Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia selain memiliki
kekayaan sumber daya alam pesisir yang melimpah, juga memiliki potensi bencana
alam yang sangat tinggi (Dahuri, 1996). Pantai Utara (pantura) dan pantai selatan
(pansela) pulau Jawa yang memiliki potensi perikanan, minyak dan gas bumi serta
bentang alam yang menarik juga memiliki potensi bencana alam antara lain,
gempabumi, tsunami, gelombang pasang, banjir, abrasi, akresi, intrusi air laut, dan
angin kencang (Bapeda Prov. Jabar, 2007). Seluruh bencana alam tersebut
mengancam masyarakat yang bermukim dan menggantungkan hidupnya di pesisir,
dan berdampak buruk bagi ekosistem pesisir.
Oleh karena itu identifikasi potensi bencana alam disamping potensi
sumberdaya alam merupakan salah satu aspek penting dalam pertimbangan
perumusan kebijakan pengembangan wilayah. Berdasarkan pemahaman potensi
bencana alam yang mungkin terjadi, maka diperlukan langkah preventif proaktif
dan kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana, serta sistem penanggulangan ketika
terjadi bencana. Langkah pemulihan setelah terjadi bencana berupa rehabilitasi
dapat dimasukkan dalam rumusan kebijakan pengembangan wilayah tersebut.
Sejauh ini, pertimbangan potensi bencana alam di wilayah pesisir belum mendasari
kebijakan secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kebijakan pengembangan
wilayah pesisir yang pada umumnya belum dilengkapi dengan sistem mitigasi
bencana.
Mitigasi bencana dapat diartikan sebagai upaya sistemik untuk mengurangi
risiko bencana baik secara struktural maupun non struktural (Coburn, et al. 1994).
Mitigasi struktural meliputi upaya fisik yang dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana, antara lain sistem peringatan dini, pembangunan pemecah ombak,
peredam abrasi, penahan sedimentasi (groin), pembangunan pemukiman panggung,
relokasi permukiman dan remangrovisasi. Mitigasi non struktural meliputi upaya
non fisik untuk mengurangi risiko bencana, seperti pembuatan peraturan
perundangan terkait, norma standar prosedur manual (NSPM), dan sosialisasi upaya
mitigasi bencana serta menyusun standard operational procedure (SOP)
penyelamatan diri maupun massal (Bappenas, 2006). Upaya mitigasi bencana alam
sangat ditentukan oleh kemampuan SDM aparat dan masyarakat setempat,
teknologi, prasarana, sarana, biaya serta kombinasi antar instansi terkait. Penyiapan
upaya mitigasi tersebut juga terkait dengan political will atau persepsi pemerintah
daerah menyikapi penting tidaknya memperhitungkan risiko bencana, terutama
sebelum bencana alam terjadi.
Bentuk dan tingkat efektivitas mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan
tidak sama antara satu upaya dengan upaya yang lain, satu wilayah dengan wilayah
lain, tergantung pada jenis dan intensitas bencana alam yang terjadi (Subandono,
2007). Kajian secara akurat dan langsung mengenai bentuk dan efektivitas mitigasi
bencana alam di suatu daerah seringkali sulit dilakukan karena bencana alam
seringkali sulit diprediksi (Latief, 2005). Oleh karena itu, kajian efektivitas mitigasi
bencana alam suatu daerah dapat dilakukan dengan membandingkan sistem yang
sama yang telah dilakukan dalam penanggulangan bencana sejenis di tempat lain.
Tulisan ini merupakan gabungan dua sub model dari enam sub model dalam
penelitian tentang kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan
berspektif mitigasi bencana. Gabungan kedua sub model ini bertujuan untuk
mengetahui jenis bencana alam di wilayah pesisir, serta upaya pengurangan risiko
bencana yang juga dikenal sebagai mitigasi bencana.

