Anda di halaman 1dari 119

PERBEDAAN PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL SEBELUM DAN

SESUDAH PEMBERIANTERAPI BERMAIN COOPERATIVE

PLAYDENGAN PUZZLEPADA ANAK DOWN SYNDROM DI

SLBKABUPATEN SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana keperawatan

(S.Kep)

Oleh :

ANDRA SAPUTRA

010113a011

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATANUNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2017
Universitas Ngudi Waluyo
Fakultas Ilmu Kesehatan Program StudiS1 Keperawatan
Skripsi, Agustus 2017
Andra Saputra(010113a011)

Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan Sesudah


PemberianTerapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada Anak Down
Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang
(xii + 92 halaman + 6 tabel + 9 gambar + 12 lampiran)

ABSTRAK
Down syndrome pada umumnya menghadapi masalah yang relatif sama
yaitu bermasalah dengan cara berinteraksi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
salah satunya memberikan terapi bermain cooperative play dengan
puzzle.Cooperative play adalah permainan yang melibatkan interaksi sosial dalam
kelompok.Puzzle merupakan salah satu permainan yang dapat meningkatkan
kreativitas dan merangsang kecerdasan anak.
Tujuan penelitian iniUntuk mengetahui Gambaran perbedaan
perkembangan interaksi social sebelum dan sesudah diberikan terapi bermain
Cooperative Playdengan Puzzlepada anak downsyndrome di SLB N Ungaran
Kabupaten Semarang.
MetodePenelitian yang digunakan oleh peneliti ini merupakan penelitian
pre eksperimen, dengan pendekatan kuantitatif.Pengambilan sampel
menggunakan caratotal sampling. Besarnya sampel adalah 17 anak down
syndrome di SLB N Ungaran Barat Kabupaten Semarang.Instrumen penelitiannya
berupa lembar observasi.Analisis data menggunakan Wilcoxon.
HasilpenelitianBerdasarkan uji non parametricyaitu
wilcoxondidapatkannilai p-value dimana nilai p-value sebesar 0,000< (0,05).
Inimenunjukanbahwaadaperbedaan yang signifikan interaksi social sebelum dan
sesudah dilakukan terapi bermain Cooperative Playdengan puzzlepadaanak down
syndrome di SLB N Ungaran Barat Kabupaten Semarang.
Saran dari peneliti diharapkan diharapkan keluarga, teman atau kerabat
dan masyarakat memberikan tambahan terapi bermain cooperative play dengan
puzzel agar mampu meningkatkan interaksi sosial pada anak down syndrom.

Kata Kunci : InteraksiSosial, Cooperative Play, Puzzle, Down Syndrome


Kepustakaan : 38 pustaka (2007-2016)
Ngudi Waluyo University
Faculty of Health
Final Assignment, August 2017
Andra Saputra (010113a011)

The Differences Between The Development of Social Interaction Before And


After Giving Cooperative Play therapy Playing With Puzzle In Down
Syndrome Children at SLB Ungaran OF Semarang Regency
(xvi + 92 halaman + 6 tabel + 9 gambar + 12 lampiran)

ABSTRACT
Down syndrome generally faces a relatively similar problem that is
problematic with how to interact. One effort that can be done providing
cooperative play with puzzle. Cooperative play is a game that involves social
interactions within a group. Puzzle is one game that can increase creativity and
stimulate children's intelligence.
The purpose of this study isto find out the description of the development of
social interaction before and after at cooperative play therapy Playingwith puzzle
in down syndrome children at SLB Ungaran Semarang Regency.
Research Method used by this research was pre experimental research,
with quantitative approach. Sampling used total sampling method. The sample
were 17 down syndrome Children at SLB Ungaran of Semarang. Regency The
research instrument was in the form of observation sheet. Data analysis used
Wilcoxon.
Result of research based on non parametric test is wilcoxon,p-value
0,000 < (0,05). This shows that there is significant differencesbetween the
development of social interaction before and after giving cooperative play therapy
playing with puzzle in down syndrome children at slb ungaran of semarang
regency.
Suggestions from the researcherit is expected that family, friends or
relatives and the community provide additional therapy playing cooperative play
with puzzle in order to increase social interaction in children down syndrome
children.

Keywords : Social interaction, Cooperative Play, Puzzle, Down Syndrome


Literature : 38Bibliography (2007-2016)
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi berjudul :
PERBEDAAN PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL SEBELUM
DAN SESUDAH PEMBERIANTERAPI BERMAIN COOPERATIVE
PLAYDENGAN PUZZLEPADA ANAK DOWN SYNDROM DI
SLBKABUPATEN SEMARANG

Oleh:
Andra Saputra
NIM. 010113a011

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dan telah diperkenankan untuk
diujikan.

Ungaran, Agustus 2017

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ns. Eko Susilo, S. Kep., M. Kep Ns. Sukarno, S.Kep., M.Kep


NIDN. 0627097501 NIDN. 0624128204
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi berjudul :

PERBEDAAN PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL SEBELUM DAN

SESUDAH PEMBERIANTERAPI BERMAIN COOPERATIVE PLAY

DENGAN PUZZLE PADA ANAK DOWN SYNDROM DI SLB

KABUPATEN SEMARANG

disusun oleh :

ANDRA SAPUTRA
NIM : 010113A011

Telah Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi Program Studi S1


Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo.

Ungaran, agustus 2017


Tim Penguji
Ketua/Pembimbing Utama

Ns. Eko Susilo, S.kep., M.Kep

NIDN. 0627097501

Anggota/Penguji Anggota/Pembimbing Pendamping

Ns. Mona Saparwati, S.Kp., M.Kep Ns. Sukarno, S.kep., M.Kep


NIDN. 0628127901 NIDN. 0624128204

Ketua Program Studi S1 Keperawatan

Ns. Faridah Aini, S.Kep., M.Kep., Sp.KMB


NIDN. 0629037605
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Andra Sapura

Nim : 010113a011

Fakultas : S1 Keperawatan

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi berjudul Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan

Sesudah PemberianTerapi Bermain Cooperative Playdengan Puzzlepada

Anak Down Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang adalah karya ilmiah

asli dan belum pernahdiajukan untuk mendapatkan gelar akademik apapun

dipergurun Tinggi manapun.

2. Skripsi ini merupakan ide dan hasil karya murni saya yang dibimbing dan

dibantu oleh tim pembimbing dan narasumber.

3. Skripsi tidak memuat karya atau pendapat orang lain yang telah

dipublikasikan kecuali secara tertulis dicantumkan dalam naskah sebagai

acuan dengan menyebut nama pengarang dan judul aslinya serta dicantumkan

dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidak benaran di dalam pernyataan ini, saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya

peroleh dan sanksi lain sesuai dengan norm yang berlaku di Universitas

Ngudi Waluyo.

Ungaran, agustus 2017

Andra Saputra
HALAMAN KESEDIAAN PUBLIKASI

Saya Yang Bertanda Tangan Dibawah Ini :

Nama : Andra Saputra

Nomor Induk Mahasiswa : 010113a011

Program Studi : S1 Keperawatan

Menyatakan memberi kewenangan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Ngudi Waluyo untuk menyimpan, mengalihmedia/format-kan, merawat, dan

mempublikasikan Skripsi saya dengan judul Perbedaan Perkembangan

Interaksi Sosial Sebelum Dan Sesudah Pemberian Terapi Bermain

Cooperative PlayDengan PuzzlePada Anak Down Syndrom Di Slb

Kabupaten Semaranguntuk kepentingan akademis.

Ungaran, Agustus 2017

Yang Membuat Pernyataan

Andra Saputra

010113a011
RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : Andra Saputra

Nim : 010113a011

Fakultas : Keperawatan

Program Studi : S1 Keperawatan

Tempat Tanggal Lahir : Bayat, 13 april 1995

Alamat : Jl.Beringin rt/III, Desa Bayat, Kec. Belantikan Raya,

Kab. Lamandau, provinsi Kalimantan Tengah

Riwayat Pendidikan : SD Negri Bayat 01 (2001-2007)

SMP Negeri Bayat 01 (2007-2010)

SMA Negeri Bayat 01 (2010-2013)

S1 Keperawatan Universitas

Ngudi Waluyo (2013-sekarang)


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan

begitu banyak rahmat, hidayah serta rizkiNya sehingga Skripsi yang berjudul

Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan Sesudah

PemberianTerapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada AnakDown

Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang dapat terselesaikan.Kesempatan dan

rahmat-NYA yang sangat berarti bagi peneliti, kasih saying dari-NYA, tak ada

yang mampu menandingi.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak dapat selesai tanpa arahan,

motivasi dan doa yang senantiasa diberikan selama ini dari berbagai pihak.

Sehingga dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan

terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Subyantoro, M. Hum., selaku Rektor Universitas Ngudi Waluyo

2. Gipta Galih Widodo, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB., selaku Dekan Fakultas

Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo

3. Ns. Faridah Aini, S.Kep., M.Kep., Sp.KMB., selaku ketua Program Studi

Keperawatan

4. Ns. Eko Susilo S.Kep., M.Kep., selaku pembimbing I yang telah meluangkan

waktu dan kesabaran dalam memberikan arahan, bimbingan, kritik dan saran

dalam penyusunan skripsi ini

5. Ns. Sukarno, S.Kep., M.Kep selaku pembimbing II yang telah meluangkan

waktu dan kesabaran dalam memberikan arahan, bimbingan, kritik dan saran

dalam penyusunan skripsi ini


6. Seluruh dosen dan staf pengajar Universitas Ngudi Waluyo

7. Kedua orang tuaku (Bapak Antonius dan Ibu Lita), dan keluarga yang telah

memberikan semangat, motivasi, doa, moril, dan materil selama ini agar dapat

menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas kasih sayang dan cinta kalian.

8. Semua sahabat-sahabat seperjuangan, , Hartawan, insan marta saputra, Arasda,

yang selalu memberikan semangat, kritik, saran, bantuan dan dukungan

selama ini.

9. Orang yang selalu mendampingi dan menyemangati Puji Lestari

10. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis sangat menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun dari berbagai pihak demi perbaikan skripsi ini.

Ungaran, Agustus 2017

(Andra Saputra)
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii

RIWAYAT HIDUP PENELITI ....................................................................... iii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv

DAFRAT ISI ................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ........................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 8

A. Pengetahuan .................................................................................. 8

1. Definisi pengetahuan ............................................................... 10

2. Sumber pengetahuan ............................................................... 10

3. Factor factor yang mempengaruhi pengetahuan .................. 13

4. Pengukuran pengetahuan ........................................................ 13

B. Sikap .............................................................................................. 18

1. Definisi Bermain ..................................................................... 18

2. Tujuan Bermain ........................................................................ 19


3. Fungsi Bermain ........................................................................ 19

4. Klasifikasi Bermain .................................................................. 21

5. Karakteristik Sosial Bermain ................................................... 24

6. Alat Permainan Edukatif .......................................................... 25

7. Faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain ......................... 26

8. Permainan untuk anak usia sekolah ......................................... 27

C. Rokok Elektrik

1. Definisi rokok elektrik ..........................................................

2. Karakteristik Cooperative Play ................................................ 29

3. Tujuan Cooperative Play .......................................................... 29

4. Jenis-Jenis Cooperative Play ................................................... 30

D. Bermain Puzzel ............................................................................. 35

1. Pengertian bermain puzzel ....................................................... 35

2. Manfaat Puzzle ........................................................................ 37

3. Fungsi Bermain puzzle ............................................................ 39

E. Interkasi Sosial ............................................................................... 40

1. Pengertian Interkasi Sosial ...................................................... 40

2. Interaksi sosial anak Down Syndroe ........................................ 41

3. Indikator kemampuan Interaksi Sosial ..................................... 44

4. Jenis-jenis Interaksi Sosial ....................................................... 45

5. Ciri-ciri Interaksi Sosial ........................................................... 46

6. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial ................................................ 46

7. Syarat terjadinya Interaksi Sosial ............................................. 53

8. Faktor-faktor penyebab terjadinya interaksi social ................. 54


F. Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan Sesudah

Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada

Anak Down Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang ........................ 57

G. Kerangka Teori............................................................................... 61

H. Kerangka Konsep ........................................................................... 62

I. Variabel Penelitian ......................................................................... 62

J. Hipotesis Penelitian........................................................................ 62

BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 63

A. Desain penelitian ............................................................................ 63

B. Lokasi dan waktu penelitian........................................................... 64

C. Populasi dan sampel ....................................................................... 64

D. Definisi operasional ....................................................................... 65

E. Alat dan cara pengumpulan data .................................................... 65

F. Etika Penelitian .............................................................................. 69

G. Pengolahan Data............................................................................. 72

H. Analisis Data .................................................................................. 74

BAB IVHASIL PENELITIAN ........................................................................ 75

A. Analisa Univariat ................................................................................. 75

B. Analisa Bivariat ................................................................................... 76

BAB V PEMBAHASAN ................................................................................ 79

A. Analisa Univariat ................................................................................. 79

B. Analisa Bivariat ................................................................................... 86

C. Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 90

BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 91


A. Kesimpulan .......................................................................................... 90

B. Saran .................................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perkembangan motorik kasar dan halus ............................................ 16

Tabel 3.2 Definisi operasional ..... ..................................................................... 64

Tabel 4.1 Gambaran Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Diberikan

Terapi Bermain Cooperative Play dengan Puzzle pada Anak

Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang ................. 75

Tabel 4.2 Gambaran Perkembangan Interaksi Sosial Sesudah Diberikan

Terapi

Bermain Cooperative Play dengan Puzzle padaAnak Down

Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang ......................... 76

Tabel 4.3Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum dan Sesudah

Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play dengan Puzzle

pada Anak Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten

Semaran ............................................................................................. 77
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori ........................................................................... 60

Gambar 2.2 Kerangka Konsep ........................................................................ 61


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Penelitian

Lampiran 2 Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 3 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 4 Lembar SOP terapi bermain puzzel

Lampiran 5 Lembar Observasi interaksi sosial

Lampiran 6 Lembar Bimbingan Skripsi

Lampiran 7 Surat keterangan UjiLembar Observasi dengan Expert Judgement

Lampiran 8 Surat penelitian dan balasan

Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah suatu karunia terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia

dan dalam menciptakan anak manusia Tuhan mempunyai rahasia

tersendiri.Ada anak yang dilahirkan normal dan ada pula anak yang dilahirkan

"istimewa".Salah satunya adalah anak dengan Sindroma Down.Mendapatkan

anak dengan Down Syndrome merupakan sesuatu yang amat sangat tidak

diharapkan. Pada umumnya orang tua, akan mengalami sedih, stres, perasaan

bersalah, sakit hati tidak dapat menerima kenyataan, dan lain sebagainya,

sehingga terasa masa depan yang akan dihadapi bersama si anak akan kelabu.

(Potads, 2016).

Umumnya anak penderita Down syndrome memiliki keterbatasan

kemampuan dalam hal komunikasi, pola perilaku, dan interaksisosial. Karena

ituperlu penanganan khusus pada tahap perkembangan agar mereka dapat

menjalanikehidupan layaknya anak-anak normallainnya.(Delphie, 2009)

Anak Down syndrom memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-

anak lain, down syndrom menunjukkan cara-cara berinteraksi dengan teman

sebaya dengan berbeda dengan anak-anak lain. Hal ini disebabkan karena

anak down syndrom kesulitan dalam menempatkan diri untuk menjalin

interaksi seperti cara berkomunikasi, tatapan mata, ekspresi, empati dan

perilaku yang kurang terarah.(Asrosi, 2009)


Down syndrome biasanya memiliki penampilan wajah yang mirip satu

dengan lainnya. Secara umum perkembangan dan pertumbuhan fisik anak

down syndrome relatif lebih lambat, seperti pertumbuhan berat badan dan

tinggi badan. Keterbelakangan mental yang dialami anak down syndrome

mengakibatkan keterlambatan dalam perkembangan aspek kognitif, motorik,

dan psikomotorik.( Hallahan, 2009)

Down syndrome pada umumnya menghadapi masalah yang relatif sama

yaitu bermasalah dengan cara berinteraksi serta juga mengalami masalah

dalam perilaku dan emosi yang labil. Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari,

biasanya anak down syndrome juga mengalami kesulitan dalam melakukan

kegiatan yang berhubungan dengan bina diri, seperti memakai baju, makan,

mandi dan lain sebagainya.(Armayati, 2007)

Kemampuan sosialisasi sangat penting bagi anak down sindrom, karena

mereka harus belajar mewujudkan dirinya sendiri dan diharapkan anak merasa

bahwa dirinya punya pribadi yang ada persamaan dan perbedaan dengan

pribadi yang lain. Diharapkan anak down sindrom dapat menemukan tempat

tertentu dalam masyarakat yang sesuai dengan kemampuannya dan dapat

mengembangkan tingkah laku yang sesuai serta dapat diterima oleh

masyarakat.Saat ini lingkungan melihat anak down sindrom sebagai individu

yang aneh, memiliki kekurangan dan tidak dapat berkarya.Penilaian yang

demikian mengakibatkan anak down sindrom benar-benar kurang berharga

dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosialisasinya (Somantri

2007).
Anak dengan Downsindrom memiliki berbagai kemampuan,

menyebabkan keberhasilan di sekolah dapat sangat bervariasi, sehingga

penting untuk mengevaluasi anak secara individual. Masalah kognitif yang

ditemukan di antara anak dengan sindrom Down juga dapat ditemukan di

antara anak-anak lain. Anak down sindrommengalami keterbatasan sosialisasi

dikarenakan tingkat intellegensianya yang rendah, sehingga cukup sulit untuk

mempelajari informasi dan keterampilanketerampilan menyesuaikan diri

dengan lingkungan.Down Sindromakan menimbulkan masalah bagi

masyarakat, keluarga maupun pada individu penyandangnya, terutama down

sindrom berat dan sangat berat, karena penyandang down sindrom ini tidak

dapat melaksanakan tugasnya sebagai anggota masyarakat sesuai ketentuan

ketentuan yang ada (Somantri 2007).

Fenomena Down syndrome kira-kira terjadi satu dari 800 sampai 1.000

kelahiran bayi (Brain Research Succee Stories, 2005) .Angka kejadian Down

Syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa. WHO

melaporkan, estimasi insidensinya berada antara 1 dari 1.000 hingga 1 dari

1.100 kelahiran.Penderitanya saat ini berjumlah 8 juta di dunia. Setiap tahun

diperkirakan terdapat 3.000 hingga 5.000 anak terlahir dengan sindrom Down

dan terdapat sekitar 250.000 keluarga di Amerika Serikat yang salah satu

anggota keluarganya menderita sindrom ini. Data terbaru dari RISKESDAS

2013 menyatakan bahwa hingga kini telah terdapat 300.000 kasus anak yang

mengalami sindrom Down di Indonesia.

Anak down sindrom cenderung bergaul dengan anak yang lebih muda

usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu


memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus

selalu dibimbing dan diawasi (Somantri 2007).Adanya hambatan dalam

interaksi sosialisa mengakibatkan kecenderungan menyendiri serta memiliki

sifat tertutup. (Rizka 2009).

Kemampuan sosialisasi pada anak down sindrom tidak berkembang

secara optimal, menyebabkan anak tidak dapat mandiri, tidak dapat melakukan

komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau orang lain, anak tidak dapat

melaksanakan tugasnya sebagai anggota masyarakat sesuai ketentuan-

ketentuan mengenai suatu pola perilaku sosial anak down syndrome. Hal ini

akan berpengaruh pada perkembangan jiwa anak selanjutnya, yakni

menyebabkan anak mengalami frustasi, ketegangan, kecemasan, gampang

takut serta keregangan hubungan antara anak dengan masyarakat di sekitarnya

(Somantri 2007). Selain itu dapat pula menyebabkan anak memiliki

kepribadian introvert karena kurangnya stimulasi sosial, bahasa, dan

intelektual pada saat masih anak-anak (Rizka 2009).

Anak down syndromeUntuk dapat mandiri membutuhkan latihan, waktu

dan kasih sayang.Perkembangan mental dan kecerdasan anak dengan

DownSindrom sangat bervariasi sehingga tidak memungkinkan untuk

mempridiksi kapasitas kecerdasan anak SD sesaat setelah lahir.Walaupun

menentukan metode pembelajaran bagi anak SD paling ideal ditentukan sesaat

setelah lahir melalui program intervensi dini.Perkembangan keterampilan

emosional dan sosial pada anak down sindrom ringan dan sedang dapat

dioptimalkan dengan menggunakan metode terapi bermain. Terapi bermain

yang digunakan adalah yang melibatkan interaksi dengan orang lain. Bermain
merupakan bagian integral dari masa anak-anak, suatu media unik sebagai

sarana mengembangkan keterampilan bahasa ekspresif, keterampilan

komunikasi, perkembangan emosional, keterampilan sosial, kemampuan

membuat keputusan dan perkembangan kognisi pada anak (Tedjasaputra

2009).

Pada saat melakukan aktifitas down sindrom, anak belajar berinteraksi

dengan teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial

yang ada pada kelompoknya (Tedjasaputra 2009).Perkembangan keterampilan

sosialisasi anak bisa dilihat dari kegiatan bermain mereka. Bermain dengan

orang lain akan membantu anak mengembangkan hubungan sosial, belajar

memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Melalui bermain anak dapat

mengembangkan rasa harga diri, karena dengan bermain anak memperoleh

kemampuan untuk menguasai tubuh mereka, bendabenda dan keterampilan

sosial.Jadi dengan terapi bermain dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi

anak. (Landreth 2010)

Menurut Piaget yang dikutip Mayestybermain adalah suatu kegiatan yang

dilakukan berulang- ulang dan menimbulkan kesenangan atau kepuasan bagi

diri seseorang, kemudian dipertegas oleh Parten memandang kegiatan bermain

sebagai sarana sosialisasi dimana diharapkan melalui bermain dapat memberi

kesepakatan anak berekspolorasi, menemukan, mengekpresikan perasaan,

berkreasi, dan belajar secara menyenangkan. (Yuliani, 2010)

Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat adalah dengan

memberikan terapi bermain pada anak down sindrom, berupa bentuk

permainan cooperative play dengan puzzle. Cooperative play adalah


permainan yang melibatkan interaksi sosial dalam kelompok dimana dapat

ditemui identitas kelompok dan kegiatan yang terorganisir antara pemimpin

dan anggota kelompok (Santrock 2010). Dalam cooperative play disini, salah

satu yang diterapkan adalah dengan puzzle. Menurut Susasanti (2009), puzzle

merupakan salah satu permainan yang dapat meningkatkan kreativitas dan

merangsang kecerdasan anak, karena puzzlemerupakan suatu masalah atau

misteri yang harus dipecahkan. Dalam terapi bermain cooperative play ini,

permainan puzzle dilakukan secara berkelompok.Setiap anak saling

berkomunikasi dan berinteraksi dalam menyusun puzzle. Peran perawat dalam

terapi bermain ini sebagai fasilitator, mendukung, dan mendorong terjadinya

proses interaksi anak saat dilakukan permainan. Diharapkan dari permainan

puzzle yang dilakukan secara berkelompok ini dapat meningkatkan

kemampuan interpersonal anak, sehingga kemampuan sosialisasinya dapat

meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Hardianti (2015) yang

berjudul Pengaruh Terapi Bermain Puzzel Terhadap Perkembangan Sosial

Anak Retardasi Mental didapatkan hasil nilai p value = 0,008 ( = 0,05).

Dengan demikian dapat disimpulkan ada perbedaan perkembangan sosial

setelah dilakukan terapi bermain puzzle. Dari hasil penelitian diatas

mengatakan bahwa adapengaruh terapi bermain puzzel terhadap

perkembangan sosial anak down syndrome.

Berdasarkan hasil penelitian yag di lakukan oleh Suyanti dan

Rahmawati (2014) yang berjudul Pengaruh Terapi Bermain Terhadap interaksi


sosial anak autis di dapatkan hasil p value =0,00 maka dapat disimpulkan ada

pengaruh terapi bermain terhadap interaksi sosial anak autis.

Berdasarkan studi pendahuluan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Ungaran,

didaspatkan jumlah siswadown sindrom17 anak untuk kelas 1 sampai kelas 4

Sekolah Dasar (SD). Tiap tahunnya rata rata ada lima sampai sepuluh anak

yang mendaftar. Dari 17 anak ini didapatkan hasil 63,6 % mengalami

gangguan sosialisasi, yang ditandai dengan interaksi sosial anak terganggu

yang ditandai dengan anak sering menyendiri, malu jika bertemu orang yang

baru, ketika ditanya tidak melihat mata orang yang bertanya, dan menghindar

jika didekati orang yang baru di kenal. Jenis aktivitas yang diterapkan di SLB

Ungaran adalah senam pagi, latihan menari, berlatih membaca, menulis, dan

berhitung.Latihan pengembangan sosialisasi yang sudah diberikan di SLB

Ungaran adalah setiap aktivitas seperti menggambar, menulis, dan menari

yang dilakukan secara berkelompok, tetapi masih terdapast sedikit perubahan

terhadap peningkatan kemampuan sosialisasinya.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik dan berkeinginan untuk

melakukan penelitian dengan judul Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial

Sebelum Dan Sesudah Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play Dengan

Puzzle Pada Anak Down Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang.


B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merumuskan

masalahAdakah Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan

Sesudah PemberianTerapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada

Anak Down Syndrom Di SLB Kabupaten Semarang.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum

Dan Sesudah PemberianTerapi Bermain Cooperative Play Dengan

PuzzlePadaAnak Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran perkembangan interaksi sosial sebelum

diberikanTerapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle PadaAnak

Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang

b. Mengetahui gambaran perkembangan interaksi sosial sesudah

diberikanTerapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle PadaAnak

Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang.

c. Menganalisis Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan

Sesudah Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play Dengan

PuzzlePadaAnak Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten

Semarang
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan SLB

Diharapkan kepada instansi kesehatan atau yayasan pembinaan

anak cacat dan sekolah luar biasa khususnya anak down syndromuntuk

memberikan tambahan terapi bermain puzzle disetiap harinya untuk

meningkatkan kemampuan interkasi sosial pada anak.

2. Bagi keluarga

Diharapkan kepada masyarakat terutama para orang tua untuk

lebih memperhatikan anak down syndromdan hasil penelitian ini dapat

bermanfaat dalam menangani Perkembangan Sosial anak down syndrom,

melihat kelemahan dari penelitian ini diharapkan pula untuk yang

membaca atau tertarik melakukan penelitian seperti ini agar

menyediakan alat peraga berupa puzzle lebih banyak lagi atau setiap anak

disediakan satu puzzle. Sehingga pada saat bermain anak lebih bebas

berkreasi untuk menyusun bentuk puzzle baloknya agar perubahan

terhadap perkembangan sosialnya lebih banyak mengalami perilaku yang

aktif sesuai dengan lingkungannya.

3. Bagi penelitian

Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dan sebagai

bahan acuan perbandingan apabila ada peneliti yang ingin melakukan

penelitian dengan judul yang sama atau yang ingin mengembangkan

penelitian ini lebih lanjut.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Down syndrome

1. Definisi

Down syndrom adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya

kelebihan kromosom pada pasangan ke-21, Kelainan kromosom tertentu

dapat mengakibatkan kelainan metabolik yang selanjutnya mempengaruhi

pertumbuhan otak secara negatif (Jeffry, 2007).

Down Syndrom adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan

menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu

pada retardasi mental. Anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada

kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom sebagaimana

mestinya, melainkan tiga kromosom(trisomi 21) sehingga informasi

genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami penyimpangan fisik.

Dahulu orang-orang dengan down sindrom ini disebut sebagai penderita

mongolisme atau mongol.Istilah ini muncul karena penderita ini mirip

dengan orang-orang Asia (oriental).Istilah sindrom ini seperti sudah usang,

sehingga saat ini kita menggunakan istilah down sindrom (Fadhli, 2010).

2. Etiologi down syndrome

Kemungkinan etiologi dari Down syndrome adalah non-disjunction

yang menghasilkan kromosom ekstra (trisomi 21), mosaicsim, translokasi,

serta meningkatnya usia kehamilan.( Sudiono, 2008)

a) trisomi 21
Merupakan tiga buah salinan kromosom yang berjumlah

lebih banyak dari normal yang seharusnya sepasang.Kebanyakan

trisomi pada embrio teradi pada awal kehamilan, kelansungan

hidup embrio dengan trisomi 21 bergantung atas keseimbangan

genetik dari kromosom spesifik yang terlibat.Usia ibu saat

kehamilan berperang penting terhadap teradinya trisomi 21. Orang

tua pada usia berapapun, yang mempunyai anak dengan trisomi 21

mempunyai factor resiko yang sangat signifikan untuk mempun yai

anak dengan kelainan yang sama, resiko rekurensi di temukan pada

ibu usia di atas 4 tahun.( Sudiono, 2008)

b) Translokasi

Merupakan perpindahan kromosom yang teradi pada badan sel.

Sebanyak 5% kasus down syindrom di hasilkan oleh translokasi

seimbang dari salah satu orang tua, pada umumnya translokasi

antara kromosom 14 dan 21, dapat pula translokasi antara

kromosom 14 dan 22 meskipun jarang. Bayi denggan down

syindrom tipe translokasi akan mempunyai 46 kromosom, salah

satunya mempunyai badan genetic dari kromosom 14 dan 21.

Down syindrom tipe translokasi tidak berhubungan dengan usia ibu

saat kehamilan, namun akan meningkat resikonya pada orang tua

yang merupakan pembawa sifat (familial sindrom down).

(Sudiono, 2008).

c) Mosaicism
Merupakan tipe yang sangat jarang. Pada tipe ini, emberio

memiliki 2 daratan sel dengan kromosom yang berbeda meskipun

berasal dari zigot tunggal yang disebabkan oleh non-disjunction

atau lambatnya penyatuan kromosom pada awal embryogenesis

atau pada saat pembelahan sel. Tidak ada peninkatan risiko pada

orang tua dengan autosomal mosaicism untuk melahirkan anak

down syindrom tipe mosaicism pada kelahiran berikutnya. Namun

bagi orang tua yan memiliki autosomal mosaicism ada resiko yang

sama pada kelahiran yang berikutnya untuk mendapat anak down

syindrom tipe trisomi dan anak dengan non-mosaicism trisomi.

(Sudiono, 2008)

d) Meningkatnya usia ibu saat kehamilan

Angka keadian anak down syindrome berkaitan dengan usia ibu

saat kehamilan. Rasio kejadian untuk ibu muda di baah 20 tahun

adalah 1:200 setiap kelahiran. Frekuensi akan meningkat menjadi

1:100 pada usia ibu di atas 45 tahun. Meningkat usia ibu saat

kehamilan sampai di atas 45 tahun akan meningkatkan resiko

melahirkan anak dengan down syndrome seesar 1:50. Tidak ada

predileksi ras, sosial, ekonomi, atau seks. (Sudiono, 2008)

3. Klasifikasi anak Down Syndrome:


Klasifikasi menurut Hanson & Aller (2012) berdasarkan skor IQ :

a. Mild/ringan Ringan (1Q 50-55 hingga 70).

Mild, ringan atau anak mampu dididik untuk kemandirian dapat

melakukan keterampilan tanpa selalu diawasi. Seperti keterampilan

mengurus diri sendiri: toilet training, aktivitas sehari-hari seperti

makan, mandi, dan berpakaian. Diluar akademik, keterampilan dalam

bidang musik dan kinestik berenang dan atlentik.

b. Moderate/Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55)

Pada tahap ini anak dapat dilatih untuk keterampilan tertentu, seperti

mengurus diri sendiri, dilatih membaca dan menulis walaupun respon

mereka cukup lama namun jika diberikan kesempatan mereka dapat

melakukan aktivitas tersebut.

c. Severe/Berat (IQ 20-25 hingga 35-40)

Membutuhkan perlindungan, pengawasan dan perawatan terus

menerus.Mereka tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan sulit

untuk berinteraksi sosial.

d. Profound (IQ kurang dari 25-25)

Mereka mengalami kesulitan secara fisik dan intelektual yang

kurang.Mereka juga harus berada dalam pengawasan dan perawatan

mendis yang intensif.

4. Gejala klinis

Anak dengan Down Syndrom dapat dikenali berdasarkan gambaran

fisik tertentu, seperti kepalanya kecil bulat (brachicephaly) dan ceper,

tidak sempurna.Ubun-ubunnya tidak lekas tertutup, menjadi keras bahkan


sering tidak pernah bisa tertutup sama sekali. Bentuk giginya abnormal,

tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang punggung sering mengalami

kelainan. Bibir tebal atau sumbing, kupingnya sangat besar atau sangat

kecil. Kulitnya kering dan kasar, tetapi sering juga lembut dan lunak

seperti kulit bayi. Pipinya berwarna kemerah-merahan.Tangannya lunak,

besar dan lebar seperti mengandung air. Telapak kaki ceper, perut buncit

dan pusarnya menonjol keluar.Sendi-sendi dan otot-ototnya kaku (Semiun,

2010).

Penyandang down syndrome mempunyai fitur-fitur wajah yang khas,

termasuk lipatan-lipatan disudut mata sipit mereka yang cenderung

mengarah ke atas, hidung rata dan mulut kecil dengan langit-langit datar

sehingga lidah mereka sedikit terjulur ke luar. Gangguan down syndrome

dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah bulat,

lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil yang mengarah ke bawah

pada kulit dibagian ujung mata yang memberikan kesan mata sipit. Lidah

yang menonjol, tangan yang kecil dan berbentuk segi empat dengan jari-

jari pendek, jari kelima yang melengkung, dan ukuran tangan dan kaki

yang kecil serta tidak proposional dibandingkan keseluruhan tubuh juga

merupakan ciri-ciri anak down syndrome.

5. Dampak Down Syndrome

Penderita down syndrome juga cenderung memiliki malformasi

jantung bawaan dan hampir semua orang dewasa penderita down

syndrome menunjukkan tanda-tanda dimensia dengan tipe Alzheimer

setelah melewati umur 40 tahun, sebuah gangguan otak yang


menyebabkan hendaya dalam ingatan dan gangguan-gangguan kognitif

lainya, gangguan ini muncul lebih awal pada penyandang down syndrome

(kadang-kadang sudah muncul pada umur 20 tahunan), hampir semua

anak ini mengalami retardasi mental dan banyak diantara mereka

mengalami masalah fisik, seperti gangguan pada pembentukan jantung

dan kesulitan pernafasan, sebagian besar dari mereka juga meninggal pada

usia pertengahan. Pada tahun-tahun mereka hidup, mereka cenderung

kehilangan ingatan dan mengalami emosi yang kekanak-kanakan yang

menandai senilitas.

Sekitar 40% anak-anak dengan down syndrome memiliki masalah

jantung, sejumlah kecil dapat mengalami penyumbatan saluran pencernaan

atas dan sekitar 1 dari 6 anak meninggal pada sebelum mencapai usia 4

tahun. Angka kematian tinggi setelah berusia 40 tahun. Bila diotopsi,

jaringan otak umumnya menunjukkan kerusakan yang sama dengan

penyakit yang terjadi pada Alzheimer. Meskipun mengalami retardasi

mental, beberapa diantara anak-anak tersebut mampu belajar membaca,

menulis dan mengerjakan aritmatika.

6. Perkembangan anak down syndrom

Anak-anak penderita down syndrome memiliki keterlambatan pada

hubungan sosial, motorik, serta kognitifnya, sehingga dapat dikatakan

bahwa anak ini mengalami keterlambatan pada semua aspek

kehidupannya.Tetapi anak yang menderita penyakit down syndrome

memiliki tingkatan yang berbeda-beda, yaitu dari tingkatan yang tinggi

hingga yang paling rendah.Pada perkembangan tubuhnya, anak sindrom


down bisa sangat pendek tetapi bisa sangat tinggi.Serta anak sindrom

down bisa menjadi sangat aktif dan juga bisa menjadi sangat

pasif.Sekalipun demikian kecepatan pertumbuhan anak dengan down

syndrome lebih lambat dibandingkan dengan anak yang normal, sehingga

perlu dilakukan pemantauan terhadap pertumbuhannya secara

berkelanjutan.(Patterson, 2009).

Tabel perkembangan anak down syndrome menurutSoetjiningsih,


2013 adalah:
Tabel 3.1. Perkembangan motorik kasar
Aktivitas Anak Sindrom Down Anak Normal
Usia rata- Rentang Usia rata- Rentang
rata usia rata usia
Kepala tegak saat duduk 5 bulan 3-5 bulan 3 bulan 1-4 bulan
Berguling 8 bulan 4-12 bulan 5 bulan 2-10 bulan
Duduk sendiri 9 bulan 6-16 bulan 7 bulan 5-9 bulan
Berdiri sendiri 18 bulan 12-38 bulan 11 bulan 9-16 bulan
Berjalan sendiri 23 bulan 13-48 bulan 12 bulan 9-17 bulan
Sumber : Soetjiningsih, 2013

Tabel 5. Perkembangan motorik halus


Aktivitas Anak Sindrom Down Anak Normal
Usia rata- Rentang Usia rata- Rentang
rata usia rata usia
Mata bergerak 3 bulan 1,5-6 bulan 1,5 bulan 1-3 bulan
mengikuti objek
Meraih dan 6 bulan 4-11 bulan 4 bulan 2-6 bulan
memegang benda /
mainan
Memindahkan benda 8 bulan 6-12 bulan 5,5 bulan 4-8 bulan
dari 1 tangan ke tangan
lain
Membangun menara 30 bulan 14-32 bulan 15 bulan 10-19
dari 2 kubus bulan
Meniru gambar 48 bulan 36-60 bulan 30 bulan 24-40
lingkaran bulan
Sumber : Soetjiningsih, 2013

Tabel 6.Perkembangan bahasa.


Aktivitas Anak Sindrom Down Anak Normal
Usia rata- Rentang usia Usia rata- Rentang
rata rata usia
Respon terhadap suara 1 bulan 0,5-1,5 bulan 0 bulan 0-1 bulan
Mengucapkan Da-da 7 bulan 4-8 bulan 4 bulan 2-6 bulan
Ma-ma
Respon terhadap 16 bulan 12-24 bulan 10 bulan 6-14 bulan
perintah sederhana
Mengucapkan satu kata 18 bulan 13-36 bulan 14 bulan 10-23 bulan
yang berarti
Mengucapkan dua 30 bulan 18-60 bulan 20 bulan 15-30 bulan
kata / frase
Sumber : Soetjiningsih, 2013

Tabel 7. Perkembangan Personal Sosial


Aktivitas Anak Sindrom Down Anak Normal
Usia rata- Rentang Usia rata- Rentang
rata usia rata usia
Tersenyum ketika 2 bulan 0,5-4 bulan 1 bulan 1-2 bulan
diajak bicara
Bermain cilukba 11 bulan 9-16 bulan 8 bulan 5-13 bulan
Minum dari cangkir 20 bulan 12-30 bulan 12 bulan 9-17 bulan
Menahan kencing 36 bulan 18-50 bulan 24 bulan 14 -36 bulan
seharian
Menahan buang air 36 bulan 20-60 bulan 24 bulan 16-48 bulan
besar
Sumber : Soetjiningsih, 2013

B. Konsep Bermain

1. Defenisi bermain

Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat atau

mempraktikan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran,

menjadi kreaktif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berprilaku

dewasa. Dengan bermaina anak akan selalu mengenal dunia, mampu

mengembangkan kemampuan dari fisik,emisional dan mental sehingga

akan membuat anak tumbuh menjadi anak yang kreaktif, cerdas dan penuh

inovatif ( Hidayat, 2011 ).

Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk

memperoleh kesenangan atau kepuasan. Bermain merupakan cerminan


kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial. Bermain merupakan

media yang baik untuk belajar karena dengan bermain anak-anak akan

berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan

lingkungan, mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2008).

2. Tujuan bermain

Menurut Wong (2008), tujuan bermain bagi anak usia sekolah

yaitu:

a. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

Pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya.

b. Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi, serta ide-idenya.

Pada saat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak mengalami berbagai

perasaan yang sangat tidak menyenangkan.

c. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah.

Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi, dan fantasinya

untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya.

d. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stres karena sakit dan

dirawat di rumah sakit.

3. Fungsi bermain
Menurut Wong (2008), fungsi bermain bagi anak usia sekolah

yaitu:

a. Perkembangan sensorik-motorik

Dalam hal ini permainan akan membantu perkembangan gerak

halus dan pergerakan kasar anak dengan cara memainkan suatu obyek

yang sekiranya anak merasa senang. Misalnya: orang tua memainkan

pensil didepan anak, pada tahap awal anak akan melirik benda yang

ada didepannya, kalau dia tertarik dia akan berespon dan berusaha

untuk meraih atau mengambil pensil darigenggaman orangtuanya.

b. Perkembangan intelektual

Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali

warna, bentuk, ukuran, tekstur dan fungsi objek-objek. Mereka

mempelajari fungsi angka-angka dan cara menggunakannya, mereka

belajar menghubungkan kata dengan benda dan mereka

mengembangkan pemahman tentang konsep yang abstrak dan

hubungan spesial tentang naik, turun, bawah dan atas. Kesediaan

materi permainan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah dua

variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif.

c. Kreatifitas

Mengembangkan kreatifitas anak dalam bermain sendiri atau

secara bersama. Berikan anak balok yang banyak dan biarkan dia

menyusun balok-balok itu untuk dibuat bentuk apa saja sesuai dengan

keinginan anak, kemudian tanyakan pada anak benda apa yang telah ia

buat itu.
d. Perkembangan sosial

Belajar berinteraksi dengan orang lain, mempelajari peran dalam

kelompok. kumpulkan 3-5 anak yang usianya sebaya, kemudian

biarkan anak untuk membentuk kelompok sendiri dan menjalani

perannya sendiri-sendiri, orang tua memantau dari kejauhan.

e. Kesadaran diri (Self awareness)

Dengan bermain anak sadar akan kemampuannya sendiri,

kelemahannya dan tingkah laku terhadap orangf lain. Jika anak tadi

berperan sebagai seorang pemimpin dan dia merasa tidak mampu

memimpin, maka dengan senang hati dia akan memberikan peran

pemimpin tadi pada teman yang lainnya.

f. Perkembangan moral

Dapat diperoleh dari orang tua, orang lain yang ada disekitar

anak. Untuk itu tugas orangtua untuk mengajari anak agar mempunyai

moral yang baik.

g. Komunikasi

Bermain merupakan alat komunikasi terutama pada anak yang

masih belum dapat menyatakan perasaannya secara verbal. Misalnya:

anak menggambar dua anak kecil perempuan (mungkin dia ingin

punya adik perempuan), anak melempar sendok/garpu saat makan

(mungkin dia tidak suka sama lauk pauknya).

4. Klasifikasi permainan
Dari sudut pandang pengembangan, pola permainan anak dapat

dikategorikan menurut isi dan karakter sosial. Keduanya memiliki efek

aditif; masing-masing terbentuk di atas pencapaian masa lalu, dan

beberapa elemen dari masing-masing dipertahankan selama kehidupan

(Wong, 2008). Isi permainan :

a. Bermain afektif sosial

Bermain ini menunjukkan adanya perasaan sedang dalam

berhubungan dengan orang lain. Hal ini dapat dilakukan seperti orang

tua memeluk anaknya sambil berbicara, bersenandung kemudian anak

memberikan respon seperti tersenyum,tertawa. Sifat dari bermain ini

adalah orang lain yang berperan aktif dan anak hanya berespons

terhadap stimulasi sehingga akan memberikan kesenangan dan

kepuasan bagi anak.

b. Bermain bersenang-senang

Bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak melalui

objek yang ada sehingga anak merasa senang dan bergembira tanpa

adanya kehadiran orang lain. Sifat bermain ini adalah tergantung dari

stimulasi yang diberikan pada anak, mengingat sifat dari bermain ini

hanya memberikan kesenangan pada anak tanpa memperdulikan aspek

kehadiran orang lain, seperti bermain boneka-bonekaan dan lain-lain.

c. Bermain keterampilan

Bermain ini dengan menggunakan objek yang dapat melatih

kemampuan keterampilan anak yang diharapkan mampu untuk

berkreatifitas dan terampil dalam segala hal. Sifat permainan ini adalah
bersifat aktif dimana anak selalu ingin mencoba kemampuan dalam

keterampilan tertentu seperti bermain dalam bongkar pasang gambar,

disini anak selalu dipicu untuk selalu terampil dalam meletakkan

gambar yang telah dibongkar, kemudian bermain latihan memakai baju

dan lain-lain.

d. Bermain dramatik

Bermain ini dapat dilakukan anak dengan mencoba berperan

sebagai seorang dewasa, seorang ibu dan guru dalam kehidupan sehari-

hari. Sifat dari permainan ini adalah anak dituntut aktif dalam

memerankan sesuatu. Permainan dramatik ini dapat dilakukan apabila

anak sudah mampu berkomunikasi dan mengenal kehidupan sosial.

e. Bermain menyelidiki

Jenis permainan ini dengan memberikan sentuhan pada anak

untuk berperan dalam menyelidiki sesuatu atau memeriksa dari alat

permainan seperti mrngocok untuk mengetahui isinya dan permainan

ini bersifat aktif pada anak dan dapat digunakan untuk

mengembangkan kemampuan kecerdasan pada anak.

f. Bermain konstruksi

Bermain ini bertujuan untuk menyusun objek permainan agar

menjadi sebuah konstruksi yang benar seperti permainan menyusun

balok. Sifat dari permainan ini adalah aktif dimana anak selalu ingin

menyelesaikan tugas-tugas yang ada dalam permainan dan akan dapat

membangun kecerdasan pada anak.

g. Bermain on looker
Jenis bermain ini adalah dengan melihat apa yang dilakukan oleh

anak lain yang sedang bermain tetapi tidak berusaha untuk bermain.

Sifat dari bermain ini adalah pasif akan tetapi anak akan mempunyai

kesenangan atau kepuasan sendiri dengan melihatnya.

5. Karakteristik sosial permainan

Menurut Wong (2008), karakteristik sosial permainan terdiri dari:

a. Bermain soliter atau mandiri

Merupakan bermain yang dilakukan secara sendiri hanya

terpusat pada permainannya sendiri tanpa memperdulikan orang lain.

Sifatnya adalah aktif akan tetapi bentuk stimulasi kurang, karena

dilakukan sendiri dalam perkembangan mental pada anak, kemudian

dapat membantu untuk menciptakan kemandirian pada anak.

b. Bermain pararel

Bermain secara sendiri tetapi ditengah-tengah anak lain yang

sedang bermain akan tetapi tidak ikut dengan kegiatan orang lain.

Sifat dalam bermain ini adalah anak aktif secara sendiri tetapi masih

dalam satu kelompok, dengan harapan kemampuan anak dalam

menyelesaikan tugas mandiri dalam kelompok tersebut terlatih dengan

baik.

c. Bermain asosiatif

Merupakan bermain secara bersama dengan tidak mengikat

sebuah aturan yang ada, semuanya bermain tanpa memperdulikan

teman yang lain dalam sebuah aturan. Bermain ini akan menumbuhkan
kreativitas anak karena stimulasi dari anak lain ada, akan tetapi belum

dilatih dalam mengikuti peraturan dalam kelompok.

d. Bermain kooperatif

Merupakan bermain secara bersama dengan adanya aturan yang

jelas sehingga adanya perasaan dalam kebersaman sehingga terbentuk

hubungan pemimpin dan pengikut. Sifat dari bermain ini adalah aktif,

anak akan selalu menumbuhkan kreativitasnya dan melatih anak pada

peraturan kelompok sehingga anak dituntut selalu mengikuti peraturan.

6. Alat permainan edukatif

Alat permainan edukatif merupakan alat permainan yang dapat

memberikan fungsi permainan secara optimal dalam perkembangan anak.

Dimana melalui alat permainan ini anak selalu dapat mengembangkan

kemampuan fisiknya, bahasa, kemampuan kognitifnya, dan adaptasi

sosialnya. Dalam mencapai fungsi perkembangan secara optimal, maka

alat permainan ini harus aman, ukurannya sesuai dengan usia anak,

modelnya jelas, menarik sederhana, dan tidak mudah rusak. Contoh jenis

permainan yang dapat mengembangkan secara edukatif seperti: permainan

sepeda roda tiga, mainan yang ditarik dan didorong jenis ini mempunyai

pendidikan dalam pertumbuhan fisik atau motorik kasar, kemudian pensil,

bola, balok, lilin. Jenis alat ini dapat digunakan dalam mengembangkan

kemampuan motorik halus. Alat permainan buku bergambar, buku cerita,

puzzle, boneka, pensil warna, radio dan, lain-lain, ini dapat digunakan

untuk mengembangkan kemampuan kognitif atau kecerdasan anak

(Hidayat,2010).
7. Faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain

Ada lima faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak

(Supartini, 2009):

a. Tahap perkembanagan anak

Aktivitas bermain yang dapat dilakukan anak, yaitu sesuai

dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Permainan

anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan

anak usia sekolah. Oleh karena itu orang tua maupun perawat harus

mengetahui dan memberikan jenis permainan yang sesuai dengan

tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak.

b. Status kesehatan anak

Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi. Pada saat

kondisi anak sedang menurun atau atau anak terkena sakit bahkan

dirawat dirumah sakit, orang tua harus jeli memilihkan permainan

yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak

yang sedang dirawat di rumah sakit.

c. Jenis kelamin anak

Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan jenis

kelamin laki-laki atau perempuan. Semua alat permainan dapat

digunakan untuk mengembangkan daya pikir, imajinasi kreativitas,

dan kemampuan sosial anak.

d. Lingkungan yang mendukung

Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain

memungkinkan anak mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain,


berjalan, mondar-mandir, berlari, melompat, dan bermain dengan

teman sekelompoknya.

e. Alat dan jenis permainan yang cocok

Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan

untuk anak. Pilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak.

Alat permainan yang harus didorong, ditarik dan dimanipulasi akan

mengajarkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan

koordinasi alat gerak. Permaian membantu anak untuk meningkatkan

kemampuan dalam mengenal norma dan aturan serta interaksi sosial

dengan orang lain.

8. Permainan untuk anak usia sekolah

Ditinjau dari kelompok usia anak, jenis permainan dapat dibagi

menjadi permainan untuk bayi, todller, prasekolah, sekolah, dan anak usia

remaja (Supartini, 2009). Kemampuan sosial anak usia sekolah semakin

meningkat. Mereka lebih mampu bekerja sama dengan teman

sepermainannya. Sering sekali pergaulan dengan teman menjadi tempat

belajar mengenai norma baik atau buruk. Permainan pada anak usia

sekolah tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan fisik

ataupun intelektual, tetapi juga dapat mengembangkan sensitivitasnya

untuk terlibat dalam kelompok dan bekerja sama dengan sesamanya. Sisi

lain manfaat bermain bagi anak usia sekolah adalah mengembangkan

kemampuannya untuk bersaing secara sehat, bagaimana anak dapat

menerima kelebihan orang lain melalui permainan yang ditunjukkannya.


Karakteristik permainan anak usia sekolah dibedakan menurut jenis

kelaminnya. Anak laki-laki lebih tepat jika diberikan mainan jenis

mekanik yang akan menstimulasi kemampuan kreativitasnya dalam

berkreasi sebagai seorang laki-laki. Anak perempuan lebih tepat diberikan

permainan yang dapat menstimulasi untuk mengembangkan perasaan,

pemikiran, dan sikapnya menjalankan peran sebagai seorang perempuan.

C. Konsep Cooperative Play

1. Pengertian Cooperative Play

Menurut, Susan & Beaver (2016), menjelaskan bahwa cooperative

play merupakan permainan kerja sama yang bersifat teratur dan anak

bermain dalam kelompok bersama dengan anak lainnya. Anak-anak akan

mendiskusikan dan merencanakan aktivitas yang akan dilakukan untuk

mencapai tujuan tertentu.

Menurut Doyle (2010), menyatakan bahwa cooperative play

melibatkan interaksi dengan orang lain dalam beberapa jenis aktivitas

menyenangkan dimana ada tujuan yang sama. Olahraga seperti sepak bola,

bola basket, dan sepak bola adalah contoh permainan

kooperatif.cooperative play adalah jenis rekreasi sosial yang paling maju.

Ini adalah jenis permainan yang jauh lebih intim.Cooperative play juga

menumbuhkan rasa di mana setiap peserta merupakan bagian dari

beberapa aktivitas menyenangkan dan bukan "keseluruhan" dari

keseluruhan itu.
2. Karakteristik Cooperative Play

Menurut Doyle (2010), menyatakan bahwa karakteristik permainan

ini adalah dilakukan oleh minimal dua orang anak dan pada saat bermain

anak akan berbicara, meminjamkan,meminjam mainan dan atau bersama-

sama menggunakan mainan untuk tujuan yang ingin dicapai bersama,

cooperative play lebih menekankan pada partisipasi, tantangan dan

melakukan hal yang menyenangkan daripada untuk mengalahkan atau

berkonflik dengan seseorang

3. Tujuan Cooperative Play

Cooperative play bertujuan untuk melatih kerjasama dan

pengendalian diri para pemainnya.Permainan ini juga menuntut setiap

pemain harus bertindak secara mandiri tanpa bantuan orang dewasa serta

berkoordinasi dengan baik untuk kepentingan regunya dalam mencapai

tujuan regu atau kelompoknya.Permainan ini mengharapkan anak-anak

dapat memiliki muatan salah satu aspek perkembangan, misalnya saja

aspek keterampilan sosial.Oleh karena itu permainan ini harus dilakukan

secara bersama-sama antara para pemainnya.Setiap permainan untuk anak

prasekolah harus dirancang untuk dapat merangsang anak supaya bermain

bersama teman-temannya. Hal ini dikarenakan pada usia prasekolah anak

berada pada tahapan bermain sosial yang merupakan tonggak penting

dalam tahapan perkembangan sosial anak. Kegiatan permainan bersama

yang dilakukan anak akan mengurangi egosentrisme anak dan anak secara

bertahap dapat berkembang menjadi mahkluk sosial yang bergaul serta

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pada pelaksanaannya


masing-masing anak akan memiliki peran tertentu guna mencapai tujuan

permainan (Dorothy, 2015).

Cooperative playmempunyai beberapa tujuan untuk anak sekolah

dan lebih tua.Jenis permainan ini meminta keanggotaan kelompok dan

mencerminkan kemampuan memberi anak untuk menerima dan merespons

gagasan dan tindakan yang awalnya bukan miliknya sendiri.Group play

(permainan sosial) adalah dasar untuk hubungan yang berkelanjutan

dengan orang-orang dan membutuhkan sharing tentang hal-hal dan

gagasan, mengatur permainan dan aktivitas, dan berteman. Aspek lain dari

permainan kooperatif adalah penekanan pada teman sebaya dan menjauh

dari kepentingan orang dewasa dalam kehidupan anak. Anak usia 6 sampai

8 tahun memperluas permainan kooperative dan simbolis 'untuk mencakup

perencanaan dan pembuatan peraturan yang terperinci. Peran

kepemimpinan mulai muncul saat bermain dengan serius (Susan, Beaver,

2016).

4. Jenis-Jenis Cooperative Play

Beberapa jenis cooperative play diantaranya adalah :

a. Permainan head and hands ball

Permainan head and hands ball adalah permainan untuk menjaga

bola tetap melambung di udara. Permainan ini mencoba untuk melatih

anak dalam meningkatkan kerjasama dengan rekan

kelompoknya.Kerjasama terlihat pada saat anak-anak dalam

kelompoknya harus berusaha secara bersama-sama supaya bola tetap

melambung diudara dan tidak boleh terjatuh (Doyle, 2010).


b. Permainan chan tag

Permainan chan tag adalah permainan membuat rantai. Tujuan

dari permainan ini adalah untuk meningkatkan kerjasama

anak.Kerjasama dalam permainan ini terlihat pada saat anak-anak yang

menjadi rantai berusaha bersama-sama dalam kelompoknya untuk

menangkap sebanyak mungkin teman mereka agar dapat membentuk

menjadi sebuah rantai yang banyak (Doyle, 2010).

c. Permainan membangun balok bersama

Permainan susun balok adalah permainan edukatif sederhana

dengan menggunakan balok-balok kecil yang dapat disusun

sedemikian rupa membentuk suatu bangun.Permainan ini juga dapat

digunakan untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan

teman-temannya.Anak diharuskan untuk berdiskusi dalam

memecahkan masalah yang sederhana, yaitu memutuskan bersama

untuk membangun sesuatu dari balok yang disediakan.Anak dapat

memainkan permainan ini secara aktif dalam membangun sesuatu

menggunakan bahan/material yang sudah tersedia dengan pengetahuan

yang dimilikinya. Tujuan dari permainan ini adalah untuk mengasah

imajinasi anak dan kerja sama anak dengan rekannya dalam menyusun

serta merangkai balok-balok menjadi sebuah bangunan menara,

gedung, rumah, jalan, dan sebagainya (Terry Orlick, 2013).

Selain itu menurut Terry Orlick (2013), ada beberapa manfaat

yang dapat diperoleh dari permainan ini, yang antara lain :


1) Belajar mengenai konsep

Bermain susun balok akan ditemukan beragam konsep,

seperti warna, bentuk, ukuran, dan keseimbangan. Orangtua bisa

mengenalkan konsep-konsep tersebut saat anak bermain susun

balok.

2) Belajar mengembangkan imajinasi

Anak membangun sesuatu tentunya diperlukan kemampuan

berimajinasi.Imajinasi yang dituangkan dalam karya mengasah

kreativitas anak dalam mencipta beragam bentuk.

3) Melatih kesabaran

Anak menyusun balok satu demi satu agar terbentuk

bangunan seperti dalam imajinasinya, tentu memerlukan

kesabaran. Hal ini berarti akan melatih anak untuk melakukan

proses dari awal sampai akhir demi mencapai sesuatu.

4) Secara sosial anak belajar berbagi

Anak yang bermain susun balok dengan rekannya akan

terlatih untuk berbagi. Misalnya, jika si rekan kekurangan balok

tertentu, anak diminta untuk mau membagi balok yang dibutuhkan

atau secara bersama membangun sebuah bangunan dengan kerja

sama.

5) Mengembangkan rasa percaya diri anak

Anak bermain susun balok dan bisa membuat bangunan tentu

akan merasa puas dan gembira. Pencapaian ini akan menumbuhkan

rasa percaya diri akan kemampuannya.


d. Permainan teka-teki potongan gambar (puzzle)

Permainan teka-teki potongan gambar atau biasa disebut puzzle

adalah permainan edukatif sederhana dengan menggunakan gambar

utuh yang dapat dipecah-pecah untuk disusun kembali menjadi gambar

utuh. Anak dapat memainkan permainan ini secara aktif dalam

menyusun kembali potongan-potongan gambar secara tepat dengan

menggunakan gambar yang sudah tersedia berdasarkanpengetahuan

yang dimilikinya. Tujuan dari permainan ini adalah untuk mengasah

daya ingat, imajinasi, serta kerja sama anak dengan rekannya dalam

menyusun serta merangkai potongan gambar tadi menjadi gambar utuh

seperti semula (Terry Orlick, 2013).

Menurut Terry (2013), ada beberapa manfaat lainnya yang dapat

diperoleh dari permainan ini, yang antara lain:

1) Meningkatkan keterampilan kognitif

Keterampilan kognitif berkaitan dengan kemampuan untuk

belajar dan memecahkan masalah. Puzzle adalah permainan yang

menarik bagi anak balita karena anak balita pada dasarnya

menyukai bentuk gambar dan warna yang menarik. Permainan

puzzle yang dimainkan anak akan memberi kesempatan anak untuk

memecahkan masalah yaitu menyusun gambar. Tahap awal

mengenal puzzle, anak mungkin mencoba untuk menyusun gambar

puzzle dengan cara mencoba memasang-masangkan bagian-bagian

puzzle tanpa petunjuk. Arahan dan contoh yang ada akan membuat
anak dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya dengan cara

mencoba menyesuaikan bentuk, menyesuaikan warna, atau logika.

2) Meningkatkan keterampilan motorik halus

Keterampilan motorik halus berkaitan dengan kemampuan

anak menggunakan otot-otot kecilnya khususnya tangan dan jari-

jari tangan. Bermain puzzlesecara tanpa disadari,anak akan belajar

secara aktif menggunakan jari-jari tangannya.

3) Meningkatkan keterampilan sosial

Keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan

berinteraksi dengan orang lain. Puzzle dapat dimainkan secara

perorangan dan juga secara berkelompok. Permainan yang

dilakukan oleh anak-anak secara kelompok akan meningkatkan

interaksi sosial anak. Anak akan saling menghargai, saling

membantu dan berdiskusi dengan anak lain dalam kelompoknya.

Orang tua dapat menemani anak untuk berdiskusi menyelesaikan

puzzlenya, tetapi fungsi orang tua hanya memberikan arahan

kepada anak dan tidak terlibat secara aktif membantu anak

menyusun puzzle.

e. Permainan menyusun huruf bersama

Permainan menyusun huruf bersama bertujuan untuk

meningkatkan kerja sama dengan mengharuskan anak-anak menyusun

kepingan huruf menjadi suatu kalimat. Anak harus melakukannya

secara bersama-sama dengan teman-teman dalam kelompok agar dapat

menyusunnya lebih cepat dibanding kelompok lain.


f. Permainan tebak kata

Permainan tebak kata adalah permainan menebak kata yang

diperagakan oleh orang tua. Interaksi sosial anak dapat dikembangkan

melalui permainan ini, karena dalam pelaksanaannya anak akan

diminta untuk mengeluarkan pendapatnya dan masing-masing anak

dalam kelompok harus berdiskusi untuk menebak kata yang dimaksud

oleh orang tua dengan tepat.

g. Permainan petualangan

Permainan petualangan adalah permainan yang membutuhkan

kebebasan dalam bergerak dan dibutuhkan ruangan yang aman bagi

anak dalam melalukan permainan.Tujuan dari kegiatan permainan ini

adalah untuk menumbuhkan interaksi sosial anak antar saudara

kandung, orang tua serta interaksi dengan lingkungan diluar rumah.

D. Bermain Puzzle

1. Pengertian

Menurut Hidayat (2009), permainan merupakan kebahagaian bagi

anak-anak untuk mengekspresikan berbagai perasaan serta belajar

bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Permainan puzzle

melibatkan koordinasi mata dan tangan. Namun secara khusus puzzle

biasanya terbentuk dari sebuah gambar yang terpotong-potong menurut

bagian tertentu. Puzzle dapat terbuat dari plastik, spon, kertas, ataupun

kayu tebal. Bahan puzzle yang paling baik bagi kegiatan belajar mengajar

adalah dari kayu. Seiring waktu, semakin tinggi usia anak, maka makin

tinggi tingkat kesulitan puzzle akan semakin bertambah. Biasanya hal ini
ditunjukkan dengan jumlah kepingan yang semakin banyak dengan ukuran

yang lebih kecil.

Media yang digunakan dalam pengobatan atau penyembuhan

adalah berupa suatu puzzle. Menurut Ismail, (2009), puzzle adalah

permainan yang menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah

dalam beberapa bagian. Permainan puzzle melibatkan koordinasi mata dan

tangan. Namun secara khusus puzzle biasanya terbentuk dari sebuah

gambar yang terpotong-potong menurut bagian tertentu. Puzzle merupakan

media yang berbentuk potongan-ptongan gambar yang digunakan untuk

menyalurkan pesan pembelajaran, sehingga dapat menstimulus perhatian,

minat, pikiran dan perasaan anak selama proses pembelajaran (Santyasa,

2013).

Menurut Olivia (2009), puzzle adalah sebuah permainan

menggabungkan gambar yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan

yang memiliki arti. Bermain puzzle akan melatih anak berpikir kritis

dengan cara asyik. Maianan berupa gambar terbagi dalam potongan-

potongan yang beraneka bentuk, bahan dan ukuran dari tingkat yang

mudah sampai ketingkat lebih rumit. Adapun gambarnya bermacam-

macam seperti kartun, mobil, buah-buahan dan sebagainya. Secara tidak

langsung anak akan diminta memecahkan sebuah masalah. Masalahnya

adalah menggabungkan potongan-potongan sehingga terbentuk sebuah

gambar utuh. Otak anak akan dilatih untuk berpikir kreatif dengan

memasang kepingan gambar ketika tangan memasang potongan gambar,

keterampilan motorik halus anak akan semakin terasah. Motorik halus


adalah koordinasi antara otot-otot kecil. Semakin terampil anak memasang

potongan gambar, keterampilan anak akan semakin baik. Berulang kali

anak mencoba memasang dan menggabungkan potongan gambar,

mambantu anak membuat kesimpulan sebuah masalah.

2. Manfaat Puzzle

Beberapa manfaat bermain puzzle bagi anak-anak menurut

Muliwan (2009), antara lain :

a. Meningkatkan konsentrasi belajar.

Keterampilan kognitif (cognitive skill) berkaitan dengan

kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah.

b. Meningkatkan keterampilan motorik halus

Keterampilan motorik halus (fine motor skill) berkaitan dengan

kemampuan penyandang down syndrom menggunakan otot-otot

kecilnya khusus tangan dan jari-jari tangan. Anak berkebutuhan

khusus, khususnya pada penyandang down syndrom direkomendasikan

banyak mendapatkan latihan kemampuan motorik halus dengan

bermain puzzle.

c. Meningkatkan keterampilan sosial

Keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan berinteraksi

dengan orang lain. Puzzle dapat dimainkan secara perorangan, namun

puzzle dapat pula dimainkan secara kelompok. Permainan yang

dilakukan oleh anak-anak secara kelompok akan meningkatkan

interaksi sosial anak. Dalam kelompok anak akan saling menghargai,

saling membantu dan berdiskusi satu sama lain. Jika anak bermain
puzzle di rumah orang tua dapat menemani anak untuk berdiskusi

menyelesaikan puzzlenya, tetapi sebaiknya orang tua hanya

memberikan arahan kepada anak dan tidak terlibat secara aktif

membantu anak menyusun puzzle.

d. Meningkatkan Keterampilan Kognitif

Keterampilan kognitif (cognitive skill) berkaitan dengan

kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah. Puzzle adalah

permainan yang menarik bagi anak karena anak pada dasarnya

menyukai bentuk gambar dan warna yang menarik. Hal ini tentunya

akan berkaitan dengan peningkatan kemampuan belajar dan juga

dalam memecahkan masalah. Berinteraksi dan berdiskusi sangat

mungkin terjadi saat anak berusaha memecahkan puzzle miliknya.

e. Meningkatkan Keterampilan Motorik Halus

Keterampilan motorik halus (fine motor skill) berkaitan

dengan kemampuan anak menggunakan otot-otot kecilnya khususnya

tangan dan jari-jari tangan. Anak balita khususnya anak berusia kurang

dari tiga tahun (batita) direkomendasikan banyak mendapatkan latihan

keterampilan motorik halus. Dengan bermain puzzle tanpa disadari

anak akan belajar secara aktif menggunakan jari-jari tangannya.

f. Melatih koordinasi mata dan tangan.

Anak belajar mencocokkan keeping-keping puzzle dan

menyusunnya menjadi satu gambar. Ini langkah penting menuju

pengembangan ketrampilan membaca.


g. Melatih logika

Membantu melatih logika anak. Misalnya puzzle bergambar

manusia. Anak dilatih menyimpulkan di mana letak kepala, tangan dan

kaki sesuai logika.

h. Melatih kesabaran.

Bermain puzzle membutuhkan ketekunan, kesabaran dan

memerlukan waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan.

3. Fungsi Bermain puzzle

Menurut Suciati (2010), menyatakan bahwa bermain puzzle

memiliki fungsi dua fungsi utama. Fungsi tersebut yaitu sebagai alat

pendidikan dan sebagai alat perawatan

a. Sebagai alat pendidikan

Bermain merupakan cara yang paling baik untuk

mengembangkan kemampuan anak didik. Para ahli pendidikan dalam

risetnya menyatakan bahwa cara belajar anak yang paling efektif ada

pada permainan anak yaitu dengan bermain dalam kegiatan belajar

mengajarnya. Secara alamiah bermain dapat memotivasi anak untuk

mengetahui sesuatu yang lebih dalam dan secara spontan pula anak

mengembangkan bahasanya,mendapat kesempatan bereksperimen dan

memahami konsep-konsep sesuia dengan permainan dirinya.

Perkembangan bermain sebagai cara pembelajaran hendaknya

disesuaikan dengan perkembangan umur, kemampuan dan minat anak

didik yang secara berangsur-angsur dikembangkan konsep bermain


sambil belajar. Bermain sebagai bentuk kegiatan belajar adalah

bermain yang kreatif, menyenagkan dan bersifat mendidik.

b. Sebagai alat perawatan

Sudah banyak pula di antara ahli jiwa yang menggunakan

permainan sebagai salah satu alat dalam merawat anak-anak yang

mengalami gangguan kejiwaan, kareana permainan itu lebih mendekati

pada kejiwaan anak. dalam bermain itu, mereka dapat mengungkapak

pertentangan batin, kecemasan dan ketakutannya. Dengan demikian,

selain dapat menjadi sarana untuk menegmbangkan pengetahuan dan

pengalaman, bermain juga dapat media psikoterapi atau perawatan.

E. Interaksi sosial

1. Pengertian

Interaksi sosial sendiri merupakan suatu hubungan antara dua orang

atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu

mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lainnya

atau sebaliknya (Bonner dalam Handayani, 2013: 2). Syarat terjadinya

interaksi adalah terdapat kontak sosial dan komunikasi, sedangkan bentuk-

bentuk interaksi sosial dapat berupa saling bekeja sama (Handayani,

2013).

2. Interaksi sosial anak down syndrome

Pada anakdown syndrom, interaksi yang terjadi tentu tidak sama

dengan anak normal. Interaksi dengan orang lain menjadi salah satu

hambatan besar. Anak dengan gangguan down syndrom mengalami

kesulitan dalam menjalin interaksi yang berupa kontak mata, ekspresi, atau
gerak-gerik. Selain itu, mereka mengalami gangguan dalam bermain

dengan teman sebaya, tidak adanya empati, juga tidak adanya timbale

balik secara sosio emosional. Menurut DSM- IV (APA, 2008).

Kesulitan tersebut menurunKualitas dan jumlah pengalaman sosial,Yang

berpotensi menghasilkan efek negatif yang serius pada kemampuan

mereka untuk beradaptasi dengan kehidupan orang dewasaDan pada

integrasi sosial mereka. Kemampuan ituHarus dirangsang olehLingkungan

sekolahUntuk pengembangan aspek kehidupan yang lengkap,

keduanyaPada anak DS dan anak-anak dengan tipikalpengembangan.

Dengan demikian, inklusi didirikan padaDimensi manusia dan sosial

budaya yangMencoba untuk meningkatkan bentuk interaksi positif,

kemungkinan dan dukungan untuk kesulitan, danMemenuhi kebutuhan,

semua yang dilakukan oleh siswa, orang tua, dan komunitas

sekolah.Antara lain, anak-anak dengan Down Syndrome milikiTerbukti

menunjukkan defisit sosialKemampuan asertif, yang bergantung pada

inisiatif yang lebih kuat dan untuk mengembangkan pasif yang lebih baik

Keterampilan sosial, yang berarti di mana di Kepasihan lingkungan adalah

penentu.(Anho et al., 2010).

Gangguan-gangguan tersebut dikarenakan anak down syndrom

mengalami kelainan dalam sistem neuro-anatomis pada struktur otak,

yaitu lobus parietalis yang mengakibatkan mereka tidak peduli dengan

lingkungan. Otak kecil (Cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan VII.

Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensori, daya ingat, berpikir

belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Sehingga penyandang


down syndrome mengalami gangguan atau kekacauan komunikasi impuls

otak. (Handojo, 2013).

Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial

yang dinamis.Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan

antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang

satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan

individu.Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan

sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh

mereka yang menggunakannya (Hermawan, 2011).

Thibaut dan Kelley, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa

saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir

bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau

berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap

orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain (Ali, 2010)

Menurut Asrori (2009), menjelaskan bahwa interaksi sosial adalah

hubungan individu pada suatu kelompok kecil dengan rata-rata usia

yang sepadan atau hampir sama.Interaksi memiliki komponen yaitu

keterbukaan, kerjasama dan frekuensi. Anak dengan down syndrom dapat

melakukan identifikasi dan imitasi terhadap perilaku teman-temannya

ketika berada di lingkungan kelompok teman tersebut. Misalnya, ketika

dalam permainan tikus dan kucing, teman-teman semua bergandengan

tangan, anak dengan down syndrom juga menurut untuk berputar-putar

dan bergandengan tangan. Salah satu hambatan interaksi sosial bagi anak

down syndrom disebabkan oleh hambatan dalam membagi perhatian


(joint attention). Aspek tersebut nampak pada diri down syndrom, dimana

down syndrom mengalami kesulitan dalam berbagi perhatian, down

syndrom lebih tertarik dan fokus dengan diri sendiri. Anak Down syndrom

menggunakan instrument gesture (gerak isyarat instrumental) yang

berupa menarik tangan namun ia tidak melakukan diiringi dengan

exspresive gesture (gerak isyarat pernyataan perasaan).

Menurut Dhelpie (2009), salah satu interakasi sosial pada anak

down syndrom adalah bersifat passive. Anak down syndrom ini terlihat

tidak tertarik dengan lingkungan namun mudah menerima ajakan orang

lain. Anak dengan Down syndrome cenderung tidak peduli dengan

lingkungan, bahkan memberikan respon yang sangat kurang namun ia

tidak menolak ketika diajak bermain atau berkerjasama dengan orang lain.

Kerjasama yang dilakukan down syndrom dengan teman-teman sebayanya

adalah ketika dalam pembelajaran di sekolah maupun di tempat terapi,

dimana down syndrom di dorong untuk terlibat melakukan sesuatu,

misalnya saling menendang bola, saling bergandengan tangan, memegang

pundak teman dan lain-lain. Pola interaksi yang terjadi teman sebaya pada

diri down syndrom disebabkan oleh adanya berbagai stimulus diantaranya

stimulus-stimulus yang berasal dari teman-teman, fasilitas pembelajaran

atau permainan, dan dorongan emosi dalam diri down syndrom sendiri.
3. Indikator kemampuan interaksi sosial.

Indikator perilaku dengan Down Syndrome menurut (Anho, 2009).

Dan perkembangan reguler memulai interaksi sosial, yaitu :

a. Apakah dia membuatKontak sosial dengan anak lain

b. Permainan yang disarankan

c. Memulai dialog dengan anak lain

d. Mengundang rekan bermain

Adapun aspekkemampuan sosial anak menurut (Gunarti, 2008) yaitu

sebagai berikut:

a. Mau bekerjasama dengan teman ketika melakukan

kegiatan,mencakup amatannya yaitu:

1) Anak mau menolong teman

2) Anak menawarkan bantuan kepada teman

3) Anak mengajak teman bermain

b. Mau menbagi miliknya, maksudnya yaitu:

1) Anak didik mau menawarkan dan memberikan makanankepada

teman

c. Memiliki sopan santun dan mengucap salam, mencakup amatannya

yaitu:

1) Anak dapat mengucapkan terima kasih setelahmemperoleh

sesuatu

2) Anak dapat mengucapkan dan menjawab salam


4. Jenis-jenis Interaksi Sosial

Menurut Hermawan (2011), interaksi sosial ada tiga macam, yaitu:

a. Interaksi antara individu dan individu

Dalam interaksi itu individu yang satu memberikan pengaruh,

rangsangan, atau stimulus kepada individu lainnya. Sebaliknya,

individu yang terkena pengaruh itu akan memberikan reaksi,

tanggapan, atau respons. Wujud interaksinya dapat berupa kerlingan

mata, jabat tangan, saling menyapa, bercakap-cakap, atau mungkin

bertengkar, interaksi social dapat terjadi tanpa berbincang-bincang,

misalnya, orang yang sedang marah, tidak menyapa terhadap

temannya, saling berdiam diri atau orang yang bertingkah aneh yang

mengundang perhatian orang banyak.

b. Interaksi antara individu dan kelompok

Dalam interaksi itu seorang individu berinteraksi sosial dengan

kelompok. Contohnya, seorang ketua kelas yang sedang memberlkan

penjelasan di depan teman-temannya mengenai pembagian tugas piket

kelas, atau seorang mahasiswa praktek kerja lapangan (PKL) yang

sedang mengajar didepan kelas.

c. Interaksi antara kelompok dan kelompok

Dalam interaksi ini kepentingan individu-individu dalam

kelompok merupakan satu kesatuan, dan berhubungan dengan

kepentingan individu-individu dalam kelompok lain. Contohnya,

kelompok dasawisma dalam suatu RT mengundang dasawisma


kelompok lain dalam rangka syukuran atas kemenangannya pada

lomba simulasi P-4.

5. Ciri-ciri Interaksi Sosial

Menurut Ruswandi (2010), ciri-ciri interaksi sosial ada empat macam:

a. Pelakunya lebih dari satu orang.

b. Ada komunikasi di antara pelaku melalui kontak sosial.

c. Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas terlepas dari sama atau

tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pelakunya.

d. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang)

yang akan menentukan sikap aksi yang sedang berlangsung.

6. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Menurut Kuswanto (2010), menyatakan bahwa bentuk-bentuk

interaksi social terbagi menjadi beberapa bentuk yaitu :

a. Proses-proses sosial yang asosiatif

Artinya adalah proses-proses sosial yang mengarah pada

kesatuan yang terwujud dalam bentuk sebagai berikut.

1) Kerja sama (cooperation)

Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok

manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama.

Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat

digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada

kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai

manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan

dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam
perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan

bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya

dapat terlaksana dengan baik.

Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan

terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya

(yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat

jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.

Ada empat bentuk kerja sama, yaitu sebagai berikut :

a) Tawar menawar (bargaining) adalah pelaksanaan perjanjian

mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau

lebih.

b) Kooptasi (cooptation) adalah suatu proses penerimaan unsur-

unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik

dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghundari

kegoncangan dalam organisasi.

c) Koalisasi (coalitation) adalah kombinasi antara dua organisasi

atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama.

d) Joint Venture adalah kerja sama dalam mengusahakan proyek-

proyek tertentu.

2) Akomodasi (accomodation)

Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujukk

pada suatu keadaan dan yntuk menujuk pada suatu proses.

Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan

dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok


manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-

nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses

akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan

suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai

kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin dalam Kuswanto (2010),

akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para

sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-

hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi.

Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok

manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan

penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.

Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan

pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan

tidak kehilangan kepribadiannya.

Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi

yang dihadapinya, yaitu :

a) Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok

manusia sebagai akibat perbedaan paham

b) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara

waktu atau secara temporer

c) Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial

yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis


dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang

mengenal sistem berkasta.

d) mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.

Akomodasi sebagai suatu proses mempunyai beberapa

bentuk, sebagai berikut.

a) Koersi (coertion) yaitu bentuk akomodasi yang prosesnya

terjadi karena adanya paksaan dari pihak yang lebih kuat.

b) Kompromi yaitu bentuk akomodasi di mana pihak-pihak yang

terlibatn masing-masing mengurangi tuntutannya agar tercapai

suatu penyelesaiannya.

c) Arbitrase yaitu penyelesaian pertentangan oleh pihak ketiga

yang dipilah oleh kedua belah pihak.

d) Mediasi yaitu hampir sama dengan arbitrase tetapi pihak ketiga

netral, hanya sebagai penasihat.

e) Konsiliasi yaitu suatu usaha mempertemukan pihak-pihak yang

berselisih bagi tercapainya persetujuan bersama.

f) Toleransi yaitu suatu usaha untuk menghindarkan diri dari

perselisihan dengan membiarkan atau menghormati pihak lain

yang mempunyai pandangan yang berbeda.

g) Stalemate yaitu suatu bentuk akomodasi di mana pihak-pihak

yang bertentangan mempunyai kekuatan yang seimbang

sehingga berhenti pada titik tertentu tanpa bias maju ataupun

mundur.
h) Adjudikasi yaitu suatu penyelesaian perkara melalui

pengadilan.

3) Asimilasi (asimilation)

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia

ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-

perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-

kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk

mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental

dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

Asimilasi yaitu suatu proses yang ditandai oleh adanya

usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara

orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia. Proses

asimilasi dapat terjadi apabila:

a) Ada kelompok-kelompok yang berbeda budayanya.

b) Saling bergaul langsung dan intensif untuk waktu yang lama

c) Kebudayaan dari kelompok-kelompok tersebut masing-masing

berubah dan saling menyesuaikan diri.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu

asimilasi adalah :

a) Toleransi

b) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi

c) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

d) Sikap tebuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat

e) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan


f) perkawinan campuran (amaigamation)

g) Adanya musuh bersama dari luar

Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam

masyarakat kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang

dihadapi dan sehubungan dengan itu seringkali menimbulkan

faktor ketiga perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan

yang dihadapi perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau

kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau

kelompok lainnya.

Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau

perbedaan ciri-ciri badaniah dapat pula menjadi salah satu

penghalang terjadinya asimilasi In-Group-Feeling yang kuat

menjadi penghalang berlangsungnya asimilasi.In Group Feeling

berarti adanya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu

terikat pada kelompok dan kebudayaan kelompok yang

bersangkutan.

Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam

hubungan sosial dan dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial.

Proses yang disebut terakhir biasa dinamakan akulturasi.

Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi sosial

kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.


b. Proses-proses sosial disosiatif

Artinya adalah proses-proses social yang memgarah pada

perpecahan. Proses-proses sosial disosiatif atau bersifat oposisi ada

tiga bentuk sebagai berikut :

1) Persaingan/kompetisi (competition)

Persaingan yaitu proses social dimana individu atau

kelompok manusia bersaing untuk mencapai keuntungan dan

tujuan tertentu tanpa memggunakan ancaman atau kekerasan.

2) Kontravensi (contravertion)

Kontravensi yaitu sikap mental yang bersembunyi terhadap

orang-orang lain atau unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu

(antara persaingan dengan pertentangan atau pertikaian).

3) Pertentangan/pertikaian (conflict)

Pertentangan yaitu suatu proses social dimana orang

perorang atau kelompok berusaha mencapai tujuannya dengan

jalan menantang pihak lawan yang disertai ancaman atau

kekerasan. Interaksi sosial yang terjadi antara individu-individu

dalam menjalankan peran social sesuai dengan kedudukannya di

masyarakat.

7. Syarat terjadinya Interaksi Sosial

Menurut Effendy (2010), dalam interaksi sosial terdapat syarat-syarat

terjadinya interaksi sosial tersebut yaitu :


a. Kontak Sosial

1) Menurut caranya

a) Kontak langsung, terjadi secara fisik. Misalnya, berjabat

tangan, memukul, tersenyum, dan lain-lain.

b) Kontak Tidak Langsung, terjadi melalui media, atau perantara

tertentu. Misalnya, pesawat telepon, radio, TV, surat, dan lain-

lain.

2) Menurut bentuknya

a) Kontak antara individu dengan individu, misalnya tindakan

seorang anak mempelajari kebiasaan-kebiasaan keluarga.

b) Kontak antara kelompok dengan kelompok, misalnya intivasi

bola voli antarsiswa SMA.

c) Kontak antara individu dengan kelompok, misalnya tindakan

seorang guru mengajar siswa agar mereka mempunyai persepsi

yang sama tentang sebuah masalah.

3) Menurut sifatnya

a) Kontak positif mengarah pada suatu kerja sama. Misalnya,

seorang pedagang melayani pelanggannya dengan baik dan si

pelanggan merasa puas dalam transaksi tersebut.

b) Kontak negatif mengarah pada suatu pertentangan bahkan

berakibat memutuskan interaksi sebagaimana tampak dalam

perang Iran-Irak.
4) Menurut hubungannya

a) Kontak Primer terjadi apabila orang yang mengadakan

hubungan langsung bertemu dan bertatap muka. Misalnya,

orang-orang tersebut berjabat tangan, saling melemparkan

senyum, dan seterusnya.

b) Kontak Sekunder memerlukan suatu perantara atau media, baik

orang maupun alat. Misalnya, hubungan dalam era globalisasi

sekarang menggunakan telepon, internet dan lain-lain.

b. Harus ada komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses saling memberikan tafsirab

kepada/dari pelaku pihak laindan melalui tafsian itu lalu mewujudkan

perilaku sebagai reaksi terhadap maksud/pesan yang ingin disampaikan

oleh pihak lain atau cara-cara agar hubungan manusia berlangsung

efisien dan efektif.

8. Faktor-faktor penyebab terjadinya interaksi sosial

Menurut Kuswanto (2010), dalam interaksi sosial terdapat

beberapa factor penyebab terjadinya interaksi sosial tersebut yaitu :

a. Imitasi

Imitasi atau dorongan untuk meniru mempunyai peran penting

dalam proses interaksi social. Segi positifnya adalah imitasi dapat

mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang

berlaku.Namun, imitasi dapat pula mengakibatkan hal yang negatif,

misalnya, meniru tindakan yang menyimpang.Selain itu imitasi juga


dapat melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreasi

seseorang.

b. Sugesti

Sugesti dapat berlangsung apabila seseorang memberi

pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian

diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini hamper sama dengan imitasi,

tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi,

karena pihak yang menerima dilanda emosi yang dapat menghambat

daya berpikir rasional dan akal sehat

c. Identifikasi

Identifikasi merupakan kecenderungan atau keinginan dalam

diri seseorang untuk menjadikan sama (identik atau serupa) dengan

pihak lain. Identifikasi ini lebuh mendalam daripada imitasi, karena

kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.

Berlangsungnya identifikasi mengakibatnkan terjadinya pengaruh yang

lebih mendalam daripada proses imitasi dan sugesti. Ada

kemungkinannya, bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali

dengan imitasi atau sugesti.

d. Simpati

Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa

tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan seseorang

memegang peranan yang penting. Dorongan utamanya yaitu keinginan

untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Inilah

perbedaannya dengan identifikasi yang didorong oleh keinginan untuk


belajar dari pihak lain yang dianggap pribadinya lebih tinggi dan harus

dihormati, karena mempunyai kelebihan atau kemampuan tertentu

yang patut dijadikan teladan. Proses simpati akan berkembang di

dalam suatu keadaan di mana faktor saling mengerti dapat

ditumbuhkan.

e. Empati

Empati mirip perasaan simpati, akan tetapi tidak semata-mata

perasaan kejiwaan saja. Empati dibarengi perasaan organisme tubuh

yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat orang celaka sampai

luka berat dan orang itu kerabat atau teman dekat kita, maka perasaan

empati menempatkan kita seolah-olah ikut celaka. Kita tidak hanya

merasa kasihan terhadap musibah itu, tetapi, kita ikut merasakan

penderitaannya.

f. Motivasi

Bila dibandingkan dengan sugesti yang lebih bersifat negative

karena mampu mendorong orang berperilaku atau bertindak irasional,

maka motivasi lebih bersifat positif. Motivasi merupakan dorongan,

rangsangan, pengaruh atau stimulas yang diberikan seorang individu

lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi motivasi tersebut

menuruti atau melaksanakan apa yang dimotivasikan secara kritis,

rasional, dan penuh tanggung jawab.

9. Tingkat hubungan dalam interaksi sosial

a. Mendalam, jika interaksi dilakukan atas dasar ikatan batin, kasih

sayang, dan mempengaruhi pembentukan kepribadian sesorang atau


kelompok. Contohnya, hubungan dalam keluarga; antara orang tua

dengan anak-anaknya;hubungan antara saudara;hubungan antara suami

dan istrinya.

b. Menengah, jika interaksi dilakukan untuk waktu yang cukup lama dan

mempengaruhi kebutuhan hidup dan karir seseorang atau sekelompok

orang, seperti hubungan atasan dengan bawahan, serta hubungan antar

rekan sekerja.

c. Dangkal, jika interaksi sosial dilakukan untuk waktu sesaat atas

kepentingan, keuntungan, dan kebutuhan sesaat yang ingin dicapai,

seperti hubungan antar pembeli dan pedagang, supir dengan

penumpang taksi.

F. Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan Sesudah

Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada Anak

Down Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang

Kemampuan sosialisasi pada anak down sindrom tidak berkembang

secara optimal, menyebabkan anak tidak dapat mandiri, tidak dapat melakukan

komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau orang lain, anak tidak dapat

melaksanakan tugasnya sebagai anggota masyarakat sesuai ketentuan-

ketentuan mengenai suatu pola perilaku sosial yang nodown sindromal

(Somantri 2007). Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan jiwa anak

selanjutnya, yakni menyebabkan anak mengalami frustasi, ketegangan,

kecemasan, gampang takut serta keregangan hubungan antara anak dengan

masyarakat di sekitarnya (Somantri 2007). Selain itu dapat pula menyebabkan


anak memiliki kepribadian introvert karena kurangnya stimulasi sosial,

bahasa, dan intelektual pada saat masih anak-anak (Rizka 2009).

Untuk dapat mandiri, anak sindroma down membutuhkan latihan, waktu

dan kasih sayang.Perkembangan mental dan kecerdasan anak dengan

Sindroma Down sangat bervariasi sehingga tidak memungkinkan untuk

mempridiksi kapasitas kecerdasan anak SD sesaat setelah lahir.Walaupun

menentukan metode pembelajaran bagi anak SD paling ideal ditentukan sesaat

setelah lahir melalui program intervensi dini.Perkembangan keterampilan

emosional dan sosial pada anak down sindrom ringan dan sedang dapat

dioptimalkan dengan menggunakan metode terapi bermain. Terapi bermain

yang digunakan adalah yang melibatkan interaksi dengan orang lain. Bermain

merupakan bagian integral dari masa anak-anak, suatu media unik sebagai

sarana mengembangkan keterampilan bahasa ekspresif, keterampilan

komunikasi, perkembangan emosional, keterampilan sosial, kemampuan

membuat keputusan dan perkembangan kognisi pada anak (Tedjasaputra

2009).

Pada saat melakukan aktifitas down syndrome, anak belajar berinteraksi

dengan teman, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar tentang nilai sosial

yang ada pada kelompoknya (Tedjasaputra 2009).Perkembangan keterampilan

sosialisasi anak bisa dilihat dari kegiatan bermain mereka. Bermain dengan

orang lain akan membantu anak mengembangkan hubungan sosial, belajar

memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Melalui bermain anak dapat

mengembangkan rasa harga diri, karena dengan bermain anak memperoleh

kemampuan untuk menguasai tubuh mereka, bendabenda dan keterampilan


sosial (Landreth 2010).Jadi dengan terapi bermain dapat meningkatkan

kemampuan sosialisasi anak.

Bermain adalah dunia anak-anak sebagai bahasa yang paling universal,

meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa

yang ada di dunia. Bermain juga menjadi media terapi yang baik bagi anak-

anak yang bermasalah selain berguna untuk mengembangkan potensi anak.

Bermain adalah sarana untuk memberikan kesempatan pada anak bergaul

dengan anak lain dan belajar mengenal berbagai aturan untuk menyesuaikan

diri dengan lingkungan sosial (Benih Ade, 2011)

Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat adalah dengan

memberikan terapi bermain pada anak down sindrom, berupa bentuk

permainan cooperative play dengan puzzle. Cooperative play adalah

permainan yang melibatkan interaksi sosial dalam kelompok dimana dapat

ditemui identitas kelompok dan kegiatan yang terorganisir antara pemimpin

dan anggota kelompok (Santrock 2010). Dalam cooperative play disini, salah

satu yang diterapkan adalah dengan puzzle. Menurut Susasanti (2009), puzzle

merupakan salah satu permainan yang dapat meningkatkan kreativitas dan

merangsang kecerdasan anak, karena puzzlemerupakan suatu masalah atau

misteri yang harus dipecahkan. Dalam terapi bermain cooperative play ini,

permainan puzzle dilakukan secara berkelompok.Setiap anak saling

berkomunikasi dan berinteraksi dalam menyusun puzzle. Peran perawat dalam

terapi bermain ini sebagai fasilitator, mendukung, dan mendorong terjadinya

proses interaksi anak saat dilakukan permainan. Diharapkan dari permainan

puzzle yang dilakukan secara berkelompok ini dapat meningkatkan


kemampuan interpersonal anak, sehingga kemampuan sosialisasinya dapat

meningkat.

Menurut hasil penelitian hardiyanti tahun 2015 dengan judul pengaruh

terapi bermain puzzel terhadap perkembangan sosial anak Retardasi Mental di

yayasan pembina anak cacat (YPAC) Makasar mengatakan bahwa penelitian

Dengan menggunakan bermain puzzel dapat berpengaruh deng lama

penelitian 6 hari sehingga dapat menghasilkan nilai p value== 0,008 ( =

0,05) dimana value<.


G. Kerangka Teori

Penyebab Down syindrome : Perkembangan anak down


1. Kromosom ekstra (trisomo syindrome:
21) 1. Perkembangan motorik kasar
2. Translokasi 2. Perkembangan motorik halus
3. Mosaicism 3. Perkembangan bahasa.
4. Meningkatnya usia ibu 4. Perkembangan Personal Sosial
saat hamil.

Dow
n syndrom

Faktor-faktor penyebab Jenis-jenis terapi bermain:


terjadinya interaksi sosial
Karakteristik sosial permainan
a. Imitasi
b. Sugesti 1. Bermain soliter atau mandiri
c. Identifikasi
Interaksi sosial 2. Bermain pararel
d. Simpati
e. Motivasi
f. Empati 3. Bermain Cooperatif play
a. Permainan teka-teki
potongan
3. Bermain gambar (puzzle)
asosiatif

1. Baik
2. Cukup
3. kurang

Gambar 2 . 1 Kerangka Teori


Sumber : Sudiono (2008), Soetjiningsih (2013), Wong (2008), Sobur (2011),

kuswanto (2010),
Kerangka Konsep

Variabel bebas/ independen Variabel terikat/ dependen

Terapi bermain cooperative Interaksi sosial pada anak


play dengan puzzle down syndrome

Gambar 2.2. Kerangka konsep

H. Variabel

Variabel bebas/ independen :Terapi bermain cooperative play dengan puzzle

Variabel terikat/ dependen : Interaksi sosial pada anak down syndrome

I. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Terdapat Perbedaan

Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan Sesudah Pemberian Terapi

Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada Anak Down Syndrom Di

Slb Kabupaten SemarangBerdasarkan uji non parametric yaitu wilcoxon

didapatkan nilai p-value dimana nilai p-value sebesar 0,000< (0,05). Ini

menunjukan bahwa ada perbedaan yang signifikan interaksi sosial sebelum

dan sesudah dilakukan terapi bermain Cooperative Play dengan puzzle

pada anak down syndrome di SLB N Ungaran Barat Kabupaten Semarang.

Sehingga dapat disimpulkan terapi bermain Cooperative Play dengan

puzzleefektif dalam meningkatkan interaksi sosial anak down syndrome di

SLB N Ungaran Kabupaten Semarang.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, desain penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre eksperimen. Pre exsperiment

design belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh karena masih terdapat

variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen.

Rancangan ini berguna untuk mendapatkan informasi awal terhadap

pertanyaan yang ada dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Groups Pretest-

Posttest Design, yaitu desain penelitian yang terdapat Pre test sebelum diberi

perlakuan dan post test setelah diberi perlakuan. Dengan demikian dapat

diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan diadakan

sebelum diberi perlakuan (Sugiyono, 2009). Kegiatan penelitian ini bertujuan

untuk menilai adakah Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan

Sesudah Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada

Anak Down Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang, Kabupaten Semarang atau

menguji hipotesis tentang ada-tidaknya efektivitas perlakuan yang diberikan.

Melalui penelitian eksperimen ini, peneliti ingin mengetahui bahwa terapi

bermain cooperative play dengan puzzle efektif untuk meningkatkan

perkembangan interaksi sosial pada anak down syndrom di SLB Ungaran,

Kabupaten Semarang
Rumus One Groups Pretest-Posttest Design :

O1 X O2

Gambar 3.1 Rumus Pre Experiment One Group Pre test-Post test Design

Keterangan :

1) O1 merupakan pre test

2) X merupakan treatment

3) O2 merupakan post test

B. Lokasidan waktu penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di SLB Ungaran, Kabupaten Semarang,

pada hari rabu 26 juli 2 agustus 2017.

C. Populasi dan sampel

1. Populasi.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak down syndrom

di SLB Ungaran, Kabupaten Semarang sejumlah 17 anak (Sumber data :

bagian administrasi SLB Ungaran, Kabupaten Semarang).

2. Sampel.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 17anak down

syndrom di SLB Ungaran, Kabupaten Semarang. Menurut Notoatmodjo

(2010), untuk menentukan besar sampel bila jumlah populasi kurang dari

100 lebih baik diambil semua. Teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik total populasi dimana semua anggota populasi

dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu sejumlah 17 anakdown

syndrom di SLB Ungaran, Kabupaten Semarang.

D. Definisi Operasional

Tabel 3.2. Definisi operasional


Skala
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur
Ukur
Variabel Suatu kegiatan bermain Eksperimen - -
Independent yang dilakukan oleh anak
Terapi dengan cara menyusun
bermain puzzle sebagai salah satu
puzzle sarana anak untuk dapat
mengalihkan rasa
sakitnya pada
permainannya dan
relaksasi melalui
kesenangannya
melakukan permainan
tersebut

Variabel Suatu bentuk hubungan Lembar Observasi Total skor : Interval


Dependen antara anak penderita Yang digunakan telah Kurang, jika skor
Interaksi down syndrom yang di modifikasi oleh 0%-55%
sosial terjalin melalui kontak peneliti dengan nilai: Cukup, jika skor
sosial dan interaksi sosial Mampu = 1 56%-75%
Tidak mampu= 0 Baik, jika skor >
75%

E. Alat dan cara pengumpulan data

1. Alat pengumpulan data

Instrumen yang digunakan untuk intervensi penelitian adalah SOP

pemberian terapi bermain puzzleyang dilakukan oleh peneliti dibantu

asisten peneliti (tenaga yang sudah terlatih) dan hasil kuesioner tentang

interaksi sosial pada anak down syndrom terhadap responden dengan


melakukan pengukuran interkasi sosial menggunakan Lembar Observasi

di SLB Ungaran, Kabupaten Semarang.

a. Uji Validitas

Dikarenakan alat / instrument yang digunakan dalam penelitian

ini Lembar Observasi, maka peneliti sudah melakukan uji experts

judgment. Penelitian ini menggunakan uji validitas konstruk (construct

validity) dengan menggunakan pendapat dari ahli (experts judgment).

Setelah instrumen dikonstruksi pada aspek-aspek yang telah diukur

dengan berlandaskan teori tertentu, maka sudah dikonsultasikan

dengan para ahli. Peneliti meminta bantuan kepada dosen ahli(Ns.

Zumrotul Choiriyah, S.Kep.,M.Kes, ) serta dosen pembimbing skripsi

untuk menelaah apakah materi instrumen telah sesuai dengan konsep

yang akan diukur. Pengujian validitas dengan cara experts judgement

adalah melalui menelaah kisi-kisi terutama kesesuaian dengan tujuan

penelitian dan butir-butir pertanyaan. Uji Validias ini dilakukan hari

selasa tgl 25 juli 2017 dan lembar observasi dinyatakan Valid dan siap

di gunakan untuk bahan penelitian oleh peneliti.

2. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulandatadalampenelitianiniyaitu:

a. Proses perijinandanbalasan

1) Peneliti sudah

mengurussuratperijinandarikampusUniversitasNgudiWaluyoUngara

n untuk studi pendahuluan dan penelitian.


2) Mengurussuratperijinanke KesbangpolKabupaten Semarang tgl 25

juli 2017

3) Setelah mendapatkan surat izin dari Kesbangpol Kabupaten

Semarang kemudian peneliti mengajukan surat izin ke kepala SLB

Negri Ungaran

4) Peneliti melakukan penelitian di SLB Ungaran, Kabupaten

Semarang setelah mendapatkan perijinan dari Kepala SLB Ungaran,

Kabupaten Semarang

5) Peneliti mendapatkan surat pernyataan telah menyelesaikan

penelitian dari kepalaSLB Ungaran, Kabupaten Semarang.

b. Proses pengumpulandatakelompokintervensi

1) Peneliti mengidentifikasidatayangtelahdiperolehdariSLB Ungaran,

Kabupaten Semarang mengenaijumlah anak yang mengalami down

syndrom.

2) Melakukanpersamaan persepsitentangcarapengukuran interaksi

sosial sertaprosedurpemberianbermain puzzle kepada ke-2

asistenagartidakterjadisalahpersepsi.

3) Penelitidan 2 asistenmendatangianak yang mengalami down

syndrom di SLB Ungaran, Kabupaten Semarang

danmendatapopulasidandimasukkanidentitaskliendilembaranobserva

si.

Proses pelaksanaan dalam penelitian ini

penelitimemilih2asistendenganketentuansebagaiberikut:

a. Mengetahuidanmenguasai caramelakukan terapi bermain puzzle


b. Asisten membantu dalam pemberian terapi bermain puzzle

terhadap 17 anak yang mengalami down syndrom

4) Menentukananakyangakan diberikan terapi bermain puzle.

5) Peneliti melakukansosialisasi kepada orang tua dan anak kelompok

sasaran dan selanjutnyamemberipenjelasanmengenaitujuan, manfaat

penelitianyangakandilakukan,danmenanyakankesediaannyauntukme

mbantuprosespenelitian.

6) Orang tua yang bersedia anaknya untuk diberikan terapi bermain

puzzle

selanjutnymenandatanganisuratpernyataanpersetujuan.Lembarperset

ujuanditandatanganisaat penderita

dalamkeadaantenangdenganwaktuyangcukupdantanpaadapaksaan.

7) Peneliti mendatangi satu persatu responden dengan dibantu oleh

asisten peneliti sesuai dengan sasaran responden yang telah

ditentukan.

8) Peneliti memberikan informasi singkat mengenai penelitian yang

berkaitan dengan tujuan, manfaaat, dan resiko yang berkaitan

dengan penelitian.

9) Peneliti melakukanpengukuraninteraksi sosial dengan memberikan

kuesioner yang sudah di siapkan oleh peneliti tentang interaksi

sosialpadaresponden sebelumdiberikanterapi pemberian terapi

bermain puzzle.
10) Memberikanterapi bermain puzzle selama 1kali dengan ketentuan

pemberian terapi dilakukan 6 kali selama 6 hari yaitu pada pagi hari

antara jam 08.00 WIB-10.00 WIB.

11) Peneliti melakukan pengukuran interaksi sosial kepada semua

responden karena dalam penelitian ini tidak ada responden yang

droup out setelah diberikan terapi bermain puzzle.

12) Hasilpengukuraninteraksi sosialdicantumkan padalembarobservasi.

F. Etika Penelitian

1. Prinsip menghargai hak

a. Informed Consent(Persetujuan Menjadi Responden)

Bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan, diberikan sebelum penelitian

dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

responden. Responden yang bersedia, kemudian menandatangani

lembar persetujuan, sedangkan bagi responden yang tidak bersedia,

maka peneliti menghormati hak responden. Untuk menghormati hak

dan martabat manusia, maka peneliti mempersiapkan formulir

persetujuan subjek penelitian (inform concent) dengan menggunakan

bahasa yang mudah dimengerti oleh responden yang mencakup :

1) Penjelasan manfaat penelitian

2) Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang

ditimbulkan.

3) Penjelasan manfaat yang didapatkan dari intervensi yang

diberikan.
4) Penjelasan waktu pemberian intervensi

5) Persetujuan yang dibuat dengan sukarela dan tidak ada sanksi

apapun jika subjek menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian.

6) Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek

penelitian kapan saja.

7) Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan

informasi yang diberikan.

8) Penelitian ini mempertimbangkan kemampuan subjek untuk

memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran.

Setelah subjek penelitian memahami inform concent yang

dijelaskan, maka subjek penelitian menandatangani lembar inform

concent.

b. Anonymity(Tanpa Nama)

Peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam

pengolahan data penelitian. Peneliti hanya menggunakan nama inisial

atau kode responden pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang akan disajikan.

c. Confidentiality (Kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil riset. Informasi yang diberikan oleh responden

serta semua data yang terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh peneliti

dengan cara memusnahkan data tersebut setelah selesai digunakan.


d. Beneficiency atau Benefits Ratio (risiko)

peneliti hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subyek pada setiap tindakan. Keuntungan

bagi responden dapat menerapkan terapi bermain puzzle untuk

meningkatkan interkasi sosial pada anak dengan down syndrom.

e. Non,aleficence

Kerahasiaan informasi responden akan dijaga oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan

sebagai hasil penelitiannya.

f. Protective From Discomfort,

Selama penelitian, responden setelah diberi terapi merasa lebih

nyaman dan tidak ada keluhan selama penelitian berlangsung.

2. Hak dan kewajiban responden

Menurut Notoatmodjo (2012), peneliti juga harus memperhatikan

hak dan kewajiban menjadi seseorang responden agar dalam penelitian

tidak ada yang dirugikan antara peneliti dan responden. Penelitian ini

bersifat tidak memaksa, oleh sebab itu responden mempunyai hak untuk

memutuskan ikut atau tidak ikut dalam penelitian ini. Sebelum melakukan

penelitian, peneliti menjelaskan tentang hak-hak subjek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan penelitian, memberikan kebebasan

kepada subjek penelitian untuk memberikan dan tidak memberikan

informasi.
Hak dan kewajiban sebagai responden antara lain :

a. Hak untuk dihargai privacynya

Privacy adalah hak setiap orang. Setiap orang mempunyai hak

untuk memperoleh privacy atau kebebasan pribadinya. Begitu juga

dengan responden mempunyai hak untuk dijaga privacynya.

b. Hak untuk merahasiakan informasi yang diberikan

Informasi yang didapatkan dari responden adalah milik ia

sendiri, tetapi karena diperlukan dan diberikan kepada peneliti maka

informasi tersebut dijamin oleh peneliti.

c. Hak mendapatkan keamanan

Peneliti harus bertanggung jawab apabilai infromasi yang

diberikan mengancam keselamatan responden dan keluarganya.

G. Pengolahan Data

1. Editing(Mengedit/MemeriksaData)

Editing yaitu kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian

lembar observasi. Penelitimemeriksadatayangdiperoleh,baik

mengenaiidentitaspasienhiperurisemuamaupunjawabanchecklist.

2. Skoring(Pemberian Nilai)

Peneliti memberi skor atau niai dari lembar observasi yang di dapatkan

oleh peneliti yang meneliti tentang Perbedan Perkembangn Interaksi

Sosial Sebelum dan Sesudah Pemberian Terapi Bermain Cooperative

Play Dengan Puzzle Pada Anak Down Syndrome. Pemberian skor untuk

Interkasi Sosial anak don syndrome :


a. Mampu = 1

b. Tidak mampu = 0

Setelah pemberian angka selesai kemudian dilakukan skoring sesuai

hasil lembar observasi dengan memberi nilai yang di dapatkan dari

lembar obsevasi. Skoring pada lembar observasi yang di dapatkan

dari responden.jika skor 0-55% kurang, 56-75% cukup, dan 75%

keatas dikategorikan Baik.

3. Coding(PemberianKode)

Coding yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan. Peneliti memberikankodepadadata

yangdiperoleh

untukmempermudahdalampengelompokkandanklasifikasidata.Setiapitemj

awabanpada lembarobservasidiberikodsesuaidengankaraktermasing-

masing. Coding tentang interaksi sosial pada anak dengan down syndrom:

4. Enteringatau Entry Data (Memasukkan Data)

Entering yaitu data dari masing-masing responden yang dalam

bentuk kode (angka) dimasukkan kedalam program atau software

komputer. Penelitian ini menggunakan program SPSS 16

(StatisticalProgramSocialScience). Analisis SPSS dalam penelitian ini

digunakan untuk normalitas test, homogenitas test, dependent test, dan

independent test.

5. Tabulating (Menyusun Data)


Tabulating yaitu membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan

penelitian.

6. Cleaning (Pembersihan Data)

Cleaning yaitu semua data dari setiap sumber data atau responden

selesai dimasukkan, dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan kode, dan ketidaklengkapan, kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi sehingga tidak terdapat kesalahan pada data

yang sudah di entry.

H. Analisis Data

1. Analisi Univariat

Menurut Notoadmodjo (2010) analisa univariat meliputi variabel

(dependen dan independen) dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi

dan proporsi, sehingga tergambar fenomena yang berhubungan dengan

variabel yang diteliti. Variabel yang dianalisis adalah :

a. Gambaran perkembangan interaksi sosial pada anak down syndrom di

SLB Ungaran, Kabupaten Semarang sebelum diberikan terapi bermain

cooperative play dengan puzzle

b. Gambaran perkembangan interaksi sosial pada anak down syndrom di

SLB Ungaran, Kabupaten Semarang setelah diberikan terapi bermain

cooperative play dengan puzzle

2. Analisi Bivariat

a. Uji normalitas data


Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data

berdistribusi normal atau tidak.Pengujian normalitas dalam

penelitian ini menggunakan uji Shapiro Wilk karena jumlah

responden 50 responden.Dalam penelitian ini normalitas data

dengan menggunakan uji saphiro wilk didapatkan p-value 0,000.

Karena p-value < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa distribusi

datanya tidak normal, sehingga skor untuk menentukan kategori

interaksi sosial menggunakan skor median. Median pre adalah

sebesar 10 dan media post adalah sebesar 14.

b. Uji hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Terdapat Perbedaan

Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Dan Sesudah

PemberianTerapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada

Anak Down Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang. Berdasarkan

uji non parametric yaitu wilcoxon didapatkan nilai p-value dimana

nilai p-value sebesar 0,000 < (0,05). Ini menunjukan bahwa ada

perbedaan yang signifikan interaksi sosial sebelum dan sesudah

dilakukan terapi bermain Cooperative Play dengan puzzle pada

anak down syndrome di SLB N Ungaran Barat Kabupaten

Semarang. Sehingga dapat disimpulkan terapi bermain

Cooperative Play dengan puzzleefektif dalam meningkatkan

interaksi sosial anak down syndrome di SLB N Ungaran

Kabupaten Semarang.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian mengenai analisis

perbedaanperkembangan interaksi sosial sebelum dan sesudah pemberian terapi

bermain cooperative play dengan puzzlepada anak down syndrom di SLB N

Ungaran Kabupaten Semarang. Untuk meneliti hubungan ini, telah dipilih

sejumlah 17 responden anak down syndrom di SLB Ungaran, Kabupaten

Semarang.Hasil-hasil dari penelitian ini disajikan pada tabel berikut ini.

A. Analisis Univariat

1. Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Pemberian Terapi Bermain

Cooperative Play dengan Puzzle

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perkembangan Interaksi


Sosial Sebelum Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play
dengan Puzzle pada Anak Down Syndrom di SLB N Ungaran
Kabupaten Semarang

Perkembangan Interaksi Sosial Frekuensi Persentase (%)


Kurang 3 17,6
Cukup 14 82,4
Baik 0 0,0
Jumlah 17 100,0

Berdasarkan tabel 4.1, diketahui bahwa dari 17 responden anak

down syndrom di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang, sebelum

diberikan terapi bermain Cooperative Play dengan Puzzle, perkembangan


interaksi sosial responden sebagian dalam katagori cukup, yaitu sejumlah

14 orang (82,4%).

2. Perkembangan Interaksi Sosial Sesudah Pemberian Terapi Bermain

Cooperative Play dengan Puzzle

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perkembangan Interaksi


Sosial Sebelum Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play
dengan Puzzle pada Anak Down Syndrom di SLB N Ungaran
Kabupaten Semarang

Perkembangan Interaksi Sosial Frekuensi Persentase (%)


Kurang 0 0,0
Cukup 1 5,9
Baik 16 94,1
Jumlah 17 100,0

Berdasarkan tabel 4.2, diketahui bahwa dari 17 responden anak

down syndrom di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang, sesudah

diberikan terapi bermain cooperative play dengan puzzle, perkembangan

interaksi sosial responden sebagian besar sudah dalam katagori baik, yaitu

sejumlah 16 orang (94,1%).

B. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dalam penelitian ini menyajikan hasil analisis

perbedaan perkembangan interaksi sosial sebelum dan sesudah pemberian

terapi bermain cooperative play dengan puzzlepada anak down syndrom di

SLB N Ungaran Kabupaten Semarang.Untuk mengetahui perbedaan ini,

dilakukan uji Wilcoxon karena data yang diperoleh tidak berdistribusi

normal.Data berdistribusi normal dibuktikan dengan hasil sebagai berikut.


1. Uji Normalitas

Tabel 4.3 Uji Normalitas Data

Perlaku
Variabel N p-value Keterangan
an
Skor Perkembangan Pretest 17 0,023 Tidak Normal
Interaksi Sosial
Posttest 17 0,000 Tidak Normal

Berdasarkan uji normalitas menggunakan uji Saphiro Wilk,

didapatkan p-value untuk variabel perkembangan interaksi sosial pretest

dan posttest masing-masing sebesar 0,023 dan 0,000. Oleh karena kedua

p-value tersebut 0,023 dan 0,000 < (0,05), maka dapat disimpulkan

bahwa data-data yang diperoleh dapat dinyatakan tidak berdistribusi

normal. Dengan demikian, karena data tidak berdistribusi normal, maka

pengujian perbedaan menggunakan uji non parametrik, yaitu dengan

menggunakan uji Wilcoxon.

2. Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum dan Sesudah

Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play dengan Puzzlepada Anak

Down Syndrom

Tabel 4.4 Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum dan


Sesudah Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play dengan
Puzzlepada Anak Down Syndromdi SLB N Ungaran
Kabupaten Semarang

Variabel Perlakuan N Mean SD Z p-value


Perk Interaksi Sosial Sebelum 17 62,37 6,65 -3,656 0,000
Sesudah 17 94,50 7,17

Berdasarkan tabel 4.4, dapat diketahui bahwa sebelum diberikan

Terapi Bermain Cooperative Play dengan Puzzle, rata-rata skor

perkembangan interaksi sosial anak down syndrom sebesar 62,37.

Kemudian meningkat menjadi 94,50 sesudah diberikan Terapi Bermain

Cooperative Play dengan Puzzle.

Berdasarkan uji Wilcoxon, didapatkan nilai Z hitung sebesar -

3,656 dengan p-value sebesar 0,000.Terlihat bahwa p-value (0,000) <

(0,05).Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan

perkembangan interaksi sosial sebelum dan sesudah pemberian terapi

bermain cooperative play dengan puzzle pada anak down syndrom di SLB

N Ungaran Kabupaten Semarang.


BAB V

PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat

1. Gambaran Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum Diberikan

Terapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada Anak Down

Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang

Gambaran perkembangan interaksi sosial sebelum diberikan terapi

bermain Cooperative Play dengan puzzle pada anak down syndrome di

SLB N Ungaran Kabupaten Semarang, dianalisis berdasarkan penilaian

lembar observasi interaksi sosial yaitu sebanyak 14 anak (82,4%) yang

dianalisis interaksi sosial cukup. Sebanyak 3 anak (17,6%) yang

dianalisis interaksi sosial kurang dan tidak ada responden yang masuk

dalam kategori interaksi sosial baik. Umumnya anak penderita down

syndrome memiliki keterbatasan kemampuan dalam hal komunikasi, pola

perilaku, dan interaksi sosial.Karena itu perlu penanganan khusus pada

tahap perkembangan agar mereka dapat menjalani kehidupan layaknya

anak-anak normal lainnya.

Interaksi sosial anak down syndrome di SLB N Ungaran Barat

Kabupaten Semarang yang masuk dalam kategori interaksi sosial cukup

yaitu sebanyak 14 anak (82,4%) terlihat dari anak yang mampu membuat
kontak sosial dengan anak lain, anak mampu mengundang rekan bermain

untuk sama sama bermain dan anak mengajak teman bermain dilihat dari

jumlah terbanyak yang mampu dilakukan oleh anak down syndrome

berdasarkan lembar observasi.

Individu sebagai bagian dari suatu lingkungan sosial tidak bisa

menghindari interaksi sosial. Individu berkebutuhan khusus seperti down

syndrome pun merupakan bagian dari lingkungan sosialnya yang harus

terlibat dalam interaksi sosial di lingkungannya.

Sedangkan anak down syndrome yang masuk dalam kategori

interaksi sosial kurang di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang yaitu

sebanyak 3 anak (17,6%)( terlihat dari anak yang tidak mampu membuat

dialog dengan anak lain, anak hanya bermain sendiri dan tidak mengajak

temannya untuk bermain, dan anak tidak sopan dan tidak mengucapkan

salam jika bertemu dengan orang lain yang menyapanya. Penilaian

terbanyak ini dilihat dari jumlah poin observasi yang paling banyak

dimiliki oleh anak down syndrome dengan interaksi sosial kurang.

Interaksi sosial sebagai proses sosial yang timbal balik memiliki

arti bahwa interaksi sosial tidak dapat dilakukan hanya oleh diri kita

sendiri. Proses timbal balik akan terjadi apabila ada pihak lain yang

menjadi rekanan interaksi yang dapat memberikan stimulus maupun

respons pada saat interaksi terjadi (Soekanto, 2012).

Down syndrome pada umumnya menghadapi masalah yang relatif

sama yaitu bermasalah dengan cara berinteraksi serta juga mengalami

masalah dalam perilaku dan emosi yang labil. Begitu pula dalam
kehidupan sehari-hari, biasanya anak down syndrome juga mengalami

kesulitan dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bina diri,

seperti memakai baju, makan, mandi dan lain sebagainya.(Armayati,

2007).

Kemampuan sosialisasi pada anak down sindrom tidak

berkembang secara optimal, menyebabkan anak tidak dapat mandiri,

tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau

orang lain, anak tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai anggota

masyarakat sesuai ketentuan-ketentuan mengenai suatu pola perilaku

sosial anak down syndrome. Hal ini akan berpengaruh pada

perkembangan jiwa anak selanjutnya, yakni menyebabkan anak

mengalami frustasi, ketegangan, kecemasan, gampang takut serta

keregangan hubungan antara anak dengan masyarakat di sekitarnya

(Somantri 2007). Selain itu dapat pula menyebabkan anak memiliki

kepribadian introvert karena kurangnya stimulasi sosial, bahasa, dan

intelektual pada saat masih anak-anak (Rizka 2009).

Anak dengandown syndrome untuk dapat mandiri membutuhkan

latihan, waktu dan kasih sayang. Perkembangan mental dan kecerdasan

anak dengan Down Sindrom sangat bervariasi sehingga tidak

memungkinkan untuk mempridiksi kapasitas kecerdasan anak SD sesaat

setelah lahir.

Perkembangan interaksi sosial pada anak down sydrome kurang

dapat dioptimalkan dengan menggunakan metode terapi bermain. Terapi

bermain yang digunakan adalah yang melibatkan interaksi dengan orang


lain. Dan dalam penelitian ini terapi yang diberikan untuk meningkatkan

interaksi sosial anak down syndrome yang kurang adalah memberikan

terapi Cooperative play dengan menggunakan puzzle.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suyanti dan

Rahmawati Tahun 2014 yang berjudul Pengaruh Terapi Bermain

Terhadap interaksi sosial anak autis di dapatkan hasil p-value = 0,00

yang artinya ada pengaruh terapi bermain terhadap interaksi sosial anak

sebelum dan sesudah diberikan terapi.

2. Gambaran Perkembangan Interaksi Sosial Sesudah Diberikan

Terapi Bermain Cooperative Play Dengan Puzzle Pada Anak Down

Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang

Gambaran perkembangan interaksi sosial setelah diberikan terapi

bermain cooperative play dengan puzzle pada anak down syndrome di

SLB N Ungaran Kabupaten Semarang, dianalisis berdasarkan penilaian

lembar observasi interaksi sosial yaitu sebanyak 1 anak (5,9%) yang

dianalisis interaksi sosial cukup. Dan sebanyak 16 anak (94,1%) yang

dianalisis interaksi sosial baik.

Sebelumnya ada 3anak yang interaksi sosialnya kurang namun

setelah diberikan terapi bermain cooperativeplay dengan puzzle, 2 anak

mengalami peningkatan dari yang sebelumnya interaksi sosialnya kurang

menjadi interaksi sosialnya baik. Dan 1 anak yang sebelumnya memiliki

interaksi sosial kurang namun setelah diberikan terapi bermain

cooperativeplay dengan puzzle, anak tersebut mengalami peningkatan


dari yang sebelumnya interaksi sosialnya kurang menjadi interaksi

sosialnya cukup.

Dalam cooperative play disini, salah satu permainan yang

diterapkan adalah dengan menggunakan puzzle, puzzle merupakan salah

satu permainan yang dapat meningkatkan kreativitas dan merangsang

kecerdasan anak, karena puzzle merupakan suatu masalah atau misteri

yang harus dipecahkan.

Dalam terapi bermain cooperative play ini, permainan puzzle

dilakukan secara berkelompok.Setiap anak saling berkomunikasi dan

berinteraksi dalam menyusun puzzle. Peran perawat dalam terapi bermain

ini sebagai fasilitator, mendukung, dan mendorong terjadinya proses

interaksi anak saat dilakukan permainan. Diharapkan dari permainan

puzzle yang dilakukan secara berkelompok ini dapat meningkatkan

kemampuan interpersonal anak, sehingga kemampuan sosialisasinya

dapat meningkat (Susasanti, 2009).

Perubahan interaksi sosial yang terjadi pada anak down syndrome

antara lain yang sebelum terapi anak tidak dapat mengucapkan terima

kasih setelah memperoleh sesuatu, setelah diberikan terapi anak mampu

mengucapkan terima kasih jika diberikan sesuatu. Poin lainnya yaitu

anak dapat mengucapkan dan menjawab salam ketika diberikan kalimat

salam, dari yang sebelumnya tidak menjawab. Kemudian anak sudah

mampu memulai dialog dengan anak lain setelah diberikan terapi dari

sebelumnya yang hanya bermain sendiri atau hanya berdiam sendirian,


penilaian ini terlihat dari penilaian lembar observasi sebelum dan sesudah

dilakukan terapi bermain cooperative play dengan puzzle.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian dengan

mengelompokkan anak di dalam 1 kelompok yang terdiri dari 2-3 anak

dan pada hari pertama peneliti melakukan observasi pada anak down

syndrome dengan membagi anak dalam kelompok yang masing-masing

kelompok berisi 2-3 anak dan diberikan terapi puzzle yaitu dengan cara

berkelompok tetapi hasilnya anak down syndrome masih kurang

berinteraksi dengan temannya pada hari pertama. Kemudian peneliti

melakukan penelitian dengan memberikan terapi selama 6 hari dan

dilakukan secara terus-menerus (setiap hari) dan pada hari ke 6 sebagian

besar anak sudah mampu melakukan interaksi dengan teman di dalam

kelompoknya karena dalam melakukan penelitian ini peneliti melakukan

pengelompokan anak dimana di setiap kelompok menggunakan

cooperative play sehingga anak dalam bermain puzzle dapat saling

berinteraksi satu sama lain.

Sedangkan 3 anak lainnya yang sebelumnya interaksi sosialnya

kurang, setelah diberikan terapi bermain cooperativeplay dengan puzzle

interaksi sosialnya tetap pada kategori kurang. Hal ini juga dipengaruhi

oleh klasifikasi IQ anak down syndrome dan pengaruh dari pola asuh

dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa

anak yang menderita penyakit down syndrome memiliki tingkatan yang

berbeda-beda, yaitu dari tingkatan yang tinggi hingga yang paling


rendah.Pada perkembangannya anak sindrom down bisa menjadi sangat

aktif dan juga bisa menjadi sangat pasif (Patterson, 2009).

Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Hardianti Tahun 2015 yang berjudul Pengaruh

Terapi Bermain Puzzel Terhadap Perkembangan Sosial Anak Down

Syndrome didapatkan hasil nilai p-value = 0,008 ( = 0,05) yang artinya

ada perbedaan perkembangan sosial setelah dilakukan terapi bermain

puzzle. Dari hasil penelitian diatas mengatakan bahwa ada pengaruh

terapi bermain puzzle terhadap perkembangan sosial anak down

syndrome. Penelitian Hardianti menggunakan puzzle yang diberikan satu

per satu kepada anak down syndrome, sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti menggunakan puzzle yang diberikan kepada 2-3

anak dalam satu kelompok.

Penelitian lainnya yang juga terkait yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Aikaterini Bourazeri dkk mengenai permainan yang

serius untuk memberdayakan kaum muda orang-orang dengan

downsyndrome. Bereksperimen dengan berbagai tugas dan aktivitas dan

terima umpan balik. Permainan serius bisa melibatkan orang dengan

ketidakmampuan kognitif dan hasilnya dapat meningkatkan keterampilan

dan pengetahuan mereka dan memicu kemampuan memecahkan masalah

mereka. Permainan ini bisa disiapkan orang cacat untuk hidup mandiri

tanpa membutuhkan dukungan dari pelayanan sosial.


B. Analisis Bivariat

1. Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Sebelum dan Sesudah

Pemberian Terapi Bermain Cooperative Play dengan Puzzle pada

Anak Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang

Untuk mengetahui perbedaan interaksi sosial sebelum dan

sesudah diberikan terapi bermain cooperative play dengan puzzle,

berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan nilai p-value 0,000 < (0,05),

hal ini menunjukan p-value < 0,05. Hal Ini menunjukan bahwa ada

perbedaan yang signifikan interaksi sosial sebelum dan sesudah

dilakukan terapi bermain cooperative play dengan puzzle pada anak

down syndrome di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang. Sehingga

dapat disimpulkanterapi bermain cooperative play dengan puzzle

efektif dalam meningkatkan interaksi sosial pada anak down syndrome

di SLB N Ungaran Kabupaten Semarang.

Hal ini terjadi karena karakteristik permainan ini adalah

dilakukan oleh minimal dua orang anak dan pada saat bermain anak

akan berbicara, meminjamkan,meminjam mainan dan atau bersama-

sama menggunakan mainan untuk tujuan yang ingin dicapai bersama,

cooperative play lebih menekankan pada partisipasi, tantangan dan

melakukan hal yang menyenangkan daripada untuk mengalahkan atau

berkonflik dengan seseorang. Sehingga selama permainan anak akan

berinteraksi satu sama lain untuk melatih interaksi sosialnya.

Hal ini dikarenakan pada usia prasekolah anak berada pada

tahapan bermain sosial yang merupakan tonggak penting dalam


tahapan perkembangan sosial anak. Kegiatan permainan bersama yang

dilakukan anak akan mengurangi egosentrisme anak dan anak secara

bertahap dapat berkembang menjadi mahkluk sosial yang bergaul serta

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pada pelaksanaannya

masing-masing anak akan memiliki peran tertentu guna mencapai

tujuan permainan (Dorothy, 2015).

Permainan teka-teki potongan gambar atau biasa disebut puzzle

adalah permainan edukatif sederhana dengan menggunakan gambar

utuh yang dapat dipecah-pecah untuk disusun kembali menjadi gambar

utuh. Anak dapat memainkan permainan ini secara aktif dalam

menyusun kembali potongan-potongan gambar secara tepat dengan

menggunakan gambar yang sudah tersedia berdasarkanpengetahuan

yang dimilikinya. Tujuan dari permainan ini adalah untuk mengasah

daya ingat, imajinasi, serta kerja sama anak dengan rekannya dalam

menyusun serta merangkai potongan gambar tadi menjadi gambar utuh

seperti semula (Terry Orlick, 2013).

Keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan berinteraksi

dengan orang lain. Puzzle dapat dimainkan secara perorangan dan juga

secara berkelompok. Permainan yang dilakukan oleh anak-anak secara

kelompok akan meningkatkan interaksi sosial anak. Anak akan saling

menghargai, saling membantu dan berdiskusi dengan anak lain dalam

kelompoknya. Orang tua dapat menemani anak untuk berdiskusi

menyelesaikan puzzlenya, tetapi fungsi orang tua hanya memberikan


arahan kepada anak dan tidak terlibat secara aktif membantu anak

menyusun puzzle.

Menurut Olivia (2009), puzzle adalah sebuah permainan

menggabungkan gambar yang sebelumnya terpisah menjadi satu

kesatuan yang memiliki arti. Bermain puzzle akan melatih anak

berpikir kritis dengan cara asyik. Maianan berupa gambar terbagi

dalam potongan-potongan yang beraneka bentuk, bahan dan ukuran

dari tingkat yang mudah sampai ketingkat lebih rumit. Adapun

gambarnya bermacam-macam seperti kartun, mobil, buah-buahan dan

sebagainya. Secara tidak langsung anak akan diminta memecahkan

sebuah masalah. Masalahnya adalah menggabungkan potongan-

potongan sehingga terbentuk sebuah gambar utuh. Otak anak akan

dilatih untuk berpikir kreatif dengan memasang kepingan gambar

ketika tangan memasang potongan gambar, keterampilan motorik

halus anak akan semakin terasah. Motorik halus adalah koordinasi

antara otot-otot kecil. Semakin terampil anak memasang potongan

gambar, keterampilan anak akan semakin baik. Berulang kali anak

mencoba memasang dan menggabungkan potongan gambar,

mambantu anak membuat kesimpulan sebuah masalah.

Hasil penelitian efektivitas terapi bermain cooperative play

dengan puzzle dapat meningkatkan interaksi sosial hal ini sesuai

dengan manfaat dari terapi tersebut yaitu diantarnya meningkatkan

konsentrasi belajar, melatih koordinasi mata dan tangan, melatih


kesabaran, melatih logika dan meningkatkan kemampuan berinteraksi

sosial.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Preetee

Gokhale untuk mempelajari keefektifan permainan berbasis terapi

bermain perilaku anak-anak dengan down syndrome mendapatkan hasil

10 anak diamati (6 laki-laki, 4 perempuan). Pada akhir terapi 1 bulan,

setiap anak menunjukkan peningkatan signifikan dalam perilaku

bermain mereka. Hasilnya dianalisis dengan menggunakan uji Paired't.

Hasil signifikan secara statistik pada tingkat P <0,001 dan interval

keyakinan (pada 99% confidence interval).Namun, faktor yang

mempengaruhi perilaku bermain pada anak individu bervariasi.

Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh A Bottocchi dkk

mengenai Permainan puzzle kolaboratif - sebuah antarmuka untuk

mempelajari kolaborasi daninteraksi sosial untuk anak-anak yang

biasanya berkembang atau yang memiliki gangguan spektrum sutistik

mendapatkan hasil yaitu permainan puzzle yang diberikan kepada anak

yang memiliki gangguan spectrum austistik dapat meningkatkan

kemampuan interaksi sosialnya.

Penelitian sebelumnya yang juga terkait dengan penelitian ini

adalah penelitian yang dilakukan oleh GH Jafarpour Moghadam dan

Hasan Ghanifa dengan judul penelitian efek terapi permainan dalam

meningkatkan kecakapan motorik pada anak dengandown syndrome.

Hasilnya menunjukkan bahwa terapi permainan efektif dalam

meningkatkan kemampuan motorik anak dan tidak ada perbedaan yang


signifikan secara statistik antara pengaruh terapi permainan terhadap

keterampilan motorik antara anak laki-laki dan anak perempuan.

2. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini terletak pada tidak ditelitinya secara

lebih spesifik interaksi sosial anak down syndrome dari segi karakteristik

usia dan klasifikasi berdasarkan IQ.


BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkanhasilanalisadanpembahasanpenelitian,

makadiperolehkesimpulantentangPerbedaanPerkembangan Interaksi

SosialSebelum Dan SesudahPemberianTerapi Bermain Cooperative Play

Dengan Puzzle Pada Anak Down Syndrom Di SLB N Ungaran Kabupaten

Semarang sebagaiberikut :

1. Terdapat14 anak (82,4%) masukdalamkategori interaksi sosial cukupd an

3 anak (17,6%) masuk dalam kategori interaksi sosial kurang sebelum

diberikan terapi bermain cooperative playdengan puzzle.

2. Terdapat sebanyak 16 anak (94,1%) masukdalamkategori interaksi

sosialbaikdan 1anak (5,9%) masukdalamkategori interaksi sosial cukup

setelah diberikanterapibermainCooprative PlaydenganPuzzle.

3. Berdasarkan uji non parametricyaitu wilcoxondidapatkannilaip-

valuedimana nilai p-valuesebesar 0,000< (0,05). Ada perbedaan yang

signifikan interaksi sosial sebelum dan sesudah dilakukan terapi bermain

Cooperative Playdengan puzzlepada anak down syndrome di SLB N

Ungaran Barat Kabupaten Semarang.


B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan SLB

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk

menambakanterapibermainya itu dengan menggunakan

puzzledisetiapharinyauntukmeningkatkankemampuan interkasi sosial pada

anak down syndrome.

2. Bagi Keluarga

Bagi masyarakat diharapkan informasi yang telah didapat digunakan untuk

melatih kemampuan interaksi sosial anak down syndrome di rumah, dengan

menyediakan alat-alats epertipuzzle yang mudah didapat dan dapat dimainka

nberdua dengan sang anak.

3. Bagi Penelitian

Diharapkan peneliti lanjutan dapat meneliti interaksi sosial pada anak down

syndrome dengan meneliti lebih spesifik pada kemampuan interaksi sosial

berdasarkan karakteristik umur dan klasifikasi IQ anak down syndrome

(Mild/ringan = 1Q 50-55 hingga 70, moderate/sedang = IQ 35-40 hingga

50-55, severe/berat = IQ 20-25 hingga 35-40, dan profound = IQ kurang

dari 25-25).
LAMPIRAN
LEMBAR PERMOHONAN SEBAGAI RESPONDEN

Kepada
Yth. Calon Responden
di SLB N UNGARAN
Kabupaten Semarang

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa fakultas
keperawatan Universitas Ngudi Waluyo Ungaran :
Nama : AndraSaputra
NIM : 010113a011
Saat ini sedang mengadakan penelitian dengan judul,
PerbedaanPerkembangan Interaksi SosialSebelum Dan SesudahPemberianTerapi
Bermain Cooperative PlayDengan PuzzlePada Anak Down Syndrom Di Slb
Kabupaten Semarang.
Penelitian ini tidak berbahaya dan tidak merugikan anda sebagai
responden. Kerahasiaan semua informasi yang telah diberikan akan dijaga dan
hanya digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Jika anda tidak bersedia
menjadi responden, maka diperbolehkan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam
penelitian ini.
Apabila anda menyetujuinya, maka saya mohon kesediaannya untuk
menandatangani lembar persetujuan untuk pelaksanaan penelitian saya. Atas
perhatian dan kesediaan anda menjadi responden, saya ucapkan terima kasih.

Hormat Saya,

(AndraSaputra)
LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN

Judul Penelitian : PerbedaanPerkembangan Interaksi SosialSebelum Dan

SesudahPemberianTerapi Bermain Cooperative

PlayDengan PuzzlePada Anak Down Syndrom Di Slb

Kabupaten Semarang

Tujuan Penelitian : Mengetahui Gambaran Perkembangan Interaksi

SosialSebelum dan sesudah PemberianTerapi Bermain

Cooperative Play Dengan Puzzle Pada Anak Down

Syndrom Di Slb Kabupaten Semarang

Peneliti : AndraSaputra

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang sedang dilaksanakan


oleh peneliti dan peneliti meminta kesediaan saya untuk menjadi responden dalam
penelitiannya.
Tanda tangan dibawah ini menunjukkan bahwa saya telah diberi informasi
tentang penelitian ini. Saya mengerti bahwa catatan penelitian ini akan
dirahasiakan dan dijamin selegal mungkin. Semua berkas yang mencantumkan
identitas dan semua jawaban yang saya berikan hanya digunakan untuk keperluan
pengolahan data. Bila sudah tidak diperlukan akan dimusnahkan dan hanya
peneliti yang mengetahui kerahasiaan data.
Saya memahami bahwa penelitian ini tidak akan berakibat negatif
terhadap diri saya, oleh karena itu secara sukarela dan tidak ada paksaan dari
pihak manapun saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Responden

( )
STRATEGI PELAKSANAAN

TERAPI BERMAIN PUZZLE

1 Persiapan : 10 Menit

a. Menyiapkan ruangan

b. Menyiapkan alat

c. Menyiapkan peserta

2 Pembukaan : 5 Menit

a. Perkenalan petugas dengan anak dan keluarga.

b. Anak yang akan bermain saling berkenalan

c. Menjelaskan maksud dan tujuan.

3 Kegiatan : 25 Menit

a. Anak diminta untuk memilih gambar puzzle yang ingin disusun yang

sudah tersedia.

b. Anak dianjurkan untuk menyusun puzzle yang tersedia.

4 Penutup : 5 menit

a. Memberikan penghargaan pada anak atas hasil karyanya.

b. Merapikan alat dan tempat bermain.


LEMBAR OBSERVASI

PERBEDAAN PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL SEBELUM DAN

SESUDAH DI BERIKAN TERAPI BERMAIN COOFERATIVE PLAY DENGAN

PUZZEL PADA ANAK DOWN SYNDROMEDI KABUPATEN SEMARANG

Jawab pernyataan dibawah ini dengan memberikan tanda ( ) pada kotak:


A. Identitas responden
1. Inisial nama :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Pendidikan :
B. Table interaksi
Aspek Aspek yang dinilai Mampu Tidak

mampu

Interaksi 1. Apakah anak membuat Kontak

sosial sosial dengan anak lain

2. Apakah Permainan yang

disarankan mampu anak

lakukan.

3. Anak mampu Memulai dialog

dengan anak lain

4. Anak mampu Mengundang

rekan bermain untuk sama sama

bermain.

5. Anak memperkenalkan
identitas diri
6. Apakah anak mampu
mengekspresikan wajahnya
seperti tersenyum
kemampuan 7. Mau bekerjasama dengan teman

sosial ketika melakukan kegiatan

8. Anak mau menolong teman

9. Anak menawarkan bantuan

kepada teman

10. Anak mengajak teman bermain

11. Mau menbagi miliknya

12. Anak didik mau menawarkan

dan memberikan makanan

kepada teman

13. Anak Memiliki sopan santun

dan mengucap salam

14. Anak dapat mengucapkan

terima kasih

setelahmemperoleh sesuatu.

15. Anak dapat mengucapkan dan

menjawab salam
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M, Ansory, M. 2010. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi
Aksara.

Aika Terini, Bourazeri, dkk. 2016. En City : A Seious Game for Empowering Young People
with Downs Syndrome.www.cochraen.com diakses tanggal 31 Agustus 2017 jam
20.00 WIB.

American Psychiatric Association (APA). (2008). Diagnostic Statistic Manual of Mental


Disorder (Revised 4thEdn.). Washington,DC : Author.

Beaver ,& Susan (2016),EarlyEducationCurriculum : UnitedStatesofAmerica.

Benih Ade, 2011. Psikologi Bayi, Balita, dan Anak. Nuha Medika, Yogyakarta.

Botticchi A, dkk. 2015. Collaborative Puzzle Game-an Interface For Studying Collaboration
and Social Interaction For Children Who Are Typically Developed or Who Have
Austistic Spectrum Disoder. www. Cochraen.com diakses tanggal 1 Agustus jam
20.10 WIB.
Dahlan S.(2011).Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan.Salemba Medika. Jakarta.

Delphie, B. 2009. Pembelajaran Anak Tunagrahita, Rafika Aditama, Bandung. Hal: 62 66.

Effendy, M.M, Bowden.R.V, Jones.G.E (2010). Buku ajar keperawatankeluarga riset, teori
dan praktik edisi 5, Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

Effendi, M. (2010).Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Fadhli. (2010). Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Naggrek Gentry, W.
doyle. (2010). Happiness For Dummies :Ltd ACN: US.

Gokhale, Preetee. 2014. To Study The Effectiveness of Play Based Therapy On Play Behavior
of Children with Downs Syndrome.www.cochraen.com diakses tanggal 1 Agustus
2017 jam 23.00 WIB.

Hallahan, D. P., Kauffman, J. M. & Pullen, P. C. (2009). Exceptional learners: an


introduction to special education. Massacgusetts: Allyn and Bacon.

Hermawan, G. (2011). Perspektif Masa Depan Imunologi-Infeksi. Surakarta: Sebelas Maret


University Press.

Hidayat, 2009.Pengantar Konsep dasar Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2010. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba
Medika.

Hurlock, E.B. (2013). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.


Ismail, Sofyan 2009, Buku ajar ilmu kesehatan anak, FKUI, Jakarta.
Jeffrey S.Nevid, dkk. 2007. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga Justus, Dorothy. S.
(2015).Supporting Play In Early Childhood: USA 4 Kartono, kartini, (2007).
Kenakalan remaja.Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Landreth, G.L. 2010.Innovations in play therapy, issues, process, and special


populations.Taylor & Francis Group : USA.

Mawardah, U., Siswati, & Hidayati, F. (2012).Relationship between active coping with
parenting stress in mother of mentally retarded child. Jurnal Psikologi , 1, 1-14.

Notoatmodjo, S. (2010).Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Orlick, Terry. 2013. Cooperative Games And Sports: United States of America.

Olivia, Femi. 2009. Career Skills For Kids Kembangkan Kecerdikan Anak dengan
Taktik Biosmart. Jakarta. Gramedia.

Patterson D. 2009. Molecular genetic analysis of Down syndrome.Human genetics.

PODATS (2016).http://potads.or.id/about/.
Rizka, 2009, Observasi Anak Tunagrahita, media release, 16 November, diakses hari Sabtu
13 Maret 2017 pukul 19.45 WIB.

R. Valdiva, dkk. 2012. Skills and Social Interaction of Children with Downs Syndrome in
Reguler Education. www.cochraen.com, diakses hari Sabtu 31 Juli 2017 pukul 18.45
WIB.
Santyasa, I Wayan. 2013. Media pembelajaran disajikan dalam work shop media
pembelajaran bagi guru-guru SMAN banjarangkan pembelajaran.pdf [18-05-
2017].

Suciwati. (2014). Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Melalui Permainan


Telepon Kaleng Kelompok B TK Al-Hidayah II Tanjunganom Grogol Sukoharjo.
(Skripsi).UMS Library.

Suliswati, Payapo, T.A., Maruhawa, J., Sianturi, Y. & Sumijatun. (2011). Konsep Dasar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Sudiono, Janti. (2008). Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Editor:


Lilian Juono.Jakarta: EGC.

Semium, Yustinus., OFM. (2010), Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius.

Somantri.(2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Sugiyono (2009).Memahami Penelitian Kualitatif .Bandung : CV. Alfabeta.


Supartini, Y. (2009). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Stuart, GW. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta. ECC.
Tedjasaputra, M. S 2009, Bermain, Mainan, dan Permainan. Grasindo, Jakarta.

Wong Dona L. 2008.Wong and Whaley`s Clinical Manual Of Pediatric Nursing, Four
Edition, Inc. 1996 by Mosby-Year Book.Terjemahan SariKurnianingsih . Edisi
4.EGC. Jakarta.

Yuliani, N, dkk. 2010. Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. Jakarta: PT Indeks.

Anda mungkin juga menyukai