Anda di halaman 1dari 68

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Diri


Konsep diri sangat penting untuk memahami orang dan perilaknya. Konsep diri
terbentuk dari pengamalan internal sesorang, hubungan dengan orang lain, dan
interaksi dengan dunia luar. Interaksi yang terjalin memiliki pengaruh yang kuat pada
perilaku manusia (Stuart, 2013). Konsep diri belum muncul saat bayi, tetapi mulai
berkembang secara bertahap. Bayi mampu mengenal dan membedakan dirinya dengan
orang lain serta mempunyai pengalaman dalam berhubungan dengan orang lain.
Konsep diri dipelajari melalui pengalaman pribadi setiap individu, hubungan dengan
orang lain dan interaksi dengan dunia di luar dirinya (Yunus et al, 2015).
Konsep diri ini merupakan bagian penting dalam semua asuhan keperawatan
yang dilakukan perawat kepada klien (Stuart, 2013). Asuhan keperawatan yang
diberikan harus secara utuh bukan hanya penyakit saja tetapi menghadapi individu
yang memunyai pandangan, nilai dan pendapat tertentu tentang dirinya (Yusuf et al,
2015).
Konsep diri akan memberikan suatu pengaruh terhadap proses berfikir,
perasaan, keinginan, nilai maupun tujuan hidup seseorang (Clemes & Bean, 2001
dalam Annisa & Handayani, 2012). Suatu penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara konsep diri dan kematangan emosi seseorang (Annisa
& Handayani, 2012). Hal ini menujukkan bahwa konsep diri yang ada pada seseorang
klien menunjukkan suatu kematangan emosional, sehingga sangat mudah bagi perawat
untuk memeberikan suatu pendekatan proses keperawatan selama klien mendapatkan
pelayanan keperawatan.
2.1.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan merupakan semua nilai-nilai, keyakinan dan ide yang
berkontribusi terhadap pengetahuan diri dan memengaruhi hubungan seseorang dengan
orang lain, termasuk persepsi seseorang tentang karakteristik dan kemampuan pribadi
serta tujuan dan cita-cita seseorang (Stuart, 2013).
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta pendirian
yang diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan
dengan orang lain. Konsep diri belum muncul saat bayi, tetapi mulai berkembang
secara bertahap. Bayi mampu mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain
serta mempunyai pengalaman dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri
dipelajari melalui pengalaman pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain,
dan interaksi dengan dunia di luar dirinya. Memahami konsep diri penting bagi perawat
karena asuhan keperawatan diberikan secara utuh bukan hanya penyakit tetapi
menghadapi individu yang mempunyai pandangan, nilai dan pendapat tertentu tentang
dirinya.
Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung adaptif dan
ujung maladaptif, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, harga diri rendah,
kekacauan identitas, dan depersonalisasi.Rentang respons konsep diri yang paling
adaptif adalah aktualisasi diri.

2.1.2 Rentang Respon Konsep Diri


Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respon antara adaptif dan
ujung maladaptif. Rentang konsep diri terdiri dari aktualisasi diri, konsep diri positif,
harga diri rendah, kerancuan identitas, dan depersonalisasi (Stuart, 2013). Berikut ini
adalah gambar rentang konsep diri:

Gambar 1
Rentang Respon Konsep Diri
Menurut Stuart (2013), beberapa pengertian dari respon rentang konsep diri adalah
sebagai berikut:
a. Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri merupakan pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan diterima.
b. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif terjadi apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri.
c. Harga Diri Rendah
Transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep diri maladaptif.
d. Kerancuan Identitas
Kerancuan identitas adalah kegagalan aspek individu mengintegrasikan aspek
identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial.
e. Depersonalisasi
Depersonalisasi merupakan perasaan yang tidak realistik dan asing terhadap
diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.

2.1.3 Komponen konsep diri


1) Citra tubuh
Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari maupun tidak
terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran,
fungsi, keterbatasan, makna, dan objek yang kontak secara terus-menerus (anting,
make up, pakaian, kursi roda, dan sebagainya) baik masa lalu maupun sekarang. Citra
tubuh merupakan hal pokok dalam konsep diri. Citra tubuh harus realistis karena
semakin seseorang dapat menerima dan menyukai tubuhnya ia akan lebih bebas dan
merasa aman dari kecemasan sehingga harga dirinya akan meningkat. Sikap individu
terhadap tubuhnya mencerminkan aspek penting dalam dirinya misalnya perasaan
menarik atau tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya.
2) Ideal Diri contoh
Persepsi individu tentang seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi,
tujuan, atau nilai yang diyakininya. Penetapan ideal diri dipengaruhi oleh
kebudayaan, keluarga, ambisi, keinginan, dan kemampuan individu dalam
menyesuaikan diri dengan norma serta prestasi masyarakat setempat. Individu
cenderung menyusun tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita,
menghindari kegagalan dan rasa cemas, serta inferiority. Ideal diri harus cukup
tinggi supaya mendukung respek terhadap diri tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu
menuntut, serta samar-samar atau kabur. Ideal diri akan melahirkan harapan
individu terhadap dirinya saat berada di tengah masyarakat dengan norma tertentu.
Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu
mempertahankan kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat
bingung. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
mental.
3) Harga Diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan menganalisis seberapa jauh
perilaku memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.
Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan.
Sebaliknya, individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami
kegagalan, tidak dicintai, atau tidak diterima lingkungan. Harga diri dibentuk sejak
kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai
meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas. Coopersmith dalam
buku Stuart dan Sundeen (2002) menyatakan bahwa ada empat hal yang dapat
meningkatkan harga diri anak, yaitu:
1) memberi kesempatan untuk berhasil,
2) menanamkan idealisme,
3) mendukung aspirasi/ide,
4) membantu membentuk koping.
4) Peran
Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan oleh
masyarakat sesuai posisinya di masyarakat/kelompok sosialnya. Peran memberikan
sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk
menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti.
5) Identitas Diri
Identitas adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu
dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, serta menyadari individu bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesis
dari semua gambaran utuh dirinya, serta tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan,
atribut/jabatan, dan peran. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan
percaya diri, hormat terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri, dan
menerima diri. Ciri individu yang berkepribadian sehat antara lain sebagai berikut.
1) Citra tubuh positif dan sesuai.
2) Ideal diri realistis.
3) Harga diri tinggi.
4) Penampilan peran memuaskan.
5) Identitas jelas.

2.1.4 Keperawatan kesehatan jiwa


a. Pengkajian
1) Perilaku
Semua perilaku dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan,
mempertahankan atau membela diri. Perawat memulai pengkajian dari menilai
penampilan klien. Mengamati atau bertanya tentang kebiasaan biologis dan
perawatan diri.perawat selanjutnya membandingkan respon klien dengan perilaku,
mencari keselarasan dan kontradiksi. Respon diri perawatterhadap klien sering
merupakan indikasi yang baik dari kualitas dan kedalaman keadaan emosional
klien.
a) Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah
Harga diri rendah melibatkan evaluasi diri yang negatif dan berhubungan
dengan perasaan yang lemah, tak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh,
tidak lengkap, tidak berharga, dan tidak memadai. Harga diri rendah memainkan
peran besar terjadinya depresi.

Perilaku langsung Perilaku tak langsung

Mengkritik diri Ilusi dan tujuan tidak realistis


Pengecilan diri Rasa berlebihan diri
Rasa bersalah dan khawatir Kebosanan
Manifestasi fisik Pandangan polarisasi hidup
Menunda keputusan Perilaku tak langsung
Menyangkal kesenangan diri Ilusi dan tujuan tidak realistis
Hubungan yang terganggu Rasa berlebihan diri

b) Perilaku berhubungan dengan difusi identitas


Difusi identitas adalah kegagalan untuk mengintegrasikan berbagai
identifikasi masa kanak kanak menjadi kesatuan identitas dewasa. Perilaku
penting yang berhubungan dengan difusi identitas termasuk gangguan dalam
berhubungan dan masalah keintiman.perilaku awal mungkin mengabaikan atau
kerenggangan. Sebuah perilaku yang berlawanan terlihat diperpaduan
kepribadian. Perpaduan kepribadian adalah upaya seseorang untuk membangun
perasaan diri sendiri dengan menggabungkannya, melekat atau dimiliki oleh
orang lain. Perilaku terkait dengan difusi identitas:
Mengabaikan moral
Ciri ciri kepribadian yang kontradiktif
Eksploitatif hubungan interpersonal
Perasaan hampa
Fluktuasi perasaan tentang diri
Kebingungan jenis kelamin
Ansietas tinggi
Ketidakmampuan untuk berempati dengan orang lain
Kehilangan kebenaran
Masalah keintiman

c) Perilaku berhubungan dengan disosiasi dan depersonalisasi


Disosiasi adalah keadaan dekompensasi jiwajiwa yang akut dimana pikiran,
emosi, sensasi, atau kenangan tertentu terkotak karena mereka terlau berlebihan
mengintegrasikan pikiran sadar. Bentuk disosiasi berat terjadi npemutusan dalam
fungsi integrasi kesadaran yang biasa memori, identitas, atau persepsi.
Depersonalisasi adalahpengalaman subjektif dari sebagian atau seluruh gangguan
egosesorang dan disintegrasiserta disorganisasi konsep diri seseorang. Disosiasi
dan depersonalisasi berfungsi sebagai pertahanan, tetapi merusak karena akan
menutupi dan melumpuhkan ansietas tanpa mengurangi intensitasnya.

2) Faktor predisposisi
a) Citra tubuh
Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi).
Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh (akibat tumbuh
kembang atau penyakit).
Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh.
Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi.
b) Harga diri
Penolakan.
Kurang penghargaan.
Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntut.
Persaingan antara keluarga.
Kesalahan dan kegagalan berulang.
Tidak mampu mencapai standar.
c) Ideal diri
Cita-cita yang terlalu tinggi.
Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
diri samar atau tidak jelas.
d) Peran
Stereotipe peran seks.
Tuntutan peran kerja.
Harapan peran kultural.
e) Identitas diri
Ketidakpercayaan orang tua.
Tekanan dari teman sebaya.
Perubahan struktur sosial.
3) Stresor presipitasi
a) Trauma
Klien yang menderita cedera traumatik berada pada peningkatan risiko
berbagi gangguan jiwa, paling sering depresi dan ansietas
b) Ketegangan peran
Ketegangan peran adalah perasaan frustasi ketika seseorang berada dalam
arah yang berlawanan atau merasa tidak mampu atau tidak cocok untuk
melakukan peran tertentu.
c) Stresor biologis
Dapat mengganggu persepsi akurat tentang dunia, dan mengancam
batas ego dan identitas.
4) Sumber koping
Perawat dan klien penting untuk mempertimbangkan sumber koping yang
memungkinkan. Semua orang, tidak peduli seberapa jauh perilaku mereka
terganggu, mereka memiliki beberapa area kelebihan personal.
Ketika aspek positif klien menjadi jelas, perawat harus berbagi hasil
pengamatan dengan klien untuk memperluas kesadaran diri klien dan menyarankan
area yang mungkin untuk tindakan di masa depan.
5) Mekanisme koping
a) Pertahanan jangka pendek
Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis,
seperti kerja keras, nonton, dan lain-lain.
Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara,
seperti ikut kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain.
Aktivitas yang sementara dapat menguatkan perasaan diri, seperti
kompetisi pencapaian akademik.
Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah
identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti
penyalahgunaan obat.
b) Pertahanan jangka panjang
Penutupan identitas. Adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh
orang yang penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan,
aspirasi, dan potensi diri individu.
Identitas negatif Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat
diterima oleh nilai-nilai harapan masyarakat.
c) Mekanisme pertahanan ego
Fantasi
Disosiasi
Isolasi
Proyeksi
b. Diagnosa Keperawatan terkait Masalah Konsep Diri
Masalah-masalah keperawatan yang bisa saja muncul terkait dengan gangguan
konsep diri adalah sebagai berikut (NANDA, 2011):
No Diagnosa NANDA
1 Gangguan citra tubuh
2 Konflik peran orang tua
3 Gangguan identitas diri
4 Ketidakefektifan performa peran
5 Harga diri rendah kronis
6 Harga diri rendah situasional
7 Ansietas
8 Isolasi sosial
9 Ketidakberdayaan
10 Keputusasaan

