Anda di halaman 1dari 34

Definisi

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk


arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Trombosis merupakan proses pembentukan
bekuan darah atau koagulum dalam sistem vaskular (yaitu, pembuluh darah atau jantung) selama
manusia masih hidup. Koagulum darah dinamakan trombus. Akumulasi darah yang membeku
diluar sistem vaskular, tidak disebut sebagai trombus. Namun demikian, bekuan darah yang
terbentuk didalam sistem kardiovaskular setelah manusia meninggal tidak dinamakan trombus
tetapi disebut bekuan postmortem. Trombosis jelas memiliki nilai adaptif yang berharga dalam
kasus perdarahan, trombus bekerja efektif sebagai sumbatan hemostasis. Namun, trombosis
dapat menjadi masalah jika mekanisme pengaturan normal terganggu dan keadaan ini terbukti
sangat berbahaya.
Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh
darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah (Virchow triat). Trombosis vena adalah
terbentuknya bekuan darah di dalam vena, yang sebagian besar tersusun atas fibrin dan sel darah
merah dengan sebagian kecil komponen leukosit dan trombosit. Trombosis vena paling banyak
terjadi pada vena dalam dari tungkai (deep vein thrombosis / DVT ), dan dapat menjadi emboli
paru.
Trombosis vena dapat terjadi pada vena dalam maupun vena superfisial pada keempat
ekstremitas. Pada 90% kasus, trombosis vena dalam dapat berkembang menjadi emboli paru, dan
kondisi yang beresiko tinggi menyebabkan kematian. Trombosis vena dalam atau deep vein
thrombosis (DVT) dan emboli paru dikelompokkan menjadi satu dan sering disebut sebagai
tromboemboli vena / venous thromboembolism (VTE).
Trombus dapat terjadi pada arteri atau pada vena, trombus arteri disebut trombus putih
karena komposisinya lebih banyak trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut
trombus merah karena terjadi pada aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah
merah terperangkap dalam jaringan fibrin sehingga berwarna merah. Trombosis vena dalam
adalah suatu penyakit yang tidak jarang ditemukan dan dapat menimbulkan kematian jika tidak
ditangani dan di obati secara efektif.
Ilustrasi trombosis

Untuk lebih dapat memahami trombosis ada baiknya kita mengulas kembali mengenai
sistem vena :

Anatomi Vena
Vena merupakan pembuluh darah yang dilewati sirkulasi darah kembali menuju jantung
sehingga disebut juga pembuluh darah balik. Dibandingkan dengan arteri, dinding vena lebih
tipis dan mudah melebar. Sama seperti arteri, vena memiliki 3 lapis dinding yaitu tunika intima,
tunika media dan tunika adventitia. Pada arteri lapisan yang tebal adalah tunika media sedangkan
lapisan tebal pada vena adalah tunika adventitia , yang juga dikenal sebagai externa tunika. Ini
adalah lapisan terluar dari pembuluh darah, yang menyediakan stabilitas struktural mirip lapisan
tunika media di arteri. Sementara darah bergerak melalui arteri oleh aktivitas tunika media, pada
vena menggunakan mekanisme yang berbeda yang disebut pompa otot rangka. Dalam pompa
otot rangka, darah bergerak secara pasif melalui pembuluh darah oleh kontraksi otot rangka
seluruh tubuh, yang memaksa darah untuk bergerak ke atas menuju jantung bukan penyatuan
dalam tubuh extremeties rendah (tangan dan kaki). Kurang lebih 70% volume darah berada
dalam sirkuit vena dengan tekanan yang relatif rendah. Kapasitas dan volume sirkuit vena ini
merupakan faktor penentu penting dari curah jantung karena volume darah yang diejeksi oleh
jantung tergantung pada alir balik vena.
Sistem vena khususnya pada ekstremitas bawah terbagi menjadi 3 subsistem:
1. Subsistem vena permukaan
2. Subsistem vena dalam
3. Subsistem penghubung (saling berhubungan)

Vena permukaan terletak di jaringan subkutan tungkai dan menerima aliran vena dari
pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil di dalam kulit, jaringan subkutan dan kaki. Sistem
permukaan terdiri dari: Vena Safena Magna dan Vena Safena Parva. Vena Safena Magna
merupakan vena terpanjang di tubuh, berjalan dari maleolus naik ke bagian medial betis dan
paha, bermuara ke Vena Femoralis tepat di bawah selangkangan. Vena Safena Magna
mengalirkan darah dari bagian anteromedial betis dan paha. Vena Safena Parva berjalan di
sepanjang sisi lateral dari mata kaki melalui betis menuju lutut, mendapatkan darah dari bagian
posterolateral betis dan mengalirkan darah ke Vena Poplitea, titik pertemuan keduanya disebut
Safenopoplitea. Diantara Vena Safena Magna dan Parva banyak didapat anastomosis, hal ini
merupakan rute aliran kolateral yang memiliki peranan penting saat terjadi obstruksi vena.
Gambar sistem vena (dari wikipedia.org) klik untuk memperbesar

Sistem vena dalam membawa sebagian besar darah dari ekstremitas bawah yang terletak
di dalam kompartemen otot. Vena-vena dalam menerima aliran darah dari venula kecil dan
pembuluh intra muskuler. Sistem vena dalam atau profunda cenderung berjalan sejajar dengan
pembuluh arteri tungkai bawah dan diberi nama yang sama dengan arteri tersebut. Sebagai
akibatnya, termasuk dalam sistem vena ini adalah Vena Tibialis Anterior dan Posterior,
Peroneus, Poplitea, Femoralis, Femoralis Profunda dan pembuluh-pembuluh darah betis yang
tidak diberi nama. Vena Iliaka juga dimasukkan ke dalam sistem vena dalam ekstremitas bawah
karena aliran vena dari tungkai ke vena cava tergantung pada patensi dan integritas dari
pembuluh-pembuluh ini.
Subsistem vena-vena dalam dan permukaan dihubungkan oleh saluran-saluran pembuluh
darah yang disebut vena penghubung yang membentuk subsistem penghubung ekstremitas
bawah. Aliran biasanya dari vena permukaan ke vena dalam dan selanjutnya ke vena kava
inferior.
Pada struktur anatomi vena didapatkan katup-katup semilunaris satu arah yang tersebar di
seluruh sistem vena. Katup-katup tersebut adalah lipatan dari lapisan intima yang terdiri dari
endotel dan kolagen, berfungsi untuk mencegah terjadinya aliran balik, mengarahkan aliran
kearah proksimal dan dari sistem permukaan ke sistem dalam melalui penghubung. Kemampuan
katup untuk menjalankan fungsinya merupakan faktor yang sangat penting sebab aliran darah
dari ekstremitas menuju jantung berjalan melawan gravitasi.

