Cedera Kepala
Cedera Kepala
PENGERTIAN
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala,yang
dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan
Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis.
B. ETIOLOGI
2 Kecelakaan kerja
4. Kejatuhan benda
5. Luka tembak
C. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah
cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi
yaitu berdasarkan:
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami
amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.
GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
No
RESPON
NILAI
Total
3-15
3. Morfologi Cedera
a.Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan
pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal dari
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi
bersamaan.
-Perdarahan Epidural
-Perdarahan Subdural
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan
klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan
pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut
1) Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal
atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto 1998). Manifestasi
klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.
Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral.
Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan
berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung
2)Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera
kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang
terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi
juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya
jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi
dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.
4)Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan
ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi
disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi,
namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan
amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang
mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam
definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita
dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada
beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu
misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera
Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca
cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu,
penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang
otak primer.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan
(amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.
b. Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil,
reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi
dan kedua lengan kaku dalamsikap fleksi)
c. Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma,
pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak
teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).
c. Hematoma epidural
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi
akibat robeknya salah satu cabang arteria meningeamedia, robeknya sinus venosus durameter atau
robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak.
Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan
sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi
yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi
anisokori pupil.
e. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya
vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus
di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita
mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5mm
tebalnya tetapi melebar luas.
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal
tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat
mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk
cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.
f. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai
akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
a. Hemiplegi
c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi
kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar
tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak
jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia
retrigad dan amnesia pascatraumatik.
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran biru
(Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia
sampai anosmia.
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna
yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah
vena (A-V shunt).
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum dan
merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut
dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita
anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya
disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita.
Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau
hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan,
tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan
pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya
kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami
kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena
ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang
berat pada salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
2. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi
bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan
yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada
pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
3. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi
klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi
transtentorial.
5. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan
sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan
menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia
dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak
bola mata.
6. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma
(early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa
kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.
D. KOMPLIKASI
-Epidural
-Subdural
-Sub arachnoid
-Intraventrikuler
b. Malformasi faskuler
-Fstula karotiko-kavernosa
-Epilepsi
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas
seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu
lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus
cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama
dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh
karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster
maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada
pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan
nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena
pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu
aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan
dapat menimbulkan kematian.
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga
pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat
diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan
psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani
melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah
tubuh.
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana
adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan
orang lain.
F.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksaan laboratorium
3.CT scan
G.PENATALAKSANAAN
b.Oksigenasi adekuat
c.Pemberian manitol
d.Penggunaan steroid
f.Bedah neuro
a.Dukung ventilasi
b.Pencegahan kejang
d.Terapi antikonvulsan
f.NGT
DAFTAR PUSTAKA
J Langham, C Goldfrad, G Teasdale, D Shaw, K Rowan. Calcium channel blockers for acute
traumatic brain injury. The Cochrane Database of Syst Rev 2003;(4):CD000565.
Johnson, M. Maas, M and Moorhead, S. 2007. Nursing Outcomes Classifications (NOC). Second
Edition. IOWA Outcomes Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri.
Newton T, Krawczyk J, Lavine S. Subarachnoid hemorrhage [monograh on the Internet].
eMedicine; c 2005 [updated 2011 Nov 11; cited 2011 DESEMBER 31]. Available from:
http://www.emedicine.com/htm.
North American Nursing Diagnosis Association. 2007. Nursing Diagnosis : Definition and
Classification 2007-2009. NANDA International. Philadelphia.
McCloskey, J.C and Bulechek, G.M. 2007. Nursing Intervention Classifications (NIC). Second
Edition. IOWA Interventions Project. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri.
Penulis: Lisa Permitasari, S.Kep