Anda di halaman 1dari 1

Judul :

Penulis : Ezi Qurnia


Tema : Menceritakan keadaan masyarakat Simeulue pada masa kesultanan Aceh/Kolonial belanda
dari sudut pandang seorang penulis keturunan indo-eropa yang ditugaskan oleh Sultan Muhammad
Syiah.

Langit biru mulai berubah kemerahan pertanda akhirnya satu hari melelahkan ini, aku berjalan
menuju bagian belakang kapal dan melihat matahari dan garis cakrawala yang hanya berjarak
beberapa jengkal lagi untuk bertemu. Sembari duduk dan membaca buku yang ditulis dengan aksara
arab dengan aksen melayu, angin laut bertiup pelan ke wajahku, aku dapat merasakan sedikit
goyangan kapal karena ombak, burung-burung laut saling bersahutan, begitupun suara dari
keramaian pasar pelabuhan ini, sudah berjam-jam aku menunggu untuk menginjakkan kaki lagi di
tanah sumatera ini tapi kapten kapal masih mengurus perizinan setelah tadi pagi saat memasuki
perairan Aceh, kapal yang ku naiki hampir ditenggelamkan meriam karena dicurigai sebagai kapal
belanda.
Seseorang keluar dari pintu kabin dekat tempatku duduk.
"Huh, ini semua karena para pedagang belanda melanggar perjanjian yang mereka buat. Kalau tidak,
aku sudah tak lagi disini dan menikmati daratan setelah berminggu-minggu diayun di lautan." Kata
seorang penumpang Eropa yang posisinya sama sepertiku.
"Perjanjian Siak itu berpengaruh besar semenjak dibukanya terusan suez dan Aceh menjadi jalur
perdagangan penting." Kataku sambil sedikit tersenyum.
Dia kemudian berjalan ke tepian kapal.
"Hei, kupikir kamu sudah bisa mempersiapkan barang. Kru kapal sudah melempark tali ke dermaga."
Katanya sambil berjalan kembali menuju kabin.
"Baiklah." Aku langsung menutup buku yang kubaca.
...
Aku mengangkat 2 buah tas jinjing besar berisi buku-buku dan sebuah karung yang ku pikul dan
turun dari kapal. Begitu aku berhasil menginjakkan kaki di tanah Aceh, saat itu pula semacam
perasaan rindu selama 7 tahun terbayarkan. Namun saat ini Aceh sudah lebih dari sekedar pusat
perdagangan, pasar yang dahulu kecil kini sudah menjadi sangat besar, orang-orang dari berbagai
belahan dunia beserta budayanya ada disini dan suasana ini menujukkan jika saat ini Aceh memiliki
perputaran uang yang lancar.
Seperti yang dituliskan oleh Sultan di suratnya, aku belum boleh pulang menuju kampung
halamanku. Saat aku turun, Seseorang yang berjanggut namun tampak masih muda berdiri disebelah
sebuah kereta kuda, ia berpakaian ala para wali aceh dengan ikatan sampin. Orang itu tampak
sangat berbeda dengan tujuh tahun yang lalu, tapi aku tau persis bahwa itu adalah orang yang sama
dengan tujuh tahun yang lalu. Ialah sahabatku Ahmadi Ali Arifin atau sekarang namanya adalah
Syekh Arifin. Perasaan nostalgia tak terbendung lagi, aku langsung berpelukan layaknya sahabat
dengannya sambil tertawa karena saling melihat perubahan yang kami alami satu sama lain.
"Hahaha, assalamualaikum sahabatku!" Kataku sambil tertawa terbahak bahak.
"Waalaikum salam! Eh, kau kah ni Rafi?!" Ia pun tertawa melihatku

Anda mungkin juga menyukai