Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:

1. Bagaimana langkah-langkah penelitian teks dalam penelitian filologi?


2. Bagaimana metode-metode penelitian filologi?
3. Bagaimana contoh-contoh penelitian filologi?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penulisan dalam
makalah ini adalah:

1. Mengetahui langkah-langkah penelitian teks dalam penelitian filologi.


2. Memahami metode-metode penelitian filologi.
3. Mengetahui contoh-contoh peneitian filologi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Langkah-Langkah Penelitian Teks

Metode sebagaimana dipahami adalah cara atau sistem kerja. Metodologi dapat
dikatakan pula sebagai pengetahuan tentang apa saja yang merupakan cara untuk
menerangkan atau meramalkan variabel konsep tersebut secara empiris. Untuk itu metode
filologi berarti pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam
penelitian filologi.

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mengawali proses penelitian
filologi adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Inventarisasi Naskah

Langkah pertama yang harus ditempuh oleh penyunting, setelah menentukan


pilihannya terhadap naskah yang ingin disunting menginventarisasikan sejumlah naskah
dengan judul yang sama dimana pun berada, di dalam maupun di luar negeri. Sebagai contoh,
untuk mengetahui ada tidaknya naskah lain yang mengandung teks yang sama berjudul
Zubdat al-Asrar fi Tahqiq Bad Masyarib al-Akhyar, karya Syekh Yusuf Makasar, dicari
dalam katalog Condicum Arabi Cicorum in Bibliotheca terbitan tahun 1873, yang di
dalamnya juga terdapat koleksi naskah karangan-karangan Syekh Yusuf Makasar antaranya
Zubdat al-Asrar pada halaman 91 keterangannya tertulis dalam bahasa Latin, namun judul
naskah tetap dalam bahasa Arab. Selain harus diketahui semua usaha telah dilakukan untuk
mencari varian sebelum mulai penelitian, tempat semua varian atau salinan dari naskah itu
berada. Meskipun demikian masih banyak naskah yang terdapat dalam bentuk naskah tunggal
(codex unicus).1

2. Deskripsi Naskah

Setelah selesai menyusun daftar naskah, meminta salinannya dari tempat


penyimpanannya berupa mikrofis atau cetakan fotografis lain. Langkah selanjutnya ialah
menyusun deskripsi masing-masing naskah. Setiap naskah yang diperoleh diuraikan dengan

1
Nabilah Lubis. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. (Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia.
2007). hlm. 73-74.
cara terinci, teratur, dan masing-masing naskah diberi nomor atau kode seperti A, B, C dan
seterusnya.

Informasi seperti ini sangat diperlukan dan dapat membantu menentukan naskah mana
yang akan dipilih untuk dasar edisi. Misalnya ada naskah yang kertasnya rusak, sedangkan
yang lain keadaannya lebih baik. Kelengkapan informasi biasanya terdapat dalam bagian
akhir naskah seperti keterangan nama penyalin dan tempat penyalinannya, serta tanggalnya.
Keterangan semacam ini dinamakan kolofon. Informasi yang perlu dicatat antara lain,
halaman depan kurang, atau halaman terahir hilang sebagian, sedangkan pada naskah yang
lain halaman itu ada. Bila terdapat catatan-catatan pinggir atau catatan dengan tulisan lain
atau warna tinta ain, semua keterangan itu penting dicatat.

Dengan mencatat keterangan seperti adanya perbedaan dan persamaan, maka dapat
dikelompokan dan kemudian diperbandingkan sehingga memudahkan menentukan pilihan
terhadap naskah yang menjadi dasar atau landasan untuk edisi naskah.2

3. Pengelompokan Naskah dan Perbandingan Teks

Untuk mengadakan pengelompokan naskah, proses awal yang harus dilakukan oleh
seorang filolog ialah mengadakan penelitian yang cukup mendalam sehingga akhirnya dapat
diketahui hubungan antar varian, perbedaan, persamaan, dan hubungan kekerabatan antara
berbagai naskah yang ada. Dalam hubungan inilah terdapat beberapa hal yang perlu diketahui
oleh filolog dalam rangka pegumpulan data dalam mengadakan pengelompokan.

Dengan kata lain, proses penelitian yang diadakan pra pengelompokan naskah
sebagaimana diuraikan di atas dapat dikerjakan dengan mengadakan kritik teks, yaitu kritik
dalam (internal) dan kritik luar (eksternal).

