Anda di halaman 1dari 7

KASUS HUKUM PN JAKARTA UTARA DALAM PELAKSANAAN

EKSEKUSI MAKAM MBAH PRIOK

I. Pendahuluan
Eksekusi dari suatu putusan pengadilan kerap menjadi persoalan dalam
masyarakat kita, tidak hanya antar orang-perorang akan tetapi juga antar subjek hukum
yang berbentuk badan hukum maupun antara subjek hukum berbentuk badan hukum
dengan orang-perorang dan kelompok masyarakat.. Tentangan secara fisik dari pihak
yang dikalahkan dalam berperkara menjadi pemandangan dan berita yang kerap kita
dengar.
Dari sekian banyak persoalan eksekusi atas suatu objek sengketa, salah satu
yang amat menyita perhatian masyarakat luas adalah eksekusi atas Makam Mbah
Priok, yang berlokasi di sekitar Terminal Peti Kemas Koja, Jakarta Utara. Eksekusi ini
berujung ricuh yang menelan korban jiwa dan kerusakan harta benda yang tidak sedikit,
baik milik Pemda dan Kepolisian maupun Pihak PT Pelindo II sebagai pengelola
pelabuhan serta beberapa milik pribadi perorangan.
Menarik untuk dikaji, mengapa persoalan eksekusi ini menjadi bentrok fisik
berdarah yang meluas, karena tidak hanya melibatkan ahli waris tetapi juga masyarakat
sekitar dan ormas tertentu. Untuk itu kami akan mencoba mengkaji permasalahan ini
dari sudut pandang sosiologis.

