Anda di halaman 1dari 23

http://www.pediatrik.com/isi03.php.

page=html&hkatagori

ABSES OTAK

Darto Saharso

Divisi Neuropediatri

Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN

Proses pernanahan yang terlokalisir diantara jaringan otak, baik disertai pembentukan
kapsul atau tidak.

PATOFISIOLOGI

Penyebab terbanyak adalah bakteri anaerobik (70%). Bakteri lain yang jadi
penyebab adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Bacteriodes fragilis.

Pada bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh Proteus sp, E coli, Group B
Streptococcus.

Abses otak dapat terjadi karena:

1. Penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan dengan otak,


misalnya infeksi telinga tengah, sinusitis paranasalis dan mastoiditis

2. Penyebaran dari fokus infeksi yang jauh secara hematogen

3. Infeksi akibat trauma tembus kepala

4. Infeksi pasca operasi kepala

Penyakit jantung bawaan sianotik dengan pirau dari kanan ke kiri (misalnya pada
Tetralogy of Fallot), terutama pada anak berusia lebih dari 2 tahun, merupakan
faktor predisposisi terjadinya abses otak

Terjadinya abses otak melalui 4 stadium, yaitu:

1. Stadium serebritis dini (hari ke 1 3)

2. Stadium serebritis lambat (hari ke 4 9)

3. Stadium pembentukan kapsul dini (hari ke 10 14)

4. Stadium pembentukan kapsul lambat (setelah hari ke 14)

GEJALA KLINIS

Tidak ada satupun gejala klinis khas untuk abses otak.

Gambaran klasik yang sering dijumpai berupa sakit kepala, panas,


defisit neurologis fokal, kejang dan gangguan kesadaran.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Anamnesis:

Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70
90%). Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%).

Pemeriksaan fisik:

Panas tidak terlalu tinggi. Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya


edema di sekitar abses. Kejang biasanya bersifat fokal. Gangguan
kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma. Apabila
dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut.
Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia.

Pemeriksaan laboratorium:
o Darah: jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit
sedikit meningkat dan laju endap darah meningkat pada 60%
kasus
o Cairan Serebro Spinal (CSS): dilakukan bila tidak ada tanda-
tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK) oleh karena
dikhawatirkan terjadi herniasi
Pemeriksaan radiologi:

CT Scan: CT scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk


memastikan diagnosis. Pada stadium awal (1 dan 2) hanya didapatkan
daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras. Pada
stadium lanjut (3 dan 4) didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin
yang menyerap kontras

DIAGNOSIS BANDING

Tumor di daerah serebropontin


Abses ekstradural
Empiema subdural

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada


stadium serebritis, abses multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis

Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan:

1. Cefotaxime 200-300 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 6


minggu atau

Kombinasi Ampicillin 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam


6 dosis + Chloramphenicol 100 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis.

2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5


mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6 jam selama 7 hari (maksimal 4 g/hari).
3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan:
a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan
0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 3 dosis atau

Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV


dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam

Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada hari


ke 5

Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi


antibiotik pada abses dan menghambat pembentukan dinding
abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis.
KOMPLIKASI

Herniasi unkal atau tonsiler karena kenaikan TIK


Ventrikulitis karena pecahnya abses di ventrikel
Perdarahan abses

PROGNOSIS

Prognosis baik bila usia muda, tidak didapatkan gangguan neurologis berat dan
tidak ada penyakit yang mendasari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Osenbach RK, Loftus CM: Diagnosis and management of brain abscess.


Neurosurg Clin N Am, 1992, Apr ; 3(2) : 403-20.

2. Saez-Liorens X: Brain abscess in children. Semin Pediatr Infect Dis 2003,


2003 ; 14 (2) : 108-14.

3. Sennaroglu L., Sozeri B: Otogenic brain abscess : review of 41 cases.


Otolaryngol Head Neck Surg 2000, Dec ; 123 (6) : 751-5.

4. Seydoux C, Francioli P: Bacterial brain abscesses : Factors influencing


mortality and sequellae. Clin Infect Dis, 1992 ; 15 (3) : 394-401.

5. Ucapan terima kasih kepada: dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan
pedoman diagnosis & terapi, Neurologi anak.

Copyright OpenUrika 2006 Inc. Design and Programmer by Hanny Wijaya

http://www.medicastore.com/penyakit/337/abses otak.html

Abses Otak
DEFINISI
Abses Otak adalah penimbunan nanah yang terlokalisasi di dalam otak.

PENYEBAB
Abses otak jarang terjadi dan bisa merupakan akibat dari:
- Penyebaran infeksi di bagian lain dari kepala (misalnya gigi, hidung atau telinga)
- Cedera kepala yang menembus ke otak
- Infeksi di bagian tubuh yang lain, yang disebarkan melalui darah.

GEJALA
Abses otak bisa menyebabkan berbagai gejala, tergantung kepada lokasinya.
Gejalanya bisa berupa sakit kepala, mual, muntah, rasa mengantuk, kejang, perubahan
kepribadian dan gejala kelainan fungsi otak lainnya.

Gejala-gejala tersebut bisa timbul dalam beberapa hari atau beberapa minggu.

Pada awalnya penderita meraskan demam dan menggigil, tetapi gejala ini bisa menghilang
ketika tubuh berhasil menangkal infeksi tersebut.

DIAGNOSA
Pemeriksaan terbaik untuk menemukan abses otak adalah CT scan atau MRI.

Biopsi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan tumor atau stroke dan untuk
menentukan organisme penyebab terjadinya abses.

PENGOBATAN
Pengobatan untuk abses otak adalah antibiotik; yang paling sering digunakan adalah
penisilin, metronidazol, nafsilin dan sefalosporin (misalnya seftizoksim).
Antibiotik biasanya dilanjutkan sampai 4-6 minggu dan pemeriksaan CT scan dan Mri
diulang setiap 2 minggu.

Jika antibiotik tidak berhasil mengatasi keadaan ini, maka dilakukan pembedahan untuk
membuang nanah.

Kadang abses menyebabkan bertambahnya tekanan dan pembengkakan di dalam otak.


Keadaan ini sangat serius dan bisa menyebabkan kerusakan otak yang menetap, sehingga
diberikan kortikosteroid dan obat lainnya (misalnya manitol) untuk mengurangi
pembengkakan otak dan mengurangi tekanan di dalam otak.

Abses Otak
Abses otak adalah kumpulan nanah yang terbungkus oleh suatu kapsul dalam
jaringan otak yang disebabkan karena infeksi bakteri atau jamur. Abses otak
biasanya akibat komplikasi dari suatu infeksi, trauma atau tindak pembedahan.
Keadaan-keadaan ini jarang terjadi, namun demikian insidens terjadinya abses
otak sangat tinggi pada penderita yang mengalami gangguan kekebalan tubuh
(seperti penderita HIV positif atau orang yang menerima transplantasi organ).

Infeksi otak awalnya berasal dari penyebaran langsung bibit penyakit dari sumber
infeksi di daerah lain yang berdekatan dengan otak (seperti infeksi pada telinga
tengah, infeksi sinus, abses pada gigi) atau melalui peredaran darah yang berasal
dari sumber infeksi di seluruh tubuh. Masuknya kuman penyakit ke dalam
jaringan otak dapat terjadi secara langsung akibat trauma lesakkan (misalnya
peluru yang menembuk otak) sehingga terjadi pembentukkan abses. Abses otak
juga dapat disebabkan karena tindakan pembedahan pada otak dan trauma di
daerah wajah.

