Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan maksud memperoleh pengetahuan serta untuk
meningkatkan keterampilan yang dimiliki seseorang. Pembelajaran adalah
aktivitas yang melekat pada guru. Sebagai guru profesional, meningkatkan
kualitas pembelajaran merupakan agenda yang harus selalu diutamakan. Jika
hal ini dapat dilakukan dengan baik maka guru telah mengantarkan siswa
untuk mengalami belajar bermakna. Pembelajaran bermakna dapat
berlangsung jika siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang diperlukan.
Tugas guru adalah membantu proses tersebut dengan memberi kesempatan
siswa menemukan dan menerapkan sendiri ide-ide.
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran yang disusun secara
sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang menyangkut sintaksis, sistem
sosial, prinsip reaksi dan sistem pendukung. Salah satu model pembelajaran
yaitu model pembelajaran kognitif. Teori Kognitif pada hakikatnya adalah
teori yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan manusia
dalam memahami barbagai pengalamannya, sehingga mengandung makna
bagi manusia tersebut. Teori kognitif menekankan peranan struktur ingatan
dan pengetahuan terhadap proses penerimaan, pemerosesan penyimpanan,
pemanggilan kembali informasi yang telah ada didalam skemata.
Setiap pendekatan pembelajaran memiliki pandangan yang berbeda
tentang konsepsi dan makna pembelajaran, pandangan tentang guru, dan
pandangan tentang siswa, perbedaan inilah kemudian mengakibatkan strategi
dan model pembelajaran yang dikembangkan menjadi berbeda juga, sehingga
proses pembelajaran akan berbeda walaupun strategi pembelajaran sama.
Teori Kognitif lebih menekankan bahwa belajar lebih banyak ditentukan
karena adanya usaha dari setiap individu dalam upaya menggali ilmu

1
pengetahuan melalui dunia pendidikan. Penataan kondisi tersebut bukan
sebagai penyebab terjadinnya proses belajar bagi anak didik, tetapi melalui
penggalian ilmu pengetahuan secara pribadi ini diarahkan untuk memudahkan
anak didik dalam proses belajar. Keaktifan siswa menjadi unsur yang amat
penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Aktivitas mandiri merupakan
salah satu faktor untuk mencapai hasil yang maksimal dalam proses belajar
dan pembelajaran. Dalam makalah ini kami menekankan model pembelajaran
kognitif agar dapat diaplikasikan guru dan siswa, sehingga setiap siswa dapat
berfikir secara kritis dalam belajar dan memahami dengan baik setiap
pelajaran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud model pembelajaran problem based learning?
2. Apa yang dimaksud model pembelajaran discovery learning?
3. Apa yang dimaksud model pembelajaran kontruktivisme?
4. Apa yang dimaksud model pembelajaran learning cycle?

C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan yang dimaksud model pembelajaran problem based
learning
2. Mendeskripsikan yang dimaksud model pembelajaran discovery learning
3. Mendeskripsikan yang dimaksud model pembelajaran kontruktivisme
4. Mendeskripsikan yang dimaksud model pembelajaran learning cycle

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Model Pembelajaran Problem based learning (PBL)


1. Pengertian problem based learning
Fakhriyah (2104) mengemukakan bahwa model pembelajaran problem
based learning atau dikenal dengan model pembelajaran berbasis masalah
merupakan model pembelajaran yang menggunakan permasalahan nyata yang
ditemui di lingkungan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep melalui kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Sudarman (2007) mengemukakan bahwa landasan problem based learning
adalah proses kolaborative. Pembelajar akan menyusun pengetahuan dengan
cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang dimilikinya dan dari
semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama
individu. Amir (2010) mengemukakan bahwa dalam metode problem based
learning, sebelum pelajaran dimulai, siswa diberikan masalah-masalah.
Masalah yang disajikan adalah masalah yang memiliki konteks dengan dunia
nyata, semakin dekat dengan dunia nyata, maka akan semakin baik
pengaruhnya pada peningkatan kecakapan pada siswa. Dari masalah yang
diberikan ini siswa kemudian bekerjasama dalam kelompok, mencoba
memecahkan masalah dengan kemampuan yang dimiliki, dan sekaligus
mencari informasi-informasi baru yang relevan.
Suprijono (2012) mengemukakan bahwa problem based learning
dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir,
mengatasi masalah, keterampilan penyelidikan, kemampuan mempelajari
peran sebagai orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman
nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang mandiri dan independen.
Muhson (2009) mengemukakan bahwa problem based learning merupakan
metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Metode ini juga
berfokus pada keaktivan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Peserta

