Anda di halaman 1dari 14

Journal Reading

Role of a proprietary propolis-based product on the wait-and-see


approach in acute otitis media and in preventing evolution to
tracheitis, bronkitis, or rhinosinusitis from nonstreptococcal
pharyngitis

Oleh:
Mutia Chairani
120100123

Pembimbing:
dr. Muhammad Husni

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2017
Peran Produk Berbasis Propolis dalam Tatalaksana Konservatif pada Otitis
Media Akut dan Pencegahan Evolusi menjadi Trakeitis, Bronkitis, atau
Rhinosinusitis dari Raringitis Non-Streptokokal

Abstrak: Antipiretik dan/atau antiinflamasi bersama dengan tatalaksana


konservatif merupakan satu-satunya tatalaksana yang direkomendsikan dalam otitis
media akut (OMA) fase awal atau faringitis viral. Propolis telah diinvestigasi secara
luas untuk kandungan antibakterial, antiviral, dan antiinflamasinya dan
kemungkinan dapat digunakan sebagai terapi adjuvan selama pengobatan
konservatif pada OMA atau untuk mengendalikan gejala pada faringitis non-
streptokokal. Meskipun demikian, propolis memiliki masalah berupa solubilitas
yang jelek dan rendahnya bioavailibilitas secara oral. Kami kemudian menganalisis
bahwa produk berbasis propolis (Propolisiana) dapat mengatasi masalah tersebut
dalam sebuah uji retrospektif, open label, terhadap anak-anak yang didiagnosis
OMA atau faringitis dengan hasil pemeriksaan Streptococus piogen negatif. Hasil
penelitian menujukkan bahwa penggunaan suplemen propolis selama 72 jam dapat
mengurangi keparahan gejala OMA dan faringitis viral, mengurangi penggunaan
antipiretik dan antiinflamasi, dan menurunkan angka evolusi menjadi trakeitis,
bronkitis, dan rhinosinusitis. Penelitian menunjukkan bahwa propolis dapat
digunakan sebagai terapi adjuvan yang aman dalam OMA dan/atau faringitis viral.
Kata Kunci: infeksi pediatrik, bioavailabilitas, propolis

1
Pendahuluan
Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan masalah serius dalam
dunia medis. Oleh karena itu, strategi inovatif dikembangkan termasuk penggunaan
probiotik yang spesifik untuk menekan pertumbuhan pathogen dengan melepaskan
bacteriocin, dan penggunaan fitokemikal untuk menghambat biofilm, mengganggu
jalur signal bacterial quorum, atau sebagai agen chelating dan/atau efflux pompa
inhibitor. Pendekatan yang kurang inovatif namun sangat fragmatis, adalah
pendekatan konservatif. Pendekatan konservatif (dimana terapi antibakterial
ditunda selama 48-72 jam) telah ditetapkan sebagai pengobatan otitis media akut
(OMA) pada anak-anak, karena peningkatan resistensi bakteri oleh karena infeksi
respiratorik. Sebuah meta-analisis yang dilakukan terhadap 33 uji random yang
meliputi 5.400 anak-anak usia 6 bulan-18 tahun, menunjukkan hasil yang signifikan
namun efek yang minim terhadap penggunaan antibiotik pad OMA. Dalam uji
prospektif random double-blind terhadap 240 anak-anak usia 6 bulan-2 tahun,
didapatkan bahwa hanya beberapa yang membutuhkan antibiotik. Berdasarkan
guideline, semua kejadian OMA pada anak dibawah 2 tahun membutuhkan
pemberian antibiotik segera. Begitu juga pada kasus otalgia bilateral berat, demam,
dan eritema ekstensif dan membran timpani menonjol, atau otorea, antibiotik harus
diberikan sesegera mungkin pada anak dibawah 2 tahun. Meskipun demikian,
pendekatan konservatif seharusnya dilakukan apabila gejala di atas tidak ada,
terlebih apabila membran timpani yang menonjol tidak ada. Sayangnya, peresepan
antibiotik yang tidak sesuai indikasi sangat umum, dan berperan dalam peningkatan
patogenitas dan resistensi bakteri. Penyebabnya yang paling umum adalah
peresepan yang tidak sesuai indikasi dan ketidakyakinan diagnosis, kurangnya
pengetahuan, tekanan sosiokulturak dan ekonomi, rasa takut, dan eksektasi
orangtua.
Streptokokus grup A menyebabkan sekitar 30% kasus faringitis pada anak-
anak, dengan sisanya disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotik pada faringits
viral tidak benar, mahal, dan memicu resistensi antibiotik, selain juga menimbulkan

