Anda di halaman 1dari 8

Bahasa Di Nusantara

Sebagai Bahasa resmi negara, Indonesia memunyai Bahasa Indonesia yang merupakan salah satu dari
ragam Bahasa Melayu. Penamaan Bahasa Indonesia bermula sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda pada
28 Oktober 1928. Dalam ikrar Sumpah Pemuda, disebutkan bahwa Bahasa Indonesia merupakan Bahasa
tanah air. Hingga hari ini, Bahasa yang secara resmi dijadikan Bahasa nasional pada 1945 ini menjadi alat
komunikasi yang digunakan secara luas oleh rakyat Indonesia, baik dalam forum formal maupun
nonformal. Bahasa ini menjadi jembatan yang menyatukan masyarakat di tengah keragaman Bahasa di
nusantara. Ya, Indonesia tidak hanya memunyai satu Bahasa. Di samping Bahasa nasionalnya, ada
ratusan Bahasa daerah yang digunakan masyarakatnya sampai saat ini. Perkembangan Bahasa Indonesia
sendiri tak lepas dari pengaruh Bahasa-bahasa daerah yang ada di tanah air, selain tentunya dipengaruhi
pula oleh factor-faktor lain seperti Bahasa asing, misalnya.
Bahasa Austronesia
Berbicara tentang Bahasa Indonesia, maka tak lepas dari rumpunnya, yakni Bahasa Austronesia. Rumpun
Bahasa Austronesia adalah keluarga Bahasa yang tersebar di gugusan kepulauan asia tenggara dan
samudera pasifik. Usia rumpun Bahasa ini sudah sangat tua. Nama Austronesia berasal dari
penggabungan 2 kata, yaitu auster dan nesos. Kata auster diambil dari Bahasa Latin yang berarti angin
selatan. Sementara kata nesos diambil dari Bahasa Yunani yangartinya pulau. Penamaan ini sesuai
dengan daerah penuturnya yang mencakup pulau-pulau yang terletak di dalam atau berimpitan dengan
Hemisfer Selatan. Memang ada beberapa Bahasa dari rumpun Austronesia yang digunakan di Asia
Kontinental. Namun jumlahnya tidak banyak.
Sejarah Rumpun Bahasa Austronesia
Menurut Arkeolog Harry Truman Simanjuntak, Austronesia merupakan salah satu rumpun Bahasa yang
terbesar di dunia. Rumpun Bahasa ini meliputi 1.252 bahasa dan dituturkan oleh lebih dari 300 juta jiwa
penutur asli. Masyarakat penuturnya tersebar di wilayah sepanjang 15ribu km (lebih dari separuh bola
bumi), dari Madagaskar di barat hingga pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara
hingga Selandia Baru di selatan. Dari sisi jumlah bahasanya, rumpun Austronesia menduduki urutan ke-2
sebagai rumpun Bahasa terbesar di dunia. Sedangkan dari jumlah penutur aslinya, rumpun ini menduduki
urutan ke-5. Mengenai asal usul penutur rumpun Bahasa Austronesia ini, terdapat beberapa hipotesis
berbeda. Namun yang paling umum adalah hipotesis yang menyatakan bahwa leluhur penutur Bahasa
Austronesia berasal dari Pulau Formosa, Taiwan. Salah satu pakar linguistic yang lantang menyuarakan
hipotesis ini adalah Robert Blust. Menurutnya, Sembilan dari sepuluh cabang utama rumpun Bahasa
Austronesia terbentuk dari Bahasa-bahasa Formosa,sedangkan satu cabang utama lainnya terdiri hampir
1.200 bahasa Melayu-Polinesia yang tersebar di luar Formosa. Robert Blust sudah mencoba
merekonstruksi silsilah dan pengelompokan Bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia sejak 1970-an.
Meski tidak semua pakar Bahasa sepakat dengan beberapa rincian analisis Robert Blust, tetap disepakati
kesimpulan umum bahwa Bahasa-bahasa Austronesia berasal dari Taiwan. Teori ini dikenal sebagai Teori
Model Out of Taiwan.
Menurut teori Model Out of Taiwan, leluhur bangsa Austronesia berasal dari Cina Selatan yang
bermigrasi ke Taiwan pada masa 5000-4000 SM. Beberapa abad setelahnya, muncul akar rumpun Bahasa
Austronesia. Sekitar 4500-3000 SM, ada satu kelompok leluhur yang memisahkan diri dan bermigrasi ke
Filipina bagian utara. Mereka kemudian melahirkan cabang Bahasa baru yakni Proto-Melayu-Polinesia
(PMP). Selanjutnya, sebagian masyarakat penutur PMP mulai bermigrasi dari Filipina ke Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku Utara. Melalui proses migrasi ini, lahirlah cabang Bahasa baru, yaitu Bahasa
Propto Melayu Polinesia Tengah Timur (PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara dan Bahasa Proto
Melayu-Polinesia Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat.
Leluhur yang ada di Maluku Utara kemudian berpindah ke selatan dan timur pada 3.000-2.000 SM.
Perpindahan ke selatan hingga ke Nusa Tenggara menghasilkan cabang Bahasa Proto Melayu-Polinesia
Tengah (PCMP). Sementara perpindahan masyarakat penutur ke timur hingga pantai utara Papua Barat
menghasilkan Bahasa Proto Melayu-Polinesia Timur (PEMP). Perpindahan penutur PEMP di wilayah
pantai barat Papua Barat ke Halmahera Selatan, Kepulauan Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat
menghasilkan Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG). Kelompok dari masyarakat penutur
PEMP lainnya lalu berpindah ke Oseania, dan sampai ke Kepulauan Bismarck di Melanesia sekitar 1500
SM. Dari proses migrasi ini muncul Bahasa Proto Oseania.
Sementara itu, penutur PWMP di Kepulauan Indonesia bagian barat yang menghuni Kalimantan dan
Sulawesi kemudian bergerak menuju selatan pada 3000-2000 SM. Kelompok ini kemudian berdiam di
Jawa dan Sumatra. Sebagian di antaranya lalu berpindah lagi ke utara, termasuk ke Vietnam dan
Semenanjung Malaka. Memasuki awal periode Masehi, persebaran leluhur penutur Bahasa PWMP
bergerak ke Kalimantan hingga Madagaskar. Rute penyebaran bangsa dan Bahasa Austronesia dapat
dilihat pada gambar.

Harry Truman Simanjuntak menyimpulkan bahwa hampir seluruh kawasan Nusantara hingga ke negeri-
negeri tetangga dan masyarakat kepulauan di Pasifik dan Madagaskar menggunakan Bahasa yang cikal-
bakalnya adalah Bahasa Austronesia. Kecuali masyarakat di pedalaman Papua dan pedalaman Pulau
Timor, bahasanya lebih mirip dengan Bahasa pedalaman Australia. Bahasa nasional Indonesia pun
berakar dari Bahasa Austronesia. Namun memang Bahasa Indonesia saat ini sudah jauh lebih kompleks
karena penuturnya sudah beradaptasi pula dengan rumpun Bahasa dunia lainnya seperti India, Arab,
Portugis, Belanda dan Inggris.
Klasifikasi Bahasa Austronesia dan Persebarannya
Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Robert Blust, Bahasa Austronesia secara garis besar
dikelmpokkan menjadi 10 cabang, yaitu:
1. Atalayik
2. Formosa Timur
3. Puyuma
4. Paiwan
5. Rukai
6. Tsouik
7. Bunun
8. Dataran Rendah Barat
9.Formosa Barat Laut
10.Melayu-Polinesia
Persebaran cabang-cabang Bahasa tersebut pada awalnya di Taiwan dapat dilihat pada gambar. Seperti
sudah dikemukakan sebelumnya, cabang Melayu-Polinesia digunakan oleh leluhur bangsa Austronesia
yang tersebar di luar Taiwan, termasuk Indonesia. Sebenanrya Bahasa Melayu Polinesia ini merupakan
anak dari Bahasa Paiwan. Sampai hari ini, kita bisa melihat banyak Bahasa turunan dari cabang ini
digunakan di berbagai daerah di tanah air. Jumlah penutur asli cabang Bahasa Melayu Polinesia di dunia
yang tercatat adalah 351 juta jiwa.
