa muda Indonesia
Ex: Pria: TB=72.9912+1.227 (tib)+0.7545 (fib) (4.2961 cm)
Dsb
6. Apa rasnya?
Kaukasoid Punya nasal sill yang nyata, flat (orthognatous) face, retreating zygomatics,long narrow
face, narrow nasal opening, depressed nasal root, narrow high bridge nose
Negroid nasal guttering, prognatism, little or no nasal depression, rounded forehead, bregmatic
depression, wide nasal opening, a dense or ivory texture to the bone
Mongoloid edge to edge bite, inferior zygomatic projection, nasal overgrowth
7. Berapa individu?
Parameter :
Ada tidaknya duplikasi dari tulang sejenis
Perbedaan yang jelas dari ukurannya
Perbedaan usia tulang
Asimetris
Kontur sendi tidak sama
X-ray trabekular pattern yang tidak sama
Perlekatan otot tidak sama
8. Apakah penyebab kematian?
Enamel hipoplasia (garis-garis horizontal pada gigi) gangguan pertumbuhan
Penyakit hematologi Cribra orbitalia (tulang orbita seperti kasa) dan pada tulang kepala porotic
hyperostosis/cribra cranii
Fraktur apakah terjadi AM, Perimortem, atau PM Pem PA
Butterfly pattern of fracture perimortem (tidak mungkin postmortem)
Perimortem fracture (pada saat mati): sharp edge, linear dan direct, fragmen tend to be attached each
other, discoloration in margin or sorrounding bone, spots with chromatic attention
Green bone (margin sharp) vs dry bone (irreguler, jagged)

5. TOKSIKOLOGI FORENSIK

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek merugikan seperti efek
samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem makhluk hidup. Toksikologi
forensik sendiri berkaitan dengan penerapan ilmu toksikologi pada berbagai kasus dan permasalahan
kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan konsekuensi
medikolegal serta untuk menjadi bukti dalam pengadilan.

Menurut Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), bidang kerja toksikologi forensik meliputi:

1) analisis dan evaluasi racun penyebab kematian,


2) analisis ada/tidaknya kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau nafas yang
dapat mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan
bermotor dijalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan serta penggunaan dopping),
3) analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan
obat terlarang lainnya. Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah dapat membuat suatu
rekaan rekonstruksi suatu peristiwa yang telah terjadi, sampai mana obat tersebut telah dapat
mengakibatkan suatu perubahan perilaku.

Mengingat sulitnya pengungkapan kejahatan terutama yang menggunakan racun, maka saat ini sangat
diperlukan aparat penegak hukum khususnya polisi yang mempunyai pengetahuan yang memadai baik
teori maupun teknik melakukan penyidikan secara cepat dan tepat dalam rangka pengungkapan kejahatan
pembunuhan khususnya kasus pembunuhan yang ada indikasi korbannya meninggal karena diracun.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui latar belakang toksikologi digunakan dalam proses
pembuktian pembunuhan serta manfaat toksikologi sebagai media pengungkap dalam proses penyidikan
tindak pidana pembunuhan yang menggunakan racun.

Toksikologi Forensik sangat penting diberikan kepada penyidik dalam rangka membantu penyidik
polisi dalam pengusutan perkara yaitu : mencari, menghimpun, menyusun dan menilai barang bukti di
Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan tujuan agar dapat membuat terang suatu kasus pembunuhan yang
ada indikasi korbannya meninggal akibat racun.

Tidak semua kasus yang ditemukan perlu melakukan toksikologi forensik. Kasus-kasus tersebut
dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar. Kasus-kasus tersebut antara lain :
a) kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara, kematian pada
kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek samping obat atau kesalahan penanganan
medis,
b) kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa sendiri ataupun orang
lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan, alkohol, atau pun narkoba,
c) penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat pemakaian obat,
makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya, yang tidak memenuhi standar
kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi).