3
didik tidak lagi diberikan materi belajar secara satu arah seperti pada metode
pembelajaran konvensional. Dengan metode ini, diharapkan peserta didik
dapat mengembangkan pengetahuan mereka secara mandiri.
Muhson (2009) mengemukakan bahwa dalam metode problem based
learning, peserta didik diberikan suatu permasalahan. Kemudian secara
berkelompok (sekitar lima hingga delapan orang), mereka akan berusaha
untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Untuk mendapatkan solusi,
mereka diharapkan secara aktif mencari informasi yang dibutuhkan dari
berbagai sumber. Informasi dapat diperoleh dari bahan bacaan (literatur),
narasumber, dan lain sebagainya. Kemudian siswa di minta untuk
memaparkan hasil yang diperoleh dari diskusi yang telah dilakukan.

2. Ciri Problem based learning


Problem based learning memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah
b. Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran
disekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting
dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
c. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
d. Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata
pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah-masalah
yang diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya,
siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
e. Penyelidikan autentik
f. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukann
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah
nyata.
g. Menghasilkan produk dan memamerkannya
h. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan
produk tertentu dalam karya nyata. Produk tersebut bisa berupa laporan,

4
model fisik, video maupun program komputer. Dalam pembelajaran kalor,
produk yang dihasilkan adalah berupa laporan.
i. Kolaborasi dan kerja sama
j. Pembelajaran bersdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja
sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau
dalam kelompok kecil.

3. Langkah-langkah dalam problem based learning


Model Pembelajaran Problem based learning dalam Kurikulum 2013
memiliki tahapan sebagai berikut:
a. Orientasi peserta didik terhadap masalah
Pada tahap ini, guru harus menjelaskan tujuan pembelajaran dan
aktivitas yang akan dilakukan agar peserta didik tahu apa tujuan utama
pembelajaran, apa permasalahan yang akan dibahas, bagaimana guru akan
mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini untuk memberi konsep dasar
kepada peserta didik. Guru harus bisa memberikan motivasi peserta didik
untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih.
b. Mengorganisasikan peserta didik
Pada tahap ini, guru membantu peserta didik mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang
telah diorientasi, misalnya membantu peserta didik membentuk kelompok
kecil, membantu peserta didik membaca masalah yang ditemukan pada
tahap sebelumnya, kemudian mencoba untuk membuat hipotesis atas
masalah yang ditemukan tersebut.
c. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Pada tahap ini, guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya, melaksanakan eksperimen, menciptakan
dan membagikan ide mereka sendiri untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

5
Pada tahap ini guru membantu peerta didik dalam menganalisis data
yang telah terkumpul pada tahap sebelumnya, sesuaikah data dengan
masalah yang telah dirumuskan, kemudian dikelompokkan berdasarkan
kategorinya. Peserta didik memberi argumen terhadap jawaban pemecahan
masalah. Karya bisa dibuat dalam bentuk laporan, video, atau model.
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada tahap ini, guru meminta peserta didik untuk merekonstruksi
pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan
belajarnya. Guru dan peserta didik menganalisis dan mengevaluasi
terhadap pemecahan masalah yang dipresentasikan setiap kelompok.

4. Kelebihan problem based learning


Pembelajaran problem based learning atau berdasarkan masalah memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan model pembelajaran yang lainnya,
di antaranya sebagai berikut:
a. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk
memahami isi pelajaran.
b. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
c. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa
d. Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana menstansfer
pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk
mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam
pembelajaran yang mereka lakukan.
f. Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada siswa
bahwa setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah, dan lain
sebagainya), pada dasarnya merupakan cara berfikir, dan sesuatu yang
harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau
dari buku-buku saja.
g. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa

6
h. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa
untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka
untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru
i. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa
yang mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia
nyata.
j. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus
menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.