Ada pun untuk contoh penulisan diagnosa keperawatan terkait dengan gangguan
konsep diri ini adalah sebagai berikut:
1) Gangguan konsep diri: gambaran diri b.d perubahan fisik/ kehilangan bagian
tubuh.
2) Gangguan konsep diri: harga diri b.d harapan diri yang tidak realistis
3) Gangguan konsep diri: identitas diri b.d harapan orang tua yang tidak realistis
4) Gangguan konsep diri: peran diri b.d menerima peran dan pekerjaan baru
dimasyarakat.
Diagnosis Keperawatan berdasarkan komponen Konsep Diri
ISTILAH DIAGNOSIS CONTOH PENGEMBANGAN DIAGNOSIS
NANDA
Gangguan Citra Tubuh Gangguan citra tubuh berhubungan dengan takut menjadi
gemuk, yang dibuktikan oleh penolakan tubuh untuk
mempertahankan berat badan dalam batas normal.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kemoterapi
leukemia, yang dibutuhkan oleh perasaan negatif tentang
tubuh.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan
cerebrovacular accident, yang dibuktikan oleh
kurangnya penerimaan keterbatas tubuh.
Kesiapan Kesiapan meningkatkan konsep diri berhubungan dengan
meningkatkan konsep kelahiran anak, yang dibuktikan dengan kelahiran anak,
yang dibuktikan dengan pendaftaran di kelas parenting.
Harga rendah diri Harga diri rendah situasional berhubungan dengan
kronis atau situasional kematian pasangan, yang dibuktikan oleh penarikan diri
dari orang lain dan perasaan ketidakberdayaan.
Harga diri rendah kronis berhubungan dengan ideal diri
yang terlalu tinggi, yang dibuktikan oleh perasaan depresi
dan penarikan diri dari kegiatan.
Ketidakefektifan Ketidakefektifan performa peran berhubungan dengan
performa peran ketidakcocokan pekerjaan dan peran keluarga yang
diasumsikan baru, yang dibuktikan oleh perasaan frustasi
dan kritik dari orang lain.
Penampilan peran tidak efektif berhubungan dengan
ketidaksesuaian harapan budaya dan peran diri terkait
penuaan, yang dibuktikan oleh perasaan frustasi dan
kritik dari orang lain.
Gangguan identitas Gangguan identitas pribadi berhubungan dengan harapan
pribadi orang tua yang tidak realistis, yang dibuktikan dengan
melarikan diri dari rumah.
Gangguan identitas pribadi berhubungan dengan
toksisitas obat, yang dibuktikan dengan kebingungan dan
hilangnya control impuls.

c. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang ditemukan. Pada
perencanaan keperawatan klien dengan gangguan konsep diri fokus perawat adalah
untuk membantu klien memahami diri sendiri secara lengkap dan akurat sehingga
mereka dapat mengarahkan hidup mereka sendiri dengan cara yang lebih memuaskan
1) Tujuan.
Saat menentukan tujuan, perawat harus mengidentifikasi langkah-langkah
yang realistis yang dapat dicapai oleh klien. Cara ini dapat meningkatkan dan
embangun rasa percaya diri klien.Tujuan harus menekankan pada kekuatan
klien dan bukan pada kelemahan klien. Contoh tujuan yang pada klien
gangguan konsep diri, yaitu harga diri rendah :
a) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b) Klien dapat menilai kemempuan yang dapat digunakan
c) Klian dapat menetapkan/ memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
d) Klien dapat memilih kegiatan yang sudah dipilih sesuai kemampuan
e) Klien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.
2) Kriteria Hasil
Adapun kriteria hasil yang diharapkan pada proses perencanaan
keperawatan klien dengan gangguan konsep diri adalah klien mendapatkan
tingkat aktualisasi maksimum untuk mewujudkan potensinya. (Stuart,2016).
Dalam menetukan kriteria hasil yang diharapkan, perawat dapat menggunakan
indikator yang terdapat di dalam NOC (Nursing Outcomes Classification).
Contoh:
INDIKATOR KRITERIA HASIL NOC HARGA DIRI
Mengungkapkan penerimaan diri Menerima pujian dari orang lain
Menerima keterbatasan diri Mengharapkan respons dari orang
Mempertahankan postur tegak lain
Deskripsi diri Menerima kritik konstruktif
Memperhatikan orang lain Kesediaan untuk menghadapi orang
Komunikasi terbuka lain
Pemenuhan peran yang berarti Menunjukan keberhasilan dalam
secara pribadi pekerjaan atau sekolah
Mempertahankan perawatan dan Menunjukan keberhasilan dalam
kebersihan kelompok sosial
Keseimbangan partisipasi dan Menunjukan kebanggan diri
mendengarkan dalam kelompok Merasa diri berharga
Tingkat kepercayaan diri

d. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan lebih menekankan pada lima aspek perawatan yaitu:
memperluas kesadaran diri, ekplorasi diri, evaluasi diri, perencanan yang realistis dan
komitmen untuk bertindak.
Lima aspek tersebut di atas dapat tergambar dalam tindakan keperawtan berikut
ini:
1) Tahap memperluas kesadaran diri
Prinsip Rasional Tindakan
Membina hubunga Sikap perawat yang 1. Menerima klien apa
saling percaya terbuka dapat adanya.
mengurangi perasaan 2. Dengarkan klien
terancam dan 3. Dorong klien mendiskusikan
membantu klien pikiran dan perasaannya
menerima semua aspek 4. Respon yang tidak mengadili
dirinya

Bekerja dengan Tingkat kemampuan 1. Identitas kemampuan klien


kemampuan yang menilai realitas dan 2. Arahkan klien sesuai dengan
dimiliki klien control diri diperlukan kemampuan yang dimiliki
sebagai landasan 3. Meyakinkan identitas klien
Asuhan Keperawatan 4. Beri dukungan untuk
menurunkan panik
5. Pendekatan tanpa menuntut
6. Menerima dan
mengklarifikasikan
komunikasi verbal dan non
verbal
7. Cegah klien mengisolasi diri
8. Ciptakan kegiatan rutin
(ADL)
9. Buat batasan perilaku yang
tidak pantas
10. Orientasikan klien ke dunia
yang nyata
11. Beri pujian pada perilaku
yang tepat
12. Tingkatkan kegiatan dan
tugas secara bertahap untuk
menimbulkan pengalaman
positif

2) Tahap eksplorasi diri


Prinsip Rasional Tindakan
Bantu klien Dengan menunjukkan 1. Motivasi klien
menerima perasaan sikap menerima mengekspresikan emosi,
dan pikirannya perasaan dan pikiran keyakinan perilaku dan
klien, maka klien akan pikirannya
melakukan hal yang 2. Gunakan komunikasi
sama terapeutik dan empati
3. Catat pikiran yang logis,
observasi respon emosi
Menolong klien Keterbukaan persepsi 1. Tumbuhkan persepsi klien
menjelaskan diri adalah awal untuk terhadap kekuatan dan
konsep dirinya dan merubah suasana sepi kelemahannya
hubungannya dan dapat mengurangi 2. Bantu klien menurunkan self
dengan orang lain ansietas idealnya
secara terbuka 3. Bantu klien menjelaskan
hubungannya dengan orang
lain
Menyadari dan Kesadaran diri akan 1. Sadari perasaan sendiri baik
mengontrol membantu penampilan perasaan negatif dan positif
perasaan perawat model perilaku dan dalam berhubungan
membatasi efek
negative dalam
berhubungan dengan
orang lain
Empati pada klien, Rasa empati dapat 1. Gunakan respon empati dan
tekankan bahwa menguatkan pandangan observasi apakah perasaan
kekuatan untuk klien memahami perawat simpati atau empati
berubah ada pada perasaan orang lain 2. Jelaskan bahwa klien
klien berguna dalam memecahkan
masalahnya
3. Libatkan keluarga dan
kelompok menyelidiki diri
klien
4. Bantu klien mengenal
konflik dan koping
maladaptif

3) Tahap evaluasi diri


Prinsip Rasional Tindakan
Membantu klien Setelah mengetahui 1. Bersama klien identifikasi
mengidentifikasi masalah dengan jelas stressor dan bagaimana
masalahnya secara alternative pemecahan penilaiannya
jelas dapat dibuat klien 2. Jelaskan bahwa keyakinan
klien mempengaruhi
perasaan dan perilakunya
Kaji respon koping Dengan mengetahui 1. Bersama klien
adaptif dan koping yang dipilih mengidentifikasi
maladaptif klien klien dapat 2. keyakinan, ilusi, tujuan yang
terhadap masalah mengevaluasi tidak realistik
yang dihadapi konsekwensi positif dan 3. Identifikasi kekuatan klien
negatif 4. Tunjukkan konsep sukses
dan gagal dalam persepsi
yang cocok
5. Teliti sumber koping yang
digunakan klien
6. Uraikan pada klein bahwa
respon koping dapat dipilih
dengan bebas dan
mempunyai dampak positif
maupun negatif
7. Bersama klien
mengidentifikasi respon
koping yang maladaptif
8. Komunikasi yang
memfasilitasi konfrontasi
yang mendukung
9. Klarifikasi peran

4) Tahap perencanaan yang realistis


Prinsip Rasional Tindakan
Bantu klien Jika semua alternative 1. Jelaskan bahwa yang dapat
mengidentifikasi sudah dievaluasi, merubah dirinya adalah klien
bukan orang lain
pemecahan perubahan menjadi 2. Bantu keyakinan dan ide
masalah efektif klien ke dalam kenyataan
3. Gunakan lingkungan
membantu keyakinan klien
jadi konsisten
Bantu klien Dengan tujuan yang 1. Bantu klien merumuskan
mengkonsep tujuan jelas dapat merubah tujuan
yang realistik harapan yang 2. Bantu klien untuk
diinginkan menetapkan perubahan yang
diinginkan
3. Anjurkan klien menggunakan
pengalaman baru untuk
mengembangkan potensinya
4. Gunakan role model, role
play, visualisasi dan
redemonstrasi yang sesuai

5) Tahap komitmen untuk bertindak


Prinsip Rasional Tindakan
Mengeksplorasi Sangat penting bagi 1. Beri kesempatan klien untuk
koping adaptif dan klien mengetahui memilih koping yang ingin
maladaptif klien koping yang digunakan digunakan dan
dalam memecahkan dalam pemecahan konsekwensinya
masalahnya masalahnya baik yang 2. Bantu klien mengidentifikasi
negatif maupun yang keuntungan kerugian
poitif mekanisme koping yang
dipilih
3. Diskusikan bila klien
memilih mekanisme koping
negative berikut
konsekuensinya
4. Berikan dukungan positif
untuk mempertahankan
kemajuannya

e. Evaluasi Keperawatan Gangguan Konsep Diri

Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu (1) evaluasi proses atau
evaluasi formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2)
evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien
pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dengan
pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A: analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi
terhadap masalah yang ada.
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
2.2 Stres dan Koping

Manusia harus selalu meyesuaikan diri dengan kehidupan dunia yang selalu
tidak pasti dan berubah-ubah. Manusia merupkan interaksi antara jasmani, rohani dan
lingkungan. Ketiga unsur tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Kita
harus mempertimbangkan ketiganya sebagai suatu keseluruhan (holistik) sehingga
manusia disebut sebagai makhluk somato-psiko-sosial.
Perubahan tata nilai kehidupan (perubahan psikososial) berjalan begitu cepat
karena pengaruh globalisasi, modernisasi, informasi, industrilisasi serta ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan psikososial tersebut merupakan tekanan mental
(stressor psikososial) sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan perubahan
dalam kehidupan dan berusaha dalam menanggulanginya.