Gambar Katup vena

Fisiologi pada aliran vena yang melawan gaya gravitasi tersebut dipengaruhi oleh faktor
yang disebut pompa vena. Ada 2 komponen pompa vena yakni perifer dan sentral. Komponen
pompa vena perifer adalah adanya kompresi saluran vena selama kontraksi otot yang mendorong
aliran maju di dalam sistem vena dalam, katup-katup vena bekerja mencegah aliran retrograde
atau refluks selama otot relaksasi dan adanya sinus-sinus vena kecil yang tak berkatup atau
venula yang terletak di otot berperan sebagai reservoir darah selanjutnya akan mengosongkan
darahnya ke vena-vena dalam selama terjadi kontraksi otot.
Pada komponen pompa vena sentral yang berperan memudahkan arus balik vena adalah
pengurangan tekanan intratoraks saat inspirasi, penurunan tekanan atrium kanan dan ventrikel
kanan setelah fase ejeksi ventrikel.

Penyumbatan sistem pembuluh darah vena biasanya menghasilkan trombosis. Faktor


risiko sama dengan pada trombosis sistem pembuluh darah arteri. Trombus merupakan proses
kompleks yang mengikutsertakan interaksi dinding pembuluh darah dengan trombosit dan
protein antikoagulan. Pasien tanpa penyakit penyerta kadang-kadang dapat pula terkena kelainan
ini.

Epidemiologi
Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya. Pada satu pertiga
kasus, bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua pertiga lainnya hanya sebatas DVT.
Pada beberapa penelitian juga didapatkan bahwa kejadian VTE meningkat sesuai umur, dengan
angka kejadian 1 per 10.000 20.000 populasi pada umur dibawah 15 tahun, dan meningkat
secara eksponensial sesuai dengan umur hingga 1 per 1000 kasus pada usia diatas 80 tahun.
Insidensi VTE pada ras Asia dan Hispanic dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan ras
Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin, dan Asia Pasifik. Angka insidensi yang lebih rendah ini
masih belum dapat dijelaskan, namun diduga berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor
predisposisi genetik, seperti faktor V Leiden. Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan
wanita, walaupun penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause
merupakan faktor resiko terjadinya VTE.
Etiologi
Menurut virchow terdapat tiga kelompok faktor yang dapat mencegah pembentukan
trombus yang tidak normal antara lain :

Perubahan pada permukaan endotel


Endotel normal merupakan permukaan yang rata dan halus. Dianggap bahwa pada endotel
normal terdaat muatan listrik yang akan menolak tiap unsur darah yang mendekatApabila terjadi
kerusakan endotel maka terjadi perubahan dalam potensial listriknya, sehingga trombosit dapat
melekat pada endotel
Suatu anggapan lain menyatakan bahwa jaringan endotel yang rusak mengeluarkan suatu
zat sehingga terjadi koagulasi darah.
Perubahan pada aliran darah
Bila aliran darah melambat; maka trombosit akan menepi, sehingga mudah melekat pada
dinding pembuluh.
Normal dalam aliran darah terdapat suatu axial stream yang mengandung unsur darah yang
berat seperti lekosit.Trombosit mengalir pada zone yang lebih perifer dan dibatasi dari dinding
pembuluh oleh suatu zone plasma.
Bila timbul keterlambatan dalam aliran maka trombosit masuk kedalam zone plasma
sehingga kontak dengan endotel bertambah.Perubahan dalam aliran darah lebih sering terjadi
dalam vena. Trombus juga sering terjadi dalam varices, yaitu vena-vena yang melebar.

Perubahan pada konstitusi darah


Perubahan dalam jumlah dan sifat trombosit dapat mempermudah trombosis.Pada masalah
setelah mengalami pembedahan dan masa nifas, jumlah trombosit dalam darah kira-kira 2-3 kali
lipat daripada normal, serta bersifat lebih mudah melekat.
Sehingga dapat disimpulkan berdasarkan Triad of Virchow, terdapat 3 faktor stimuli
suatu tromboemboli yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan
perubahan daya beku darah. Selain faktor stimuli, terdapat juga faktor protektif yang berperan
yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antithrombin yang berikatan dengan
heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi
aktif dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolisis.
Terjadinya VTE merefleksikan ketidakseimbangan antara faktor stimuli dengan faktor protektif.
Faktor risiko terjadinya VTE dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor risiko didapat
(acquired) dan faktor risiko yang diturunkan (inherited), seperti pada tabel dibawah.
Tabel Faktor Risiko Terjadinya VTE
Didapat (acquired)
Diturunkan (inherited)
Campuran Keduanya
Bertambahnya usia
Defisiensi antitrombin
Tingginya kadar PCI (PAI-3)
Tindakan pembedahan (ortopedi, bedah saraf, laparotomi,dll)
Defisiensi Protein C
Tingginya kadar salah satu faktor pembekuan darah dibawah ini: VIII, IX, XI
Trauma
Defisiensi Protein S
Tingginya kadar fibrinogen
Kateter vena sentral
Faktor V Leiden (FVL)
Tingginya kadar TAFI (Thrombin Activated Fibrinolysis Inhibitor)
Keganasan
Prothrombin G20210A
Menurunnya kadar TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor)
Sindrom antifosfolipid
Kelompok Golongan darah non-O
Resistensi protein C teraktivasi pada absennya FVL
Puerperium
Disfibrinogenemia
Hiperhomosisteinemia
Imobilisasi lama (tirah baring, paralisis ekstremitas)
Faktor XIII 34val

