Untuk lebih dapat memahami trombosis ada baiknya kita mengulas kembali mengenai
sistem vena :
Anatomi Vena
Vena merupakan pembuluh darah yang dilewati sirkulasi darah kembali menuju jantung
sehingga disebut juga pembuluh darah balik. Dibandingkan dengan arteri, dinding vena lebih
tipis dan mudah melebar. Sama seperti arteri, vena memiliki 3 lapis dinding yaitu tunika intima,
tunika media dan tunika adventitia. Pada arteri lapisan yang tebal adalah tunika media sedangkan
lapisan tebal pada vena adalah tunika adventitia , yang juga dikenal sebagai externa tunika. Ini
adalah lapisan terluar dari pembuluh darah, yang menyediakan stabilitas struktural mirip lapisan
tunika media di arteri. Sementara darah bergerak melalui arteri oleh aktivitas tunika media, pada
vena menggunakan mekanisme yang berbeda yang disebut pompa otot rangka. Dalam pompa
otot rangka, darah bergerak secara pasif melalui pembuluh darah oleh kontraksi otot rangka
seluruh tubuh, yang memaksa darah untuk bergerak ke atas menuju jantung bukan penyatuan
dalam tubuh extremeties rendah (tangan dan kaki). Kurang lebih 70% volume darah berada
dalam sirkuit vena dengan tekanan yang relatif rendah. Kapasitas dan volume sirkuit vena ini
merupakan faktor penentu penting dari curah jantung karena volume darah yang diejeksi oleh
jantung tergantung pada alir balik vena.
Sistem vena khususnya pada ekstremitas bawah terbagi menjadi 3 subsistem:
1. Subsistem vena permukaan
2. Subsistem vena dalam
3. Subsistem penghubung (saling berhubungan)
Vena permukaan terletak di jaringan subkutan tungkai dan menerima aliran vena dari
pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil di dalam kulit, jaringan subkutan dan kaki. Sistem
permukaan terdiri dari: Vena Safena Magna dan Vena Safena Parva. Vena Safena Magna
merupakan vena terpanjang di tubuh, berjalan dari maleolus naik ke bagian medial betis dan
paha, bermuara ke Vena Femoralis tepat di bawah selangkangan. Vena Safena Magna
mengalirkan darah dari bagian anteromedial betis dan paha. Vena Safena Parva berjalan di
sepanjang sisi lateral dari mata kaki melalui betis menuju lutut, mendapatkan darah dari bagian
posterolateral betis dan mengalirkan darah ke Vena Poplitea, titik pertemuan keduanya disebut
Safenopoplitea. Diantara Vena Safena Magna dan Parva banyak didapat anastomosis, hal ini
merupakan rute aliran kolateral yang memiliki peranan penting saat terjadi obstruksi vena.
Gambar sistem vena (dari wikipedia.org) klik untuk memperbesar
Sistem vena dalam membawa sebagian besar darah dari ekstremitas bawah yang terletak
di dalam kompartemen otot. Vena-vena dalam menerima aliran darah dari venula kecil dan
pembuluh intra muskuler. Sistem vena dalam atau profunda cenderung berjalan sejajar dengan
pembuluh arteri tungkai bawah dan diberi nama yang sama dengan arteri tersebut. Sebagai
akibatnya, termasuk dalam sistem vena ini adalah Vena Tibialis Anterior dan Posterior,
Peroneus, Poplitea, Femoralis, Femoralis Profunda dan pembuluh-pembuluh darah betis yang
tidak diberi nama. Vena Iliaka juga dimasukkan ke dalam sistem vena dalam ekstremitas bawah
karena aliran vena dari tungkai ke vena cava tergantung pada patensi dan integritas dari
pembuluh-pembuluh ini.
Subsistem vena-vena dalam dan permukaan dihubungkan oleh saluran-saluran pembuluh
darah yang disebut vena penghubung yang membentuk subsistem penghubung ekstremitas
bawah. Aliran biasanya dari vena permukaan ke vena dalam dan selanjutnya ke vena kava
inferior.
