Anda di halaman 1dari 25

Laporan Praktikum

FARMASI FISIKA

KOMPLEKSASI OBAT

OLEH

NAMA : APRILIA HUSAIN

NIM : 821316011

KELOMPOK : II (DUA)

KELAS : B-D3 FARMASI 2016

ASISTEN : FITRIAH AYU MAGFIRAH YUNUS

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2017
Lembar pengesahan

FARMASI FISIKA

KOMPLEKSASI OBAT

OLEH

NAMA : APRILIA HUSAIN

NIM : 821316011

KELOMPOK : II (DUA)

KELAS : B-D3 FARMASI 2016

ASISTEN : FITRIAH AYU MAGFIRAH YUNUS

Gorontalo, Oktober 2017


Mengetahui

Asisten NILAI

FITRIAH AYU MAGFIRAH YUNUS


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur patut kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena,
dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat laporan praktikum Farmasi
Fisika yang berjudul Kompleksasi Obat.
Laporan ini ditulis dengan tujuan untuk menambah pengetahuan,
pemahaman, dalam beberapa kajian tentang Farmasi Fisika tentang kelarutan
maupun distribusi obat. Penyusunan materi dalam laporan ini kami tulis
berdasarkan hasil kegiatan yang telah kelompok saya lakukan.
Terima kasih kepada senior yang telah membimbing kami dalam
melakukan kegiatan Praktikum Farmasi Fisika ini, sehingga kami dapat
menambah pengetahuan dalam menentukan bagaimana meneteapakn kelarutan zat
dengan penambahan senyawa pengompleks. Semoga laporan ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi siapa saja yang membaca laporan ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna, oleh karena
itu kami menerima masukan dari semua pihak demi penyempurnaan laporan ini.
Maaf apabila terdapat kesalahan dalam pengetikan kata-kata dalam laporan ini
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Gorontalo, Oktober 2017


Penyusun

Kelompok II
(Devy Fatika)
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Farmasi merupakan salah satu bidang profesional kesehatan yang
merupakan kombinasi dari ilmu kesehatan dan ilmu kimia, yang
mempunyai tanggung-jawab memastikan efektivitas dan keamanan
penggunaan obat. Dalam dunia farmasi, terdapat beberapa cabang ilmu
yang harus dipelajari oleh seorang mahasiswa. Bukan hanya ilmu meracik
obat, tapi seorang farmasis juga harus memahami bagaimana sifat fisika
dari obat tersebut sehingga dikenal dengan ilmu Farmasi Fisika.
Farmasi Fisika merupakan suatu ilmu yang menggabungkan antara
ilmu Fisika dengan ilmu Farmasi. Ilmu Fisika mempelajari tentang sifat-
sifat fisika suatu zat baik berupa sifat molekul maupun tentang sifat
turunan suatu zat. Sedangkan ilmu Farmasi adalah ilmu tentang obat-obat
yang mempelajari cara membuat, memformulasi senyawa obat menjadi
sebuah sediaan jadi yang dapat beredar di pasaran. Gabungkan kedua ilmu
tersebut akan menghasilkan suatu sediaan farmasi yang berstandar baik,
berefek baik, dan mempunyai kestabilan yang baik pula.
Sifat fisika suatu zat dapat diketahui dari percobaan-percobaan,
salah satunya penetapan kelarutan dari penambahan suatu zat
pengompleks. Menurut Farianti (2000), senyawa kompleks adalah
senyawa yang tersusun atas atom pusat atau logam dengan ligan yang
mengelilinginya membentuk molekul netral atau ion dengan ikatan
kovalen koordinasi..
Pengetahuan tentang metode kompleksasi sediaan obat sangat
penting untuk seorang farmasis, sebab hal ini dapat membantu memilih
metode kompleksasi ini digunakan untuk menambah kelarutan suatu
senyawa obat. Dengan adanya penambahan senyawa pengkompleks, suatu
senyawa yang pada awalnya memiliki kelarutan yang rendah, perlahan
akan meningkat kelarutannya. Tetapi, kadar dari senyawa pengkomples