Gejala-Gejala

Gejala yang timbul bervariasi dari seorang dengan yang lain, tergantung pada
ukuran dan lokasi abses pada otak. Lebih dari 75% penderita mengeluh sakit
kepala dan merupakan gejala utama yang paling sering dikeluhkan. Sakit kepala
yang dirasakan terpusat pada daerah abses dan rasa sakit semakin hebat dan
parah. Aspirin atau obat lainnya tidak akan menolong menyembuhkan sakit
kepala tersebut. Kuranglebih separuh dari penderita mengalami demam tetapi
tidak tinggi. Gejala-gejala lainnya adalah mual dan mintah, kaku kuduk, kejang,
gangguan kepribadian dan kelemahan otot pada salah satu sisi bagian tubuh.

Diagnosis

Gejala awal abses otak tidak jelas karena tidak spesifik. Pada beberapa kasus,
penderita yang berobat dalam keadaan distress, terus menerus sakit kepala dan
semakin parah, kejang atau defisit neurologik (misalnya otot pada salah satu sisi
bagian tubuh melemah).

Dokter harus mengumpulkan riwayat medis dan perjalanan penyakit penderita


serta keluhan-keluhan yang diderita oleh pasien. Harus diketahui kapan keluhan
pertama kali timbul, perjalanan penyakit dan apakah baru-baru ini pernah
mengalami infeksi.

Untuk mendiagnosis abses otak dilakukan pemeriksaan CT sken (computed


tomography) atau MRI sken (magnetic resonance imaging) yang secara mendetil
memperlihatkan gambaran potongan tiap inci jaringan otak. Abses terlihat
sebagai bercak/noktah pada jaringan otak. Kultur darah dan cairan tubuh lainnya
akan menemukan sumber infeksi tersebut. Jika diagnosis masih belum dapat
ditegakkan, maka sampel dari bercak/noktah tersebut diambil dengan jarum
halus yang dilakukan oleh ahli bedah saraf.

Perjalanan Penyakit

Abses otak akan memburuk dengan cepat, dan jelas terlihat sekitar 2 minggu.
Jika diagnosis telah ditegakkan, maka dokter segera mengobatinya. Terapi yang
cepat dan tepat merupakan kunci utama dalam mengatasi dan mengobati gejala
dengan cepat. Pengobatan dan tindakan lanjut dilakukan selama 2 atau beberapa
bulan.

Pencegahan

Kebanyakkan abses otak berhubungan dengan higiene mulut yang buruk, infeksi
sinus yang kompleks atau gangguan sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu,
pencegahan yang terbaik adalah menjaga dan membersihkan rongga mulut dan
gigi dengan baik serta secara teratur mengunjungi dokter gigi. Infeksi sinus
diobati dengan dekongestan dan antibiotika yang tepat. Infeksi HIV dicegah
dengan tidak melakukan hubungan seks yang tidak aman.

Ada 2 pendekatan yang dilakukan dalam terapi abses otak, yaitu :


1. Antibiotika untuk mengobati infeksi---Jika diketahui infeksi yang terjadi
disebabkan oleh bakteri yang spesifik, maka diberikan antibiotika yang
sensitif terhadap bakteri tersebut, paling tidak antibiotika berspektrum
luas untuk membunuh lebih banyak kuman penyakit. Paling sedikit
antibiotika yang diberikan selama 6 hingga 8 minggu untuk menyakinkan
bahwa infeksi telah terkontrol.
2. Aspirasi atau pembedahan untuk mengangkat jaringan abses---Jaringan
abses diangkat atau cairan nanah dialirkan keluar tergantung pada ukuran
dan lokasi abses tersebut. Jika lokasi abses mudah dicapai dan kerusakkan
saraf yang ditimbulkan tidak terlalu membahayakan maka abses diangkat
dengan tindakan pembedahan. Pada kasus lainnya, abses dialirkan keluar
baik dengan insisi (irisan) langsung atau dengan pembedahan yaitu
memasukkan jarum ke lokasi abses dan cairan nanah diaspirasi (disedot)
keluar. Jarum ditempatkan pada daerah abses oleh ahli bedah saraf
dengan bantuan neurografi stereotaktik, yaitu suatu tehnik pencitraan
radiologi untuk melihat jarum yang disuntikkan ke dalam jaringan abses
melalui suatu monitor. Keberhasilan pengobatan dilakukan dengan
menggunakan MRI sken atau CT sken untuk menilai keadaan otak dan
abses tersebut. Antikonvulsan diberikan untuk mengatasi kejang dan
penggunaanya dapat diteruskan hingga abses telah berhasil diobati.

Bila Saatnya Mencari Pertolongan Dokter?

Hubungi dokter bila mengalami sakit kepala yang kontinu dan keadaannnya
makin memburuk dalam beberapa hari atau minggu. Jika sakit kepala disertai
mual, muntah, kejang, gangguan kepribadian atau kelemahan otot, segeralah
mencari pertolongan.

Prognosis

Tanpa pengobatan yang adekuat, abses otak berakibatkan fatal. Saat ini, dengan
pemeriksaan diagnostik dan antibiotika yang canggih, banyak penderita abses
otak terobati dengan sangat baik. Sayangnya, masalah-masalah neurologis
jangka lama sering terjadi setelah abses diangkat dan infeksi telah diobati.
Misalnya, gejala-gejala sisa yang menyangkut fungsi tubuh, perubahan
kepribadian atau kejang akibat jaringan parut atau kerusakan lain yang terbentuk
pada jaringan otak.

http://www.utmb.edu/otoref/grnds/om-comp.html
Title: Complications of Otitis Media
Source: Department of Otolaryngology, UTMB, Grand Rounds
Date: May 20, 1998
Resident Physician: Karen L. Stierman, M.D.
Faculty Physician: Jeffrey T. Vrabec, M.D.
Series Editor: Francis B. Quinn, Jr., M.D.
|Return to Grand Rounds Index|

"This material was prepared by resident physicians in partial fulfillment of educational requirements
established for the Postgraduate Training Program of the UTMB Department of Otolaryngology/Head
and Neck Surgery and was not intended for clinical use in its present form. It was prepared for the
purpose of stimulating group discussion in a conference setting. No warranties, either express or
implied, are made with respect to its accuracy, completeness, or timeliness. The material does not
necessarily reflect the current or past opinions of members of the UTMB faculty and should not be
used for purposes of diagnosis or treatment without consulting appropriate literature sources and
informed professional opinion."

Introduction
A complication of otitis media is defined as a spread of infection beyond the
pneumatized area of the temporal bone and the associated mucosa. Complications can
be classified as intratemporal or intracranial. Intratemporal complications include
mastoiditis, petrositis, labyrinthitis, and facial nerve paralysis. Intracranial
complications include extradural abscess, brain abscess, subdural abscess, sigmoid
sinus thrombophlebitis, otic hydrocephalus, and meningitis. Since the introduction of
antibiotics, intracranial complications in otitis media are less common, however the
occurrence should not be underestimated due to the morbidity and mortality
associated with such occurrences.

Pathology

The pathophysiology of complications of otitis media remains somewhat of a mystery.


Due to the rarity of complications, not many systematic studies have been performed.
From studies performed thus far, five factors have been associated with the spread of
infection. These include the type and invasiveness of the organism, the antimicrobial
therapy, the host resistance, anatomic barriers, and the available drainage sites. The
production of granulation tissue that becomes obstructive to the drainage and aeration
of the bone plays an important role. In one study of the intracranial complications
occurring in thirteen years at one hospital, out of 321 patients, 87(27%) had
complications. Intratemporal and intracranial complications co-existed in almost 50%
of these patients. Any patient with an extracranial complication from otitis media
should have a neurological exam to rule out additional complications intracranially.
Most of the patients developing complications were in their twenties or early teens in
this particular study.