Pada struktur anatomi vena didapatkan katup-katup semilunaris satu arah yang tersebar di
seluruh sistem vena. Katup-katup tersebut adalah lipatan dari lapisan intima yang terdiri dari
endotel dan kolagen, berfungsi untuk mencegah terjadinya aliran balik, mengarahkan aliran
kearah proksimal dan dari sistem permukaan ke sistem dalam melalui penghubung. Kemampuan
katup untuk menjalankan fungsinya merupakan faktor yang sangat penting sebab aliran darah
dari ekstremitas menuju jantung berjalan melawan gravitasi.
Fisiologi pada aliran vena yang melawan gaya gravitasi tersebut dipengaruhi oleh faktor
yang disebut pompa vena. Ada 2 komponen pompa vena yakni perifer dan sentral. Komponen
pompa vena perifer adalah adanya kompresi saluran vena selama kontraksi otot yang mendorong
aliran maju di dalam sistem vena dalam, katup-katup vena bekerja mencegah aliran retrograde
atau refluks selama otot relaksasi dan adanya sinus-sinus vena kecil yang tak berkatup atau
venula yang terletak di otot berperan sebagai reservoir darah selanjutnya akan mengosongkan
darahnya ke vena-vena dalam selama terjadi kontraksi otot.
Pada komponen pompa vena sentral yang berperan memudahkan arus balik vena adalah
pengurangan tekanan intratoraks saat inspirasi, penurunan tekanan atrium kanan dan ventrikel
kanan setelah fase ejeksi ventrikel.
Epidemiologi
Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya. Pada satu pertiga
kasus, bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua pertiga lainnya hanya sebatas DVT.
Pada beberapa penelitian juga didapatkan bahwa kejadian VTE meningkat sesuai umur, dengan
angka kejadian 1 per 10.000 20.000 populasi pada umur dibawah 15 tahun, dan meningkat
secara eksponensial sesuai dengan umur hingga 1 per 1000 kasus pada usia diatas 80 tahun.
Insidensi VTE pada ras Asia dan Hispanic dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan ras
Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin, dan Asia Pasifik. Angka insidensi yang lebih rendah ini
masih belum dapat dijelaskan, namun diduga berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor
predisposisi genetik, seperti faktor V Leiden. Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan
wanita, walaupun penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause
merupakan faktor resiko terjadinya VTE.
Etiologi
Menurut virchow terdapat tiga kelompok faktor yang dapat mencegah pembentukan
trombus yang tidak normal antara lain :
Kehamilan
Obesitas
Kontrasepsi oral
Penyakit myeloproliferatif
Polisitemia vera
Infark miokard
Varises
Pengaruh beberapa faktor risiko didapat (acquired) terhadap terjadinya trombosis vena dijelaskan
sebagai berikut:
1. Tindakan operatif
Faktor risiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi
dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di
daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah
abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan
operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada
waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preoperatif, operatif
dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di
daerah tersebut.
3. Infark miokard
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis
aliran darah karena istirahat total.
8. Proses keganasan
Sel tumor dapat menyebabkan up regulasi banyak faktor koagulasi, down regulasi sistem
protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau protein regulator yang berkaitan
dengan pembentukan trombus, sehingga rentan terhadap keadaan protrombotik (gambar bawah).
Patofisiologi
Trombosis adalah pembentukan bekuan darah di dalam pembuluh darah, dalam hal DVT
bekuan darah terjadi di pembuluh darah balik (vena) sebelah dalam, bisa terjadi terbatas pada
sistem vena kecil saja namun juga bisa melibatkan pembuluh vena besar seperti Vena Iliaka atau
Vena Kava.
Seperti dibahas sebelumnya, mekanisme yang mengawali terjadinya trombosis berdasar
trias Vircow ada 3 faktor pendukung yakni:
1. Adanya stasis dari aliran darah
2. Timbulnya cedera pada endotel pembuluh darah
3. Pengaruh hiperkoagulabilitas darah
Stasis atau lambatnya aliran darah merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis,
yang menjadi faktor pendukung terjadinya stasis adalah adanya imobilisasi lama yakni kondisi
anggota gerak yang tidak aktif digerakkan dalam jangka waktu yang lama.
