Anda di halaman 1dari 12

Indonesia Pusaka

Dalam rindu yang menggebu, Pertiwi termangu. Pikirnya menuju salah satu laut biru di
sudut kota sang pemilik rindu. Putranya. Yang kini genap dua tahun terselubung jelaga. Pikirnya
mengharu biru antara khawatir dan terharu. Putranya yang satu itu, mulai beranjak dewasa.
Kesakitan yang melanda tubuhnya, semakin bertalu-talu. Lihatlah, sedikit demi sedikit sudut
dirinya, makin terkikis dalam duka. Perangainya yang santun dan parasnya yang cantik mulai
mengabu.
Dalam tidurnya, Pertiwi selalu tergugu merasakan beban putranya yang semakin hari
semakin ringkih. Tak terbayang dalam benaknya, betapa sakit putranya menanggung luka atas
tingkah laku semena-mena anak-anak yang pernah ia percaya dengan hidupnya, anak-anak
Nusantara.
Malangnya putraku, Borneo-ku.pikirnya.
Borneo-nya yang cantik, borneo-nya yang kaya. Yang tak pernah lelah ia pandangi
karena parasnya yang luar biasa elok nan menawan.
Ia tak bisa berbuat apa-apa, hatinya cukup teriris melihat Jawa, yang dulu putra
kebanggannya, sekarang makin berulah menjadi-jadi. Korupsi, banjir, macet menjadi makanan
sehari-hari. Anaknya itu makin menguras kesabaran hati saja. Tak ada satu haripun ia lewatkan,
tanpa mendengar keluh kesal dan kenakalan anaknya itu.
Apalagi ada si kecil kebanggan Jawa, Batavia yang super semrawut dan tumpang tindih.
Betapa pergaulan telah merusak Batavia-nya. Batavia-nya yang lugu, penuh pertanyaan-
pertanyaan lucu, rasa penasaran yang tinggi. Rasa penasaran itu jugalah yang merusaknya,
menghancurkan sampi titik terendah. Sampai titik yang menghancurkannya hingga lebur tapi
tetap agung, karena kesombongannya.
Mengenanglah dirinya pada beratus tahun yang lalu, ditimangnya batavia dengan rasa
sayang tak terhingga. Batavia yang paling ia percaya untuk segalanya. Menjadi pusat dari
apapun, pusat ekonomi, pusat hiburan, pusat pendidikan hingga pusat pemerintahan.
Metropolitan, katanya. Kebebasan. Freedom. Liberty. Kini lekat daripadanya. Budaya
yang seharusnya tak hinggap begitu saja dalam jiwa raga. Manusia-manusia menyatu pada hak
asasi, mereka bersabda. Semua harus bebas berekspresi. Bebas menyalurkan apa yang ingin
disampaikan hati nurani.
Namun, lihatlah. Segelintir orang menyalahgunakan. Mereka berlagu mengalunkan yel-
yel kemerdekaan hak-haknya. Yang tanpa mereka sadari, menyintas hak-hak milik orang lain.
Lihatlah. Wajah mereka meyakinkan bahwa tidak perlu lagi aturan-aturan mengikat mereka.
Tidak perlu lagi norma-norma menuntun. Tak perlu lagi ayat-ayat melantun. Berpeganglah
mereka pada nafsu yang disalah artikan sebagai suara hati. Yakinlah mereka pada alibi alibi keji
yang sebenarnya hanya anomali tanpa henti.
Jeritan hati Pertiwi tak hanya sampai disini. Kekerasan, fitnah, saling tuduh menuduh
sekarang hidup sangat erat dengan rakyatnya. Ada bayaran luar biasa yang tak kasat mata oleh
karenanya. Banyak orang seolah menutup mata atas masalah yang bertubi-tubi. Mereka dilena
akan canggihnya komunikasi, yang mereka anggap sebagai gerbang awal kemerdekaan yang
hakiki padahal malah menuntun mereka pada kehancuran yang abadi. Tidakkah mereka sadari?
Hidup dituntun teknologi, seolah akan mati jika tidak menyentuh peralatan yang sesungguhnya
wujud dari penjajahan ideologi.
Rasanya Pertiwi ingin marah. Ingin menangis. Tapi bisakah? Ia adalah refleksi dari
rakyatnya. Rakyatnya adalah dia. Rakyatnya adalah apa yang menggambarkannya. Bisakah ia
memohon rakyatknya untuk berhenti? Berhenti menyakiti diri sendiri?
