Anda di halaman 1dari 36

Skrining Anti Bakteri dari Ekstrak Kasar Rumput Laut Sargassum sp.

Terhadap Patogen Udang Vannamei Vibrio Parahaemolyticus dan Vibrio


harveyi

PROPOSAL

Oleh :
SYEIQIDO SORA DATU

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budidaya udang memberikan kontribusi yang besar bagi produksi sektor

Kelautan dan Perikanan Indonesia. Dalam menjaga kelangsungan produksi

udang, maka berbagai faktor yang menyebabkan terhambatnya produksi udang

perlu diperhatikan seperti kematian massal udang . Salah satu penyakit yang

menyebabkan kematian udang secara massal dan sering di temukan pada

budidaya udang Vannamei adalah vibriosis.

Vibriosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menyerang udang.

Udang yang terserang Vibrio umumnya ditandai dengan gejala klinis, di mana

udang terlihat lemah, berwarna merah gelap atau pucat, antena dan kaki renang

berwarna merah. Bakteri ini merupakan jenis patogen yang menginfeksi dan

menyebabkan penyakit pada saat kondisi udang lemah dan faktor lingkungan

yang ekstrim. (Lopillo, 2000).

Hingga kini budidaya udang di tambak masih terkendala berbagai kasus

kematian udang ,baik akibat lingkungan perairan yang kurang mendukung

maupun penyakit yang di akibatkan oleh bakterial (terutama bakteri vibrio). Kasus

ini pernah terjadi di Indonesia ( Atmomarsono, 2004), kematian udang yang di

akibatkan oleh vibriosis pernah terjadi pada pembenihan udang di pantai utara

jawa tengah, selain itu bakteri vibrio pernah di temukan menginfeksi udang di

tambak Kota Tarakan, Kecamatan Tarakan barat. Selain di Indonesia kasus

serupa pernah terjadi di Negara-negara lain seperti Thailand, Filipina, India dan

jepang ( Dhar, 2001).

Penanganan penyakit vibriosis ini dilakukan dengan pemberian pakan

dengan antibiotik, akan tetapi pemakaian antibiotik ternyata menimbulkan

masalah baru karena sifatnya yang tidak ramah lingkungan. Zat- zat antibiotik
tersebut dapat meningkatkan resistensi terhadap bakteri patogen (Soemardiharjo

,1999). Antibiotik menimbulkan resistensi mikrobia, munculnya sifat resistensi

dan infeksi patogenitas bakteri membuat para ilmuwan berupaya untuk

menemukan obat baru. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemanfaatan

organisme laut sebagai agen antibakteri alami (Setyaningsih, 2012)

Penelitian sebelumnya telah melakukan pengujian terhadap potensi

antibakteri yang berasal dari organisme yang hidup laut. (Challouf, 2012). Lestari

(2000) menemukan senyawa yang terkandung dalam mikroalga berpotensi

sebagai antibakteri, Umamaheshwari (2009) melakukan pengujian aktivitas

antibakteri dari ekstrak lamun. Ekstrak lamun jenis Halophila ovalis dan Halodule

pinifolia terbukti mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Acinetobacter sp,

Salmonella typhi, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa. Selanjutnya

Lisdayanti (2013) mendapatkan fraksi dari ekstrak lamun Enhalus acoroides

yang berasal dari Kepulauan Spermonde Makassar dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Putranti (2013) menemukan

Phaeophyceae di daerah tropis memproduksi metabolit sekunder lebih baik serta

Phaeophyceae (alga coklat) menunjukkan aktivitas antioksidan tertinggi diantara

Rhodophyceae dan Chlorophyceae Jhamandas (2005) menemukan Sargassum

duplicatum merupakan salah satu jenis rumput laut coklat dari Indonesia yang

berpotensi sebagai antioksidan.

Beberapa penelitian juga telah melaporkan manfaat Sargassum dibidang

farmakologi salah satunya antibakteri. Widowati (2013) menemukan Sargassum

sp. di perairan Jepara mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli

dan Staphylococcus aureus. Saat ini, Alga coklat Sargassum belum

dimanfaatkan secara optimal, padahal Sargassum sangat bermanfaat, di bidang

kesehatan, mikrobiologi, enzimologi dan ekotoksikologi (Poncomulyo, 2006).

Penelitian yang dilakukan Bachtiar (2012) menyimpulkan Sargassum dapat


mengahmbat bakteri E. coli dengan diameter hambat 13 mm (cukup peka) dan

18,6 mm (sangat peka).

Sargassum sp. memiliki kandungan tanin, iodin dan fenol yang berpotensi

sebagai bahan antimikroba terhadap beberapa jenis bakteri patogen (Sastry dan

Rao, 1994 dalam Bachtiar, 2012 ). Mekanisme kerja senyawa tannin dan fenol

dalam menghambat sel bakteri, yaitu dengan cara mendenaturasi protein sel

bakteri, menghambat fungsi selaput sel (transpor zat dari sel satu ke sel yang

lain) dan menghambat sintesis asam nukleat sehingga pertumbuhan bakteri

dapat terhambat (Purwanti, 2007).

Meskipun keberadaan Sargassum bagi masyarakat pesisir hanyalah

sampah di lautan, namun potensinya sebagai senyawa antibakteri begitu besar.

Selain itu sargassum sangat melimpah di alam dan keberadaannya dapat di

manfaatkan lebih lanjut. Berbagai penelitian senyawa antibakteri yang bersumber

dari organisme laut telah dilakukan, seperti antibakteri dari mikroalga,seagrass

dan antibakteri dari ekstrak Sargassum. Namun penelitian Sargassum sebagai

antibakteri terhadap bakteri pathogen pada udang, khususnya bakteri vibrio

parahaemolyticus dan Vibrio harveyi belum pernah dilakukan. Melihat manfaat

senyawa bioaktif sargassum sebagai senyawa yang dapat menghambat bakteri

pathogen, maka penelitian ini perlu di lakukan, dalam hal ini pengujian senyawa

antibakteri ekstrak kasar sargassum terhadap bakteri pathogen Vibrio

parahaemolyticus dan Vibrio harveyi penyebab penyakit vibriosis pada udang

Dan diharapkan dapat memberikan solusi terhadap permasalah yang terjadi

terutama yang berkaitan dengan infeksi dan resistensi bakteri patogen.

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas dan potensi

antibakteri ekstrak Kasar Sargassum sp terhadap bakteri Vibrio


parahaemolyticus dan Vibrio harveyi kegunaannya adalah untuk memberikan

informasi mengenai potensi senyawa bioaktif Sargassum sp. sebagai antibakteri

terhadap agen vibriosis pada budidaya tambak udang serta kemungkinan

pemanfaatannya sebagai bahan baku untuk indrustri farmasi .

C. Ruang Lingkup

Penelitian ini memiliki ruang lingkup berupa uji aktivitas dan potensii

antibakteri dari ekstrak Sargassum sp terhadap bakteri Vibrio parahaemolyticus

dan Vibrio harveyi,.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Budidaya Udang Vannamei

Pada awal perkembangannya di Indonesia udang ini dikenal dengan nama

udang putih, namun sekarang lebih dikenal dengan nama udang vanname

(Litopenaeus vannamei ). Ada dua yang termasuk sub genus Litopenaeus yaitu

udang putih (Litopenaeus vannamei ) dan udang biru (Litopenaeus stilirostris)

(Farchan, 2006).