1
2

yang ditambahkan memiliki batas tertentu yang apabila melewati dari


kadar itu, senyawa tersebut justru akan menjadi sukar larutdalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Melihat pentingnya uraian diatas, maka dilakukan praktikum
Farmasi Fisika dengan judul percobaan kompleksasi obat dengan
penambahan senyawa kompleks pada konsentrasi yang berbeda-beda
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penetapan kelarutan suatu zat
dengan penambahan zat pengompleks
I.2.2 Tujuan Percobaan
Menetapkan kelarutan Paracetamol dalam larutan dengan
penambahan Na2EDTA menggunakan metode spektrofotometer
I.3 Prinsip Percobaan
Penetapan kelarutan Paracetamol dalam larutan dengan adanya
penambahan Na2EDTA dengan konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan
pada kompleks yang terjadi antara Paracetamol dengan Na EDTA yang
diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
II.1.1 Definisi Kompleksasi obat
Kompleks atau senyawa koordinasi, menurut definisi klasik,
diakibatkan oleh mekanisme donor-akseptor atau reaksi asam-basa Lewis
antara dua atau lebih konstituen kimia yang berbeda. Setiap atom atau ion
nonlogam apakah bebas atau berada dalam molekul netral atau dalam
senyawa ionik, yang dapat menyumbangkan satu pasang elektron, dapat
bertindak sebagai donor. Akseptor, atau konstituen yang ambil bagian
dalam pasangan elektron, seringkali berupa ion logam, walaupun dapat
juga berupa atom netral (Martin, A: 1990).
Pelaksanaan analisisis anorganik kualitatif banyak digunakan
reaksi-reaksi yang menghasilkan pembentukan kompleks. Suatu ion atau
molekul kompleks terdiri dari satu ion (ion) pusat dan sejumlah ligan yang
terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Jumlah relatif komponen-
komponen ini dalam kompleks yang stabil nampak mengikuti stoikiometri
yang sangat tertentu, meskipun ini tak dapat ditafsirkan di dalam lingkup
konsep valensi klasik (Roth, H., J: 1994).
II.1.2 Metode pembentukan kompleks
Metode-metode analisis pembentukan kompleks ada beberapa macam,
antara lain (Day, R., A: 1995):
1. Metode variasi berkesinambungan
Metode ini berdasarkan pada kenyataan bahwa apabila dua senyawa
membentuk kompleks maka terjadi perubahan sifat fisika dan kimia.
2. Metode titrasi
Metode ini diterapkan pada pembentukan kompleks glisin dan Cu
yang dititrasi dengan NaOH
3. Metode distribusi
Metode distribusi diterapkan pada pembentukan kompleks iodium dan
KI. Iodium dilarutkan dalam CS2 dan KI dilarutkan dalam air.

3
4

Kelarutan iodium dalam air karena terbentuk kompleks.


4. Metode Kelarutan
Kelarutan pada amino benzoate akan menambah kelarutan kofein,
dimana kadar kofein diukur dengan spektrofotometer.
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusan
dan sejumlah ligam yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom
pusat ditandai oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang
menunjukkan jumlah ligan (monodentat) yang dapat membentuk kompleks
yang stabil dengan satu atom pusat. Susunan logam-logam sekitar atom
pusat adalah simetris (Svehla, 1990).
G.N Lewis menerangkan bahwa pembentukan kompleks terjadi
karena pentumbanagn atau pasangan elektron seluruhnya oleh satu ligan
kepada atom pusat, inilah yang disebut dengan ikatan-datif. Teori Medan
Ligan menjelaskan bahwa pembentukan kompleks atas dasar medan
elektrostatik yang diciptakan oleh ligan-ligan dalam dari atom pusat.
Medan ligan menyebabkan penguraian tingkatan energi orbital-orbital-d
atom pusat, yang lalu menghasilkan energi untuk menstabilkan kompleks
itu (Energi Stabilitas Medan Ligan) (Svehla, 1990).
Pada pembagian besar logam cenderung untuk membentuk
kompleks. Sifat ini dapat digunakan untuk pemisahan, penentuan kadar
dan untuk membuat kation tidak dapat berreaksi. Untuk analisis kuantitatif
yang penting adalah tetapan stabilitas (kestabilan) dan tetapan disosiasi.
Pada pembentukan dan penguraian senyawa kompleks dibedakan antara
disosiasi pertama dan kedua. Disosiasi pertama merupakan disosiasi
menjadi kation dan anion kompleks atau menjadi anion dan kation
kompleks, yang biasanya terjadi secara sempurna (Roth, 1994).
Makin besar tetapan disosiasi, makin banyak ion dalam larutan, dan
makin tidak stabil kompleks yang terjadi. Selain itu diketahui juga bahwa
banyak senyawa kompleks yang terdisosiasi secara bertahap. Ion kompleks
tunggal hanya terdapat pada larutan senyawa kompleks yang sangat kuat
(Day, R. A, 1995).
5