Kehamilan

Obesitas

Kontrasepsi oral

Terapi sulih hormon

Penyakit myeloproliferatif

Polisitemia vera

Infark miokard

Varises
Pengaruh beberapa faktor risiko didapat (acquired) terhadap terjadinya trombosis vena dijelaskan
sebagai berikut:

1. Tindakan operatif
Faktor risiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi
dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di
daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah
abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan
operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada
waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preoperatif, operatif
dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di
daerah tersebut.

2. Kehamilan dan persalinan


Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis
vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan
lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi
darah.

3. Infark miokard
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis
aliran darah karena istirahat total.

4. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.


Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
5. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak dinetralisir
sehingga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

6. Obat-obatan konstrasepsi oral


Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas antitrombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor pembekuan
darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varises


Obesitas dan varises dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan
aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8. Proses keganasan
Sel tumor dapat menyebabkan up regulasi banyak faktor koagulasi, down regulasi sistem
protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau protein regulator yang berkaitan
dengan pembentukan trombus, sehingga rentan terhadap keadaan protrombotik (gambar bawah).

Gambar Efek protombotik sel tumor.


Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem koagulasi/antikoagulasi,
kerusakan endotel pembuluh darah dan mengaktivasi trombosit. Profil dari tumor juga
berpengaruh, karena beberapa jenis sel tumor mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs (faktor
III) dan trombin (faktor IIa). Juga dijumpai peningkatan faktor koagulasi dan protein regulator
pada peritoneum pasien dengan kanker ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor XIII, faktor II-
reseptor faktor II, faktor VII, faktor X dan faktor I, fibrin, heparin cofactor II dan reseptor
endothelial protein-C.

Patofisiologi
Trombosis adalah pembentukan bekuan darah di dalam pembuluh darah, dalam hal DVT
bekuan darah terjadi di pembuluh darah balik (vena) sebelah dalam, bisa terjadi terbatas pada
sistem vena kecil saja namun juga bisa melibatkan pembuluh vena besar seperti Vena Iliaka atau
Vena Kava.
Seperti dibahas sebelumnya, mekanisme yang mengawali terjadinya trombosis berdasar
trias Vircow ada 3 faktor pendukung yakni:
1. Adanya stasis dari aliran darah
2. Timbulnya cedera pada endotel pembuluh darah
3. Pengaruh hiperkoagulabilitas darah
Stasis atau lambatnya aliran darah merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis,
yang menjadi faktor pendukung terjadinya stasis adalah adanya imobilisasi lama yakni kondisi
anggota gerak yang tidak aktif digerakkan dalam jangka waktu yang lama.
Imobilisasi lama seperti masa perioperasi atau akibat paralisis, dapat menghilangkan
pengaruh dari pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi hingga terjadi pengumpulan darah di
ekstremitas bawah. Terjadinya stasis darah yang berada di belakang katup vena menjadi faktor
predisposisi timbulnya deposisi trombosit dan fibrin sehingga mencetuskan terjadinya trombosis
vena dalam.
Cedera endotel meski diketahui dapat mengawali pembentukan trombus, namun tidak
selalu dapat ditunjukkan adanya lesi yang nyata, pada kondisi semacam ini nampaknya
disebabkan adanya perubahan endotel yang samar seperti akibat terjadinya perubahan kimiawi,
iskemia atau anoksia, atau peradangan. Penyebab kerusakan endotel yang jelas adalah adanya
trauma langsung pada pembuluh darah, seperti akibat fraktur dan cedera pada jaringan lunak,
tindakan infus intra vena atau substansi yang mengiritasi seperti kalium klorida, kemoterapi
ataupun antibiotik dosis tinggi.
Hiperkoagulabilitas darah tergantung pada interaksi kompleks antara berbagai variabel
termasuk endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan dan trombosit, komposisi dan sifat-
sifat aliran darah, sistem fibrininolitik intrinsik pada sistem pembekuan darah. Keadaan
hiperkoagulasi bisa terjadi jika terjadi perubahan pada salah satu dari variabel-variabel tersebut.
Trombosis vena, apapun rangsangan yang mendasarinya, akan meningkatkan resistensi
aliran vena dari ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena akan
terganggu, menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah vena. Trombosis bisa
melibatkan kantong katup hingga merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi atau yang
inkompeten mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah di ekstremitas.
Dalam perjalanan waktu dengan semakin matangnya trombus akan menjadi semakin
terorganisir dan melekat pada dinding pembuluh darah. Sebagai akibatnya, resiko embolisasi
menjadi lebih besar pada fase-fase awal trombosis, namun demikian ujung bekuan tetap dapat
terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase organisasi. Selain itu perluasan trombus dapat
membentuk ujung yang panjang dan bebas selanjutnya dapat terlepas menjadi emboli yang
menuju sirkulasi paru-paru. Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan
melibatkan daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin
dapat distabilkan dalam derajat tertentu atau direkanalisasi dengan retraksi bekuan dan lisis
melalui system fibrinolitik endogen. Tetapi beberapa kerusakan residual tetap bertahan.
Manifestasi Klinis

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena
superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti vena poplitea,
vena femoralis dan vena iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang
terjadi DVT .
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul tidak
selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk
umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis di
daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut
meluas atau menyebar ke proksimal.
Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala
klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena tungkai superfisialis
ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan
kematian.
Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homans sign yaitu
nyeri pada betis atau fosa poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini sensitif
namun tidak spesifik.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :

bendungan aliran vena.


peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
emboli pada sirkulasi pulmoner.
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa

1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah
betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior
paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya
mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat
tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan
perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di
bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler
maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan
bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan
posisi kaki agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit


Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena dalam
dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya
17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.