Klasifikasi racun
Racun adalah suatu zat yang apabila kontak atau masuk kedalam tubuh dalam jumlah tertentu
(dosis toksik) merusak faal tubuh baik secara kimia mauppun fisiologis sehingga menyebabkan sakit atau
pun kematian. Untuk kepentingan di bidang forensik, racun dibagi berdasarkan sifat kimia, fisik serta
pengaruhnya terhadap tubuh manusia, yaitu :

1. Racun Anorganik.
a. Racun Korosif
b. Racun Metalik dan non-metalik
2. Racun Organik
a. Racun Volatil
b. Racun non Volatil dan non alkaloid
3. Racun Gas
4. Racun lainlain
a. Racun makanan
b. Racun binatang
c. Racun tumbuhtumbuhan
d. Dan lainlain

A. Racun Korosif
Terdiri atas racun yang dapat menyebabkan kerusakan atau kematian selsel yang terkena akibat
efek lokal. Pada itngkat yang lebih ringan dapat terjadi iritasi atau keradangan. Beberapa racun korosif juga
memberikan efek sistemik dan diabsorpsi ke dalam peredaran darah sehingga menyebabkan efek umum.
Pembagian racun korosif:
1. Acid Corrosif
a. Mineral Acid (Asam sulfat, asam khlorida dan asam sitrat)
b. Asam Organik (asam oksalat, asetat, asam formiat)
c. Halogenida (klorin, bromin, iodin, flourin)
d. Corrosive Mineral Salt
2. Alkaline Corrosive
3. Organic Corrosive
a. Phenol group (Methyl Phenol, dihydroxibenzene, guiaacol, pyrogallol)
b. Formaldehyde

B. Racun Metalik
Terdiri atas semua racun yang mempunyai elemen logam dalam molekulnya. Bebrapa
pengecualian, beberapa logam seperti arsenikum, merkuri, ataupun timah hitam jarang toksisi bila berada
dalam bentuk logam murninya, kecuali bentuk senyawa kimianya akan toksis. Banyak senyawasenyawa
logam ini mempunyai daya korosif dan efek lokal yang cukup hebat.
Senyawasenyawa dari logam dapat terdir dari kombinasi asam kuat dengan logam alkali lemah
seperti: seng sulfat atau cupri sulfat yang akan menunjukkan efek korosif. Juga dapat dibentuk dari logam
basa kuat dengan gugus asam lemah seperti kalium carbonat, sautu garam dengan daya kerja sebagai racun
korosif biasa.
Efek utama racun metalik setelah absorbsi terjadi adalah pada parenkim terutama organ viseral.
Namun, beberapa racun logam lain seperti senyawa radio aktif jarang menyababkan gangguan pada site of
absorption, tetapi akan memeberikan efek pada jaringan tempat diakumulasikan seperti tulang dan sum-
sum tulang.

C. Racun Volatil dan non volatil


Pada racun jenis ini, senyawa yang digunakan adalah turunan dari alkohol, yaitu Methyl Alcohol
(metanol). Metanol juga dikenal sebagai Wood alcohol dimana lethal dosisnya sangat bervariasi pada setiap
orang. Kematian timbul pada 30-60 ml pemberian methanol. Kadangkadang gejala tidak tampak sampai
26 jam atau lebih setelah keracunan namun tibatiba penderita dapat meninggal. Hal ini disebabkan oleh
efk depresi CNS, edema serebri dan asidosis akibat dari oksidasi yang lambat dan tidak sempurna dari
methanol dalam tubuh menjadi fermaldehid dan asam semut.

D. racun gas
Racun gas terdiri dari karbon Dioksida dan Karbon Monoksida. Karbon Dioksida akan menyebabkan
asfiksia karena berkurangnya jumlah oksigen di udara pernafasan dan proses ini pada tahap awal akan
dipercepat dengan adanya efek langsung Karbon Dioksida pada pusat pernafasan, sehingga tingkat
keracunan perinhalasi makin berat. Gejala keracunan akibat karbon dioksida adalah: sakit kepala serta
kepala terasa berat, tinitus, nausea, perspirasi, ototototmenjadi lemah, somnolensi hebat, tekanan darah
menignkat disertai dengan sianosis, pernafasan cepat dan nadi cepat, collaps, koma dan meninggal.
Penyebab kematian pada akibat keracunan gas karbon dioksida adalah asfiksia akibat anoksia otak dan
jaringan tubuh lainnya.

Pada karbon monoksida, gas ini berasal dari pembakaran yang tidak sempurna dari senyawa
organik misal asap kendaraan bermotor, gas untuk memasak, hasil pembakaran batu bara dan lainlain.
Karbon monoksida akan mengikan Hb secara cepat dan lengkap dan menghambat oksigen berikatan
dengan oksigen. Sehingga suplai oksigen ke organ vital pun akan berkurang dan akan timbul anoksemia.
Lama kelamaan, Hb akan kehilangan kemampuannya untuk mengikat oksigen dan akan mmeperpuruk
kondisi anoksemia pada jaringan. Gejala klinis keracunan karbon monoksida dapat terjadi mendadak,
namun biasanya terjadi secara mendadak, pelipis berdenyut, tinitus, pusing, mual, muntah, pandangan
kabur dan pingsan. Wajah kemerahan, daya ingta menurun, vertigo, anestesia, hilangnya daya untuk
bergerak secara spontan. Selanjutnya denyut nadi akan melemah dan pelan sampai terjadi henti jantung
(cardiac arrest). Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat
berwarna merah terang (cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadarkarboksihemoglobin (CO-
Hb)mencapai 30% atau lebih,.

E. Racun Lainlain
Jenisjenis racun yang termasuk dalam golongan ini adalah insektisida, racun binatang, dan racun
makanan. Insektisida berdasaarkan asal dan sifat kimiawinya dibagi menjadi:
a. Berasal dari tumbuhtumbuhan seperti Derris, Pyrethrum, Nicotine
b. Insektisida Sintesis, terdiri dari golongan Chlorinated Hydrocarbon, Organophosphate, Carbamate,dan
Dinitrophenol.

Pemeriksaan toksikologi forensik


Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang sejak semula
sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sampai saat sebelum di autopsi dilakukan,
belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan.
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
penting, yaitu :
1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)
Pemeriksaan di tempat kejadian perkara perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab kematian
dan menentukan cara kematian. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengumpulkan keterangan sebanyak
mungkin tentang perkiraan saat kematian serta mengumpulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pemeriksaan luar kasus keracunan diantaranya:

a. Bau.
Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang kiranya ditelan oleh korban. Segera
setelah pemeriksa berada di samping mayat ia harus menekan dada mayat untuk menentukan
apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
b. Segera.
Pemeriksa harus segera berada di samping mayat sesegera mungkin dan pemeriksa juga harus
menekan dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang
hidung dan mulut.
c. Pakaian.
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh tercecernya racun yang ditelan
atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam
nitrat.
d. Lebam mayat.
Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena warna lebam mayat pada
dasarnya adalah manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.
e. Perubahan warna kulit.
Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada telapak tangan dan kaki pada keracunan
arsen kronik. Kulit berwarna kelabu kebirubiruan akibat keracunan perak (Ag) kronik (deposisi perak
dalam jaringan ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga (Cu) dan
fosforakibat hemolisis juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi
gangguan fungsi hati.
f. Kuku.
Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang tidak teratur. Pada keracunan
Talium kronik ditemukan kelainan trofik pada kuku.
g. Rambut.
Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air raksa dan boraks. Metode
pemeriksaan pada rambut adalh dengan ekstrak dan pretreatment.
h. Sklera.
Tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan
pada pemakaian dicoumarol atau akibat racun ular.

Pengambilan sampel pada toksikologi forensic


Memastikan dimana racun itu berada, didasarkan dari anamnesa dan tanda klinis yang dijumpai
pada pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Pada korban yang meninggal, diperlukan informasi sisa
racun dan dicocokkan dengan kelainan yang dijumpai pada jenazah. Selanjutnya menentukan sampel yang
perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi, disesuaikan dengan jenis racun yang masuk kedalam tubuh

Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu autopsi daripada
kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan
melakukan analisis toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya setelah kita
sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatolgik. Secara umum sampel yang harus diambil
adalah:
a. Lambung dan isinya
b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada usus setiap jarak sekitar
60 cm
c. Darah, Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri
masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis bukan
darah dari vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting, diambil 2
contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
d. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila urine tidak
tersedia.
f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida, dimungkinkan karena otak
terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami
pembususkan.
g. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui urin, khususnya pada
tes penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
h. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
i. Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di bawah kulit dinding
perut, rambut, kuku dan cairan otak.

Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel padat atau
organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate
dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine
Selain pengambilan sampel melalui autopsi secara diseksi, terdapat teknik lain dalam melihat kelainan
tanpa melakukan diseksi. Alatalat untuk diagnosa seperti endoskopi dan MRI dapat digunakan untuk
melihat kelainan internal tanpa melakukan diseksi pada tubuh korban. Akan tetapi, diseksi tetap menjadi
pilihan utama dalam tindakan autopsy.