2.2.1 Pengertian stress

Struktur sosial dan ekonomi kehidupan modern sekarang ini telah menciptakan
lebih banyak stress dibanding masa-masa sebelumnya. Stres adalah kondisi ketika
individu berada dalam situasi yang penuh tekanan atau ketika individu merasa tidak
sanggup mengatasi tuntutan yang dihadapinya (Marks, Murray, Evans, dkk, 2002).
Menurut Hans Selye dalam bukunya Hawari (2001) stress adalah respon tubuh yang
sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya.

2.2.2 Penggolongan stress

Menurut Selye (2001) stres dibagi menjadi dua golongan yang didasarkan atas
persepsi individu terhadap stres yang dialaminya yaitu :
a. Distres (stres negatif)
Merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan
sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir
atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif,
menyakitkan dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
b. Eustres (stres positif)
Eustres bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan, frase
joy of stres untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari
adanya stres. Eustres dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi
dan performansi kehidupan. Eustres juga dapat meningkatkan motivasi individu
untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni.
Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (2005), stress di golongkan menjadi tiga
golongan, yaitu:
a. Stres ringan
Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi ini dapat
membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah berbagai
kemungkinan yang akan terjadi.
b. Stres sedang
Pada stres tingkat ini individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan
mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.
c. Stres berat
Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat menurun dan cenderung memusatkan
perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres.
Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan
banyak pengarahan.

2.2.3 Faktor penyebab dan Faktor yang mempegaruhi stres


a. Faktor penyebab
Stres bersumber dari frustasi dan konflik yang dialami individu dapat berasal dari
berbagai bidang kehidupan manusia. Konflik antara dua atau lebih kebutuhan atau
keinginan yang ingin dicapai, yang terjadi secara berbenturan juga bisa menjadi
penyebab timbulnya stres. Seringkali individu mengalami dilema saatdiharuskan
memilih diantara alternatif yang ada apalagi bila hal tersebut menyangkut kehidupan
di masa depan. Faktor pemicu stres ada yang dinamakan stressor presipitasi yaitu
stimulus yang menantang, mengancam, atau menuntut individu. Mereka memerlukan
energi tambahan dan mengakibatkan suatu ketegangan dan stress. Stresor ini dapat
bersifat biologis, psilologis atau sosial budaya.(Stuart,2016).

Yusuf (2004) menyebutkan faktor pemicu stres itu dapat diklasifikasikan ke


dalam beberapa kelompok berikut :
1) Stressor fisik-biologik seperti : penyakit yang sulit disembuhkan, cacat fisik atau
kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh,wajah yang tidak cantik atau
ganteng, dan postur tubuh yang dipersepsi tidak ideal (seperti : terlalu kecil, kurus,
pendek, atau gemuk).
2) Stressor psikologik, seperti : negative thinking atau berburuk sangka, frustrasi
(kekecewaan karena gagal memperoleh sesuatu yang diinginkan), hasud (iri hati
atau dendam), sikap permusuhan, perasaan cemburu, konflik pribadi, dan keinginan
yang di luar kemampuan.
3) Stressor Sosial
Seperti iklim kehidupan keluarga : hubungan antar anggota keluarga yang tidak
harmonis,perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri meninggal, anak
yang nakal, sikap dan perlakuan orang tua yang keras, salah seorang anggota
mengidap gangguan jiwa dan tingkat ekonomi keluarga yang rendah, lalu ada faktor
pekerjaan : kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, kena PHK perselisihan
dengan atasan, jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan dan
penghasilan tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari, kemudian yang
terakhir ada iklim lingkungan : maraknya kriminalitas harga kebutuhan pokok yang
mahal.
Setiap individu memiliki intensitas atau derajat perasaan yang berbeda walaupun
menghadapi stimulus yang sama. Perasaan dan emosi biasanya disifatkan sebagai
keadaan dari diri individu pada suatu saat (Sunaryo, 2004). Mereka yang memandang
stres sebagai tantangan cenderung membalikan peristiwa menjadi suatu yang
menguntungkan sehingga mengurangi tingkat stres. Sebaliknya apabila seseorang
menggunakan cara yang pasif seperti menyalahkan dan menghindar akan cenderung
tidak dapat mengatasinya. (Stuart,2016).

b. Faktor yang mempengaruhi stress

Faktor-faktor yang mempengaruhi stres menurut Sunaryo dalam bukunya


Psikologi untuk keperawatan (2004), antara lain:

1) Faktor Biologis: Herediter, Konstitusi tubuh, kondisi fisik, Neurofisiologik dan


Neurohormonal.
2) Faktor Psikoedukatif/ Sosio Kultural: Perkembangan Kepribadian, pengalaman
dan kondisi yang memengaruhi.

Adapun faktor predisposisi yang mempengaruhi stres menurut Stuart (2016)


antara lain:
1) Faktor Predisposisi Biologis meliputi Latar belakang Genetik, status nutrisi,
kepekaan biologis, kesehatan secara umum dan keterpaparan pada racun.
2) Faktor Predisposisi Psikologis meliputi Inteligensi, keterampilan verbal, moral,
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi, pertahanan
psikologis dan lokus kendali (suatu perasaan pengendalian terhadap nasib diri
sendiri).
3) Faktor Predisposisi Sosial Budaya meliputi usia, gender, pendidikan,
penghasilan, pekerjaan latar belakang budaya, keyakinan religi, afiliasi politik,
pengalaman sosialisasi dan tingkat integrasi sosial atau keterhubungan.

2.2.4 Kemampuan individu terhadap stress


Setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menahan
stress. Hal tersebut sangat bergantung pada sifat dan hakikat stress yaitu intensitas,
lokal, lamanya, dan umum. Selain itu juga pada sifat individu yang terkait dengan
proses adaptasi.
Menurut Rosenmen dan Chesney (1980), sebagaimana dikemukakan oleh Prof.
Dadang Hawari (2011) bahwa stres apabila ditinjau dari tipe kepribadian
individu dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

Tipe yang rentan (vulnerable) Tipe yang kebal (immune)

Terdapat pada Tipe A yang disebut A Terdapat pada Tipe B yang disebut B
Type Personality dengan pola perilaku Type Personality dengan pola perilaku
Type A Behavior Pattern. Individu Type B Behavior Pattern. Individu
dengan tipe ini memiliki risiko tinggi dengan tipe ini kebal terhadap stres,
mengalami stres. Ciri-ciri: yang ciri-ciri kepribadiannya:
Cita-citanya tinggi (ambisius) Cita-cita atau ambisinya wajar
Agresif Berkompetensi secara sehat
Suka bersaing yang kurang sehat Tidak agresif
Banyak jabatan rangkap Tidak memaksakan diri
Emosional, yang ditandai dengan Emosi terkendali, yang ditandai
mudah marah, mudah tersinggung, dengan tidak mudah marah, tidak
mudah mengalami ketegangan, mudah tersinggung, penyabar, dan
dan kurang sabar tenang
Terlalu percaya diri (over Kewaspadaan wajar
confident)
Self kontrol kuat Self control wajar
Terlalu waspada Self confident wajar
Tindakan dan cara bicaranya cepat Cara bicara tenang
serta tidak dapat diam (hyperaktif)
Cakap dalam berorganisasi Cara bertindak tenang dan
(organisatoris) dilakukan pada saat yang tepat
Cakap dalam memimpim (leader) Ada keseimbangan waktu bekerja
dan istirahat
Tipe kepemimpinan otoriter Sikap dalam memimpin maupun
berorganisasi akomodatif dan
manusiawi
Bekerja tidak mengenal waktu Mudah bekerja sama (kooperatif)
(workaholic)
Bila menghadapi tantangan senang Tidak memaksakan diri dalam
bekerja sendiri menghadapi tantangan
Disiplin waktu yang ketat Bersikap ramah
Kurang rileks dan serba terburu- Mudah bergaul
buru
Kurang atau bahkan tidak ramah Dapat menimbulkan empati untuk
mencapai kebersamaan (mutual
benefit)
Tidak mudah bergaul Bersikap fleksibel, akomodatif,
dan tidak merasa dirinya paling
benar
Mudah empati, namun juga mudah Dapat melepaskan masalah
bersikap bermusuhan pekerjaan ataupun kehidupan
disaat libur
Sulit dipengaruhi Mampu menahan dan
mengendalikan diri
Sifatnya kaku (tidak fleksibel)
Pikiran tercurah kepekerjaan
walaupun sedang libur
Berusaha keras agar segala
sesuatunya terkendali
Bekerja tidak mengenal waktu
(workaholic)
2.2.5 Sumber Stres dan Tahapan Stres