Imobilisasi lama seperti masa perioperasi atau akibat paralisis, dapat menghilangkan
pengaruh dari pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi hingga terjadi pengumpulan darah di
ekstremitas bawah. Terjadinya stasis darah yang berada di belakang katup vena menjadi faktor
predisposisi timbulnya deposisi trombosit dan fibrin sehingga mencetuskan terjadinya trombosis
vena dalam.
Cedera endotel meski diketahui dapat mengawali pembentukan trombus, namun tidak
selalu dapat ditunjukkan adanya lesi yang nyata, pada kondisi semacam ini nampaknya
disebabkan adanya perubahan endotel yang samar seperti akibat terjadinya perubahan kimiawi,
iskemia atau anoksia, atau peradangan. Penyebab kerusakan endotel yang jelas adalah adanya
trauma langsung pada pembuluh darah, seperti akibat fraktur dan cedera pada jaringan lunak,
tindakan infus intra vena atau substansi yang mengiritasi seperti kalium klorida, kemoterapi
ataupun antibiotik dosis tinggi.
Hiperkoagulabilitas darah tergantung pada interaksi kompleks antara berbagai variabel
termasuk endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan dan trombosit, komposisi dan sifat-
sifat aliran darah, sistem fibrininolitik intrinsik pada sistem pembekuan darah. Keadaan
hiperkoagulasi bisa terjadi jika terjadi perubahan pada salah satu dari variabel-variabel tersebut.
Trombosis vena, apapun rangsangan yang mendasarinya, akan meningkatkan resistensi
aliran vena dari ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena akan
terganggu, menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah vena. Trombosis bisa
melibatkan kantong katup hingga merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi atau yang
inkompeten mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah di ekstremitas.
Dalam perjalanan waktu dengan semakin matangnya trombus akan menjadi semakin
terorganisir dan melekat pada dinding pembuluh darah. Sebagai akibatnya, resiko embolisasi
menjadi lebih besar pada fase-fase awal trombosis, namun demikian ujung bekuan tetap dapat
terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase organisasi. Selain itu perluasan trombus dapat
membentuk ujung yang panjang dan bebas selanjutnya dapat terlepas menjadi emboli yang
menuju sirkulasi paru-paru. Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan
melibatkan daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin
dapat distabilkan dalam derajat tertentu atau direkanalisasi dengan retraksi bekuan dan lisis
melalui system fibrinolitik endogen. Tetapi beberapa kerusakan residual tetap bertahan.
Manifestasi Klinis
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena
superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti vena poplitea,
vena femoralis dan vena iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang
terjadi DVT .
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul tidak
selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk
umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis di
daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut
meluas atau menyebar ke proksimal.
Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala
klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena tungkai superfisialis
ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan
kematian.
Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homans sign yaitu
nyeri pada betis atau fosa poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini sensitif
namun tidak spesifik.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah
betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior
paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya
mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat
tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan
perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di
bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler
maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan
bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan
posisi kaki agak ditinggikan.
4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari
adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya
tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan
perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengakibatkan aliran darah vena dalam membalik ke daerah
superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan,
pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang
timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu
istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki
sepertiga bawah.
Trombosis vena dalam (DVT) menyerang pada pembuluh-pembuluh darah sistem vena
dalam . Serangan awalnya disebut trombosis vena dalam akut, adanya riwayat trombosis vena
dalam akut merupakan predisposisi terjadinya trombosis vena dalam berulang. Episode DVT
dapat menimbulkan kecacatan untuk waktu yang lama karena kerusakan katup-katup vena
dalam. Emboli paru adalah resiko yang cukup bermakna pada trombosis vena dalam.
Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstremitas bawah, banyak yang sembuh
spontan dan sebagian lainnya menjadi parah dan luas hingga membentuk emboli. Penyakit ini
dapat menyerang satu vena atau lebih, vena di daerah betis adalah vena-vena yang paling sering
terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis dan segmen-segmen vena
iliofemoralis juga sering terjadi.
DVT secara khas merupakan masalah yang tidak terlihat karena biasanya tidak bergejala,
terjadinya emboli paru dapat menjadi petunjuk klinis pertama dari trombosis. Pembentukan
trombus pada sistem vena dalam dapat tidak terlihat secara klinis karena kapasitas system vena
yang besar dan terbentuknya sirkulasi kolateral yang mengitari obstruksi. Diagnosisnya sulit
karena tanda dan gejala klinis DVT tidak spesifik dan beratnya keadaan tidak berhubungan
langsung dengan luasnya penyakit.
Gejala-gejala dari DVT berhubungan dengan rintangan dari darah yang kembali ke
jantung dan aliran balik pada kaki. Secara klasik, gejala-gejala termasuk:
nyeri,
bengkak,
hangat dan
kemerahan.
Tanda yang paling dapat dipercaya adalah bengkak/edema dari ekstremitas yang
bersangkutan. Pembengkakan disebabkan oleh peningkatan volume intravaskuler akibat
bendungan darah vena, edema menunjukkan adanya perembesan darah disepanjang membrane
kapiler memasuki jaringan interstisial yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik. Vena
permukaan dapat pula berdilatasi karena obstruksi aliran ke sistem dalam atau sebaliknya aliran
darah dari sistem dalam ke permukaan. Meski biasanya hanya unilateral, tetapi obstruksi pada
iliofemoral dapat mengakibatkan pembengkakan bilateral.
Seperti dibahas diatas, nyeri merupakan gejala yang paling umum, biasanya dikeluhkan
sebagai rasa sakit atau berdenyut dan bisa terasa berat. Ketika berjalan bisa menimbulkan rasa
nyeri yang bertambah. Nyeri tekan pada ekstremitas yang terserang bisa dijumpai saat
pemeriksaan fisik. Ada dua teknik untuk menimbulkan nyeri tekan yakni dengan
mendorsofleksikan kaki dan dengan mengembungkan manset udara di sekitar ekstremitas yang
dimaksud. Tanda lain adalah adanya peningkatan turgor jaringan dengan pembengkakan,
kenaikan suhu kulit dengan dilatasi vena superfisial, bintik-bintik dan sianosis karena stagnasi
aliran, peningkatan ekstraksi oksigen dan penurunan hemoglobin. Gangguan sekunder pada arteri
dapat terjadi pada trombosis vena luas akibat kompresi atau spasme vaskuler, denyut arteri
menghilang dan timbul warna pucat.
Diagnosis
Untuk mendiagnosa penderita DVT dengan benar diperlukan pemeriksaan dan evaluasi
pada penderita secara hati-hati dan seksama, meliputi keluhan dan gejala klinis serta adanya
faktor resiko terjadinya trombosis vena yang didapat pada penderita sebagaimana dijelaskan
pada gambaran klinis di depan.
Namun karena keluhan dan gejala klinis penyakit vena tidak spesifik dan sensitif untuk
menegakkan diagnosis sebagai DVT maka perlu ditambah dengan metode-metode evaluasi
noninvasif maupun invasif. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mendeteksi dan mengevaluasi
obstruksi atau refluks vena melalui katup-katup yang tidak berfungsi baik.
Scarvelis dan Wells tahun 2006 mengemukakan nilai probabilitas untuk penderita DVT
yang dikenal dengan Wells score, guna menunjang arah diagnosa. Adapun skor yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
No
Jenis Kriteria
Nilai
1.
Menderita kanker aktif mendapat terapi 6 bl terakhir atau perawatan paliatif
1
2.
Edema tungkai bawah > 3cm (diukur 10 cm bawah tuberositas tibial, bandingkan dengan sisi
sehat)
1
3.
Didapat kolateral vena permukaan (non varises)
1
4.
Pitting edema
1
5.
Bengkak seluruh tungkai bawah
1
6.
Nyeri disepanjang distribusi vena dalam
1
7.
Kelemahan, kelumpuhan atau penggunaan casting pada tungkai bawah
1
8.
Bedridden > 3hr, atau 4 minggu pasca operasi besar dengan anestesi general atau regional
1
9.
Penegakan diagnosa alternative
2 point
Interpretasi skor dari Wells adalah jika didapat minimal 2 point maka mengarah DVT dan
disarankan dengan pemeriksaan penunjang radiologis. Apabila skornya kurang dari 2 belum
tentu DVT, dipertimbangkan dengan pemeriksaan D-dimer untuk meniadakan diagnosa DVT.
Selanjutnya ada pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa trombosis vena dalam antara lain:
1. Tes dari Homan (Homans test) yakni dengan melakukan dorsofleksi pada kaki maka
akan didapatkan peningkatan rasa nyeri pada betis belakang. Nilai diagnostik
pemeriksaan ini rendah dan harus hati-hati karena bisa menjadi pemicu terlepasnya
trombus.
2. Tanda dari Pratt (Pratts sign), dilakukan squeezing pada otot betis maka akan timbul
peningkatan rasa nyeri.
Setelah penderita dilakukan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang mengarah terjadinya DVT
selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang diantaranya:
1. Pemeriksaan D-Dimer
D-dimer merupakan tes darah yang digunakan sebagai tes penyaringan (screening) untuk
menentukan apakah ada bekuan darah. D-dimer adalah kimia yang dihasilkan ketika bekuan
darah dalam tubuh secara berangsur-angsur larut/terurai. Tes digunakan sebagai indikator positif
atau negatif. Jika hasilnya negatif, maka tidak ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif, bukan
berarti bahwa terjadi trombosis vena dalam, karena banyak kasus-kasus lain mempunyai hasil
positif (kehamilan, infeksi, malignansi). Oleh sebab itu, pengujian D-dimer harus digunakan
sebagai sarana skrening.
2. Doppler ultrasound
Teknik Doppler dipakai untuk menentukan kecepatan aliran darah dan pola aliran dalam sistem
vena dalam dan permukaan. Pola aliran vena normal ditandai dengan peningkatan aliran
ekstremitas bawah selama ekspirasi dan menurun selama inspirasi. Pada obstruksi vena variasi
pernafasan fasik tersebut tidak tampak. Terdapat sejumlah manuver yang dapat dipakai untuk
membangkitkan pola aliran abnormal seperti manuver valsava dan kompresi vena. Bila didapat
katup vena yang fungsinya tidak baik, saat dilakukan kompresi dengan manset pada tungkai akan
meningkatkan tekanan di distal yang berakibat timbulnya refluks.
Pemakaian Doppler memungkinkan penilaian kualitatif katup pada vena dalam, vena permukaan
dan vena penghubung, juga mendeteksi adanya obstruksi pada vena dalam maupun vena
permukaan. Pemeriksaan ini sederhana, tidak invasif tetapi memerlukan teknik dan pengalaman
yang baik untuk menjamin akurasinya.
4. Pletismografi vena
Teknik ini mendeteksi perubahan dalam volume darah vena di tungkai. Teknik pletismograf
yang umum mencakup:
a. Impedance plethysmography yakni arus listrik lemah ditransmisikan melalui ekstremitas dan
tahanan atau resistensi dari arus diukur. Karena darah adalah penghantar listrik yang baik
tahanan akan turun bila volume darah di ekstremitas meningkat sewaktu pengisian vena.
Tahanan atau impedansi diukur melalui elektroda-elektroda pada suatu sabuk yang dipasang
keliling pada anggota tubuh.
b. Strain gauge plethysmography (SGP) yakni mendeteksi perubahan dalam ketegangan mekanik
pada elektroda yang menunjukkan adanya perubahan volume darah.
c. Air plethysmography adalah dengan mendeteksi perubahan volume melalui perubahan tekanan
di dalam suatu manset berisi udara yang melingkari anggota gerak, saat volume vena bertambah
maka tekanan di dalam manset akan bertambah pula.
d. Photoplethysmography (PPG) adalah teknik baru yang bergantung pada deteksi pantulan cahaya
dari sinar infra merah yang ditransmisikan ke sepanjang ekstremitas. Proporsi cahaya yang akan
terpantulkembali ke transduser tergantung pada volume darah vena dalam jaringan pembuluh
darah kulit.
5 . Venografi
merupakan teknik yang dianggap paling dipercaya untuk evaluasi dan perluasan penyakit
vena. Tetapi ada kelemahan mengingat sebagai tes invasif dibanding noninvasif yakni lebih
mahal, tidak nyaman bagi penderita, resiko lebih besar.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pasien yang dicurigai menderita DVT secara klinis antara lain :
penegangan atau robeknya otot, kaki terkilir, limfangitis atau obstrunsi limfatik, refluks vena,
kista popliteal, selulitis, pembengkakan kaki pada paralisis ekstremitas, abnormalitas sendi lutut.
