Anda di halaman 1dari 6

Senin 18 September 2017, 16:57 WIB

Ombudsman Telaah Rencana Tarif Isi Ulang e-Money


Azzahra Nabilla - detikNews

Jakarta - Ombudsman akan menelaah rencana tarif top up e-money. Hal itu menyikapi laporan dari
pengacara David Tobing terhadap Bank Indonesia ke Ombudsman siang ini.

Tidak hanya memberi laporan terkait isu tersebut, Ombudsman juga sempat berdiskusi cukup lama
dengan David dan pegawai Ombudsman lain.

"Jadi Pak David melaporkan dugaan maladimistrasi Bank Indonesia atas kebijakan top up ini. Dari
diskusi itu dapat beberapa poin yang bisa menjadi tuntutan ini kenapa top up ini dikenai biaya. Lalu
kemudian kenapa biaya ini dibebankan ke konsumen. Saya menjelaskan Ombudsman sudah masuk
ke menelaah undang-undang itu," kata Komisioner Ombudsman Bidang Ekonomi Dadan S
Suharmawijaya di kantor Ombudsman, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Senin (18/9/2017).

Dadan mengatakan laporan David merupakan laporan pertama tentang isu kebijakan penambahan
biaya isi ulang (top up) e-money yang diterima Ombudsman.

"Kalau yang melapor baru Pak David. Cuma ini sudah menjadi isu, sudah banyak di media sosial. Tapi
Ombudsman masih menelaah. Kalau menelaah gitu ya ujungnya on motion investigation (OMI). Tapi
kebetulan ini ada laporan Pak David jadi bisa disambungkan," ujar Dadan.

Laporan yang diterima Ombudsman ini nantinya akan diproses sebagaimana prosedur yang berlaku.
Pertama adalah verifikasi dengan waktu maksimal 14 hari atas laporan. Setelah itu, Ombudsman
akan memanggil pihak Bank Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan David.

"Selain itu, Ombudsman akan meminta kepada pelapor untuk melengkapi data dalam waktu
maksimal 30 hari. Hasil akhir akan dibahas dalam rapat pleno yang digelar setiap hari Senin," ujar
Dadan.
(asp/ang)

Selasa 06 Jun 2017, 14:45 WIB


Isi Ulang e-Money Kena Biaya, Setuju atau Tidak?
Angga Aliya ZRF detikFinance

Jakarta - Sejumlah bank penerbit kartu uang elektronik sudah memiliki kajian jumlah ideal untuk
biaya isi ulang. Untuk sosialisasi ke pengguna, bank masih menunggu aturan Bank Indonesia (BI).

Beberapa bank sudah mengusulkan dan membicarakan berapa besaran biaya yang akan dikenakan
tersebut. Kisarannya, mulai Rp 1.500 sampai Rp 3.000 sekali isi ulang alias top-up.

Alasan diterapkannya fee saat ini ulang ini adalah supaya perbankan bisa memberikan layanan yang
terbaik kepada nasabahnya. Biaya ini juga yang akan digunakan perbankan untuk menyediakan
sarana dan prasana isi ulang.
Namun, kajian BI terkait biaya untuk top-up e-money ini dinilai akan memberatkan pengguna di
sektor transportasi, khususnya masyarakat kecil.

Sementara para nasabah kelas menengah dan menengah atas tidak akan terasa terbebani karena
biasanya melakukan isi ulang alias top-up lebih banyak.

Lantas, setujukah Anda dengan aturan yang sedang digodok bank sentral ini? Atau Anda keberatan?
Atau tidak peduli?

Senin 18 September 2017, 16:57 WIB


Ombudsman Telaah Rencana Tarif Isi Ulang e-Money
Azzahra Nabilla - detikNews
Jakarta - Ombudsman akan menelaah rencana tarif top up e-money. Hal itu menyikapi laporan dari
pengacara David Tobing terhadap Bank Indonesia ke Ombudsman siang ini.

