Anda di halaman 1dari 12

Biografi dan Profil Lengkap Cut Nyak Dhien Pahlawan Wanita Indonesia asal Aceh

Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan nasional wanita yang dengan semangat
berjuang melawan Belanda pada masa perang Aceh. Sebagai pahalawan wanita Indonesia
walaupun dia seorang perempuan namun memiliki semangat juang yang tinggi serta rela
mengorbankan kehidupan bahkan nyawanya untuk membela kaumnya dan Negaranya . Untuk
lebih jelas mengetahui latar belakang Pahlawan Wanita ini, simak biografi lengkpanya di bawah
ini.

Biografi Singkat Cut Nyak Dhien

NamaLengkap : Cut Nyak Dhien

Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh, 1848

Wafat : Sumedang, Jawa Barat 6 November 1908

Agama : Islam

Orangtua : Teuku Nanta Seutia

Suami : Ibrahim Lamnga, Teuku Umar

Biografi Lengkap Cut Nyak Dhien

Cut nyak dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besarm
pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia merupakan seorang uleebalang VI
Mukim, seorang keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhdum
Sati merupakan keturunan Laksamana Muda Nanta, yang merupakan perwakilan kesultanan
Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Sedangkan ibu Cut Nyak Dhien adalah
putri Uleebalang Lampageu.

Kehidupan Cut Nyak Dhien dan Jajahan Belanda

Cut Nyak Dhien kecil merupakan anak yang cantik dan taat beragama. Ia mendapatkan
pendidikan Agama dari orangtua dan guru agama. Banyak lelaki yang suka pada Cut Nyak
Dhien dan berusaha untuk melamarnya. Hingga pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien dinikahkan
oleh orangtuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga tahun 1862, yang merupakan putra dari
Uleebalang Lamnga XII.

Pada tanggal 26 maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh dengan memulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Cidatel Van Antwerpen.

Pada perang pertama (1873-1874), Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda yang
saat itu di pimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Macmud Syah.
Pada tanggal 8 April 1873 Belanda mendarat di pantai Ceureuneb dibawah pimpinan
Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturahman dan membakarnya. Namun
kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama, Ibrahim Lamnga yang bertarung dibarisan
depan kembali dengan sorak kemenangan sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.

Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Jan Van Swieten, daerah VI Mukim
dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874.
AKhirnya Cut Nyak Dhien dan bayinya bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya mengunggi
pada tanggal 24 Desember 1875. Sedangkan suaminya Ibrahim Lamnga melanjutkan
pertempuran untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 juni 1878. Hal
ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Perlawanan Cut Nyak Dhien Terhadap Belanda

Setelah kematian suaminya, pada tahun 1880 ia kembali dilamar oleh Teuku umar. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolaknya, tapi karena Teuku Umar membolehkannya untuk ikut
dalam medan perang, Akhirnya Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya dan mereka di
karuniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah itu mereka bersama-sama bertempur
melawan Belanda.

Perlawaan terhadap Belanda dilanjutnya dengan perang gerilya dan dikorbankan secara
fisabilillah. Sekitar pada tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan melakukan
pendekatan terhadap Belanda dan hubungannya terhadap Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30
september 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan
menyerahkan diri kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang dianggapnya
berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan gelar pada Teuku umar dengan
gelar Teuku Umar Johan Pahlawan, dan menjadikannya sebagai komandan unit pasukan Belanda
dengan kekuasaan penuh.

Dibalik penyerahan dirinya, Teuku Umar merahasiakan rencananya untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai pengkhianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang
menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya karena Teuku Umar berkhianat untuk rakyat Aceh.
Cut Nyak Dhien berusa memberikan penjelasan terhadap Cut Meutia bahwa suaminya akan
kembali untuk melawan Belanda lagi.

Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar mencoba untuk
mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan ia mengganti sebanyak mungkin orang
Belanda di Unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasuka tersebut cukup, Teuku
Umar mulai melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dengan perlengkapan
berat, senjata dan amunisi Belanda lalu mereka tidak pernah kembali. Penghiatan tersebut
dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang
mengkhianati Belanda dan menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran
untuk menangkap Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.

Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang
Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, adalah Jend. Jakobus Ludovicius
Hubertus Pel, namun dengan cepat ia terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.
Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar , membakar rumahnya, dan juga mengejar
keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja)
dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral
yang bertugas.

Unit Marechaussee lalu dikirim ke Aceh, mereka dianggap biadab dan sulit untuk di
taklukkan oleh orang Aceh. Selain dianggap biadab, kebanyakan dari pasukan De Marsose
merupakan orang Tionghoa-Ambon yang dapat menghancurkan semua apa yang ada di
jalannya. Akibatnya, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan akhirnya Van der
Heyden membubarkan unit De Marsose. Peristiwa ini menyebabkan kesuksekan jenderal
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad karena kehilangan nyawa dan
ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Kemudian Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak untuk mendapatkan
informasi. Hingga akhirnya Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika
Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien menangis karena kematian ayahnya, Cut Gambang
ditampar oleh Ibunya yang lalu memeluknya dengan berkata :

Sebagai perempuan Aceh, Kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah
syahid.

setelah kematian dari suaminya, Cut Nyak Dhien lalu memimpin perlawanan melawan
Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan
suaminya. Pasukan yang dipimpin olehnya terus bertempur sampai kehancurannya yaitu tahun
1901, karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Cut Nyak Dhien
semakin tua, matanya sudah mulai rabun dan ia terkena penyakit encok dan jumlah pasukannya
terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan.

Penangkapan Cut Nyak Dhien oleh Belanda

Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Hingga akhirnya anak buah Cut Nyak
Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena merasa
iba, dan Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan
bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, namun karena
Cut NYak Dhien memiliki penyakit rabun, akhirnya ia berhasil di tangkap. Cut Nyak Dhien
berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien
berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan
perlawanannya yang sudah dilakukan oleh Ayah dan Ibunya.
Setelah ditangka, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di sana. Akhirnya
penyakit rabun dan encok yang dideritanya berangsur sembuh. Namun, akhirnya Cut Nyak
Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena Belanda takut jika kehadirannya akan
menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang
belum tunduk.

Pengasingan dan Wafatnya Cut Nyak Dhien

Pengasingan Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien dibawa ke Sumedang bersama dengan beberapa tahanan politik Aceh
lainnya dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan
perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapkan identitas
tahanan.

Cut Nyak Dhien ditahan bersama ulama bernama Ilyas, Ilyas segera menyadari bahwa
Cut Nyak Dhien merupakan ahli agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai Ibu Perbu. Namun
pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.

Makam Ibu Perbu, baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, yaitu Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di
Belanda.
Ibu Perbu, diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui
SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Perang aceh dimulai ketika penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan
Belanda pada tahun 1871 yang membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melakukan
intervensi ke Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh karena
Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda. Kontak pertama
terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai mendarat. Pertempuran
itu memaksa pasukan Aceh mengundurkan diri ke kawasan Masjid Raya. Pasukan Aceh tidak
semata-mata mundur tapi juga sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler
sendiri tewas. Dengan demikian, Masjid Raya dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Daerah-
daerah di kawasan Aceh bangkit melakukan perlawanan. Para tokoh perang Aceh adalah Cut
Nyak Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Cik Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut
Mutia.
Pada tanggal 2 November 1871 Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang kemudian
menghasilkan Traktat Sumatra. Traktat tersebut berisi bahwa pihak Belanda diberi kebebasan
memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di
daerah siak.

Latar Belakang Terjadinya Perang Aceh


1. Aceh adalah negara merdeka dan kedaulatannya masih diakui penuh oleh negara-negara Barat.
Dalam Traktat London 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian
mengenai pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya. Dalam hal tersebut
Belanda tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Namun Belanda selalu
mencari alasan untuk menyerang Aceh dan menguasainya.

2. Berdasarkan Traktat Sumatera, 2 November 1871, pihak Belanda oleh Inggris diberi
kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedangkan Inggris mendapat kebebasan
berdagang di Siak. Hal ini mengganggu ketenangan Aceh, untuk itu Aceh mempersiapkan diri
mengadakan perlawanan.

3. Semakin pentingnya posisi Aceh dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Lalu lintas
pelayaran di Selat Malaka semakin ramai semenjak Suez dibuka dan Aceh merupakan pintu
gerbang ke Selat tersebut.

4. Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas kesultanan Aceh. Maka tanggal 26
Maret 1873 pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh.

Daerah pertempuran dalam Perang Aceh, 1873 1904 dan Perang Batak (Tapanuli), 1878
1807

Jalannya Perlawanan Rakyat Aceh


Setelah mendarat pada tanggal 5 April 1873 dengan kekuatan kurang lebih 3000 orang bala
tentara,
serangan terhadap mesjid dilakukan dan berhasil direbut, tetapi kemudian diduduki kembali oleh
pasukan Aceh. Karena ternyata bertahan sangat kuat, serangan ditunda kembali sambil
menunggu bala bantuan dari Batavia. Akhirnya penyerbuan tak diteruskan, malahan ekspedisi
ditarik kembali.

Pada bulan November 1873 Belanda mengirimkan ekspedisi kedua ke Aceh yang berkekuatan
8.000 pasukan dan dipimpin oleh Jenderal Van Swieten. Pada tanggal 9 Desember 1873
ekspedisi telah mendarat di Aceh, kemudian langsung terlibat pertempuran sengit. Belanda
menggunakan meriam besar, sehingga laskar Aceh pimpinan Panglima Polim terus terdesak.
Akibatnya, mesjid raya kembali diduduki Belanda. Belanda terus bergerak dan menyerang istana
Sultan Mahmud Syah. Pasukan Aceh terdesak dan Sultan Mahmud Syah menyingkir ke
Luengbata. Daerah ini dijadikan pertahanan baru. Namun, tiba-tiba Sultan diserang penyakit
kolera dan wafat pada tanggal 28 Januari 1874. Ia digantikan putranya yang masih kecil,
Muhammad Daudsyah yang didampingi oleh Dewan Mangkubumi pimpinan Tuanku Hasyim.
Perlawanan masih terus dilanjutkan di mana-mana sehingga Belanda tetap tidak mampu
menguasai daerah di luar istana. Belanda hanya menguasai sekitar kota Sukaraja saja. Sementara
itu, di seluruh Aceh dikobarkan suatu perlawanan bernapaskan Perang Sabilillah. Ulama-ulama
terkenal, antara lain Tengku Cik Di Tiro dengan penuh semangat memimpin barisan menghadapi
serbuan tentara Belanda.

Perlawanan Tengku Cik Ditiro


Tengku Cik Ditiro dilahirkan pada 1836 dengan nama kecilnya Muhammad Saman. Ia
dibesarkan dalam lingkungan agama, kemudian ia menunaikan haji. Pada Mei 1881, Pasukan
Cik Ditiro dapat merebut benteng Belanda di Indragiri, kemudian menyerang ke Pulau Breuh
dengan harapan pada 1883 Belanda dapat diusir dari Bumi Aceh. Belanda mengalami kesulitan
untuk menundukkan Cik Ditiro. Belanda membujuk damai, namun Cik Ditiro menolaknya.
Karena Belanda kesulitan membujuk Cik Ditiro, akhirnya Belanda menggunakan cara halus,
yaitu dikhianati oleh teman seperjuangannya, seorang wanita, dengan berpura-pura mengantar
makanan yang sudah ditaburi racun. Kemudian, beliau sakit dan wafat pada Januari 1891 di
Benteng Apeuk Galang Aceh.

Teuku Cik Di Tiro pemimpin pasukan Perang Aceh di daerah Pidie, meninggal pada tahun 1891

Perlawanan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien


Rakyat di daerah Aceh Barat juga bangkit melawan Belanda dipimpin oleh Teuku Umar
bersama istrinya Cut Nyak Dien. Ia memimpin serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda
sehingga menguasai daerah sekitar Meulaboh pada tahun 1882. Daerah-daerah lainnya di luar
Kutaraja juga masih dikuasai pejuang-pejuang Aceh. Mayor Jenderal Van Swieten diganti
Jenderal Pel yang kemudian tewas dalam pertempuran di Tonga. Tewasnya 2 perwira tinggi,
yaitu Mayor Jenderal Kohler dan Jenderal Pel merupakan pukulan berat bagi Belanda. Belanda
mencoba menerapkan
siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan
pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan
serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun,
siasat ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh. Oleh karena sulitnya usaha
untuk mematahkan perlawanan laskar Aceh maka pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia
kehidupan sosial budaya rakyat Aceh dengan cara mengirim Dr. Snouck Hurgronye, seorang
misionaris yang ahli mengenai Islam untuk mempelajari adat-istiadat rakyat Aceh.

Teuku Umar, pemimpin Perang Aceh di bagian barat bersama istrinya Cut Nyak Dien, gugur
pada tahun 1899
Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan Belanda berpikir keras untuk menemukan siasat
baru.

Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam
untuk

mengadakan penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje


memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya
terhadap masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers (orang aceh). Nuku De
Atjehers (Orang Aceh) yang dijadikan dasar siasat Belanda untuk menunduk kan orang- orang
Aceh. Siasat tersebut, yaitu melakukan politik adu domba dan penyerangan kepada para
pemimpin Aceh. Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda
memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan. Dengan
memakai nama samaran Abdul Gafar, ia meneliti kehidupan sosial budaya rakyat Aceh dari
bergaul dengan masyarakat setempat.

Hasil penelitian Dr. Snouck Hurgronje sebagai berikut:


1. Sultan Aceh tidak mempunyai kekuasaan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala
yang menjadi bawahannya.
2. Kaum ulama sangat berpengaruh pada rakyat Aceh.

Kesimpulan hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronje adalah:


1. Belanda harus mengesampingkan Sultan, karena Sultan hanya sebagai lambang
pemersatu, Kekuatan justru terletak pada Hulubalang dan Ulebalang.
2. Untuk menaklukkan rakyat Aceh, harus dilakukan serangan serentak di seluruh Aceh.
3. Setelah nanti mampu menduduki Aceh, mestinya pemerintah Hindia-Belanda harus
meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Akhir Perang Aceh
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan
besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van
Heutz. Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk
daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh
menyerah dan terbunuh. Dalam pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur.
Perlawanan rakyat Aceh yang merupakan perlawanan paling lama dan terbesar di Sumatera
akhirnya mendapat tekanan keras dari Belanda. Pada tanggal 26 November 1902, Belanda
berhasil menemukan persembunyian rombongan Sultan dan menawan Sultan Muhammad Daud
Syah pada tahun 1903. Disusul menyerahnya Panglima Polim dan raja Keumala.

Sedangkan Teuku Umar gugur karena terkena peluru musuh tahun 1899. Pada tahun
1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal dan digantikan putranya, yaitu Teuku Mak Amin Di Tiro.
Dengan hilangnya pemimpin yang tangguh itu perlawanan rakyat Aceh mulai kendor, Belanda
dapat memperkuat kekuasaannya. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh
harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian Singkat (Dokumen Korte Verklaring) yang
dikeluarkan oleh Van Heutsz. Perjanjian ini menanda kan bahwa Aceh tunduk kepada Belanda.

Isi pernyataan dalam Plakat Pendek (Dokumen Korte Verklaring) adalah:

1. mengaku dan tunduk kepada Belanda,

2. patuh kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Belanda,

3. tidak akan berhubungan dengan negara lain selain dengan Belanda.

Perang Aceh secara resmi dianggap berakhir pada 1912, tetapi serangan-serangan
terhadap Belanda masih berlangsung, seperti pada 1927 terjadi per tempuran hebat di Bakongan.

Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir
pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung sampai
tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan sampai
menjelang Perang Dunia II tahun 1939.

Dari total 163 Pahlawan Nasional yang ditetapkan dari 1959 hingga hingga 2014, sebanyak 7
diantaranya berasal dari Aceh.

1. Cut Nyak Dhien (lahir 1850- wafat 1908)

Cut Nyak Dhien adalah istri Teuku Umar. Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak melanjutkan
perjuangan melawan pasukan kolonial Belanda di pedalaman Meulaboh, Aceh Barat. Ketika
ditangkap Belanda atas laporan seorang pengikutnya, Cut Nyak Dhien sudah renta dan rabun.
Untuk memutus pengaruhnya bagi gerilyawan, Belanda mengasingkan Cut Nyak Dhien ke
Sumedang, Jawa Barat. Pada 6 November 1908, malaikat maut menjemputnya. Jasad Cut Nyak
Dhien dimakamkan di Sumedang. Gelar pahlawan nasional disematkan padanya tahun 1964.
(Baca juga: Garam Cinta Lamnga)

2. Cut Nyak Meutia (1870 - 1910)


Cut Nyak Meutia memimpin perlawanan di Aceh Utara. Seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak
Meutia juga melanjutkan perjuangan suami. Ketika suami pertamanya yang juga pemimpan
pasukan gerilyawan, Teungku Chik Tunong meninggal dunia, Cut Meutia melanjutkan
perjuangan bersama suami keduanya, Pang Nanggroe.

Ketika Pang Nanggroe gugur pada 26 September 1910, Cut Meutia melanjutkan perjuangan
dengan pasukan yang tersisa. Pada 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok
dengan pasukan Marsose di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.

Cut Nyak Meutia mendapat gelar pahlawan nasional bersamaan dengan Cut Nyak Dhien pada
1964. (Baca juga: Napak Tilas Cut Meutia)

3. Teungku Chik di Tiro (1836-1891)

Teungku Chik di Tiro adalah ulama sekaligus panglima besar Perang Aceh. Nama aslinya
Teungku Muhammad Saman.

Teungku Chik di Tiro tampil sebagai pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda kian
meredup pada 1881, delapan tahun setelah Belanda menyatakan maklumat perang terhadap
Aceh.

Bersama Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Chik di Tiro mengobarkan semangat perang sabil,
perang di jalan Allah.

Dari Lamlo, Pidie, Teungku Chik di Tiro hijrah ke Aceh Besar dan menjadikan Desa Meureu,
Indrapuri, sebagai basis gerilyawan. Meureu yang kontur alamnya perpaduan antara dataran
rendah dan perbukitan dinilai cocok sebagai benteng pertahanan alami.

Pada 1881, pasukan Teungku Chik di Tiro merebut satu per satu benteng Belanda seperti di
Lambaro dan Aneuk Galong.

Masa perlawanan Teungku Chik di Tiro, Belanda dibuat kalang kabut. Setidaknya, Belanda
empat kali mengganti gubernurnya saat menghadapi Teungku Chik di Tiro.

Teungku Chik di Tiro meninggal bukan karena peluru Belanda, melainkan lantaran diracun lewat
makanan yang disajikan oleh seorang perempuan Aceh pada 1891. Jasadnya dimakamkan di
Desa Meureu, Indrapuri, tempat ia menggerakkan perlawanan melawan Belanda.

Atas jasa-jasanya, pemerintah memberi gelar pahlawan nasional pada 1973. (Baca juga: Jejak
Chik di Tiro di Willem Torren)

4. Teuku Umar (1854-1899)

Teuku Umar adalah salah satu pemimpin pasukan di bawah panglima besar Teungku Chik di
Tiro. Umar yang sempat bergabung dengan Belanda, kemudian berbalik arah melawan Belanda.
Ada yang bilang Teuku Umar menyusup ke pasukan Belanda sebagai strategi perang. Namun
ada juga yang menyebut Teuku Umar berbalik menyerang Belanda setelah diancam istrinya, Cut
Nyak Dhien.

Pada September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kembali kepada Belanda bersama 13
pengikutnya. Belanda kemudian memberinya gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar
Netherland. Cut Nyak Dhien dibuat malu oleh keputusannya.

Tiga tahun bergabung dengan Belanda untuk kedua kalinya, Teuku Umar keluar dari dinas
militer Belanda pada 30 Maret 1896 dengan membawa lari senjata dan amunisi.

Teuku Umar tertembak dalam pertempuran dinihari 11 Februari 1899.

Pemerintah memberinya gelar pahlawan nasional pada 1973 bersamaan dengan Teungku Chik di
Tiro. (Baca juga: Saat Teuku Umar Ditantang Perang oleh Teungku Fakinah)

5. Teuku Nyak Arif (1899-1946)

Teuku Nyak Arief adalah residen/gubernur Aceh pertama periode 1945-1946.

Lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh, Teuku Nyak Arief adalah keturunan ulee balang Panglima
Sagi 26 Mukim wilayah Aceh Besar.

Dikenal sebagai orator ulung, ia banyak terlibat di organisasi pergerakan kemerdekaan. Tahun
1919, ia adalah ketua National Indische Partij cabang Kutaraja. Pada 1927, ia salah satu anggota
Dewan Rakyat Volksraad sampai dengan tahun 1931.

Sejak tahun 1932 T. Nyak Arif memimpin gerakan dibawah tanah menentang penjajahan
Belanda di Aceh.

Teuku Nyak Arief juga banyak bergiat di bidang peningkatan pendidikan. Pada 11 Juli 1937, ia
mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) yang diprakarsai oleh
Ki Hajar Dewantara. Di Banda Aceh, perguruan ini diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan,
dan Teuku Nyak Arief sebagai sekretaris.

Masih berduet dengan Mr. Teuku Muhammad Hasan, Teuku Nyak Arief juga mempelopori
berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk
membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.

Teuku Nyak Arief termasuk yang tidak setuju ketika ulama PUSA di bawah pimpinan Teungku
Daud Beureueh mengadakan hubungan dengan Jepang dan mengundang Jepang untuk mengusir
Belanda.

Namun, ketika pada Oktober 1945 datang utusan tentara sekutu yang ingin melucuti Jepang,
Teuku Nyak Arief yang sudah menjabat residen Aceh juga menolak.
Pada Desember 1945, meletus perang Cumbok. Ini adalah pertarungan antara kaum uleebalang
dengan kaum ulama, meskipun ada juga uleebalang yang berpihak ke ulama. Tak sedikit kaum
uleebalang yang terbunuh. Yang selamat melarikan diri keluar Aceh.

Perpecahan itu membuat Teuku Nyak Arief galau. Ia ingin seluruh kalangan bersatu, bukan
bercerai berai. Sikapnya itu dianggap oleh kaum muda PUSA sebagai "pengkhianatan."

Teuku Nyak Arief pun ditangkap oleh Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) yang mendukung kaum
ulama pada Januari 1946. Ia ditawan di Takengon dan meninggal di sana pada 4 Mei 1946.

Kepada keluarganya, Teuku Nyak Arief berpesan,""Jangan menaruh dendam, karena


kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya".

Jenazahnya kemudian dikebumikan di Lamreueng, Aceh Besar, di pinggir Krueng Lamnyong,


Darussalam.

Teuku Nyak Arief mendapat gelar pahlawan nasional pada 1974.

6. Sultan Iskandar Muda (1593-1636)

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang membawa Aceh ke zaman keemasan. Pada
masanya, Aceh menguasai Sumatera dan sebagian daerah yang saat ini masuk sebagai wilayah
Malaysia seperti Johor dan Kedah. Pada masanya pula Aceh menyerang Portugis di Malaka.

Iskandar Muda mendapat gelar pahlawan nasional pada 1993. (Baca juga: Para Perempuan di
Sekeliling Sultan dan Raja Aceh di Dunia Internasional)

7. Teuku Muhammad Hasan (1906-1997)

Teuku Muhammad Hasan adalah aktivis kemerdekaan dan gubernur Sumatera pertama.
Dikalangan orang pergerakan, ia diberi sebutan Mr atau Mister.

Lahir di Sigli pada 4 April 1906, Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh yang peduli
pendidikan. Pada usia 25 tahun, ia bersekolah di Leuden University, Belanda. Di sana, ia
bergabung dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Muhammad Hatta dan Ali
Sastroamidjojo.

Perannya yang paling menonjol adalah ketika terpilih sebagai salah anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Ir. Soekarno. Tim inilah yang merumuskan dasar-
dasar negara Indonesia, termasuk Piagam Jakarta.
Ketika ageresi militer Belanda II berhasil merebut Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota
Indonesia, Mr Teuku Muhammad Hasan bersama Syafruddin Prawiranegara membentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang bermarkas di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Dipimpin Syafruddin Prawiranegara, Teuku Muhammad Hasan duduk sebagai Wakil Ketua
sekaligus Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama.

Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh peduli pendidikan. Ia mendirikan Uversitas
Serambi Mekkah yang masih berdiri hingga saat ini.

Namanya juga tercatat sebagai tokoh yang memelopori nasionalisasi perminyakan dan
pertambangan. Pada 1956, Hasan mengetuai tim nasionalisasi sejumlah perusahaan minyak asing
menjadi Pertamina pada 1957 dan Pertamin pada 1961. Kedua perusahaan ini lantas digabung
menjadi Pertamina pada 1968.

Teuku Muhammad Hasan meninggal pada 21 September 1997 dalam usia 91 tahun.

Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda


Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan asing
Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah Belanda
Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat kepala-kepala
daerah. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya
Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu perjanjian.

Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra tanah Aceh seperti
Teungku Umar, Panglima Polim, eungki Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku
Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh perjuangan
kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai