Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring


Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring,
faring, trakea dan bronkus (Pribuisine et al. 2002). Istilah refluks
laringofaring pertama kali dipublikasikan oleh majalah Otolaryngology
pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip oleh Alberto
(2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada
laring akibat adanya paparan cairan asam lambung.

Refluks laringofaring disebut juga extraesophageal reflux,


supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux
laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease (Belafsky et al. 2007).

Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan


positif intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun
laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan
karena adanya Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation
(TLESR). TLESR dirangsang oleh distensi lambung, terutama pada masa
postprandial dan diaktivasi oleh stretch reseptor pada dinding lambung.
Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus vagus ke
nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter
bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron
yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang
tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara independen dari proses
menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter
bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi pada postprandial
dan posisi upright (Andersson 2009).

2.1.1 Komponen refluks

Universitas Sumatera Utara


Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di
daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin
dengan asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya
yang berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada
percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif
dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. (Andersson
2009)
Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan.
Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan
sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk
campuran gas dan cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan
penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks
laringofaring (Andersson 2009).

2.1.2 Mekanisme proteksi.


Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter
bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya
gravitasi, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford
2005).

Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan


baik antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu
memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi
serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan,
sfingter bawah esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari
sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot
polos, saraf dan hormon. Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk
menutup secara primer disebabkan karena adanya aktifitas otot polos
intrinsik (Kahrilas 2003).

Persyarafan otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan


sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain

Universitas Sumatera Utara


dapat membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta
bloker dalam meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan
blokade alfa adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan
tekanan sfingter bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya
berperan dalam menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus.
Peranan hormon dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah
esofagus masih menjadi perdebatan yang menarik. Gastrin diduga
berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter bawah esofagus,
sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar 80%
pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi
oleh bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan
yang mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah
esofagus, sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan
sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).

Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation disingkat TLESR


merupakan mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks.
TLESR terjadi akibat adanya penurunan mendadak tekanan sfingter
esofagus bagian bawah yang tidak berhubungan dengan proses menelan
atau peristaltik. Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen
yang normal, frekuensi episode refluks meningkat karena insufisiensi
tonus sfingter bawah esofagus oleh mekanisme frekuensi relaksasi yang
abnormal. Refleks vasovagal disusun oleh mekanoreseptor aferen
dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan dibatang otak dan
eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR. Distensi
abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang
abnormal atau pada saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR.
Posisi yang menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah
permukaan batas air dan udara di lambung juga diduga menyebabkan
terjadinya refluks. Faktor lain yang mempengaruhi dinamika tekanan dan
volume lambung adalah gerakan, ketegangan, obesitas, volume yang

Universitas Sumatera Utara


berlebihan atau makanan yang hiperosmolar dan peningkatan usaha
pernafasan saat batuk maupun wheezing ( Lipan, Reidenberg & Laitmann
2006; Andersson 2009).

Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter


bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang
rendah, (2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun
tidak menelan dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di
lambung atau kombinasi antara (1) dan (2) (Lipan, Reidenberg & Laitmann
2006).

Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized


yang terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan
germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks
asam adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan.
Resistensi jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3
bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel
berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan lapisan
cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana
menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah
dibandingkan pada lambung maupun duodenum. Lapisan epitel berada di
apical dari membran dan kompleks junction. Berfungsi untuk
mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke intercelluler space. Pada
keadaan esofagitis, kompleks junction akan mengalami kerusakan, saat
itulah terjadi peningkatan ion H+ sehingga menyebabkan dilatasi dari
intercelluler space. Pertahanan pada post epitel berupa asam yang
-
berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO 3 didalam sel dan
intercelluler space. Suplai darah berfungsi mengangkut ion HCO 3 -. Ion
Na+ yang berikatan dengan Cl- atau ion HCO 3 - akan bertukar tempat di
basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke
sel cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan
diperbaiki melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu

Universitas Sumatera Utara


oleh hormon epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu
30 menit setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Orlando
2006).

Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa


carbonic anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra
dan ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian
esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel
untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka
karbonik anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11
jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak
maupun lokasi di jarigan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi
didalam epitel esofagus. Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis
sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk
meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati
nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan
pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan
kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks
laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang signifikan di
epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel
komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis
dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam
lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada
komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan
epitel (Koufman et al. 2006; Ford 2005).

Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian


kecil serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan
pertahanan utama terhadap terjadinya refluks laringofaring (Lipan,
Reidenberg & Laitman, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi
faring, distensi esofagus dan intraesophageal infusion melalui jalur vagal
eferen. Keadaan lain yang dapat meningkatkan tekanan sfingter atas
esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan
saat melakukan valsava ( Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat


deglutisi, ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat
terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang
mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi
laring kearah anterosuperior (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

2.1.3 Kekerapan
Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer
et al. ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks
laringofaring antar 15% sampai 20%. Dan diperkirakan hampir 15% dari
pasien yang mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari
refluks laringofaring ( Qadeer et al. 2005).
Dari penelitian Belafsky et al. (2001) didapatkan rata-rata umur dari
pasien dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita,
nilai rata-rata RFS 11,55,2 dan nilai rata-rata RSI 19,38,9. Carrau et al.
(2004) mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring
48 tahun dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002)
mendapatkan rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun,
dimana 56% adalah pria, rata-rata nilai RSI 20,9 9,6.

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi refluks gastro-esofago-laringofaring terjadi karena


rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya
cairan asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas yaitu sfingter

Universitas Sumatera Utara


bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa
esofagus dan sfingter atas esofagus (Ford 2005).

Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung


dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal.
Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan
jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus
menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi
bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing)
dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal
ini mungkin saling berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa
langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan
berdehem (chronic throat clearing) dan batuk ( Andersson 2009).

Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling


berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi
pada cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati
esofagus tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa
laring yang sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih
sensitif terhadap asam, pepsin yang teraktivasi dan garam empedu dari
pada mukosa esofagus (Andersson 2009).

Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit


refluks laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al (2002)
menyatakan satu kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal
ini berdasarkan penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan
pepsin selama 1 minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa
laring.

Universitas Sumatera Utara


2.1.5 Diagnosis

a. Anamnesis

Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip


oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari hasil
anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing (98%),
batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok
(95%) dan suara parau (95%).

b.Gejala Klinis

Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit refluks


laringofaring, Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin (2008) membuat
sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan indeks gejala
refluks ( Reflux Symptom Index = RSI). RSI mudah dilaksanakan ,
mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta dapat diselesaikan
dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen
bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5
(keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13
dicurigai penyakit refluks laringofaring (Belafsky et al. 2002; Tamin 2008).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Indeks Gejala Refluks (RSI)

Reflux Symptom Index (RSI)


Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita 0 = tidak,
5 = sangat berat
1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5
2 Clearing your throat (sering mengeluarkan 0 1 2 3 4 5
lender tenggorok/ mendehem)
3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5
4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5
6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5
7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, regurgitasi asam
Sumber : Belafsky et al. ( 2002)

Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring


adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding
posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara,
contact ulcer, stenosis subglottis (Andersson 2009).

Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks


laringofaring. Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang
dikutip oleh Tamin (2008), yaitu Reflux Finding Score (RFS) yang
merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya
gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan
nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Skala ini bervariasi dari nilai 0
(tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang

Universitas Sumatera Utara


terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan
penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and
intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen
bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian
yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks
(Belafsky et al. 2001; Tamin 2008).

Tabel 2.2. Skor Refluks (RFS)

Reflux Finding Score (RFS)


Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada
2 = ada
Ventrikular obliterasi 2 = parsial
4 = komplit
Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid
4 = difus
Edema pita suara 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
Edema laring difus 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada
2 = ada
Mukus kental endolaring 0 = tidak ada
2 = ada
Sumber : Belafsky et al. ( 2001)

Universitas Sumatera Utara


Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi
laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al
(2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan
pseudosulkus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga
ke daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar 2.1.

Gambar. 2.1 : Pseudosulcus vocalis (Pham 2009).

Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang
terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria.
Keadaan lain seperti ventricular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat
terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti
tampak pada gambar.

Gambar 2.2 : Ventrikular obliterasi (Pham 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3 : Eritemia/ hiperemia (Pham 2009).

Gambar 2.4: Edema pita suara (Pham 2009).

Gambar 2.5 : Edema laring (Pham 2009).

Universitas Sumatera Utara


Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit
nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya
mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring
skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema
tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan bentuk pita suara sudah tidak halus
atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4.

Gambar 2.6 : Hipertrofi komisura posterior (Pham 2009).

Gambar 2.7: Granuloma (Pham 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.8 : Mukus kental endolaring (Pham 2009).

Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura


posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang
jelas dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan
menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah
menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada
tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka
skor 2 (Belafsky et al. 2002).

c. Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling


dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah
elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas
sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esophagus
(Merati et al. 2005; Andersson 2009).

Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis


refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal
dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes
ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat
bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi
diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH.
Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas (Knight 2005).

d. Tes PPI

Universitas Sumatera Utara


Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai
tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara
diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek
terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14
hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan
pemeriksaan pH metri 24 jam (Tamin 2008).