Pembentukan kompleks dalam analisa kualitatif sering terlihat dan


dipakai untuk pemisahan atau identifikasi. Salah satu fenomena yang
paling umum yang muncul bila ion kompleks terbentuk adalah perubahan
warna larutan dan kenaikan larutan (Svehla, 1990).
Satu ion (atau molekul) kompleks terdiri dari satu atom (ion) pusan
dan sejumlah ligam yang terikat erat dengan atom (ion) pusat itu. Atom
pusat ditandai oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang
menunjukkan jumlah ligan (monodentat) yang dapat membentuk kompleks
yang stabil dengan satu atom pusat. Susunan logam-logam sekitar atom
pusat adalah simetris (Svehla, 1990).
G.N Lewis menerangkan bahwa pembentukan kompleks terjadi
karena pentumbanagn atau pasangan elektron seluruhnya oleh satu ligan
kepada atom pusat, inilah yang disebut dengan ikatan-datif. Teori Medan
Ligan menjelaskan bahwa pembentukan kompleks atas dasar medan
elektrostatik yang diciptakan oleh ligan-ligan dalam dari atom pusat.
Medan ligan menyebabkan penguraian tingkatan energi orbital-orbital-d
atom pusat, yang lalu menghasilkan energi untuk menstabilkan kompleks
itu (Energi Stabilitas Medan Ligan) (Svehla, 1990).
Kompleks terbentuk dari suatu reaksi ion logam yaitu kation
dengan suatu anion atau molekul netral. Ion logam di dalam kompleks
disebut atom pusat dan kelompok yang terikat pada atom pusat disebut
ligan. Jumlah ikatan yang terbentuk oleh atom logam, pusat disebut
bilangan koordinasi dari logam, salah satu contoh reaksi kompleks adalah
reaksi dari ion perak dengan ion sianida untuk membentuk ion kompleks
Ag(CN)2 yang sangat stabil. Higuchi dan kawan-kawannya telah
menyelidiki kompleksasi kafein dengan sejumlah obat yang bersifat asam.
Mereka menemukan interaksi antara kafein dengan obat misalnya
silfonamida atau barbiturat disebabkan oleh gaya dipol-dipol atau ikatan
hidrogen antara gugus karbonil yang terpolarisasi dari kafein dan atom
hidrogen dari asam. Interaksi sekunder mungkin terjadi antara bagian-
bagian molekul nonpolar dan kompleks ditekan keluar dari fase air
6