Dalam karya ilmiahnya yang berjudul The History and Typology of Western Austronesian Voice Systems,
pakar Bahasa Fay Wouk dan Malcolm Ross menyederhanakan system klasifikasi Bahasa yang tergolong
cabang Melayu-Polinesia. Dalam karya ilmiah yang diterbitkan pada 2002 tersebut, Bahasa Melayu-
Polinesia dibagi menjadi 2 kelompok besar, antara lain:
Bahasa Kalimantan-Filipina atau Bahasa Melayu-Polinesia Barat Luar
Kelompok Bahasa Melayu-Polinesia Barat Luar terdiri dari banyak Bahasa seperti Dayak Ngaju,
Gorontalo, Bahasa Bajau, Bahasa-bahasa Minahasa, Tagalog, Cebuano, Hiligaynon, Ilokano,
Kapampangan, Malagasi, dan Tausug.
Bahasa Melayu-Polinesia Inti
Bahasa Melayu-Polinesia Inti kemungkinan besar menyebar dari Sulawesi. Peta persebaran
kelompok Bahasa Melayu-Polinesia Inti dapat dilihat pada gambar. Bahasa ini dikelompokkan
menjadi 2, yaitu Sunda-Sulawesi atau Melayu-Polinesia Barat Dalam (Hesperonia Dalam) dan
Bahasa Melayu-Polinesia Tengah-Timur. Contoh Bahasa yang termasuk kelompok Melayu-
Polinesia Barat Dalam adalah Bahasa Indonesia bagian barat, Bugis, Aceh, Cham (digunakan di
Vietnam dan Kamboja), Melayu, Indonesia, Iban, Sunda, Jawa, Bali, Chamoru, dan Palau.
Ada 2 kolompok besar yang tergolong ke dalam cabang Melayu-Polinesia Tengah-Timur, yaitu:
1. Bahasa Melayu-Polinesia Tengah atau Bahasa Bandanesia
Kelompok ini meliputi Bahasa-bahasa yang tersebar di sekitar Laut Banda,antara lain
Bahasa-bahasa di Pulau Timor, Sumba, Flores, dan juga di Maluku.
2. Bahasa Melayu-Polinesia Timur atau Bahasa Melanesia
Kelompok Bahasa Melayu-Polinesia terdiri dari 2 cabang. Cabang yang pertama adalah
Bahasa Halmahera Selatan-Papua Barat-Laut yang meliputi beberapa Bahasa di pulau
Halmahera dan sebelah barat pulau Papua, seperti Bahasa Taba dan Bahasa Biak. Cabang
yang kedua adalah Bahasa Oseanik yang mencakup semua Bahasa Austronesia di Melanesia
(dari Jayapura ke Timur), Polinesia dan sebagian besar Mikronesia.

Bahasa Sunda-Sulawesi merupakan salah satu cabang yang terbesar dari Bahasa Melayu-Polinesia Inti.
Bahasa-bahasa turunan cabang Sunda-Sulawesi dengan jumlah penutur terbesar di antaranya adalah
Bahasa Jawa, Bahasa Melayu (dan Bahasa Indonesia), Bahasa Sunda, Bahasa Madura, Bahasa Aceh,
Bahasa Batak dan Bahasa Bali.
Jumlah Penutur Bahasa Austronesia
Penutur asli Bahasa Austronesia yang berjumlah lebih dari 300 juta jiwa tersebar di berbagai belahan
dunia, termasuk Indonesia. Bahasa Jawa yang merupakan salah satu Bahasa daerah Nusantara hasil
turunan dari Bahasa Austronesia menduduki urutan pertama sebagai Bahasa terbesar berdasarkan jumlah
penutur aslinya (76 juta jiwa).