Dirinya masih ingat, pada perayaan ulang tahunnya kemarin lalu. Teman-temannya
berkumpul merayakan hari jadinya itu. Ia melihat Netherlands duduk menyesap martini
kegemarannya. Saat mata mereka bertemu, dilihatnyalah pantulan mata mengejek dan kasihan
dari Netherlands.
"Lihatlah dirimu tanpa aku, Pertiwi. Anak-anakmu bertengkar tak keruan. Kau makin
terlihat sayu dan tua. Pancaran kecantikan yang selalu kau banggakan itu mulai memudar,
Pertiwi. Arme jij."ejek Netherlands.
"Laat maar, Netherlands. Tujuh puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk
hidup, oude vriend."jawab Pertiwi.
Oh yang benar saja, Netherlands. Dirimu berkata seolah saat memiliku dulu, kau
membuatku bahagia saja. Tak akan pernah kulupa bagaimana kau memperlakukan anak-anakku.
Devide et impera, kerja rodi. Itu sangat menyakitiku saat kau menyakiti anak-anakku,
Netherlands. Pikir Pertiwi.
Benaknya terbang pada beratus tahun yang lalu saat Netherlands dengan gagah datang
kepadanya. Ia datang dengan ketertarikan. Dengan kebutuhan. Dengan tekat sekuat baja. Dengan
rencana penuh muslihat yang tak pernah terduga.
Lalu pada akhirnya, Netherlands jatuh cinta. Pada pandangan pertama. Netherlands
datang pada suatu malam saat ia menarikan Tari Gesinggau di pulau Borneo. Ia jatuh cinta. Pada
gemulainya. Pada paras anggunnya. Pada tutur santunnya. Pada kebaikan hatinya. Lalu karena
cinta itu juga, Netherlands terobsesi padanya.
Netherlands mendekatinya dengan mulus. Lancar. Membuat Pertiwi terpikat. Netherlands
dengan gagah memplokamirkan bahwa ia pelindung Pertiwi, ia adalah seseorang yang bisa
Pertiwi percaya, seseorang yang bisa Pertiwi andalkan. Ia membuat Pertiwi menyerahkan
segalanya. Membuat Pertiwi bertekuk lutut.
Netherlands ada di setiap saat. Mendatanginya di setiap tempat. Borneo, Jawa, Sumatera,
Cilebes. Seluruh pelosok Pertiwi.
Yang paling Pertiwi ingat, saat di Kota Yogyakarta. Saat tembang tembang cantik
mengalun merdu. Diiringi gamelan yang berkawin menciptakan suasana syahdu memikat kalbu.
Temaramnya malam pun dihiasi sinarnya rembulan yang memancar begitu terang malam itu.
Hanya mereka berdua.
Pertiwi menarikan Serimpi. Tari kebanggannya. Tari sakral yang membuat Pertiwi
kelihatan sangat cantik malam itu. Gelung bokor dan bulu burung kasuari di kepalanya
membuatnya semakin anggun dan bercahaya. Membuat Netherlands semakin terpikat akannya.
Terpikat, jatuh cinta dan obsesi untuk memiliki.
"Pertiwi"
"Pertiwi"
"Pertiwi"
"Engkau begitu cantik malam ini"
"Engkau adalah titisan bidadari yang dilahirkan hanya untukku, Pertiwi. Ik hou van je. Ik
wil dat je de mijne bent, mijn alles. Maukah kau jadi milikku?"mohon Netherlands.
Dan dengan pesonanya itu, Pertiwi tidak bisa berbohong.
"Ja, Netherlands. Iya."putus Pertiwi.
Sejak malam itu pula, Pertiwi manut. Ia percaya dengan penuh pada Netherlandsnya.
Kekasihnya.
Ia melakukan apapun yang Netherlands minta. Ia menyetujui apapun yang Netherlands
mohon. Ia menutup mata dari apapun yang putranya keluhkan. Ia dibutakan oleh cinta. Ia telah
jatuh cinta terlalu dalam dan tak siap patah hati. Karena kalau sudah jatuh, bagaimana ia untuk
bangun lagi?
Ia sebenarnya menyadari, bahwa kalau jatuh cinta terlalu dalam harus siap sakit hati. Ia
juga menyadari, bahwa jika sebegitu banyaknya cintanya pada Netherlands hanya akan
membuatnya lemah dan berserah diri.
Setelah sekian lama, beratus ratus tahun lamanya. Pertiwi mulai merasa hampa. Kosong.
Cinta Netherlands terasa semu. Hatinya melompong. Dingin menghampirinya. Ia mulai melihat
hidupnya dari perspektif berbeda. Melihat Netherlands dengan cara berbeda. Dan ia mulai
menyadari, betapa besar dampak Netherlands pada dirinya, pada putra-putranya.
Netherlands telah menyakiti putranya.
Netherlands telah menyakiti putranya.
Netherlands telah menghancurkan apa yang dia punya.
Netherlands mendapatkannya hanya untuk memenuhi kebutuhannya semata.
Ia tergugu. Ia termangu. Netherlandsnya yang begitu ia percaya, tak sebegitu dapat
dipercaya. Ia telah menghancurkan segalanya yang ia punya. Dengan piciknya, tanpa ia sadari ia
telah menyerahkan kekuasaannya atas putra-putranya. Ia telah membiarkan Netherlands
mengeksploitasi kekayaan yang ia punya. Sedikit demi sedikit.
Lalu ia sadari, bahwa putra-putranya pun sejak lama sudah menyadari ini. Mereka mulai
berjuang satu persatu hingga titik darah penghabisan. Mereka sudah muak dengan ikut
campurnya Netherlands pada masalah internal mereka. Mereka sudah tidak tahan dengan
pengambilan secara paksa apa yang seharusnya miliknya. Lada, cengkeh, rempah-rempah.
Seolah tidak puas, mereka pun dengan sombongnya mengganggu dampuk pemerintahan para
penguasa. Seolah hanya dirinyalah, satu-satunya orang yang harus dihormati dan dipatuhi.
"Ik ben teleurgesteld, Netherlands. Aku sudah lelah dengan segala permainanmu ini. Aku
sudah tidak ingin berlarut-larut pada duniamu, Netherlands. Aku ingin berhenti. Aku ingin kamu
pergi dari tempatku. Dari sini."
"Pergi? Apa kamu gila, Pertiwi? Hier is waar ik tot behoren, dame. Lihatlah aku disini,
mampu mengoptimalkan potensi anak-anakmu yang lemah ini!"
"Dengan menyakiti mereka? Dengan mengadu domba mereka. Aku tidak cukup bodoh
karena menyerahkan mereka padamu, Netherlands. Je bent een gekke man!"
"Dan camkan saja, anak-anakku tidak lemah. Mereka sedang bertumbuh. Semakin
dewasa. Ah, aku ingat dengan Makassar. Benar-benar kuat kan anakku satu itu? Aku semakin
heran kenapa kamu masih ngeyel mengalahkannya"
"Hou je mond, Pertiwi. Je teef! Seharusnya aku sudah mengalahkan anak-anakmu yang
menjijikkan itu. Saling menyerang saudaranya sendiri. Walgelijk!"
"Dan itu ulah siapa? Ulah kurang ajarmu, Netherlands. Ulah semena-menamu itu kotor.
Menghancurkan. Pergilah, Netherlands. Jangan pernah menapakkan lagi di bumi Pertiwiku ini."
Netherlands toh tak pernah menghiraukan Pertiwi. Hanya dianggap angin lalu
menurutnya. Netherlands malah semakin berulah. Membuat kekacauan disana-sini.
Pertiwi mulai menyadari, jika putra-putranya berjuang sendiri-sendiri, Netherlands tak
akan bisa pergi. Anak-anak Nusantara mulai bergegas, mereka membuat perkumpulan. Mereka
bersatu. Mereka bermusyawarah. Dengan pikir-pikir mereka yang cemerlang itu, mereka mampu
menciptakan keputusan-keputusan krusial demi kelangsungan hidup Ibunya. Pertiwi.
Mereka mampu memukul mundur sebagian besar pasukan Netherlands di Nusantara.
Mereka juga mampu memudarkan sebagian besar pengaruh Netherlands di Nusantara. Mereka
mulai yakin bahwa mereka mampu hidup sendiri. Hanya pada naungan ibu Pertiwi.
Pertiwi sadar dari renungannya saat tangan dingin Netherlands menyentuhnya sekilas.
"Apakah kamu baik-baik saja, Pertiwi? Selama ini? Tanpa aku?"cecar Netherlands.
"Seperti yang bisa kamu lihat, Netherlands. Het gaat prima met mij."balas Pertiwi dengan
senyum ramah.
Setelah Pertiwi pikir-pikir, apa yang terjadi saat ini di negaranya hampir sama dengan
kejadian berabad-abad lalu saat Netherlands menjajahnya. Bedanya, apa yang terjadi saat ini
sangat tak kasat mata, cepat. Dijajah oleh makhluk yang mampu beralibi tanpa pernah diketahui
maksudnya yang sejati.
Pertiwi mulai dirundung sesal. Pikirnya kalut. Hatinya risau. Ia takut akan terjadi apa-apa
pada putra-putranya, pada Nusantara.
"Lihatlah disana, Pertiwi. Betapa setelah sekian lama, mereka masih terpesona akan
kecantikanmu. Mereka masih ingin memilikimu, Pertiwi."bisik Netherlands sambil matanya
memicing pada segerombol orang di pojok ruangan. Nippon, Spayol, Portugis dan Inggris. Ah,
teman-teman lamanya itu. Teman-teman yang datang silih berganti setelah Netherlands pergi.
Mereka yang datang sebagai teman. Lalu berperan sebagai sahabat. Tak disadari bahwa
mereka adalah musuh. Mereka saling bersekutu untuk menjajah. Menjadikan Pertiwi sebagai
bonekanya. Mereka berlaku seolah dalang, bebas menjalankan alur yang mereka inginkan.
Tetapi, anak-anak Nusantaranya memang hebat. Walaupun jiwanya hancur disiksa,
raganya remuk ditempa, mereka tidak pernah menyerah. Mereka berjuang sekuat tenaga untuk
mengusir para Sekutu. Tumpah darah mereka, peluh keringat mereka, kobaran semangat mereka,
menghiasi segala lara yang terjadi di Nusantara. Merdeka atau mati!
Yang paling membekas di ingatannya adalah Nippon. Saudara se-Asianya itu datang
sebagai penawar luka bagi Pertiwi. Pelipur lara, pikirnya dulu. Dengan latar belakang tempat
yang sama, darah Asia di nadi yang sama. Bukankah darah lebih kental daripada air, yakinnya.
Dengan janji yang Nippon berikan, Nippon pemimpin Asia, Nippon cahaya Asia, Nippon
pelindung Asia, Pertiwi percaya. Percaya bahwa Nippon mampu menuntunnya kepada
kemerdekaan hakiki yang Pertiwi dambakan. Pertiwi benar-benar berharap banyak pada Nippon.
Tetapi benar kata orang, jika berharap banyak, juga harus siap jatuh banyak. Kali ini,
Nippon tidak hanya membuatnya jatuh, tetapi terpelosok dan terkungkung di kedalaman yang tak
dapat ia ukur. Yang Pertiwi tahu, itu gelap dan dingin.
Nippon tak banyak berbasa basi seperti Netherlands. Setelah Nippon mampu memikat
Pertiwi hingga akarnya, ia langsung mendepaknya, mengalihkan kuasanya pada anak-anak
Nusantara.
Tak disangkanya, Nippon memang sedang gencar-gencarnya memplokamirkan kuasa dan
pengaruhnya di seantera dunia. Dimulai dari negara-negara sekitarnya. Nippon sedang berperang
adidaya dengan negara negara adikuasa macam Jerman atau Rusia. Entah kenapa keserakahan
Nippon begitu menguar hanya karena sedikit paham tetapi begitu kuat tertanam. Percayanya
bahwa ia adalah Sang Arya, memiliki kedudukan paling tinggi diantara yang lain, bahwa ia
adalah pemilik derajat paling unggul diantara yang lain.
Pertiwi melemah lagi. Mereka yang disangkanya bantuan malah menusuknya dari
belakang. Ia tak sanggup melihat korban-korban makin bertebaran di tanah air. Melihat para
pejuang romusha bergeletakan silih berganti, ambruk dengan badan kurus kering dan wajah
lelah. Para pemudanya dipaksa berlatih pedang dan senapan demi menjadi seinendan, keibodan,
fujinkai maupun suishintai.
Nippon juga memaksanya untuk menghormati benderanya lebih dari apapun,
memaksanya untuk berhenti sejenak meresapi lagu kebangsaanya, mengabdi pada kaisarnya,
membuat Pertiwi benci. Pertiwi benci untuk tunduk, Pertiwi benci menjadi pasrah.
Rasa benci itu semakin menjadi-jadi. Rasa benci berubah menjadi marah. Rasa marah
berubah menjadi semangat. Semangat membara untuk melepaskan diri dari sakit hati penjajahan
diri. Kali ini, Pertiwi takkan membiarkan ini berlarut-larut sehingga tak akan semakin banyak
korban berjatuhan.
Semangat Pertiwi untuk melepaskan diri didukung dengan keyakinan yang sama rakyat-
rakyat Nusantara. Mereka yakin, tak ada yang sia-sia dari sebuah perjuangan. Walau itu
melewati perjalanan yang sulit, pada akhirnya hasil tak akan menghianati pengorbanan.
Para pemuda melakukan negoisasi dengan pihak Nippon, mereka beralibi ingin
membantu pemerintahan mereka disini padahal mereka ingin memisahkan diri.
Seakan alam mendukung perjuangan Pertiwi, pada akhirnya Nippon melemah. Nippon
kocar kacir. Pertiwi sangat ingat hari itu, 14 Agustus 1945, Nippon sibuk dengan teleponnya
yang berdering semenit sekali. Wajahnya terlihat murung dan khawatir.
"Tawagoto, Amerika. Anata wa watashi no kuni ni nan o shite imasu ka?"jerit Nippon
kala itu.
Tak berapa lama setelah itu, Pertiwi mendengar kabar bahwa putra Nippon, Hiroshima
dan Nagasaki telah diluluhlantakkan oleh Amerika. Apakah sudah usai Nippon kali ini?
Batinnya.
Tidak terduga, rakyatnya pun tak kalah sigap. Secepat kabar itu beredar, secepat itu pula
gagasan memplokamirkan kemerdekaan disuarakan. Banyak perbedaan, banyak pendapat, tetapi
atas mufakat atas berbagai golongan akhirnya Nusantara memutuskan untuk merdeka. Akhirnya.
Pertiwi bisa bernapas lega karena pada akhirnya ia bisa hidup secara mandiri tanpa harus
didalangi siapapun.
Dalam waktu satu hari, para pemimpin bangsa mampu mempersiakan kemerdekaan itu
bagi Pertiwi. Meskipun banyak perbedaan, ada beberapa rintangan, kesalah pahaman, bahkan
beberapa tindakan ekstrem yang semata dilakukan demi kebebasan. Maka akhirnya, pada tanggal
17 Agustus 1945 Pertiwi memproklamasikan kemeedekaannya.
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan secara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya
Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama bangsa Indonesia,
Sukarno-Hatta

Pertiwi sangat bahagia hari itu, cita-citanya berabad-abad kebelakang sudah tercapai
dengan indah, walau itu memakan waktu yang sangat lama dan menimbulkan banyak korban
jiwa dan kerugian mental maupun materiil yang tak terhitung jumlahnya.
Banyak pengorbanan yang ia keluarkan demi mengecap rasa berdiri sendiri, kemerdekaan
hakiki. Pertiwi juga sadar bahwa mungkin saja kemerdekaan ini bukanlah akhir dari segalnya. Ini
hanyalah awal yang baru dari kesinambungan akhir yang lalu. Yang ia tahu, hari ini harus lebih
baik daripada kemarin. Yang ia tahu, ia harus berjuang puputan lebih lebih dari apapun.
Lalu dugaannya kurang lebih benar.
Setelah Nippon merelakannya pergi, Netherlands dengan segala kedok dan tipu muslihat
di dalamnya mulai datang lagi. Ia mulai mendekati Pertiwi tanpa basi basi. Netherlands datang
dengan kasar kali ini. Tidak berbasa-basi.
Netherlands datang dengan membawa banyak pasukan. Menembaki sana-sani.
Melemparkan peluru tak terhingga. Mereka merasa bahkan Netherland-lah yang paling berkuasa
kali ini.
Ia malah tak malu malu mengibarkan benderanya, bendera Netherlands, tinggi di bumi
Pertiwi. Anak-anaknya geram kali ini. Marah. Sangat marah. Mereka tak habis pikir, bisa-bisa
Netherlands berlaku seperti itu. Padahal mereka adalah negara yang merdeka. Negera yang
mampu menentukan nasibnya sendiri.
Lalu, anak-anaknya melawan.
Tak terimalah mereka akan ketidak adilan yang tidak ditegakkan. Inilah tanah air mereka.
Tanah dimana ia ditimang, dimana mereka dibesarkan. Mana terima Nusantaranya dialih
milikkan?
Terjadi pertumpahan disana-sini. Tak ragu mereka melawan demi kemerdekaan hati.
Pertiwi ingat, sangking marahnya mereka. Mereka perah berbuat nekat. Pada suatu hari di
hotel Yamato, berkibarlah bendera Belanda disana. Merah, putih, biru. Mereka geram. Salah satu
memutuskan tanpa berpikir panjang, menyobeknya. Menyobek warna biru di bawahnya sehingga
bendera nya menjadi sang saka. Merah putih.
Saat menyobeknya di atas, tanpa ia sadari, tentara Netherlands menembaknya. Doorrr.
Habislah nyawa. Demi Indonesia.
Pertiwi menyadari bahwa cinta rakyat-rakyatnya padanya tak terbendung. Mereka rela
berjuang mati-matian demi dirinya. Demi setitik harapan mengecap rasanya bebas.
Pertiwi juga menyadari, di luar sana rakyatnya juga banyak yang tergeletak sakit dan
lemah. Mereka yang telah memutuskan untuk berjuang, dengan bambu runcing di tangan.
Mereka juga lah yang menbuat Pertiwi merenung sedih. Mereka yang menjadi pengingat kepada
rakyat-rakyatnya bahwa perjuangan semua yang telah pergi, jangan sampai tak teraktualisasi.
Jangan lupa mereka telah sakit bahkan mati, demi kemerdekaan hakiki, yang bangsa ini
kehendaki.
"Merdeka atau Mati!"
"Merdeka atau Mati!"
10 November 1948.
Kala itu peristiwa terpenting yang Pertiwi ingat. Hari itu banyak sekali rakyat-rakyatnya
yang gugur pada peperangan beberapa hari ini.
Bermula pada, para kompeni itu mengultimatum rakyat Surabaya keluar dari kotanya.
Oh yang benar saja?
Mereka bercanda?
Ini adalah tempat dimana mereka dikandung badan. Tempat yang memiliki ikatan seperti
ibu dan darah dagingnya. Dimana mereke pertama kali menangis, tertawa, merasakan kali
pertama emosi-emosi manusia, mengalami setiap pertama di hidupnya. Kau pikir mereka rela?
"Kami tidak akan pernah meninggalkan Surabaya hanya karena penjajah busuk seperti
kamu"
"Kami tidak akan pernah tunduk kepada manusia-manusia penjajah seperti bangsa-
bangsa mu itu"
"Kami akn berjuang hingga titik darah pengahabisan kami, camkan!"
"Kami akan melepaskan diri, menjadi Indonesia yang mandiri"
"Merdeka!"
"Merdeka!"
"Merdeka!"
Dan mereka memutuskan untuk melawan. Selalu. Pantang Menyerah.
Beratus-ratus orang berbondong-bondong datang, membantu perlawanan rakyat
Surabaya. Para rakyat-rakyat biasa bahu membahu dengan pasukan militer membangun armada
yang solid.
Akhirnya, Surabaya-nya menang. Walaupun dengan darah-darah berceceran di bumi
Surabaya. Walaupun dengan tangisan-tangisan rakyatnya yang mencari keluarganua. Walaupun
dengan compang-camping beberapa orang merintih meminta pertolongan. Semuanya berharga
tak sia-sia, tentu saja. Akhirnya kompeni meninggalkan ranah Surabaya. Akan karena,
banyaknya orang gugur pada peristiwa kali ini, Pertiwi memutuskan bahwa 10 November inilah,
hari yang akan diperingati sebagai hari Pahlawan
Perlawanan-perlawan lalu diletuskan di masing-masing daerah. Semua berjuang sekuat
tenaga dan rela mengorbankan raga. Agar terbebas dari pengungkungan jiwa.