Perkembangan budidaya udang vaname sudah menyebar di sentra

budidaya udang nasional seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,

Jogjakarta, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTB, Bali dan

Sulawesi Selatan (Poernomo, 2004), dengan berbagai tingkatan teknologi

budidaya mulai dari teknologi non intensif, semi-intensif, intensif bahkan super

intensif. Ciri-ciri teknologi budidaya udang intensif adalah penggunaan padat

penebaran tinggi disertai pemberian pakan tambahan dan pengelolaan mutu air.

Semakin tinggi produksi yang hendak dicapai dari suatu ekosistem makin besar

subsidi energi yang harus diberikan. Energi yang diserap pada tingkat yang lebih

tinggi akan lebih rendah dari masukkannya, dimana sebagian akan merupakan

limbah sisa. Jika limbah yang dieksresikan lebih besar dari kemampuan

penguraian secara alami, maka akan terjadi penurunan mutu lingkungan (Azwar,

2001).

Akumulasi bahan organik dalam jumlah yang sesuai dengan daya dukung

lahan akan berdampak positif, karena dapat dihasilkan unsur-unsur hara yang

sangat bermanfaat bagi organisme perairan. Sebaliknya akumulasi bahan

organik dalam jumlah yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan akan

berdampak negatif karena akan meningkatkan laju penurunan oksigen (oxygen

deplesion rate) dalam air dan peningkatan kebutuhan oksigen di sedimen dasar
(sedimen oxygen demand) serta menurunkan potensial redoks ke tingkat reduksi

(Meagaung, 2000). Bila hal ini berlanjut maka akan memperburuk kondisi

lingkungan budidaya khususnya lapisan air dasar permukaan tanah dasar dan

akan dihasilkan senyawa tereduksi seperti NH3, CH4 dan H2S yang bersifat

toksik dan menciptakan habitat yang tidak sesuai bagi udang. Sehingga udang

mengalami stress, nafsu makan berkurang, mudah terserang penyakit bahkan

lebih parah lagi akan menyebabkan kematian ( Poernomo, 2004 ).

Di sedimen tambak proses penguraian bahan organik menjadi lebih

kompleks karena melibatkan aktivitas tidak hanya bakteri aerob namun juga

anaerob dan proses fermentasi. Sedimen tambak kaya akan nutrien dan bahan

organik. Konsentrasi nutrien disedimen tambak jauh lebih tinggi dari yang ada di

badan air diperkirakan 1 cm ketebalan sedimen tambak umumnya terdapat 10

kali atau lebih jumlah nutrien yang ada pada 1 m kedalaman badan air. Bahan

organik yang melimpah di sedimen tambak, menyebabkan pertumbuhan

mikroorganisme sangat pesat, sehingga konsumsi oksigen di sedimen tambak

menjadi banyak dan dapat mengakibatkan daerah dasar tambak di bawah

permukaan menjadi daerah anoksid (tidak beroksigen) (Poernomo, 2004).

Peningkatan bahan organik dalam tambak dapat menyebabkan

meningkatnya populasi bakteri. Bahan organik yang ada akan digunakan bakteri

sebagai sumber pakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Ginting

1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa populasi bakteri Vibrio sp lebih banyak

terdapat dalam tanah dibandingkan dalam air. Hal ini menunjukkan tingginya

penimbunan bahan organik pada tanah akibat sisa pakan dan kotoran udang.

Muliani (2006) mengemukakan bahwa bakteri yang patogen oportunistik

terhadap udang adalah Aeromonas spp dan Vibrio sp sering menimbulkan

kematian udang baik di panti pembenihan maupun di tambak. Jenis bakteri ini

umumnya ditemukan di perairan laut dan pantai bahkan di dalam saluran


pencernaan udang itu sendiri. Bakteri ini akan berkembang dan menjadi patogen

jika terjadi penurunan mutu air akibat penumpukan bahan organik yang berasal

dari sisa pakan dan kotoran udang.

Penyakit pada udang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme

seperti virus,bakteri dan parasit ( Farchan, 2006)

1. Parasit

Apabila kualitas air yang kurang baik, terutama pada komdisi

kandungan bahan organik yang tinggi, parasit mudah menyerang udang

vanname. Parasit bias menempel pada permukaan tubuh udang dan dapat

terlepas dari tubuh udang bila udang tersebut mengalami ganti kulit (moulting).

Atau terjadi perubahan lingkungan seperti salinitas, suhu, obat-obatan. Beberapa

jenis parasit adalah epistyles, zoothamnium, microsporidia, haplosporidia, dan

gregarian.

2. Bakteri dan Jamur

Bakteri dan jamur tumbuh optimal di perairan yang mengandung bhan

organic tinggi (sekitar 50 ppm). Bakteri yang sering menyebabkan infeksi pada

udang yaitu vibrio.Jamur sering dijumpai pada udang sakit. Infeksi jamur lebih

sering menyerang tubuh udang bagian lua, seperti karapas dan insang bgaian

dalam, terutama stomach.

3. Virus

Searangan virus dapat menyebabkan kematian massal udang dalam

waktu singkat pada satu petakan dan bahkan dengan mudah menyebarke

seluruh hamparan pertambakan. Faktor pemicu munculnya virus adalah

perubahan lingkungan, menurunnya daya tahan tubuh udang dan pembawa

(carrier) virus ini. Beberapa virus yang perlu di waspadai sebagai penyakit target

(excludable disease) mempunyai kriteria antara lain:

a. Menular( infeksius) dengan cepat


b. Menyebabkan mortalitas tinggi

c. Tidak termasuk mikroba alami pada ikan dan lingkungan

d. Penyakit ini sulit diobati.

Yang termasuk penyakit target di Indonesia adalah Taura Syndrome Virus

(TSV), White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Hypodermal

Hematopoetic Nacrosis Virus (IHHNV), Monodon Baculovirus (MBV), Hepatopan

creatic parvovirus (HPV), Yellow Head Virus (YHV) . Baculovirus Penaeid (BP)

Kegagalan dalam budidaya udang yang diakibatkan oleh penyakit vibriosis

tidak hanya terjadi di Indonesia beberapa Negara lain pun mengalami hal serupa,

Vibriosis telah menjadi penyebab utama menurunnya hasil produksi tambak

udang di Selatan Iran beberapa tahun terakhir ini, Khamesipour (2014)

mendapatkan hasil yang mengungkapkan bahwa udang dari tambak udang di

iran terkontaminasi bakteri Vibrio spp, walupun sumber bakteri biasanya dari

lingkungan perairan, namun kontaminasi bakteri ini dapat terjadi pada saat

pengangkapan, penanganan dan transportasi.

Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang tepat,

sehingga pencegahan timbulnya penyakit akan lebih baik. Upaya pencegahan

antara lain dengan pemakaian imunostimulan , menjaga kualitas air yang baik

agar satbil sehingga udang tidak stress, pemakaian benih kualitas unggul

(SPF/SPR), dan monitoring penyakit secara rutin ( Farchan, 2006)

B. Vibriosis

Vibriosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menyerang udang.

