Anda di halaman 1dari 13

CARA MENENTUKAN KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM) PADA

KURIKULUM 2013 SESUAI DENGAN ATURAN TERBARU

Tulisan ini merupakan tulisan yang keempat dari serial buku 1 buku kerja guru. Buku 1
tersebut terdiri dari analisis SKL, KI, KD, dan IPK; Silabus, RPP, dan KKM. Tulisan ini
akan menjelaskan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sesuai dengan aturan
terbaru dalam pembelajaran dan penilaian pada kurikulum 2013. KKM sebaiknya pada
tahap awal tidak perlu tinggi, namun yang lebih penting adalah jarak/interval antara
nilai perolehan peserta didik dengan KKM. Sekolah yang dikategorikan baik bila
interval ini besar sehingga barulah dikatakan peserta didiknya berprestasi. Jadi bukan
hanya tingginya nilai sebagai patokan sekolah tersebut bagus atau baik. Pada bagian
akhir tulisan ini terdapat juga bahan yang dapat Anda download sebagai bahan
referensi. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.
A. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal
Menurut Permendikbud No 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian pada pasal 1
menyebutkan defenisi Kriteria Ketuntasan Minimal adalah Kriteria Ketuntasan
Minimal yang selanjutnya disebut KKM adalah kriteria ketuntasan belajar yang
ditentukan oleh satuan pendidikan yang mengacu pada standar kompetensi kelulusan,
dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran,
dan kondisi satuan pendidikan.
Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan
acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan
peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai
ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
KKM harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Kriteria ketuntasan minimal
ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran
di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik
yang hampir sama.
Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga
dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan
kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai
minimal 60. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di
bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.
Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik, dan
orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
penilaian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan
sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau
orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil
Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik.
B. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal
Fungsi kriteria ketuntasan minimal:
1. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai
kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap kompetensi dasar dapat
diketahui ketercapaiannya berdasarkan KKM yang ditetapkan. Pendidik harus
memberikan respon yang tepat terhadap pencapaian kompetensi dasar dalam bentuk
pemberian layanan remedial atau layanan pengayaan;
2. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaian mata
pelajaran. Setiap kompetensi dasar (KD) dan indikator ditetapkan KKM yang harus
dicapai dan dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik diharapkan dapat
mempersiapkan diri dalam mengikuti penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM.
Apabila hal tersebut tidak bisa dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang
belum tuntas dan perlu perbaikan;
3. Dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan evaluasi program
pembelajaran dalam rangka untuk perbaikan pembelajaran dan/atau penjaminan
mutu yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi keterlaksanaan dan hasil program
kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh
karena itu hasil pencapaian KD berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis
untuk mendapatkan informasi tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah
atau sulit, dan cara perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan
sarana-prasarana belajar di sekolah;
4. Merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan antara satuan
pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan upaya yang
harus dilakukan bersama antara pendidik, peserta didik, pimpinan satuan pendidikan,
dan orang tua. Pendidik melakukan upaya pencapaian KKM dengan memaksimalkan
proses pembelajaran dan penilaian. Peserta didik melakukan upaya pencapaian KKM
dengan proaktif mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang
telah didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi dan
dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti pembelajaran. Sedangkan
pimpinan satuan pendidikan berupaya memaksimalkan pemenuhan kebutuhan untuk
mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan penilaian di sekolah;
5. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiap mata
pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal mungkin untuk melampaui
KKM yang ditetapkan. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan salah satu tolok ukur
kinerja satuan pendidikan dalam menyelenggarakan program pendidikan. Satuan
pendidikan dengan KKM yang tinggi dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dapat
menjadi tolok ukur kualitas mutu pendidikan bagi masyarakat.
C. Prinsip Penetapan KKM
Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal perlu mempertimbangkan beberapa ketentuan
sebagai berikut:
1. Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan
melalui metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode kualitatif dapat dilakukan
melalui professional judgement oleh pendidik dengan mempertimbangkan
kemampuan akademik dan pengalaman pendidik mengajar mata pelajaran di
sekolahnya. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan rentang angka yang
disepakati sesuai dengan penetapan kriteria yang ditentukan;
2. Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis ketuntasan
belajar minimal pada setiap dengan memperhatikan kompleksitas, daya dukung, dan
intake peserta didik untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar;
3. Kriteria ketuntasan minimal setiap Kompetensi Dasar (KD) merupakan rata-rata dari
indikator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar tersebut. Peserta didik dinyatakan
telah mencapai ketuntasan belajar untuk KD tertentu apabila yang bersangkutan telah
mencapai ketuntasan belajar minimal yang telah ditetapkan oleh satuan pendidikan;
4. Kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran merupakan KKM yang telah ditetapkan
oleh satuan pendidikan dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran, dan
dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB/Rapor) peserta didik;
6. Indikator merupakan acuan/rujukan bagi pendidik untuk membuat soal-soal penilaian
harian tiap KD maupun Penilaian Akhir Semester (PAS). Soal penilaian harian ataupun
tugas-tugas harus mampu mencerminkan/menampilkan pencapaian indikator yang
diujikan.
D. Langkah-Langkah Penetapan KKM
Penetapan KKM dilakukan satuan pendidikan melalui keputuusan kepala sekolah.
Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut:
1. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan mempertimbangkan
tiga aspek kriteria, yaitu kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik dengan
skema sebagai berikut:

Hasil penetapan KKM indikator berlanjut pada KD, mata pelajaran, hingga KKM satuan
pendidikan;

2. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran dibawa ke dalam
rapat dewan pendidik dan diputuskan/disahkan oleh kepala sekolah dengan
menentukan satu angka yang akan dijadikan patokan semua guru/semua mata
pelajaran dalam melakukan penilaian. KKM yang ditentukan sebaiknya berasal dari
KKM mata pelajaran yang paling rendah;
3. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu
peserta didik, orang tua, dan dinas pendidikan;
4. KKM dicantumkan dalam LHB pada saat hasil penilaian dilaporkan kepada orang
tua/wali peserta didik.
Penetapan tabel interval predikat untuk KKM yang berbeda dibuat tabel interval
predikat seperti contoh pada tabel berikut:

Nilai KKM merupakan nilai minimal untuk predikat Cukup. Berkaitan hal tersebut
diharapkan satuan pendidikan dapat menentukan KKM yang sama untuk semua mata
pelajaran.
E. Penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan kriteria ketuntasan minimal sesuai
dengan standar penilaian berupa karakteristik peserta didik, karakteristik mata
pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan. Secara lebih jelas akan dijabarkan seperti
di bawah ini:
1. Karakteristik peserta didik
Karakteristik peserta didik ini berkaitan dengan tingkat kemampuan (intake) rata-rata
peserta didik di sekolah yang bersangkutan.
Penetapan intake di kelas X dapat didasarkan pada hasil seleksi pada saat penerimaan
peserta didik baru, Nilai Ujian Nasional/Sekolah, rapor SMP, tes seleksi masuk atau
psikotes; sedangkan penetapan intake di kelas XI dan XII berdasarkan kemampuan
peserta didik di kelas sebelumnya.
2. Karakteristik mata pelajaran.
Karakteristik mata pelajaran ini sama juga dengan tingkat kompleksitas,
kesulitan/kerumitan setiap indikator dan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh
peserta didik.
Suatu indikator dikatakan memiliki tingkat kompleksitas tinggi, apabila dalam
pencapaiannya didukung oleh sekurang-kurangnya satu dari sejumlah kondisi sebagai
berikut:
a. guru yang memahami dengan benar kompetensi yang harus dibelajarkan pada peserta
didik;
b. guru yang kreatif dan inovatif dengan metode pembelajaran yang bervariasi;
c. guru yang menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai bidang yang diajarkan;
d. peserta didik dengan kemampuan penalaran tinggi;
e. peserta didik yang cakap/terampil menerapkan konsep;
f. peserta didik yang cermat, kreatif dan inovatif dalam penyelesaian tugas/pekerjaan;
g. waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena memiliki tingkat
kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses pembelajarannya
memerlukan pengulangan/latihan;
h. tingkat kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta didik dapat
mencapai ketuntasan belajar.
Contoh 1.
KD 3.2 : Membuktikan dan mengkomunikasikan berlakunya hukum-hukum
dasar kimia melalui percobaan serta menerapkan konsep mol dalam menyelesaikan
perhitungan kimia
Indikator : Menentukan pereaksi pembatas dalam suatu reaksi
Indikator ini memiliki kompleksitas yang tinggi, karena untuk menentukan pereaksi
pembatas diperlukan beberapa tahap pemahaman/penalaran peserta didik dalam
perhitungan kimia.
Contoh 2.
SK 1. : Memahami struktur atom, sifat-sifat periodik unsur, dan ikatan kimia
KD 1.1. : Memahami struktur atom berdasarkan teori atom Bohr, sifat-sifat
unsur, massa atom relatif, dan sifat-sifat periodik unsur dalam tabel periodik serta
menyadari keteraturannya, melalui pemahaman konfigurasi elektron
Indikator : Menentukan konfigurasi elektron berdasarkan tabel periodik atau
nomor atom unsur.
Indikator ini memiliki kompleksitas yang rendah karena tidak memerlukan tahapan
berpikir/penalaran yang tinggi.
3. Kondisi satuan pendidikan
Kondisi satuan pendidikan ini berhubungan dengan kemampuan sumber daya pendukung
dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing sekolah.
a. Sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kompetensi yang harus
dicapai peserta didik seperti perpustakaan, laboratorium, dan alat/bahan untuk
proses pembelajaran;
b. Ketersediaan tenaga, manajemen sekolah, dan kepedulian stakeholders sekolah.
Contoh:
KD 3.3 : Menjelaskan keseimbangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pergeseran arah keseimbangan dengan melakukan percobaan
Indikator : Menyimpulkan pengaruh perubahan suhu, konsentrasi, tekanan, dan
volume pada pergeseran keseimbangan melalui percobaan.
Daya dukung untuk Indikator ini tinggi apabila sekolah mempunyai sarana prasarana
yang cukup untuk melakukan percobaan, dan guru mampu menyajikan pembelajaran
dengan baik. Tetapi daya dukungnya rendah apabila sekolah tidak mempunyai sarana
untuk melakukan percobaan atau guru tidak mampu menyajikan pembelajaran dengan
baik.
Contoh penetapan KKM
Untuk memudahkan analisis setiap indikator, perlu dibuat skala penilaian yang
disepakati oleh guru mata pelajaran. Contoh:

Atau dengan menggunakan poin/skor pada setiap kriteria yang ditetapkan.

Jika indikator memiliki kriteria kompleksitas tinggi, daya dukung tinggi dan intake
peserta didik sedang, maka nilai KKM-nya adalah:

1 + 3 + 2
--------------- x 100 = 66,7
9
Nilai KKM merupakan angka bulat, maka nilai KKM-nya adalah 67.
Contoh:
PENENTUAN KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL PER KD DAN INDIKATOR
Mata Pelajaran : KIMIA
Kelas/semester : X/2
: Memahami sifat-sifat larutan non-elektrolit dan elektrolit,
serta reaksi oksidasi-reduksi
ara Mengembangkan Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

Tulisan ini akan menjelaskan tentang gerakan literasi di sekolah. Gerakan literasi ini merupakan amanat
dari Permendikbud No 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Program ini terdiri dari 3
tahap pelaksanaan, yakni tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Kegiatan literasi di
sekolah biasanya dimulai dengan 15 menit peserta didik membaca buku yang bukan buku pelajaran.
Selanjutnya bisa dibaca dari paparan ini tentang GLS ini. Tulisan ini juga dilengkapi dengan bahan
panduan gerakan literasi, bahan presentasi yang bisa Anda download pada akhir tulisan. Mudah-
mudahan bermanfaat.

Latar Belakang

Pada abad ke-21 ini, kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan erat dengan tuntutan keterampilan
membaca yang berujung pada kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif.
Berdasarkan hal itulah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi
Sekolah (GLS). GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan
sekolah sebagai organisasi pembelajar yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.

Taufik Ismail pada tahun 1997 mengadakan penelitian pada tingkat SMA di 13 negara. Beliau meneliti
tentang kewajiban buku dalam pembelajaran, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah,
bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di sekolah. Ternyata dari penelitiannya tersebut diperoleh
data bahwa negara yang siswanya membaca buku tertinggi adalah amerika serikat dengan 32 judul
buku, belanda dan perancis 30 judul buku, jerman 22, jepang dan swiss 15 buku, kanada 13, rusia, 12,
brunei 7, singapura dan Malaysia 6, dan Thailand 5. Sedangkan Indonesia rata-rata 0 buku. Jadi dapat
disimpulkan di zaman yang modern ini, 90% siswa Indonesia hanya mengandalkan hidupnya dengan
melihat dan mendengar saja. Pada hal teknologi semakin modern tapi tanpa membaca buku maka
berarti kita masih primitif.
Kalau kita bandingkan dengan siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) di
Yogyakarta wajib membaca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills
(New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman) hari ini. Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar
biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis. Siswa AMS wajib
menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. panjang karangan 1
halaman. 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis
makalah dan skripsi dilaksanakan dengan sangat baik dan lancar.

Selanjutnya kalau kita hubungkan dengan bonus demografi pada tahun 2045 atau ulang tahun Republik
Indonesia ke- 100 tahun. Maka seandainya kita tidak menyiapkan generasi kita sekarang maka bonus
demografi pada saat itu hanya akan lewat begitu saja tanpa memberikan manfaat bagi Negara ini.
Ledakan penduduk usia kerja adalah hal penting karena dengan peningkatan penduduk usia kerja
memberikan peluang mendapatkan bonus demografi. Apabila ada respon kebijakan pemerintah daerah
yang positif pada saat bonus demografi, maka akan terjadi peningkatan produktivitas. Bonus Demografi
juga memberikan keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan
penduduk usia non produktif sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi
Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEAthe International Association for the Evaluation of
Educational Achievement ) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan
setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman
membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi (OECD Organization for Economic Cooperation and Development) dalam
Programme for International Student Assessment (PISA). Dalam PIRLS 2011 International Results in
Reading , Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-
rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik
Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA
2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor ratarata
OECD 496) (OECD, 2013) dari 65 negara yang berpartisipasi. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam
keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong
rendah.

Rendahnya keterampilan tersebut membuktikan bahwa proses pendidikan belum mengembangkan


kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan. Praktik pendidikan yang dilaksanakan di
sekolah selama ini juga memperlihatkan bahwa sekolah belum berfungsi sebagai organisasi
pembelajaran yang menjadikan semua warganya sebagai pembelajar sepanjang hayat. Untuk
mengembangkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua
warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari
ekosistem pendidikan. Gerakan Literasi Sekolah memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti
sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015.
Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran
sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta
didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik.
Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan
sesuai tahap perkembangan peserta didik.

Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai
dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Pelibatan orang tua peserta
didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam GLS. Keterampilan membaca berperan
penting dalam kehidupan kita karena pengetahuan diperoleh melalui membaca. Oleh karena itu,
keterampilan ini harus dikuasai peserta didik dengan baik sejak dini.

Pengertian Literasi

Pengertian Literasi dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah adalah kemampuan mengakses, memahami,
dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas antara lain membaca, melihat,
menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan sebuah upaya yang
dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang
warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.

Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir
menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21
ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi. Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf)
menjabarkan komponen literasi informasi sebagai berikut:

1. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis,
dan menghitung. Dalam literasi dasar, kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis,
dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan
(calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan
informasi (drawing) berdasar pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
2. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), yaitu kemampuan lanjutan untuk bisa mengoptimalkan Literasi
Perpustakaan yang ada. Maksudnya, pemahaman tentang keberadaan perpustakaan sebagai salah satu
akses mendapatkan informasi. Pada dasarnya literasi perpustakaan, antara lain, memberikan
pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan
periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam
menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki
pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian,
pekerjaan, atau mengatasi masalah.
3. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang
berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media
internet), dan memahami tujuan penggunaannya. Secara gamblang saat ini bisa dilihat di masyarakat
kita bahwa media lebih sebagai hiburan semata. Kita belum terlalu jauh memanfaatkan media sebagai
alat untuk pemenuhan informasi tentang pengetahuan dan memberikan persepsi positif dalam
menambah pengetahuan.
4. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti
teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam
memanfaatkan teknologi. Berikutnya, dapat memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan,
dan mengakses internet. Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer
Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan
mengelola data, serta menjalankan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi
karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi
yang dibutuhkan masyarakat.
5. Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi
teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi
visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang setiap hari
membanjiri kita, baik dalam bentuk tercetak, di televisi maupun internet, haruslah terkelola dengan
baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring
berdasarkan etika dan kepatutan.
Strategi Membangun Budaya Literasi di Sekolah

Strategi untuk membangun budaya literasi di sekolah antara lain adalah:

1. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya
literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah, termasuk koridor,
kantor kepala sekolah dan guru.
2. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat.
Literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa
direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan
sebagainya.
3. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat. Sekolah sebaiknya memberikan
alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan
kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum
pelajaran berlangsung.

Tahap pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah


Program Gerakan Literasi Sekolah dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan
sekolah di seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas sekolah (ketersediaan fasilitas,
bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga sekolah, dan kesiapan sistem pendukung
lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan). Untuk
memastikan keberlangsungannya dalam jangka panjang.

1. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dilaksanakan


dengan tahap pertama adalah tahap pembiasaan, belum ada tagihan. Ada pun kegiatan pada tahap
pembiasaan ini adalah:
a. Lima belas menit menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan
buku dengan nyaring (read aloud) atau seluruh warga sekolah membaca dalam hati (sustained silent
reading).
b. Membangun lingkungan fisik sekolah yang kaya literasi, antara lain: menyediakan perpustakaan
sekolah, sudut baca, dan area baca yang nyaman; pengembangan sarana lain (UKS, kantin, kebun
sekolah); dan penyediaan koleksi teks cetak, visual, dan/atau digital yang mudah diakses oleh seluruh
warga sekolah; dan pembuatan bahan kaya teks (print-rich materials).
2. Tahap kedua adalah Pengembangan, ada tagihan sederhana nonakademik. Kegiatan pada tahap
kedua ini dapat berupa :
a. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku
dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegiatan
lain dengan tagihan non-akademik, contoh: membuat peta cerita (story map), menggunanakan graphic
organizers, bincang buku.
b. Mengembangkan lingkungan fisik, sosial, afektif sekolah yang kaya literasi dan menciptakan
ekosistem sekolah yang menghargai keterbukaan dan kegemaran terhadap pengetahuan dengan
berbagai kegiatan, antara lain:
1) memberikan penghargaan kepada pencapaian perilaku positif, kepedulian sosial, dan semangat
belajar peserta didik; penghargaan ini dapat dilakukan pada setiap upacara bendera Hari Senin dan/atau
peringatan lain;
2) membentuk TLS yang terdiri atas guru bahasa, guru mapel lainnya dan tenaga kependidikan;
c. kegiatan-kegiatan akademik lain yang mendukung terciptanya budaya literasi di sekolah (belajar di
kebun sekolah, belajar di lingkungan luar sekolah, wisata perpustakaan kota/daerah dan taman bacaan
masyarakat, dll.).Pengembangan kemampuan literasi melalui kegiatan di perpustakaan
sekolah/perpustakaan kota/ daerah atau taman bacaan masyarakat atau sudut baca kelas dengan
berbagai kegiatan, antara lain:
1) membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati membaca bersama (shared reading),
membaca terpandu (guided reading), menonton film pendek, dan/atau membaca teks visual/digital
(materi dari internet);
2) peserta didik merespon teks (cetak/visual/digital), fiksi dan nonfiksi, melalui beberapa kegiatan,
antara lain: menggambar; menceritakan ulang isi teks dengan bahasa yang sederhana dan kreatif, sesuai
kemampuannya; bermain peran/drama; berkarya membuat sesuatu (craft); menulis ulasan dalam
bentuk narasi, fiksi, puisi, surat kepada tokoh dalam bacaan, teks deskriptif, teks analitis, atau teks
argumentatif, sesuai kemampuannya; melakukan penelitian secara individual dan kelompok, yang dalam
kegiatan- nya, peserta didik dapat mengeksplorasi teks lain yang relevan dan melakukan pendalaman
melalui wawancara, diskusi, membuat angket sederhana, dan lain-lain.

3. Tahap ketiga adalah Pembelajaran, sudah ada tagihan akademik. Ada pun kegiatannya dapat berupa :
a. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku
dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegi-
atan lain dengan tagihan nonakademik atau akademik.
b. Kegiatan literasi dalam pembelajaran dengan tagihan akademik.
Melaksanakan berbagai strategi untuk memahami teks dalam semua mata pelajaran (misalnya, dengan
menggunakan graphic organizers).
c. Menggunakan lingkungan fisik, sosial afektif, dan akademik disertai beragam bacaan (cetak, visual,
auditori, digital) yang kaya literasi di luar buku teks pelajaran untuk memperkaya pengetahuan dalam
mata pelajaran.
Dari paparan di atas diharapkan peran aktif para pemangku kepentingan, yaitu kepala sekolah, guru,
tenaga pendidik, dan pustakawan sangat berpengaruh untuk memfasilitasi pengembangan komponen
literasi peserta didik. Selain itu, diperlukan juga pendekatan cara belajar-mengajar yang
keberpihakannya jelas tertuju kepada komponen-komponen literasi ini. Kesempatan peserta didik untuk
terlibat dengan kelima komponen literasi akan menentukan kesiapan peserta didik berinteraksi dengan
literasi visual. Sebagai langkah awal, dapat disimpulkan bahwa diperlukan perubahan paradigma semua
pemangku kepentingan untuk terciptanya lingkungan literasi ini. Sehingga pada akhirnya nanti tercipta
generasi emas Bangsa Indonesia pada ulang tahun RI yang ke-100 pada tahun 2045. Amien.

Anda mungkin juga menyukai