II. Kronolgis Permasalahan


Dalam rangka perluasaan areal terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung
Priok, maka tanah di Jl Dobo seluas 145 Ha yang berdasarkan hak pengelolaan lahan
No.01/Koja Utara tanggal 21 Januari 1987, merupakan hak PT Pelindo II, akan
dibebaskan dari segala bangunan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan
kepelabuhan. Didalam areal 145 Ha tersebut termasuk lokasi pemakaman, dimana
disana terdapat makam Mbah Priok.
Dalam rangka untuk memenuhi target bahwa pada tahun 1997 tanah tersebut
sudah harus bersih dari pemakaman, maka pada bulan Agustus 1997 telah dilakukan
kesepakatan dengan para ahli waris, bahwa makam dan kerangka Mbah Priok
dipindahkan ke TPU Semper. Sedangkan terhadap makam lainnya sebanyak 28.300
kerangka, telah dipindahkan pada tahun 1995 ke TPU Semper atau ketempat lainnya
sesuai permintaan ahli waris.
Pada tahun 1999 dilokasi makam Mbah Priok dibangun pendopo tanpa seizin
dari PT Pelindo II dan tidak dimintakan IMB ke Dinas P2K DKI Jakarta. Dua tahun
kemudian, pada tahun 2001 seorang ahi waris makam Mbah Priok bernama Habib
Muhammad bin Achmad selaku pemegang Hak Eigendom Verponding No. 4341 dan
nomor 1780 mengajukan gugatan melalui PN Jakarta Utara dengan No. Perkara
245/Pdt.G/2001/PN.Jkt.Ut. Majelis Hakim menyatakan gugatan tersebut tidak dapat
diterima dengan pertimbangan hukum, kuasa penggugat tidak sah dan gugatan
penggugat tidak jelas dan kurang pihak.
Pada tanggal 26 Januari 2010 Walikota Jakarta Utara memberitahukan pada
pengelola makam (Habib Al Idrus dan Habib Abdullah Sting) agar membongkar
bangunan liar (pendopo). Perintah tersebut tidak dilaksanakan oleh pengelola makam,
oleh karena itu diberi Surat Peringatan I untuk membongkar bangunan dalam waktu
7X24 jam, namun karena tidak ditanggapi maka diberi Surat Peringatan II agar
membongkar secara sukarela bangunan tersebut dalam waktu 3x24 jam, jika tidak
dilaksanakn akan dibongkar paksa.
Pembongkaran secara sukarela sampai dengan surat peringatan ke II juga tetap
tidak dilaksanakan oleh pengelola makam, oleh karena itu pada tanggal 14 April 2010
Pemda mengerahkan 4.000 satpol PP dan 640 polisi untuk membongkar bangunan
pendopo tersebut. Namun areal makam telah dijaga oleh warga dan petugas yang
hendak melakukan pembongkaran dihadang oleh warga serta beberapa ormas tertentu,
sehingga kemudian terjadi bentrok fisi yang mengakibatkan beberapa orang meninggal
dunia dan ratusan korban luka-luka serta terjadi pembakaran terhadap aset milik
pemerintah.
III. Latar Belakang Konflik
PT Pelindo II sebagai pengelola pelabuhan terikat pada ketentuan-ketentuan
internasional dalam pengelolaan pelabuhan. Salah satu ketentuan yang harus
dilaksanakan adalah International Ship and Port Security (ISPS) Code, yaitu ketentuan
yang mengatur mengenai keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. ISPS Code ini telah
disahkan dalam konvensi SOLAS-IMO pada tanggal 12 Desember 2002 di London,
dan berlaku mulai 1 Juli 2004 diseluruh pelabuhan di dunia.
ISPS Code merupakan bagian dari Konvensi Safety Life of Sea (SOLAS) 1974
yang mengatur pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan di seluruh dunia, Indonesia
sebagai anggota telah meratifikasi SOLAS 1974, melalui Kepres No. 65 tahu 1980,
sehingga wajib menerapkan ketentuan tersebut.
Pelaksanaan pengawasan ISPS Code dilalukan oleh US Coast Guard. Pada
tanggal 24 Agustus 2007 Tim US Coast Guard melakukan inspeksi ke Terminal Peti
Kemas Koja. Hasilnya Tim tersebut menyatakan dalam hasil assessment-nya bahwa
Terminal Peti Kemas Koja termasuk dalam kategory Facilities Not Significantly
Implementing the ISPS Code.
Dimasukkannya Terminal Peti Kemas Koja dalam kategori tersebut adalah
karena Tim melihat banyaknya orang lalu lalang di area Terminal Peti Kemas Koja,
yang ternyata adalah peziarah makam Mbah Priok. Dengan demikian masuknya orang-
orang dan para penziarah tersebut merupakan gangguan bagi keamanan fasilitas
pelabuhan, sehingga Terminal Peti kemas Koja gagal sebagai pelabuhan dengan
kategori memenuhi ISPS Code.
ISPS Code berkaitan dengan Undang-Undang di Amerika Serikat, yaitu The
Maritime Transportation Security Act of 2002 (MTSA) yang memberi mandat kepada
US Coasy Guard untuk mengevaluasi efektivitas upaya anti terorisme di pelabuhan-
pelabuhan luar negeri dan mengatur ketentuan masukbagi kapal-kapal yang akan
masuk Asdari negara-negara yang tidak memenuhi standar ISPS.
Konsekwensi dari hasil assessment Tim US Coast Guard adalah pemberlakuan
PSA (Port Security Advisory) I-08. Yaitu melakukan seperangkat prosedur keamanan
ekstra yang harus dilakukan dipelabuhan yang bersangkutan agar kapal-kapal yang
berlabuh dipelabuhan tersebut dapat diterima masuk di pelabuhan-pelabuhan AS. Jika
suatu kapal singgah dipelabuhan Koja, dan akan melakukan perjalanan ke AS maka 4
pelabuhan berikutnya harus menerapkan PSAI I-08. Hal ini akan merepotkan pihak
kapal, menambah biaya dan pada akhirnya akan banyak kapal yang enggan berlabuh
di Pelabuhan Koja. Hal ini juga merugikan bagi kapal-kapal berbendera Indonesia
karena dianggap tidak aman.
Oleh karena itu PT Pelindo II dan Pemda berupaya untuk memindahkan areal
makam di Koja ke TPU lain sehingga daerah tersebut steril dari lalu lalang orang yang
tidak berkepentingan. ISPS Code mau tidak mau harus diterapkan dalam pelabuhan
terminal peti kemas Koja, karena hal ini akan mempengaruhi kelancaran perdagangan
luar negeri dan pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi..