6. DNA FORENSIK

Pelacakan identitas forensik akan dilakukan dengan mencocokkan antara DNA


korban dengan terduga keluarga korban. Analisis DNA Forensik terutama digunakan untuk melacak korban
tanpa identitas maupun pelaku dari suatu tindak kejahatan.

Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes siik DNA, tetapi yang
sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku.
Untuk kasuskasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang
ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes sidik DNA.
Analisis DNA Forensik yang dilakukan berupa tes sidik DNA, yang merupakan gambaran pola potongan DNA
dari setiap indivu yang bersifat polimorfisme atau khas di setiap individu. DNA ini juga memiliki kesamaan
pada setiap sel pada tubuh seorang individu. Hal ini memiliki kesamaan dengan sifat dari sidik jari, tetapi
sidik jari dapat diubah dengan pembedahan, sedangkan sidik DNA tidak dapat berubah dengan apapun
sehingga dari segala sifat ini analisis dengna menggunakan sidiuk DNA sangat akurat.

DNA yang sering digunakan :

1. DNA inti sel paling baik karena tidak dapat berubah dan bersifat herediter, tidak dipengaruhi
oleh perkawinan
2. DNA mitokondria dapat berubah karena mnegikuti garis maternalistik, berubah dengan adanya
perkawinan (DNA mitokondria ini berasal dari DNA yang dibawa oleh sel ovum ibu)

Bentuk sidik DNA yang akan diinterpretasikan oleh alat berupa bar-code dengan membandingkan 30-100%
sekuens rantai kode genetika dengan DNA anggota keluarga terdekat. Metode yang digunakan umumnya
adalah PCR (Polymerase Chain Reaction) karena bisa menganalisis DNA dari sampel yang sedikit dan sampel
yang sudah mengalami degradasi karena lingkungan sekitar. Metode PCR ini menghasilkan jutaan kopi DNA
sekaligus.

7. Ekhumasi

Penggalian mayat (exhumation) adalah pemeriksaan terhadap mayat yang sudah dikuburkan dari
dalam kuburannya yang telah disahkan oleh hukum untuk membantu peradilan. Ex dalam bahasa latin
berarti keluar dan humus berarti tanah. Pada umumnya, penggalian mayat dilakukan kembali karena
adanya kecurigaan bahwa mayat mati secara tidak wajar, adanya laporan yang terlambat terhadap
terjadinya pembunuhan yang disampaikan kepada penyidik atau adanya anggapan bahwa pemeriksaan
mayat yang telah dilakukan sebelumnya tidak akurat1.
Ekshumasi tidak hanya dilakukan pada penggalian kuburan personal namun juga dapat dilakukan
penggalian kuburan massal seperti penggalian kuburan massal di hutan Situkup selama 3 hari. Penelitian
massal ini bertujuan untuk mengungkapkan jumlah korban pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan
pelanggaraan HAM. Menurut keterangan dr. Handoko (Tim Forensik), dari proyektil proyektil yang
ditemukan pada kerangka yang digali bisa ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan ini dilakukan dengan
menggunakan senjata laras panjang maupun pendek yang diduga hanya dimiliki oleh militer.

Indikasi Ekshumasi
Indikasi dilakukan penggalian mayat adalah sebagai berikut :
1. Terdakwa telah mengaku dia telah membunuh seseorang dan telah menguburnya di suatu tempat.
2. Jenazah setelah dikubur beberapa hari baru kemudian ada kecurigaan bahwa jenazah
meninggal secara tidak wajar.
3. Atas perintah hakim untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap jenazah yang telah
dilakukan pemeriksaan dokter untuk membuat visum et repertum.
4. Penguburan mayat secara ilegal untuk menyembunyikan kematian atau karena alasan criminal.
5. Pada kasus dimana sebab kematian yang tertera dalam surat keterangan kematian tidak jelas dan
menimbulkan pertanyaan seperti keracunan dan gantung diri.1 Dalam pembongkaran dua kuburan seperti
yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri di Kecamatan Kuta baro yang hanya ditemukan tulang berulang
korban. Melihat dari kondisi korban, korban ditembak di pelipisnya dalam posisi jongkok di depan lubang
yang telah disediakan dengan kedua tangan dan kaki terikat, selanjutnya dilakukan pemeriksaan bagian
rambut dan gigi di lab forensik. Sedangkan satu kuburan lagi yang hanya ditemukan tengkorak kepala
bersama separuh rahang bawah kiri dan empat tulang rusuk serta tulang tangan dan kaki tidak ditemukan.
Proses penggalian tersebut disaksikan oleh keuchik dan tokoh masyarakat.
6. Pada kasus dimana identitas mayat yang dikubur tidak jelas kebenarannya atau diragukan.
7. Pada kasus criminal untuk menentukan penyebab kematian yang diragukan, misalnya pada kasus
pembunuhan, yang ditutupi seakan bunuh diri.