Salah satu jenis bakteri vibrio penyebabnya adalah Vibrio alginolitycus dan Vibrio

harveyi. Bakteri vibrio masuk ke dalam tubuh udang melalui perairan dan

makanan yang terkontaminasi oleh bakteri vibrio. Terdapat hubungan antara

terjadinya penyakit dengan jumlah bakteri vibrio. Oleh karena itu salah satu
upaya proteksi terjadinya penyakit vibriosis adalah pengendalian populasi bakteri

vibrio melalui pemberian pakan yang mengandung senyawa antibakteri

(Umamaheshwari , 2009).

Bakteri vibrio bersifat oportunis, artinya bakteri akan menginfeksi inang

pada saat kondisi tubuh inang dalam keadaan lemah. Gejalan klinis yang biasa

dilihat pada penyakit vibriosis yaitu nafsu makan udang turun dan timbul warna

merah pada tubuhn udang ( Haliman, 2008)

Bakteri Vibrio yang mengakibatkan kematian udang dalam waktu yang

cepat dan dalam jumlah yang besar . Udang yang terserang Vibrio umumnya

ditandai dengan gejala klinis, di mana udang terlihat lemah, berwarna merah

gelap atau pucat, antena dan kaki renang berwarna merah. Bakteri ini

merupakan jenis patogen yang menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada

saat kondisi udang lemah dan faktor lingkungan yang ekstrim (Lopillo, 2000).

Genus Vibrio merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang

menyerang hewan laut seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio

yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut

penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang secara

sekunder yaitu pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu

sering dikatakan bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen.

Pemberian pakan yang tidak terkontrol mengakibatkan akumulasi limbah organik

di dasar tambak sehingga menyebabkan terbentuknya lapisan anaerob yang

menghasilkan H2S. Akibat akumulasi H2S tersebut maka bakteri patogen

oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah berkembang dan memungkinkan

timbulnya penyakit pada udang. Ciri-ciri udang yang terserang vibriosis antara

lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan

mempunyai bercak merah-merah (red discoloration) pada pleopod dan


abdominal serta pada malam hari terlihat menyala. Udang yang terkena vibriosis

akan menunjukkan gejala nekrosis (Rozi, 2008).

Vibrio merupakan penyebab utama penyakit udang menyala dan dapat

berperan sebagai patogen primer ataupun patogen sekunder. Sebagai pathogen

primer, Vibrio masuk melalui kontak langsung dengan organisme; sedangkan

sebagai patogen sekunder, Vibrio menginfeksi organisme yang telah terlebih

dahulu terinfeksi penyakit lain. Menurut Rheinheimer (1985) Vibrio menyerang

dengan merusak lapisan kutikula yang mengandung khitin dikarenakan Vibrio

memiliki chitinase, lipase, dan protease. Penyakit udang menyala ini pada

umumnya menyerang udang pada stadia mysis sampai awal pasca larva

(Taslihan,1988).

Penanganan yang paling umum dilakukan untuk mengatasi penyakit udang

menyala akibat infeksi Vibrio harveyi adalah dengan menggunakan bahan-bahan

kimia seperti :Chloramphenicol 1,9 ppm, Oxytetracycline 2 ppm, Furazalidon 2-4

ppm, dan Prefuran 1,5-2,0 ppm. Akan tetapi sebagian besar obat-obatan yang

digunakan tersebut pada akhirnya tidak efektif dan dapat mengakibatkan

kelainan (deformities) pada larva udang serta dapat juga berakibat

berkembangnya resistensi bakteri terhadap obat (Rukyani, 1999)

Perlu di perhatikan jenis antibiotika yang digunakan karena beberapa jenis

antobiotika, seperti golongan chlorampenikol dan nitrofuran, telah dialarang

penggunaannya karena bias meniggalkan residu di dalam tubuh udang.

C. Bakteri

Bakteri terdapat secara luas di lingkungan alam yang berhubungan dengan

hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air, dan tanah. Pada kenyataannya sangat

sedikit sekali lingkungan yang bersih dari bakteri. Bakteri adalah mikroorganisme

bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi dengan bantuan mikroskop
mikroorganisme tersebut akan tampak. Ukuran bakteri berkisar antara 0,5m-

10m dan lebar 0,5m-2.5m tergantung jenisnya. Walaupun terdapat beribu

jenis bakteri tapi hanya ada beberapa karakteristik bentuk sel yang yang

ditemukan yaitu bentuk bulat, batang, spiral, koma (Muliani,2006)

Berdasarkan sumber karbonnya bakteri digolongkan atas bakteri heterotrof

dan autotrof. Bakteri heterotrof merupakan jenis bakteri yang membutuhkan

bahan organik sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Organisme

heterotrof tidak dapat mensistesis bahan organik ataupun senyawa berkarbon

dari bahan anorganik. Oleh karena itu golongan ini harus mendapat sumber

nutriennya dari bakteri heterotrof yang lain atau autotrof. Bakteri heterotrof biasa

dikenal sebagai dekomposer dan konsumen pada rantai makanan. Sedangkan

autotrof hanya menggunakan karbondioksida atau karbonat inorganik sebagai

satu-satunya sumber karbon ( Burford , 2003).

Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi nutrien organik di

dalam kegiatan produksi akuakultur dan sedimen tambak . Di dalam kolam atau

tambak, bakteri sering ditemukan di sedimen dasar, yang biasanya mengandung

banyak bahan organik dan aerasi kurang bahkan anaerob ( Burford , 2003).

Bakteri heterotrof yang ada dalam perairan biasanya akan memanfaatkan

pakan yang tidak termakan (un aeaten feed), feses dan bahan organik lain

sebagai sumber protein untuk dirubah menjadi amonia inorganik. Proses

perubahan nitrogen dari protein menjadi amonia inorganik disebut mineralisasi.

Hampir 85% nitrogen yang terdapat di pakan yang diberikan ke udang biasanya

akan menjadi amonia (Wyk et al. 1999).

Jika bahan organik yang terdekomposisi mengandung terlalu banyak

nitrogen, mikroorganisme perombak akan tumbuh dengan baik dan kelebihan

nitrogen akan dilepaskan ke lingkungan dalam bentuk nitrogen inorganik

(mineralisasi). Peningkatan bahan organik dalam tambak dapat menyebabkan


meningkatnya populasi bakteri. Bahan organik yang ada akan digunakan bakteri

sebagai sumber pakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya Lebih lanjut

dikatakan bahwa populasi bakteri Vibrio sp lebih banyak terdapat dalam tanah

dibandingkan dalam air. Hal ini menunjukkan tingginya penimbunan bahan

organik pada tanah akibat sisa pakan dan kotoran udang (Ginting 1995).

Gambar 3. Bentuk sel bakteri (a) Basil, (b) Kokus, (c) Spiral
(Sumber: Kayser dalam Lisda, 2013).

Dalam pengelompokan atau penggolongan bakteri, selain dapat

dibedakan atas adasar pergerakannya, bakteri juga dapat di kelompokkan atas

dasar perbedaan struktur pada dinding selnya. Pengelompokan atas dasar

struktur dinding sel mula-mula diperkenalkan oleh ahli berkebangsaan Denmark

pada tahun 1884 bernama Christian Gram,melalui suatu pengalaman empiris

ada saat beliau melakaukan pewarnaan terhadap bakteri (Ijong, 2015).

Pengelompokan bakteri menurut reaksi Gram pewarnaan sebenarnnya

didasarkan pada pewarnaan dinding sel dari bakteri tersebut. Dala, proses

pewarnaan dinding sel bakteri yang mengikat pewarna dasar (Kristal ungu) akan

mmeberikan respon warna ungu (violet) sehingga bakteri tersebut dikelompokkan

dalam gram positif. Sedangkan dinding sel bakteri yang tidak mengikat pewarna

dasar, tetapi menyerap pewarna tandingan (safranin) akan memebrikan respon

warna merah atau merah muda (pink) sehingga bakteri ini dikelompokkan pada

gram-negatif ( Ijong, 2015).

Perbedaan respons pada metode pewarnaan sel bakteri tersebut di atas

dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam struktur disning sel dari kedua
bakteri tersebut. Bakteri gram positif memiliki peptidoglikan tipis sehingga mudah

di pecahkan. Di samping itu pada bagian luar sel bakteri gram negative

dibungkus oleh lapisan lipopolisakarida dan atau lipopoprotein. Bakteri gram

positif memiliki struktur yang lebih padat terutama terhadap struktur

peptidoglikannya, di banding dengan gram negatif. Pada bakteri gram negatif

juga terdapat celah pada dindig selnya (porin) hal ini dapat memberikan alasan

mengapa bakteri gram negatif lebih cepat mengalami kematian jika diberikan

senyawa antibiotik di banding bakteri gram positif ( Ijong, 2015).

1. Vibrio parahaemolyticus

Vibrio parahaemolyticus teridentifikasi sebagai patogen pangan pertama

kali di Jepang, pada tahun 1950. Infeksi disebabkan oleh konsumsi sarden,

dengan 272 orang sakit dan 20 meninggal. Sejak itu, Vp dikenal sebagai

penyebab penyakit karena seafood mentah atau setengah matang di Jepang dan

beberapa negara Asia lainnya (Daniels, 2000).

Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif,

halofilik, bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma,

menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan

mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta

bersifat zoonosis (Austin 2010). Perubahan bentuk morfologi Vibrio

parahaemolyticus dapat terjadi dengan perlakuan suhu dingin dan kondisi

lingkungan yang tidak menunjang (Chen, 2009). Bakteri Vibrio parahaemolyticus

dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk

makanan laut lainnya Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh

manusia yang mengkonsumsi produk makanan laut seperi udang, kerang,

ataupun ikan mentah yang dimasak kurang sempurna (Sudheesh and Xu, 2001).

Klasifikasi Bakteri Vibrio parahaemolyticus :


Kingdom : Bacteria
Divisio : Proteobacteria
Classis : Gammaproteobacteria
Ordo : Vibrionales
Familia : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : Vibrio parahaemolyticus

2. Vibrio harveyi

Secara umum ciri-ciri Vibrio yaitu berbentuk koma atau batang

pendek,bengkok atau lurus, bersel tunggal, mempunyai alat gerak berupa flagella

kutubtunggal (monotoric flagel), termasuk gram negatif, ukuran sel 1-4 m,

tidak membentuk spora, oksidase positif, katalase positif, serta proses fermentasi

karbohidratnya tidak membentuk gas. Bakteri ini selain didapatkan di air laut juga

ditemukan di air payau, hal ini dibuktikan denganditemukannya penyakit vibriosis

pada ikan air payau (Sunaryanto, 1987).Vibrio juga termasuk bakteri yang

bersifat halofil , yaitu tumbuh dengan rentang toleransi salinitas 5-80 ppt dan

tumbuh optimal pada salinitas 20-40 ppt (Taslihan,1992).

Bakteri vibrio harveyi adalah bakteri yang berasal dari air laut dan

merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, bersifat anaerob

fakultatif dan kemoorganotrof. Bakteri ini dapat menyerang udang -udangan,

utamanya udang windu ( P. monodon ) pada tahap larva hingga dewasa. Udang

windu ( P. monodon) yang terserang menunjukkan gejala pergerakan yang

lambat, terdapat perluasan bintik merah pada kaki jalan dan kaki renang, serta

bintik hitam pada bagian nsang. Bakteri Vibrio dapat dikultur pada media TCBSA

(Austin, 1989).

Dalam pertumbuhannya, bakteri ini sering kali mengeluarkan enzim

protase untuk mengurai bahan-bahan protein menjadi asam amino. Tanpa

aktifitas ini, bakteri V. harveyi tidak dapat tumbuh dan melangsungkan proses
metabolitnya. Dalam penelitian Sarida dkk. (2010) ditemukan bahwa senyawa

antibakteri antrakuonin dan skopoletin bersifat seperti fenol mampu menghambat

produksi enzim bakteri V. harveyi, dimana kedua zat tersebut bekerja secara

spesifik pada membran sitoplasma bakteri.

Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri V. harveyi mempunyai

sifat menyerang yang ganas. Hal ini karena bakteri V. harveyi dilengkapi dengan

flagel dan mampu tumbuh pada kondisi yang ekstrim. Sehingga seringkali

menjangkiti berbagai jenis ikan dan udang utamanya udang windu( P. monodon).

Tidak hanya menyebabkan penyakit vibriosis, bakteri ini juga dapat

menyebabkan penyakit udang bengkok dan pengrusakan sirip pada ikan (Kordi,

2011).

Bakteri vibrio harveyi yang berasal dari laut ini memiliki ciri khusus yang

menyala pada kondisi gelap sehingga mudah dikenali diperairan tambak. Berikut

ini Klasifikasi bakteri vibrio harveyi menurut Kirkup (2010) :

Kingdom : Bacteria
Divisio : Proteobacteria
Classis : Gammaproteobacteria
Ordo : Vibrionales
Familia : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : Vibrio harveyi
D. Anti bakteri

Antibakteri adalah senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan atau

mematikan bakteri. Antibakteri dalam defenisi yang luas adalah suatu zat yang

mencegah terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Antibiotik maupun

antibakteri sama-sama menyerang bakteri. Antibakteri biasanya dijabarkan

sebagai suatu zat yang digunakan untuk membersihkan permukaan dan


menghilangkan bakteri yang berpotensi membahayakan (Volk dan Wheeler,

1993).

Antibakteri adalah jenis bahan tambahan yang digunakan dengan tujuan

pangan. Beberapa jenis senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah

sodium benzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium

dan esternya, sulfur dioksida dan sulfit, nitri, senyawa kolagen dan surfaktan,

dimetil karbonat dan metil askorbat. Antibakteri alami baik dari produk hewani,

tanaman maupun mikroorganisme misalnya bakteriosin (Luthana, 2008). Zat

antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteri static

(menghambat pertumbuhan bakteri) dan germisidal (menghambat germinasi

spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat

pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya : 1)

konsentrasi zat pengawet, 2) jenis, umur dan keadaan mikroba, 3) suhu, 4) waktu

dan 5) sifat-sifat kimia dan fisik makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan

jumlah komponen di dalamnya (Luthana, 2008).

E. Sargassum sp.

Sargassum merupakan bagian dari kelompok rumput laut coklat

(Phaeophyceae) dan genus terbesar dari famili Sargassaceae. Klasifikasi

Sargassum adalah sebagai berikut (Tjitrosoepomo, 2001).

Divisio : Thallophyta
Classis : Phaeophyceae
Ordo : Fucales
Familia : Vibrionaceae
Genus : Sargassum
Gambar 1. Sargassum sp.
Sumber : Kadi (2010)

Sargassum biasanya dicirikan oleh 3 sifat yaitu adanya pigmen coklat

yang menutupi warna hijau, hasil fotosintesis disimpan dalam bentuk laminaran

dan algin serta adanya flagel (Tjitrosoepomo, 2001).

