Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT

Pterigium

Disusun oleh:

Nawar Najla Mastura (1102010204)

Preseptor:

dr. Hj. Elfi Hendirati, SpM

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

2015
BAB I
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
No CM : 7153xx
Tanggal : 25 Juni 2014
Nama : Ny. Khoeriah
Umur : 45 tahun
Alamat : Bayongbong
Pekerjaan : Buruh Tani

ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 25 Juni 2015
pukul 13.30 WIB di Poliklinik Mata RSU dr.Slamet Garut

Keluhan Utama : Terdapat selaput pada mata kiri


Anamnesa Khusus : Pasien perempuan 45 tahun datang ke Poliklinik Mata RSU dr. Slamet
Garut dengan keluhan terdapat selaput pada mata kiri sejak 1 tahun SMRS, dirasakan
memberat sejak 5 bulan SMRS. Keluhan seperti ada yang mengganjal pada mata kiri yang
menjalar ke bola mata. Awalnya selaput hanya berada di ujung mata tetapi lama kelamaan
menjalar ke arah bola mata. Keluhan mata merah, berair, gatal pada mata kiri diakui pasien.
Keluhan disertai penglihatan buram pada mata kiri sejak 1 tahun SMRS, dirasa memberat
sejak 2 minggu SMRS. Pasien mengaku keluhannya semakin memberat jika terkena sinar
matahari dan debu. Keluhan penglihatan dobel disangkal pasien. Riwayat trauma seperti
tertusuk atau terbentur pada mata disangkal pasien. Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat
apapun. Pasien sering beraktivitas di luar rumah, yaitu di sawah memakai topi tetapi tidak
memakai kacamata pelindung.

Anamnesa Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini
Riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga disangkal

2|Case Mata Pterigium


Riwayat Hipertensi dalam keluarga disangkal
Riwayat menggunakan kacamata pada keluarga disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat menggunakan kacamata disangkal
Riwayat trauma pada mata disangkal
Riwayat penyakit mata lain sebelumnya disangkal
Riwayat menggunakan obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai buruh tani. Pasien tinggal bersama suami dan anaknya. Pembiayaan
pengobatan pasien menggunakan umum.

Kesan : Sosial ekonomi cukup

Riwayat Gizi
Pasien mengaku makan dengan frekuensi tiga kali sehari. Pasien biasa makan dengan nasi
menggunakan lauk daging ayam atau ikan, dan menggunakan sayur. Pasien jarang
mengkonsumsi susu.

Kesan: Gizi cukup

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 13.30 WIB di Poli Mata RSUD Dr. Slamet
Garut.

Status Praesens
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis GCS=15

3|Case Mata Pterigium


Tanda vital : TD : 120/70 mmHg Suhu : 360C
Nadi : 80 x/menit RR : 20 x/menit
Pemeriksaan fisik : Kepala : Normocephale
Thoraks : Cor : tidak ada kelainan
Paru : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan

1. Status Oftalmologis

Visus OD OS
SC 1,0 0,5
CC - -
STN - Pinhole tidak maju
Koreksi - Koreksi tidak maju
ADD - Koreksi tidak maju
Erakan bola mata Baik kesegala arah Baik kesegala arah

Pemeriksaan Subjektif

Pemeriksaan Eksternal
OD OS

Pterigium

OD OS
Palpebra superior T.A.K T.A.K
Palpebra inferior T.A.K T.A.K
Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur
Ap. Lakrimalis T.A.K T.A.K

4|Case Mata Pterigium


Konj. Tarsalis superior Tenang Tenang
Konj. Tarsalis inferior Tenang Tenang
Konj. Bulbi Tenang Terdapat jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga pada bagian nasal
yang melewati limbus kornea
Kornea Jernih Terdapat jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga melewati 2 mm
limbus kornea, stockers line (+)
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, ditengah Bulat, ditengah
Diameter pupil 3 mm 3 mm
Reflex cahaya
Direct + +
Indirect + +
Iris Coklat, sinekia (-) Coklat, sinekia (-)
Shadow test - -
Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan Biomikroskop (Slit Lamp)

OD OS
Silia T.A.K T.A.K
Konjungtiva superior Tenang Tenang
Konjungtiva inferior Tenang Tenang
Kornea Jernih Terdapat jaringan
fibrovaskular berbentuk
segitiga melewati 2 mm
limbus kornea, stockers line
(+)
COA Sedang Sedang