Hal Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Exhumasi

Persiapan penggalian kuburan,

- Dokter harus mendapat keterangan lengkap tentang peristiwa kematian agar dapat memusatkan
perhatian dan periksaan pada hal yang dicurigai.

- Jika pemeriksaan dilakukan lokasi penggalian harus disiapkan tenda lengkap dengan dinding penutup,
meja pemeriksaan, air wadah, dan perlengkapan pengankatan mayat.

Perlengkapan yang diperlukan dalam penggalian kubur :

a. Kendaraan
b. Perlengkapan untuk melakukan penggalian misalnya cangkul, ganco, linggis, secrop.
c. Perlengkapan untuk melakukan otopsi, yaitu pisau dapur, scalpel, gunting, pinset, gergaji, jarum (jarum
karung goni), benang, timbangan berat, gelas pengukur,alat penggaris, ember, stoples berisi alkohol 95% ini
bila ada indikasi mati oleh keracunan dan stoples berisi formalin 10%.
Waktu yang baik untuk melakukan ekshumasi adalah :

- Jika mayatnya masih baru maka di lakukan secepat mungkin sedangkan jika mayatnya sudah lama atau
lebih dari satu bulan dapat dicari waktu yang tepat untuk penggalian.

- Penetapan batas waktu ekshumasi di India, Inggris dan Indonesia tidak mempunyai batas waktu. Di
Prancis sekitar 10 tahun, Skotlandia 20 tahun, Jerman 30 tahun.

- Waktu penggalian dilakukan pada pagi hari untuk mendapatkan cahaya yang cukup terang, udara masih
segar, matahari belum terlalu terik dan untuk menghindari kerumunan masyarakat yang sering
mengganggu pemeriksaan. Bila tidak memungkinkan dilakukan pada pagi hari, pemeriksaan dilakukan pada
siang hari dengan cuaca yang baik. Penggalian mayat pada sore hari sebaiknya dihindari.
3. Kehadiran petugas
Pada saat pelaksanaan penggalian harus dihadiri oleh :
- Penyidik atau polisi beserta pihak keamanan
- Pemerintah setempat / pemuka masyarakat.
- Dokter beserta pembantunya
- Keluarga korban / ahli waris korban
- Petugas pengamanan/ penjaga kuburan.
- Penggali kuburan

Dalam penggalian kuburan, kewenangannya dimiliki oleh Tim Penyidik sebagaimana yang dikatakan oleh
Direktur I Keamanan Trans Nasional Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Brigjen Pol Aryanto Sutadi
bahwa TNI tidak memiliki kewenagan untuk melakukan penggalian kuburan massal di Aceh meskipun
sedang diberlakukan darurat militer karena dapat merusak barang bukti, akan tetapi penyidik memerlukan
izin dari penguasa darurat militer karena tugas PDM adalah mengamankan.