2
efek samping (rash, nyeri perut, diare, dan muntah), tanpa keuntungan medis.
Faringitis non-streptokokal umumnya aman namun; 1) secara tidak biasa dapat
menimbulakan gejala yang lama dan berat yang dapat mengganggu aktifitas sehari-
hari seperti makan, dan diobati dengan asetaminofen atau ibuprofen; dan 2) dapat
berkembang menjadi trakeitis, bronkitis, atau rhinosinusitis.
Propolis merupakan campuran alamiah yang lengket yang dihasilkan oleh
lebah melalui eksudat dari putik, tanaman, pohon jarum, pinus, palem, Baccharis
dracunculifolia, dan Dalbergia ecastaphyllum. Propolis mentah terdiri dari 50%
resin, 30% wax, 10% minyak esensial, 5% pollen, dan 5% berbagai campuran
organic, ternasuk flavonoid, phenylpropanoid, terpentin, stilbene, lignin, kumarin,
dan derivat prenylat, dengan >300 substansi berbeda. Komposisi tepat kimiawi
propolis bergantung pada lokasi geografis, asal botanikal, dan spesies lebah.
Komponen propolis utama, yang dipelajari aktivitas farmakologisnya, adalah
pinocembrin, pinobanskin, ester fenetil asam kafein, artepillin C, asam sinamik,
asam p-kumarin, asam kafein, asam ferulin, asam isoferulin, khrisin, galangin,
kaemferol, dan kuersetin. Sebagai konstituen utama, flavonoid berkontribusi besar
dan aktivitas farmakologis propolis. Flavonoid yang berasal dari propolis, terutama
aglycones, disamping aktivitas anibakterial, antiviral, antifungal, dan
antiinflamasinya, memiliki solubilitas yang rendah dan bioavailabilitas yang jelek.
Solubilitas dan bioavailabilitas oral dari flavonoid telah dilaporkan dapat
meningkat dengan utilisasi bentuk fitosom dan teknologi cogrinding. Kami secara
retrospektif menginvestigasi peran produk berbasis propolis dalam bentuk
campuran fitosom dan coground propolis dalam rasio 1:1 dan diberikan dalam 72
jam tatalaksana konservatif pada anak-anak dengan tanda awal OMA dan faringitis
non-streptokokal, untuk mengurangi keparahan dan durasi gejala dan kemungkinan
evolusi ke arah trakeitis, bronkitis, dan rhinosinusitis.

Metode-Material
Material
Propolis yang digunakan merupakan campuran (rasio 1:1) propolis-fitosom, yang
berasal dari propolis kompleks dalam larutan aprotic dengan fosfatidilkoline

3
dengan kadar untuk makanan, dan i-lisin proplis cogrounded. Rincian pembuatan
dideskripsikan dapal WO 2011/057686. Cmpuran ini, dengan merek Proposoma-
liscratato, diformulasikan dalam bentuk bungkusan sebagai bubuk oral larut air oleh
Procemsa (Nichelino, Turin, Italy) dan didaftarkan ke kementrian kesehatan Italia
sebagai Propolisiana oleh Omeopicenza berdasarkan ketetapan No. 269 tahun 2004
pada Juni 2014 (Notifikasi no. 70758). Suplemen propolis yang digunakan dala
studi mengandung 200 mg/bungkus. Berdasarkan spesifikasi pabrik. Produk ini
bebas dari florokuinolon, E. coli, Salmonella, Staph. aureus, dan laktosa, dan
mengandung gluten (< 20 ppm), tembaga (< 0,4 ppm), cadmium (<0,1 ppm), dan
merkuri (< 0,005 ppm) di bawah batas yang telah ditetapkan oleh hukum Eropa.