Pada akhirnya, semuanya membuahkan hasil. Lama kelamaan para sekutu meninggalkan
Pertiwi. Mereka menyerah dengan Pertiwi. Mereka menyerah dengan semangat rakyat-rakyat
Pertiwi.
Saat inilah, Pertiwi menyadari bahwa perjuangannya belum berakhir. Jangan terlampau
bahagia. Ada banyak hal yang harus ia perjuangkan. Setelah kompeni pergi, ia tahu bahwa
cobaan lain akan datang. Hidup akan selalu naik tarun.
Dan benar saja, pikirannya saat itu benar-benar terjadi sekarang. Kekacauan terjadi
dimana-mana. Pertengkaran meletus. Penjajahan mental menyelusup. Fitnah berkembang. Anak-
anaknya saling menjatuhkan satu sama lain.
Apakah ini akhir?
Pertiwi selalu percaya bahwa anak-anaknya akan selalu membanggakannya. Pertiwi
selalu percaya bahwa anaknya akan kembali pulang, pada jalan yang benar. Anak-anaknya
adalah kesayangannya yang memiliki hati yang baik, ia hanya tersesat sedikit.
Nusantaranya adalah negara penuh kekayaan. Gemah ripah loh jinawi, katanya. Anak-
anaknya adalah cermin dari keindahan Pertiwi. Anak-anaknya memiliki sejuta pesona yang
selalu diidam-idamkan oleh siapapun. Pertiwi berharap, anak-anaknya mampu
mempertahankannya, menjadikannya makin indah dengan sikapnya. Membuatnya makin cantik
dengan santunnya, hingga anak-anaknya menjadi indah luar dalam, raga maupun jiwa.
Pertiwi meyakini bahwa, jer basuki mawa beya, kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan
pengorbanan, maka pada saat inilah semuanya harus berjuang, rakyat-rakyatnya, pemimpinnya,
segala struktur manusia di dalam Indonesia.
Manunggaling kawula gusti, menyatunya pemimpin dengan rakyatnya. Tidak ada yang
merasa lebih tinggi. Semuanya harus menjadi lengkap. Lengkap bukan berarti harus sama.
Melengkapi seperti pada teka-teki bergambar, mengisi yang kosong. Itu bukan berarti sama kan?
Jika sama malah tidak akan menjadi sempurna.
Pertiwi tahu, anak-anaknya sangat menyayanginya. Pertiwi tahu, anak-anaknya bakal
berjuang tanpa henti membelanya. Ia tak akan tutup telinga, tutup mata. Anaknya memang
kadang nakal dan bandel. Ia juga tahu bahwa kadang anaknya lupa akan dirinya saat sibuk
bekerja. Ia juga butuh mencerna mengapa semakin lama anak-anaknya mulai bangga dengan caci
maki lalu menghakimi. Pertiwi tak menyalahkan, bantuan perkembangan teknologi dari Amerika
dan Tiongkok memang sangat membantu, walau kadang membuat anak-anaknya tak lagi bersatu.
Sudah tujuh puluh dua tahun masanya setelah Pertiwi terbebas dari belenggu, baik dari
blok Timur maupun blok Barat. Tak ia sadari, ia telah setua ini. Anak-anaknya sudah mulai
berjalan sendiri tanpa meminta bantuan darinya. Ia bangga, sangat. Teman-temannya yang dulu
mengalami penjajahan yang sama butuh waktu yang sangat lama untuk pulih, apalagi sendirian,
tetapi anak-anaknya, kesayangannya, selalu bisa untuk bangkit.
Ia berharap bahwa kedepannya nanti, Indonesia akan menjadi negara mandiri yang hebat.
Dengan keberaniannya, dukungan anak-anaknya, Indonesia akan menjadi negara maju dengan
potensi alam yang luar biasa.
Pada ulang tahunnya ini, Pertiwi hanya berharap bahwa, jangan berubah. Jangan menjadi
api yang menyulut permusuhan. Jangan menjadi air yang meluap menghancurkan keharmonisan.
Jangan menjadi apapun yang merusak, menghancurkan, meremukkan. Jadilah pelita, jadilah
cahaya yang menuntun siapapun dalam kebenaran. Agar tidak ada lagi kemungkaran, tidak ada
lagi pertikaian. Nusantaranya menjadi negara yang damai, makmur. Semoga.

Anda mungkin juga menyukai