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa:

a. Perubahan Pola Hidup


Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk
mendiagnosis keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera
disarankan untuk mengubah pola hidup dan pola makan,
diantaranya adalah menghentikan kebiasaan merokok dan minum-
minuman beralkohol, mengurangi berat badan yang berlebih,
membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat, lemak,
citrus, minum minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu
makan malam yang berdekatan dengan waktu tidur (Ford 2005).

b. Medikamentosa
Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI seperti
omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan
rabeprazole. Obat lain yang sering digunakan dalam pengobatan
refluks laringofaring adalah antagonis H2 receptor seperti
cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang berfungsi
mengurangi sekresi asam lambung. Prokinetik agen seperti
cisapride, metoclopramide yang berfungsi mempercepat
pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan sfingter bawah

Universitas Sumatera Utara


esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi
melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida juga dapat
diberikan seperti alumunium hidroksida, magnesium hidroksida
atau sodium bikarbonat yang dapat berfungsi mengurangi gejala
refluks (Ford 2005).

Proton pump inhibitor merupakan obat anti refluks paling efektif


yang berfungsi menekan produksi asam lambung dibandingkan
dengan antagonis reseptor H 2 , dengan cara menghalangi kerja H+/
K+ ATP ase dijalur akhir produksi asam dari sel parietal.
Rangsangan pada sel parietal akan mengeluarkan enzim dari
tubule vesicles cytoplasmatic ke membran kanalis sekretorius.
Proses ini sangat erat hubungannya dengan transport K+/ Cl-
terhadap pergerakan ion potassium ke permukaan luminal dari
enzim. Perpindahan asam dari kanalikulus ke dalam lumen kelenjar
dimulai pada mukosa lambung. Proses pengasaman ini dibentuk
diantara sel sitoplasma parietal dan kanalikulus. Tingginya kadar
pH terjadi pada proses diantara sel parietal dan kanalikulus,
sehingga kerja PPI pada daerah ini dapat mengurangi tingginya
kadar pH lambung (Olbe et al. 2003; Ford 2005).

Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat


dengan mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi
dalam keadaan asam, mempunyai waktu paruh yang relatif
pendek(kira-kira 1- 2 jam) dan mempunyai masa durasi yang
panjang (Olbe et al. 2003).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3. Profil farmakokinetik proton pump inhibitor (Vanderhoff &
Tahboub 2002)

Profil farmakokinetik PPI


Omeprazol Lansoprazol Pantoprazol
Rabeprazole
e e e
Bioavaibility (%) 30-40 80-85 52 77
Waktu
konsentrasi
0,5-3,5 1,7 1,0-2,0 1,1-3,1
puncak plasma
(jam)
Waktu paruh
eliminasi plasma 0,5-1,0 1,3-1,7 1,0-2,0 1,0-1,9
(jam)
Protein binding
95 97 96 98
(%)
Ekskresi urin (%) 77 14-23 30-35 71-80

c. Pembedahan
Intervensi pembedahan perlu segera dipertimbangkan bila dalam
pemberian terapi tidak memberikan respon yang signifikan.
Pendekatan yang biasa digunakan seperti partial atau complete
fundoplication (Ford 2005).

Menurut survey American Bronchoesophageal Association, penderita


dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan menggunakan
instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7, segera penderita diberi
tes terapi empiris dengan proton pump inhibitor (PPI) disertai perubahan

Universitas Sumatera Utara


pola hidup dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3
bulan. Bila keadaan umum penderita membaik, maka pemberian PPI
dapat dikurangi secara perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita
mengalami perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi
dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama kurang lebih 6 bulan,
namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka pemeriksaan
multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan transnasal
esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan
kontras barium dapat segera dilakukan (Ford, 2005).
Penilaian Awal Pasien dengan LPR

Reflux Symptom Index (Riwayat Gejala) > 13


dan
Reflux Finding Score (Laringoskopi) > 7

Uji Terapeutik Empiris


Pola Hidup
Diet

Penilaian selama 3 bulan

Gejala Teratasi Gejala Membaik


Gejala Tetap atau Memburuk

Terapi PPI Titrat Peningkatan dosis PPI


Lanjutkan Modifikasi Pola
Hidup dan Diet

Penilaian selama 6 bulan

Gejala Gejala Tidak


Teratasi Teratasi

Terapi PPI Penilaian Definitif


Titrat Monitoring pH (Penilaian Reflux)
TNE atau EGD (Dokumentasi Patologis)
Manometry (Penilaian Etiologi)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.9. Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks
laringofaring berdasarkan American Medical Association(Ford, 2005).

2.2 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Refluks Laringofaring

Evaluasi kualitas hidup sangat penting pada penilaian keberhasilan


terapi medis. Kualitas hidup digunakan untuk mendeskripsikan
kemampuan menjalani kehidupan yang produktif secara ekonomi dan
sosial, tidak semata-mata menyangkut masalah kesehatan saja. Kualitas
hidup yang terkait dengan kesehatan (Health related quality of life)
mengacu kepada berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup, bersifat individual dan dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan,
harapan serta persepsi seseorang (Shaw & Crawley 2003).