5. Kelemahan Problem based learning


Sama halnya dengan model pengajaran yang lain, model pembelajaran
problem based learning juga memiliki beberapa kekurangan dalam
penerapannya. Kelemahan tersebut, yaitu:
a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan
merasa enggan untuk mencoba
b. Keberhasilan strategi pembelajaran malalui problem based learning
membutuhkan cukup waktu untuk persiapan
c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah
yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka
ingin pelajari.

B. Model Pembelajaran Discovery learning


1. Pengertian Discovery Learning
Budiningsih (2005) mengemukakan bahwa model pembelajaran discovery
learning (penemuan) merupakan cara belajar memahami konsep, arti, dan
hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan. Discovery learning terjadi bila individu terlibat terutama dalam
penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep
dan prinsip. Sebagai strategi belajar, model discovery learning mempunyai
prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan problem solving. Depdiknas

7
(2005) mengemukakan bahwa pembelajaran discovery learning merupakan
suatu model pembelajaran yang dikembangkan oleh J. Bruner berdasarkan
pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip
konstruktivis. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan
pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka
menemukan konsep dan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada
Discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip
yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery learning
dengan inquiry learning ialah bahwa pada discovery masalah yang dihadapi
siswa atau peserta didik adalah semacam masalah yang direkayasa oleh guru,
sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa
harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan
temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Sedangkan, perbedaan discovery learning dengan problem solving. Pada
model problem solving lebih memberi tekanan pada kemampuan
menyelesaikan masalah. Prinsip belajar yang nampak jelas dalam
discovery learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan
tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta
didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan
dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk
(konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk
akhir.

2. Ciri Model Pembelajaran Discovery Learning (Penemuan)


Tiga ciri utama belajar dengan model pembelajaran discovery learning
atau Penemuan, yaitu:
a. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan,
menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan
b. berpusat pada peserta didik

8
c. kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang
sudah ada.

3. Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning (penemuan)


Karakteristik dari Model Pembelajaran discovery learning, yaitu:
a. Peran guru sebagai pembimbing,
b. Peserta didik belajar secara aktif sebagai seorang ilmuwan,
c. Bahan ajar disajikan dalam bentuk informasi dan peserta didik melakukan
kegiatan menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,
serta membuat kesimpulan.

4. Kelebihan Model Pembelajaran Discovery learning


Takdir (2012) mengemukakan lima kelebihan belajar mengajar dengan
discovery learning, yaitu:
a. Dalam penyampaian bahan discovery, digunakan kegiatan dan
pengalaman langsung. Kegiatan dan pengalaman tersebut akan lebih
menarik perhatian anak didik dan memungkinkan pembentukan konsep-
konsep abstrak yang mempunyai makna.
b. Discovery learning lebih realistis dan mempunyai makna. Sebab, para
anak didik dapat bekerja langsung dengan contoh-contoh nyata
c. Discovery learning merupakan suatu model pemecahan masalah. Para
anak didik langsung menerapkan prinsip dan langkah awal dalam
pemecahan masalah. Melalui strategi ini mereka mempunyai peluang
untuk belajar lebih intens dalam memecahkan masalah sehingga dapat
berguna dalam menghadapi kehidupan dikemudian hari.
d. Dengan sejumlah transfer secara langsung, maka kegiatan discovery
strategy akan lebih mudah diserap oleh anak didik dalam memahami
kondisi tertentu yang berkenaan dengan aktivitas pembelajaran,
e. Discovery learning banyak memberikan kesempatan bagi para peserta
didik untuk terlibat langsung dalam kegiatan belajar.

9
5. Kelemahan Penerapan Model Pembelajaran Discovery learning
Takdir (2012) mengemukakan bahwa terdapat sepuluh kelemahan model
discovery learning, yaitu:
a. Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman
antara guru dengan siswa.
b. Menyita pekerjaan guru.
c. Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
d. Tidak berlaku untuk semua topik.
e. Berkenaan dengan waktu, strategi discovery learning membutuhkan waktu
yang lebih lama daripada ekspositori.
f. Kemampuan berfikir rasional siswa ada yang masih terbatas.
g. Kesukaran dalam menggunakan faktor subjektivitas, terlalu cepat pada
suatu kesimpulan.
h. Faktor kebudayaan atau kebiasaan yang masih menggunakan pola
pembelajaran lama.
i. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajara dengan cara ini. Di lapangan
beberapasiswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
j. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-
topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan
model penemuan.