4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari
adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya
tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan
perforasi vena dalam.

Semua keadaan di atas akan mengakibatkan aliran darah vena dalam membalik ke daerah
superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan,
pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang
timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu
istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki
sepertiga bawah.
Trombosis vena dalam (DVT) menyerang pada pembuluh-pembuluh darah sistem vena
dalam . Serangan awalnya disebut trombosis vena dalam akut, adanya riwayat trombosis vena
dalam akut merupakan predisposisi terjadinya trombosis vena dalam berulang. Episode DVT
dapat menimbulkan kecacatan untuk waktu yang lama karena kerusakan katup-katup vena
dalam. Emboli paru adalah resiko yang cukup bermakna pada trombosis vena dalam.
Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstremitas bawah, banyak yang sembuh
spontan dan sebagian lainnya menjadi parah dan luas hingga membentuk emboli. Penyakit ini
dapat menyerang satu vena atau lebih, vena di daerah betis adalah vena-vena yang paling sering
terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis dan segmen-segmen vena
iliofemoralis juga sering terjadi.
DVT secara khas merupakan masalah yang tidak terlihat karena biasanya tidak bergejala,
terjadinya emboli paru dapat menjadi petunjuk klinis pertama dari trombosis. Pembentukan
trombus pada sistem vena dalam dapat tidak terlihat secara klinis karena kapasitas system vena
yang besar dan terbentuknya sirkulasi kolateral yang mengitari obstruksi. Diagnosisnya sulit
karena tanda dan gejala klinis DVT tidak spesifik dan beratnya keadaan tidak berhubungan
langsung dengan luasnya penyakit.
Gejala-gejala dari DVT berhubungan dengan rintangan dari darah yang kembali ke
jantung dan aliran balik pada kaki. Secara klasik, gejala-gejala termasuk:

nyeri,
bengkak,
hangat dan
kemerahan.

Tanda yang paling dapat dipercaya adalah bengkak/edema dari ekstremitas yang
bersangkutan. Pembengkakan disebabkan oleh peningkatan volume intravaskuler akibat
bendungan darah vena, edema menunjukkan adanya perembesan darah disepanjang membrane
kapiler memasuki jaringan interstisial yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik. Vena
permukaan dapat pula berdilatasi karena obstruksi aliran ke sistem dalam atau sebaliknya aliran
darah dari sistem dalam ke permukaan. Meski biasanya hanya unilateral, tetapi obstruksi pada
iliofemoral dapat mengakibatkan pembengkakan bilateral.
Seperti dibahas diatas, nyeri merupakan gejala yang paling umum, biasanya dikeluhkan
sebagai rasa sakit atau berdenyut dan bisa terasa berat. Ketika berjalan bisa menimbulkan rasa
nyeri yang bertambah. Nyeri tekan pada ekstremitas yang terserang bisa dijumpai saat
pemeriksaan fisik. Ada dua teknik untuk menimbulkan nyeri tekan yakni dengan
mendorsofleksikan kaki dan dengan mengembungkan manset udara di sekitar ekstremitas yang
dimaksud. Tanda lain adalah adanya peningkatan turgor jaringan dengan pembengkakan,
kenaikan suhu kulit dengan dilatasi vena superfisial, bintik-bintik dan sianosis karena stagnasi
aliran, peningkatan ekstraksi oksigen dan penurunan hemoglobin. Gangguan sekunder pada arteri
dapat terjadi pada trombosis vena luas akibat kompresi atau spasme vaskuler, denyut arteri
menghilang dan timbul warna pucat.

Diagnosis
Untuk mendiagnosa penderita DVT dengan benar diperlukan pemeriksaan dan evaluasi
pada penderita secara hati-hati dan seksama, meliputi keluhan dan gejala klinis serta adanya
faktor resiko terjadinya trombosis vena yang didapat pada penderita sebagaimana dijelaskan
pada gambaran klinis di depan.
Namun karena keluhan dan gejala klinis penyakit vena tidak spesifik dan sensitif untuk
menegakkan diagnosis sebagai DVT maka perlu ditambah dengan metode-metode evaluasi
noninvasif maupun invasif. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mendeteksi dan mengevaluasi
obstruksi atau refluks vena melalui katup-katup yang tidak berfungsi baik.
Scarvelis dan Wells tahun 2006 mengemukakan nilai probabilitas untuk penderita DVT
yang dikenal dengan Wells score, guna menunjang arah diagnosa. Adapun skor yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
No
Jenis Kriteria
Nilai
1.
Menderita kanker aktif mendapat terapi 6 bl terakhir atau perawatan paliatif
1
2.
Edema tungkai bawah > 3cm (diukur 10 cm bawah tuberositas tibial, bandingkan dengan sisi
sehat)
1
3.
Didapat kolateral vena permukaan (non varises)
1
4.
Pitting edema
1
5.
Bengkak seluruh tungkai bawah
1
6.
Nyeri disepanjang distribusi vena dalam
1
7.
Kelemahan, kelumpuhan atau penggunaan casting pada tungkai bawah
1
8.
Bedridden > 3hr, atau 4 minggu pasca operasi besar dengan anestesi general atau regional
1
9.
Penegakan diagnosa alternative
2 point
Interpretasi skor dari Wells adalah jika didapat minimal 2 point maka mengarah DVT dan
disarankan dengan pemeriksaan penunjang radiologis. Apabila skornya kurang dari 2 belum
tentu DVT, dipertimbangkan dengan pemeriksaan D-dimer untuk meniadakan diagnosa DVT.
Selanjutnya ada pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa trombosis vena dalam antara lain:

1. Tes dari Homan (Homans test) yakni dengan melakukan dorsofleksi pada kaki maka
akan didapatkan peningkatan rasa nyeri pada betis belakang. Nilai diagnostik
pemeriksaan ini rendah dan harus hati-hati karena bisa menjadi pemicu terlepasnya
trombus.
2. Tanda dari Pratt (Pratts sign), dilakukan squeezing pada otot betis maka akan timbul
peningkatan rasa nyeri.

Setelah penderita dilakukan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang mengarah terjadinya DVT
selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang diantaranya:

1. Pemeriksaan D-Dimer
D-dimer merupakan tes darah yang digunakan sebagai tes penyaringan (screening) untuk
menentukan apakah ada bekuan darah. D-dimer adalah kimia yang dihasilkan ketika bekuan
darah dalam tubuh secara berangsur-angsur larut/terurai. Tes digunakan sebagai indikator positif
atau negatif. Jika hasilnya negatif, maka tidak ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif, bukan
berarti bahwa terjadi trombosis vena dalam, karena banyak kasus-kasus lain mempunyai hasil
positif (kehamilan, infeksi, malignansi). Oleh sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan
sebagai sarana skrening.
2. Doppler ultrasound
Teknik Doppler dipakai untuk menentukan kecepatan aliran darah dan pola aliran dalam sistem
vena dalam dan permukaan. Pola aliran vena normal ditandai dengan peningkatan aliran
ekstremitas bawah selama ekspirasi dan menurun selama inspirasi. Pada obstruksi vena variasi
pernafasan fasik tersebut tidak tampak. Terdapat sejumlah manuver yang dapat dipakai untuk
membangkitkan pola aliran abnormal seperti manuver valsava dan kompresi vena. Bila didapat
katup vena yang fungsinya tidak baik, saat dilakukan kompresi dengan manset pada tungkai akan
meningkatkan tekanan di distal yang berakibat timbulnya refluks.
Pemakaian Doppler memungkinkan penilaian kualitatif katup pada vena dalam, vena permukaan
dan vena penghubung, juga mendeteksi adanya obstruksi pada vena dalam maupun vena
permukaan. Pemeriksaan ini sederhana, tidak invasif tetapi memerlukan teknik dan pengalaman
yang baik untuk menjamin akurasinya.

3. Duplex ultrasonic scanning


Pemakaian alat ini untuk mendapatkan gambaran vena dengan teknik penggabungan informasi
aliran darah Doppler intravaskuler dengan gambaran ultrasonic morfologi vena. Dengan teknik
ini obstruksi vena dan refluks katup dapat dideteksi dan dilokalisasi.

4. Pletismografi vena
Teknik ini mendeteksi perubahan dalam volume darah vena di tungkai. Teknik pletismograf
yang umum mencakup:
a. Impedance plethysmography yakni arus listrik lemah ditransmisikan melalui ekstremitas dan
tahanan atau resistensi dari arus diukur. Karena darah adalah penghantar listrik yang baik
tahanan akan turun bila volume darah di ekstremitas meningkat sewaktu pengisian vena.
Tahanan atau impedansi diukur melalui elektroda-elektroda pada suatu sabuk yang dipasang
keliling pada anggota tubuh.
b. Strain gauge plethysmography (SGP) yakni mendeteksi perubahan dalam ketegangan mekanik
pada elektroda yang menunjukkan adanya perubahan volume darah.
c. Air plethysmography adalah dengan mendeteksi perubahan volume melalui perubahan tekanan
di dalam suatu manset berisi udara yang melingkari anggota gerak, saat volume vena bertambah
maka tekanan di dalam manset akan bertambah pula.
d. Photoplethysmography (PPG) adalah teknik baru yang bergantung pada deteksi pantulan cahaya
dari sinar infra merah yang ditransmisikan ke sepanjang ekstremitas. Proporsi cahaya yang akan
terpantulkembali ke transduser tergantung pada volume darah vena dalam jaringan pembuluh
darah kulit.
5 . Venografi
merupakan teknik yang dianggap paling dipercaya untuk evaluasi dan perluasan penyakit
vena. Tetapi ada kelemahan mengingat sebagai tes invasif dibanding noninvasif yakni lebih
mahal, tidak nyaman bagi penderita, resiko lebih besar.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pasien yang dicurigai menderita DVT secara klinis antara lain :
penegangan atau robeknya otot, kaki terkilir, limfangitis atau obstrunsi limfatik, refluks vena,
kista popliteal, selulitis, pembengkakan kaki pada paralisis ekstremitas, abnormalitas sendi lutut.
Diagnosa DVT tidak dapat diekslusikan tanpa pemeriksaan objektif.

Penatalaksanaan

Falsafah pengobatan trombosis adalah aman dan efektif, aman bermakna terapi yang
diberikan tidak menimbulkan komplikasi misalnya pemberian antikoagulan harus diupayakan
tidak sampai mengakibatkan perdarahan, efektif berarti tindakan yang diberikan berhasil
mencegah perluasan trombosis.
Secara umum penatalaksanaan penderita trombosis vena dalam meliputi upaya
pencegahan, pengobatan non invasif dan tindakan pembedahan atau invasif.