4. Keamanan, yaitu penyidik harus mengamankan tempat penggalian dari kerumunan massa.

5. Proses penggalian kuburan


- Untuk menentukan lokasi, bila dikuburan umum, adalah keluarga atau juru kunci kuburan. Bila letaknya
tersembunyi maka tersangka yang menunjukan.Kadang tersangka sulit menunjukkan letaknya secara pasti
sehingga penggalian dapat mengalami kegagalan.
- Saat peti diangkat ke atas, penutup peti sebaiknya dibuka sedikit dengan membuka mur atau engsel peti
agar gas-gas di dalamnya bias dikeluarkan ke udara bebas. Selanjutnya peti dikirim ke kamar mayat, apabila
terjadi pembusukan maka ditempatkan potongan kayu atau kerangka fiberglass di dasarnya. Tanah dan
lumpur harus dipindahkan sebelum peti dikirim ke kamar otopsi untuk menghindari pencemaran.
6. Pemeriksaan mayat
Pemeriksaan mayat mayat sebaiknya dilakukan ditempat penggalian agar mempermudah penguburan
kembali selain karena mengingat adanya masalah transportasi dan waktu. Akan tetapi pemeriksaan
dikamar mayat lebih baik karena dapat dilakukan dengan tenang tanpa harus ditonton oleh masyarakat
banyak dan lebih teliti.
Sebelum ahli patologi melakukan pemeriksaan terhadap mayat, terlebih dahulu dipastikan bahwa
mayat yang akan diperiksa adalah benar. Pada umumnya, kerabat atau teman dekat korban yang melihat
wajah mayat dan kemudian menyatakan secara verbal kepada polisi, petugas kamar mayat atau dokter
bahwa benar itu mayat yang dimaksud. Apabila mayat terbakar dan tidak dapat dikenali, dimutilasi, maka
identifikasi dilakukan dengan cara menunjukkan dokumen atau benda- benda seperti pakaian dan
perhiasan milik mayat kepada kerabat.

Petugas pemeriksa mayat harus memakai sarung tangan dan masker yang telah dicelupkan ke
dalam larutan potassium permanganas. Bila mayat telah mengalami pembusukan dan mengeluarkan
cairan, maka kain pembungkus mayat harus diambil juga untuk pemeriksaan laboratorium, setentang
daerah punggung mayat. Bila mayat telah hancur semuanya maka setiap organ yang tinggal harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Jika organ dalam tidak dijumpai lagi maka yang diperiksa adalah
rambut, gigi, kuku, tulang dan kulit korban.

Prosedur Pengggalian Jenazah


- Permintaan secara tertulis oleh penyidik, disertai permintaan untuk otopsi.
- Penyidik harus memberikan keterangan tentang modus dan identitas korban sehingga dokter dapat
mempersiapkan diri. Misalnya korban pencekikan maka pemeriksaan leher akan lebih berhati-hati. Korban
keracunan, maka dipersiapkan alkohol 95% untuk pengawet.
- Yang harus diperhatikan dalam identitas korban adalah
1. Jenis kelamin, laki-laki atau perempuan
2. Tinggi badan.
3. Umur korban.
4. Pakaian, perhiasan yang menempel pada tubuh korban.
5. Sidik jari. (dari Satlantas saat mengambil SIM).
6. Tanda-tanda yang ada pada tubuh korban :
Warna dan bentuk rambut serta panjangnya.
Bentuk dan susunan gigi. Memakai gigi palsu / tidak.
Ada tatou di kulit atau tidak. (bentuk dan lokasinya)
Adanya cacat pada tubuh korban misalnya : Adanya luka perut, pada kulit, penyakit-penyakit lainnya.
Label identitas diikat erat pada ibu jari atau gelang tangan dan kaki.
Pada kasus non kriminal, seperti mati mendadak ( sudden death), kecelakaan, dan bunuh diri, maka
identitas mayat disertakan dengan label oleh polisi, perawat, atau petugas kamar mayat, yang
berisi nama, alamat, nomor seri dan detail lain yang relevan.1
Ahli patologi harus mencocokkan dokumen resmi tentang label tersebut. Bila ada ketidaksamaan
maka otopsi tidak boleh dilakukan sampai didapatkan identitas yang benar dari polisi.
Jika ada kecurigaan tertentu, sampel tanah harus diambil pada permukaan kuburan, bagian di
sekitar makam dan tanah di atas peti mayat. Saat peti telah dipindahkan, ahli forensik akan mengambil
sampel tanah dari pinggir dan bawah peti mayat. Saat ada kecurigaan atau diduga tindak criminal, rekaman
gambar pada setiap bagian identifikasi dimakamkan harus diambil ( biasa difoto oleh polisi) untuk
menemukan bukti-bukti selama otopsi.
Jika dicurigai diracun, contoh dari kain kafan, pelengkapan peti mati dan benda yang hilang seperti
cairan harus dianalisis. Mayat dipindahkan dilucuti pakaian dan dilakukan otopsi sesuai kondisi pada tubuh.
Pembusukan, adiposere dan mumifikasi merupakan penyulit pemeriksaan, kadang ketiganya berada pada
tubuh yang sama. Pada posisi yang tinggi akan membuat keadaan mayat lebih baik daripada tanah yang
berisi air ditempat penguburan.

