Anda di halaman 1dari 6

Aliran-aliran Pendidikan

Untuk menjadi apa seseorang kelak, tentu pendidikan akan mengarahkan ke arah yang
baik, ke arah yang dapat membawa peserta didik tersebut kepada sesuatu yang lebih berarti
dan lebih bermakna bagi dirinya dan bagi diri orang lain atau masyarakat. Berikut pendapat
para ahli tentang pelaksanaan pendidikan terhadap anak yang dikemukakan dalam beberapa
aliran sebagai berikut :

Naturalisme
Naturalisme mempunyai beberapa pengertian, yaitu dari segi bahasa, Naturalisme
berasal dari dua kata, Natural artinya Alami dan Isme artinya Paham. Aliran
naturalisme dapat juga disebut sebagai Paham Alami. Maksudnya, bahwa setiap manusia
yang terlahir ke bumi ini pada dasarnya memiliki kecenderungan atau pembawaan yang baik
dan tak ada seorangpun terlahir dengan pembawaan yang buruk.
Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau, filsuf Perancis yang hidup pada tahun 1712-
1778. Rosseau berpendapat dalam bukunya Emile bahwa semua anak baru dilahirkan
mempunyai pembawaan baik dari Sang Pencipta, namun menjadi rusak (buruk) karena
dipengaruhi lingkungan atau campur tangan manusia. Bagaimana hasil perkembangannya
kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya.
Rosseau menyebutnya sebagai pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh
dan berkembang sendiri menurut alamnya dan manusia atau masyarakat jangan banyak
mencampurinya. Aliran ini disebut juga negativisme, karena berpendapat bahwa pendidikan
hanya membiarkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan sendirinya sesuia dengan
bawaannya dan serahkan anak kepada alam.
Selain Rosseau, ada juga Plato dan Aristoteles yang menganut paham yang sama. Plato
berpandangan (Tafsir, 2012 : 58-59) bahwa ajaran idea yang lepas dari objek, yang berada di
alam idea, bukan hasil abstraksi. Idea itu umum, berarti berlaku umum. Dia berpendapat
bahwa selain kebenaran yang umum itu ada kebenaran yang khusus, yaitu kongkretisasi
idea di alam ini. Contoh, kucing di alam idea berlaku umum atau kebenaran umum,
sedangkan kucing hitam di rumah saya adalah kucing yang khusus.
Tokoh lain adalah Aristoteles. Ia termasuk tokoh filsafat yang rasional. Pemikiran
filsafatnya lebih maju karena dasar-dasar sains diletakkan. Ia berpendapat bahwa makhluk
hidup di dunia ini terdiri atas dua prinsip, yaitu prinsip matter dan form. Matter memberikan
substansi sesuatu, sedangkan form memberikan pembungkusnya.
Form disebut juga materi yaitu badan, sedangkan matter disebut juga rohani. Badan
material manusia pasti mati, sedangkan yang memberikan bentuk kepada materi adalah jiwa.
Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan hidup vegetatif (seperti jiwa
tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa binatang) akhirnya
membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif manusia mempunyai hubungan
baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka Aristoteles membedakan antara
bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi yang aktif. Bagian akal budi yang pasif
berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi yang yang aktif berhubungan dengan
rohani. Mayer dalam Tafsir (2012 : 61) memberikan contoh lainnya, kepercayaan pada
Tuhan. Tuhan dicapai dengan akal, tetapi ia percaya pada Tuhan. Tuhan itu menurut
Aristoteles berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berhubungan (tidak mempedulikan)
dengan alam ini. Ia bukan persona.
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa filsafat aliran
naturalisme ini begitu menjunjung tinggi alam sebagai sarana utama dalam kehidupan
manusia, bahkan Tuhan pun diyakini tidak ada hubungannya atau tidak peduli dengan alam.
Landasan kebenaran berpatokan pada pemikiran ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya
secara nyata.
Adapun naturalisme dalam pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari
seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi penganut paham
naturalis perlu dimulai jauh hari sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Sekolah
merupakan dasar utama dalam keberadaan aliran naturalisme karena belajar merupakan
sesuatu yang natural. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan
mengajar murid. Spencer (Wakhudin dalam makalah Ahmad, 2012) juga menjelaskan tujuh
prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme, adalah:
1. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam;
2. Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik;
3. Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak;
4. Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan;
5. Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak;
6. Praktik mengajar adalah seni menunda;
7. Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; (hukuman dijatuhkan
sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan
hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik).
Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M.Arifin dan
Aminuddin R. dalam makalah Ahmad, 2012), yaitu :
1. Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara
pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan pengalaman di dalam dirinya
secara alami.
2. Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik
berperan sebagai fasilitator, menyediakan lingkungan yang mampu mendorong
keberanian anak ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan
untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Serta memberikan tanggung
jawab belajar pada diri anak didik sendiri.
3. Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan
menyediakan lingkungan belajar yang beorientasi pada pola belajar anak didik. Anak
didik diberi kesempatan menciptalan lingkungan belajarnya sendiri.
Dengan demikian, aliran naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang
bersifat paedosentris, artinya faktor kemampuan anak didik menjadi pusat kegiatan proses
belajar dan mengajar. Nampaknya, paham aliran naturalis, saat ini diterapkan dalam
kurikulum baru yang sedang digulirkan oleh pemerintah, yaitu kurikulum 2013. Dalam
kurikulum 2013 ini proses pendekatan proses pembelajaran berupa pendekatan saintifik.
Intinya, pendekatan tersebut menitikberatkan pada penggalian potensi-potensi siswa atau
dikenal dengan istilah student centered, namun tanpa mengabaikan landasan utama
pendidikan yaitu prinsip religius. Peran guru selama proses pembelajaran hanya sebagai
pembimbing, fasilitator, dan motivator bagi siswa. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan
dapat terbentuk generasi-generasi berakhlak baik, aktif sebagai pelopor, dan kreatif dalam
menciptakan inovasi-inovasi.
Sebelum terlahir kurikulum baru, prinsip naturalis ini sebetulnya sudah berimplikasi
dalam pendidikan, namun hanya sebatas pendidikan di luar negeri. Seperti halnya Bobby The
Potter yang mencetuskan model pendidikan Quantum Learning. Ia menjadikan alam sebagai
tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas mengeksplorasi apa yang mereka lihat,
dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam
berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. Model pendidikan seperti itu
sangat cocok diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada khususnya.
Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya
memandang manusia sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi
(dasar). Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan
oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata
dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan. Contoh jika ayahnya pintar, maka
kemungkinan besar anaknya juga pintar. Aliran nativisme ini bertolak dari leibnitzian
tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan yang
termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses
pembelajaran.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-
1860) berpandangan bahwa manusia lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan
buruk. Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan
berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan
bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila
mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan
pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar. Dan sesuai dengan hal itu maka
dalam ilmu pendidikan, aliran ini disebut juga sebagai Pesimisme Paedagogis.
Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa
sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak
didik itu sendiri.

Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme berasal dari
kata empiri yang berarti pengalaman dan isme adalah paham, tidak mengakui adanya
pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu
lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan
bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan. Dalam teori
belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang
mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar
yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa
stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas atau pun diciptakan oleh orang
dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke
(1704-1932) yang mengembangkan teori Tabula Rasa, yakni anak lahir di dunia bagaikan
kertas kosong, bersih, putih atau sebagai meja berlapis lilin yang belum ada tulisan di
atasnya. Jadi, menurut John Locke, manusia lahir ke dunia tanpa pembawaan. Pengalaman
empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan
perkembangan anak. Manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik ataupun ke
arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dengan demikian,
dipahami bahwa aliran empirisme ini seorang pendidik atau lingkungan sekitar memegang
peranan penting terhadap keberhasilan belajar peserta didiknya. Karena itu, dalam pendidikan
kaum empirisme terkenal dengan nama Optimisme Paedagogis.

Konvergensi
Konvergensi dipelopori oleh William Stern, seorang ahli ilmu jiwa bangsa Jerman
(1871 1939). Gagasan Stern mengenai konvergensi ini didasari pada dua teori sebelumnya,
yakni nativisme dan empirisme. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konvergensi
merupakan gabungan antara kedua teori tersebut. Hal ini dapat ditilik dalam teori
konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia itu
bergantung pada faktor bakat/pembawaan dan faktor lingkungan, pengalaman/pendidikan.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor
pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang sangat penting.
Bakat yang dibawa pada waktu anak tersebut dilahirkan tidak akan berkembang dengan baik
tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai dengan perkembangan bakat anak itu.
Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak akan menghasilkan perkembangan anak yang optimal
kalau memang pada diri anak itu tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk
dikembangkannya.
Sebagai ilustrasi, anak dalam tahun pertama mempelajari bahasa bukan karena
dorongan dan bakat. Melainkan karena meniru suara ibunya dan orang-orang di sekitarnya.
Namun, tanpa ada bakat dan dorongan, tentu saja hal itu tidak dimungkinkan. Sehingga kedua
aspek ini sama pentingnya. Sebagai gambaran lain, seorang yang memiliki bakat bermain
musik, namun karena lingkungan tidak mengkondisikan orang tersebut, maka ia pun tidak
akan menjadi pemusik hebat. Ada tiga teori konvergensi yang terkenal yang disampaikan
oleh Stern, yakni:
1. Pendidikan mungkin dilaksanakan.
2. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak
didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya
potensi yang kurang baik.
3. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan
Pandangan konvergensi ini tentu saja memberi arah yang jelas mengenai pentingnya
pendidikan, bahwa pendidikan harus dilakukan agar potensi anak dapat ditingkatkan sehingga
bakat yang ada semakin terasah, sementara kompetensi lain pun ikut diasah. Namun
demikian, proses perkembangan manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor pembawaan
yang telah ada pada orang itu dan faktor lingkungan yang mempengaruhi orang tersebut.
Aktivitas manusia itu sendiri dalam perkembangannya turut menentukan atau memainkan
peranan juga, yang mana tidak hanya ditentukan kuantitasnya melainkan justru ditentukan
oleh intensitasnya.
Dapat dikatakan bahwa jalan perkembangan manusia sedikit banyaknya ditentukan oleh
pembawaan yang turun temurun, yang oleh aktivitas dan pemilihan atau penentuan manusia
sendiri yang dilakukan dnegan bebas di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan tertentu,
berkembang menjadi sifat-sifat atau karakteristik individu.

Anda mungkin juga menyukai