a. Sumber Stres
Menurut Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004), ada empat sumber atau
penyebab stres psikologis, yaitu:
1) Frustasi
Timbul akibat kegagalan dakam mencapai tujuan karena ada aral melintang,
misalnya apabila ada perawat Puskesmas lulusan SPK bercita-cita ingin mengikuti D3
Akper program khusus Puskesmas, tetapi tidak diizinkan oleh istri/suami, tidak punya
biaya, dan sebagainya.
Frustasi ada yang bersifat intrinsik (cacat badan dan kegagalan usaha) dan
ekstrinsik (kecelakaan, bencana alam, kematian orang yang dicintai, kegoncangan
ekonomi, pengangguran, dan perselingkuhan, dan lain-lain)
2) Konflik
Timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam keinginan,
kebutuhan, atau tujuan. Bentuknya approach-aproach conflict, approach-avoidance
conflict, atau avoidance-avoidance conflict.
3) Tekanan
Timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan dapat berasal dari
dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang terlalu tinggi. Tekanan yang
berasal dari luar diri individu, misalnya orangtua menuntut anaknya agar disekolah
selalu rangking satu atau istri memnuntut uang belanja yang lebih kepada suami
4) Krisis
Yaitu keadaan yang mendadak, yang menimbulkan stres pada individu, misalnya
kematian orang yang disayangi, kecelakaan, dan penyakit yang harus segera operasi.
Keadaan stres dapat terjadi beberapa sebab sekaligus, misalnya frustasi, konflik, dan
tekanan.
Model Adaptasi Stres Stuart (2013) dari asuhan keperawatan kesehatan jiwa
memandang perilaku manusia dari perspektif holistik yang mengintegrasikan aspek
biologis, psikologis, dan sosial budaya dalam asuhan keperawatan.
1) Faktor Predisposisi merupakan faktor resiko dan protektif yang mempengaruhi
jenis dan jumlah sumber yang dapat digunakan seseorang untuk mengatasi stres.
Faktor predisposisi tersebut terdiri dari aspek biologis, psikologis dan sosial
budaya,
a) Predisposisi Biologis meliputi latar belakang genetik, status nutrisi, kepekaan
biologis, kesehatan secara umum, dan keterpaparan pada racun
b) Predisposisi psikologis meliputi intelegensi, keterampilan verbal, moral,
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi, pertahanan
psikologis, dan lokus kendali, atau suatu perasaan pengendalian terhadap
nasip sendiri
c) Predisposisi sosial budaya meliputi usia, gender, pendidikan, penghasilan,
pekerjaan, latar belakang budaya, keyakinan religi, afiliasi politik,
pengalaman sosialisasi dan tingkat integrasi sosial atau keterhubungan.
2) Stresor Presipitasi
Adalah stimulus yang menantang, mengancam, atau menuntut individu. Mereka
memerlukan energi tambahan yang mengakibatkan suatu ketegangan dan stres.
Stimulus ini bisa berasal baik dari lingkungan internal atau lingkungan eksternal
manusia.
3) Peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres
Hubungan antara peristiwa kehiduan yang menimbulkan stres dengan penyebab,
onset, sekuensi, dan akibat dari gangguan kesehatan jiwa telah menjadi fokus
banyak penelitian. Ada 3 cara untuk mengkatagorikan peristiwa kehidupan:
a) Melalui kegiatan sosial ; krisis keluarga, pekerjaan, pendidikan sosial.
Kesehatan, finansial, legal, atau komunitas
b) Melalui lahan sosial;
c) Melalui keningina sosial; promosi, pertunangan, dan pernikahan, atau secara
umum tidak menyenangkan seperti kematian, maslah finansial, dipecat atau
perceraian
4) Ketegangan dan kesulitan hidup
Ketegangan atau kesulitan kecil yang dialami setiap hari dapat memberikan
pengaruh lebih besar pada suasana hati dan kesehatan seseorang dari pada
kemalangan yang lebih besar. Ketegangan kehidupan demikina sering terjadi
dalam 4 hal;
a. Konflik perkawinan
b. Isu yang berkaitan dengan orangtua mengasuh anak remaja dan dewasa muda
c. Keuangan rumah tangga
d. Ketidakpuasan dengan tugas dan pekerjaan

b. Tahapan Stres
Tahapan stres menurut Dr.Robert J. Van Amberg (1979), sebagaimana
dikemukan oleh Prof Dadang Hawari (2001) dalam Sunaryo (2004) bahwa tahapan
stres sebagai berikut
1) Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu
bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.
2) Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak
segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore. Lekas lelah sesudah
makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel
discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut
karena cadangan tenaga tidak memadai.
3) Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak
teratur (kadang-kagang diare), otot semakin tegang, emosional, insomnia,
mudah terjaga dan sulit tidur kembali ( middle insomnia), bangun terlalu pagi
dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu dan mau
jatuh pingsan.
4) Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu
bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan,
respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering
menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan
dan kecemasan.
5) Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan
mental (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan
menyelesaikan pekerjaan yang seerhana dan ringan, gangguan pencernaan berat
, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan panik.
6) Stres tahapan keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda,
seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin, dan banyak
keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.

2.2.6 Penilaian terhadap stress

Penilaian terhadap stressor melibatkan penetapan makna dan pemahaman


tentang dampak dari situasi yang menimbulkan stress pada individu. Respon terhadap
stressor menurut Stuart adalah respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan social.

a. Respon kognitif

Respon kognitif memainkan peran sentral dalam adaptasi. Penilaian kognitif


memediasi secara fisiologis antara manusia dan lingkungan setiap menghadapi stress.
Kondisi ini berarti bahwa kerusakan atau potensi kerusakan dari suatu situasi
ditentukan berdasarkan pemahaman seseorang tentang suatu situasi yang dapat
membahayakan serta ketersediaan sumber yang dimiliki seseorang untuk menetralisir
atau mentoleransi bahaya. Terdapat tiga jenis respon kognitif terhadap stress yaitu:
1) Bahaya/kehilangan yang sudah terjadi
2) Ancaman tentang antisipasi bahaya atau bahaya yang akan terjadi
3) Tantangan yang lebih berfokus pada potensi pertumbuhan atau penguasaan
daripada risiko yang mungkin terjadi
Ada beberapa karakteristik manusia yang mampu bertahan dari stressor yang
kuat, diantaranya adalah:
1) Komitemen, kemampuan melibatkan diri sendiri pada apa yang sedang
dilakukannya.
2) Tantangan, keyakinan yang berubah terhadap stabilitas yang di harapkan dalam
kehidupan, maka suatu kejadina dilihat sebagai stimulus bukan ancaman.
3) Kontrol, kecenderungan untuk merasakan dan meyakini bahwa manusia
mengendalikan peristiwa, bukan merasa putus asa dalam menghadapi masalah
kehidupan.
Pada intinya, manusia yang mampu bertahan terhadap stress memiliki sikap
positif terhdap kehidupan, terbuka terhadap perubahan, oeristiwa keterlibatan pada
apapun yang di lakukannya dan mampu mengendalikan kejadian.

b. Respon afektif
Respon afektif adalah sebuah perasaan yang muncul dalam menilaian stressor.
Respon afektif juga berupa reaksi kecemasan umum, yang diekspresikan sebagai
emosi. Respon ini termasuk sukacita, kesedihan, ketakutan, kemarahan, penerimaan,
ketidakpercayaan, antisipasi, dan takjub. Penghayatan, optimis, dan sikap positif dalam
menghadapi peristiwa kehidupan dapat mengarahkan pada perasaan sejahtera.
(Lzararus, 1991 dalam Stuart 2009).
c. Respon fisiologis
Respon fisiologis mencerminkan interaksi beberapa neuroendokrin yang
melibatkan pertumbuhan hormone prolactin, ACTH, luteinizing, stimulasi folikel,
stimulasi tiroid, vasopressin, oksitosin, insulin, epineprin, noreprineprine, dan aneka
ragam neurotransmitter lainnya di otak yang menstimulasi pembagian simpatik sistem
saraf otonom. Hal ini mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk melawan penyakit yang merupakan stressor itu sendiri.

d. Respons perilaku
Respon perilaku adalah hasil dari respons emosional dan fisiologis dan
merupakan analisis kognitif situasi stres. Caplan (1981) menggambarkan empat fase
respons perilaku individu yaitu:
1) Fase 1, Perilaku individu yang mengubah lingkungan yang penuh tekanan atau
memungkinkan individu untuk melepaskan diri darinya.
2) Fase 2, Perilaku yang memungkinkan individu untuk berubah sesuai keadaan
eksternal dan akibatnya.
3) Fase 3, Individu menunjukkan perilaku bertahan untuk melawan situasi
emosional yang tidak menyenangkan.
4) Fase 4, yang terakhir adalah individu berdamai dengan kondisinya dan
melakukan penyesuaian kembali.

Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4


menyesuikan

e. Respon sosial
Respon social adalah cara seseorang menilai suatu kejadian yang merupakan
kunci psikologis untuk memahami upaya koping dan sifat serta intensitas stress.
Respon social terhadap stres didasarkan pada tiga aktivitas (Mechanic, 1977) yaitu:
1) Mencari makna, individu mencari informasi tentang masalah mereka. Hal
ini diperlukan untuk menyiapkan strategi koping.
2) Artibusi sosial dimana individu mengidentifikasi faktor faktor yang
berkonstribusi dalam kondisi tersebut.
3) Perbandingan sosial, di mana orang membandingkan respon, keterampilan,
dan kapasitas dengan orang lain yang memiliki masalah yang sama.
2.2.7 Koping

a. Pengertian koping
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang
mengancam (Keliat, 1999). Koping yang efektif merupakan suatu proses mental untuk
mengatasi tuntutan yang dianggap sebagai tantangan terhadap sifat pada diri seseorang
(National Safety Counsil. 2004).
Berdasarkan teori diatas dapat didefinisikan bahwa koping adalah proses yang
dilakukan individu untuk mengatasi masalah atau respon terhadap situasi yang
mengancam dirinya.

b. Sumber koping
Sumber koping adalah faktor pelindung (stuart, 2016), merupakan pilihan
pilihan atau strategi yang membantu menentukan apa yang dapat dilakukan dan apa
yang beresiko. Sumber daya seseorang dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalam stres dalam hidup mereka dan belaar untuk mengadopsi strategi koping yang
efektif. Stuart (2016) menjabarkan sumber koping diantaranya:
1) Keyakinan spriritual sebagai sumber harapan dan dapat mempertahankan
upaya koping seseorang dalam situasi yang paling tidak diharapkan.
2) Keterampilan menyelesaikan masalah meliputi kemampuan mencari
informasi, mengidentifkasi masalah, mempertimbangkan alternatif dan
mengimplementasikan rencana tindakan.
3) Keterampilan sosial, melibatkan orang lain, meningkatkan kemungkinan
bekerjasama dan memberikan pada individu kontrol yang lebih besar
4) Modal material merujuk pada uang dan barang serta layanan yang dapat dibeli
dengan uang.
5) Pengetahuan dan intelegensi merupakan sumber koping yang memungkinkan
sesorang mengidentifikasi berbagai cara yang berbeda dalam mengatasi stress.
c. Mekanisme koping

Mekanisme koping adalah semua upaya yang diarahkan untuk mengelola stres
yang dapat bersifat konstruktrid atau destruktif. Tiga jenis utama mekanisme koping
adalah sebagai berikut (stuart, 2016):

1) Mekasime koping berfokus pada masalah (tugas), yang melibatkan tugas dan
upaya langsung untuk mengatasi ancaman. Mekanisme ini merupakan upaya yang
disengaja untuk memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, dan memuaskan
kebutuhan. Contoh: negosiasi, konfrontasi, mencari saran, serangan, penarikan
dan kompromi.
- Perilaku menyerang merupakan usaha seseorang mencoba menghilangkan atau
mengatsi hambatan dalam rangka memenuhi kebutuhan.
- Perilaku menarik diri dapat dinyatakan secar fisik atau psikologis. Secara fisik,
menarik diri meliabtkan penghindaran diri dari sumber ancaman. Reaksi ini
dapat berlaku untuk stresor biologis, seperti menghindar dari terik matahari.
- Kompromi melibatkan perubahan cara berpikir seseorang yang biasa tentang
hal hal tertentu, mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan
pribadi. Reaksi kompromi biasanya bersifat konstruktif dansering digunakan
dalam situasi pendekatan pendekatan atau penghindaran penghindaran.
2) Mekanisme koping berfokus secara kognitif, dimana seseoarang mencoba untuk
mengendalikan makna dari suatu masalah lalu menetralisirnya. Contoh: meliputi
perbandingan positif, ketidaktahuan selektif, substitusi penghargaan, dan
devaluasi objek yang diinginkan.
3) Mekanisme koping berfokus pada emosi (ego), dimana klien di orientasi untuk
mengurangi distres emosionalnya Mekanisme ini dikenal sebgai mekanisme
pertahanan, melindungi orang dari perasaan tidak mamapu dan tidak berharga serta
mencegah kesadaran ansietas. Koping ini dapta digunakan untuk mengatasi
ansietas tingkat ringan, sedang bahkan lebih tinggi sehingga dapat mendistorsi
realitas, mengganggu hubungan interpersonal, dan membatasi kemampuan dalam
bekerja secara produktif. Contoh: menggunakan mekanisme pertahanan ego,
seperti denial, supresi, atau proyeksi.
Adapun sifat dari mekasnisme yang digunakan diantaranya:
1) Mekanisme koping bersifat konstruktif ketika ansietas digunakan sebagai tanda
peringatan dan individu menerimamanya sebagai tantangan untuk menyelesaikan
masalah.
2) Mekanisme koping yang destruktrif mematikan peringatan ansietas dan tidak
menyelesaikan konflik dan mungkin menggunakan mekanisme koipng yang
menghindari resolusi.