A. Pencegahan
Pencegahan adalah upaya terapi terbaik pada kasus trombosis vena dalam, terutama pada
penderita yang memiliki resiko tinggi. Peranan ahli rehabilitasi medik sangat dibutuhkan pada
upaya ini agar mereka yang berpotensi mengalami trombosis vena tidak sampai mengalami
DVT.
Ada beberapa program rehabilitasi medik yang berfungsi untuk mencegah timbulnya
trombosis vena pada populasi resiko tinggi. Program-program tersebut adalah:

1. Mobilisasi dini, program ini diberikan pada penderita beresiko timbul DVT oleh karena
keadaan yang mengakibatkan imobilisasi lama akibat kelumpuhan seperti penderita
stroke, cedera spinal cord, cedera otak, peradangan otak. Dengan melakukan latihan pada
tungkai secara aktif maupun pasif sedini mungkin aliran balik vena ke jantung bisa
membaik.
2. Elevasi, meninggikan bagian ekstremitas bawah di tempat tidur sehingga lebih tinggi dari
jantung berguna untuk mengurangi tekanan hidrostatik vena dan juga memudahkan
pengosongan vena karena pengaruh grafitasi.
3. Kompresi, pemberian tekanan dari luar seperti pemakaian stocking, pembalut elastik,
ataupun kompresi pneumatik eksternal dapat mengurangi stasis vena. Tetapi pemakaian
stocking dan pembalut elastik harus dikerjakan dengan hati-hati guna menghindari efek
torniket oleh karena pemakaian yang ceroboh.
4. Latihan, program latihan yang melibatkan otot-otot ekstremitas bawah akan sangat
memban
5. tu perbaikan arus balik pada sistem vena sehingga mengurangi tekanan vena, dengan
demikian dapat memperbaiki sirkulasi vena yang bermasalah dan beresiko timbulnya
DVT. Berikut beberapa contoh sederhana latihan yang bisa diberikan pada kelompok
resiko tinggi trombosis vena:
Latihan dalam posisi berbaring:

1.a. Posisi berbaring miring dengan posisi tungkai satu di atas dengan yang lain selanjutnya tungkai yang
berada di atas diangkat hingga 45 dipertahankan sesaat kemudian kembali keposisi awal, latihan
dilakukan bergantian antara kana n dan kiri tungkai masing-masing 6 kali.

1.b. Posisi terlentang kedua tungkai bawah lurus selanjutnya salah satu tungkai ditekuk dan ditarik
kearah dada perlahan, dipertahankan 15 detik sebelum kembali ke posisi awal. Latihan bergantian kanan
dan kiri masing-masing 6 kali.
.c. Posisi terlentang dengan pergelangan kaki netral selanjutnya kaki diekstensikan/plantar fleksi
dengan ujung jari ditekankan ke bawah, pertahankan beberapa detik. Gerakan tersebut diulangi 6
kali per latihan.
2. Latihan dalam posisi duduk:

2 a. Lutut dipertahankan pada posisi fleksi selanjutnya diangkat keatas


kearah dada dan kembali diturunkan, demikian gerakan dilakukan berulang
secara bergantian antara sisi kiri dan kanan.

2.b. Posisi sambil duduk kemudian lutut diekstensikan dan kembali keposisi semula, dilakukan
bergantian sisi k anan dan kiri.
2.c. Posisi duduk dengan lengan di samping, selanjutnya tungkai bawah diangkat lurus ke atas,
pertahankan beberapa detik kemudian diturunkan. Gerakan diulang secsra bergantian masing-masing 6
kali.

2 .d. Tumit diangkat keduanya selanjutnya dilakukan gerakan melingkar/rotasi pada kedua kaki
dengan arah putaran berlawanan antara kiri dan kanan, gerakan dilakukan selama 15 detik dilanjutkan
dengan arah putaran sebaliknya.

2.e. Melakukan gerakan pumping pada kedua kaki dengan menekan lantai pada ujung jati kaki
sementara tumit diangkat, dipertahankan 3 detik dan dilanjutkan dengan tumit menekan lantai
sementara ujung jari terangkat juga dipertahankan selama 3 detik, demikian dilakukan berulang.

B. Pengobatan medikamentosa. (farmakologis)


Pada kasus DVT pemberian terapi medikamentosa sangat bermanfaat untuk mencegah
timbulnya komplikasi dan progresifitas penyakit. Terapi yang diberikan meliputi pemberian
antikoagulan, trombolitik ataupun fibrinolitik dan anti agregasi trombosit.
Antikoagulan diberikan sebagai terapi utama memiliki dua sasaran, pertama bertujuan
mencegah terjadinya emboli paru, kedua berguna untuk membatasi area kerusakan dari venanya.
Antikoagulan dalam jangka pendek sebaiknya diberikan pada semua penderita dengan
trombosis vena dalam di tungkai. Pemakaian antikoagulan seperti heparin dalam jangka pendek
yang efektif dan aman harus dipantau dengan pemeriksaan waktu pembekuan dan pemeriksaan
waktu protrombin, pemeriksaan ini dilakukan tiap hari. Komplikasi perdarahan biasanya tidak
akan terjadi bila efektif antikoagulan cepat tercapai dan dosis dapat segera ditentukan dengan
cepat pula.
Terapi trombolitik adalah pemberian secara intravena suatu bahan fibrinolitik dengan
tujuan agar terjadi lisis pada trombus vena. Pemberian kinase akan menyebabkan plasminogen
berubah menjadi suatu enzim proteolitik aktif yaitu plasmin yang dapat menghancurkan fibrin
menjadi polipeptida yang dapat larut. Berbagai obat yang tersedia saat ini seperti Streptokinase,
Reteplase, Tenecteplase, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan terapi ini
harus hati-hati terhadap komplikasi perdarahn otak atau gastrointestinal terutama pada usia
lanjut.
Anti agregasi trombosit merupakan salah satu pilihan terapi yang memiliki hasil terapi
efektif dan aman. Karena adesi dan agregasi trombosit adalah dasar dari pembentukan trombus
hemostatik primer dalam skema koagulasi, maka obat-obatan antitrombosit seperti aspirin
dipakai oleh beberapa ahli untuk menahan perkembangan trombosis.

Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru


Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di
usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti
koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah
heparin.
Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan
tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah
timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu dipantau waktu trombo
plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
Pemberian Heparin standar

Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000
1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di
periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 2,5 kontrol.

1. Bila APTT 1,5 2,5 x kontrol dosis tetap.


2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 150 iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2
tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang
mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin
dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral,
selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian
heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.

Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)


Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan pemantauan yang ketat,
sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat yang tersedia di
Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin
standar maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced
Thormbocytopenia (HIT).