IV. Analisis Permasalahan di Tinjau dari Sudut Sosiologis


Konflik yang terjadi antara masyarakat Koja yang berusaha mempertahankan
keberadaan Makam Mbah Priok dengan lembaga pemerintah yang berusaha untuk
memindahkan makam tersebut didasari karena adanya kepentingan yang berbeda.
Pemerintah dan PT Pelindo II, berkepentingan untuk memindahkan areal tersebut
karena terkait dengan persyratan keamanan pelabuhan dan pertimbangan untuk
kepentingan ekonomi masyarakat secara keseluruhan, sedangkan masyarakat
berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan makam tersebut sebagai makam
orang yang dihormati dan memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada konflik. Apa
sebenarnya konflik?. Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan
pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam
satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang lain
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia.
Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal, yaitu konflik dan
kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia.1
Salah satu fungsi lembaga hukum adalah sebagai sarana untuk penyelesaian
konflik. Sehingga konflik dapat diselesaikan secara baik, entah melalui musyawarah,
mediasi atau pun melalui pengadilan.
Permasalahan yang terjadi di Pelabuhan Terminal Peti Kemas Koja, adalah
persoalan Efektivitas Hukum. Pertanyaan yang muncul mengapa putusan pengadilan
(sebagai sarana penyelesaian konflik) yang menetapkan bahwa areal seluas 145 Ha
tersebut, dimana didalamnya termasuk areal pemakaman Mbah Priok, yang secara sah
menurut peraturan perundang-undangan adalah menjadi hak PT Pelindo II tidak dapat
di eksekusi. Mengapa pelaksanaan Eksekusi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum, dalam hal ini adalah satpol PP dan Polisi yang dilakukan berdasarkan
kewenangannya justru ditentang oleh masyarakat.
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan
daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat
terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang
harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan
berlaku secara filosofis.2
Dilihat secara yuridis, putusan PN Jakarta Utara tersebut telah memenuhi
syarat, yaitu dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dalam memutus perkara dan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena sampai dengan batas waktu yang
ditentukan para pihak tidak mengajukan banding. Demikian pula dengan perintah
bongkar pendopo yang dikeluarkan oleh Pemda Jakarta Utara, juga secara yuridis telah
memenuhi persyaratan karena dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk
menertibkan bangunan sesuai peraturan perundang-undangan.
Jika secara Yuridis telah memenuhi syarat, maka bagaimana secara sosisologis
dan secara filosofis?. Secara sosiologis maka putusan hakim dan tindakan aparat

1
http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_6_KONFLIK_SOSIAL
2
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali. M.A., Sosiologi Hukum,( Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 63.
pemerintah memenuhi syarat. Putusan hakim yang secara mutlak memenangkan PT
Pelindo II, tidak melihat kenyataan hidup masyarakat kita. Masyarakat kita pada
umumnya dan terutama yang beragama Islam, amat memegang teguh simbol-simbol
agama Islam. Bahkan seorang muslim yang jika dilihat dalam kehidupan sehari-harinya
jauh dari ajaran syariah, ketika dihadapkan pada tindakan orang lain yang merendahkan
dan menghina simbol-simbol agamanya, akan dengan sukarela melawan dengan
mengerahkan segala daya yang dimilikinya bahkan nyawa sekalipun. Apalagi
masyarakat kita yang secara taat menjalankan keyakinannya, tentu akan berupaya lebih
dari itu.
Masyarakat kita mempunyai keterikatan yang erat dengan tempat kelahirannya
dan memiliki ikatan bathin yang kuat dengan tanah dimana dia dilahirkan dan hal-hal
yang berkaitan erat dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Kita sering
menyebutnya sebagai adat, masyarakat kita mempunyai keterikatan yang erat secara
genealogis. Makam Mbah Priok, secara turun temurun tetap dijaga oleh orang-orang
yang masih mempunyai ikatan kerabat, sehingga makam tersebut tetap bertahan hingga
kini.
Inilah kenyataan sosial yang sebenarnya harus dilihat hakim dalam memutus
perkara dan harus dilihat juga secara lebih jernih bagaimana hukum kebiasaan yang
berlaku dimasyarakat. Karena masyarakat adalah merupakan salah satu sumber hukum.
Secara filosofis, tentu kita dapat menyimpulkan secara sederhana bahwa
putusan dan tindakan aparat pemerintah tidak memenuhi syarat filosofis. Tidak
mengindahkan nilai-nilai hak masyarakat dan tindakan yang seharusnya bisa dilakukan
secara persuasif dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan.

IV. Penutup
Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali. M.A., Sosiologi Hukum,( Jakarta: Sinar Grafika, 2010).

http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_6_KONFLIK_SOSIAL

Anda mungkin juga menyukai