Sementara Bahasa Indonesia yang juga turunan dari rumpun Bahasa Austronesia digunakan sebagai
Bahasa resmi di tanah air, dengan jumlah penutur sekitar 220 juta jiwa. Lebih jelasnya mengenai jumlah
penutur Bahasa Austronesia di berbagai belahan dunia dapat dilihat pada table di bawah ini. Bahasa yang
terdaftar pada table adalah Bahasa yang tergolong dominan di wilayahnya masing-masing. Table Bahasa-
bahasa turunan rumpun Austronesia beserta jumlah penuturnya di samping belum memuat seluruh Bahasa
yang masuk golongan Bahasa Austronesia. Jika dimasukkan keseluruhan, akan sangat panjang jadinya,
karena jumlahnya lebih dari seribu Bahasa. Bahasa-bahasa yang dimuat dalam table tersebut merupakan
Bahasa yang masih tergolong eksis sampai hari ini. Banyak di antaranya masih terpecah lagi menjadi
sejumlah Bahasa yang lebih spesifik dengan ciri khasnya masing-masing.

Bahasa Jumlah Penutur Sebagai Bahasa Ibu Sebagai Bahasa Nasional


Bahasa Jawa 76.000.000
Bahasa Sunda 20.000.000
Bahasa Melayu 19.00.000
Bahasa Indonesia 25.000.000 220.000.000
Bahasa Tagalog 24.000.000 70.000.000
Bahasa Cebu 15.000.000 30.000.000
Bahasa Malagasi 17.000.000
Bahasa Batak 5.000.000
Bahasa Madura 14.000.000 10.000.000
Bahasa Ilokano 8.000.000 11.000.000
Bahasa Minangkabau 7.000.000
Bahasa Hiligaynon 7.000.000
Bahasa Bikol 4.600.000
Bahasa Jumlah Penutur Sebagai Bahasa Ibu Sebagai Bahasa Nasional
Bahasa Banjar 4.500.000
Bahasa Bali 4.000.000
Bahasa Bugis 4.000.000
Bahasa Tetum 800.000
Bahasa Samoa 370.000
Bahasa Fiji 350.000 550.000
Bahasa Tahiti 120.000
Bahasa Tonga 108.000
Bahasa Maori 100.000
Bahasa Kiribati 100.000
Bahasa Chamorro 60.000
Bahasa Majel 44.000
Bahasa Nauru 6.000
Bahasa Hawaii 1.000 8.000

Pengaruh Bahasa Melayu


Bahasa Melayu merupakan salah satu dari kelompok Bahasa Melayu-Polinesia, Brunei, Malaysia,
Singapura, Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand bagian selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan,
sebagian kecil Kamboja, sampai ke Papua Nugini. Penduduk Pulau Christmas dan kepulauan Cocos yang
merupakan bagian Australia juga menggunakan Bahasa ini. Beberapa varian Bahasa Melayu bahkan
menjadi Bahasa nasional di beberapa negara seperti Indonesia, Brunei, Singapura (meski Bahasa Inggris
lebih dominan) dan Malaysia.
Bahasa Indonesia yang terpilih sebagai Bahasa persatuan di tanah air adalah Bahasa turunan dari Bahasa
Melayu. Proses terpilihnya Bahasa Melayu yang sudah mengalami penyesuaian dengan masyarakat
Nusantara sebagai Bahasa nasional bukanlah perkara sederhana. Di negeri ini, Bahasa Indonesia
sebelumnya berhadapan dengan Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda yang penuturnya lebih banyak. Sejarah
kesusastraan yang kaya dari dua Bahasa ini juga menjadi tantangan yang berarti bagi majunya Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa resmi bangsa. Namun pada akhirnya, turunan Bahasa Melayu yang satu ini
mempu eksis sebagai identitas resmi negara Indonesia.

