Pterigium
Disusun oleh:
Preseptor:
2015
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
No CM : 7153xx
Tanggal : 25 Juni 2014
Nama : Ny. Khoeriah
Umur : 45 tahun
Alamat : Bayongbong
Pekerjaan : Buruh Tani
ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 25 Juni 2015
pukul 13.30 WIB di Poliklinik Mata RSU dr.Slamet Garut
Anamnesa Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini
Riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga disangkal
Riwayat Gizi
Pasien mengaku makan dengan frekuensi tiga kali sehari. Pasien biasa makan dengan nasi
menggunakan lauk daging ayam atau ikan, dan menggunakan sayur. Pasien jarang
mengkonsumsi susu.
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 13.30 WIB di Poli Mata RSUD Dr. Slamet
Garut.
Status Praesens
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis GCS=15
1. Status Oftalmologis
Visus OD OS
SC 1,0 0,5
CC - -
STN - Pinhole tidak maju
Koreksi - Koreksi tidak maju
ADD - Koreksi tidak maju
Erakan bola mata Baik kesegala arah Baik kesegala arah
Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan Eksternal
OD OS
Pterigium
OD OS
Palpebra superior T.A.K T.A.K
Palpebra inferior T.A.K T.A.K
Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur
Ap. Lakrimalis T.A.K T.A.K
OD OS
Silia T.A.K T.A.K
Konjungtiva superior Tenang Tenang
Konjungtiva inferior Tenang Tenang
Kornea Jernih Terdapat jaringan
fibrovaskular berbentuk
segitiga melewati 2 mm
limbus kornea, stockers line
(+)
COA Sedang Sedang
Pemeriksaan Funduscopy
OD OS
Dalam batas normal Lensa Dalam batas normal
Jernih Vitreus Jernih
Refleks fundus (+) Fundus Refleks fundus (+)
Bulat, batas tegas Papil Bulat, batas tegas
0,3-04 CDR 0,3-04
2-3 A/V Retina Sentralis 2-3
Eksudat (-) Retina Eksudat (-)
Perdarahan (-) Perdarahan (-)
Edema (-) Edema (-)
Refleks fovea (+) Makula Refleks fovea (+)
RESUME
Pasien perempuan 45 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUD dr. Slamet Garut dengan
keluhan terdapat selaput pada mata kiri sejak 1 tahun SMRS, dirasakan memberat sejak 5
bulan SMRS. Keluhan seperti ada yang mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar
ke bola mata (+), mata kiri merah, berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena sinar
matahari dan debu. Penglihatan buram (+) pada mata kiri. Penglihatan dobel (-) Riwayat
trauma/infeksi pada mata (-). Riwayat konsumsi obat (-). Riwayat kebiasaan sering
beraktivitas di luar (+) dengan mengggunakan topi dan tanpa memakai kacamata pelindung.
DIAGNOSIS BANDING
- Pinguekula OS
- Pseudopterigium OS
TERAPI
Rencana Pemeriksaan
- Pemeriksaan Sonde
- Pemeriksaan Histologi
- Pemeriksaan Laboratorium : Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, BT, CT
- Pemeriksaan Kimia darah: Glukosa sewaktu
- Pemeriksaan urin rutin
Rencana Terapi
Medikamentosa
- Cendo xytrol ED 6x1 gtt OS
PROGNOSIS
OD OS
Quo ad vitam Ad bonam Ad bonam
Quo ad fungtionam Ad bonam Ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Pterigium
Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif.
10 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan
kering.
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun.
Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada
pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 2 kali
daripada perempuan.
Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan
iritasi okuler dan mata merah.
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan
wanita.
11 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya
diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40
tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.
Faktor Risiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan sinar
matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan
kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
3 . Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat
ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Yang juga menunjukkan
adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan farmakoterapi
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil
dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari
pterygium.
12 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Etiologi dan patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang hal
tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar
ultraviolet dari matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi
elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi
genetik untuk kondisi ini.
13 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan
kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan
jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.
14 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Gambar 4. Histopatologi pada pterigium
Gejala Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu
dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara
relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva
yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet
secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan
walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat sampai
ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan
penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas
ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga
terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior
dari kepala pterygium (stokers line).
15 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada
limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput
lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah
kantus
Apex (head), bagian atas pterygium
Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterygium.
16 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan
badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup
oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson
):
Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama
bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing
dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat
melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti
pada pseudopterigium.
Diagnosa Banding
1. Pinguekula
17 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan
limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan
eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian
sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.
2. Pseudopterigium
18 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Gambar 6. Mata dengan pseudopterigium
Terapi
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid
3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
A. Indikasi Operasi
19 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
20 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan
pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum
teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran
amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,
diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem
fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi
medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi
telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi
ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis
21 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6
minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid
selama 1 minggu.
Komplikasi
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral berkurang
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia
- Dry Eye sindrom
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
22 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah
memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-
15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada
saat eksisi
Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.
Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali
setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang
dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi
pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
intensitas terpapar sinar matahari.
23 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
A. PEMBAHASAN
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak.
Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar
perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan
dari peradangan dan iritasi.
Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari
biasanya.
Penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari
atau partikel debu.
Terdapat selaput pada mata kiri sejak 1 tahun SMRS, dirasakan memberat sejak 5 bulan
SMRS. Keluhan seperti ada yang mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar
ke bola mata (+), mata kiri merah, berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena
sinar matahari dan debu. Penglihatan buram (+) pada mata kiri. Riwayat kebiasaan
24 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
sering beraktivitas di luar (+) dengan mengggunakan topi dan tanpa memakai kacamata
pelindung.
Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif
mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva
yang lain.
Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet
secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.
Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi
sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang
meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.
Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium
(stokers line).
25 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
segitiga melewati 2
mm limbus kornea
Berd. bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi
menjadi 4 (menurut Youngson):
Derajat 2: sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea
26 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Derajat 3: sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
Pada pasien sesuai dengan teori pterigium derajat 2 yaitu tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
Konservatif
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Indikasi Operasi
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
27 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
Pada pasien dilakukan penatalaksanaan:
Rencana Terapi
Medikamentosa
Non Medikamentosa
Kurangi pajanan debu dan sinar matahari dengan menggunakan kacamata anti sinar
ultraviolet
OD OS
Quo ad vitam Ad bonam Ad bonam
Quo ad fungtionam Ad bonam Ad bonam
28 | C a s e M a t a P t e r i g i u m
DAFTAR PUSTAKA
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. hal:2-6, 116
117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.com/
article/ 1192527-overview. 2011
5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asburs General Ophthalmology 17th edition.
Philadelpia : McGrawHill. 2007
8. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142
29 | C a s e M a t a P t e r i g i u m