B. RUMUSAN MASALAH
Daerah pesisir di Indonesia merupakan salah satu spot yang rentan akan
bencana tsunami. Dalam hal upaya mitigasi bencana, Indonesia telah memiliki
zonasi risiko bencana tsunami. Berkaitan dengan hal tersebut rumusan masalah
yang dapat dijadikan sebagai landasan adalah bagaimana tingkat risiko terhadap
ancaman bencana tsunami di pesisir pantai Indonesia?

C. TUJUAN DAN SASARAN


Tujuan dari makalah ini adalah sebagai studi pustaka untuk mengatahui analisa dan
mitigasi bencana alam tsunami di pesisir pantai Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat beberapa sasaran yang harus dicapai, yaitu:
1. Mengidentifikasi karakteristik ancaman bahaya bencana tsunami di pesisir
pantai.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kerentanan bencana tsunami di pesisir pantai.
3. Menentukan zona risiko bencana tsunami di pesisir pantai
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tsunami
Tsunami adalah gelombang air yang sangat besar yang dibangkitkan oleh
macam-macam gangguan di dasar samudera. Gangguan ini dapat berupa gempa
bumi, pergeseran lempeng atau gunung meletus. Tsunami tidak kelihatan saat masih
berada jauh di tengah lautan, namun begitu mencapai wilayah dangkal,
gelombangnya yang bergerak cepat ini akan semakin membesar. Tsunami juga
sering disangka sebagai gelombang air pasang, karena saat mencapai daratan
gelombang ini memang lebih menyerupai air pasang yang tinggi daripada
menyerupai ombak biasa yang mencapai pantai secara alami oleh tiupan angin.
Namun sebenarnya gelombang tsunami sama sekali tidak berkaitan dengan
peristiwa pasang surut air laut. Tsunami adalah fenomena gelombang raksasa yang
melanda daratan. Fenomena ini dapat terjadi karena gempa bumi atau gangguan
berskala besar di dasar laut, seperti longsoran bawah laut atau erusi letusan
gunungapi di bawah laut (Skinner dan Porter, 2000). Gelombang tsunami dapat
merambat sangat cepat mencapai kecepatan 950 km/jam, panjang gelombangnya
sangat panjang dapat mencapat panjang 250 km. Di samudera, tinggi gelombang
tsunami cukup rendah sehingga sulit diamati dan ketika mencapai perairan dangkal
ketinggiannya dapat mencapai 30 m. Sifat kedatangan gelombang tsunami sangat
mendadak dan tidak adanya sistem peringatan dini merupakan penyebab dari
banyaknya korban jiwa yang jatuh ketika gelombang tsunami melanda ke daratan
pesisir yang banyak penduduknya. Tsunami umumnya terjadi akibat gempa bumi
bawah laut. Gerakan vertikal ke atas atau ke bawah kerak bumi menyebabkan dasar
laut naik dan turun secara tiba-tiba, sehingga keseimbangan air laut yang berada di
atasnya terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya aliran energi air laut, yang
ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar. Tsunami dapat terjadi setempat
atau meluas ke wilayah lain. Besar kecilnya gelombang tsunami dipengaruhi oleh
kedalaman air laut. Makin dalam air laut, kecepatan gelombang tsunami semakin
kencang. Tsunami merupakan rangkaian gelombang. Gelombang pertama yang
datang biasanya tidak begitu besar dan tidak begitu membahayakan, tetapi beberapa
saat setelah gelombang pertama, akan menyusul gelombang yang jauh lebih besar
serta sangat berbahaya. Setelah tsunami terjadi, gelombangnya merambat ke segala
arah. Selama perambatan ini, tinggi gelombang semakin besar karena semakin
dangkalnya dasar laut.
B. Mitigasi
Mitigasi didefinisikan sebagai "Upaya yang ditujukan untuk mengurangi
dampak dari bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan
dari keduanya dalam suatu negara atau masyarakat." Ada empat hal penting dalam
rnitigasi bencana, yaitu :
1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana.
2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam
menghadapi bencana karena bermukim di daerah rawan bencana.
3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika bencana timbul
4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancarnan
bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah
mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan. Mitigasi bencana mencakup perencanaan dan pelaksanaan tindakan-
tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang
dilakukan sebelum bencana terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan
pengurangan resiko jangka panjang. Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan
untuk mengurangi pengaruhpengaruh dari satu bahaya sebelum bencana itu terjadi.
Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan
tindakantindakan perlindungan yang mungkin diawali dari yang fisik, seperti
membuat bangunan yang lebih kuat sampai dengan prosedural, seperti teknikteknik
yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam rencana penggunaan
lahan. Mitigasi meliputi segala tindakan yang mencegah bahaya, mengurangi
kemungkinan terjadinya bahaya dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang
tidak dapat dihindarkan. Mitigasi adalah dasar managemen situasi darurat. Mitigasi
dapat didefinisikan sebagai Aksi yang mengurangi atau menghilangkan resiko
jangka panjang bahaya bencana alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta-
benda. Mitigasi adalah usaha yang dilakukan oleh segala pihak terkait pada tingkat
negara, masyarakat dan individu. Untuk mitigasi bahaya tsunami sangat diperlukan
ketepatan dalam menilai kondisi alam yang terancam, merancang dan menerapkan
teknik peringatan bahaya dan mempersiapkan daerah yang terancam untuk
mengurangi dampak negatif dari bahaya tersebut. Ketiga langkah penting tersebut
adalah penilaian bahaya (hazard assessment), peringatan (warning) dan persiapan
(preparedness) adalah unsur utama model mitigasi. Unsur kunci lainnya yang tidak
terlibat langsung dalam mitigasi tetapi sangat mendukung adalah penelitian yang
terkait (tsunami-related research).
C. Analisis Risiko Bencana
Kerentanan komunitas terjadi karena adanya kondisi lingkungan fisik,
lingkungan sosial, dan ekonomi yang tidak aman (unsave conditions) yang melekat
padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh dorongan oleh dinamika internal
maupun eksternal (dinamics presures), misalnya di komunitas institusi lokal tidak
berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Dinamika internal itu
tersebut tentu bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi karena terdapat akar
permasalahan (root causes) yang menyertainya. Akar permasalahan internal
umumnya karena komunitas mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan
yang terbatas; sedang secara eksternal karena sistem politik dan ekonomi yang tidak
tepat (Blaikie et al, 1994).
Dilihat dari waktu terjadinya, ancaman dapat muncul secara tiba-tiba dan
tidak terduga (shocks); ancaman berangsur, terduga dan dapat dicermati (trends);
dan ancaman musiman yang datang setiap perioda waktu tertentu (seasonality).
Ancaman yang muncul secara tiba-tiba cenderung akan menimbulkan bencana tiba-
tiba (gempabumi, banjir bandang, gunung meletus, tsunami, konflik). Demikian
pula ancaman yang berangsur dan musiman, cenderung menyebabkan bencana yang
berangsur (banjir kiriman, kekeringan, degradasi lingkungan akibat polusi, pestisida
dan pupuk kimia) dan musiman (kekeringan, banjir pasang surut, banjir hujan).
Status ancaman ini sangat tergantung dari kapasitas individu maupun komunitas
dalam sistem peringatan dini (early warning sistem). Artinya, ancaman yang
dimaknai shocks oleh satu individu atau komunitas, merupakan trends untuk
individu atau komunitas lain yang mempunyai sistem peringatan dini yang lebih
baik.
Selanjutnya, setiap individu, komunitas maupun unit sosial yang lebih besar
mengembangkan kapasitas sistem penyesuaian dalam merespon ancaman. Renspons
itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping
mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme
adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam
jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar :
keamanam, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan untuk
memperkuat sumber-sumber kehidupannya.
Bencana akan menimbulkan dampak langsung (primer) maupun tidak
langsung (sekunder), yang akan mengakibatkan perubahan kehidupan dari pola-pola
normal, merugikan manusia, merusak struktur sosial, serta munculnya lonjakan
kebutuhan. Bencana akan mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai maupun
mengakses aset penghidupan (livelihood assets). Di beberapa peristiwa bencana
seluruh kapasitas dan aset tersebut hilang sama sekali. Reduksi kapasitas itu pula