Diagnosa DVT tidak dapat diekslusikan tanpa pemeriksaan objektif.
Penatalaksanaan
Falsafah pengobatan trombosis adalah aman dan efektif, aman bermakna terapi yang
diberikan tidak menimbulkan komplikasi misalnya pemberian antikoagulan harus diupayakan
tidak sampai mengakibatkan perdarahan, efektif berarti tindakan yang diberikan berhasil
mencegah perluasan trombosis.
Secara umum penatalaksanaan penderita trombosis vena dalam meliputi upaya
pencegahan, pengobatan non invasif dan tindakan pembedahan atau invasif.
A. Pencegahan
Pencegahan adalah upaya terapi terbaik pada kasus trombosis vena dalam, terutama pada
penderita yang memiliki resiko tinggi. Peranan ahli rehabilitasi medik sangat dibutuhkan pada
upaya ini agar mereka yang berpotensi mengalami trombosis vena tidak sampai mengalami
DVT.
Ada beberapa program rehabilitasi medik yang berfungsi untuk mencegah timbulnya
trombosis vena pada populasi resiko tinggi. Program-program tersebut adalah:
1. Mobilisasi dini, program ini diberikan pada penderita beresiko timbul DVT oleh karena
keadaan yang mengakibatkan imobilisasi lama akibat kelumpuhan seperti penderita
stroke, cedera spinal cord, cedera otak, peradangan otak. Dengan melakukan latihan pada
tungkai secara aktif maupun pasif sedini mungkin aliran balik vena ke jantung bisa
membaik.
2. Elevasi, meninggikan bagian ekstremitas bawah di tempat tidur sehingga lebih tinggi dari
jantung berguna untuk mengurangi tekanan hidrostatik vena dan juga memudahkan
pengosongan vena karena pengaruh grafitasi.
3. Kompresi, pemberian tekanan dari luar seperti pemakaian stocking, pembalut elastik,
ataupun kompresi pneumatik eksternal dapat mengurangi stasis vena. Tetapi pemakaian
stocking dan pembalut elastik harus dikerjakan dengan hati-hati guna menghindari efek
torniket oleh karena pemakaian yang ceroboh.
4. Latihan, program latihan yang melibatkan otot-otot ekstremitas bawah akan sangat
memban
5. tu perbaikan arus balik pada sistem vena sehingga mengurangi tekanan vena, dengan
demikian dapat memperbaiki sirkulasi vena yang bermasalah dan beresiko timbulnya
DVT. Berikut beberapa contoh sederhana latihan yang bisa diberikan pada kelompok
resiko tinggi trombosis vena:
Latihan dalam posisi berbaring:
1.a. Posisi berbaring miring dengan posisi tungkai satu di atas dengan yang lain selanjutnya tungkai yang
berada di atas diangkat hingga 45 dipertahankan sesaat kemudian kembali keposisi awal, latihan
dilakukan bergantian antara kana n dan kiri tungkai masing-masing 6 kali.
1.b. Posisi terlentang kedua tungkai bawah lurus selanjutnya salah satu tungkai ditekuk dan ditarik
kearah dada perlahan, dipertahankan 15 detik sebelum kembali ke posisi awal. Latihan bergantian kanan
dan kiri masing-masing 6 kali.
.c. Posisi terlentang dengan pergelangan kaki netral selanjutnya kaki diekstensikan/plantar fleksi
dengan ujung jari ditekankan ke bawah, pertahankan beberapa detik. Gerakan tersebut diulangi 6
kali per latihan.
2. Latihan dalam posisi duduk:
2.b. Posisi sambil duduk kemudian lutut diekstensikan dan kembali keposisi semula, dilakukan
bergantian sisi k anan dan kiri.
2.c. Posisi duduk dengan lengan di samping, selanjutnya tungkai bawah diangkat lurus ke atas,
pertahankan beberapa detik kemudian diturunkan. Gerakan diulang secsra bergantian masing-masing 6
kali.
2 .d. Tumit diangkat keduanya selanjutnya dilakukan gerakan melingkar/rotasi pada kedua kaki
dengan arah putaran berlawanan antara kiri dan kanan, gerakan dilakukan selama 15 detik dilanjutkan
dengan arah putaran sebaliknya.
2.e. Melakukan gerakan pumping pada kedua kaki dengan menekan lantai pada ujung jati kaki
sementara tumit diangkat, dipertahankan 3 detik dan dilanjutkan dengan tumit menekan lantai
sementara ujung jari terangkat juga dipertahankan selama 3 detik, demikian dilakukan berulang.
Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000
1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di
periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 2,5 kontrol.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2
tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang
mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin
dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral,
selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian
heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila trombosis vena
dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible. Sedangkan kalau trombosis vena
adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih
lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan
memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah
dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek
samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4
ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra
vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah
perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya
efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin
parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.
Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam serangan trombosis.
Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan embolektomi.
Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak
di anjurkan.
Tabel Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT (Ramzi, 2004)
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding
penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke
perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen
atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien
rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja
menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang
berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena
itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011;
Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat
sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S.
Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali
sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200
IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis
175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra).
Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan
dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan,
satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).
Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target tempat bekerja
1. Inhibitor langsung thrombin (atau faktor lIa) seperti dabigatran etexilate (Pradaxa )
dan AZD0837;
2. Oral inhibitor faktor Xa meliputi Rivaroxaban (Xarelto ), apixaban, betrixaban , edoxab
andaneribaxaban, dan
3. Inhibitor factorXa parenteral yang meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi,
turunan dari fondaparinux) dan semuloparin.
C. Tindakan pembedahan.
Tindakan bedah dilakukan apabila pada upaya preventif dan pengobatan
medikamentosa tidak berhasil serta adanya bahaya komplikasi. Ada beberapa pilihan tindakan
bedah yang bisa dipertimbangkan antara lain:
1. Ligasi vena, dilakukan untuk mencegah emboli paru. Vena Femoralis dapat diikat tanpa
menyebabkan kegagalan vena menahun, tetapi tidak meniadakan kemungkinan emboli
paru. Ligasi Vena Cava Inferior secara efektif dapat mencegah terjadinya emboli paru,
tapi gejala stasis hebat dan resiko operasi lebih besar dibanding dengan pemberian
antikoagulan dan trombolitik.
2. Trombektomi, vena yang mengalami trombosis dilakukan trombektomi dapat
memberikan hasil yang baik jika dilakukan segera sebelum lewat 3 hari. Tujuan tindakan
ini adalah: mengurangi gejala pasca flebitik, mempertahankan fungsi katup dan
mencegah terjadinya komplikasi seperti ulkus stasis dan emboli paru.
3. Femorofemoral grafts disebut juga cross-over-method dari Palma, tindakan ini dipilih
untuk bypass vena iliaka serta cabangnya yang mengalami trombosis. Tekniknya vena
safena diletakkan subkutan suprapubik kemudian disambungkan end-to-side dengan vena
femoralis kontralateral.
4. Saphenopopliteal bypass, dilakukan bila rekanalisasi pada trombosis vena femoralis tidak
terjadi. Metoda ini dengan menyambungkan vena safena secara end-to-side dengan vena
poplitea.
Prognosis
Trombosis superfisial jika ditangani dengan tepat memiliki prognosis bonam atau baik,
sebagian besar kasus DVT dapat hilang tanpa adanya masalah apapun, namun penyakit ini dapat
kambuh. Beberapa orang dapat mengalami nyeri dan bengkak berkepanjangan pada salah satu
kakinya yang dikenal sebagai post phlebitic syndrome. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi
kemungkinan terjadinya dengan penggunaan compression stocking saat dan sesudah episode
DVT terjadi. Pada pasien dengan riwayat terjadi emboli paru, maka pengawasan harus dilakukan
secara lebih ketat dan teratur.
Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai resiko
terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani
dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan
antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali.
Daftar Pustaka
http://www.informasikedokteran.com/2015/09/trombosis-vena.html