karena tekanan internal air yang besar. Kedua efek ini menyebabkan
derajat interaksi yang tinggi (Martin, 1990).
II.1.3 Pengertian Spektofotometer
Spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk menganalisa
suatu senyawa baik kuantitatif maupun kualitatif, dengan cara mengukur
transmitan ataupun absorban suatu cuplikan sebagai fungsi dari
konsentrasi. Penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang
dihasilkan pada spektrum suatu unsur tertentu pada panjang gelombang
tertentu, sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai
absorbansi yang dihasilkan dari spektrum senyawa kompleks unsur yang
dianalisa dengan kompleks unsur yang dianalisa dengan pengompleks
yang sesuai. Spektrofotometris dapat dianggap sebagai perluasan suatu
pemeriksaan visual, lebih mendalam dari absorpsi energi radiasi oleh
macam-macam zat (Hariadi, 2013).
II.1.4 Prinsip Kerja Spektrofotometri
Spektrum elektromagnetik dibagi dalam beberapa daerah cahaya.
Suatu daerah akan diabsorbsi oleh atom atau molekul dan panjang
gelombang cahaya yang diabsorbsi dapat menunjukan struktur senyawa
yang diteliti. Spektrum elektromagnetik meliputi suatu daerah panjang
gelombang yang luas dari sinar gamma gelombang pendek berenergi
tinggi sampai pada panjang gelombang mikro (Marzuki, 2012)
Spektrum absorbsi dalam daerah-daerah ultra ungu dan sinar
tampak umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorbsi yang lebar,
semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak. Oleh
karena itu mereka mengandung electron, baik yang dipakai bersama atau
tidak, yang dapat dieksitasi ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang
gelombang pada waktu absorbsi terjadi tergantung pada bagaimana erat
elektron terikat di dalam molekul. Elektron dalam satu ikatan kovalen
tunggal erat ikatannya dan radiasi dengan energy tinggi, atau panjang
gelombang pendek, diperlukan eksitasinya (Wunas, 2011).
7

Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode


ini memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang
sangat kecil. Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka
yang terbaca langsung dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk
angka digital ataupun grafik yang sudah diregresikan (Yahya, 2013).
II.1.5 Definisi Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik
dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem
Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara
baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun
kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter
atau yang dijual bebas (Darsono , 2002).
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit
fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893. Parasetamol
(asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak
mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta
peradangan lambung. Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat
yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat
lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak
bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti
nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain.
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal,
Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak
menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika,
dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol. Diantara
ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling
ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua
tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus
lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui
bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif
8

terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri (Katzung, 2011;


Sartono, 1996; Wilmana, 1995).
II.1.6 Farmakokinetik paracetamol
Farmakokinetik Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran
pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit.
Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi
dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan
asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin
dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit
berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan
dengan sulfhidril dari protein hati (Lusiana Darsono, 2002).
II.1.7 Farmakodinamik Paracetamol
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat
yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga
berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Universitas Sumatera Utara Efek
anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin
tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan
penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi
dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Mahar Mardjono
1971). Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan
siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat
menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek
pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan
pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya
9

menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.


Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa
prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian
prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh
sebab lain, seperti latihan fisik (Aris, 2009).
II.1.8 Indikasi Paracetamol
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan
demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan
bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Cranswick, 2000).
II.2 Uraian Bahan
II.2.1 Acetaminophenum (Dirjen POM, 1979; IAI, 2016).
Nama resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama lain : Asetaminofen, parasetamol
RM/BM : C8H9NO2 / 151,16
Rumus struktur :

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, dan


rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P dan dalam 9 bagian propilenglikol P dan
larut dalam larutan alkali hidroksida
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari
cahaya
Khasiat : Analgetikum dan antipiretikum (meredakan rasa
nyeri dan penurun panas)
Kegunaan : Zat aktif
10

II.2.2 Alkohol (Dirjen POM, 1995 ; Andriani, 2001).


Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, Alkohol
RM/BM : C2H5OH / 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas dan mudah
terbakar
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam klorofom P
dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk, dan jauh dari nyala api
Khasiat : Antiseptik (untuk membunuh bakteri mikroba
berbahaya)
Kegunaan : Pelarut dan untuk mensterilkan alat-alat
laboratorium
II.2.3 Aquadest (Dirjen POM, 1979).
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air Suling
RM/BM : H2O / 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan


tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
11

Khasiat : Untuk melarutkan zat-zat yang terlarut


Kegunaan : Pelarut
II.2.3 Na EDTA (Dirjen POM.1995:412)
Nama Resmi : DINATRIUM ETILENDIAMINA
TETRA ASETAT DIHIDRAT
Nama Lain : Dinatrium adetat, Na2 EDTA
RM/BM : C10H14Na2O8. 2H2O/ 372,24 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, higroskopik.


Kelarutan : Larut dalam air, larutan beropalesensi berwarna
jingga.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai pengompleks.
BAB III

METODE PRAKTIKUM

III.1 Waktu dan Tempat Praktikum

III.1.1 Waktu Praktikum

Praktikum Farmasi Fisika Kompleksasi Obat dilakukan pada hari kamis,


tanggal 19 Oktober 2017 pukul 03.00-17.30 WITA.

II I.1.2 Tempat Praktikum

Tempat pelaksanaan praktikum farmasi fisika kompleksasiobat bertempat


di Laboratorium Teknologi Farmasi Kampus 1, Jurusan Farmasi, Fakultas
Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.

III.2 Alat dan Bahan

III.2.1 Alat

NO NamaAlat Fungsi
1. Batang Pengaduk

Untuk mengaduk larutan

2. Gelas Beker 250 mL

Wadah untuk melarutkan suatu zat

3. GelasUkur
Wadah untuk mengukur volume
larutan.
13

4. Kuvet

Tempat contuh cuplikan yang akan


dianalisis.

5. Neraca analitik

Mengukur jumlah sampel dalam


gram.

6. Pipet Tetes

Mengambil cairan dalam skala


tetesan kecil.

7. Spatula

Digunakan sebagai sendok kecil


untuk mengambil bahan kimia.

8. Spektrofotometer

Digunakan untuk mengukur nilai


absorbansi.
14

III.2.2 Bahan

No Nama Bahan Fungsi


1. Alkohol
Sebagai antiseptik dan disinfektan
dan sebagai larutan blanko.

2. Aluminium foil
Untuk menutup larutan agar tidak
teroksidasi.

3. Aquades
Sebagai zat pelarut

4. Kertas Perkamen
Untuk meletakkan serbuk
paracetamol dan Na EDTA

5. Label
Untuk memberi label pada tiap
sampel yang akan digunakan.
15

6. Na2 EDTA

Sebagai zat pengompleks

7. Serbuk Paracetamol

Sebagai sampel.

8. Tisu

Membersihkan alat.

III.3 Cara Kerja

III.3.1 Pembuatan Larutan Standar

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.


2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
3. Ditimbang serbuk paracetamol sebanyak 2 g.
4. Dimasukkan 2 g paracetamol yang telah ditimbang ke dalam gelas
beker.
5. Dilarutkan paracetamol dengan aquadest 100 mL, kemudian diaduk
hingga homogen.
6. Diambil 1 mL larutan, dimasukkan ke dalam gelas beker dan
dicukupkan volumenya hingga 100 mL dengan aquadest.
16

7. Diambil 5 mL dari larutan yang telah terbentuk, dimasukkan ke dalam


gelas beker dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL dengan
aquadest.
8. Diukur nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofometer.
9. Dicatat hasil pengamatan.
III.3.2 Pembuatan Larutan Sampel

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.


2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang Na EDTA sebanyak 1 g, 1,5 g, dan 2 g
4. Dilarutkan masing-masing Na EDTA dalam 25 mL larutan standar
5. Diambil 1 mL larutan standar + Na EDTA 1 gr dimasukkan ke dalam
gelas beker dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL dengan
aquadest.
6. Diambil 5 mL dari larutan 100 mL, dimasukkan ke dalam gelas beker
dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL dengan aquadest.
7. Dilakukan perlakuan 5 dan 6pada larutan standar + Na EDTA 1,5 g
dan 2 g.
8. Diukur nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofometer.
9. Dicatat hasil pengamatan.
III.3.3 Pembuatan larutan blanko

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.