3.1 Konsep umum sehat jiwa

WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan yang sempurna dari fisik,

mental, sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. American Psychiatric

Association (APA, 2003) mendefinisikan kesehatan mental sebagai kinerja fungsi

mental yang sukses ditunjukkan oleh aktivitas produktif, pemenuhan hubungan dengan

orang lain, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan untuk mengatasi

kesulitan. Townsend (2006) mendefinisikan penyakit jiwa sebagai: "Respon

maladaptif terhadap stressor dari internal atau eksternal lingkungan, dibuktikan oleh

pikiran, perasaan,dan perilaku yang tidak sesuai dengan kebiasaan setempat dan norma

budaya, dan mengganggu sosial individu,pekerjaan, dan / atau fungsi fisik. Jadi

kesehatan jiwa adalah keadaan sehat emosional, psikologis, dan sosial yang dibuktikan

dengan memuaskan hubungan interpersonal, perilaku dan koping yang efektif, konsep

diri yang positif, dan stabilitas emosional.

Ada 6 kriteria sehat jiwa menurut Yahoda :


1. Sikap positif terhadap diri sendiri

2. Tumbuh kembang dan aktualisasi diri

3. Integrasi (keseimbangan dan keutuhan)

4. Otonomi (mampu mengambil keputusan sendiri)

5. Persepsi realitas (persepsi sesuai dengan kenyataan)

6. Environmental mastery (kecakapan dalam adaptasi dengan lingkungannya)

3.2 Mental disorders dan mental illness

Kesehatan Mental atau kesehatan jiwa adalah keadaan dimana emosional,

perilaku, dan kematangan sosial atau normalitas dengan tidak adanya gangguan mental

atau perilaku (Kozier, 2008). Kesehatan mental merupakan kondisi psikologis yang

sejahtera di mana telah mencapai integrasi yang memuaskan dari dorongan insting

seseorang diterima diri sendiri dan lingkungan sosial seseorang yang sesuai

keseimbangan cinta, kerja, dan kegiatan rekreasi (Stuart, 2013). Individu merupakan

makhluk sosial yang holistik sehingga ketika muncul ketidakseimbangan dan tidak

mampu mengatasi atau beradaptasi maka yang akan terjadi adalah gangguan jiwa

hingga sakit jiwa (Videback, 2013).

Gangguan jiwa (Mental disorder) adalah pola mental atau perilaku yang

menyebabkan penderitaan atau kemampuan yang buruk untuk menjalankan fungsi

dalam kehidupan. Gangguan kemampuan tersebut meliputi kemampuan kognitif,

afektif atau relasional individu yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir,

perilaku, dan persepsi (Stuart, 2013). Menurut Sigmund Freud (2000), Gangguan jiwa
disebabkan karena individu tidak mampu mengatasi konflik dalam diri, tidak

terpenuhinya kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan

perasaan rendah diri. Adanya gangguan tugas perkembangan pada masa anak terutama

dalam hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan

perasaan takut, respon orang tua yang mal adaptif pada anak akan meningkatkan stress

(Videback, 2013). Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung

timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa faktor seperti

faktor biologis, psikologis, sosial, dan lingkungan.

Faktor biologis diantaranya adalah keturunan yang didudung oleh faktor

lingkungan kejiwaaan yang tidak sehat, jasmaniah yang berkaitan dengan bentuk

tubuh, temperamen yaitu individu yang terlalu peka atau sensitif, dan penyakit dan

cedera tubuh yang menyebabkan individu merasa rendah diri. Faktor psikologis seperti

pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap,

kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7

masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa jika pada

masa perkembangan tersebut individu mengalami kegagalan atau ketidakpuasan.

Faktor sosial merupan penyebab gangguan jiwa terkait dengan nilaidan moral setempat

dimana secara teknis merupakan ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang

tidak terlihat. Aturan aturan yang berlaku dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan individu. Faktor lingkungan berkaitan dengan adanya tekanan dan

perubahan yang terjadi. Jika individu merasa perubahan tersebut cukup mengganggu
dan tidak mampu beradaptasi maka yang akan terjadi adalah munculnya gangguan jiwa

termasuk perkembangan kepribadian yang abnormal (Videback, 2013).

Mental illnes atau sakit jiwa merupakan kondisi individuyang diserang penyakit

jiwa (psychose), kepribadiannya terganggu, dan selanjutkan kurang mampu

menyesuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya (Stuart,

2013). Mental illness mengacu pada berbagai kondisi mental kesehatan gangguan

yang memengaruhi suasana hati (mood), daya pikir dan perilaku. Seringkali orang yang

sakit jiwa, tidak merasa bahwa ia sakit, sebaliknya ia menganggap bahwa dirinya

normal saja, bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari orang lain. Tidak

sedikit orang memiliki kesadaran terhadap kesehatan mental, namun tidak banyak

orang tahu masalah kesehatan mental bisa menjadi penyakit jiwa (mental illness) saat

tanda-tanda dan gejala-gejala yang sedang berlangsung sering menyebabkan stres dan

memengaruhi fungsi kemampuan (ability). Beberapa tanda dan gejala pada individu

dengan mental illnes diantaranya adalah menarik diri dari interaksi sosial, kesulitan

mengorientasikan waktu, tempat, dan orang, mengalami penurunan daya ingat,

mengabaikan kebersihan dan penampilan, memiliki perasaannya selalu berubah-ubah,

dan berperlikaku aneh. Depresi, gangguan kecemasan/kegelisahan, skizofrenia,

bipolar, gangguan makan, ADHD, kleptomania dan perilaku kecanduan, merupakan

contoh-contoh dari mental illness (Townsend, 2008).

Sakit jiwa terdiri dari dua jenis 2 yaitu psikosis dan non-psikosis. Sakit jiwa

psikosis merupakan sakit jiwa yang disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang

telah berlarut-larut, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, dan ketegangan
batin sehingga mencapai puncaknya dimana jika tanpa suatu penyelesaian secara wajar

maka akan terjadi hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh.

Sakit jiwa non-psikoisis adalah sakit jiwa yang disebabkan oleh adanya

kerusakan pada anggota tubuh. Misalnya otak, sentral saraf atau hilangnya kemampuan

berbagai kelenjar. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat minuman

keras, obat-obatan perangsang atau narkotik, akibat penyakit kronis, dan sebagainya

(Videback, 2013). Contoh sakit jiwa diantaranya adalah individu mengalami

scizophrenia yang merupakan penyakit jiwa paling banyak ditemukan ditandai dengan

waham, halusinasi, perilaku aneh, anhedonia (tidak mampu merasakan kesenangaan) ,

afek datar atau tumpul, dan alogia (cenderung sedikit bicara). Paranoia yaitu penyakit

gila kebesaran atau gila menuduh orang yang dicirikan dengan adanya delusi

(anggapan bahwa dirinya adalah orang yang hebat dan orang lain adalah orang yang

salah dan akan berbuat jahat pada individu tersebut). Maniac depresive yaitu individu

mengalami rasa gembira yang besar kemudian secara tiba tiba merasakan kesedihan

atau perasaan tertekan yang mendalam (Townsend, 2008).

Pada intinya adalah bahwa masalah kesehatan jiwa berakar pada Teori Stuart

(membahas stress dan mekanisme koping) dan Teori Roy (membahas respon adaptif

dan maladaptif individu terhadap stressor). Akibatnya akanmuncul terdiri dari dua hal

besar dalam masalah kesehatan jiwa yaitu gangguan jiwa (mental disorders) dan sakit

jiwa (mental illness). Prinsip terjadinya gangguan jiwa adalah individu kesulitan atau

tidak mampu berhubungan dengan dengan orang lain karena persepsinya tentang

kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri dimana penyebabnya dapat berasal
dari kondisi biologis, psikologis, sosial, dan lingkungan. Gangguan jiwa terjadi sebagai

bentuk respon maladaptive individu terhadap faktor faktor tersebut. Sedangkan sakit

jiwa mengacu pada berbagai kondisi mental kesehatan gangguan yang memengaruhi

suasana hati (mood), daya pikir, dan perilaku. Maka dapat disebutkan bahwa jika

individu tidak aka mengalami gangguan jiwa jika memiliki support system yang baik

dalam mengatasi permasalahan yang terjadi sehingga individu mampu berdaptasi dan

tetap dalam kondisi sehat jiwa. Kemudian jika individu mengalami gangguan jiwa

maka tidak akan menjadi sakit jiwa jika individu tersebut support system yng ada atau

dimiliki individu tersebut digunakan sebaik mungkin dan ditambah dengan adanya

asuhan keperawatan yang tepat.

3.3 Karakteristik sehat jiwa dan sakit jiwa

a. Karakteristik Sehat Jiwa

Karakteristik sehat jiwa menurut WHO (Hawari, 2002):

1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan

itu buruk baginya

2. Memeperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya

3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima

4. Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress)

5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan

6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari

7. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif


8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar

Karakteristik sehat jiwa menurut Maslow-Mittlemenn (Notosoedirdjo, 2005):

1. Rasa aman yang memadai

2. Kemampuan menilai diri sendiri yang memadai

3. Memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai dengan orang lain

4. Mempunyai kontak yang efisien dengan realitas

5. Keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk

memuaskannya.

6. Mempunyai pengetahuan yang wajar

7. Kepribadian yang utuh dan konsisten

8. Memiliki tujuan hidup yang wajar

9. Kemampuan untuk belajar dari pengalaman

10. Kemampuan memuaskan tuntutan kelompok

11. Mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya

b. Karakteristik Sakit Jiwa

American Psychiatric Association (APA, 2000 dalam buku Videbeck 2013)

mendefinisikan gangguan mental sebagai sindrom perilaku atau psikologis perilaku

yang signifikan yang terjadi pada individu dan dikaitkan dengan tekanan saat ini

(misalnya gejala yang menyakitkan) atau cacat (yaitu, penurunan dalam satu atau area

fungsi yang lebih penting) atau dengan peningkatan risiko kematian, rasa sakit,
kecacatan, atau kehilangan kebebasan yang secara signifikan. Kriteria umum untuk

mendiagnosis sakit jiwa meliputi:

1) Ketidakpuasan dengan karakteristik, kemampuan, dan prestasi seseorang

2) Hubungan yang tidak efektif atau tidak memuaskan

3) Ketidakpuasan dengan tempat seseorang di dunia

4) Tidak efektif mengatasi kejadian hidup, dan

5) Kurangnya pertumbuhan pribadi

6) Perilaku orang tersebut tidak diharapkan secara budaya, namun perilaku

menyimpang tidak selalu menunjukkan adanya gangguan jiwa

Tanda dan gejala gangguan jiwa atau sakit jiwa secara umum menurut Yosep

(2009) adalah sebagai berikut:

1) Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-

perbuatan yang terpaksa (convulsive), histeria, rasa lemah, tidak mampu

mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.