Pemberian Oral Anti koagulan oral


Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 8
mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil
INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 3,0

Cara penyesuaian dosis


INR
Penyesuaian
1,1 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 1,9 hari 1, naikkan 5% 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
2,0 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
3,1 3,9 hari : kurang 5% 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :

Stop pemberian warfarin.


Pantau sampai INR : 3,0
Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila trombosis vena
dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan kalau trombosis vena
adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih
lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :

1. Hipertensi : sistolik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.


2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.

Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan
memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah
dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek
samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4
ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra
vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah
perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya
efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin
parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.
Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.

Latihan posisi fisik seperti yang dijabarkan di atas.


Pemberian heparin atau trombolitik.
Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam serangan trombosis.
Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan embolektomi.
Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak
di anjurkan.

2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.


Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat proses trombosis.
Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang eksistensif seperti vena-vena di daerah
poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis.
Sindroma ini akan berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.

3. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.


Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli paru. Keadaan ini
terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya emboli paru, akan tetapi dengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik, terjadinya hipertensi pulmonal ini dapat di
cegah.
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan
emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom
post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of
choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Unfractionated Heparin (UFH)


Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus diberikan secara
intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan kemampuannya untuk
menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated
heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin
time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat
pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon
antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara
nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan dan
trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini
tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik.
Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5
hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized Ratio (INR)
dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)


Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor Xa melalui
ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki
beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat
diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali
sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak
menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).

Tabel Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT (Ramzi, 2004)

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding
penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke
perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen
atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien
rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja
menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang
berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena
itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011;
Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat
sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S.
Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali
sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200
IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis
175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra).
Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan
dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan,
satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).

Terapi Jangka Panjang


Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan
pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan (Bates,
2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K
yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor(faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan
terhadap enzim vitamin K epoxide reductase(Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan adalah 5
mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target
kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB
rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala
diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya
diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali
perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan
akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates,
2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang
dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan
monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan akses
laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada
warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada
penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang
tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal
(Hirsh, 2002: Bates, 2004).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara
lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak
jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring
ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk
menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai
profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan
dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada
DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara
lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan
parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah
tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan
obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari
warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).

Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target tempat bekerja

1. Inhibitor langsung thrombin (atau faktor lIa) seperti dabigatran etexilate (Pradaxa )
dan AZD0837;
2. Oral inhibitor faktor Xa meliputi Rivaroxaban (Xarelto ), apixaban, betrixaban , edoxab
andaneribaxaban, dan
3. Inhibitor factorXa parenteral yang meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi,
turunan dari fondaparinux) dan semuloparin.

Durasi Penggunaan Antikoagulan


Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan
rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH
kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual
case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT
kurang lebih 5% (Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan
pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa
kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang
cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009).
Terapi antikoagulan yang inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan
sindroma post trombotik (Zhu, 2009).
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor
resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3
bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan
memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien
dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Bates,
2004; Hirsh, 2002)
Tabel Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi antikoagulant (Hirsh, 2002)
Terapi Trombolitik
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi
vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara
sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada
episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic
syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase
dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase
sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal,
akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson,
2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan
juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang
lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya
dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding
penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain
trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,threatened limb
viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun),
harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan
trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding
diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma
serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal,
keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang
tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya
komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis
dapat dilihat pada tabel dibawah.
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,
penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada
tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara,
penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan
antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus
melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates,
2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus
tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner
syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga
terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah
pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor
uterus (Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada
kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk
mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines, 2011; Patterson,
2010).

Tabel Protokol trombolisik pada DVT (Patterson, 2010)


Tabel Protokol Heparin pada DVT (Patterson, 2010)

C. Tindakan pembedahan.
Tindakan bedah dilakukan apabila pada upaya preventif dan pengobatan
medikamentosa tidak berhasil serta adanya bahaya komplikasi. Ada beberapa pilihan tindakan
bedah yang bisa dipertimbangkan antara lain:

1. Ligasi vena, dilakukan untuk mencegah emboli paru. Vena Femoralis dapat diikat tanpa
menyebabkan kegagalan vena menahun, tetapi tidak meniadakan kemungkinan emboli
paru. Ligasi Vena Cava Inferior secara efektif dapat mencegah terjadinya emboli paru,
tapi gejala stasis hebat dan resiko operasi lebih besar dibanding dengan pemberian
antikoagulan dan trombolitik.
2. Trombektomi, vena yang mengalami trombosis dilakukan trombektomi dapat
memberikan hasil yang baik jika dilakukan segera sebelum lewat 3 hari. Tujuan tindakan
ini adalah: mengurangi gejala pasca flebitik, mempertahankan fungsi katup dan
mencegah terjadinya komplikasi seperti ulkus stasis dan emboli paru.
3. Femorofemoral grafts disebut juga cross-over-method dari Palma, tindakan ini dipilih
untuk bypass vena iliaka serta cabangnya yang mengalami trombosis. Tekniknya vena
safena diletakkan subkutan suprapubik kemudian disambungkan end-to-side dengan vena
femoralis kontralateral.
4. Saphenopopliteal bypass, dilakukan bila rekanalisasi pada trombosis vena femoralis tidak
terjadi. Metoda ini dengan menyambungkan vena safena secara end-to-side dengan vena
poplitea.

Prognosis

Trombosis superfisial jika ditangani dengan tepat memiliki prognosis bonam atau baik,
sebagian besar kasus DVT dapat hilang tanpa adanya masalah apapun, namun penyakit ini dapat
kambuh. Beberapa orang dapat mengalami nyeri dan bengkak berkepanjangan pada salah satu
kakinya yang dikenal sebagai post phlebitic syndrome. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi
kemungkinan terjadinya dengan penggunaan compression stocking saat dan sesudah episode
DVT terjadi. Pada pasien dengan riwayat terjadi emboli paru, maka pengawasan harus dilakukan
secara lebih ketat dan teratur.
Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai resiko
terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani
dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan
antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali.

Daftar Pustaka

1. Kaushansky, K, MA Lichtman, E Beutler, TJ Kipps, U Seligsohn, JT. Prchal. 2010.


Venous Thrombosis. Williams Hematology, 8th edition. China: The McGraw-Hill
Companies, Inc. P. 2700 2720.
2. Lopez, JA, C Kearon, dan AYY Lee. Deep Venous Thrombosis. Hematology. ASH
Education Book January 1, 2004 vol. 2004 no. 1 439-456
3. Cushman, M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin Hematol.
2007 April ; 44(2): 6269.
4. White, R. The Epidemiology of Venous Thromboembolism. Circulation. 2003;107:I-4
I-8. (dari http://circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_I/I-4, diakses pada tanggal 7
Agustus 2015, pkl 20.00)
5. Bates, SM, R Jaeschke, SM Stevens, S Goodoacre, PS Wells, MD Stevenson, C Kearon,
HJ Schunemann, M Crowther, SG Pauker, R Makdissi, dan GH Guyatt. Diagnosis of
DVT: Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American College
of Chest Physicians. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST 2012;
141(2)(Suppl):e351Se418S
6. Fauci, AS, DL Kasper, DL Longo, E Braunwald, SL Hauser, JL Jameson, J Loscalzo.
Venous Thrombosis. Dalam: Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition.
2008. Chapter 111. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
7. Hirsh, J dan J Hoak. Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism.
Circulation.1996; 93: 2212-2245 (dari: http://circ.ahajournals.org/
content/93/12/2212.full, diakses pada tanggal 5 Agustus 2015, pkl 22.00)
8. Hirsh, J, RD Hull, dan GE Raskob. Epidemiology and Pathogenesis of Venous
Thrombosis. J Am Coll CardioI 1986;8:104B-113B. (dari:
http://content.onlinejacc.org/data/Journals/JAC/22739/00122.pdf, diakses tanggal 5
Agustus 2015, pkl 22.05)
9. Kerr T.M et al : Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by Duplex Scanning,
The Am J of Surgery 160:120-206, 1990.
10. Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent Thrombo-
embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.
11. Thomas J.H et al. Pathogenesis Diagnosis, and Treatment of Thrombosis. The Am J of
Surgery 160:547-551, 1990.
12. Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J
Med. 327:1128-1133, 1992.
13. Brenner B et al. Quantiation of Venous Clot Lysis D Dimer Immuboassay During
Fibrinolytic Theraphy Requires Correction for Sluble Fibrin Dehidration. Circulation
81(6) : 1818-1825, 1990.
14. Strandness D.E. et al : Long-term Sequelae of Acute Venous Thrombosis. JAMA
250:1289-1292, 1983.
15. Anderson D.R. et al : Efficacy and Cost of LMH Compared with Standard Heparin for
Prevention of DVT After Total Hip Arthrosplasty. Ann of Intern Med. 119: 1105
1112.1993.
16. Raju S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction. Surgery
123:637-644, 1999.
17. Runge M.S et al : Prevention of Thrombosis and Rethrombosis. Circulation 82:655-657,
1990.
18. Partsch, H dan Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the treatment of
proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J Vasc Surg. 2000;
32:861-869
19. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in
women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
20. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or
enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern
Med, 140:867-73
21. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood, 115:15-20
22. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American
College of Cardiology, 56:1-7
23. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood, 99: 3102-
3110
24. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of
pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-
1281
25. Andrews KL, Gamble GL, et al. Vascular Diseases. In: Delisa JA, editor. Physical
Medicine & Rehabilitation Principles and Practice, 4th Edition. Phyladelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005. p. 787-806.
26. Kesteven P. Epidemiology of Venous Trombosis. In: Labropoulos N, Stansby G, editors.
Venous and Lymphatic Diseases. New York, NY 1001: Taylor & Francis Group; 2006. p.
143-51.
27. Bhatti A, Labropoulos N. The Pathophysiology of Deep Venous Trombosis. In:
Labropoulos N, Stansby G, editors. Venous and lymphatic diseases. New York, NY
10016: Taylor & Francis Group; 2006. p. 131-6.
28. Denekamp LJ, Folcarelli PH. Penyakit Pembuluh Darah. In: Price SA, Wilson LM,
editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6 ed. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2002. p. 656-83.
29. Caggiati A. Venous and Lymphatic Anatomy. In: Labropoulos N, Stansby G, editors.
30. Venous and Lymphatic Diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis Group; 2006.
p. 9-16.
31. Smith PDC. Physiology of the Veins and Lymphatics. In: Labropoulos N, Stansby G,
editors. Venous and
32. Lymphatic Diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis Group; 2006. p. 23-9.
33. Jusi D. Dasar-Dasar Bedah Vaskuler. 3 ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2004. p. 228-
45.
34. Malone PC, Agutter PS. The aetiology of deep venous trombosis. Q J Med. [Review
article]. 2006;99:58193.
35. Rani AA, Soegondo, et al. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
36. Leon L, Labropoulos N. Diagnosis of Deep Vein Trombosis. In: Labropoulos N, Stansby
G, editors. Venous and lymphatic diseases. New York, NY 10016: Taylor & Francis
Group; 2006. p. 113-6.
37. Scarvelis D, Wells PS. Diagnosis and treatment of deep-vein trombosis. Canadian
Medical Association Journal [Review article]. 2006 October 24, 2006:1087-92.
38. Palareti G, Cosmi B, et al. d-Dimer Testing to Determine the Duration of Anticoagulation
Therapy. The new england journal o f medicine. [original article]. Oct 2006:1780-90.
39. Anonym. Simple Movements, Awareness and Safety. In: DVT TCtP, editor.
www.preventdvt.org.

http://www.informasikedokteran.com/2015/09/trombosis-vena.html

Anda mungkin juga menyukai