Laporan F6 Epilesi Grandmal
Laporan F6 Epilesi Grandmal
Pendamping:
dr. Suryadi
NIP. 19630608 2007011007
Disusun Oleh:
dr. Dyah Retnayati
Prognosis
- Ad Vitam : ad bonam
- Ad fungsionam: ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam
Prognosis baik jika penderita patuh menjalani pengobatan secara rutin dan tidak putus
obat.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi,
limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula
(Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling
sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada
sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja
Eropa pada zaman pertengahan dengan nama Kings evil, dimana dipercaya bahwa
sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis
pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau
terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma (Dorland,
1998).
2. Epidemiologi
Limfadenitis tuberkulosis perifer merangkum ~ 10% dari kasus-kasus tuberkulosis di
Amerika Serikat. Karakteristik epidemiologi termasuk perbandingan 1.4:1 untuk perempuan
kepada laki-laki , memuncak pada rentang usia 30-40 tahun, dan dominan untuk pendatang
asing, terutama Asia Timur. (Fontanilla et al. , 2011).
Tinjauan literatur menunjukkan limfadenopati servikal menjadi predileksi paling sering
untuk limfadenitis TB diikuti oleh limfadenopati aksilaris dan limfadenopati sangat jarang di
lokasi inguinal. Insiden kelompok leher terlibat dalam 74% - 90% kasus, kelompok aksilaris
dalam 14%-20% kasus dan kelompok inguinal dalam 4-8% kasus. (Bezabih et al., 2002)( Seth
et al., 1995). Satu studi di India yang dilakukan di Orissa menunjukkan bahwa keterlibatan
nodus limfa inguinal adalah lebih umum daripada limfadenopati. aksilaris (Danpadat, 1990)
Keterlibatan kelompok nodus limfa inguinal ini juga sering di kelompok etnis Igbos di Nigeria.
(Onuigbo, 1975)
3. Etiologi
Infeksi Mikrobakterium tuberculosis sp.
4. Patofisiologi
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan
TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer
dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak
sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder)
disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun
faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010). Basil
tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB
ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi
oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang pertama
kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru
dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag
dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh
makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen,
bahkan hematogen.
Demikian itu, patogenesis Lifadenitis tuberkulosis inguinalis terisolasi dapat dijelaskan
oleh reaktivasi lokal infeksi dormant, akibat dari penyebaran limfogen Mycobacterium dari
fokus paru subklinis. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar
limfe regional hilus , dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 4 minggu setelah infeksi
akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB
dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer
yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis
regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua
hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas
seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup
dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).Jika
terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas
seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi
penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan
jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer
dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ
(Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran
pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat
menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu sebelum menginfeksi paru. Basil TB ini
akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa
orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa
ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).
Peningkatan ukuran nodus mungkin disebabkan oleh berikut: 1.Multiplication sel dalam
node, termasuk limfosit, plasma sel, monosit, atau histiosit 2.Infiltrasi sel-sel dari luar nodus,
misalnya sel ganas atau neutrofil.3.Drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.
5. Gejala Klinis
Limfadenitis TB ekstremitas bawah ini sering di kelenjar getah bening inguinalis
lateralis dan femoralis.Ukuran nodus membesar dan harus berhati-hati karena yang tercatat
meningkat tajam dalam ukuran dapat menunjukkan potensi untuk keganasan. Bentuk nodus
limfa biasanya satu,namun beberapa kelenjar bisa berkonfluensi. Konsistensi mungkin termasuk
kusut, fluksus, tegas, kenyal, atau keras. Dalam tahap awal, nodus dalam tuberkulosis adalahg
dengan berbatas tegas, mobil, tidak lembut, dan tegas. Jika infeksi tetap tidak diobati, nodus
melunakkan, menjadi fluksus, dan melekat pada kulit yang mungkin menjadi eritematus. Pada
nodus-nodus multiple,perlunakan tidak serentak. Jika terjadi abses, abses lanjut menjadi fistel
multipel berubah menjadi ulkus- ulkus khas : bentuk tidak teratur, sekitar livide,dinding
bergaung, jaringan granulasi tertutup pus seropurulen, krusta kuning- sikatriks memanjang,
tidak teratur. Fiksasi kelenjar getah bening pada kulit dan jaringan lunak dapat berarti
keganasan. Kulit atasnya mungkin eritematus dalam etiologi infeksi. Sinus drainase dapat
berkembang pada pasien dengan adenopati tuberkulosis. Gejala seperti penyakit saluran
pernafasan atas, sakit tenggorokan, otalgia, coryza, konjungtivitis, dan impetigo sering
ditemukan ditambah dengan demam, iritabilitas dan anoreksia. Limfadenitis bisa terjadi tanpa
radang akut.
6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis definitif adalah dengan kultur atau amplifikasi nucleic amplifikasi
Mycobacterium tuberculosis; demonstrasi basil tahan asam dan peradangan granulomatosa
dapat membantu. Biopsi eksisional memiliki kepekaan tertinggi pada 80%, tetapi aspirasi jarum
kurang invasif dan mungkin berguna, terutama pada hos dengan immunitas rendag dan
pengaturan sumber daya terbatas. (Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, 2011)
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukakan termasuk:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini
tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Newanda (2009) melaporkan 144 anak dengan
spondilitis tuberkulosis didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang normal.
Uji Mantoux positif
Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis
tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.
Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) dilaporkan
memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu
pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi
cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus dikembangkan.
Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan
nucleotida tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA polymerase
sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada
pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil
permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter
spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah
lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan
hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan
system BATEC (Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dengan system
ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah
kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini
memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa
radioaktifnya (Newanda, 2009).
2. Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang
dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara
mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan
jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen
membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per
mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah
lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil
resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem
BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi
dapat dilakukan dalam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh
kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif.
Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
7. Terapi
Terapi antimycobacteria oral (OAT) tetap menjadi dasar dari perawatan, tetapi respon
lebih lambat dibandingkan dengan dalam tuberculosis paru; sakit terus-menerus dan
pembengkakan itu sering, dan reaksi paradox meningkat dapat terjadi di 20% dari pasien. Peran
steroid kontroversial. Pada awal perjalanan penyakit biopsy eksisional layak diberi
pertimbangan bagi kedua-dua diagnosis optimal dan manajemen untuk tanggapan yang lambat
terhadap terapi OAT. (Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, 2011)
Oral Antimycobacteria Therapy
Mengenai pengobatan, pada prinsipnya sama dengan pengobatan pada Tuberkulosis
paru. Saat ini direkomendasikan pengobatan dengan menggunakan obat paru lini pertama
(selain injeksi streptomycin) dengan kombinasi 4 obat selama 2 bln dan dilanjutkan INH,
Rifampicin selama 4 bln. Atau dapat diberikan dengan kombinasi 3 jenis obat dan dilanjutkan
dengan INH dan Rifampicin selama 7 bulan. Mengenai suntikan streptomycin untuk limfadenits
maka saat ini tidak direkomendasikan oleh WHO. Hal ini juga dibuktikan oleh BTS (British
Thoracic Society) yang melakukan clinical trial menggunakan suntikan streptomycin dan
hasilnya memperlihatkan tidak jauh lebih baik dibanding kombinasi HRZE (INH, Rifampicin,
Pyrazinamid dan Etambutol).