2) Gangguan kognisi pada persepsi merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu

bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah,

padahal orang disekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya

tidak ada hanya muncul dari dalam individu sebagai bentuk kecemasan yang

sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bisa mendengar

sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada

menurut orang lain.


3) Gangguan kemauan klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat

keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat

diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau, dan acak-acakan.

4) Ganggaun emosi klien merasa senang, gembira yang berlebihan (Waham

kebesaran). Klien merasa sebagai orang penting, sebagai raja, pengusaha, orang

kaya, titisan Bung Karno tetapi dilain waktu ia bisa merasa sangat sedih,

menangis, tak berdaya (depresi) sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.

5) Gangguan psikomotor (hiperaktivitas), klien melakukan pergerakan yang

berlebihan naik keatas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat,

melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam

lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh.

Keadaan mental dan emosi tampak ditandai:

1) Delusi atau Waham, yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal)

meskipun telah dibuktikkan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak

rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.

2) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan misalnya

penderita mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak

ada sumber dari suara/bisikan itu.

3) Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya, misalnya

bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.


4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan

semangat dan gembira berlebihan.

3.4 Faktor fakor yang mempengaruhi sehat dan sakit jiwa

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penyakit jiwa juga dapat dilihat

dalam kategori individu, interpersonal, dan sosial / budaya. Faktor individu meliputi

biologis, kekhawatiran atau ketakutan yang tidak dapat ditolerir atau tidak realistis,

ketidakmampuan untuk membedakan realitas dari fantasi, intoleransi ketidakpastian

hidup, rasa ketidakharmonisan dalam hidup, dan hilangnya makna dalam kehidupan

seseorang. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penyakit jiwa juga dapat

dilihat dalam kategori individu, interpersonal, dan sosial / budaya (Videbeck, 2011),

berikut penjelasannya:

a. Faktor Individu

1) Usia

Orang dengan usia lebih muda memiliki permulaan mengatasi sakit dengan

hasil yang lebih buruk, seperti tanda negatif (apatis, isolasi sosial, dan kurangnya

kemauan/motivasi) dan keterampilan koping yang kurang efektif, dibandingkan

pada orang-orang dengan usia lebih tua saat mengatasi sakit. Alasan yang mungkin

untuk perbedaan ini adalah bahwa klien yang lebih muda tidak memiliki

pengalaman keberhasilan hidup mandiri atau kesempatan untuk bekerja mandiri,

dan kurang berkembangnya rasa identitas pribadi dibanding klien yang lebih tua.
Erik Erikson menggambarkan pengembangan psikososial masa hidup

dalam hal tugas pembangunan yang harus dicapai pada setiap tahap. Pada

setiap tahap, orang tersebut harus menyelesaikan tugas kehidupan secara kritis

dimana penting untuk kesejahteraan dan kesehatan mental. Misalnya,

seseorang yang tidak pernah menyelesaikan tugas pengembangan otonomi

menjadi terlalu tergantung pada orang lain. Gagal berkembang pada identitas

diri bisa mengakibatkan kebingungan peran atau gagasan yang tidak jelas

tentang siapa seseorang itu sebagai pribadi. Mengatasi pada tahap

perkembangan ini dapat mempengaruhi bagaimana orang tersebut

menanggapi stres dan penyakit. Kurangnya kesuksesan bisa berakibat pada

perasaan inferioritas, ragu, kurang percaya diri, dan terisolasi, semuanya bisa

mempengaruhi bagaimana seseorang menanggapi penyakit.

2) Genetika dan Faktor Biologis

Faktor keturunan dan faktor biologis bukan termasuk kedalam kontrol

yang dapat kita ubah karena penelitian telah mengidentifikasi hubungan

genetik dengan beberapa kelainan. Susunan genetika sangat mempengaruhi

respon seseorang terhadap penyakit dan bahkan mungkin untuk pengobatan.

Oleh sebab itu pengkajian riwayat keluarga dan latar belakangnya adalah

bagian penting dari proses keperawatan.

3) Kesehatan fisik dan Praktek Kesehatan

Kesehatan fisik juga bisa mempengaruhi bagaimana seseorang

merespons stres psikososial atau penyakit. Orang yang sehat adalah dia bisa
mengatasi stres atau sakit dengan lebih baik. Status gizi yang buruk, kurang

tidur, atau penyakit fisik yang kronis mengganggu kemampuan seseorang

untuk mengatasinya.

4) Respon terhadap Obat

Obat psikotropika yang digunakan oleh banyak orang akan

mempengaruhi perbedaan biologis pada orang tersebut. Dimana jika

disalahgunakan akan mengakibatkan efek samping yang sangat parah yaitu

dapat mengubah tingkah perilaku, gangguan persepsi, gangguan proses

berpikir, gangguan motorik, hingga gangguan mental dan sebagainya. (Purnell

& Paulanka, 2008).

5) Keberhasilan Diri / Self-Efficacy

Seseorang dengan keberhasilan diri dan percaya diri yang tinggi akan

memiliki harapan positif tentang kesuksesan pribadi mereka. Orang dengan

keberhasilan diri tinggi menetapkan tujuan pribadi adalah sebagai motivasi

diri, mengatasi stres dan meminta dukungan dari orang lain secara efektif bila

diperlukan. Orang dengan tingkat keberhasilan rendah memiliki cita-cita yang

rendah, mengalami banyak keraguan diri, dan mungkin diganggu oleh

kecemasan dan depresi.

6) Ketahanan (Hardiness)

Ketahanan adalah kemampuan untuk melawan penyakit saat mengalami

stres. Menurut Kobasa (1979), sifat tahan banting terhadap sesuatu memiliki

tiga komponen, yaitu:


a) Komitmen yaitu keterlibatan aktif dalam aktivitas kehidupan

b) Kontrol yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat

dalam hidup

c) Tantangan yaitu kemampuan untuk menganggap perubahan lebih

menguntungkan dari sekedar stres.

7) Spiritualitas

Spritiualitas melibatkan esensi dari keberadaan seseorang dan

keyakinannya tentang arti hidup dan tujuan untuk hidup, termasuk

kepercayaan pada Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi, praktik agama,

kepercayaan dan praktik budaya, dan hubungan dengan lingkungan. Bagi

banyak orang di masyarakat umum, agama dan spiritualitas adalah sumber

penghiburan dan bantuan pada saat stres atau trauma.

b. Faktor Interpersonal

1) Rasa memiliki

Rasa memiliki adalah perasaan terhubung dengan atau keterlibatan

dalam sistem sosial atau lingkungan dimana orang merasa itu merupakan

bagian yang tidak terpisahkan. Meningkatnya rasa memiliki dikaitkan dengan

tingkat kecemasan yang menurun.

2) Jaringan Sosial dan Dukungan Sosial

Jaringan sosial adalah kelompok orang yang diketahuinya dan dengan

siapa seseorang merasa terhubung. Studi telah menemukan bahwa memiliki

jaringan sosial dapat membantu mengurangi stres, berkurangnya rasa sakit,


dan secara positif mempengaruhi kemampuan untuk mengatasi dan untuk

beradaptasi (Chanokruthai, Williams, & Hagerty, 2005).

3) Dukungan keluarga

Keluarga sebagai sumber dukungan sosial yang bisa menjadi faktor

utama dalam pemulihan klien dengan penyakit kejiwaan. Perawat harus

mendorong anggota keluarga untuk terus mendukung klien bahkan saat dia

berada rumah sakit dan harus mengidentifikasi kekuatan keluarga, seperti

cinta dan perhatian, sebagai sumber dukungan untuk klien (Reid, Lloyd, & de

Groot, 2005).

c. Faktor Budaya

Salah satu pendekatan dalam membedakan kesehatan mental dari mental

penyakit adalah mempertimbangkan apa yang dianggap oleh budaya tertentu

sebagai sesuatu yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Dalam pandangan

ini, orang yang sakit mental adalah mereka yang melanggar norma sosial dan

dengan demikian mengancam (atau membuat cemas). Diantaranya adalah :

1) Keyakinan Tentang Penyebab Penyakit

2) Faktor-faktor dalam Penilaian Budaya

3) Status Sosial Ekonomi dan Kelas Sosial

3.5 Tahapan Perubahan Status dari Sehat Jiwa menuju Sakit Jiwa

Kriteria umum untuk menentukan diagnosa gangguan jiwa meliputi

ketidakpuasan dengan karakteristik dan kemampuan seseorang; kesepian yaitu


hubungan interpersonal yang tidak efektif atau tidak memuaskan; ketidakpuasan

terhadap posisi orang lain di dunia;tidak efektif dalam mengatasi kehidupan atau suatu

kejadian; dan kurangnya perkembangan kepribadian.Kecemasan dan kesedihan telah

digambarkan sebagai dua besar respon terhadap stress yang paling utama.

a. Kecemasan : Kecemasan muncul dari kekacauan dan kebingungan yang terjadi di

dunia saat ini, ketakutan akan hal yang tidak diketahui dan kondisi yang membuat

ragu menawarkan ruang yang leluasa untuk kecemasan berakar dan tumbuh.

Peplau (1963) dalam Townsend (2009) menggambarkan 4 level kecemasan yaitu:

1) Mild anxiety (Kecemasan ringan)

Tingkat kecemasan ini jarang menjadi masalah karena ketegangan yang dialami

merupakan respon terhadap kegiatan sehari-hari. Dalam tahap kecemasan

ringan, individu akan menggunakan salah satu dari sejumlah perilaku

penanggulangan yang memenuhi kebutuhan mereka akan kenyamanan. Tipe

mekanisme koping yang biasa dilakukan seseorang untuk mengurangi

kecemasan dalam situasi yang penuh tekanan, yaitu :

Tidur

Makan

Latihan fisik

Merokok

Menangis

Mondar mandir

Mengayunkan kaki
Gelisah

Menguap/ menganga

Minum alkohol

Melamun

Tertawa

Memaki/ mengutuk

Menggigit kuku

Mengetuk jari

Berbicara dengan orang lain yang dianggap nyaman

2) Moderate anxiety (Kecemasan sedang)

Seiring dengan meningkatnya kecemasan, kemampuan proses perseptual

berkurang sehingga inidividu pada tahap kecemasan sedang, kurang waspada

terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan. Mekanisme pertahanan yang

dilakukan oleh ego dalam menghadapi ancaman terhadap integritas biologi dan

psikologi yaitu:

Kompensasi (menutupi kelemahan dengan menekankan hal lain yang lebih

diinginkan)

Penyangkalan (menolak mengakui adanya masalah atau perasan yang

terkait dengannya)

Pemindahan (peralihan perasaan ke target lain yang dianggap kurang

mengancam)
Identifikasi (upaya meningkatkan harga diri dengan memperoleh

karakteristik tertentu)

Intelektualisasi (menghindari ekspresi emosi aktual menggunakan proses

logika dan analisa)

Introjeksi (mengintegrasikan keyakinan dan nilai orang lain dalan struktur

ego seseorang)

Isolasi (memisahkan ingatan dari perasaan dan emosi yang terkait

dengannya)

Proyeksi (mengaitkan perasaan yang tidak dapat diterima seseorang

terhadap orang lain)

Rasionalisasi (membuat alasan logis untuk membenarkan perasaan atau

perilaku yang salah)

Formasi reaksi (mencegah pengungkapan hal yang tidak diinginkan dengan

meningkatkan pemikiran atau perilaku yang sebaliknya atau berlawanan)

Kemunduran (mundur dalam menanggapi tekanan pada tingkat

perkembangan sebelumnya)

Represi (tidak sengaja menghalangi perasaan dan pengalaman yang tidak

menyenangkan)

Sublimasi (mengubah pengalaman yang tidak diinginkan menjadi kegiatan

yang konstruktif)

Supresi (dengan sengaja menghalangi perasaan dan pengalaman yang tidak

diinginkan)
Kehancuran (secara simbolis meniadakan/membatalkan pengalaman yang

tidak dapat ditoleransi)

3) Severe anxiety (Kecemasan berat)

Rentang perhatian sangat terbatas dan individu memiliki banyak kesulitan

untuk menyelesaikan tugas yang paling mudah atau sederhana sekalipun.