Sebelum mayat dikubur kembali harus dipastikan apakah bahan bahan yang diperlukan sudah cukup
untuk menghindari penggalian ulang

8. Disaster Victim Identification (DVI)

Disaster Victim Identification (DVI) adalah : Suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat
bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada
interpol DVI,guideline.

Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang
lainnya, yang terdiri dari The Scene, The Mortuary, Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation
and Debriefing.

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang
dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari
Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property
dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem
dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai
nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.

IDENTIFIKASI KORBAN
Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada awalnya berkembang
karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya untuk menandai ciri pelaku
tindak kriminal, dengan adanya perkembangan masalah- masalah sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan yang berhubungan dengan
kesejahteraan umat manusia.
Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis pada awal
abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang
seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-
kendalanya oleh karena perubahan- perubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan
bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis.
Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari (Daktiloskopi) yang
awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712, kemudian oleh Mercello Malphigi tahun
1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880 dan Francis Dalton
tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan matematis penggunaan sidik jari
sebagai sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang
yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1, kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar
sidik jari dari seluruh penduduk untuk pembanding.
Adanya perkembangan ilmu pengetahun, saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan dapat
dimanfaatkan untuk meng-identifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah berbagai disiplin
ilmu kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi melalui sarana ilmu kedokteran
dikenal sebagai Identifikasi Medik.
Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal korban atau
pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk kepentingan non kriminal seperti asuransi,
penentuan keturunan, ahli waris dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dapat
dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan.

METODOLOGI IDENTIFIKASI
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari yang
sederhana sampai yang rumit.
a. Metode sederhana
1) Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas
dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat
diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor
psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)
2) Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan
tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.
3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.

b. Metode ilmiah, antara lain: 1) Sidik jari, 2) Serologi, 3) Odontologi, 4) Antropologi dan 5) Biologi.

Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai disiplin ilmu ternyata dapat
dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini didapatkan akurasi yang
sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.
Metode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Cara ini mempunyai
banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan sarana yang canggih dan mahal. Dalam
melakukan identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara
yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit.
Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja, segala cara yang mungkin
harus dilakukan, hal ini penting oleh karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin
akurat. Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan memberikan hasil yang
positif (tidak meragukan).
Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan data- data tersangka
korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Data
gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer,
sedangkan data medis, property dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk dianggap
sebagai ciri identitas yang pasti.
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi
pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi
amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan:
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan identifikasi.
Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat
dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan
akan menjadi lebih terarah.
2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Di sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada
sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain: misalnya
adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan
biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban. Di
samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan foto
korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai Superimposed Technique yaitu
untuk membandingkan antara tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.
c. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang dengan
membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam
menggunakan tehnik ini adalah:

1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.


2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu:
a. Primer/utama
1) gigi geligi
2) sidik jari
3) DNA
b. Sekunder/pendukung
1) visual
2) properti
3) medik
SETELAH KORBAN TERIDENTIFIKASI
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi
antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah

Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi Identifikasi
berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara
lain:
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban.
d. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana

Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal
ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban.
Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah
dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga
berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga
menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
Identifikasi pada korban bencana masal adalah suatu hal yang sangat sulit mengingat berapa hal
di bawah ini:
Jumlah korban banyak dan kondisi buruk
Lokasi kejadian sulit dicapai
Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar
Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik.

Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah koordinasi yang baik
antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan transportasi.
Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah koordinasi Badan
Penanggulangan Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang telah terbentuk di
Provinsi Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah
Sumatera Utara/Polda Sumut, Dinas Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera Utara, Dinas
Perhubungan, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia dan instansi terkait lainnya serta Bakorlak,
Satkorlak dan Satlak.
Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang
melakukan peyelidikan dan penyidikan sebab dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil
identifikasi korban banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya
pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.
Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan, kelalaian ataupun
kesengajaan (teroris bom). Masih diperdebatkan mengenai jumlah korban untuk dimasukkan dalam
kriteria korban massal.

Anda mungkin juga menyukai