Tidak hanya memberi laporan terkait isu tersebut, Ombudsman juga sempat berdiskusi cukup lama
dengan David dan pegawai Ombudsman lain.

"Jadi Pak David melaporkan dugaan maladimistrasi Bank Indonesia atas kebijakan top up ini. Dari
diskusi itu dapat beberapa poin yang bisa menjadi tuntutan ini kenapa top up ini dikenai biaya. Lalu
kemudian kenapa biaya ini dibebankan ke konsumen. Saya menjelaskan Ombudsman sudah masuk
ke menelaah undang-undang itu," kata Komisioner Ombudsman Bidang Ekonomi Dadan S
Suharmawijaya di kantor Ombudsman, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Senin (18/9/2017).

Dadan mengatakan laporan David merupakan laporan pertama tentang isu kebijakan penambahan
biaya isi ulang (top up) e-money yang diterima Ombudsman.

"Kalau yang melapor baru Pak David. Cuma ini sudah menjadi isu, sudah banyak di media sosial. Tapi
Ombudsman masih menelaah. Kalau menelaah gitu ya ujungnya on motion investigation (OMI). Tapi
kebetulan ini ada laporan Pak David jadi bisa disambungkan," ujar Dadan.

Laporan yang diterima Ombudsman ini nantinya akan diproses sebagaimana prosedur yang berlaku.
Pertama adalah verifikasi dengan waktu maksimal 14 hari atas laporan. Setelah itu, Ombudsman
akan memanggil pihak Bank Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan David.

"Selain itu, Ombudsman akan meminta kepada pelapor untuk melengkapi data dalam waktu
maksimal 30 hari. Hasil akhir akan dibahas dalam rapat pleno yang digelar setiap hari Senin," ujar
Dadan.
(asp/ang)
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59eeee27121aa/menelaah-dampak-kebijakan-
transaksi-non-tunai
Selasa, 24 October 2017
Menelaah Dampak Kebijakan Transaksi Non Tunai
Lebih menguntungkan perbankan ketimbang konsumen dan kelas pekerja.
M Dani Pratama Huzaini Dibaca: 2674 Tanggapan: 0
Pemerintah melalui Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan penggunaan uang elektronik dalam
setiap transaksi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).
Sejak dikeluarkannya PBI Uang Elektronik tersebut, secara perlahan kebijakan penggunaan uang
elektronik dalam aktifitas transaksi keuangan mulai diberlakukan.

Terakhir, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakayat (PUPR) melalui Peraturan Menteri
PUPR No.16/PRT/M/2017 tentang Transaksi Tol Nontunai di Jalan Tol, dalam Pasal 6 ayat (1) A
menetapkan penerapan transaksi jalan tol non tunai atau yang dikenal dengan Gerbang Tol Otomatis
(GTO) sepenuhnya di seluruh jalan tol sejak 31 Oktober mendatang.

Peneliti Institute For Development Of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara,
mensinyalir gerakan nasional non tunai yang dalam implementasinya menggantikan transaksi tunai
dengan menggunakan uang elektronik, berikut pengunaan instrumennya yang berupa kartu hanya
akan menguntungkan segelintir pihak.

Gerakan nasional non tunai hanya menguntungkan sekelompok institusi jasa keuangan, ujar Bhima
dalam diskusi Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia mengenai Dampak Transaksi Non Tunai
terhadap Potensi Pemutusan Hubungan Kerja dan Kerugian Konsumen, Senin (23/10), di Jakarta.

Menurut Bhima, setiap tahun rata-rata pengguna uang elektronik sebanyak 18 juta dengan
menggunakan instrumen berupa kartu. Dengan menggunakan asumsi yang ada selama ini, untuk
memperoleh satu unit kartu e-Money masyarakat diharuskan membeli dengan harga Rp50 ribu.
Proporsi pembagiannya adalah Rp20 ribu masuk ke Bank dan Rp30 ribu menjadi saldo yang akan
digunakan oleh masyarakat dalam transaksinya.

18 juta rata-rata per tahun dikalikan Rp20 ribu, hasilnya Rp360 miliar per tahun masuk ke kantong
perbankan yang menerbitkan e-Money. Itu masih dari (pembelian) kartu perdana, terang Bhima.

(Baca Juga: Peraturan BI Soal e-Money Digugat ke Mahkamah Agung)

Selanjutnya, Bhima memaparkan skema penghitungan isi ulang (top up) setiap unit kartu e-Money.
Menurut Bhima, per juli 2017 terdapat 69 juta unit kartu e-Money yang beredar di masyarakat.
Dengan asumsi sebulan sekali masyarakat melakukan isi ulang kartu e-Money. Angka tersebut jika
dikalikan 12 bulan tiap tahunnya, kurang lebih Rp1,24 triliun yang masuk ke kantong jasa keuangan.

Tanpa merinci apa saja Bank yang dimaksud, Bhima menyebutkan saat ini terdapat 11 Bank yang
menerbitkan e-Money. Pemain-pemain baru yang mau masuk semua dihalangi, Tokopedia, Paytren,
Shoope, dan pemain-pemain baru gak bisa masuk ke sini, urai Bhima.
Menurut Bhima, langkah-langkah Bank Indonesia yang melindungi kepentingan pelaku-pelaku jasa
keuangan lama berdampak pada terjadinya ketimpangan ekonomi yang semakin parah. Rasio gini
stagnan di 0,39 gak berkurang dari itu, salah satunya diperparah oleh bank yang terlalu maruk
(rakus) mengambil uang dari masyarakat termasuk dari keuntungan triliunan rupiah itu, tegasnya.

Hal ini ia paparkan sambil membandingkan pertumbuhan sektor jasa keuangan dengan
pertumbuhan sektor pertanian. Di periode 2014-2015, saat ekonomi Indonesia sedang lesu,
pertumbuhan sektor jasa keuangan sebesar 13% sedangkan sektor pertanian hanya tumbuh 1%.
Selain itu, sektor industri pengolahan terus mengefisienkan cost-nya dengan pemutusan hubungan
kerja karyawan secara besar-besaran.

Menyoal kebijakan gerbang tol otomatis seperti yang diatur dalam Permen PUPR No.16 Tahun 2017,
Bhima menegaskan mekanisme isi ulang kartu tol yang berbayar, berlawanan dengan kondisi
perekonomian saat ini yang sedang lesu. Kita sedang diserang wabah daya beli yang lesu. Daya beli
yang lesu kena (berdampak) 40% ke masyarakat miskin paling bawah, katanya.

Jika isi ulang kartu tol kembali dikenakan charge, menurut Bhima, akan langsung mengoreksi daya
beli masyarakat serta mengoreksi pendapatan masyarakat yang selama 3 tahun terakhir tidak
mengalami kenaikan. Ia mengkhawatirkan kebijakan yang salah dari pemerintah justru kontra
produktif dengan perekonomian.

(Baca Juga: Ragam Kritik atas Kebijakan Biaya Isi Ulang e-Money)

Fiskal kita gak kuat lagi akibat (pembangunan) infrastruktur dan macam-macam. Kemudian
masyarakat disuruh harus top up lagi yang 20% nya masuk ke kantong perbankan. Di Indonesia,
sekarang porsi e money di total transaksi baru 1,14%. Kalau kita dipaksa untuk pakai e money,
bukannya nambah justru bisa kembali menjadi kurang dari 1%. Ini kebijakan yang salah, tandasnya.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat, mengoreksi opini yang yang
menurutnya berkembang di masyarakat, yakni kemacetan di gerbang tol diakibatkan oleh
lambannya pelayanan petugas penjaga gardu jalan tol. Itu opini yang salah, ketusnya.

Ia memaparkan beberapa fakta di lapangan yang menjadi penyebab kemacetan di jalan tol. Pertama,
jumlah atau volume kendaraan yang melewati ruas tol tiap harinya melebihi kapasitas tol itu sendiri
atau tidak sebanding antara jumlah kendaraan dengan ruang yang tersedia.

Kedua, aktivitas truk pengangkut dengan jumlah dan volume muatan yang besar sehingga
mengharuskan mereka untuk mengurangi kecepatan sampai di bawah 20 KM per jam. Hal ini turut
menjadi faktor penyebab kemacetan. Ketiga, jarak antara exit atau pintu keluar tol dengan jalur
arteri sangat dekat sehingga sering juga terjadi penumpukan kendaran di titik tersebut.

(Baca Juga: BI Terbitkan Aturan, Top Up e-Money Maksimal Kena Biaya Rp1.500)
Mirah juga mengoreksi janji jasa marga terkait tidak adanya pemutusan hubungan kerja karyawan
jalan tol. Menurut Mirah, pihaknya telah mendapatkan informasi mengenai sosialisasi pemutusan
hubungan kerja terhadap karyawan jalan tol. Data ASPEK menyebutkan, saat ini terdapat kurang
lebih 10.000 orang karyawan jalan tol, khusus jasa marga.

YLKI: Konsumen Harusnya Dapat Insentif dari


Isi Ulang E-Money

Achmad Dwi Afriyadi


17 Sep 2017, 21:05 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung ada transaksi
nontunai. Hal itu untuk mewujudkan efisiensi pelayanan dan keamanan transaksi. Itu juga sejalan
dengan fenomena ekonomi digital saat ini.

Namun, hal itu akan kontra produktif jika Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan terkait
pengenaan biaya top up pada uang elektronik. Menurut YLKI itu akan bertentangan dengan upaya
mewujudkan cashless society.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menerangkan, dengan cashless society sektor perbankan
lebih diuntungkan dari pada konsumen. Lantaran perbankan menerima uang di muka, sementara
transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen.
"Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up.
Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif," ujar
dia, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (17/9/2017).

Tulus menuturkan, pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan
bank berbeda dengan e-money yang digunakan."Selebihnya no way, harus ditolak," ujar dia.

Dia menuturkan, perbankan tidak pantas mengandalkan pendapatan dari top up ini. Dia bilang,
seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam-
meminjam.

"YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut," ungkap dia.

Mantan Country Director TrueMoney Joedi Wisoeda menilai, rencana adanya biaya isi ulang untuk
uang elektronik dapat menghambat cashless society. BI seharusnya makin mempermudah dan
mendukung percepatan cashless society dengan melalui tahap less cash society.

Ia menuturkan, saat ini pengguna e-money hampir 90 persen dari golongan bankable atau punya
akses ke perbankan. Bila dikenakan biaya isi ulang untuk uang elektronik, menurut Joedi dapat
membuat uang elektronik menjadi kurang menarik bagi masyarakat yang ubankable.
"Ini pun jauh juga dari rencana awal dibuatnya e-money yang dibuat untuk menyasar teman-teman
yang unbankable. Jadi sebetulnya jika BI membuat tujuannya untuk menekan angka pencucian uang
atau apapun rasanya kurang tepat. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh," ujar Joedi saat
dihubungi Liputan6.com.

Ia menuturkan, saat ini uang elektronik sudah menemukan polanya usai banyaknya pemain yang
aktif bermain di sana. Pola tersebut bagaimana cara berbisnis uang elektronik, misalkan apa saja
fitur dan target pasar uang elektronik tersebut. "Kalau dikenakan biaya seperti ini akan melambat
lagi (uang elektronik)," kata dia.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman tak banyak berkomentar terkait aturan ini.
Dia meminta supaya menunggu aturan itu keluar terlebih dahulu.

"Kita tunggu saja ketentuannya keluar dulu ya. Kalau ketentuannya sudah ada tentu lebih mudah
menjelaskannya," kata dia kepada Liputan6.com.
http://bisnis.liputan6.com/read/3098249/ylki-konsumen-harusnya-dapat-insentif-dari-isi-ulang-e-
money

Anda mungkin juga menyukai