Penilaian mengenai kualitas hidup banyak dilakukan dengan


menggunakan penilaian yang sudah menjadi standar Health Related
Quality of Life (HRQL) seperti kuesioner kualitas hidup secara umum
berupa The Short Form Nottingham Health Profile (SF 36). SF 36
berisikan 8 domain, antara lain fungsi fisik (physical function),
keterbatasan fisik (role limitation, physical), rasa nyeri (bodily pain),
persepsi kesehatan secara umum (general health perception), vitalitas
(vitality), fungsi sosial (social function), keterbatasan mental (mental
health) yang dapat menggambarkan kesehatan penderita secara
keseluruhan (Tamin, 2008). Pengukuran kualitas hidup dengan SF 36
pada penderita penyakit refluks laringofaring hanya menggambarkan
kesehatan penderita secara keseluruhan, yang merupakan kelemahan SF
36 (Tamin, 2008).

Keluhan utama yang mempengaruhi pasien dengan penyakit refluks


laringofaring adalah problem suara, batuk kronik berulang, dan sering
mengeluarkan lendir tenggorok serta sensasi globus yang sering
menimbulkan masalah di lingkungan sosial dan pekerjaan berupa problem

Universitas Sumatera Utara


psikologi, emosi dan sosial (Lenderking et al. 2003). Amouretti membuat
suatu instrument penilaian kualitas hidup spesifik terhadap GERD yang
disebut RQS (Reflux Qual Short Form) dan merupakan cara penilaian
kualitas hidup yang singkat, dipercaya, mempunyai nilai validitas dan
reabilitas yang baik serta sensitif terhadap perbedaan intra dan ,inter
subyek (Amouretti 2005). Reflux Qual Short Form menilai kualitas hidup
di 5 domain yaitu kehidupan sehari hari (daily life), kenyamanan (well
being) , gangguan psikologis (psychological impact), tidur (sleep) dan
makan (eating). Skor RQS di hitung dengan rata-rata jumlah skor dari 8
item dikalikan dengan 25. Hasilnya dari 0 yang berarti kualitas hidup yang
paling rendah sampai 100 yang merupakan kualitas hidup yang paling
tinggi (Amouretti, 2005).

LEMBAR PENILAIAN KUALITAS HIDUP REFLUX QUAL SHORT (RQS)


FORM

1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terganggu dengan keluhan


anda ketika sedang bekerja atau mengerjakan tugas sehari-hari?
o 4 Tidak sama sekali
o 3 sedikit
o 2 kadang
o 1 cukup terganggu
o 0 sangat terganggu
2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda mengurangi atau membatasi
pekerjaan karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu

Universitas Sumatera Utara


3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa nyaman dengan
kehidupan anda walaupun anda mengalami keluhan ini?
o 0 Tidak sama sekali
o 1 sedikit
o 2 kadang
o 3 cukup nyaman
o 4 sangat nyaman
4. Dalam 1 bulan terakhir, dengan keluhan anda ini apakah anda
dapat menikmati makanan anda?
o 0 Tidak pernah
o 1 jarang
o 2 kadang
o 3 sering
o 4 setiap waktu

5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa cemas karena


keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu
6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menjadi mudah marah karena
keluhan anda?
o 4 Tidak pernah

Universitas Sumatera Utara


o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu
7. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terbangun pada malam hari
karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu

8. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menghindari makanan


tertentu karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu

Universitas Sumatera Utara


2.3 Kerangka Teori
Cairan Lambung

Sfingter atas dan bawah esofagus


Resistensi mukosa esofagus
Fungsi motorik mukosa esofagus
Refluks laringofaring
-umur
-jenis kelamin Pola Hidup
- BMI

Gejala Klinis (RSI): Tanda patologis laring (RFS)


Suara serak Edema subglotik/ pseudosulcus vocalis
Throat clearing Ventricular obliterasi
Mucus berlebihan / post nasal drip Eritemia / hyperemia
Kesukaran menelan Edema pita suara
Batuk setelah makan/ berbaring Edema laring difus
Kesukaran bernafas/ chocking Hipertrofi komisura posterior
Batuk yang mengganggu Granuloma/ jaringan granulasi
Rasa mengganjal di tenggorok Mukus kental endolaring
Heartburn, rasa nyeri didada, gangguan pencernaan,
i i

Kualitas Hidup

pH metri
Tes PPI (+)

Penyakit Refluks laringofaring

Perubahan pola hidup


Diet
Terapi PPI

Gambar 2.10 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


2.4 Kerangka Konsep

RSI > 13
-Umur
-Jenis kelamin
-Keluhan utama PPI Kualitas Hidup II
LPR
-Tingkat RSI
Pendidikan RFS
- BMI
RFS > 7

Kualitas Hidup I

Gambar 2.11. Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan kualitas hidup pada penderita refluks laringofaring


sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di poliklinik THT-KL RSUP.
H. Adam Malik Medan

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai