Anda di halaman 1dari 13

A.

PENGERTIAN

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala,yang
dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan
Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis.

B. ETIOLOGI

1. Kecelakaan lalu lintas

2 Kecelakaan kerja

3. Trauma pada olah raga

4. Kejatuhan benda

5. Luka tembak

C. KLASIFIKASI

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah
cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi
yaitu berdasarkan:

1. Mekanisme Cedera kepala

Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul.

2. Beratnya Cedera

Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.

a.Cedera Kepala Ringan (CKR).

GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami
amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.

b.Cedera Kepala Sedang ( CKS)

GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c.Cedera Kepala Berat (CKB)

GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.

No

RESPON

NILAI

1 Membuka Mata:-Spontan-Terhadap rangsangan suara-Terhadap nyeri-Tidak ada


4

2 Verbal :-Orientasi baik-Orientasi terganggu-Kata-kata tidak jelas-Suara tidak jelas


-Tidak ada respon

3 Motorik : Mampu bergerak-Melokalisasi nyeri-Fleksi menarik-Fleksi abnormal


-Ekstensi

-Tidak ada respon


6

Total

3-15

3. Morfologi Cedera

Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :

a.Fraktur kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau

bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan
pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur

dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain :

-Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)

-Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )

-Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan

-Parese nervus facialis ( N VII )

Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal dari

tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.


b.Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi
bersamaan.

Termasuk lesi lesi local ;

-Perdarahan Epidural

-Perdarahan Subdural

-Kontusio (perdarahan intra cerebral)

Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan

klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan

pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut

kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD).

1) Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal
atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto 1998). Manifestasi
klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.
Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral.
Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan
berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung

2)Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera
kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang

terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi
juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya
jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.

3)Kontusio dan perdarahan intracerebral


Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada

setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi

dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.

Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut.

4)Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan

ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.

Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi
disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi,
namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan
amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang
mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.

Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam

definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita
dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada

beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu
misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya.

Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera

Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca

cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu,
penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang
otak primer.

Klasifikasi Cedera Kepala secara umum


a. Komosio Serebri (geger otak)5
Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan
otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk kemungkinan kehilangan
kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.

Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan
(amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.

a. Kontusio serebri (memar otak)


Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau
benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan
pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat
berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia
pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang

luka dan luasnya lesi:

a. Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranialyang dapat


menyebabkan kematian.

b. Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil,
reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi
dan kedua lengan kaku dalamsikap fleksi)

c. Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma,
pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak
teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).

c. Hematoma epidural

Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi
akibat robeknya salah satu cabang arteria meningeamedia, robeknya sinus venosus durameter atau
robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak.
Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan
sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi

yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi
anisokori pupil.

e. Hematoma subdural

Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya
vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus
di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita
mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan

psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologisseperti hemiparesis,


epilepsy, dan edema papil.

Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis

a. Hematoma Subdural Akut

Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5mm
tebalnya tetapi melebar luas.

b. Hematoma Subdural Sub-Akut

Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal
tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.

c. Hematoma Subdural Kronik

Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat
mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk
cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.

f. Hematoma intraserebral

Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai
akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.

Gejala-gejala yang ditemukan adalah :

a. Hemiplegi

b. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.

c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi
kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.

g. Fraktura basis kranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar
tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak
jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia
retrigad dan amnesia pascatraumatik.

Gejala tergantung letak frakturnya :

a. Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran biru
(Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia
sampai anosmia.

b. Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna
yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah
vena (A-V shunt).

c. Fraktur fossa posterior

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum dan
merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika

D. Akibat Jangka Panjang Cedera Kepala

1. Kerusakan saraf cranial

a. Anosmia

Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut
dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita
anosmia.

b. Gangguan penglihatan

Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya
disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita.
Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau
hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan,
tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.

c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan
pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.

d. Paresis fasialis

Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya
kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami
kerusakan.

e. Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena
ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang
berat pada salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.

2. Disfasia

Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi
bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan
yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada
pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

3. Hemiparesis

Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi
klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi
transtentorial.

4. Sindrom pasca trauma kepala

Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala yang


kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah
terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.

5. Fistula karotiko-kavernosus

Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan
sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan
menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia
dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak
bola mata.

6. Epilepsi

Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma
(early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa
kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

D. KOMPLIKASI

a.Perdarahan intra cranial

-Epidural

-Subdural

-Sub arachnoid

-Intraventrikuler

b. Malformasi faskuler

-Fstula karotiko-kavernosa

-Fistula cairan cerebrospinal

-Epilepsi

-Parese saraf cranial

-Meningitis atau abses otak

-Sinrom pasca trauma

E. PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.

Upaya yang dilakukan yaitu :


a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas
seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu
lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :

1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).

Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus
cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama
dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh

karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster
maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada
pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan
nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena
pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu
aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.

2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)

Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan
dapat menimbulkan kematian.

3. Menghentikan perdarahan (Circulations).

Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga
pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat
diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi

darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan
psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani
melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

1. Rehabilitasi Fisik

a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah
tubuh.

b. Perlengkapan splint dan kaliper

c. Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali


keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri
datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya

memerlukan semangat hidup.

3. Rehabilitasi Sosial

a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana
adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan
orang lain.

b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

F.PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.Pemeriksaan laboratorium

2.X-Ray, foto tengkorak 3 posisi

3.CT scan

4.Foto cervical bila ada tanda-tanda fraktur cervical

G.PENATALAKSANAAN

1.Tindakan terhadap peningkatan TIK


a.Pemantauan TIK dengan ketat.

b.Oksigenasi adekuat

c.Pemberian manitol

d.Penggunaan steroid

e.Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala

f.Bedah neuro

1.Tindakan pendukung lain

a.Dukung ventilasi

b.Pencegahan kejang

c.Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.

d.Terapi antikonvulsan

e.CPZ untuk menenangkan pasien

f.NGT

DAFTAR PUSTAKA

J Langham, C Goldfrad, G Teasdale, D Shaw, K Rowan. Calcium channel blockers for acute
traumatic brain injury. The Cochrane Database of Syst Rev 2003;(4):CD000565.
Johnson, M. Maas, M and Moorhead, S. 2007. Nursing Outcomes Classifications (NOC). Second
Edition. IOWA Outcomes Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri.
Newton T, Krawczyk J, Lavine S. Subarachnoid hemorrhage [monograh on the Internet].
eMedicine; c 2005 [updated 2011 Nov 11; cited 2011 DESEMBER 31]. Available from:
http://www.emedicine.com/htm.
North American Nursing Diagnosis Association. 2007. Nursing Diagnosis : Definition and
Classification 2007-2009. NANDA International. Philadelphia.
McCloskey, J.C and Bulechek, G.M. 2007. Nursing Intervention Classifications (NIC). Second
Edition. IOWA Interventions Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri.
Penulis: Lisa Permitasari, S.Kep

Anda mungkin juga menyukai