yang memungkinkan bencana cenderung akan hadir berulang di suatu kawasan dan
komunitas. Menurut konsep sustainable livelihood ada lima aset penghidupan yang
dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upayanya
mengembangkan kehidupannya yaitu:
1. humane capital, yakni modal yang dimiliki manusia;
2. social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki komunitas;
3. natural capital: adalah persediaan sumber daya alam;
4. physical capital adalah infrastruktur dasar dan memproduksi barang-barang
yang dibutuhkan; serta
5. financial capital, yaitu sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh rakyat
untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya.
Manajemen risiko bencana dilakukan dalam suatu spektrum yang terdiri
dari:pencegahan, penjinakan/mitigasi, dan kesiap-siagaan, kejadian bencana,
penanganan darurat, rehabilitasi dan rekontruksi. Manajemen risiko bencana adalah
proses dinamis upaya-upaya penanggulangan bencana yang dilakukan secara
menerus, baik melalui mekanisme eksternal maupun internal. Mekanisme eksternal
merupakan mekanisme penanggulangan yang lebih memobilisasi unsur di luar
masyarakat. Penanggulangan bencana dengan mekanisme internal merupakan
mekanisme yang menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dan sentral.
Mekanisme eksternal dilandasi oleh pemikiran bahwa masyarakat korban masih
dapat diberdayakan dan memiliki keberdayaan.
Dari sisi pendekatan cara penanganan bencana dapat dikenal dengan
pendekatan akibat dan pendakatan sebab. Penganan bencana dengan pendakatan
akibat terutama dilakukan dengan tindakan-tindakan gawat darurat. Upaya ini
cenderung tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, kita perlu
mempertimbangkan untuk segera melakukan penanganan bencana dengan
pendekatan sebab, dengan melakukan pengurangan kerentanan. Karena
kerentanan komunitas sebagai sasarannya, maka manajemen risiko bencana berbasis
komunitas merupakan pilihan yang paling tepat.
Pembangunan kemampuan penanganan bencana ditekankan pada
peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya masyarakat pada kawasan rawan
bencana, agar secara dini mampu menekan resiko ancaman tersebut. Umumnya
berpangkal pada tindakan penumbuhan kemampuan masyarakat dalam menangani
dan menekan akibat bencana. Untuk mencapai kondisi tersebut, lazimnya
diperlukan langkah-langkah pelaksanaan kegiatan-kegiatan secara partisipatoris,
bersama, oleh dan untuk masyarakat, yaitu: pengenalan jenis bencana, pemetaan
daerah rawan bencana, zonasi daerah bahaya dan prakiraan resiko, pengenalan
sosial budaya masyarakat daerah bahaya, penyusunan prosedur dan tata cara
penanganan bencana, pemasyarakatan kesiagaan dan peningkatan kemampuan,
mitigasi fisik, pengembangan teknologi bencana alam.
Dalam melakukan manajemen risiko bencana khususnya terhadap bantuan
darurat dikenal ada dua model pendekatan yaitu konvensional dan
pemberdayaan. Perbedaan kedua pendekatan tersebut terutama terletak kepada
cara melihat : kondisi korban, taksiran kebutuhan, kecepatan dan ketepatan, fokus
yang dibantukan; target akhir.
Di sisi lain, mekanisme dalam manajemen (penanggulangan) bencana
dikenal secara (1) internal dan (2) eksternal. Mekanisme internal adalah pola
penanggulangan bencana yang dilakukan oleh unsur-unsur masyarakat di lokasi
bencana; baik berupa keluarga, organisasi sosial dan masyarakat lokal. Mekanisme
ini dikenal sebagai mekanisme penanggulangan bencana secara alamaiah.
Mekanisme eksternal adalah penangulangan bencana di luar unsur-unsur
mekanisme internal tersebut.
Manajemen risiko bencana di Indonesia dilaksanakan dengan pendekatan
konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan
penanggulangan bencana (pada tahap-tahap prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan,
tanggap darurat, rehabilitasi, rekontruksi) yang tertuang pada keputusan Menko
Kesra, memposisikan masyarakat sebagai obyek. Kurang terlihat upaya penguatan
masyarakat upaya mengurangi tingkat kerentanan. Pendukung pelaksanaan kegiatan
tidak melibatkan masyarakat lokal dan tidak memperhatikan potensi masyarakat
korban. Jika dicermati lebih jauh lagi, perlengkapan baku dalam kegiatan
manajemen terdiri dari perlengkapan operasional yang mungkin aneh buat
masyarakat.

Setelah otonomi, adalah kewajiban pemerintah daerah dan kita untuk


membuat masyarakatnya yang rentan lebih berkapasitas. Tujuan akhirnya, membuat
mereka mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana. Kita tentu
percaya, kapasitas masyarakat yang kuat akan menempatkan ancaman tetap sebagai
ancaman; tidak sebagai bencana. Bukan sebaliknya, meninggalkan mereka,
menisbikan keberadaan mereka, karena tidak sesuai dengan keinginan kita.
Manajemen risiko bencana ini perlu dilakukan dengan mekanisme internal, yaitu
mendudukkan masarakat sebagai subyek. Manajemen ini tidak menempatkan
masyarakat pada posisi lemah, bodoh dan salah, nampaknya menjadi suatu
kebutuhan.
Metoda partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
untuk mendukung mekanisme internal. Asas yang melandasi mekanisme ini adalah
pemberdayaan, yaitu memperhatikan kapasitas awal masyarakat dan kegiatan
dibangun untuk masyarakat agar dapat mengembangkan kapasitasnya sendiri.
Wujud nyata dari asas ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, lembaga
swasta dan lembaga swadaya masyarakat mendukung proses peningkatan kapasitas
(sekaligus merupakan upaya mengurangi kerentanan) yang ada dengan sepenuh
hati.
BAB III
PERAN PERAWAT DALAM BENCANA

Perawat adalah salah satu profesi di bidang kesehatan, sesuai dengan makna dari
profesi maka seseorang yang telah mengikuti pendidikan profesi keperawatan seyogyanya
mempunyai kemampuan untuk memberikan pelayanan yang etikal dan sesuai standar
profesi serta sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya baik melalui pendidikan formal
maupun informal, serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang
dilakukannya.
Seorang perawat dalam tugasnya harus berperan sebagai kolaborator, pendidik,
konselor,change agent dan peneliti. Keperawatan mempunyai karakteristik profesi yaitu
memiliki body of knowledge yang berbeda dengan profesi lain, altruistik, memiliki wadah
profesi, mempunyai standar dan etika profesi, akontabilitas, otonomi dan kesejawatan
Berdasarkan karakteristik di atas maka pelayanan keperawatan merupakan pelayanan
profesional yang manusiawi untuk memenuhi kebutuhan klien yang unik dan
individualistik diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah dipersiapkan melalui
pendidikan lama dan pengalaman klinik yang memadai. Perawat harus memiliki
karakteristik sikap caring yaitu competence,confidence, compassion, conscience and
commitment. Pelayanan keperawatan yang optimal dapat dicapai jika perawat sudah
profesional.
Peran perawat
Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang berhubungan
dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap individu mempunyai berbagai
peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu. Peran adalah seperangkat tingkah laku
yang diharapkan oleh orang lain terhadap kedudukannya dalam sistem. Peran perawat juga
segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya
sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

A. Peran Perawat Dalam Tanggap Bencana


Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan keperawatan tersebut juga sangat
dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana. Perawat tidak hanya dituntut memiliki
pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan saja, Lebih dari itu,
kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat keadaan darurat. Hal ini
diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan
dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih banyak
melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan lebih dahulu
dibandingkan dengan perawat, walaupun ada itu sudah terkesan lambat.

B. Jenis Kegiatan Siaga Bencana


Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan
pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi
perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam
situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban
dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas
pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit
dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu
adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini,
baik berkolaborasi dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional,
ataupun juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat,
menyeluruh dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa
beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan
profesi keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan
menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan,
obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut
bisa dilakukan langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan
memdirikan posko bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan
ini adalah pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di
butuhkan oleh para korban saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang
tidak mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun
tidak tepat sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis
akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang
mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa
wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga
apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress berat dan
gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan
situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh
perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan
mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan
sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak
anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali,
hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat
dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan
diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana
biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan
pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak
diantara mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang
bisa menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi
bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan
yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak
dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan
mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.

Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki
oleh seorang perawat, diantaranya:
1. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan
bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat
akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
2. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen
masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan
mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan
jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban
penderitaan korban bencana.
3. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal
yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana
datang secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang,
jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan
tindakan di daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam
situasi apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan
peralatan bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam
waktu yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga
bencana.
C. Managemen Bencana
Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:
1. Respons terhadap bencana
2. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
3. Mitigasi efek bencana

Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap


tindakan yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa
hal yang bisa dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat
kejadian, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang
akan diangkatkan, seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan
kebutuhan korban, atau menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru
dilakukan persiapan mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan
dibawa disesuaikan dengan alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan
ditempuh.
2. Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.
Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal yang
dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka waktu yang
disepakati.
3. Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang
dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan
kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih
baik lagi dari sebelumnya.

D. PERAN PERAWAT DALAM MANAJEMAN BENCANA


1. Peran perawat dalam fase pre-impect
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga pemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana.
c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana.
2. Peran perawat dalam fase impact
a. Bertindak cepat
b. Dont promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti
dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.
c. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan
d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan
e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat mendiskusikan
dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30
bulan pertama.
3. Peran perawat dalam fase post impact
a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi korban
b. Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post
traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan 3 kriteria
utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut
mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun
peristiwa-peristiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu akan menunjukan
gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan
konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan memori.
c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama
dengan unsure lintas sektor menangani maslah keehatan masyarakat paska
gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju keadaan
sehat dan aman.
DAFTAR PUSTAKA

1. [Bappeda Provinsi Jawa Barat] Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat.
2007. Penyusunan Atlas Wilayah Pesisir dan Laut Utara. Bappeda Provinsi Jawa
Barat. Bandung.
2. [BAPPENAS dan BAKORNAS PB] Badan Perencaanan Nasional dan Badan
Koordinasi Nasional Penanggulang Bencana. 2006. Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009.
3. Coburn, A.W., R.J. S. Spence, and A. Pomonis. 1994. Mitigasi Bencana (Edisi
Kedua). Program Pelatihan Manajemen Bencana. UNDP. Cambrid Architectural
Research Limited. United Kingdom.
4. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J.Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
5. Eryatno dan Sofyar. 2007. Riset Kebijakan; Metode Penelitian Untuk Pasca Sarjana.
IPB Press. Bogor.
6. Latief, H. 2005. Rancangan Pedoman Penanggulangan Dampak Kerusakan Wilayah
Pesisir Akibat Bencana Gelombang Pasang Berbasis Ekosistem. Pusat Kajian
Tsunami ITB. Bandung
7. Maarif, S. dan Tanjung, H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif Untuk Manajemen.
Grasindo. Jakarta
8. Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Graznido. Jakarta
9. Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MBPI). 2006. Kerangka Aksi
Hyogo Pengurangan Resiko Bencana 2005-2015. Membangun Ketahanan Bangsa
dan Komunitas Terhadap Bencana.
10. Skinner, B. J. & Porter, S. C. 2000. The Dynamic Earth. An Introduction to Physical
Geology, 4th ed. American Museum of Natural History Edition. New York.
11. Blaikie P., Cannon, T., Davis, I. Dan Wisner. B. 1994. At Risk Natural Hazards,
Peoples Vulnerability and Disaster; Routledge, London

Anda mungkin juga menyukai