2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
3. Ditimbang Na EDTA sebanyak 1 g, 1,5 g, dan 2 g.
4. Dilarutkan masing-masing Na EDTA dengan aquadest sampai 25 mL
kemudian di aduk hingga homogen.
5. Di ambil 1 mL darimasing-masinglarutan Na EDTA dan dimasukkan
ke dalam gelas beker, kemudian dicukupkan volumenya hingga 100
mL dengan aquadest.
6. Diambil 5 mL dari larutan yang terbentuk, dimasukkan ke dalam gelas
beker dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL dengan aquadest.
17

7. Di ukur air sebanyak 25 mL.


8. Diukur nilai absorbanmasing-masing larutan dengan menggunakan
spektrofotometer.
9. Dicatat hasil pengamatannya.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil pengamatan
A. Larutan stadar
Sampel Nilai absorban
Aquadest + PCT 0,1 gr 0,001 nm

B. Larutan sampel
Sampel Nilai absorban
PCT 0,1 g + Na2EDTA 0,1 gr 0,440 nm
PCT 0,1 g + Na2EDTA 1 gr 0,006 nm
PCT 0,1 g + Na2EDTA 1,5 gr 0,443 nm

C. Larutan blanko
Sampel Nilai absorban
Aquadest 0,437

IV.2 Perhitungan
0,1 gr
A. Pengenceran : X 1.000.000 = 1000 ppm (pekat)
100 ml
1 ml
X 1000 = 10 ppm (encer)
100 ml
1
X 10 = 1 ppm (encer)
10
Massa (gr) 0,1 100 mg
B. Faktor pengenceran : = = 100.000 = 0,001 mg/ml
volume (ml) 100.000

C. Konsentrasi
1. Dik : Ax1 = 0,440
As = 0,001
Cs = 1
Fp = 0,001
Dit : Cx1 ?
Penye :

18
19

Ax1
Cx1 = X C3 X fp
A3
0,440
= 0,001 X 1 X 0,001

= 0,44 g/ml
2. PCT 0,1 gr + Na-EDTA 1 gr
Dik : Ax1 = 0,006
A3 = 0,001
C3 = 1
Fp = 0,001
Dit : Cx?
Penye :
Ax
Cx = X Cs X fp
As
0,006
= X 1 x 0,001
0,001

= 0,006 g/ml
3. PCT 0,1 + Na-EDTA 1,5 gr
Dik : Ax1 = 0,443
As = 0,001
Cs = 1
Fp = 0,001
Dit : Cx?
Penye :
Ax
Cx = X Cs X fp
A3
0,443
= X 1 X 0,001
0,001

= 0,443 g/ml
IV.3 Pembahasan
Kompleksasi adalah suatu metode yang digunakan untuk menetapkan
kelarutan suatu senyawa dengan penambahan zat pengompleks. Kompleks
atau senyawa koordinasi, menurut definisi klasik diakibatkan oleh
20

mekanisme donor akseptor atau reaksi asam basah antara dua atau lebih
konsituen kimia yang berbeda (Martin, 1993).
Pada praktikum kali ini kami melakukan percobaan mengenai
kompleksasi obat dengan menggunakan obat paracetamol dan Na2EDTA
sebagai zat pengompleks dengan menggunakan alat spektrofotometer Uv-
vis. Langkah pertama yang kami lakukan yaitu membersihkan alat yang
akan digunakan dibersihkan dengan alkohol 70%. Menurut Salim (2013)
Hal ini berguna agar menghilangkan semua jenis mikroorganisme yang
terdapat dalam alat yang akan digunakan agar tidak mempengaruhi pada
saat melakukan percobaan kompleksasi obat.
Dilakukan percobaan kompleksasi obat diawali dengan pembuatan
larutan standar, menurut Day underwood (1999), larutan standar adalah
larutan yang konsentrasinya sudah diketahui secara pasti. Ditimbang
paracetamol sebanyak 0,1 gr dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml,
dan dilakukan pengenceran bertingkat, menurut gandjar (2010), dilakukan
pengenceran bertingkat agar sampel dapat terbaca pada spektrofotometer.
Kemudian diukur serapan larutan tersebut pada spektrofotometer dengan
panjang gelombang yang sesuai.
Pembuatan larutan sampel, menurut beran (1996), larutan sampel
adalah larutan reagen yang baik untuk titrasi baik itu sifat zat, konsentrasi,
dan lainnya. Ditimbang paracetamol sebanyak 0,1 gr dimasukan
paracetamol dengan aquadest sebanyak 100 ml, kemudian dilakukan
pengenceran bertingkat, menurut gandjar (2010), dilakukan pengenceran
bertingkat agar sampel dapat terbaca pada spektrofotometer. Dibuat larutan
sampel dengan menggunakan paracetamol dengan penambahan Na2EDTA
0,5 ; 1,0 ; 1,5 gr dengan cara dimasukan paracetamol dengan Na2EDTA dan
dicukupkan aquadest sebanyak 100 ml, Diukur larutan sampel tersebut pada
spektrofotometer dengan panjang gelombang yang sesuai.
Dibuat larutan blanko, menurut Basset (1994), larutan blanko
merupakan larutan yang tidak mengandung analat untuk dianalisis. Diambil
aquadest dimasukan ke dalam cuvet yang telah dibersihkan diukur
21

serapannya pada spektrofotometer Uv-Vis dengan panjang gelombang yang


sesuai.
Pada percobaan kompleksasi obat hasil yang didapat yaitu larutan
sampel paracetamol dan Na2EDTA yaitu sampel 1 -0,440 nm dengan nilai
Cx 0,44 g/ml, sampel 2 -0,006 nm dengan nilai Cx 0,006 g/ml, sampel 3 -
0,443 nm dengan nilai Cx 0,443 g/ml. Larutan blanko yaitu -0,437 nm dan
larutan standar -0,001 nm. Menurut O.G. brink (1985) berdasarkan hukum
beer absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi artinya
konsentrasi zat terlarut makin tinggi maka absorbansi yang dihasilkan makin
tinggi, begitu pula sebaliknya konsentrasi zat terlarut semakin rendah
absorbansi yang dihasilkan makin rendah. Berdasarkan hasil yang didapat
pada sampel 2 menunjukan turunnya nilai absorbansi hal tersebut tidak
sesuai dengan literatur.
Menurut Supiyanto (2007), kemungkinan kesalahan yang dilakukan
yaitu kesalahan pada penggunaan alat misalnya kurangnya tingkat ketelitian
pada neraca analitik. Kesalahan pengamat yaitu akibat kesalahan membaca
angka pada skala suatu alat ukur karena kedudukan mata pengamat tidak
tepat dan kurangnya ketelitian pada saat melakukan percobaan, kesalahan
teoritis yaitu akibat penyederhanaan sistem model atau aproksimasi dalam
persamaan yang menggambarkannya, kesalahasan acak menghasilkan
hamburan data disekitar nilai ratarata kesalahan acak dihasilkan dari
ketidak mampuan pengamat untuk mengulangi pengukuran secara presisi
(ketelitian).
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan mengenai kelarutan suatu obat yang pada percobaan ini
menggunakan sampel paracetamol dapat ditingkatkan dengan
menambahkan zat pengompleks yang pada percobaan ini menggunakan Na
EDTA. Pada praktikum dibuat 3 sampel larutan paracetamol dengan
konsentrasi Na EDTA yang berbeda-beda, perbandingan konsentrasi yang
telah diperoleh yaitu 0.5 g : 1 g : 1,5 g adalah 0,44 g/ml : 0,006 g/ml :
0,443 g/ml. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
semakin banyak jumlah zat pengompleks yang ditambahkan, maka
kelarutan zat juga akan semakin tinggi dan jumlah zat yang larut akan
semakin banyak.
V.2 Saran
Saran untuk praktikum kali ini adalah diharapkan semua praktikan
dapat mengikuti prosedur pada percobaan, sehingga praktikan dapat
mengerti akibat dari proses-proses yang dilakukan pada pembuatan larutan
dan pengenceran.

22

Anda mungkin juga menyukai