Sargassum di Indonesia yang telah teridentifikasi diantaranya adalah

Sargassum duplicatum, S.polycystum, S.binder, S.crassifolium, S.echinocarpum,

S.mollerii, S.gracillimum, S.sinereum, S.hystri, S.siliquosum, S.fenitan,

S.filipendula, S.polyceratium, dan S.vulgare yang dapat dibedakan dari bentuk

morfologi dengan kadar kandungan bahan utama yang berbeda seperti protein,

vitamin C, tannin. Iodine, dan phaenol ( Anwar, 2013 ).

Sargassum tersebar luas di Indonesia, tumbuh di perairan yang terlindung

maupun yang berombak besar pada habitat batu, pada daerah intertidal maupun

subtidal. Zat yang dapat diekstraksi dari Sargassum berupa alginat yaitu suatu

garam dari asam alginik yang mengandung ion sodium, kalsium dan barium.

Pada umumnya Sargassum tumbuh di daerah terumbu karang (coral reef) seperti

di Kepulauan Seribu, terutama di daerah rataan pasir (sand flat) (Tjitrosoepomo,

2001).
F. Senyawa Aktif Pada alga coklat (Sargassum sp. )

Alga Sargassum sp. atau alga cokelat merupakan salah satu genus

Sargassum yang termasuk dalam kelas Phaeophyceae. Sargassum sp.

mengandung bahan alginat dan iodin yang bermanfaat bagi industri makanan,

farmasi, kosmetik dan tekstil (Kadi, 2008).

Sargassum sp. mengandung kandungan bahan kimia utama sebagai

sumber alginat dan mengandung protein, vitamin C, mineral seperti Ca, K, Mg,

Na, Fe, Cu, Zn, S, P, dan Mn, tanin, iodin, auxin dan fenol. Kandungan zat-zat

dalam ekstrak Sargassum sp. seperti iodin, tannin dan fenol cukup baik dalam

menghambat pertumbuhan bakteri (Trono dan Ganzon 1988 dalam Kadi 2008).

Mekanisme kerja senyawa tannin dan fenol dalam menghambat sel bakteri, yaitu

dengan cara mendenaturasi protein sel bakteri, menghambat fungsi selaput sel

(transpor zat dari sel satu ke sel yang lain) dan menghambat sintesis asam

nukleat sehingga pertumbuhan bakteri dapat terhambat (Purwanti, 2007).

Alga coklat mengandung senyawa bioaktif seperti Fucoxantin, steroid,

phlorotannin, flavonoid dan saponin (Anandhan, 2011). Senyawa bioaktif yang

dikandung alga merupakan potensi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan

bidang farmasi, misalnya sebagai senyawa obat seperti antibakteri (Bactiar,

2007).

Izzati (2007) menyebutkan bahwa Sargassum sp. memproduksi beberapa

senyawam metabolisme sekunder seperti florotanin, steroid dan sterol yang

diduga berperan sebagai antibakteri. Hardiningtyas (2009), Steroid memiliki

mekanisme penghambatan bakteri dengan merusak membran sel bakteri dengan

meningkatkan permeabilitas sel, sehingga terjadi kebocoran sel yang diikuti

keluarnya material interaseluler. Juliantina (2010) menyatakan bahwa

kemampuan senyawa alkaloid sebagai antibakteri dilakukann dengan

mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga


lapisan sel bakteri tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel

pada bakteri tersebut.

G. Metode Ekstraksi

1. Ekstraksi dengan cara dingin

Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi total,

yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil

yang terdapat pada sampel. Sebagian besar senyawa dapat terekstraksi dengan

ekstraksi cara dingin, walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki

keterbatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan.

Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah

ekstraksi dingin (dalam labu besar berisi biomasa yang diagitasi menggunakan

stirer), dengan cara ini bahan kering hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar

secara berturut-turut dengan pelarut yang kepolarannya makin tinggi.

Keuntungan cara ini merupakan metode ekstraksi yang mudah karena ekstrak

tidak dipanaskan sehingga kemungkinan kecil bahan alam menjadi terurai.

Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran bahan alam secara

berurutan memungkinkan pemisahan bahan-bahan alam bedasarkan

kelarutannya (dan polaritasnya) dalam pelarut ekstraksi. Hal ini sangat

mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa

terekstraksi, meskipun beberapa senyawa memiliki pelarut ekstraksi pada suhu

kamar (Heinrich, 2004)

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang

tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan.Secara teknologi


maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi

pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan atau kamar (Depkes RI, 2000).

Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan

melunakan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar

dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak,

yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari

sel yang masih utuh. Setelah selesai waktumaserasi, artinya keseimbangan

antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk kedalam

cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Selama maserasi atau

proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin

keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan

Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunannya

perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak

memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan

simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang

diperoleh (Voigh, 1994).

Kerugiannya adalah pengerjaanya lama dan penyarian kurang sempurna.

Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan

seterusnya( Depkes RI, 2000 ).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna

( Exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu


bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari

tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan ( Depkes RI, 2000 ).

2. Ekstraksi dengan cara panas

Metode Ekstraksi Menggunakan Cara Panas ( Depkes RI, 2000 ):

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan penggulangan proses pada residu

pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

Biomasa ditempatkan dalam dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas

saring, melalui alat ini pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan

mengkosongkan isinya kedalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar

tertentu. Setelah pelarut segar melawati alat ini melalui pendingin refluks,

ekstraksi berlangsung sangat efisien dan senyawa dari biomasa secara efektif

ditarik kedalam pelarut karena konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-

500 C.
d. Infus

Adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana

infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980 C selama

waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 300C) dan

temperatur sampai titik didih air.

3. Ekstraksi Destilasi Uap

Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak

atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air bedasarkan peristiwa

tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel

secara kontinu sampai sempurna diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran

(senyawa kandungan menguap ikut tersdestilasi) menjadi destilat air bersama

senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian.

Destilasi uap, bahan simplisia benar-benar tidak tercelup ke air yang mendidih,

namun dilewati uap air sehingga senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi.

Destilasi uap dan air, bahan (simplisia) bercampur sempurna atau sebagian

dengan air mendidih, senyawa kandungan menguap tetap kontinu ikut

terdestilasi.
III. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juni Agustus 2017.

Pengambilan sampel Sargassum sp. dilakukan di Pulau Barrang Lompo. Bakteri

uji berasal dari Balai Besar KIPM Makassar. Ekstraksi, Uji antibakteri dan potensi

Sargassum sp dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Laut Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Gambar. Peta Lokasi Penelitian

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan di gunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Alat

Tabel 1. Alat alat


No Alat Tipe Fungsi Satuan
Transportasi dalam
Perahu - -
mengambil sampel
Kamera iPhone 5s Dokumentasi kegiatan
Handphone selama pengujian
Timbangan Weston Menimbang Sampel Kg
Kantong
- Tempat sampel -
Sampel
Alat sterilisasi dan
tempat pengeringan
Oven C
sampel

Laminary Air Tempat steril untuk


Flow (LAF) mengerjakan bahan uji
Tempat menumbuhkan
Inkubator C
bakteri uji
Sterilisasi alat dan
Autoclave C
bahan
Hotplate Membuat medium C
Menghomogenkan
Vortex
larutan
Timbangan Menimbang sampel dan
gr
analitik bahan uji
Spatula Mengambil sampel
Wadah untuk
Gelas ukur ml
menimbang sampel
Tempat mencampurkan
Erlenmeyer ml
larutan
Tempat mereaksikan
Tabung reaksi ml
larutan
Cawan petri Tempat tumbuh bakteri
mikropipet Memindahkan larutan
Tempat larutan pada
tip
micropipet
Alat sterilisai secara
spirtus -
pijar
Tempat meletakkan
Jarum pentul
paper disk

2. Bahan

Tabel 2. Bahan-bahan
No Bahan Fungsi
Sargassum sp. Sampel uji
Metanol Pelarut polar
Etil asetat Pelarut semi polar
n-heksana Pelarut non polar
Ciprofloxacin Kontrol positif
Medium tumbuh bakteri
TCBS
uji
TSB Medium peremajaan
TSA Medium tumbuh bakteri
Bakteri Vibrio
parahaemolyticus
Bakteri Uji
dan Vibrio
harveyi
Larutan DMSO, sebagai kontrol Negatif
Kertas saring Menyaring simplisa
wadah sampel dalam
Aluminium foil proses pengeringan di
oven
Papper disk Kertas bahan uji
Melindungi tangan agar
Sarung tangan tidak terkena larutan
berbahaya
Pelindung dari
Masker terhirupnya larutan
berbahaya
Memebersihkan alat
Tissue dan meja kerja
pengujian
Menandai media-media
Kertas label
uji

C. Analisis senyawa Bioaktif

1. Pengambilan Sampel Di Lapangan

Pengambilan sampel di lapangan dilakukan secara acak (random

sampling) menggunakan perahu, kemudian memasukkan sampel ke dalam

kantung sampel dan memasukkan sampel kedalam box untuk dianalisis

selanjutnya di laboratorium.

2. Preparasi alat dan Sampel

a). Sterilisasi Peralatan dan Media

Sterilisasi alat dilakukan dengan membungkus bahan kaca

menggunakan kertas kemudian memasukkan alat tersebut kedalam oven dan

disterilkan dengan suhu 180C selama 2 jam. Sterilisasi medium dilakukan

dengan memasukkan medium kedalam autoclave kemudian disterilkan pada

suhu 121C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit.


b). Pencucian Sampel

Pencucian sampel dilakukan dengan mencuci sampel menggunakan air

yang mangalir untuk menghilangkan kotoran, epifit, dan pasir serta garam yang

terkandung dalam sargassum, Setelah itu meniriskan sampel hingga tidak terlihat

lagi air yang menetes selanjutnya mencuci kembali sampel dengan air mengalir

untuk menghilangkan sisa garam pada sampel.

c). Pengeringan

Pengeringan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel kedalam

oven dengan suhu 40C selama 48 jam.Selanjutnya Memotong sampel kecil-

kecil menggunakan gunting dan menghaluskan sampel mengunakan blender.

3. Ekstraksi Sampel Sargassum sp.

Proses ekstraksi dilakukan degan metode meserasi menggunakan 3

pelarut, yaitu : Pelarut polar (methanol), semipolar (etil asetat) dan non polar (n-

heksana), Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi 2 x 24 pada suhu

kamar. Pertama mengekstraksi 100g sampel kemudian merendam sampel

tersebut kedalam masing-masing pelarut yang telah di tentukan sebanyak 300ml.

dan mengulang proses tersebut sebanyak 3 kali. Kemudian menyaring masing-

masing rendaman menggunakan kertas saring whatman setelah itu gabungkan

hasil penyaringan ulangan, sesuai dengan pelarutnya masing-masing, dan

dilanjutkan dengan penguapan pelarut secara vakum menggunakan rotavapor

untuk medapatkan ekstak pekat.

a). Penepungan (Powderisasi) Sampel

Proses penepungan dilakukan dengan menguapkan kembali ekstrak

pekat untuk menghilkan sisa pelarutnya, setelah itu hasil ekstrak berupa bubuk

atau powder dimasukkan kedalam botol vial yang telah diketahui beratnya
kemudian disimpan di dalam lemari es, dan diambil ketika diperlukan untuk

pengujian antibakteri.

4. Analisis Antibakteri dari ekstrak kasar sargassum

a. Peremajaan Mikroba

Peremajaan bakteri Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio harveyi melalai

dua tahap, yang pertama penanaman pada medium Triptyc Soy Broth (TSB) dan

tahap ke dua penanaman pada medium Triptyc Soy Agar (TSA).

Penanaman pada Medium TSB dilakukan mengambil isolat bakteri

dengan ose bulat kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi

Medium TSB, inkubasi dengan suhu 30oC selama 1 x 24 jam. Bakteri yang telah

tumbuh ditandai dengan terjadinya perubahan medium dari jernih menjadi keruh.

Penanaman media TSA dilakukan mengambil 1 ose kultur murni,

kemudian diinokulasi dengan metode gores. Setelah itu diinkubasi pada suhu

30oC selama 24 jam.

b. Pembuatan suspens Mikroba Uji

Pembuatan suspensi mikroba dilakukan dengan mengambil 1 ose kultur

murni bakteri uji (Vibrio Parahaemolyticus dan Vibrio harveyi ) kemudian di

inokulasi ke dalam tabung reaksi berisi 10 ml NaCL dan di inkubasi 1x24 jam

pada suhu 30oC . Kemudian kekeruhan medium tersebut di bandingkan dengan

suspensi Mc Farland.

Suspensi Mc Farland di buat dengan mencampur larutan 1.175% Barium

klorida (BaCl2) sebanyak 0.05 ml dan larutan 1% Asam sulfat (H2SO4) sebanyak

9.95 ml dengan pemberian H2SO4 terlebih dahulu, standar kekeruhan yang

digunakan yaitu 0.5 Mc Farland yang memiliki tingkat kekeruhan sebanding

dengan 1,5x 108 colony forming unit (CFU)/ml.


Skala Mc Farland 1.175% BaCl2 (ml) 1% H2SO4 (ml)

0.5 0.05 9.95

1 0.1 9.9

2 0.2 9.8

3 0.3 9.7

4 0.4 9.6

5 0.5 9.5

6 0.6 9.4

7 0.7 9.3

8 0.8 9.2

9 0.9 9.1

10 1.0 9.0

Setelah larutan Mc Farland dibuat selanjutnya membandingkan

kekeruhan suspensi mikroba di medium NaCL dengan kekeruhan larutan Mc

farland.

Selanjutnya mengambil 200 l suspensi bakteri menggunkan mikropipet

kemudian dicampurkan dalam 20 ml medium TSA hangat lalu medium

digoyangkan secara perlahan dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30oC.

c. Aktivitas dan potensi bakteri

Uji aktivitas bakteri dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

aktivitas bahan bioaktif dari suatu organisme terhadap bakteri pathogen dengan

melihat ada atau tidaknya zona bening yang terbentuk. Metode yang digunakan

dalam pengujian aktivitas antimikroba adalah metode difusi agar dengan FPD (

Flying Paper Disk).


Ketiga ekstrak ditimbang dengan konsentrasi 2 mg/ disk/50l , lalu

dimasukkan kedalam tabung ependorf dan dilarutkan dengan masing-masing

pelarutnya. Selanjutnya dihomogenkan dengan menggunakan vortex dan siap

untuk dilakukan pengujian. Langkah selanjutnya tiap tiap ekstrak diteteskan

sebanyak 50 l pada kertas disk yang berbeda dan kemudian dibiarkan menguap

sehingga betul-betul kering sebelum di letakkan secara hati-hati dan aseptis

pada permukaan media agar yang telah di homogenkan dengan mikroba.

Sebagai kontrol positif digunakan antibiotik ciprofloxacin 30 ppm dan kontrol

negatif DMSO. Setelah itu di inkubasi pada suhu 30C selama 24 jam. Setelah

masa inkubasi aktivitas antimikroba di tunjukkan dengan zona penghambatan (

zona bening/zona halo)di sekitar kertas disk dimana hal tersebut menunjukkan

adanya penghambatan pertumbuhan bakteri dan di ukur menggunakan jangka

sorong.

5. Perhitungan Potensi Antibakteri

Perhitungan Potensi antibakteri dilakukan dengan mengukur zona

hambat (zona bening/halo) dengan menggunakan jangka sorong.

6. Analisis data Pengujian Bakteri

Analisis perbandingan daya hambat ekstrak sargassum dengan berbagai

macam pelarut yang berbeda, dianalisis dengan uji One Way Anova

mengunakan perangkat SPSS 16.


DAFTAR PUSTAKA

Akhyar. 2010. Uji Daya Hambat Dan Analisis Klt Bioautografi Ekstrak Akar Dan
Buah Bakau (Rhizophora Stylosa Griff.) Terhadap Vibrio Harveyi (Skripsi).
Fakultas Farmasi Universitas hasanuddin. Makassar.

Anandhan, S. and Sorna K.H. Biorestraining potentials of marine macroalgae


collected from Rameshwaram, Tamil nadu. Journal research Biology 1
(5): 385-392.

Anwar, F., Djunaedi,A., Santosa, Gunawan, W. 2013. Pengaruh Konsentrasi


KOH yang Berbeda Terhadap Kualitas Alginat Rumput Laut Coklat
Sargassum duplicatum J. G. Agardh. Journal Of Marine Research 2 (1)
:80-83

Atmomarsono,M. 2004. Pengelolaan Kesehatan Udang Windu,Di tambak


Aquakultur Indonesia. 5(2) : 73-78

Atjo, H. 2003. Budidaya Udang Yang Berkelanjutan. Makalah pada Seminar


Harapan Otoda, Makassar.

Austin B. 2010. Vibrios as casual agents of zoonoses. Journal of Veterinary


Microbiology 140 : 310317.

Austin, B. dan Austin, D. A. 1989. Methods For The Microbilogical Examination


Of Fish and Shellfish. Department of Biological Sciences. Chishester
Publisher. New York.

Azwar ZI. 2001. Perkembangan budidaya udang intensif , antara harapan dan
keprihatinan. Warta Penelitian Prikanan Indonesia, Vol 7 (3): 15 19.

Bachtiar, E. 2007. Penelusuran Sumber Daya hayati (Alga) Sebagai Biotarget


Industri. Universitas Padjadjaran. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Jatitagor

Bachtiar,Y.S, Tjahjaningsih.W, dan Sianita. N. 2012. Pengaruh Ekstrak Alga


Coklat (Sargassum sp.) Terhadap Pertumbuhan Bkateri Escherichia coli.
Journal of Marine and Coastal Science, 1(1), 53-60

Brock, T.D. and M.T. Madigan. 1991. Bology of Microorganisms. Prentice Hall,
Englewood Cliffs. New Jersey. 368 p.

Burford MA, Thompson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2003.
Nutrient and microbial dynamics in high-intensity, zero-exchange shrimp
ponds in Belize. Aquaculture 219 : 393 : 411
Byarugaba, D.K. 2009. Department of Veterinary Microbiology and Parasitology.
Faculty of Veterinary Medicine (Jurnal). Makerere University. Kampala

Challouf, R., Ben, D.R., Omrane, H., Ghozzi, K., dan Ben, O.H., 2012,
Antibacterial, antioxidant and Cytotoxic Activities of Extract from the
Thermophilic Green Alga,Cosmaium sp. African Journal of Biotechnology

Chen SY, Jane WN, Chen YS, Wong HC. 2009. Morphological changes of Vibrio
parahaemolyticus under cold and starvation stresses. International
Journal of Food Microbiology 129 (2009) : 157165.

Christobel, G.J., Lipton, A.P., Aishwarya, M.S., Sarika, A.R. and Udayakumar, A.
Antibacterial activity of aqueous extract from selected macroalgae of
southwest coast of India. Seaweed Res. Utiln., 33 (1&2) : 67 - 75, 2011

Chusniati,S., Dodik, H., Sudarno, Rahayu,K. 2010. Buku Penuntun Praktikum


Mikrobiologi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga.
Surabaya.

Daniels NA, MacKinnon L, Bishop R, Altekruse S, Ray B, Hammond RM,


Thompson S, Wilson S, Bean NH, Griffin PM and Slutsker L. 2000. Vibrio
parahaemolyticus Infections in the United States, 19731998. The Journal
of Infectious Diseases 181 (2000) :16611666.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan


Obat Jakarta: Diktorat Jendral POMDepkes RI

Dhar, A.K, M.M. Roux & K.R Klimpel. 2001. Detection and Quantification of
Infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus and white Spot
Syndrome Virus in shrimp using real-Time quantitative PCR and SYBR
green Chemistry. Journal of Clinical Microbiology 39: 2835- 2845.

Farchan, M. 2006. Teknik Budidaya Udang Vanname.Penerbit BAPPL Sekolah


TinggiPerikanan, Karangantu, Serang Banten.

Ganiswara. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: Farmakologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Ginting EL. 1995. Hubungan habitat tambak udang windu (Penaeus monodon)
dengan populasi bakteri Vibrio sp. Fakultas Pasacasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Penerjemah Padmawinata, K. Penerbit Institut Teknologi
Bandung, Bandung.

Hardiningtyas. 2009. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Karang Lunak Sarcophyton Sp.

Yang Difragmentasi dan Tidak Difragmentasi Di Perairan Pulau Pramuka,


Kepulauan Seribu. Institut Pertanian Bogor. 77 hal.
Haryo, R. 2014. Pemanfaatan Sistem High Throughput Screening (Hts) Untuk
Penapisan Dan Mengungkap Potensi Mikroba Unggulan (Online).
(Http://Haryobimo88.Blogspot.Com/)[Diakses Pada Tanggal 5 April 2017].

Heinrich, Michael., Barnes, Joanne., Gibbons, Simon., Williamso, Elizabeth M.


2004. Fundamental of Pharmacognosy and Phytotherapi Hungary:
Elsevier.

Hudzicki, J. 2010. Kirby-Bauer Disk Diffusion Susceptibility Test Protocol


(Online). (www.mikrolibrary.org). [Diakses Tanggal 9 April 2017].

Ijong, F.G. 2015. Mikrobiologi Perikanan Kelautan. Penerbit, Rineka Cipta.


Jakarta.

Ismet, M.S. 2007. Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Spons Aaptops dan
Petrosia sp. dari lokasi yang berbeda. [Skripsi] Bandung : Pasca sarjana
ITB.,

Izzati, M. 2007. Skreening Potensi Antibakteri pada Beberapa Spesies Rumput


Laut terhadap Bakteri Patogen pada Udang Windu. BIOMA, 62 67hal.

Jhamandas, JH, Wie MB, Harris K, Mac Tavish, and Kar S. 2005. Fucoidan
inhibits cellular and neurotoxic effects of beta amyloid (A beta) in rat
cholinergic basal forebrain neuron. Eur J Neuroschi. 21 (10) : 2649
2659.

Juliantina, F., Dewa A.C., Bunga, N., Titis, N., Endrawati, T,B. 2010. Manfaat
Sirih Merah (Piper crocatum) sebagai Agen Antibakterial terhadap Bakteri
gram Posistif dan Gram Negatif. hal: 10-25 hal.

Kadi. 2008. Beberapa Catatan Kehadiran Marga Sargassum Di Perairan


Indonesia. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.

Kirkup, B. C., Leeann Chang, Sarah Chang, Gevers, D., Polz, M. F. 2010. Vibrio
Chromosomes Share Common History. BMC Microbiology Research
Article. Cambridge MA, USA. 10 hal

Lavila-Pitogo, C.R., E.M. Leano, and M.G. Paner.1998. Aquaculuture. 164.


Lavila-Pitogo, C.R., E.M. Leano, and M.G. Paner. 1998.
Aquaculuture.164. 337-349.

Lestari S.A, dan Maggy T.S. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pustaka Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lisdayanti, E. 2013. Potensi Antibakteri Dari Bakteri Asosiasi Lamun (Seagrass)


Dari Pulau Bonebatang Perairan Kota Makassar (Skripsi). Fakultas Ilmu
kelautan dan perikanan universitas hasanuddin. Makassar.
Lopillo, R. 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Heterotropik pada Tambak yang
Antagonis Terhadap Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus. Skripsi.
Faperikan Unri. Pekanbaru. 27 hal.

Luthana, K. 2008. Prosedur Ekstraksi Senyawa Fenol dan Antibakteri Dari


Tanaman Gambir yang Disertai Metode Analisisnya.

Meagaung WDM. 2000. Karakterisasi dan pengelolaan residu bahan organik


pada dasar tambak udang intensif . Program Pasacasarjana Universitas
Hasanuddin. 128 hal.

Muliani, A.Suwanto, & Hala, Y. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakter asal laut
Sulawesi untuk biokontrol penyakit vibriosis pada larva udang windu
(Paneus monodon). Hayati 10:6-11

Muliani, Nurbaya, Atmomarsono M. 2006. Penapisan bakteri yang diisolasi dari


tambak udang sebagai kandidat probiotik pada budidaya udang windu
(Penaeus monodon). Jurnal Riset Akuakultur. Vol 1 (1) : 73 85.

Poncomulyo, T., M. Herti dan K. Lusi. 2006. Budi Daya dan Pengolahan Rumput
Laut. PT. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Poernomo A. 2004. Teknologi Probiotik untuk Mengatasi Permasalahan Tambak


Udang dan Lingkungan Budidaya. Makalah disajikan pada Simposium
Perkembangan Ilmu dan Teknologi Inovasi Dalam Bidang Akuakultur. 27
29 Januari 2004. Semarang. 20 hal.

Purwanti, E. 2007. Senyawa Bioaktif Tanaman Sereh (Cymbopogon nardus)


Ekstrak Kloroform dan Etanol serta Pengaruhnya Terhadap
Mikroorganisme Penyebab Diare. Jurusan Pendidikan Biologi. Fakultas
Pendidikan Biologi dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah
Malang.

Putranti, R.I., 2013, Skrining Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rumput
Laut Sargassum duplicatum dan Turbinaria ornata dari Jepara, Tesis
program magister manajemen sumberdaya pantai universitas diponegoro.

Rante, H., B. Taebe, dan S. Intan. 2013. Isolasi Fungi Endofit Penghasil
Senyawa Antimikroba Dari Daun Cabai Katokkon (Capsicum Annuum L
Var.Chinensis) Dan Profil Klt Bioautografi. Majalah Farmasi dan
Farmakologi Vol.17, No.2. Makassar

Rozi FA. 2008. Penerapan budidaya udang ramah lingkungan dan berkelanjutan
melalui aplikasi bakteri antagonis untuk biokontrol vibriosis udang windu
(Penaeus monodon Fabr.) . Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Rukyani, Akhmad. 1999. Beberapa Jenis Penyakit Sebagai Kendala
UtamaBudidaya Udang dan Cara Pengendaliannya. Bdan Litbang
Pertanian.

Sarida, M., Tarsim dan Faizal, I. 2010. Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu
( Morinda citrifolia L.) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Vibrio
harveyi Secara In Vitro.Jurnal Penelitian Sains. Universitas Lampung.
Lampung, 23 (3): 59-63.

Setyaningsih, I., Desniar, Purnamasari, E., 2012, Antimikroba dari Chaetoceros


gracilis yang Dikultivasi dengan Lama Penyinaran Berbeda, Jurnal
Akuatika, (online) III (2).

Soemodiharjo, S; Rohmimohtarto, K; Suhardjono.1999. Prosiding Seminar VI


Ekosistem: Pekan baru, 15 18 September 1998. LIPI. Jakarta. 326 hal.

Sudheesh PS and Xu HS. 2001. Pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus in tiger


prawn Penaeus monodon Fabricius: possible role of extracellular
proteases. Journal Aquaculture 196 (2001) : 3746

Tjitrosoepomo, G. Taksonomi Tumbuhan: Schizophyta, Thallophyta, Bryophyta


dan Pteridophyta. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 2001

Udin, L.Z., Nurhayati,Y., Budiwati, T.A., Karossi, A.T., dan Manuputy, A., 2001,
Potensi Antibakteri dari Bakteri yang bersimbiose dengan Spong Dysidea
cinera (Keller),MAkalah Disajikan dalam Prosiding Seminar Nasional X
Kimia dalam Industri dan Lingkungan, Yogyakarta, 7 November.

Umamaheshwari, R., G. Thirumaran & P. Anantharaman. 2009. Potential Anti


bacterial Activities of Seagrasses from Vellar Estuary, Southeast Coast of
India, Adv. Biol. Res. 3: 140-143

Yusuf Bachtiar, Subchan., Tjahjaningsih, Wahju., dan Sianita, Nanik. 2012.


Journal of Marine and Coastal Science. Pengaruh Ekstrak Alga Cokelat
(Sargassum Sp.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia Coli. 1(1),
53 60. Universitas Airlangga

Volk.W.A dan Wheeler M.F. 1993. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: PT. Gelora
Aksara Pratama.

Wattimena, J.R., Nelly, C., Sugiarso, Widianto, M.A., Sukandar, E.Y., Soemardji,
A.A. & Setiadi, A.R.1991. Farmakodinamika dan Terapi Antibiotik.Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. 168 hlm.

Widowati I, Susanto A.B, Stiger-Pouvreau V, Bourgougnon N. 2013. Potentiality


of using spreading Sargassum species from Jepara,Indonesia as an
interesting source of antibacterial and antioxidant compounds: a
preliminary study. 21 st International Seaweed Symposium Seaweed
Science for Sustainable Prosperity.[Accepted].Bali-Indonesia.
Wyk VP, Hodgkins MD, Laramore R, Main KL, Mountain J, Scarpa J. 1999.
Farming marine shrimp in recirculating freshwater system.

Anda mungkin juga menyukai