5|Case Mata Pterigium


Pupil Bulat Bulat
Iris T.A.K, coklat T.A.K. coklat
Lensa Jernih Jernih
Tonometri 5/5,5 = 17,3 6/5,5 = 14,6 mmHg

Pemeriksaan Funduscopy

OD OS
Dalam batas normal Lensa Dalam batas normal
Jernih Vitreus Jernih
Refleks fundus (+) Fundus Refleks fundus (+)
Bulat, batas tegas Papil Bulat, batas tegas
0,3-04 CDR 0,3-04
2-3 A/V Retina Sentralis 2-3
Eksudat (-) Retina Eksudat (-)
Perdarahan (-) Perdarahan (-)
Edema (-) Edema (-)
Refleks fovea (+) Makula Refleks fovea (+)

RESUME

Pasien perempuan 45 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUD dr. Slamet Garut dengan
keluhan terdapat selaput pada mata kiri sejak 1 tahun SMRS, dirasakan memberat sejak 5
bulan SMRS. Keluhan seperti ada yang mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar
ke bola mata (+), mata kiri merah, berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena sinar
matahari dan debu. Penglihatan buram (+) pada mata kiri. Penglihatan dobel (-) Riwayat
trauma/infeksi pada mata (-). Riwayat konsumsi obat (-). Riwayat kebiasaan sering
beraktivitas di luar (+) dengan mengggunakan topi dan tanpa memakai kacamata pelindung.

6|Case Mata Pterigium


Status Genaralisata : dalam batas normal
Status Oftalmologis :

Oculus Dexter Oculus Sinister


1,0 VISUS 0,5
- STN Pinhole tetap
- Koreksi Koreksi tidak maju
Tenang KONJUNGTIVA Terdapat jaringan
BULBI fibrovaskular berbentuk
segitiga pada bagian
nasal yang melewati
limbus kornea
Jernih KORNEA Terdapat jaringan
fibrovaskular berbentuk
segitiga melewati 2
mm limbus kornea,
stockers line (+)

7|Case Mata Pterigium


DIAGNOSIS KERJA
- Pterigium grade II OS

DIAGNOSIS BANDING
- Pinguekula OS
- Pseudopterigium OS

TERAPI
Rencana Pemeriksaan
- Pemeriksaan Sonde
- Pemeriksaan Histologi
- Pemeriksaan Laboratorium : Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, BT, CT
- Pemeriksaan Kimia darah: Glukosa sewaktu
- Pemeriksaan urin rutin

Rencana Terapi
Medikamentosa
- Cendo xytrol ED 6x1 gtt OS

8|Case Mata Pterigium


Non Medikamentosa
- Kurangi pajanan debu dan sinar matahari dengan menggunakan kacamata anti sinar
ultraviolet
- Rencana operasi pterigium OS atas indikasi kosmetik

PROGNOSIS

OD OS
Quo ad vitam Ad bonam Ad bonam
Quo ad fungtionam Ad bonam Ad bonam

9|Case Mata Pterigium


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pterigium

Definisi

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif.

Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General


Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu pinguicula berbentuk
segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal, secara bilateral. Sedangkan menurut
Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari
bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada
pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Mata dengan pterygium

10 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Epidemiologi

Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan
kering.

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi


geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet
lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup


sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA &
UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu
atau kekeringan).

Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun.
Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada
pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 2 kali
daripada perempuan.

Mortalitas/Morbiditas

Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan
iritasi okuler dan mata merah.

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan
wanita.

11 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
2. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya
diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40
tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.

Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.

1. Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan sinar
matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan
kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.

2. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan


berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.

3 . Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat
ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Yang juga menunjukkan
adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan farmakoterapi
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil
dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari
pterygium.

12 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Etiologi dan patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang hal
tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar
ultraviolet dari matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi
elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi
genetik untuk kondisi ini.

Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi


elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang menutupi epitel. Hal ini
disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu berhubungan dengan dunia luar dan
secara intensif kontak dengan ultraviolet dan debu sehingga sering mengalami kekeringan
yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai
menjalar ke kornea. Selain itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium
pada daerah beriklim kering mendukung teori ini.

Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah


interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi epitel
kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah
berlebihan dan meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi
angiogenesis. Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik
dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan

13 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan
kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan
jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,


yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium
menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk
memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini
menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea
sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi


fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan
eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang


basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E. Berbentuk ulat atau
degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang
degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

14 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Gambar 4. Histopatologi pada pterigium

Gejala Klinis

Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu
dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara
relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva
yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet
secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.

Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan
walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat sampai
ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan
penglihatan kabur.

Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas
ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga
terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior
dari kepala pterygium (stokers line).

15 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

- mata sering berair dan tampak merah

- merasa seperti ada benda asing

- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium

- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.

- Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

Pemeriksaan Fisik

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada
limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput
lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah
kantus
Apex (head), bagian atas pterygium
Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterygium.

Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :

- Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan beberapa


infiltrat di kornea di depan kepala pterygium
- Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang

16 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan
badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup
oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson
):

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan.

Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama
bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing
dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat
melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti
pada pseudopterigium.

Diagnosa Banding

1. Pinguekula

17 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan
limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan
eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian
sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.

Gambar 5. Mata dengan pinguekula

2. Pseudopterigium

Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring atau


Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada
konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium
merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang
tidak melekat pada limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah
melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true
pterigium.

18 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Gambar 6. Mata dengan pseudopterigium

Terapi

Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid
3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.

Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

A. Indikasi Operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus


2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

19 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1. Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen,
telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.

2. Teknik Autograft Konjungtiva


Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen
pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah
di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.

20 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan
pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum
teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran
amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,
diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem
fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi
medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi
telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi
ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk


menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang
aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis

21 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6
minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid
selama 1 minggu.

Komplikasi

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral berkurang
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia
- Dry Eye sindrom
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan

22 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah
memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-
15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada
saat eksisi

Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.

Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.


Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi.

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali
setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang
dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi
pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
intensitas terpapar sinar matahari.

23 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
A. PEMBAHASAN

1. Mengapa pasien ini di diagnosis pterigium grade II OS?

2. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini?

3. Bagaimana prognosis pada pasien ini?

1. Mengapa pasien ini di diagnosis pterigium grade II OS?

Pada teori didapatkan anamnesis pterigium:

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak.

Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar
perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan
dari peradangan dan iritasi.

Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari
biasanya.

Penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari
atau partikel debu.

Pada pasien didapatkan anamnesis:

Terdapat selaput pada mata kiri sejak 1 tahun SMRS, dirasakan memberat sejak 5 bulan
SMRS. Keluhan seperti ada yang mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar
ke bola mata (+), mata kiri merah, berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena
sinar matahari dan debu. Penglihatan buram (+) pada mata kiri. Riwayat kebiasaan

24 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
sering beraktivitas di luar (+) dengan mengggunakan topi dan tanpa memakai kacamata
pelindung.

Pada teori didapatkan pemeriksaan:

Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif
mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva
yang lain.

Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet
secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.

Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi
sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.

Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang
meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.

Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium
(stokers line).

Pada pasien didapatkan pemeriksaan:

Oculus Dexter Oculus Sinister


1,0 VISUS 0,5
- STN Pinhole tetap
- Koreksi Koreksi tidak maju
Tenang KONJUNGTIVA Terdapat jaringan
BULBI fibrovaskular berbentuk
segitiga pada bagian
nasal yang melewati
limbus kornea
Jernih KORNEA Terdapat jaringan
fibrovaskular berbentuk

25 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
segitiga melewati 2
mm limbus kornea

Pada teori didapatkan derajat pterigium:

Berd. bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi
menjadi 4 (menurut Youngson):

Derajat 1: hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea

26 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Derajat 3: sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Pada pasien sesuai dengan teori pterigium derajat 2 yaitu tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

2. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini?

Pada teori didapatkan penatalaksanaan pasien:

Konservatif

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati.

Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.

Indikasi Operasi

Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

27 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Pada pasien dilakukan penatalaksanaan:

Rencana Terapi

Medikamentosa

Cendo Xytrol eye drop 6x1 gtt OS

Non Medikamentosa

Kurangi pajanan debu dan sinar matahari dengan menggunakan kacamata anti sinar
ultraviolet

Rencana operasi pterigium OS atas indikasi kosmetik

3. Bagaimana prognosis pada pasien ini?

Pada teori didapatkan prognosis:


Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau
beta radiasi.
Pada pasien didapatkan prognosis:

OD OS
Quo ad vitam Ad bonam Ad bonam
Quo ad fungtionam Ad bonam Ad bonam

28 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :


http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2010

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. hal:2-6, 116
117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.com/
article/ 1192527-overview. 2011

5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asburs General Ophthalmology 17th edition.
Philadelpia : McGrawHill. 2007

6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New York :


Thieme. 2000

7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:


Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

8. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142

29 | C a s e M a t a P t e r i g i u m

Anda mungkin juga menyukai