Most complications result from subacute or chronic infection. An exception to this


statement is the association of acute otitis media with meningitis in young children.
Impending signs of complications include persistence of infection for greater than 2
weeks, recurrence of symptoms within 2 weeks, acute exacerbation of a chronic
infection, fetid discharge during treatment, and infection with Haemophilus influenza,
type B or anaerobes. On physical exam, the physician should be suspicious of a
complication if there is fever associated with a chronic perforation, a pinna that is
displaced inferolaterally and/or edema of the posterosuperior canal wall skin, retro-
orbital pain on side of the infected ear(petrositis), vertigo and nystagmus in a patient
with an infected ear(labryrinthitis), facial paralysis on the side of an infected ear,
headache or lethargy, papilledema, meningismus, or focal neurological signs or
seizures.

Infections with Streptococcus pneumoniae,nontypable Haemophilus influenza, and


Moraxella catarrhalis are the most common causes or acute suppurative otitis media.
Haemophilus influenza type B is a major etiological agent in cases of otitis media
associated meningitis. Mastoiditis associated with suppurative otitis media is usually
associated with Bacteroides. Anaerobic organisms have been shown to play a role by
creating good environments for other more invasive organisms and by inactivating
antibiotics.

There are four main mechanisms of extension. These include: preformed pathways,
bony erosion, thrombophlebitis, and hematogenous seeding. Most complications of
otitis media are associated with chronic or subacute disease. An exception to this
statement is the case of meningitis in infants and young children following acute otitis
media resulting from preformed pathways and hematogenous seeding. Usually,
mastoiditis is the initial complication resulting from bony erosion. Petrositis is
typically seen in the presence of mastoiditis. Facial paralysis and fistula of the
labyrinth usually occur in the presence of cholesteatomas again as a result of bony
erosion. In chronic infections that reach the dura near the sigmoid sinus, thrombosis
of the sinus may occur. If this happens, intracranial hypertension, known as otitic
hydocephalus, can occur. In addition, retrograde thrombophebitis can result in a brain
abscess.

Specific conditions and treatment

Intratemporal complications

The physician must maintain a high index of suspicion in diagnosing complications of


otitis media. Treatment of intratemporal complications frequently involves
intravenous antibiotics and myringotomy in those cases with an intact tympanic
membrane. The decision whether to insert a ventilation tube depends on the findings
at the time of myringotomy. Pus in the middle ear is an indication to insert a tube. The
process of edema, osteitis, demineralization, and breakdown of bone can result in
many intratemporal complications. Once granulation tissue and osteitis occur, the
local tissue concentration of antibiotics remains low, and surgical treatment is usually
necessary.

Mastoiditis, per se, actually occurs with most infections of the middle ear. It is not
considered a complication until bone destruction occurs. Pinnae displacement
inferolaterally and edema of the posterior superior canal wall is very suggestive of
mastoiditis. However, if these clinical signs are not present, it does not rule out the
possibility of mastoiditis. One should suspect masked mastoiditis if there is persistent
pain for 2 weeks after antibiotic treatment in an ear without adequate aeration or if
there is radiographic evidence of coalescence. Mastoiditis can be present in
association with a subperiosteal abscess. Rarely, the abscess can extend into the neck
through the medial tip cells as in a Bezolds abscess. Mastoiditis is a clinical diagnosis
where the patient is usually febrile with boring pain and retroauricular swelling. If
mastoiditis is suspected, myringotomy for culture and sensitivity should be considered
and CT imaging of the mastoid should be obtained. It usually requires antibiotic
therapy for 2-3 weeks. If otorrhea remains after 2 weeks of appropriate antibiotic
therapy, the diagnosis of chronic mastoiditis and the need for surgical intervention
should be considered. Controversy exists as to whether all cases of mastoiditis require
surgical intervention.

Petrositis is a rare diagnosis. The symptoms are the same as for mastoiditis with the
addition of retroorbital pain and/or abducens paralysis. Gradenigos triad or syndrome
is the finding of CN VI paralysis, pain in the distribution of CN V, and aural drainage
- all on the same side. This is due to a petrous apex abscess. Petrositis differs from
mastoiditis in three ways: 1) the anatomy of the petrous region tends to obstruct
drainage; 2) the proximity of air cells to bone marrow in the petrous apex predisposes
to osteomyelitis; 3) there is greater propensity for intracranial extension due to
proximity and propensity for obstruction. Radical mastoidectomy extending toward
the petrous apex by following the pneumatized tracts is usually sufficient to resolve
the infection.

Labrynthitis denotes inflammation of the epithelial contents of the otic capsule.


Labrynthitis is usually viral induced and not fatal. However, if the labrynthitis is
suppurative and due to middle ear bacterial infection, meningitis can follow. Viral
infections characteristically involve the endolymphatic system, whereas bacterial
infection initially affect the perilymphatic spaces. The symptoms are usually severe
vertigo, nystagmus and hearing loss. A call to see a patient with peripheral vertigo,
nystagmus, and a sudden sensorineural hearing loss is a true emergency until it is
established that the middle ear is normal. A contrast enhanced MRI can be obtained to
image the labyrinthine system. Treatment is based on clearing the middle ear infection
with antibiotics and myringotomy.

Facial palsy can present as a complication of acute suppurative otitis media, otitis
media with effusion, chronic otitis media, and mastoiditis, and is possibly a result of
the inflammatory response within the fallopian canal to the infection. Facial nerve
paralysis associated with otitis media most commonly affects the tympanic and upper
mastoid segments. The possibility of reactivation of latent viral infection near the
geniculate ganglion also exists. In the case of acute otitis media with facial nerve
paralysis, the lesion is often not destructive. However, in subacute or chronic otitis
media, the lesion is more often destructive and associated with a cholesteatoma. In
one study by Kangsanarak, et al, eighty percent of patients with complications from
chronic otitis media were associated with cholesteatoma. Cholesteatoma is most
commonly associated with infection with Psuedomonas aeruginosa, Bacteroides spp
and anaerobic Streptococcus.. Treatment involves a mastoidectomy with antibiotic
treatment. CT of the temporal bone and nerve tests such as the NET, maximum NET,
ENOG, and EMG are useful in outlining the lesion and for prognosis. Treatment of
facial nerve paralysis is usually aimed at resolving the middle ear infection. However,
in the case of a complete paralysis in the presence of chronic otitis media, facial nerve
decompression may be necessary to debride the infection from the nerve.

Intracranial complications

Since the introduction of antibiotic therapy, the percentage of deaths attributed to


intracranial complications from otitic disease has decreased. However, the clinician
must maintain a high index of suspicion because of the mortality associated with the
complications. Early diagnosis is the key. The most common early symptoms of
intracranial complications in one study were increased otorrhea, fever, headache, and
cholesteatoma or granulation tissue which was visible. Symptoms which occur later
are altered mental status, cranial nerve palsies, cerebellar findings, and nuchal rigidity.
In the preantibiotic era, standard treatment for any intracranial complication was
radical mastoidectomy, even in the ear without cholesteatoma. Today however,
therapy is targeted at the specific condition suspected. Meningitis is the most common
intracranial complication followed by brain abscess and then sigmoid sinus
thrombosis. One study showed the predominant organisms involved with intracranial
complications to be P. mirabilis, P. aeurginosa, and Staphlococcus.

Meningitis is usually associated with headache, fever, nuchal rigidity, and abnormal
reflexes(Kernigs or Brudzinskis sign). The majority of cases are in children and
occur by hematogenous dissemination of infection with invasive organisms such as
H. influenzae type B. However, one study looked at the temporal bones of children
who died of meningitis following otitis media compared with controls of children who
just had otitis media and found that the round window, cochlear aqueduct and the
modiolus showed chronic inflammation. This suggests that these structures may serve
at ports for infection in children. Children with middle ear malformations are at a
particularly higher risk for meningitis due to unusual connections between the CSF
system and the middle ear space. Meningitis can also occur(although more rarely) in
adults following otologic surgery, after chronic otitis media, and after a cholesteatoma
forms. Diagnosis can be made by analysis of the CSF from a lumbar puncture. A CT
scan should be done prior to the puncture to rule out increased intracranial pressure or
other pathology. Treatment of meningitis from acute otitis media requires intravenous
antibiotics and myringotomy . Classically, ampicillin plus chloramphenicol has been
the antibiotic of choice. However, more recently cephalosporins have become the
drug of choice. Patients infected with aggressive organisms with menigitis from acute
otitis media may suffer neurological sequela such as mental retardation or deafness,
despite antibiotic treatment. This is suspected to be due to damage by inflammatory
mediators. Steroids have been shown to decrease these sequela and not interfere with
antibiotic treatment. Treatment of meningitis from an otitic source is initially
antibiotics and myringotomy. In cases of subacute or chronic infection debridement of
the mastoid may be necessary.

Extradural granulation tissue, epidural, perisinus, or subdural abscess are difficult


diagnoses. Clinically focal neurological deficits, seizures, and a rapid loss of
consciousness can occur. However, this is not always the case and headache, otalgia
with malaise may be the only suspicious symptoms. The occurrence of these are
usually associated with a cholesteatoma which erodes through structures. MRI or CT
can be used to image the lesion. Subdural abscesses are more commonly associated
with sinusitis rather than otitis media, but they can occur with otitis. Surgical
debridement is necessary and enough infected bone must be removed until healthy
dura becomes apparent. A neurosurgical consultation should be obtained. Some
granulation tissue attached to dura may need to be left to avoid tearing the dura and
spreading the infection to the subdural space. If subdural abscess is found, burr holes
should be placed.

Clinically with a brain abscess, the patient may lose consciousness, have a focal
neurological deficit, or have signs of increased intracranial pressure. The abscess
usually has four stages. The first stage is invasive where the patient has low grade
fever, malaise, and fatigue. The second stage is the localization phase where the
abscess is clinically quiet. This stage can last up to a couple of weeks. The third stage
is the enlargement stage where an actual abscess forms. The termination, or fourth
stage is when the abscess ruptures or causes the ventricle to rupture which usually
results in a fatal outcome. CT or MRI can be used to image the abscess. However,
repeat scans may be necessary to image the abscess depending on the stage it is in.
Streptococcus faecalis, Proteus spp, and Bacteroides fragilis are most frequently
found in brain abscesses. However, in a study of brain abscesses in 21 patients in a
Greek hospital, the most common pathogens isolated were Gram negative anaerobes
such as Bacteroides and Fusobacterlum and aerobic Streptococcus which suggests
that the causative organisms may depend on the environment you are in. Management
of a brain abscess requires surgical intervention of the infection in the ear as well as
the brain. A neurosurgical consultation should be obtained. Antibiotics given
intravenously are recommended before and after surgery. One article suggested
penicillin, an aminoglycoside, and Flagyl for 2 weeks post-operatively.

Sigmoid sinus thrombophlebitis may be completely asymptomatic or can be


associated with signs of toxemia, torticollis and septic embolization. If the thrombus
propagates far enough, it can be associated with intracranial hypertension or otic
hydrocephalus. Clinically, the patient will present with a picket fence fever pattern,
headache, lethargy, papilledema and an ear infection. Septic thrombus can propagate
to involve the cavernous sinus. If there is involvement of the cavernous sinus, signs
include bilateral orbital involvement, sever chemosis and opthalmoplegia, retinal
engorgement, and high fever. MRI with gadolinium is the imaging technique of
choice for sigmoid sinus thrombophlebitis. MRI with MRA(magnetic resonance
angiography) is also an ideal diagnostic tool. Conventional angiography requires
vessel puncture, use of IV contrast agents, and uses ionizing radiation. Therefore,
angiography is less desirable. The treatment is to surgically expose the diseased dura
and remove the excess granulation tissue. If otic hydrocephalus is present, one must
treat or monitor the intracranial hypertension. If a septic emboli is present , it may
require sigmoid sinus decompression or ligation of the internal jugular vein to avoid
further embolization of the tissue. Alternative forms of treatment include
anticoagulation therapy and IV antibiotics. However, anticoagulation is not usually
recommended as it can be associated with spreading septic emoboli or hemorrhage.

Otitis media can also be associated with otitic hydrocephalus or benign intracranial
hypertension(BIH). The pathology is unknown except when associated with sigmoid
sinus thrombosis. Symptoms include headache, lethargy, blurred vision, nausea and
vomiting, and diploplia as a result of sixth nerve palsy. The most impressive clinical
sign is bilateral papilledema. CSF analysis is usually normal except for increase
pressure intracranially. BIH usually resolves spontaneously in several months.
Surgical intervention consisting of a lumbar-peritoneal shunt is reserved for cases in
which there is evidence of decreased vision due to papilledema or disabling tinnitus
persisting for greater than one year that has failed medical management.

Complications of surgical intervention

Excessive blood loss can be an unexpected complication from mastoidectomy in


children. Brain herniation after lumbar puncture in the presence of increased
intracranial pressure should be avoided by ordering a CT scan prior to the puncture.
As in all cases of mastoidectomy, there are many adjacent structures of importance
such as the facial nerve to avoid injury to.

Summary

Complications of otitis media are much more rare today due to the presence of prompt
antibiotic treatment of otitis media. However, the morbidity and mortality rates
remain high, especially in the case of intracranial involvement. In addition, the
emergence of resistant organisms may play a role in increasing rates of complications
in the future. The signs and symptoms can be so subtle that they may make the
diagnosis difficult. Therefore, the clinician treating otitis media must always have a
high index of suspicion in order not to miss a critical diagnosis.
Bibliography

Bailey, Byron J. Head & Neck Surgery - Otolaryngology, volume two, Lippincott,
1993 1607- 1622.

Samuel, J. et al., Otogenic complications with an intact tympanic membrane,


Laryngocope, November, 1995, 1387-1390.

Sofianou, D. et al., Etiological agents and predisposing factors of intracranial


abscesses in a Greek university hospital. Infection, Mar- Apr., 1996.,vol 24, 144-6.

Kangsanarak, J., et al. Intracranial complications of suppurative otitis media:13 years


experience. The American journal of otology, vol 16. no. 1., January 1995, 104-109.

Schwaber, M. et. al., The early signs and symptoms of neurotological complications
of chronic suppurative otitis media. Laryngoscope., vol. 99, April 1989, 373-375.

Djeric, D., et al., Otitis media(silent): a potential cause of childhood meningitis.


Laryngoscope, vol 104, no. 12., Dec 1994, 1453-60.

Singh, B., et al. Radical mastoidectomy: its place in otitic intracranial complications.
Journal of laryngology & otology, vol. 107, no. 12, Dec. 1993, 1113-8.

Davison, S. et al., Use of magnetic resonance imaging and magnetic resonance


angiography in diagnosis of sigmoid sinus thrombosis, Ear, nose and throat journal.,
vol 76, no 7, July 1997, 436-41.

Neely,J. Complication of suppurative otitis media, Part I. A self instructional package,


AAO, 1978.

MAGNETIC RESONANCE SPECTROSCOPY (MRS)


MANFAAT PADA KELAINAN NEUROLOGI
DALAM MEMBEDAKAN NEOPLASMA DAN INFEKSI OTAK
Nurhayana Lubis*, Jofizal Jannis*, Jacub Pandelaki**

ABSTRACT
Magnetic resonance spectroscopy (MRS) is a non-invasive radiologic examination that is
instrumental to magnetic resonance imaging (MRI), and can depict the tissue characteristics. MRI
constitutes hydrogen-proton signals in order to depict the anatomic picture, whereas the MRS protons
use this information to determine the concentration of cerebral metabolites such as N-Acetyl aspartate
(NAA), choline (Cho), creatine (Cr), lactate (Lac), myoinositol (mI), lipids (lip), and glutamine-
glutamate (Glx) in the tissue assessed in the location or in certain areas in the spectrum by parts per
million (ppm). The clinical applications of MRS in central nervous system disorders have been widely
known.
Despite the non-specific natures, the use of MRS in the neurologic domain can be done to
support the diagnosis. More specifically, it can be used to differentiate neoplasmic cerebral lesions
from infection considering the different management for these two entities and the difficulty in the
differentiation if it is only based on MRI. Some studies have been conducted regarding the benefits of
MRS, among others: the accuracy of single voxel MRS to differentiate neoplasmic cerebral lesions
from non-neoplasmic. Several years later other studies were carried out to support the previous studies
on the differences in the two entities.
Based on the latest study, it has been detected that MRS possesses the ability to detect
metabolic changes in focal or diffuse brain lesions or neoplasmic. This essential difference is of
paramount importance considering the rising numbers of opportunistic infection due to HIV, whereas
brain biopsies are not always performed in these cases. Some studies reveal different spectroscopic
profiles between toxoplasmic encephalitis and primary central nervous system lymphoma (PCNSL) in
HIV/AIDS patients.

ABSTRAK
Magnetic resonance spectroscopy (MRS) adalah pemeriksaan radiologi noninvasif yang
merupakan bagian kelengkapan dari magnetic resonance imaging (MRI) serta dapat menggambarkan
karakteristik jaringan. MRI menggunakan sinyal proton hidrogen untuk memperlihatkan gambaran
anatomik, sedangkan proton MRS menggunakan informasi ini untuk menentukan konsentrasi metabolit
otak seperti N-Acetyl aspartate (NAA), choline (Cho), creatine (Cr), laktat (Lac), myoinositol (mI),
lipids (lip), dan glutamine-glutamate (Glx) pada jaringan yang diperiksa di lokasi atau daerah tertentu
dalam spektrum dengan satuan parts per million (ppm). Aplikasi klinis MRS terhadap kelainan SSP
secara luas telah banyak dilakukan.
Walaupun tidak spesifik, penggunaan MRS di bidang neurologi dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis. Khususnya agak lebih spesifik dapat dipakai untuk membedakan lesi otak
neoplasma dengan infeksi karena manajemen keduanya sangat berbeda, dan sering sulit dibedakan
dengan melihat gambaran magnetic resonance. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang manfaat
MRS, antara lain mengenai akurasi single voxel MRS untuk membedakan lesi otak neoplasma dengan
non neoplasma. Beberapa tahun kemudian dilakukan lagi penelitian memperkuat studi sebelumnya
tentang perbedaan antara kedua kelainan tersebut.
Berdasarkan hasil studi terbaru telah diketahui bahwa MRS mempunyai kemampuan
mendeteksi perubahan metabolik lesi otak fokal atau difus pada infeksi atau neoplasma. Perbedaan
mendasar ini menjadi penting terutama karena meningkatnya jumlah kasus infeksi oportunistik akibat
HIV sedangkan biopsi otak sering tidak dilakukan pada kasus tersebut. Beberapa penelitian
memperlihatkan gambaran spektroskopi yang berbeda antara ensefalitis toksoplasma dengan PCNSL
pada pasien HIV /AIDS.

*Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


**Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

I. MAGNETIC RESONANCE SPECTROSCOPY (MRS)


Magnetic resonance spectroscopy (MRS) adalah pemeriksaan radiologi
noninvasif yang merupakan bagian kelengkapan dari magnetic resonance imaging
(MRI) serta dapat menggambarkan karakteristik jaringan. MRS mempunyai
keterbatasan dan tidak selalu spesifik, tetapi dengan tehnik yang baik dan
dikombinasikan dengan informasi klinis serta MRI, pemeriksaan ini dapat membantu
menegakkan diagnosis secara noninvasif. Walaupun MRS tidak bisa menggantikan
biopsi, tetapi dapat membantu untuk memandu biopsi otak. Secara teoritis MRS dapat
menggambarkan hampir semua jaringan tubuh, tetapi karena struktur otak lebih
homogen maka pemeriksaan MRS pada otak lebih mudah dipelajari.1
Gambar 1. Proton MR Spectroscopy

Jaringan yang berdekatan dengan perbedaan tinggi medan magnet, seperti


pada tulang, udara, lemak dan perdarahan sukar dinilai dengan MRS.1
Penafsiran Resonansi Metabolit pada Spektroskopi
Hasil MRS tampak sebagai spektrum resonansi (puncak) yang didistribusikan
sepanjang aksis-x dengan satuan ppm. Amplitudo resonansi diukur dengan aksis-y
menggunakan suatu skala. Pada MRS otak, resonansi metabolit yang dinilai adalah N-
Acetyl aspartate (NAA), Choline (Cho), Creatine & phosphocreatine (Cr),
Myoinositol (mI), Laktat (Lac), Lipids (lip), Glutamate (Glu) seperti yang terlihat
pada tabel 1.1,2

Gambar 2. Proton MRS pada otak


normal dengan aksis-x yang
menunjukkan resonansi metabolit
dengan satuan ppm.

Tabel 1. Metabolit pada MRS1


Metabolit Lokasi spektrum Peran fisiologis
N-Acetyl aspartate (NAA) 2,02 ppm Terlihat hanya di jaringan neuronal. Penanda
untuk integritas neuronal. Menurun pada
kebanyakan kasus yang melibatkan otak.
Meningkat pada penyakit Canavan.
Choline (Cho) 3,2 ppm Terkait dengan turnover membran sel, seperti
cepatnya sel membelah atau rusak. Pada
tumor atau demielinisasi kadarnya akan
meningkat.
Creatine & 3,03 ppm & 3,94 ppm Berhubungan dengan komponen
phosphocreatine (Cr) penyimpanan energi.
Lipids 0,9-1,5 ppm Tidak terlihat pada otak normal. Tampak
pada kerusakan membran. Meningkat pada
tumor nekrotik, proses inflamasi akut.
Laktat (Lac) 1,32 ppm Tidak terlihat pada otak normal.
Menunjukkan metabolisme anaerob atau
kegagalan proses fosforilasi oksidatif seperti
pada penyakit-penyakit mitokondria, iskemia.
Myoinositol (mI) 3,56 ppm Penanda glial. Meningkat pada demensia dan
HIV ensefalopati. Tinggi pada otak bayi.
Glutamate (Glu) & 2,1 ppm & 2,4 ppm Meningkat pada ensefalopati hepatik/
Glutamine (Gln) hiperammonemia.

II. APLIKASI KLINIS MRS PADA KELAINAN NEUROLOGIS


A. Kelainan SSP secara umum
1. Multiple Sclerosis
Pada multiple sclerosis (MS), MRS dapat menunjukkan abnormalitas lesi pada
substansia alba yang pada MRI tampak normal. Hal ini bervariasi tergantung dari
bentuk penyakit apakah recurent remittent atau progressive secondary atau stadium
penyakit akut/kronik. Pada lesi awal MS menunjukkan penurunan NAA. Pada lesi
yang menyangat kontras mungkin menunjukkan peningkatan Cho dan lip, yang
menggambarkan kerusakan mielin. Pada lesi MS yang kronik NAA turun, terutama
sekali pada lesi hipointens di T1 MRI, juga peningkatan mI yang mungkin penanda
proses gliosis.1,3,4

2. Gangguan Metabolik
Penggunaan MRS untuk menilai gangguan metabolik telah dipublikasikan
secara luas terutama pada anak-anak dengan gangguan mitokondria, lisosom,
peroksisomal, dan gangguan asam amino.1,5
Gangguan mitokondria mencakup penyakit Leigh, sindrom Kearns-Sayre,
ensefalomiopati mitokondria, asidosis laktat, dan stroke like-episodes. Pada kelainan
ini terjadi glikolisis anaerob dan penumpukan laktat di otak. Pemeriksaan MRS
menunjukkan laktat pada jaringan otak yang terlihat normal dengan MRI.
Peningkatan Lac, alanine dijumpai pada penyakit Leigh yang terjadi pada anak-anak
di tahun pertama kehidupan dengan manifestasi gejala hipotonia, gangguan
psikomotor, ataksia, oftalmoplegia, ptosis dan kesulitan menelan. Penyakit berjalan
progresif hingga terjadi kegagalan pernafasan dan kematian.1,5
Gangguan lisosom meliputi keadaan seperti metachromatic leukodystrophy,
penyakit Krabbe, penyakit Niemann-Pick dan mukopolisakaridosis. Pada penyakit
Krabbe tampak penurunan NAA dan rasio Cho/NAA yang tinggi, metachromatic
leukodystrophy ditandai dengan peningkatan mI dan Lac serta penurunan NAA.
Penyakit Niemann-Pick secara klinis ditandai hepatosplenomegali, kolestasis serta
manifestasi neurologis progresif berupa penurunan kemampuan intelektual, ataksia,
seizure, hipertonia dan hiperefleksi. Pada MRI tampak daerah demielinisasi dan
gliosis serta hipoplasia korpus kalosum, dan MRS terlihat peningkatan lip, penurunan
NAA yang progresif.1,5,6
Gambar 3. Sindrom MELAS pada
MRS menunjukkan Cho, Cr, dan NAA
normal, sedikit peningkatan dari lac7

Gambar 4. Penyakit Canavan pada MRS


menunjukkan peningkatan NAA, Lac.
3. Iskemik
Pemeriksaan MRI dengan diffusion weighting merupakan tehnik pilihan pada
stroke iskemik akut. Perubahan metabolit MRS yang dapat dinilai meliputi penurunan
NAA yang terjadi beberapa hari setelah stroke, Lac meningkat pada awal fase akut (<
24 jam) dan bisa tetap tinggi setelah > 7 hari. Pada kasus global hipoksia-iskemik,
kadar NAA dan Lac di substansia grisea mungkin mempunyai nilai untuk menentukan
prognosis.1,7,8,9

Gambar 5. Gambaran MRS pada Iskemik

4. Epilepsi
Pada epilepsi lobus temporal (TLE) pernah dilakukan penelitian menggunakan
MRI resolusi tinggi dan menunjukkan sklerosis di hipokampus atau mesial temporal.
Penggunaan MRS untuk kasus TLE memperlihatkan penurunan NAA yang
menggambarkan kehilangan atau disfungsi neuron. Peningkatan Lac pada fokus
seizure menetap selama beberapa jam, dan menjadi penanda untuk aktivitas
seizure.1,10,11

Gambar 6. MRS pada pasien epilepsi lobus temporal menunjukkan penurunan NAA

5. Gangguan Neurodegeneratif
Pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan penurunan NAA bersamaan
dengan peningkatan mI. Perubahan serupa dapat juga dilihat pada demensia
frontotemporal tetapi dengan distribusi yang berbeda. Penurunan NAA juga dijumpai
pada demensia vaskular/multi-infark. Pada kasus yang berat mungkin dijumpai Lac,
dan mI yang meningkat merupakan penanda terjadinya proses gliosis.1,2,7,12,13,14

Gambar 7. MRS pada substansia alba frontal. Terlihat metabolit utama NAA,
Cho, Glx. Rasio NAA/Cr 1,15.

6. Trauma Otak
Pada trauma otak misalnya pada diffuse axonal injury (DAI), gangguan
metabolik pada MRS menunjukkan penurunan NAA. Selain penurunan NAA juga
disertai penurunan rasio NAA/Cr, peningkatan Cho dan rasio Cho/Cr karena
rusaknya mielin dan membran. Tingginya Cho juga terjadi pada awal trauma,
diperkirakan merupakan respon inflamasi. Studi MRS pada orang dewasa
menunjukkan perubahan metabolisme pada gambaran normal substansia alba dan
korelasi antara rasio NAA/Cr dengan beratnya cedera kepala. Penemuan serupa juga
dijumpai pada neonatus dan anak-anak. Rasio NAA/Cr yang rendah berhubungan
dengan keluaran yang buruk, sedangkan konsentrasi NAA dapat memperkirakan
keluaran neurologi jangka panjang.1,15,16

Gambar 8. MRS pada cedera kepala. Tampak penurunan rasio NAA/Cr.

B. Membedakan lesi otak neoplasma dan infeksi


1. Neoplasma
Tumor otak merupakan kelompok neoplasma secara biologi. Tumor-tumor ini
disebut sebagai neoplasma intrakranial, walaupun sebagian tidak berasal dari jaringan
otak seperti meningioma dan limfoma. Meskipun demikian tumor intrakranial dari
manifestasi klinis, pendekatan diagnostik, terapi awal dan prognosis berbeda
tergantung letak dan jenis tumor.17
Neoplasma intrakranial dapat berasal dari berbagai macam struktur jenis sel
yang terdapat di kranial seperti otak, meningens, kelenjar hipofisis, tulang tengkorak
dan jaringan embrional. Angka kejadian tumor otak primer di Amerika Serikat 9,5
kasus per 100 000 populasi. Lebih dari 60% tumor otak primer adalah glioma, dan
dua pertiganya secara klinis akan berkembang menjadi ganas.18
Neoplasma otak dapat dinilai secara adekuat dengan menggunakan tehnik
MRS. Resonansi magnetik memasuki jaringan otak dan menghasilkan informasi yang
dapat dihubungkan dengan luas lesi dan infiltrasi ke parenkim sekitarnya yang pada
MRI tampak normal. Kombinasi dari pemeriksaan MRI disertai MRS dapat
membantu secara akurat meningkatkan ketepatan diagnosis, walaupun tetap
membutuhkan penunjang lain untuk diagnosis akhir di samping riwayat dan
pemeriksaan klinis penderita.1,19
Dasar perubahan metabolit yang umum ditemukan pada tumor otak adalah
peningkatan Cho, Lac, lip, penurunan NAA dan Cr.3 Gambaran MRS pada astrositoma
menunjukkan peningkatan Cho, mencerminkan turnover sel yang tinggi. Rendahnya
NAA karena neuron dihancurkan oleh tumor. Penurunan NAA terjadi 40-70% dari
jaringan otak normal. Terlihatnya Lac mungkin berkaitan dengan tingginya glikolisis
sedangkan lip menandakan kerusakan dan hancurnya sel disertai nekrosis. Selain itu
juga terjadi penurunan Cr mungkin berhubungan dengan metabolisme yang terjadi.
MRS dapat digunakan untuk membedakan infeksi dari tumor, karena pada infeksi
dijumpai kadar Cho yang sangat rendah. Choline merupakan metabolit untuk penanda
tumor intrakranial yang lebih spesifik, peningkatan Cho serta rasio Cho/Cr dan
Cho/NAA dicurigai merupakan suatu neoplasma.1,7,18
Dari satu penelitian yang melibatkan 99 kasus dengan menggunakan rasio
Cho/NAA > 1 untuk kriteria neoplasma, serta rasio Cho/NAA < 1 untuk non
neoplasma didapatkan sensitifitas 79% serta spesifisitas 77%. Penelitian tersebut
berdasarkan pemeriksaan serial neurologi, laboratorium, histologis dan imajing pada
83 kasus neoplasma serta 13 kasus non neoplasma.
Beberapa penulis mendapatkan bahwa pada astrositoma, terjadi penurunan
NAA, peningkatan Cho serta rasio Cho/Cr yang mungkin berhubungan dengan
gradasi tumor menurut WHO, tetapi belum dilaporkan secara konsisten.19,20
Pada tumor ekstra aksial seperti meningioma atau metastasis menunjukkan
kadar NAA yang sangat rendah atau tidak ada, dan peningkatan Cho. Pola spektrum
pada meningioma menunjukkan peningkatan Cho, penurunan Cr serta alanine yang
membedakannya dengan tumor glial. Meskipun tidak spesifik, tetapi alanine dan
glutamine lebih dicurigai meningioma.1,21,22

Gambar 9. Seorang wanita berusia 52 tahun yang secara histologis ditegakkan


diagnosis glioma grade II. Pada MRI potongan aksial tampak lesi didaerah temporo-
parietal kanan yang sedikit menyangat setelah kontras. Pada MRS tampak
peningkatan Cho, serta Cr dan NAA yang rendah.21

2. Infeksi Oportunistik Serebral


HIV menyebabkan imunitas seluler rendah sehingga mudah terjadi infeksi
oportunistik dan tumor pada SSP. Pada pasien yang terinfeksi HIV lebih dari 90%
menunjukkan keterlibatan SSP, dengan manifestasi infeksi HIV yang secara klinis
belum jelas seperti perlambatan kognitif ringan hingga berat berupa demensia, infeksi
SSP karena parasit, jamur, bakteri, virus dan neoplasma yang tidak biasa dijumpai
pada pasien dengan imunitas baik. 17,23
Infeksi SSP karena HIV dapat terjadi bersamaan setelah infeksi akut HIV
sistemik. Pada keadaan ini, biasanya gambaran neuroimajing masih dapat normal
meskipun secara klinis sudah menunjukkan keterlibatan SSP seperti
meningoensefalitis. Gangguan kognitif ringan pada pasien HIV positif sekitar 20%.
Selanjutnya HIV menyebabkan kerusakan jaringan otak, terlihat atrofi korteks,
kelainan pada substansia grisea karena kerusakan oligodendroglial. Kelainan
spektroskopi yang tampak pada pasien HIV tanpa kelainan neurologi atau hasil MRI
normal, berupa peningkatan Cho dan mI pada hampir semua kasus infeksi HIV,
bahkan pada kasus awal yang asimtomatik. Pada pasien HIV tanpa kelainan neurologi
tidak ada perubahan NAA atau rasio NAA/Cr yang minimal, tetapi pada demensia
HIV dijumpai penurunan NAA dan rasio NAA/Cr terutama pada demensia berat.
NAA dapat digunakan sebagai suatu ukuran noninvasif tentang hilangnya neuron pada
pasien dengan HIV.1,23,24,25,26
Manifestasi klinis pasien dengan serokonversi HIV lebih dari 70% mengalami
fever-like syndrome, dan 10% memperlihatkan infeksi SSP seperti meningitis aseptik,
ensefalitis, acute disseminated encephalomyelitis, mielitis transversa, polimiositis,
dan gejala-gejala sindrom kauda equina. Selama fase asimtomatik dari infeksi HIV,
secara klinis tidak terlihat tanda imunosupresi, juga tidak tampak gejala dan tanda
keterlibatan terhadap SSP ataupun sistim saraf perifer. Sebelum era antiretroviral lebih
dari 5% demensia HIV dijumpai pada pasien berusia di bawah 50 tahun dengan
gangguan kognitif. Pada pasien stroke usia muda juga harus dipertimbangkan
kemungkinan infeksi HIV yang berhubungan dengan vaskulitis selain trombosis
dengan cara memeriksa antibodi antikardiolipin dan lupus antikoagulan.27
Infeksi oportunistik pada SSP merupakan komplikasi lanjut yang dijumpai
pada imunodefisiensi pasien infeksi HIV. Kelainan neurologi sebagai manifestasi awal
pasien acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) ini terjadi pada 10-20%.
Kelainan infeksi HIV pada SSP yang sering dijumpai adalah: toksoplasma ensefalitis
(TE), meningitis kriptokokus, ensefalitis sitomegalovirus, dan selain itu ditemukan
juga progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) serta primary central
nervous system lymphoma (PCNSL).28
Lesi massa pada pasien HIV/AIDS yang sering dijumpai adalah toksoplasma
ensefalitis. Frekuensi TE pada pasien seropositif HIV bervariasi antara seperempat
hingga setengah kasus tanpa pencegahan sebelumnya. Manifestasi klinis tersering
yang dijumpai pada pasien HIV positif dengan TE adalah nyeri kepala, confusion,
demam, letargi dan seizure. Dfisit fokal neurologis ditemukan pada 50-60% kasus.28
Pada beberapa studi pasien dengan HIV positif disertai gangguan kognitif
memperlihatkan penurunan NAA, peningkatan Cho dan mI sebagai pertanda beratnya
demensia. Rendahnya NAA diduga berhubungan dengan hitung CD4 dan berat
kerusakan. Peningkatan Cho dan mI diduga melibatkan lesi di basal ganglia dan
substansia alba dibandingkan lesi di korteks, pada hampir semua kasus pasien yang
terinfeksi HIV.1,29,30
Pada ensefalitis toksoplasma terlihat resonansi lipid-laktat tanpa metabolit
lain, sedangkan pada tumor padat seperti limfoma menunjukkan peningkatan Cho.
Pada PML terlihat peningkatan Cho/Cr dan mI/Cr serta penurunan NAA/Cr.
Bagaimanapun juga gambaran pola abnormal yang tidak spesifik dari rasio metabolit
dapat juga ditemukan pada penyakit lain.17,31 Mungkin terdapat keadaan tumpang-
tindih pola spektrum antara toksoplasmosis dan PCNSL. Pada PCNSL dijumpai
peningkatan Cho yang sangat tinggi kadang-kadang disertai peningkatan dari lip, Lac
dan penurunan NAA, Cr dan mI. Akurasi diagnostik MRS mendekati 75%.1,23,32,33
Pada PML dijumpai peningkatan Cho, rasio Cho/Cr, mI dan rasio mI/Cr, serta
penurunan NAA, rasio NAA/Cr. Peningkatan kadar Cho yang diamati pada PML dan
PCNSL dibedakan dengan terlihatnya peningkatan mI yang menunjukkan
kecenderungan PML. Akurasi diagnostik PML mendekati 83%.1,31,34

3. Abses Otak
Penggunaan MRS pada abses secara noninvasif biasanya digunakan untuk
membedakan antara abses otak dengan lesi kistik lain seperti tumor yang nekrosis.
Pada MRS tidak tampak metabolit normal di bagian pusat kistik abses yang tidak
diterapi, dan resonansi metabolit adalah asetat (1,9 ppm), laktat (1,3 ppm), piruvat dan
suksinat (2,4 ppm) yang merupakan hasil akhir metabolisme kuman. Asam amino lain
seperti valine, leusin dan isoleusin (0,9 ppm) merupakan hasil akhir enzim proteolitik,
alanine (1,5 ppm), dan lip (0,9-1,3 ppm).1,35,36

Gambar 14. Abses otak piogenik. MRS menunjukkan glycine (Gly) di 3,56
ppm; succinate di 2,4 ppm; acetate (A) di 1,92 ppm; alanine (Al) di 1,5 ppm;
lipid-Lac di 1,3 ppm; leucine, isoleucine dan valine (AA) di 0,9 ppm.

III. KESIMPULAN
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) merupakan pemeriksaan noninvasif
untuk menunjang diagnosis penyakit-penyakit di Susunan Saraf Pusat (SSP) seperti
stroke, trauma kepala, multiple sclerosis juga penyakit Alzheimer. Selain itu dapat
juga digunakan untuk menilai kelainan metabolik yang mempengaruhi SSP. Penilaian
hasil MRS dilihat berdasarkan penafsiran resonansi metabolit pada gambaran
spektroskopi yang timbul. Adapun resonansi metabolit utama yang dinilai adalah
NAA, Cho, Lac, lip. Khususnya pemeriksaan MRS ini dapat membedakan antara lesi
neoplasma dan non neoplasma (infeksi) karena gambaran ini hampir serupa pada CT
dan MRI.
Perbedaan neoplasma dan infeksi pada MRS dilakukan dengan menilai
metabolit tersebut. Pemeriksaan MRS pada neoplasma umumnya tampak penurunan
NAA, Cr, rasio NAA/Cr, peningkatan Cho, rasio Cho/Cr, Cho/NAA. Sedangkan pada
infeksi, terlihat perubahan pada Lac, lip yang meningkat dibandingkan metabolit lain,
juga dijumpai mI, Glx disertai penurunan NAA.
Walaupun demikian MRS ini tidak spesifik, jadi belum mampu untuk
menggantikan pemeriksaan histopatologis dari biopsi. Tetapi menjadi sangat penting
karena gambaran yang berbeda secara spektroskopi dapat mengarahkan rencana
manajemen penderita dan menuntun untuk melakukan biopsi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gujar SK, Maheshwari S, Bjorkman-Burtscher I, Sundgren PC. Magnetic
Resonance Spectroscopy. J Neuro-Ophtalmol 2005;25:217-26.
2. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.5-14.
3. Huang W, Christodoulou C, Chen D, Tudorica A, Roche P, Scherl W, et al.
1H MRS and Volumetric MRI Studies of Multiple Sclerosis: Correlations
between Brain Metabolic Levels, Brain Atrophy, and Cognitive Functions.
Proc. Intl. Soc. Mag. Reson. Med 2001;9: 234-239.
4. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.96-106.
5. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.40-7.
6. Kruse B, Hanefeld F, Christen HJ. Alterations of brain metabolites in
metachromatic leucodystrophy as detected by localized proton magnetic
resonance spectroscopy in vivo. J Neurol 1993;241:68-74.
7. Castillo M, Kwock L, MukherjinSK. Clinical Applications of Proton MR
Spectroscopy. AJNR 1996;17:1-15.
8. Barker PB. Fundamentals of MR Spectroscopy. In: Gillard JH, Waldman
AD, Parker PB, eds. Clinical MR neuroimaging: diffusion, perfusion, and
spectroscopy. Capetown: Cambridge University Press;2005:1-17.
9. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.60-6.
10. Castillo M, Smith JK, Kwock L. Proton MR spectroscopy in patients with
acute temporal lobe seizures. AJNR Am J Neuroradiol 2001;22:152-7.
11. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.80-9.
12. Rudkin TM, Arnold DL. Proton Magnetic Resonance Spectroscopy for the
Diagnosis and Management of Cerebral Disorders. Archieves of
Neurology; Aug 1999;56,8;AMA Titles.p.919-26.
13. Valenzuela MJ, Sachdev P. Magnetic resonance spectroscopy in AD.
NEUROLOGY 2001;56:592-98.
14. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.25.
15. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.176-77.
16. Holshouser BA, Ashwal S, Luh GY. Proton MR spectroscopy after acute
central nervous system injury: outcome prediction in neonates, infants, and
children. Radiology 1997;202:487-96.
17. DeAngelis LM. Brain Tumors. N Engl Med, Vol.344, No.2. January 2001.
Available at www.nejm.org
18. Butzen J, Prost R, Chetty V, Donahue K, Neppl R, Bowen W, et al.
Discrimination between Neoplastic and Nonneoplastic Brain Lesions by
Use of Proton MR Spectroscopy: The Limits of Accuracy with a Logistic
Regression Model. August 2000. AJNR Am J Neuroradiol 21:1213-19.
19. Moller-Hartmann W, Herminghaus S, Krings T, et al. Clinical application
of proton magnetic resonance spectroscopy in the diagnosis of intracranial
mass lesions. Neuroradiology 2002;44:371-81.
20. Herminghaus S, Dierks T, Pilatus U, et al. Determination of
histopathological tumor grade in neuroepithelial brain tumors by using
spectral pattern analysis of in vivo spectroscopic data. J Neurosurg
2003;98:74-81.
21. Law M. MR Spectroscopy of Brain Tumors. Top Magn Reson Imaging
2004;15:291-313.
22. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004.p.130-42.
23. Chang L, Ernst T. MR spectroscopy and diffusion-weighted MR imaging
in focal brain lesions in AIDS. Neuroimaging Clin N Am 1997;7:409-29.
24. Wilkinson ID, Miller RF, Miszkiel KA, Paley MNJ, Hall-Craggs MA,
Baldeweg T,et al. Cerebral proton magnetic resonance spectroscopy in
asymptomatic HIV infection. AIDS 1997,11:289-95.
25. Laubebberger J, Haussinger D, Bayer S, et al. HIV-related metabolic
abnormalities in the brain: depiction with proton MR spectroscopy with
short echo times. Radiology 1996;199:805-10.
26. Meyerhoff DJ, Bloomer C, Cardenas V, et al. Elevated subcortical choline
metabolites cognitively and clinically asymptomatic patients in HIV +
patients. Neurology 1999;52:995-1003.
27. Manji H, Miller R. The Neurology of HIV Infection. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2004;75:i29-i35.
28. Mamidi A, DeSimone JA, Pomerantz RJ. Central nervous system
infections in individuals with HIV-1 infection. Journal of NeuroVirology
2002,8:158-67.
29. Simone IL, Frederico F, Tortorella C, Andreula CF, Zimatore GB, Giannini
P, et al. Localised 1H-MR Spectroscopy for metabolic characterization of
diffuse and focal brain lesions in patients infected with HIV. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 1998;64:516-23.
30. McArthur JC, Brew BJ, Nath A.Neurological complications of HIV
infection. Lancet Neurol 2005;4:543-55.
31. Chang L, Cornford ME, Chiang FL, Ernst TM, Sun NCJ, Miller B.
Radiologic-Pathologic Correlation Cerebral Toxoplasmosis and
Lymphoma in AIDS. September 1995. AJNR 16:1653-63.
32. Chinn RJ, Wilkinson ID, Hall-Craggs MA, et al. Toxoplasmosis and
primary central nervous system in HIV infection: diagnosis with MR
spectroscopy. Radiology 1995;197:649-54.
33. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004.p.122-25.
34. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.125-26.
35. Burtscher IM, Holtas S. In Vivo Proton MR Spectroscopy of Untreated
and Treated Brain Abscesses. AJNR Am J Neuroradiol 1999;20:1049-53
36. Brandao LA, Domingues RC. MR Spectroscopy of the Brain.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.110-11.

Anda mungkin juga menyukai