Analisis Klinis
Analisis klinis terkontrol, retrospektif, open-label, dilakukan pada 56 anak-anak (23
laki-laki dan 33 perempuan) yang diambil dari pusat kesehatan di Milan hari pada
periode September 2015 Juni 2016. Kelompok terbagi menjadi yang diberikan
propolis (28 orang) dan tidak diberikan propolis (28 orang). Analisis retrospektif
mengikuti panduan internasional dan dilakukan berdasarkan Deklarasi Helsinki dan
atas persetujuan Milan Ethics Comitte (Italy). Orangtua partisipan diinformasikan
dan menandatangani dokumen persetujuan.

Kriteria Inklusi
Anak yang diikutsertakan sebagai partisipan adalah mereka dengan diagnosis awal
OMA dan/atau faringitis viral yang bebas dari infeksi Streptokokus yang dibuktikan
dari rapid test swab tenggorokan untuk Streptokokus grup A.

Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dari studi ini adalah anak di bawah 2 tahun, imunokompromais,
telah menjalani tonsilektomi, atau memiliki indikasi untuk tonsilelktomi. Kriteria
lainnya termasuk riwayat kelainan reumatik, bronkospasme, diagnosis asma
dan/atau alergi, dan diagnosi kelainan sistemik. Anak juga dieksklusikan apabila
sedang dalam pengobatan untuk infeksi respiratorik rekuren atau dengan keadaan

4
yang dapat memicu perburukan OMA, termasuk atopi berat, imunodefisiensi
kongential atau didapat, cleft palate, rupture membran timpani kronik, abnormalitas
kraniofasial atau adenoid obstruktis, sleep apnea syndrome, atau adanya
tympanostomy tubes.

Pola Studi
Pada studi ini, semua partisipan menjalani pemeriksaan medis umum, swab faring
(Test Strep-A; Gima, Gessate, Italy), dan evaluasi membran timpani (Othoscopre
Eurolight C10; Asberg, KaWe, Germany). Apabila hasil sawab negative terhadap
strekptokokus, partisipan diberikan propolis dalam bentuk bungkus yang digunakan
setiap 6 jam selama 72 jam. Kelompok kontrol yang tidak meenrima perlakuan
dianalisis secara retrospektif. Orangtua partisipan pada kelompok kontrol diberikan
instruksi penggunaan produk, yang dapat dimakan langsung tanpa dilarutkan, atau
diminum setelah dilarutkan dalam segelas air. Orangtua diminta untuk membawa
partisipan ke klinik untuk pemeriksaan medis begitu ada tanda-tanda perburukan
gejala pada telinga dan/atau orofaring selama periode studi. Apabila dibutuhkan,
orangtua dapat menghubungi dokter sampai 1 minggu setelah uji. Apabila terjadi
perburukan OMA, dengan otalgia bilateral berat, demam yang persisten, eritema
ekstensif, dan membran timpani yang menonjol, atau otorea, diberikan antibiotik
berdasarkan guideline. Efek klinis dari produk dimonitor menggunakan visual
analog scale dengan 0 menandakan tidak ada gejala; 1, gejala ringan; 2, gejala
sedang; dan 3, gejala berat. Visual analog scale digunakan untuk panas dalam,
demam, adenomegali, eritema faring, eksudate faring, dan sekret nasal pada kasus
OMA. Visual analog scale juga digunakan untuk demam dimana 0 menandakan
tidak ada demam, 1 menandakan < 380C, 2 menandakan >380C, < 390C, dan 3
menandakan > 390C. Hasil yang diperoleh dari otoskopi dikategorikan sebagai:
membran timpani normal (skor: 0), membran timpani hiperemis ringan-sedang
(skor: 1), membran timpani hiperemis dan sedikit menonjol (skor: 2), membran
timpani menonjol jelas (skor: 3).

5
Tujuan Penelitian
Analisis dilakukan untuk mengevaluasi 1) efek klinis produk yang diberikan selama
72 jam fase konservatif setelah diagnosis OMA dan/atau faringitis non-
streptokokal, perbaikan durasi dan keparahan gejala, dan angka evolusi menjadi
trakeitis, bronkitis, atau rhinosinusitis; 2) dosisi asetaminofen dan/atau ibuprofen
yang diberikan untuk mengatasi nyeri atau demam; 3) kepatuhan, toleransi, efek
samping, dan drop-out selama pengobatan, dan 4) opini orangtua terhadap produk.

Analisis Statistik
Ekuivalensi kedua kelompok diuji oleh Fishers exact test dan uji dua arah
Wilcoxon-Mann-Whitney. Perbedan dalam derajat gejala dan penggunaan obat
diuji menggunakan uji dua arah Wilcoxon-Mann Whitney. Software statistik yang
digunakan adalah JMP 10 utnuk Mac OSX dan signifikasi statistik ditetapkan
sebesar p<0.05.

Hasil
Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi peran produk berbasi propolis
selama 72 jam fase konservatif pengobatan OMA pada anak-anak, dan pada
faringitis non-streptokokus, mengurangi durasi dan keparahan gejala dan angka
evolusi menjadi trakeitis, bronkitis, rhinosinusitis. Analisis dilakukan secara
retrospketif terhadap 56 anak yang didiagnosis OMA atau faringitis viral dengan
streptokokus negative yang diberikan produk berbasis propolis (28 orang) dan tidak
diberikan produk (28 orang). Kemudian dilakukan analisis retrospektif terhadap
gejala dan evolusi penyakit setelah 72 jam.

6
Tabel 1 Karakteristik partisipan (N=56) pada penelitian
Karakteristik Studi Kontrol
Total 28 28
Laki-laki 13 10
Usia laki-laki (tahun SD) 7,2 3,2 7,1 3,1
Perempuan 15 18
Usia perempuan (tahun SD) 7,1 2,5 6,9 3,6
Ras Italia 27 27
Ras Asia 1 1
TK 14 13
SD 9 10
SMP 3 2
Faringitis 21 24
OMA 5 2
Faringitis dan OMA 2 2

Tabel 2 Skor gejala (rata-rata SD) berdasarkan visual analog scale (0-3) pada
partisipan dengan OMA
Parameter Studi Kontrol
T=0 T=72 % T=0 T=72 %
Otalgia 1,60,3 0,40,4* 75 1,00,5 0,80,8 20
Demam 0,60,3 0,60,3 ND 0,40,4 0,40,4 ND
Hiperemis 2,00,6 1,00,3** 50 1,80,9 1,20,8 33
Bulging 1,00,8 0,50,5** 50 0,20,2 0,20,2 ND
Sekresi nasal 1,20,7 0,80,3 33 0,20,4 0,40,5 50
Ket. *p<0,01 terhadap T=0, **p<0,05 terhadap T=0
Singkatan: ND, no difference; T=0, baseline; T=72, setelah 72 jam

7
Sebagaimana pada tabel 1, anak pada kedua kelompok memiliki
karakteristik yang serupa tanpa perbedaan yang signifikan. Tabel 2 menunjukkan
keparahan gejala pada anak dengan OMA pada kelompok studi (n= 7) dan pada
kelompok kontrol (n= 4) selama fase konservatif. Otalgia eritema membran
timpani, dan membran timpani menonjol secara signifikan berkurang pada
kelompok studi. Pada kelompok kontrol, penurunan insignifikan diobservasi pada
otalgia dan eritema membran timpani tanpa tanda-tanda perbaikan gejala lainnya
yang jelas. Setelah 72 jam fase konservatif, 1 dari 7 partisipan dalam kelompok
studi dan 1 dari 7 partisipan dalam kelompok kontrol mengalami erburukan gekala
dengan otalgia bilateral persisten, demam > 390C, dan tanda-tanda membran
timpani hiperemis dan menonjol yang sanagat jelas. Mereka diberikan antibiotik
dan pada akhir pengobatan memiliki outcome positif dengan resolusi patologis dan
tanpa konsekuensi lebih lanjut (data tidak dilampirkan).

Tabel 3 Skor gejala (rata-rata SD) berdasarkan visual analog scale (0-3) pada
partisipan dengan faringitis
Parameter Studi Kontrol
T=0 T=72 % T=0 T=72 %
Panas Dalam 2,10,6 0,30,6* 88 2,20,7 0,80,8** 64
Demam 1,10,9 0,10,2* 91 1,20,7 0,50,6** 58
Adenomegali 1,10,8 0,30,5** 73 1,30,6 0,80,7** 48
Hiperemis 1,80,7 0,30,5* 83 1,61,8 0,60,5** 63
Eksudat 0,60,8 0,10,1** 83 0,50,7 0,20,2 60
Sekresi nasal 0,20,5 0,20,1 ND 0,20,5 0,30,6 50
Ket. *p<0,01 terhadap T=0, **p<0,05 terhadap T=0. 1 dari 23 partisipan
menghentikan pengobatan setelah dua dosis pertama oleh karena muntah.
Sehingga, skor pada kolom T=0 pada kelompok studi mengacu pada 23 partisipan,
sedangkan pada T=72 mengacu pada 22 partisipan
Singkatan: ND, no difference; T=0, baseline; T=72, setelah 72 jam

8
Tabel 4 Evolusi menjadi trakeitis, bronkhits, atau rhinosinusitis 72 jam setelah
diagnosis faringitis non-streptokokal
Patologi Studi (%) Kontrol (%)
Trakeitis 0/22 (0) 3/26 (11,5)
Bronkitis 0/22 (0) 1/26 (3,8)
Rhinonsinusitis 0/22 (0) 2/26 (7,7)
Lainnya* 1/22 (4,5) 0/26 (0)
Total 1/22** (4,5) 6/26 (23,1)
Ket. *infeksi Mycoplasma, **p<0,05 terhadap kelompok kontrol

Tabel 5 Penggunaan obat, aerosol dan nasal wash pada semua partisipan (dosis total
selama 72 jam)
Pengobatan Studi (n) Kontrol (n) %
Asetaminofen 8* 88 91
Ibuprofen 14* 79 82
NAC 0** 12 100
NL drop 0** 6 100
Aerosol hipertonis 0** 9 100
Nasal wash 6** 12 50
Ket. *p<0,01, *p<0,05
Singkatan: NAC, N-acetylcystein; NL, neomisin ditambah lidokain

Tabel 3 menunjukan evolusi gejala pada anank dengan faringitis non-


streptokokal. Kelompok studi (n=23) menunjukkan tendensi positif pada gejala,
dengan perbaikan signifikan pada panas dalam, demam, adenomegali, hipermeis
faring, dan eksudat dengan hanyal sekresi nasal tidak menunjkkan tanda perbaikan
yang jelas. Pada kelomok kontrol (n= 26) menunjukkan tendesi yang serupa namun
keparahan gejala kurang signifikan berkurang dibandingkan kelompok studi. Di
samping itu, durasi gejala juga lebih singkat pada kelompok studi dibandingkan
kelompok kontrol. 4 dari 23 partisipan (~18%), gejala secara keseluruhan hilang
setelah 48 jam pemberian propolis, dimana gejala pada semua partisipan pada

9
kelompok kontrol menetap setelah 48 jam. 1 dari 23 partisipan menghentikan
penggunaan propolis setelah du kali pemakaian oleh karena muntah. Sehingga pada
Tabel 3, skor pada kolom T= 0 pada kelompok studi mengacu pada 23 partisipan,
namun pada T= 72 mengacu pada 22 partisipan (Tabel 3).
22 partisipan yang tersisa kemudian dimonitor untuk kemungkinan evolusi
penyakit (Table 4). Faringitis dapat berkembang perlahan-lahan melalui saluran
respiratorius bawah menjadi trakeitis, bronkitis, atau rhinosinusitis. Tidak ada dari
22 partisipan pada kelompk studi yang berkembang menjadi kelainan respiratorus,
namun 1 partisipan dengan perburukan gejala faringitis, terbukti positif
Mycoplasma. Setelah melalui pengobatan antibiotik standard, partisipan sembuh
sempurna dari infeksi tersebut (data tidak dicantumkan). Meski demikian, beberapa
partisipan dengan faringitis non-streptokokal pada kelompok kontrol berkembang
menjadi trakeitis (3 orang), bronkitis (1 orang), dan rhinosinusitis (2 orang). Secara
keseleuruhan, 21 dari 22 partisipan pada kelompok studi dan 20 dari 26 partisipan
pada kelompok kontrol tidak mengalamai evolusi dari faringitis non-streptokokal.
Semua partisipan diresepkan obat untuk mengendalikan keparahan gejala
dan demam. Sebagaimana pada Tabel 5, selama 72 jam pengamatan, kelompok
kontrol diberikan 8 dosis asetaminofen, 14 dosis ibuprofen, dan 6 kali nasal wash.
Sebaliknya, pada kelompok studi diberikan 88 dosis asetaminofen, 82 dosis
ibuprofen, 12 dosis N-asetilsistein, 6 dosis antibiotik local ditambah anastesi
(neomisin dan lidokain), 9 dosis aerosol hipertonis, dan 12 nasal wash.

Tabel 6 Kepatuhan, toleransi, efek samping, drop-out, dan opini orangtua terhadap
produk yang digunakan pada partisipan (N=28)
C T SE DO PO
Sangat Baik 25 25 Tidak ada 0 25
Baik 0 0 Tidak ada 0 0
Menerima 1 1 Tidak ada 0 0
Tidak menerima 2 2 Mual/muntah 1 3
Ket. *akankah menggunakan produk ini lagi untuk anak anda? (Sangat baik: Ya;
Tidak menerima: Tidak)

10
Singkatana: C, kepatuhan; DO, drop-out: PO, opini oraangtua; SE, efek samping;
T, toleransi

Dari segi penerimaan terhadap pengobatan, 1 partisipan hanya


menggunakan 3 bungkus dalam 1 hari, dimana seharusnya 4 bungkus, oleh karena
kurangnya aseptabilitas terhadap produk, dan 2 partisipan memiliki masalah dalam
menggunakan produk oleh karena mual dan muntah. 1 dari 2 partisipan tersebut
mengalami drop-out pada hari pertama pengamatan. Pada akhir pengamatan, kami
meminta semua orangtua menuliskan opini mereka mengenai produk berbasis
propolis yang diberikan kepada anak mereka dan apakah mereka akan meneruskan
penggunaan produk tersebut apabaila anak mereka terkena OMA atau faringitis
non-streptokokus lagi. Respon terbanyak (25 dari 28) menyatakan bahwa mereka
sangat puas dan akan mengulanginya lagi bila dibutuhkan.

Diskusi
Analisis yang dilakukan menilai keuntungan yang mungkin dihasilkan melalui
terapi adjuvan menggunakan propolis pada anak-anak dengan OMA non-severe,
atau dengan diagnosis faringitis non-streptokokal, oleh karena kedua penyakit
tersebut tidak membutuhkan terapi antibiotik. Kami memutuskan untuk
menginvestigasi peran propolis karena propolis telah dideskripsikan secara luas
pada berbagai literatus sains memiliki aktivitas antibakterial, antiviral dan
antiinflamasi. Propolis secara umum dianggap memiliki keuntungan tanpa efek
adanya efek samping dan diterima dengan baik, terutama oleh orangtua dan dokter
yang mencari terapi komplementer dan alternatif.
Hasil analasis retrospektif dengan jelas mendemonstrasikan bahwa
penggunaan produk berbasis propolis mengurangi derajat keparahan gejala OMA
dan mengurangi durasi (pada beberapa kasus) dan keparahan gejala faringitis non-
streptokokal dan angka ejadian evolusi menjadi trakeitis, bronkitis, dan/atau
rhinosinusitis. Penggunaan propolis pada OMA dan faringits secara signifikan
mengurangi penggunaan antipiretik dan antiinflamasi pada anak-anak, yang
mengurangi risiko efek samping yang mungkin ditimbulkan terhadap hati dan

11
mukosa lambung. Pada uji yang serupa, penulis lain mendemonstrasikan efek
propolis dalam mengurangi infeksi saluran napas atas rekuren dan episode OMA
pada anak-anak.
Pada penelitina ini, produk berbasi propolis yang dikembangkan untuk
menanggulangi masalah umum yaitu solubilitas yang jelek dan bioavailabilitas oral
yang rendah dianlaisis secara retrospektif. Komponen kimiawi dan fisis propolis
yaitu polifenol, kemungkinan besar merupakn fraksi propolis yang paling penting,
solubilitas dalam air rendah dan kemudian tidak dapat larut dan menyebar ke
seluruh mukosa tenggorokan untuk menimbulkan efek lokal. Selain itu, frakis
tersebut juga menunjukkan absopsi usus yang buruk sehingga availabilitas sistemik
menjadi minimal. Untuk mengatasi kedua masalah ini, propolis yang digunakan
pada studi ini diformulasikan ebagai campuran dari dua fraksi. Pertama kali
propolis melalui proses aktivasi mekanis/kimiawi, yang dikenal dengan cogrinding,
berlawanan dengan sumbu menggunakan i-lisin sebagai karier. Propolis secara
komplit kehilangan struktur kristalin setelah cogrinding dengan i-lisin, berubah
menjadi keadaan amorfik bersama dnegan karier. Karakteristik propolis berubah
secara nyata setelah cogrinding, menghasilkan produk dengan water-dissolution
yang meningkat. Propolis kemudian disatukan dengan karier fosfolipidik yang
membuatnya semakin lipofilik sehingga dapat diemulsifikasi oleh asam empedu
dan kemudian diabsorpsi dan didistribusikan secara sistemik. Beberapa peneliti
telah mencoba metode lain untuk mengatasi masalh solubilitas dan bioavailabilitas
propolis dengan focus utama pada penggunaan lipososm dan mikroemulsi, namun
tanpa, sejauh yang kami ketahui, uji klinis terhadap efek yang mungkin ditibulkan
oleh formulasi baru tersebut.
Analisis kami memiliki beberapa keterbatasan: dilakukan terhadap
partisipan dalam jumlah kecil (terutama pada OMA), tidak dilakukan secara
blindes, dan kelompok kontrol tidak mendapatkan plasebo atau pengobatan lain.
Meski demikian, hasil pada kelompok studi dan kelompok kontrol bersifat
signifikan, menegaskan bahwa produk berbasis propolis ini dapat digunakan
sebagai terapi adjuvan jangka pendek pada anak-anak selama fase konservatif pada

12
OMA atau unutk mengendalikan gejala dan mencegah evolusi penyakit faringiis
non-streptokokal.

Penutup
FDP merupakan anggota Scientific Council of Omeopiacenza, yang
merupakan produk yang digunakan dan melaporkan tidak ada konflik dengan
penelitian ini.

13

Anda mungkin juga menyukai