INFO:
Bahasa Jawa sampai ke Amerika
Penutur asli nahasa Jawa tidak hanya tersebar di Indonesia, tetapi juga di Suriname. Suriname dahulu
adalah negara jajahan Belanda yang terletak di Amerika Selatan. Semasa masih menjajah Suriname,
Belanda membutuhkan buruh-buruh tersebut diambil dari kalangan budak Afrika. Namun kemudian
Belanda harus kembali memutar otak setelah system perbudakan dihapuskan pada pertengahan abad ke-
19. Buruh-buruh Tionghoa dan India pernah didatangkan untuk menggantikan pada budak Afrika,
sebelum akhirnya Belanda memilih melakukan pemindahan paksa sejumlah orang dari wilayah
Nusantara ke Suriname untuk memenuhi kebutuhannya akan buruh perkebunan. Sebagian dari orang-
orang yang dipindahkan secara paksa tersebut berasal dari etnis jawa. Sampai saat ini, diperkirakan
masih ada sekitar 65.000 penutur asli Bahasa Jawa di Suriname.
Teori Asal-usul Bahasa Melayu di Nusantara
Sejak era 1500-an, Bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca (Bahasa pengantar) dalam hubungan
perdagangan dan politik di Nusantara. Memang, bukti sejarah tertua mengenai eksistensi Bahasa Melayu
di tanah air berasal dari abad ke-7. Namun bukti-bukti penggunan Bahasa Melayu sebagai Bahasa
pengantar lebih banyak berasal dari abad ke-15 dan setelahnya.
Mengenai asal usul Bahasa Melayu, ada 3 teori yang cukup popular, antara lain:
Bahasa Melayu Berasal dari Kalimantan
Menurut pakar sosiolinguistik Alfred Hudson (1970), Bahasa Melayu berasal dari Kalimantan. Teori ini
didasarkan pada kemiripan Bahasa Dayak Malayik (dituturkan orang-orang Dayak berbahasa Melayu)
dengan Bahasa Melayu Kuno. Penggunaan Bahasa Melayu Kuno dijumpai pada sebuah prasasti yang
menjadi bukti tertua mengenai eksistensi Bahasa Melayu di Indonesia.
Bahasa Melayu berasal dari Semenanjung Malaka
Jika Hudson berpendapat tanah kelahiran Bahasa Melayu adalah Kalimantan, lain halnya dengan pakar
linguistic H.Kern. Kern (1888) berpendapat bahwa Bahasa Melayu berasal dari Semenanjung
Malaka/Melayu. Teori migrasi manusia dari Asia Tenggara juga mendukung pendapat Kern. Pendapat
Kern sempat bertahan cukup lama, sampai akhirnya terpatahlan oleh teori yang dikemukakan oleh
K.Alexander Adelaar pada 1988 dan Peter Bellwood pada 1993.
Bahasa Melayu Berasal dari Sumatra
K.Alexander Adelaar pada 1988 dan Peter Bellwood pada 1993 mengemukakan teori yang sejalan. Bukti-
bukti linguistic dan sejarah yang dihimpun dalam penelitian kedua pakar ini mengerucut pada sebuah
kesimpulan bahwa Bahasa Melayu berasal dari tanah Sumatra. Peninggalan sejarah berupa prasasti dan
catatan dari musafir Cina menjadi argumentasi yang sangat mendukung teori Adelaar dan Bellwood.
Bukti tertua mengenai keberadaan Bahasa Melayu ditemukan di Sumatra, bukan di Semenanjung Malaka.
Bukti tersebut adalah berupa prasasti dengan Bahasa Melayu Kuno. Meski ada kemiripan antara Bahasa
Melayu Kuno dengan Bahasa Dayak Malayik, nyatanya prasasti ditemukan di Sumatra bagian selatan.
Prasasti ini adalah peninggalan dari masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7.
Para musafir Cina yang mengunjungi Nusantara pada masa Kerajaan Sriwijaya meninggalkan catatan
yang sejalan dengan bukti-bukti berupa prasasti. Sebuah catatan menyatakan bahwa kerajaan Mo-lo-yeu
mempersembahkan hasil bumi kepada raja Cina sekitar 644-645 M. Kerajaan Mo-lo-yeu berpusat di
daerah Jambi, Sumatra. Catatan lain yang menjadi bukti kuat adalah catatan rahib Buddha bernama I-
Tsing. Ia menggunakan kata ma-lo-yu untuk menyatakan tentang dua buah kerajaan yang dikunjunginya
sekitar 675 M, yang kemudian dikenal sebagai Sriwijaya dan kerajaan kecil di sekitarnya.
Tahap-tahap Perkembangan Bahasa Melayu di Nusantara
Penggunaan Bahasa Melayu di Nusantara berjalan dalam proses yang cukup panjang. Pada proses
tersebut, terjadi perkembangan dan muncul varian-varian baru akibat adanya perluasan penggunaan,
isolasi, kreolisasi dan pengaruh-pengaruh factor lain. Secara garis besar, proses perkembangan bahasa
Melayu di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu sebagai berikut:
Melayu Kuno (Abad 7-13 M)
Bahasa Melayu Kuno dianggap sebagai bentuk awal Bahasa Melayu di Indonesia. Bahasa ini
dituturkan pada tahap awal masuknya Bahasa Melayu ke Nusantara, yakni sekitar abad 7-13 M
(berdasarkan peninggalan-peninggalan tertulis), bertepatan dengan masa kekuasaan Wangsa
Syailendra di Kerjaan Sriwijaya dan wilayah Jawa. Peninggalan berupa prasasti prasasti dan
keping logam yang ditemukan di kawasan Indonesia bagian barat seperti Sumatra dan Jawa,
mengindikasikan penggunaan Bahasa Melayu Kuno kala itu.
Bahasa Melayu Kuno banyak dipengaruhi oleh Bahasa Sansekerta. Sampai saat ini masih terlihat
banyak pengaruh Bahasa Sansekerta pada Bahasa Melayu yang ada. Bahasa Sansekerta adalah
bagian budaya bawaan dari India. Pada periode awal perkembangan Bahasa Melayu di Indonesia,
pengaruh budaya India memang cukup dominan.
Bahasa Melayu Klasik (Abad 15-18 M)
Tahap kedua adalah tahap Bahasa Melayu Klasik yang dimulai sejak abad ke 15 M. catatan
tertulis yang mempergunakan Bahasa melayu pada masa pasca-Sriwijaya banyak muncul lagi
mulai abad ke-15M, yakni pada masa Kesultanan Malaka. Bukan berarti sebelumnya tidak ada
sama sekali, hanya saja jumlahnya sedikit. Bisa dikatakan masa di antara tahap Bahasa Melayu
Kuno dan tahap Bahasa Melayu Klasik adalah masa peralihan. Masa peralihan tersebut dikaitkan
dengan semakin mantapnya pengaruh agama Islam di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Prasasti-prasasti dan masa peralihan menunjukkan adanya sedikit perbedaan kosakata dengan
Bahasa Melayu Kuno. Kosakata Bahasa Arab bisa ditemukan dalam beberapa prasasti berbahasa
Melayu dari masa ini. Setelah abad ke-14, kesustraan Melayu yang muncul dalam bentuk batu
tulis sudah menyusut, berganti dalam bentuk tulisan pada lembaran daun atau kertas.
Bahasa Melayu di era Melayu Klasik berkembang cukup pesat. Penggunaannya semakin meluas.
Berdasarkan catatan orang Portugis dari abad ke-16, diketahui bahwa menguasai Bahasa Melayu
menjadi sebuah kebutuhan untuk komunikasi dagang di Nusantara. Surat-menyurat antar kerajaan
juga sudah menggunakan Bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang digunakan di berbagai wilayah
Nusantara saat itu mengalami percampuran dengan Bahasa setempat, dan biasa disebut sebagai
Bahasa Melayu Pasar.
Bahasa Melayu Klasik banyak mendapat pengaruh dari Bahasa dan budaya Arab. Selain
berkembang di lingkungan Kesultanan Malaka, Bahasa Melayu klasik juga berkembang dalam
lingkungan kesultanan Aceh, Kalimantan dan Kesultanan Johor-Riau. Di masa Bahasa Melayu
Klasik, muncul beberapa tokoh-tokoh penulis/sastra yang masih dikenal namanya sampai hari ini,
seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Syeikh Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf
al-Singkel.
Bahasa Melayu Klasik memiliki cirinya sendiri, antara lain:
a. Kalimatnya panjang, berulang dan cenderung berbelit-belit
b. Banyak kalimat pasif
c. Pola kalimatnya sungsang (susunannya biasanya Predikat-Subyek-Obyek)
d. Banyak menggunakan kosakata pangkal ayat seperti alkisah, hatta, dan syahdan, misalnya.
e. Banyak menggunakan akhiran pun dan lah
f. Adanya kosakata serapan dari Arab
g. Bahasa Melayu Modern (mulai abad 20 M)
Melayu Modern (Mulai Abad 20 M)
Bahasa Melayu Klasik bergerak ke babak baru dan bertransformasi menjadi Bahasa Melayu
Modern sejak pertengahan abad ke-19. Hal ini ditandai dengan adanya kamus ekabahasa Bahasa
Melayu, yakni Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga bagian yang pertama, yang
disusun secara sistematis oleh seorang sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga yang
beranama Raja Ali Haji. Karena beranggapan bahwa Bahasa Melayu adalah alat komunikasi yang
penting dalam urusan administrasi, pada abad yang sama para sarjana Eropa, khususnya yang
berasal dari Belanda dan Inggris, mulai memelajari Bahasa ini secara sistematis.
Sejak itu, transformasi Bahasa Melayu Klasik ke arah Melayu Modern dimulai. Penulisan Bahasa
Melayu mulai menggunakan huruf Latin, dan mulai bermunculan kosakata serapan dari Bahasa
Eropa. Ini menjadi sebuah ciri yang penting dari bahasa Melayu modern.
Memasuki abad ke-20, Bahasa Melayu Modern kian popular dengan dipakainya Bahasa ini di
lingkungan sekolah-sekolah. Berdirinya Balai Pustaka pada 1901 sebagai penerbit buku-buku
sastra dan pelajaran tak hanya membuat Bahasa Melayu Modern makin popular, tetapi juga
berandil penting dalam pembentukan suatu varian Bahasa baru yang mulai berbeda dari induknya
(Bahasa Melayu Riau). Bahasa Melayu varian baru tersebut dijuluki sebagai Bahasa Melayu
Balai Pustaka oleh pakar sejarah Bahasa Indonesia masa kini. Bahasa Melayu Balai Pustaka
dihasilkan dari proses penyusunan ejaan Bahasa Melayu menggunakan huruf Latin untuk
digunakan di Hindia-Belanda. Proses penyusunan ini dilakukan oleh van Ophuijsen yang tak lain
adalah penyunting buku satstra terbitan Balai Pustaka kala itu. Maka tak heran jika Bahasa ini
juga sering disebut sebagai Bahasa Melayu van Ophuijsen.
Seiring dengan semakin lekatnya penggunaannya di tengah masyarakat Indonesia, peran Bahasa
Melayu van Ophuijsen meningkat tak hanya sebatas sebagai alat komunikasi masyarakat. Bahasa
Melayu van Ophuijsen bahkan menjadi semacam identitas bagi bangsa Indonesia. Dan akhirnya
pada momen Kongres Pemuda II (1928), Bahasa ini dinyatakan sebagai Bahasa kebangsaan.
Sebutannya pun bukan lagi Bahasa Melayu van Ophuijsen, melainkan Bahasa Indonesia. Sampai
hari ini, Bahasa Indonesia masih merupakan Bahasa resmi tanah air.
Van Ophuijsen: nama lengkapnya adalah Charles Adriaan can Ophuijsen. Ia adalah orang
Belanda kelahiran Solok, Sumatra Barat, 1856. Meski orang Belanda, van Ophuijsen gemar
memelajari Bahasa berbagai suku di Nusantara. Ejaan van Ophuijsen yang disusunnya bersama
Engku Nawawi dan Moehammad Taib Sutan Ibrahim resmi diakui pemerintah colonial pada
1901. Ia juga pernah menerbitkan dua buku, masing-masing berjudul Kijkkes in Het Huiselijk
Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluaargaan Suku Batak) dan Melaische
Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu). Pemerintah colonial lalu mengangkat van Ophuijsen menjadi
guru besar ilmu Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universitas Leiden pada 1904. Ia tutup usia
pada 1917.01

Anda mungkin juga menyukai