Beberapa gangguan berikut merupakan contoh dari respon psikonuretic

terhadap kecemasan:

Gangguan kecemasan (phobia, gangguan obsesif kompulsif, gangguan

panik, gangguan kecemasan umum, gangguan stress post trauma)

Gangguan somatoform (hipokondriasis, gangguan konversi, gangguan

somatisasi dan gangguan nyeri)

Gangguan disosiatif (amnesia disosiatif, dissociative fugue, gangguan

identitas disosiatif, dan gangguan depersonalisasi)

4) Panic

Pada tingkat kecemasan ekstrem ini, individu tidak mampu memproses apa

yang terjadi di lingkungan dan mungkin kehilangan kontak dengan kenyataan.

Psikosis didefinisikan sebagai hilangnya batas ego dan penurunan dalam

pengujian realitas, dimana psikosis merupakan gangguan kejiwaan yang serius

ditandai dengan adanya delusi (khayalan) atau halusinasi serta penurunan

fungsi interpersonal dan hubungan dengan dunia luar.


b. Kesedihan

Kesedihan adalah keadaan subjektif dari respon emosional, fisik dan

sosial terhadap kehilangan suatu nilai. Kehilangan akan sesuatu yang dinilai

berharga bagi seseorang akan memicu respon kesedihan. Periode karakteristik

emosi dan perilaku ini disebut mourning. Proses mourning yang adaptif

ditandai dengan perasaan sedih, bersalah, marah, ketidakberdayaan, tidak ada

harapan dan putus asa. Sedangkan tidak adanya proses mourning setelah

kehilangan bisa dianggap maladaptif.

1) Tahapan proses kesedihan

Kubler-Ross (1969) dalam Townsend (2009) mengidentifikasi 5 tahapan

perasaan dan perilaku dalam menerima atau mengantisipasi kehilangan

Denial (penolakan)

Anger (marah)

Bargaining (tawar menawar)

Depression (depresi)

Acceptance (penerimaan)

2) Tingkat kesedihan

1) Mild grief (kesedihan ringan) : kekecewaan yang terjadi sehari hari yang

akan menimbulkan perasaan sedih.

2) Moderate grief (kesedihan sedang) : menimbulkan respon neurosis

ditandai dengan adanya dysthymia dan cyclothymia


3) Severe grief (kesedihan berat) : Menimbulkan respon psikosis yang

dapat dibuktikan dengan depresi berat dan gangguan bipolar.

3.6 Peran perawat dalam rentang sehat sakit jiwa

Perawat jiwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengacu pada standar

praktik keperawatan jiwa yang menggabungkan tahapan proses keperawatan dengan

standar kinerja profesional. Perawat bertanggung jawab pada pemenuhan standar

asuhan dan standar kinerja profesional perawat jiwa yang melingkupi hal-hal berikut

ini:

a. Standar Asuhan

1) Pengkajian : perawat mengumpulkan data status klien.

2) Diagnosa : perawat melakukan analisa data dalam menegakkan diagnosa

3) Identifikasi kriteria hasil : perawat mengidentifikasi kriteria hasil yang ingin

dicapai oleh klien.

4) Perencanaan : perawat menyusun perencanaan asuhan, kemudian menentukan

intervensi untuk mencapai kriteria hasil.

5) Implementasi : perawat melakukan tindakan sesuai intervensi direncanakan.

6) Evaluasi : mengevaluasi perkembangan dan pencapaian kriteria

b. Standar Kinerja Profesional

Kualitas Asuhan

Penilaian Kinerja

Edukasi
Kolegialitas

Etik

Kolaborasi

Penelitian

Pemanfaatan Sumber Daya

C. Peran Perawat Kesehatan Jiwa

Menurut Weiss (1947) yang dikutip oleh Stuart Sundeen dalam Principles and Practice

of Psychiatric Nursing Care (1995), peran perawat yakni:

1. Mengobservasi perubahan, baik perubahan kecil atau menetap yang terjadi

pada klien

2. Mendemontrasikan penerimaan

3. Respect

4. Memahami klien

5. Mempromosikan ketertarikan klien dan beradaptasi dalam interaksi

Sedangkan menurut Peplau, peran perawat meliputi:

1. Sebagai pendidik

2. Sebagai pemimpin dalam situasi yang bersifat lokal, nasional dan internasional

3. Sebagai surrogate parent

4. Sebagai konselor.
Adapun peran perawat jiwa adalah sebagai berikut :

1. Mengidentiffikasi, mengklasifikasi dan memetakan permasalahan kesehatan

jiwa. Perawat membantu pasien mengembangkan kemampuan meyelesaikan

masalah dan meningkatkan fungsi kehidupannya.

2. Pendidikan kesehatan dalam upaya preventif dan promotif penemuan kasus

dini, skrining dan tindakan yang cepat. Perawat memberikan penndidikan

kesehatan jiwa individu dan keluarga untuk mengembangkan kemampuan

menyelesaikan masalah.

3. Pemberi asuhan keperawatan pada intervensi kondisi krisis . Memberikan

asuhan secara langsung, peran ini dilakukan dengan menggunakan konsep

proses keperawatan jiwa. Kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan kasus,

tindakan keperawatan individu, keluarga, kolaborasi dengan tim kesehatan.

4. Proses Terjadinya Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang ditunjukkan oleh

individu yang menyebabkan distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas kehidupan

(Stuart, 2013). Gangguan jiwa menurut Videbeck (2008) adalah suatu syndrome atau

pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang

yang dikaitkan dengan adanya distress atau disabilitas yang disertai peningkatan resiko

kematian yang menyakitkan, nyeri, atau sangat kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa

yang dialami seorang individu dapat terlihat dari penampilan, komunikasi, proses
berpikir, interaksi dan aktivitasnya sehari-hari, (Keliat, 2011). Gangguan jiwa

dimanifestasikan pada disfungsi perkembangan, biologi dan psikologi dalam lingkup

fungsi mental. Penyebab gangguan jiwa, merupakan interaksi aspek biologis,

psikologis, dan sosial kultural.

1. Aspek Biologi

Ada beberapa unsur fisik yang dapat berpengaruh pada munculnya gangguan jiwa.

Unsur-unsur tersebut antara lain:

a. Otak

Patologi otak diantaranya trauma, lesi, infeksi, perdarahan, tumor, toksin,

ganguan metabolise dan atrofi otak. Menurut Frisch & Frisch (2011),

hipoaktifitas lobus frontal telah menyebabkan afek menjadi tumpul, isolasi sosial

dan apatis. Sedangkan gangguan pada lobus temporal telah ditemukan terkait

dengan munculnya waham, halusinasi dan ketidakmampuan mengenal objek atau

wajah. Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan

terjadinya gejala negatif seperti apatis, afek tumpul serta miskinnya ide dan

pembicaraan. Sedangkan pada bipolar disorder, gangguan profrontal telah

menyebabkan munculnya episode depresi, perasaan tidak bertenaga dan sedih

serta menurunnya kemampuan kognitif dan konsentrasi. Disfungsi sistem limbik

berkaitan erat dengan terjadinya waham, halusinasi, serta gangguan emosi dan

perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH adanya perubahan struktur


dalam sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan dalam auditory spatial perception

(Hunter et all, 2010).

b. Neurotransmitter

Menurut Frisch & Frisch (2011), neurotransmiter adalah senyawa organik

endogenus membawa sinyal diantara neuron. Neurotransmitter tersebut terdiri

dari:

Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan

dan meningkatkan kewaspadaan mental

Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat

perhatian dan orientasi; mengatur fight-flightdan proses pembelajaran dan

memori

Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan perhatian

c. Genetik / Keturunan

Gangguan jiwa memang termasuk penyakit herediter. Cloninger (1989)

mengatakan bahwa gangguan jiwa terutama gangguan persepsi sensori dan

gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik

termasuk di dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang

memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki

kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor

herediter. Faktor genetik tersebut juga ditunjang dengan pola asuh yang

diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga


pasien yang mengalami gangguan jiwa. Rose Cooper Thomas dalam Yayah, yang

melakukan penelitian terhadap hubungan ibu dan anak, menemukan bahwa ibu

yang mengalami gangguan jiwa schizophrenia (kecenderungan perilaku yang

acuh tak acuh), cenderung menghasilkan karakter anak dengan perilaku

pemberontak, jahat, menyimpang, bahkan anti sosial

d. Cacat Kongenital

Pengaruh cacat kongenital terhadap timbulnya gangguan jiwa pada umumnya

bergantung pada karakter individu itu sendiri, bagaimana ia menilai dan

menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang cacat. Orangtua dapat

mempersulit penyesuaian ini dengan proteksi berlebihan. Penolakan atau adanya

tuntutan yang diluar kemampuan anak.

e. Bentuk Fisik / Jasmaniah

Beberapa ilmuwan menyimpulkan bentuk tubuh seseorang berhubungan dengan

gangguan jiwa tertentu. Misalnya yang bertubuh kurus, tinggi badan yang terlalu

tinggi atau yang terlalu pendek dan sebagainya.

f. Deprivasi

Deprivasi atau kehilangan fisik, baik yang dibawa sejak lahir ataupun yang

didapat, misalnya karena kecelakaan hinga anggota gerak (kaki dan tangan) ada

yang harus diamputasi (Baihaqi, 2005).

g. Penyakit dan cedera tubuh


Penyakit-penyakit tertentu misalnya jantung, kanker, dan sebagainya mungkin

menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera / cacat tubuh

tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri (Yosep, 2007).

h. Tempramen / Proses-proses Emosi yang Berlebihan

Orang yang terlalu peka/sensitivf biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan

ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa. Dan proses

emosi yang terjadi secara terus-menerus dengan koping yang tidak efektif akan

mendukung timbulnya gejala psikotik (Yosep, 2007).

i. Penyalahgunaan obat-obatan

Gangguan jiwa dimungkinkan oleh adanya interaksi individu dengan obat-

obatan/zat adiktif yang dikonsumsi seperti kokain, amphetamine, dan lain-lain.