Langkah berikutnya adalah mengadakan perbandingan teks untuk mengetahui apakah


ada perbedaan bacaan di antara semua naskah, dan teksnya cukup terang maka pekerjaan
editor tinggal memilih salah satu dari berbagai naskah yang tersedia.

Sesuai dengan sejarah perkembangan ilmu filologi terdapat beberapa cara untuk
melakukan perbandingan teks, yang harus diliputi:

a. Perbandingan kata demi kata untuk membetulkan kata-kata yang salah.

2
Ibid., hlm 74-76.
b. Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa untuk mengelompokan cerita atau
teks yang berbahasa lancar dan jelas, dan
c. Perbandingan isi cerita yaitu uraian teks untuk mendapatkan naskah yang isinya
lengkap dan tidak menyimpang serta untuk menentukan hubungan antar naskah yang
disebut silisilah kekerabatan.3

4. Transliterasi/Transkripsi

Transliterasi adalah penggantian huruf atau pengalihan huruf demi huruf dari satu
abjad ke abjad yang lain. Misalnya huruf Arab-Melayu ke huruf Latin. Transkripsi adalah
perubahan teks dari satu ejaan ke ejaan lain. Naskah-naskah yang ditulis dalam huruf Arab
Melayu yang tidak disertai tanda baca seperti titik, koma, huruf besar dan kecil dan lain
sebagainya, akan menyulitkan membaca dan menentukan kesatuan-kesatuan bagian cerita
atau teksnya. Semua itu menjadi tugas filologi untuk menjelaskannya, agar tidak terdapat lagi
kekeliruan dan salah penafsiran bahasa. Seorang filolog hendaklah sekurang-kurangnya
mampu menyajikan bahan transliterasi atau transkripsi itu selegkap dan sebaik mungkin,
sehingga mudah dibaca dan dipahami.4

Transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis denga
huruf daerah karena kebanyakan orang sudah tidak mengenal atau tidak akrab lagi dengan
tulisan daerah. Berdasarkan pedoman, transliterasi harus memperhatikan ciri-ciri teks asli
sepanjang hal itu dapat dilaksanakan karena penafsiran teks yang bertanggungjawab sangat
membantu pembaca dalam memahami isi teks.5

5. Terjemahan

Salah satu cara untuk menerbitkan naskah ialah melalui terjemahan teks. Dan
terjemaan teks itu dikategorikan sebagai karya seni, seperti seni melukis, musik, dan menyair
yang masing-masingnya mempuyai dasar dan kaedah yang harus diikuti. Dengan kalimat
ringkas dikatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mampu melukiskan
apa yang ingin dikatakan oleh teks yang diterjemahkan ke dalam kalimat yang indah dan
mampu mengekspresikan substansi teks sebagaimana bahasa aslinya.

3
Ibid., hlm 77-80.
4
Ibid., hlm 81-82.
5
Siti Baroroh Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. (Yogyakarta: BPPF. 1994). hlm 64.
Di bawah ini dikemukakan beberapa cara untuk menerjemahkan teks, antara lain
sebagai berikut:

a. Terjemahan harfiah, adalah menerjemahkan dengan menuruti teks sedapat mungkin,


meliputi kata demi kata. Metode ini sangat terikat dengan teks dan urutan kata-
katanya dengan tujuan menyampaikan arti teks secara tepat dan jujur.
b. Terjemahan agak bebas, adalah seorang penerjemahan diberi kebebasan dalam proses
penerjemahannya, namun kebebasannya itu masih dalam batas kewajaran. Ia
menerjemahkan ide tulisan dengan tidak terlalu terikat dengan susunan kata demi
kata.
c. Terjemahan yang sangat bebas, yakni penerjemah bebas melakukan perubahan, baik
menghilangkan bagian, menambahkan atau meringkas teks.6

B. Metode Penelitian Filologi

Sebagai sebuah teori, filologi jelas memiliki pakem dan tahapan metodologis yang
harus dilalui. Salah satu tujuan dilakukannya penelitian filologis ialah untuk menghasilkan
sebuah edisi teks yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh khalayak lebih luas.

Sebuah kajian filologis jelas sangat signifikan dilakukan karena akan memberikan
kontribusi penting dalam hal penyediaan teks klasik yang siap baca. Tidak saja masyarakat
akademik yang akan merasakan manfaatnya, melainkan juga khalayak umum dapat turut
mengakses berbagai informasi lama yang tertulis dalam naskah.

Di bawah ini akan diulas mengenai jenis atau model edisi teks yang dapat dihasilkan
oleh seorang penyunting naskah. Langkah-langkah metodologis untuk menghasilkan masing-
masing edisi tersebut tentunya saling berbeda satu dengan yang lain. Berdasarkan edisi-edisi
yang telah ada, dapat dicatat beberapa metode yang pernah diterapkan.

1. Metode Intuitif

Oleh karena sejarah terjadinya teks dan penyalinan yang berulang kali, pada
umumnya tradisi teks sangat beraneka ragam. Pada zaman humanism, orang ingin
mengetahui bentuk asli karya-karya klasik Yunani dan Romawi. Ketika metode ilmiah
objektif belum dikembangkan. Orang bekerja secara intuitif dengan cara mengambil naskah
yang dianggap paling tua. Di tempat-tempat yang dipandang tidak betul atau tidak jelas,
naskah itu diperbaiki berdasarkan naskah lain dengan memakai akal sehat, selera baik, dan
pengetahuan luas. Metode ini disebut pula metode subjektif dan bertahan sampai abad ke-19.

2. Metode Objektif

Pada tahun 1930-an, ahli filologi Jerman Lechmann dan kawan-kawan meneliti secara
sistematis hubungan kekeluargan antara naskah-naskah sebuah teks atas dasar perbandingan
naskah yang mengandung kekhilafan bersama. Apabila dari sejumlah naskah ada beberapa
naskah yang selalu mempunyai kesalahan yang sama pada tempat yang sama pula, dapat
disimpulkan bahwa naskah-naskah tersebut berasal dari satu sumber (yang hilang). Dengan
memperhatikan kekeliruan-kekeliruan bersama dalam naskah tertentu, dapat ditentukan
silsilah naskah. Sesudah itu, beru dilakukan kritik teks sebenarnya. Metode objektif
yangsampai kepada silsilah naskah disebut metode stema. Penerapan metode stema ini sangat
penting karena pemilihan atas dasar subjektivitas selera baik dan akal sehat dapat dihindari.

3. Metode Gabungan

Metode ini dipakai apabila nilai naskah menurut tafsiran filologi semuanya hampir
sama.Perbedaan antarnaskah tidak besar. Walaupun ada perbedaan tetapi hal itu tidak
mempengaruhi teks. Pada umumnya yang dipilih adalah bacaan mayoritas atas dasar
perkiraan bahwa jumlah naskah yang banyak itu merupakan saksi bacaan yang betul. Dalam
hal ada yang meragu-ragukan karena misalnya, jumlah naskah yang mewakilii bacaan
tertentu sama, dipakai pertimbangan lain, di antaranya kesesuaian dengan norma tata bahasa,
jenis sastra, keutuhan cerita, faktor-faktor literer lain, dan latar belakang pada umumnya.
Dengan metode ini, teks yang disunting merupakan teks baru yang merupakan gabungan
bacaan dari semua naskah yang ada.7 Pelaksanaan metode ini telah diterapkan dalam Brakel
terhadap naskah Hikayat Muhammad Hanafiyyah. Brakel menemukan sekitar 30 buah naskah
untuk teks yang judul yang sama.8

7
Siti Baroroh Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. (Yogyakarta: BPPF. 1994). hlm 66-67.
8
Nabilah Lubis. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. (Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia.
2007). hlm 92.
4. Metode Landasan

Metode ini diterapkan apabila menurut tafsiran ada satu atau segolongan naskah yang
unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah lain yang diperiksa dari sudut
bahasa, kesastraan, sejarah, dan lain sebagainya sehingga dapat dinyatakan sebagai naskah
yang mengandung paling banyak bacaan yang baik. Oleh karena itu, naskah itu dipandang
paling baik untuk dijadikan landasan atau induk teks untuk edisi. Metode ini disebut juga
metode induk atau metode legger (landasan).9

Pemilihan dan penentuan naskah yang mengandung bacaan yang baik dilakukan
berdasarkan kriteria, antara lain, usia naskah. Bila terdapat naskah tertua, perlu mendapat
perhatian perhitungan dan prioritaskan, akan tetapi tidak harus selalu naskah tertua yang
terpilih. Perlu juga diperhitungkan aspek-aspek penampilan dari berbagai segi baik bahasa,
kejelasannya (tidak terdapat kerusakan yang menggangu bacaannya), dan kelengkapan
informasi yang dikandungnya, seperti keterangan nama pengarang, tempat, dan tanggal
penulisannya.10

Selanjutnya, menurut Oman Fatturahman, setidaknya ada empat bentuk edisi teks
yang umumnya dikenal dalam tradisi penelitian filologi.

1. Edisi Faksimile (Facsimile Edition)

Untuk menghasilkan edisi faksimilie, metode yang dilakukan adalah semata


mereproduksinya, baik melalui cara konvensional maupun cara mutakhir. Dalam hal ini,
penyunting dapat membiarkan tampilan teks tersebut apa adanya, seperti suntingan atas
naskah Hikayat Isma Yatim oleh Willem van der Mollen, atau boleh juga dengan
menambahkan pengantar, komentar, dan analisis seperlunya, seperti yang dilakukan oleh A.H
Johns atas naskah al-Tuhfah al-Mursalah (Johns, 1965). Metode untuk mengasilkan jenis
edisi teks semacam ini bisa disebut sebagai metode faksimilie.

2. Edisi Diplomatik (Diplomatic Edition)

Edisi diplomatik yang dimaksud di sini sesungguhnya adalah teks hasil transkripsi
setia dari sebuah naskah tunggal yang menggambarkan sedekat mungkin wujud aslinya.
Dalam sebuah edisi diplomatik, sang pengkaji naskah tidak bertujuan untuk menghadirkan

9
Baried. Op.Cit. hlm 67.
10
Lubis. Op.Cit. hlm 94.
teks yang memiliki bacaan terbaik (best readings), melainkan untuk menyajikan teks apa
adanya.

Dalam edisi diplomatik pun ada tanda-tanda diakritik atau tanda baca tertentu yang
niscaya digunakan untuk menandai bagian teks yang terpaksa harus dihilangkan atau
ditambahkan. Metode untuk menghasilkan jenis edisi teks semacam ini bisa disebut sebagai
metode diplomatik.

3. Edisi Campuran (Eclectic Edition)

Edisi campuran, atau gabungan merupakan hasil suntigan teks yang diperoleh setelah
menggabungkan bacaan dari satu versi teks dengan versi yang lain. Artinya, penyunting tidak
mendasarkan teks yang diproduksinya dari satu sumber salinan saja, melainkan dari beberapa
salinan yang menurutnya patut digabung-gabungkan, karena kualitas masing-masingnya yang
dianggap sejajar.

4. Edisi Kritis (Critical Edition)

Edisi kritis adalah hasil penyunting yang menginginkan terbentuknya sebuah teks
dengan kualitas bacaan terbaik (best reading). Dalam penerapan metode kritis ini, penyunting
biasanya tidak membiarkan teks yang dihadapinya itu apa adanya, terutama jika ada bagian-
bagaian yang diyakini oleh penyunting tidak patut, atau menyimpang dari kaidah-kaidah
bahasa yang mutlak diyakini kebenarannya.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa jika diterapkan pada korpus naskah tunggal
yang tidak memiliki salinan teks lain untuk dijadikan sebagai bacaan pembanding, metode
penyuntingan seperti ini seyogyanya diterapkan sevara hati-hati karena bisa saja bacaan yang
diintervensi itu justru menjauhkan keaslian teksnya dari versi pengarang, meskipun ini sah
saja dilakukan jika tujuan penyuntingannya sejak awal memang untuk menampilkan teks
dengan bacaan terbaik, bukan bacaan terasli.

Pekerjaan menyunting dalam beberapa hal sangat spekulatif kebenarannya.


Menyunting dan memilih bacaan terbaik dari teks kuno adalah ijtihad. Seorang penyunting
teks tidak dapat menghindar dari keharusan memilih dan menerka-nerka maksud sang
pengarang dalam teks yang dihadapinya. Dengan demikian, tugas seorang penyunting teks
(filolog) adalah latihan berpikir kritis untuk mengira-ngira dan menentukan maksud
pengarang (authors intention) berdasarkan teks tertentu yang ia miliki.
Hal yang juga penting dipahami adalah bahwa meski seorang penyunting teks harus
bersikap amanah dan setia kepada maksud pengarang, ia tetap harus bersikap kritis ketika
mencerna teks dari sang pengarang.11

C. Contoh-Contoh Penelitian Filologi

1. Hikayat Sri Rama (Achadiati Ikram, 1978)

Achadiati menyajikan edisi berdasarkan naskah Laud 291. Naskah itu dipilihnya
karena umurnya paling tua (sebelum tahun 1633) di antara 24 naskah yang meliputi jangka
waktu kira-kira dua setengah abad. Sebagai pelengkap dan pembanding dalam penggarapan
dan penyusunan naskah serta aparat kritik, dipakainya naskah naskah seversi dengan naskah
Laud, ialah naskah Raffles 22, naskah Wilikinson 2756, dan naskah Marsden 12092.
Berdasarkan isi dan susunan cerita Achadiati menggabungkan tujuh belas naskah Sri Rama
dalam beberapa kelompok yang disebut versi.

2. Hikayat Bandjar (Ras, 1968)

Jumlah naskah yang dipakai sebagai dasar edisi adalah 8 buah yang terdapat dalam
koleksi Indonesia dan 12 buah dalam koleksi Eropa. Kelompok naskah Indonesia sebagian
besar terdapat di Jakarta, sedangkan jumlah terbesar naskah Eropa terdapat dalam koleksi
Leiden. Naskah Eropa semuanya salinan dari naskah yang tersimpan di suatu tempat di
Indonesia. Sebagaian naskah sumbernya yang disalin boleh jadi masih ada, sedangkan
sebagian lainnya mungkin sudah hilang.

Naskah Hikayat Banjar diturunkan dalam dua bentuk dengan perbedaan yang besar
yang disebut Resensi I dan Resensi II. Teks yang disunting dalam Hikayat Banjar mewakili
Resensi I yang terdiri dari 9 persamaan bacaan varian-varian tertentu secara teratur. Atas
dasar ciri-cirinya, naskah dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 4 naskah,
dan Kelompok II terdiri dari 5 naskah. Pengelompokan dalam sub-sub kelompok dari sudut
pandang berbeda menghasilkan dua macam stema.

11
Oman Fatturahman. Filologi dan Islam Indonesia. (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan 2010). hlm
21-24.
3. Arjunawijaya (Supomo, 1977)

Jumlah naskah lebih dari 20 buah, berasal dari Jawa, Bali, dan Lombok. Setelah
kolasi, dipilih 10 naskah untuk keperluan aparat kritik guna penyusunan suntingan. Kriterium
untuk seleksi adalah otentisitas naskah, kelengkapan naskah, kondisi ejaan dan bacaan,
perwakilan dari dua tradisi naskah, yaitu tradisi Bali dan Jawa. Perbandingan atas dasar
kriterium itu menghasilkan sebuah stema 12

12
Siti Baroroh Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. (Yogyakarta: BPPF. 1994). hlm 74- 76.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Sebagai suatu bidang disiplin ilmu yang banyak dikaji, filologi memiliki langkah-
langkah dalam penelitian teks yang disebut dengan metode. Metode filologi berarti
pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam penelitian filologi.
Langkah-langkah awal untuk mengawali proses penelitian filologi ialah inventarisasi naskah,
deskripsi naskah, pengelompokan naskah dan perbandingan teks, transliterasi atau transkripsi,
dan terjemahan.

Setelah mengetahui langkah-langkah awal dalam penelitian filologi, maka metode


yang diterapkan pun harus tepat, metode dalam penelitian filologi antara lain metode intuitif,
metode objekif, metode gabungan, dan metode landasan. Dalam tradisi penelitian filologi,
ada empat macam bentuk edisi teks yakni edisi faksimile, edisi diplomatik, edisi campuran,
dan edisi kritis.

Adapun beberapa contoh penelitian filologi dalam beberapa karya, yakni Hikayat Sri
Rama (Achadiati Ikram, 1978), Hikayat Bandjar (Ras, 1968), dan Arjunawijaya (Supomo,
1977).
DAFTAR PUSTAKA

Baried, Siti Baroroh. dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF. 1994.
Fatturahman, Oman. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan
2010.
Nabilah Lubis, Nabilah .Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan
Media Alo Indonesia. 2007.

Anda mungkin juga menyukai