6. Langkah-langkah Operasional Implementasi Model Pembelajaran Discovery


learning
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery
learning di kelas, yaitu:
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa peserta didik (kemampuan
awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa peserta didik secara
induktif (dari contoh-contoh generalisasi)

10
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa peserta didik
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke
simbolik.
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajarsiswa peserta didik.

7. Prosedur Aplikasi Metode Model Pembelajaran Discovery learning


Syah (2004) mengemukakan bahwa dalam mengaplikasikan metode
Discovery learning di kelas, terdapat enam prosedur yang harus dilaksanakan
dalam kegiatan belajar mengajar secara umum, yaitu:
a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkankebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri.
Disamping itu guru dapat memulai kegiatan proses belajar mengajar
dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas
belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan
stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada
kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian
seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus
kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi
dapat tercapai.
b. Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutnya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian

11
salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban
sementara atas pertanyaan masalah). Sedangkan menurut permasalahan
yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan,
atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara
atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi,
merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka
terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
c. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga emberi kesempatan kepada
para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang
relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada
tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan
benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian anak didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan,
membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber,
melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini
adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian
secara tidak sengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan
yang telah dimiliki.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan
informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara,
observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Djamarah (2002)
mengemukakan bahwa semua informasi hasil bacaan, wawancara,
observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta
ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu. Data processing disebut
juga dengan pengkodean coding/kategorisasi yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa

12
akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap pembuktian siswa melakukan pemeriksaan secara
cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan
tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing.
Brunner (Subini, dkk, 2012) mengemukakan bahwa pembuktian bertujuan
agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil pengolahan dan
tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah
dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak,
apakah terbukti atau tidak.
f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik
sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku
untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan
hasil verifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-
prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan
siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan
pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-
prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya
proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

8. Sistem Penilaian Model Pembelajaran Discovery learning


Dalam Model Pembelajaran discovery learning, penilaian dapat
dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian
yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau
penilaian hasil kerja siswa. Terdapat dua macam penilaian dalam model
pembelajaran discovery learning yaitu penilaian tertulis dan penilaian

13
diri. Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang
diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab
soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban
tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda,
mewarnai, menggambar dan lain sebagainya. Sedangkan Penilaian diri
(self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subyek yang ingin dinilai
diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan, status, proses
dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran
tertentu. Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek
penilaian, yang berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan
psikomotor.

C. Model Pembelajaran Kontruktivisme


1. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivisme
Subini, dkk (2012) mengemukakan bahwa teori konstruktivistik muncul
ketika ada permasalahan yang muncul dari pengetahuan yang diciptakan
sendiri oleh siswa. Dalam teori ini siswa mampu menciptakan sendiri
masalahnya, menyusun sendiri pengetahuannya melalui kemampuan berpikir
dan hambatan yang dihadapinya serta menyelesaikan dan membuat konsep
mengenai keseluruhan pengalaman realistis dalam satu kesatuan. Teori belajar
konstruktivistik memandang bahwa yang namanya belajar berarti
mengkonstruksikan makna atas infomasi dari masukan yang masuk ke dalam
otak. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks
ke dalam dirinya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya. Setiap
peserta didik secara individual harus dan layak memiliki kemampuan untuk
memperdayakan fungsi-fungsi psikis dan mental yang dimilikinya yaitu
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman yang lalu,
membandingkan dan mengambil sebuah keputusan dan kemampuan yang
lebih menyukai satu dari yang lainnya.
Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen
penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia

14
nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia
secara individual. Bettencourt (Suparno, 1997) mengemukakan bahwa
konstruktivisme tidak bertujuan mengerti hakikat realitas, tetapi lebih hendak
melihat bagaimana proses kita menjadi tahu tentang sesuatu.

2. Prinsip Metode Pembelajaran Konstruktivisme


Suparno (1997) mengemukakan bahwa terdapat empat prinsip
konstruktivisme, yaitu:
a. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang
mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi makna adalah proses
yang terus menerus,
b. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan
pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar
bukanlah hasil perkembangan tetapi perkembangan itu sendiri,
c. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia
fisik dan lingkungannya,
d. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, subjek
belajar, tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan
bahan yang sedang dipelajari.

3. Ciri- Pembelajaran Secara Konstuktivisme


Good & Brophy (Kauchack & Eggen, 1998) mengemukakan bahwa
terdapat empar ciri pembelajaran kontruktivisme secara umum, yaitu:
a. Siswa membangun sendiri pemahamannya
b. Belajar yang baru bergantung pada pemahaman sebelumnya
c. Belajar difasilitasi oleh interaksi sosial
d. Belajar yang bermakna terjadi didalam tugas-tugas belajar mandiri

4. Langkah-Langkah Pembelajaran Kontrutivisme


a. Identifikasi tujuan yaitu tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah
dalam merancang program, implementasi program dan evaluasi.

15
b. Menetapkan isi produk belajar yaitu ditetapkan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
c. Identifikasi dan klarifikasi pengetahuan awal siswa. Identifikasi
pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview dan peta
konsep.
d. Identifikasi dan klarifikasi miskonsepsi siswa. Pengetahuan awal siswa
yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk
menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah,
mana yang salah dan mana yang miskonsepsi.
e. Perencanaan program pembelajaran dan strategi pengubahan konsep.
program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk
modul.
f. Implementasi program pembelajaran dan strategi pengubahan konsepsi.
tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini
terdiri dari tiga langkah,yaitu: (a) orientasi dan penyajian pengalaman
belajar, (b) menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
g. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program
pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar
yang telah diterapkan.
h. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil
evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis
terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun
yang resisten.
i. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. hasil analisis miskonsepsi yang
resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi
pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk modul.

5. Kelebihan Model Konstrutivisme


a. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan

16
menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya,
dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
b. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan
kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas
pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk
merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan
memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
c. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir
tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan
gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
d. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada
siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk
memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks,
baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa
untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
e. Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta
memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan
mereka.
f. Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang
kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling
menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

6. Kelemahan Model Konstruktivisme


Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat
dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya
kurang begitu mendukung.

17
D. Model Pembelajaran Learning cycle (Siklus Belajar)
1. Pengertian Learning cycle
Kulsum dan Hindarto (2011) mengemukakan bahwa learning cycle (siklus
belajar) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
(student centered). Pengembangan model ini pertama kali dilakukan
oleh Science Curriculum Improvement Study (SCIS) pada tahun 1970-1974.
Model ini dilandasi oleh pandangan kontruktivisme dari Piaget yang
berangapan bahwa dalam belajar pengetahuan itu dibangun sendiri oleh anak
dalam struktur kognitif melalui interaksi dengan lingkungannya. Siklus
belajar merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi
sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat menguasai kompetensi-
kompetensi, yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan
aktif. Rahayuningsih, Masykuri, dan Utami (2012) mengemukakan bahwa
siklus belajar merupakan strategi pembelajaran aktif (active learning) yang
dalam pelaksanaannya menuntut siswa untuk terlibat aktif selama proses
belajar mengajar. Dalam pembelajaran dengan learning cycle siswa aktif
bertanya, menjawab, mengerjakan soal ke depan, dan berdiskusi kelompok
untuk memecahkan permasalahan dan menemukan konsep sendiri bersama
kelompoknya.

2. Tipe dan Pengembangan fase-fase dalam learning cycle


Lawson (1995) mengemukakan tiga tipe learning cycle, yaitu:
a. Deskriptif, yaitu para siswa menemukan pola empiris dalam konteks
khusus (eksplorasi); guru memberi nama pada pola itu (pengenalan istilah
atau konsep), kemudian pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain
(aplikasi konsep).
b. Empiris-induksi, yaitu para siswa menemukan pola empiris dalam konteks
khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-
sebab yang mungkin tentang terjadinya suatu pola.

18
c. Hipotesis deduktif, yiatu dimulai dengan pernyataan sebab. Para siswa
diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban hipotesis-hipotesis yang
mungkin pada terhadap pernyataan itu.
Ketiga tipe learning cycle ini menunjukan suatu kontinum dari sains
deskriptif hingga sains eksperimental. Dengan sendirinya ketiga siklus belajar
ini menghendaki perbedaan dalam inisiatif dan kemampuan penalaran siswa.

3. Fase pembelajaran learning cycle


Abell dan Volkmann (Hanuscin & Lee, 2008) mengemukakan bahwa
terdapat lima fase dalam pembelajaran learning ciycle, yaitu:
a. Fase pendahuluan (engagement)
Mempersiapkan diri siswa agar terkondisi dalam menempuh fase
berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide
mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada
pembelajaran sebelumnya. Minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar
tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini
pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang
akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi.
b. Fase eksplorasi (Exploration)
Siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-
kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji
prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui
kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur.
c. Fase penjelasan (explanation)
Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk
menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan
klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi.
Kegiatan pada fase ini bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan dan
mengembangkan konsep yang diperoleh siswa.

19
d. Fase elaborasi (elaboration)
Pada fase ini siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi
baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem
solving (pemecahan masalah).
e. Fase evaluasi (evaluation)
Pada tahap akhir dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase
sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep,
atau kompetensi siswa melalui problem solving dalam konteks baru yang
kadang-kadang mendorong siswa melakukan investigasi lebih lanjut.

4. Kelebihan Siklus Belajar (Learning cycle)


Soebagio (2000) mengemukakan bahwa ditinjau dari dimensi peserta
didik, penerapan strategi learning cycle memberi keuntungan, yaitu:
a. Meningkatkan motivasi belajar karena peserta didik dilibatkan secara aktif
dalam proses pembelajaran.
b. Membantu mengembangkan sikap ilmiah peserta didik.
c. Pembelajaran menjadi lebih bermakna.

5. Kelemahan Siklus Belajar (Learning cycle)


Soebagio (2000) mengemukakan bahwa kelemahan penerapan learning
cycle yang harus selalu diantisipasi, yaitu:
a. Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan
langkah-langkah pembelajaran.
b. Menurut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan
melaksanakan proses pembelajaran.
c. Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi.
d. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun
rencana dan melaksanakan pembelajaran.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

21
DAFTAR PUSTAKA

Amir, M. T. (2010). Inovasi pendidikan melalui problem based learning. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.
Budiningsih, A. (2005). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, S. B. (2002). Psikologi belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Eggen, & Kauchak. (1998). Methods for teaching. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Fakhriyah, F. (2014). Penerapan problem based learning dalam upaya
mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Jurnal Pendidikan
IPA Indonesia,3(1), 95-101.

Hanuscin, D. L., & Lee, M. H. (2008). Using the learning cycle as a model for
teaching the learning cycle to preservice elementary teachers. Journal of
Elementary Science Education, 20(2),51-66.

Kulsum, U. & Hindarto, N. (2011). Penerapan model learning cycle pada sub
pokok bahasan kalor untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa
kelas vii SMP. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7, 128-133. ISSN:
1693-1246.

Lawson, A. E. (1995). Science teaching and development thinking. California:


Wordsworth.Pub.Co.

Muhson, Ali (2009). Peningkatan Minat Belajar dan Pemahaman Mahasiswa


Melalui Penerapan Problem-Based Learning. Jurnal Kependidikan. 39
(2),171-182.

Rahayuningsih, R., Masykuri, M & Utami, B. (2012). Penerapan siklus belajar 5e


(learning cycle 5E) disertai peta konsep untuk meningkatkan kualitas proses
dan hasil belajar Kimia pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan kelas
XI IPA SMA NEGERI 1 KARTASURA tahun pelajaran 2011/2012. Jurnal
Pendidikan Kimia, 1 (1), 51-58.

Soebagio, A. (2000). Manajemen pendidikan. Jakarta: PT Ardadizya.

Subini, dkk. (2012). Psikologi Pembelajaran. Jogjakarta: Mentari Pustaka.

Sudarman. (2007). Problem based learning: Model pembelajaran untuk


mengembangkan dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
Jurnal Pendidikan Inovatif, 2 (2): 68-73.

22
Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Suprijono, A. (2012). Cooperative learning: Teori dan aplikasi PAIKEM.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syah, M. (2004). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Takdir. (2012). Pembelajaran discovery strategy dan mental vocational skill.


Jogjakarta : Diva Press.

23

Anda mungkin juga menyukai