Koping yang maladaptif digunakan individu untuk menghadapi stressor melalui

obat-obatan meyebabkan munculnya gangguan persepsi, gangguan proses

bepikir, gangguan motorik dan sebagainya.

2. Aspek Psikologis

Gangguan mental/jiwa dapat terlihat dari respon atau perilaku maladaptif yang

dilakukan klien. Respon atau perilaku maladaptif tersebut dipengaruhi oleh banyak

faktor salah satunya dari aspek psikologi. Aspek psikologi ini dikaitkan dengan

unsur kepribadian (personality) dan pengaruh tahapan perkembangan, Keterkaitan

teori psikoanalisanya dapat dilihat berdasarkan skema berikut ini:


Skema Pengaruh Aspek Psikologis terhadap Status Mental/Jiwa

Tahap
Perkem
bangan

Status
Mental/
Jiwa
Dinamika Struktur Mental Topografi
Kepriba Content & Berpikir/
Kepribadian Operation
dian
Bertindak

Status mental seseorang dapat dikenali dari gambaran sikap dan perilaku yang

ditunjukkannya dimana dikaitkan pula oleh struktur kepribadian individual yang

muncul dan tahap perkembangan yang dilaluinya. Kepribadian menurut APA (2003)

adalah pola atau hal perasaan, keterkaitan, dan pemikiran tentang lingkungan hidupnya
dalam konteks sosial dan personal. Berikut adalah penjelasan terkait teori psikoanalitis

Freud sebagai penyebab masalah mental.

a. Struktur Kepribadian (Personality)

Ada tiga kompenen penting dalam struktur kepribadian yang memiliki fungsi

dan karakteristik berbeda-beda. Tiga komponen itu adalah:

1. Id : Id dibawa saat lahir. Id merupakan sumber pemicu, insting, refleksi, terkait

genetik, respon dan motivasi dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan diri

sendiri. Id tidak mentolerasi adanya tekanan dan akan mencari jalan untuk membuat

keinginannya terpenuhi, missal bayi yang menangis saat lapar. Id kurang mampu

menyelesaikan masalah.

2. Ego : Ego merupakan karakter penyelesai masalah dan penguji realitas.

Komponen ego dapat membedakan pengalaman subjektif, menggambarkan suatu

memori/ingatan, mampu bersikap objektif-realistis, dan dapat bernegosiasi

dengan dunia luar. Ego sebagai penyeimbang karakter id, sebagai mekanisme

bertahan diri. Contoh, individu yang tengah lapar, id berpikir bahwa lapar harus

dipenuhi dengan makan, sementara ego akan berpikir bukan hanya tentang lapar

yang sedang dialami tetapi memikirkan pula bagaimana cara mendapatkan dan

apa jenis makanan yang akan dimakan.

3. Superego : Superego merupakan komponen terakhir yang berkembang dalam

perkembangan kepribadian, mempresentasikan sisi moral kepribadian. Superego


mengedepankan sisi ideal dibandingkan sisi realita, berupaya mendapatkan

kesempurnaan, berlawanan dengan keinginan untuk mendapatkan kesenangan.

Fungsi mental dijalankan dengan adanya energi fisik, digambarkan sebagai

dinamika kepribadian. Freud berpendapat ada dua periode masa energi fisik tersebut

berlangsung sebagai kekuatan bagi id, ego, dan superego yaitu periode cathexis dan

anticathexis. Cathexis adalah proses id memberi energi terhadap suatu objek untuk

dalam upaya memenuhi keinginannya, contoh individu yang secara insting

berkeinginan mengkonsumsi makanan berlebih saat stress. Periode anticathexis

merupakan masa ego dan superego mengendalikan impuls id. Ego menjalankan

pemikiran rasional bahwa bila makan berlebih maka tubuh akan menjadi gemuk,

selanjutnya mencari pengalihan lain seperti melakukan hobi menyulam. Superego

akan hadir berupa pemikiran dampak bila mengkonsumsi makanan banyak maka

akan menjadi gemuk dan penampilan menjadi buruk sehingga pasangan akan

menceraikannya, perceraian akan menandakan kegagalan dalam berumah tangga

yang dianggap sebagai hal memalukan. Ketidakseimbangan pada proses cathexis

dan anticathexis akan menimbulkan konflik internal, menyebabkan ketegangan dan

kecemasan pribadi.

b. Tahap Perkembangan

Tahap perkembangan dan kesesuaian perilaku diidentifikasi berdasarkan

perkembangan usia individu. Freud menyimpulkan personality diperngaruhi oleh


pengalaman masa kecil individu. Tahap perkembangan kepribadian didasarkan pada

5 fase perkembangan psikoseksual.

Berikut ini gambaran tahap perkembangan psikoseksual tersebut:

Usia Fase Tugas Perkembangan

Lahir 18 bulan Oral Menghilangkan kecemasan dengan melakukan

tindakan-tindakan melalui oral, mis: memasukkan

mainan kedalam mulut

18 bulan 3 Anal Belajar mandiri dan mampu melakukan kendali

tahun dengan fokus pada fungsi ekskresi

3 6 tahun Falik Mengidentifikasi orangtua dengan kesamaan jenis

kelamin, identitas seksual berkembang, fokus

pada organ genital

6 12 tahun Laten Menekan hal terkait seksualitas, fokus pada

hubungan dengan jenis kelamin yang sama

13 20 tahun Genital Munculnya libido seiring dengan organ genital

yang matur, fokus pada hubungan dengan lawan

jenis

c. Kandungan dan Operasional Kejiwaan (Mental Contents and Operations)


APA (2003) berpendapat sehat mental berarti adalah pernyataan yang bersifat

relatif bukan absolut. Fungsi mental yang baik ditunjukkan dengan adanya aktivitas

produktif, mampu berhubungan dengan orang lain, dan mampu beradaptasi, koping

yang tepat terhadap perubahan dan adanya situasi berduka. Kondisi-kondisi

demikian terkait dengan level awareness yang menurut Freud hal tersebut

merupakan operasional dan mental content yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

Conscious, adalah memori/ingatan yang didasarkan pada kesadaran (awareness)

individual. Peristiwa atau pengalaman yang mudah diingat menggambarkan

adanya tingkat kesadaran ini, contohnya mengingat nomor telepon atau hari

ulang tahun. Pemikiran tingkat ini berada dibawah kendali ego, rasional dan

logikal struktur kepribadian.

Preconscious, merupakan memori yang sudah dilupakan atau tidak lagi ada pada

masa berjalannya waktu namun dengan upaya atensi dapat diingat kembali,

contoh mengingat masa kecil. Tingkat kesadaran ini sebagian dibawah kendali

superego yang dapat membantu menghilangkan pemikiran dan perilaku yang

tidak tepat.

Unconscious, merupakan memori yang tidak dapat diingat kembali karena berisi

hal yang tidak menyenangkan atau dianggap bukan hal penting. Memori dapat

dikembalikan melalui proses terapi, hypnosis atau restrukturisasi memori.

Material unconscious misalnya material yang muncul dalam mimpi atau

perilaku incomprehensive.
3. Faktor Sosial Budaya

a. Usia

Jenis perhitungan usia:

i. Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat

kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan usia.

ii. Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf

kemampuan mental seseorang. Misalkan seorang anak secara

kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum

dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan

yang setara dengan anak berusia satu tahun, maka dinyatakan bahwa

usia mental anak tersebut adalah satu tahun.

iii. Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis

yang dimiliki oleh seseorang.

b. Jenis Kelamin (Gender)

Jenis kelamin mempegaruhi dalam proses gangguan jiwa, bagaimana

koping laki-laki dan perempuan dalam menghadapi stressor. Pada dasarnya

laki-laki akan menggunakan logika dan pemikiran yang rasional, sedangkan

pada perempuan emosi lebih berperan.

c. Pendidikan
Pendidikan yang baik akan membantu seseorang dalam mengambil

keputusan dalam menentukann koping saat menghadapi stressor, dan

sebaliknya pendidikan yang kurang baik akan menjadi hambatan seseorang

dalam memutuskan koping dan pada akhirnya akan mengalami

keterpurukan.

d. Penghasilan atau Tingkat Ekonomi

Penghasilan berhubungan dengan tingkat ekonomi dan kemiskinan.

Rendahnya penghasilan dan tingginya tingkat pengangguran dapat menjadi

stressor penyebab terjadinya gangguan kesehatan jiwa.

e. Pekerjaan

Stres kerja dapat disebabkan karena lingkungan fisik yang terlalu

menekan, kurangnya kontrol yang dirasakan, kurangnya hubungan

interpersonal, hingga kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja

mereka.

f. Budaya

Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan

gangguan jiwa dimana mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang

berlaku dalam kebudayaan tersebut.

g. Keyakinan / Religi

Hubungan antara keyakinan religi dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap

peyerahan diri seseorang terhadap sesuatu kekuasaan Yang Maha Tinggi.


Sikap pasrah yang semacam ini diduga akan memberi sikap positif seperti

rasa bahagia, rasa aman, senang, puas, sukses, merasa dicintai sehingga

manusia dapat melaksanakan aktivitas keseharian mereka dengan penuh

rasa percaya diri dan merasakan ketenangan dalam diri mereka karena

sebagian dari kebutuhan dasar mereka sudah terpenuhi.

h. Pengalaman Sosial

Keridakmampuan bersosialisasi dengan lingkungan dapat mempengaruhi

dalam koping seseorang. Seseorang dengan kemampuan bersosialisasi yang

baik akan diterima baik di lingkungan begitu juga sebaliknya, kemampuan

bersosialisasi yang rendah menyebabkan rasa dikucilkan di lingkungan,

tidak dibutuhkan dan akhirnya muncul rasa harga diri yang rendah.

Gambar 1.1 Komponen Biopsikososial dari Model Adaptasi Stres Stuart

tentang asuhan keperawatan jiwa.


i. Kelompok / Suku Minorotas

Kelompok suku minoritas, yang mungkin menghadapi prasangka dan

diskriminasi sebab persatuan kelompoknya. Adanya prasangka yang buruk,

kurangnya fasilitas pelayanan dan pendidikan serta kesejahteraan bagi

mereka yang tidak memadahi dapat menyebabkan gangguan jiwa.

Kelompok ini juga kadang menjadi sulit untuk mencari pelayanan

kesehatan dan hanya akan mencari jiwa masalah mereka telah benar-benar

muncul dan sangat serius.

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnal Diare Hiv
    Jurnal Diare Hiv
    Dokumen7 halaman
    Jurnal Diare Hiv
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Kompetensi Berfikir Kritis
    Kompetensi Berfikir Kritis
    Dokumen2 halaman
    Kompetensi Berfikir Kritis
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Dapus
    Dapus
    Dokumen3 halaman
    Dapus
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Tujuan Edukasi
    Tujuan Edukasi
    Dokumen1 halaman
    Tujuan Edukasi
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKA Jiwa
    DAFTAR PUSTAKA Jiwa
    Dokumen1 halaman
    DAFTAR PUSTAKA Jiwa
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Pemfiboid Bulosa
    Pemfiboid Bulosa
    Dokumen9 halaman
    Pemfiboid Bulosa
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat