Anda di halaman 1dari 20

HUKUM, HAM DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

A. KONSEP HUKUM, HAM, DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM


1. Hukum Islam
1.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau aturan yang mengatur
tingkah laku manusia, baik norma atau aturan tersebut tumbuh dalam
masyarakat maupun yang dibuat oleh cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah
melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam Al-Quran dan dijelaskan
Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah yang kini terhimpun
dengan baik dalam kitab hadits. Hukum Islam bersumber dan merupakan
bagian dari ajaran Islam. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan
dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya dalam masyarakat dan
hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.

2. HAM Menurut Islam


2.1 Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat
pada diri setiap manusia semenjak ia berada dalam kandungan sampai ia
meninggal dunia yang harus mendapat perlindungan. Manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar
tersebut. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri
pribadi, peranan dan sumbangsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.
2.2 Hak-Hak Asasi Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat
Ada perbedaan prinsip antara hak asasi manusia dilihat dari sudut
pandangan barat dan Islam. Hak Asasi Manusia menurut pemikiran barat
semata-mata bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat
kepada manusia, sehingga manusia sangat dipentingkan. Sedangkan dilihat
dari sudut pandang Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu
berpusat kepada Tuhan, sehingga Tuhan sangat dipentingkan.
Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa
manusialah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan di dalam
Islam melalui firman-Nya, Allahlah yang menjadi tolak ukur segala
sesuatu. Maka manusialah yang menjadi letak perbedaan yang
fundamental antara hak-hak asasi menurut pola pemikiran barat dengan
hak-hak asasi menurut pola ajaran Islam.
Dalam konsep Islam, seseorang hanya mempunyai kewajiban-
kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi
hukum-Nya. Namun secara paradoks, di dalam tugas-tugas inilah terletak
semua hak dan kemerdekaannya. Manusia diciptakan oleh Allah hanya
untuk mengabdi kepada Allah sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran
surat Al-Zariyat ayat 56:

Dari ketentuan ayat di atas, menunjukan manusia mempunyai


kewajiban mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia dibagi dalam 2
kategori, yaitu:
1) huququllah (hak-hak Allah) yaitu kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Allah yang diwujudkan dalam sebuah ritual ibadah
2) huququlibad (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk Allah lainnya.
Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh agama Islam bagi manusia
diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu :
1) HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai
manusia;
2) HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok masyarakat yang
berbeda dalam situasi tertentu. Status, posisi, dan lain-lain yang mereka
miliki. Hak-hak khusus bagi non muslim, kaum wanita, buruh/pekerja,
anak-anak, dan lainnya seperti hak hidup, hak-hak milik, perlindungan
kehormatan, keamanan, kesucian kehidupan pribadi dan sebagainya.
The Universal Declaration Of Human Rights di dunia mengikat
semua bangsa, untuk menghargai HAM, meski faktanya dunia barat cukup
banyak melanggarnya. Dengan demikian para ahli hukum Islam
mengemukakan Universal Islamic Declaration Human Right, yang
diangkat dari al-quran dan sunnah Islam terdiri XXIII Bab dan 63 pasal
yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia antara lain :
(1) hak hidup
(2) hak untuk mendapatkan kebebasan
(3) hak atas persamaan kedudukan
(4) hak untuk mendapatkan keadilan
(5) hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap penyalahgunaan
kekuasaan
(6) hak untuk mendapatkaan perlindungan dari penyiksaan
(7) hak untuk mendapatkan perlindungan atas kehormatan nama baik
(8) hak untuk bebas berpikir dan berbicara
(9) hak untuk bebas memilih agama
(10) hak untuk bebas berkumpul dan berorganisasi
(11) hak untuk mengatur tata kehidupan ekonomi
(12) hak atas jaminan sosial
(13)hak untuk bebas mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya
(14) hak-hak bagi wanita dalam kehidupan rumah tangga
(15) hak untuk mendapatkan pendidikan dan sebagainya.
2.3 Konsep Hukum dan HAM Menurut Islam
Konsep HAM menurut persepsi Islam dan Barat adalah suatu
pandangan Islam, yang menganggap manusia sebagai makhluk Allah
secara kodrati dianugerahi hak dasar yang disebut dengan hak asasi.
Adapun perbedaan prinsip antara pandangan Barat dengan islam tentang
HAM adalah semata-mata hanya bersifat antroposentris (segala sesuatu
berpusat pada manusia).
Hukum islam adalah suatu hukum yang di dalamnya menunjukkan
dua bagian penting dan aturan-aturan perundang-undangan dalam Islam
yakni syariah dan fiqih. Fungsi dan tujuan hukum Islam dalam
masyarakat adalah untuk mengatur hubungan manusia dengan
penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan ciptaan
lainnya. Sedangkan tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang
harmonis (seimbang) antara manusia dengan Penciptanya, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan ciptaan lainnya.

3. Demokrasi dalam Islam


Lincoln (1863) menyatakan Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah
yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih
rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut. Menurut
Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur,
demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas
Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir
pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia.
Dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya
bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan
oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan
berada di tangan syara, bukan di tangan rakyat. Ketika syara telah
mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat
sepakat membolehkannya.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya
berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar maruf nahyi
munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar
maruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa merupakan hukum syara yang
telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan
demokrasi.
B. SUMBER HUKUM ISLAM

Secara sederhana, hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah


laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang
diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh
anggotanya. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara maka hukum
Islam berarti: seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunah
Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf)
yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam.

Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Quran dan Sunah. Selain itu,
ijtihad, ijma, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu
untuk sampai kepada hukum yang dikandung oleh Al Quran dan sunah Rasul.

1. Al Quran

Al Quran berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara


berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril. Al Quran diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas.
Membaca Al Quran merupakan ibadah.

Al Quran merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim


berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di
dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Al Quran memuat
berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia, antara lain:

1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg


berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim
memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al-Quran ada 2, yaitu dilihat dari segi kualitas dan dari segi
kuantitas. Dari segi kuantitas, Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat,
323.015 huruf dan 77.439 kosa kata. Sedangkan dari segi kualitas, isi pokok Al
Quran terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan


rohaniyah dengan Allah SWT dan hal hal lain yang berkaitan dengan
keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan
dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam
Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim
memiliki sifat sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku perilaku tercela.

Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Quran ada yang rinci dan ada
yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan
masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum
bersifat taabud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup
peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman.

Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya


berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-
undang sebagainya. Ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan masalah ini
hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-
nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Selain ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang
berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya.
Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
2. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al Quran. Allah SWT telah mewajibkan untuk
menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi
Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:

Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, (QS Al Hasyr : 7)

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku


Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan
akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap
dan perbuatannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan
budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua,
juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

Artinya: Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat
selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah
rasulnya. (HR Imam Malik)

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi
sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Quran, sehingga
keduanya (Al Quran dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal
yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Quran menegaskan untuk
menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya :

Artinya: Jauhilah perbuatan dusta (QS Al Hajj : 30)

2. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Quran.


Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing dengan membasuhnya
tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:



( )

Artinya: Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara


membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah (HR
Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)

Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil,
sempurna ingatan (hafalannya), sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan
tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-
samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi
ingatannya tidak begitu kuat, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat dan
kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul
biasanya dibuat hujjah sesuatu hal yg tidak terlalu berat / tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-
syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya
dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi

Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:


1. Rawinya bersifat adil 4. Hadits itu tidak berilat, dan
2. Sempurna ingatan 5. Hadits itu tidak janggal
3. Sanadnya tidak terputus

3. Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu


masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Quran maupun Hadits, dengan
menggunakan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara
menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan.

Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini
berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin
jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?, muadz menjawab, Saya akan menetapkan hukum
dengan Al Quran, Rasul bertanya lagi, Seandainya tidak ditemukan ketetapannya
di dalam Al Quran? Muadz menjawab, Saya akan tetapkan dengan Hadits. Rasul
bertanya lagi, seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Quran dan
Hadits, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menjadikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Quran dan hadits. Untuk melakukan ijtihad (mujtahid)
harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:

1. Mengetahui isi Al Quran dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan


hukum
2. Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al
Quran dan hadits
3. Mengetahui soal-soal ijma
4. Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu
dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini
Rasulullah SAW bersabda:

( )
Artinya: Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan
ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang
hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya
salah, maka ia memperoleh satu pahala. (HR Bukhari dan Muslim)

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil


ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan
membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah
SAW bersabda:

()
Artinya: Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat (HR
Nashr Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara ijma dan qiyas.
Ijma adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada
suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada
hasil ijma diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman
Allah SWT:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu. (QS An Nisa : 59)

Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai
kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid.
Dengan demikian, ijma ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh
ijam ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian
membukukannya menjadi mushaf Al Quran, seperti sekarang ini

Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada


hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya
terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman
keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar
yang disebut dalam Al Quran karena antara keduanya terdapat persamaan illat
(alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan
hukmnya dalam Al Quran atau hadits tetap diharamkan karena mengandung
persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Quran. Sebelum
mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui
Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan

Ada berbagai bentuk Ijtihad yang lain, antara lain:

1. Istihsan/Istislah, yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan


secara konkret dalam Al Quran dan hadits yang didasarkan atas kepentingan
umum / kemashlahatan umum / untuk kepentingan keadilan
2. Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari
hukum tersebut
3. Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara
konkret dalam Al Quran dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi
adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah
hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum
agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak
bertentangan dengan ajaran Al Quran dan hadits
4. Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang
tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu.
Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah
ditetapkan.
5. Al Urf, ialah urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya
6. Zarai, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah
atau untuk menghilangkan mudarat.
C. FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum


Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Dalam Al Quran cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah


pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang
muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada
kewajiban untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Quran dan Hadits.

Ada 4 peranan utama hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu:

a. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi
keimanan seseorang.
b. Fungsi Amar Maruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum (Allah) dengan subyek dan
obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau
memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak
diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum
tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum
sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan
sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari
pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi
sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak
dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan
khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat
memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan
khamar. Fungsi ini dapat disebut amar maruf nahi munkar. Dari fungsi inilah
dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan
menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

c. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan tazir untuk tindak
pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi
warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang
membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah


Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah
muamalah, yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya
menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang
berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan
berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut
dengan Tanzim wa ishlah al-ummah.
Keempat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja
untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim
Hosen, 1996 : 90). Disamping peranan utama tersebut, ada juga peranan yang
lainnya, antara lain:

a. Memelihara Kemaslahatan Agama


Agama adalah sesuatu yang harus dimilki oleh setiap manusia oleh
martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dan martabat makhluk lain dan
memenuhi hajat jiwanya.

b. Memelihara Jiwa
Hukum islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan
mempertahankan kehidupannya.

c. Memelihara akal







Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (Al-Maidah ayat 90)
Karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan
kehidupan manusia. Seseorang tidak akan dapat menjalankan hukum islam
dengan baik dan benar tanpa mempergunakan akal sehat.
c. Memelihara keturunan

Karena itu, meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah


menurut ketentuan Yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan dilarang
melakukan perzinahan. (surat ke 4 ayat 23)

e. Memelihara Harta Benda


Menurut ajaran islam harta merupakan pemberian Allah kepada manusia
untuk kelangsungan hidup mereka. Untuk itu manusia sebagai khalifah di bumi
dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal, sah
menurut hukum dan benar menurut aturan moral.

D. KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PERUMUSAN DAN PENEGAKKAN HAM

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia


tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara
nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan
jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai
muslim dengan menaati dan melaksanakan hukum Islam.
Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk
kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional. Realitas kehidupan beragama di
Indonesia lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966
dan perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia.
Selain itu, perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pula oleh sikap
pemerintah terhadap hukum agama (hukum Islam) yang dipergunakan sebagai
sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya
dalam Program Keluarga Berencana dan program-program lainnya.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-
akhir ini semakin tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang disahkan dan diundangkan di Jakarta tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran
Negara Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara
seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku
beberapa asas, diantaranya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan kedua belah
pihak, (3) kebebasan memilh, (4) kemitraan suami-istri, (5) untuk selama-
lamanya, (6) monogami terbuka.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut
pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan
hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Untuk menegakkan hukum islam yang
berlaku secara yuridis formal dalam negara republik indonesia, pada tanggal 8
desember 1988 presiden Republik Indonesia menyampaikan rancangan undang-
undang peradilan agama kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk di bicarakan
dan di setujui sebagai undang-undang menggantikan semua peraturan perundang-
undangan tentang peradilan agama yang tidak sesuai lagi dengan undang-undang
dasar 1945 dan undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman 1970.
Pada tanggal 14 desember 1989, rancangan undang-undang peradilan agama
itu di setujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia. Pada tanggal 29 desember 1989, oleh Presiden Republik Indonesia
dalam lembaran negara nomor 49 tahun 1989. Pemeluk agama Islam yang telah
menjadi bagian penduduk indonesia, dengan undang-undang itu di beri
kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran
agamanya, sesuai dengan jiwa pasal 29 undang-undang dasar 1945 terutama ayat
2-nya. Undang-undang peradilan agama yang telah di sahkan dan di undang-
undang kan itu terdiri atas VII bab dan 108 pasal dengan sistematika dan garis
besar isinya sebagai berikut :

Bab 1 : memuat kententuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat


kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama.

Bab 2 : mengatur susunan pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.

Bab 3 : mengatur kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Bab 4 : mengatur tentang hukum acara.

Bab 5 : menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi pengadilan,


pembagian tugas para hakim dan panitera dalam melaksanakan tugas nya
masing-masing.

Bab 6 : mengenai ketentuan peralihan.

Bab 7 : tentang ketentuan penutup.


Dengan disahkannya undang-undang peradilan agama ini, perubahan penting
dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan peradilan agama. Diantaranya
sebagai berikut :

1. Peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar


telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara.
2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama dan
seragam di seluruh indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan
agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum
yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
3. Perlindungan terhadap wanita lebih di tingkatkan dengan jalan, antara lain,
memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela
kepentingannya di muka peradilan agama.
4. Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum islam
sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum
nasional melalui yurisprudensi.
5. Terlaksanalah ketentuan-ketentuan dalam undang-undang pokok kekuasaan
kehakiman (1970), terutama yang di sebut pada pasal 10 ayat (1) mengenai
kedudukan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, dan pasal 12
tentang susunan, kekuasaan, dan (hukum) acaranya.
6. Terselenggaralah pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang
sekaligus pula berwawasan Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk undang-
undang peradilan agama.

4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan


diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3400).
Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Yang
melegakan dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama
khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah.
Untuk menjelaskan berbagai persoalan syariah di atas, Dewan Syariah Nasional
(DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi
syariah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut
dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut.
5. Instruksi Presiden Nomor I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta tanggaI 23 September 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
7. Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.

Penegakkan hukum Islam dan praktik bermasyarakat dan bernegara memang


harus melalui proses, yaitu proses kultural dan dakwah.apabia Islam telah
bermasyarakat (dipahami secara baik), sebagai konsekuensinya hukum Islam harus
ditegakkan (law enforcement) melalui perjungan legilasi. Didalam negara yang
penduduknya mayoritas muslim, kebebasan mengeluarkan pendapat/berfikir harus
ada. Hal ini diperlukan untuk mengembangan pemikiran hukum Islam yang benar-
benar teruji, maupun dari segi pemahaman maupun segi pengembangannya. Dalam
ajaran Islam ditetapkan bahwa umat Islammempunyai kewajiban untuk menaati
hukum yang telah ditetpkan Allah.
Dari pembahasan yang sudah dikemukakan, jelas makin lama makin besar kontribusi
umat Islam di Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia.
Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik
bermasyarakat dan bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural
dan dakwah. Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya
hukum harus ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum
Islam dengan hukum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat
atau kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi
pemahaman maupun dari segi pengembangan.

Anda mungkin juga menyukai