Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2016


UNIVERSITAS HASANUDDIN

POLIOMIELITIS

OLEH:

Nurul Nabilah Azra binti Nor Azlan C111 12 863

PEMBIMBING:
dr. Tasmina
dr. Adriana Susanti

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Hadia Aggriani, Sp A (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Nabilah Azra binti Nor Azlan

NIM : C111 12 863

Judul PKMRS : Poliomielitis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2016 Disusun oleh,

..
(Nurul Nabilah Azra binti Nor Azlan)

Mengetahui,

Residen Pembimbing 1, Residen Pembimbing 2, Supervisor Pembimbing,

.. ..
(dr Adriana Susanti) (dr Tasmina) (dr. Hadia Anggriani, Sp. A (K))

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...


LEMBAR PENGESAHAN .......... i
DAFTAR ISI ........ ii
PENDAHULUAN ............1
EPIDEMIOLOGI ......3
ETIOLOGI ... 4
PATOGENESIS ............4
GEJALA KLINIS ......7
DIAGNOSA.... 10
DIAGNOSA BANDING..... 11
PENATALAKSANAAN.....13
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS ... 27
KESIMPULAN....28
DAFTAR PUSTAKA ..... 29

ii
I. PENDAHULUAN

Poliomielitis berasal dari bahasa Yunani, iaitu Polio bermaksud abu-abu, myelos
bermaksud sum-sum atau spinal cord, Myelitis adalah suatu inflamasi pada saraf spinalis.
Poliomielitis adalah penyakit infeksius akut yang dalam bentuk berat menyerang system saraf
pusat. Dekstruksi saraf motorik pada medulla spinalis menyebabkan paralisis flaksid. Namun,
sebagian besar infeksi poliovirus bersifat subklinis. Polioirus berperan sebagai contoh
piconavirus pada banyak penelitian laboratorium biologi molecular mengalami replikasi
picornavirus.1
Poliomielitis diduga pertama kali dikenal kira-kira 6.000 tahun yang lalu pada zaman
Mesir kuno, dengan ditemukan mumi yang mempunyai kelainan kaki yang mengarah pada
polio.1,2

Gambar menunjukkan deskripsi awal tentang poliomielitis yang teukir di dinding


dalam bentuk hieroglif di Mesir

Michael Underwood pertama kali pada tahun 1789 menjelaskan penyakit poliomielitis
oleh deskripsi klinik sebagai penyakit yang utuh., disusul oleh Duchene mengenai proses
kerusakan yang terjadi di kornu anterior medula spinalis oleh virus polio. Definisi mengenai
gambaran klinis dan epidemiologi oleh Wickman disusul dengan hasil Landsteiner
melakukan transmisi suatu filterable agen penyebab polio pada kera dan Flexner menemukan
cara passage-nya. Jenis antigenic polio dipisahkan pada tahun 1951 disusul dengan pada

1
tahun 1954-1955 pengembangan dan penggunaan secara luas vaksin inaktif melalui suntikan
dengan vaksin Salk. Vaksin hidup Sabin yang dilemahkan kemudian digunakan secara luas
dan diberikan per-oral.2,3,4
Pada dasarnya virus polio dapat melumpuhkan bahkan membunuh. Virus ini dapat
menular melalui air dan kotoran manusia. Sifatnya sangat menular dan selalu menyerang
anak balita. Dua puluh tahun silam, polio melumpuhkan 1.000 anak tiap harinya di seluruh
penjuru dunia. Tapi pada 1988 muncul Gerakan Pemberantasan Polio Global. Lalu pada
2004, hanya 1.266 kasus polio yang dilaporkan muncul di seluruh dunia. Umumnya kasus
tersebut hanya terjadi di enam Negara. Kurang dari setahun ini, anggapan dunia bebas polio
sudah berakhir.1,4
Sejak 1979 Tidak ada laporan kasus infeksi poliovirus di Amerika Serikat. Sampai
tahun 1998, rata-rata 8-10 kasus yang terkait dengan virus vaksin yang dilaporkan setiap
tahun. Karena dari semua lembaga vaksin inactivated poliovirus (IPV) kebijakan dalam
jadwal imunisasi rutin, jumlah vaksin-kasus terkait telah menurun secara signifikan. Empat
kasus vaksin berasal poliovirus diidentifikasi pada tahun 2005 di kalangan anak-anak di
sebuah unvaccinated masyarakat Amish di Minnesota. Insiden global mengenai infeksi
poliovirus ini telah menurun lebih dari 99% sejak tahun 1988. Meskipun tidak ada wabah
yang dilaporkan di belahan bumi barat sejak 1991, Pan American Health Organization
melaporkan sebuah kejadian di Haiti dan Republik Dominika pada tahun 2001. Sejak 2001,
tidak ada tambahan wabah penyakit yang disebabkan oleh poliovirus di Amerika. Dari
kelompok-jenis penyakit masih ditemukan di beberapa daerah di Afrika dan Asia Tenggara.
Semenjak tahun 2004, hanya 5 negara dimana poliovirus transmisi tidak pernah terputus
diantaranya adalah India, Mesir, Nigeria, Pakistan, dan Afghanistan. Meskipun kemajuan
signifikan telah dibuat terhadap pemberantasan penyakit infeksi ini di negara-negara tersebut,
peningkatan jumlah kasus yang diamati pada tahun 2006 ini tetap ada .5
Pada awal Maret tahun 2005, Indonesia muncul kasus polio pertama selama satu dasa
warsa. Artinya, reputasi sebagai negeri bebas polio yang disandang selama 10 tahun pun
hilang ketika seorang anak berusia 20 bulan di Jawa Barat terjangkit penyakit ini. Menurut
analisa, virus tersebut dibawa dari sebelah utara Nigeria. Sejak itu polio menyebar ke
beberapa daerah di Indonesia dan menyerang anak-anak yang tidak diimunisasi. Polio bisa
mengakibatkan kelumpuhan dan kematian. Virusnya cenderung menyebar dan menular
dengan cepat apalagi di tempat-tempat yang kebersihannya buruk. 4,5
Indonesia sekarang mewakili satu per lima dari seluruh penderita polio secara global
tahun ini. Kalau tidak dihentikan segera, virus ini akan segera tersebar ke seluruh pelosok

2
negeri dan bahkan ke Negara-negara tetangga terutama daerah yang angka cakupan
imunisasinya masih rendah.6
Indonesia merupakan Negara ke-16 yang dijangkiti kembali virus tersebut. Banyak
pihak khawatir tingginya kasus polio di Indonesia akan menjadikan Indonesia menjadi
pengekspor virus ke Negara-negara lain, khususnya di Asia Timur.
Wabah polio yang baru saja terjadi di Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah krisis
kesehatan dengan implikasi global.1,7

II. EPIDEMIOLOGI

Sebelum tahun 1880 penyakit ini sering terjadi secara sporadik, dimana tingkat
kejadian polio yang tinggi pertama kali dilaporkan dari daerah Eropa Barat, kemudian
Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1940 dan awal tahun 1950 tingkat kejadian yang tinggi
poliomielitis secara teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000-21.000 kasus
kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920, 90 % kasus pada anak <5 tahun, sedangkan di
awal tahun 1950 kejadian tertinggi adalah usia 5-9 tahun, bahkan belakangan ini lebih dari
sepertiga kasus yang terjadi pada usia >15 tahun.8
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis terjadi
penurunan jumlah kasus di negara maju. Di Amerika Serikat, angka kejadian turun dari 17,6
kasus poliomielitis per 10.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di
tahun 1962. Sejak tahun 1972 kejadiannya <0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun.8
Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi untuk
menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus
polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000 polio belum terbasmi, tetapi jumlah
kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500. Polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika
Latin, Timur Tengah atau Eropa. Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004
angka infeksi polio meningkat menjadi 1.185 kasus di 17 negara dari 784 di 15 negara pada
tahun 2003. Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria memiliki 763
penderita, India 129, dan Sudan 112 kasus. Pada tahun 2006 ditemukan kasus liar poliovirus
tipe I di Kenya, pada saat itu ditemukan 216 kasus yang dibawa oleh pendatang dari Somalia
yang merupakan negara tetangga dari Kenya.8
Di Indonesia perkembangan polio sejak ditemukannya kasus polio pertama Maret
2005 lalu setelah 10 tahun (1995-2005) tidak ditemukannya lagi kasus polio. Namun penyakit
polio ini kembali mewabah di Indonesia tahun 2005. Hingga tanggal 21 november 2005,

3
ditemukan 295 kasus polio yang terdapat di 40 kabupaten dari 10 propinsi yakni Banten,
Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, sumut, Jawa Timur, Sumatera Selatan, DKI, Riau, dan
Aceh.8

III. ETIOLOGI9,10,11

Partikel poliovirus merupakan enterovirus yang khas. Partikel ini tidak aktif bila
dipanaskan pada suhu 55 C selama 30 menit, tetapi Mg2+, 1mol/l, mencegah inaktivasi ini.
Karena poliovirus yang dimurnikan diinaktifkan oleh konsentrasi klorin yang lebih tinggi
untuk mendesinfeksi kotoran yang mengandung virus pada suspense fekal dan adanya bahan
organik lain. Poliovirus tidak dipengaruhi oleh eter atau natrium deoksikolat. Virus polio
adalah RNA virus ultra mikroskopik dengan ukuran 27u, termasuk Enterovirus, dalam family
Picornaviridae, terbagi dalam 5 genera, diantaranya yang patogenik pada manusia
adalahEnteroviru, Hepatovirus, dan Rhinovirus. Enterovirus terbagi lagi dalam 71 spesies,
yaitu berbagai virus polio, virus Coxsackie, virus ECHO, dan Enterovirus 68-71. Virus terdiri
dari 3 strain yaitu strain 1 (Brunhilde), strain 2 (Lansig), dan strain 3 (Leon). Virus yang
single-stranded, 30% terdiri dari virion, mayor protein (VP1-4) dan satu protein minor (VPg).
Perbedaan tiga jenis strain terletak pada sekuen nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang
paling dominan dalam membentuk antibody netralisasi. Strain 1 adalah yang paling
paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedang strain 3 paling tidak imunogenik .

IV. PATOGENESIS PENYAKIT

Poliomielitis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi/peradangan


oleh poliovirus, penyakit ini ditularkan dari orang yang terinfeksi ke orang lain dengan cara
kontak baik melalui sekret yang dikeluarkan dari hidung, mulut ataupun melalui feses. Di
faring, virus ini hanya dapat ditemukan tiga hari sebelum sampai lima hari sesudah penyakit
ini timbul. Tetapi di dalam tinja, virus ini dapat ditemukan sampai 17 minggu sejak penderita
itu menjadi sakit. Penularannya adalah secara water-borne (seperti penularan penyakit tifus).
Porte d` entre dari virus ini adalah usus di mana virus itu dapat berkembang biak dan
menimbulkan viremia, sampai akhirnya virus ini sampailah ke SSP. Virus masuk melalui
mulut dan hidung kemudian berkembang biak di dalam kerongkongan dan di dalam traktus
gastrointestinal (usus) akan menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening.
Masa inkubasi yang diperlukan berkisar 5 35 hari dengan rata-rata 7 14 hari.1,11,12
Russell mengatakan bahwa suatu provokasi seperti misalnya suatu infeksi (juga suatu

4
vaksinasi atau pencacaran), suatu tonsilektomi atau suatu olah raga yang berat, dapat
merupakan suatu invitation to settle down bagi virus itu di tempat-tempat tertentu dalam
SSP.1,4,8
Provokasi tadi menimbulkan kelemahan pada motoneuron, sehingga virus polio itu
dapat masuk ke dalam sel-sel motoneuron tersebut. Dengan demikian maka timbullah suatu
kelumpuhan (polio paralitik). Bila virus itu hanya sampai pada selaput sumsum tulang
belakang saja tetapi tidak ada invitation to settle down, maka akan terjadi kaku kuduk dan
lain-lain tanpa kelumpuhan (polio non-paralitik).8
Ada beberapa faktor yang menentukan apa sebabnya tempat-tempat tertentu dari SSP
lebih sering terserang virus polio daripada tempat-tempat yang lain. Faktor yang yang
berperan dalam hal ini adalah:8,13

1. Jumlah (banyaknya) dan virulensi virus polio yang memasuki tubuh.


2. Invitation to settle down yang berperan dalam fase pre-paralitik.

Lesi saraf pada poliomielitis dapat ditemukan pada :1,6,9

1. Medula spinalis (terutama di daerah kornu anterior, sedikit di daerah kornu


intermediet dan dorsal serta di ganglia radiks dorsalis)
2. Medula oblongata (nuclei vestibularis, nuclei saraf cranial dan formation retikularis
yang terdiri dari pusat-pusat vital)
3. Serebelum (hanya mengenai nuclei bagian atas dan vermis)
4. Otak tengah/mid brain (terutama massa kelabu, substansia nigra, kadang-kadang di
nucleus rubra)
5. Talamus dan hipotalamus
6. Palidum
7. Korteks cerebri (bagian motorik)

Invitasi itulah yang akan menentukan apakah akan terjadi kelumpuhan dan bagian tubuh yang
mana yang akan menjadi paralisis. Invitasi itu adalah suatu trauma seperti misalnya suatu
infeksi, olah raga berat, tonsilektomi, adenektomi, cabut gigi, fraktur, abses dan lain-lain.

Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan cirri khas pada poliomielitis. Virus
berkembang di dalam dinding faring atau salurun cerna bagian bawah, menyebar ke jaringan
getah bening dan menyebar masuk ke aliran darah sebelum menembus dan berkembang biak

5
di jaringan saraf. Pada saat viremia pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa
minor illnesses. Invasi virus ke susunan saraf bias hematogen atau melalui perjalanan saraf.
Dalam beberapa penelitian kedua-duanya mungkin, tetapi secara hematogen lebih sering
terjadi. Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar darah-otak (blood brain barrier) dengan
berbagai cara yaitu :

1. Transport pasif dengan cara piknositosis


2. Infeksi dari endotel kapiler
3. Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam susunan saraf
pusat
4. Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau penyebaran
melalui jaras olfaktorius.

Gambar menunjukkan siklus hidup virus polio

6
V. GEJALA KLINIS7,8,9,11

Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi dari gejala yang sangat ringan hingga
terjadi paralisis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor illnesses dan major
illnesses (termasuk jenis non-paralitik dan paralitik).

Minor Illnesses

Gejala klinis ini terjadi sebagai akibat proses inflamasi akibat berbiaknya virus polio.
Gejalanya sangat ringan atau bahkan tanpa gejala. Keluhan biasanya nyeri tenggorok dan
perasaan tidak enak di perut, gangguan gastrointestinal, demam ringan, perasaan lemas, dan
nyeri kepala ringan. Gejala ringan terjadi selama 1-4 hari, kemudian menghilang. Gejala ini
merupakan fase enteric dari infeksi virus polio. Masa inkubasi 1-3 hari dan jarang lebih dari 6
hari. Selama waktu itu virus ber-replikasi pada nasofaring dan saluran cerna bagian bawah.
Gejala klinis yang tidak khas ini terdapat pada 90-95% kasus polio.

Major Illnesses

Major illnesses merupakan gejala klinik akibat penyebaran dan replikasi virus di
tempat lain serta kerusakan yang ditimbulkannya. Menurut Hortsman, masa ini berlangsung
selama 3-35 hari termasuk gejala minor illnesses dengan rata-rata 17 hari. Usia penderita
akan mempengaruhi gejala klinis, 1/3 dari kaus polio berusia 2-10 tahun, akan memberikan
gambaran bifasik atau dromedary yaitu terdapat 2 letupan kedua kelainan sistemik dan
neurologic.

Poliomielitis klinis menyerang sistem saraf pusat (otak dan korda spinalis) serta
erbagi menjadi non-paralitik serta paralitik. Infeksi klinis bisa terjadi setelah penderita
sembuh dari suatu infeksi subklinis.

1. Infeksi subklinis (tanpa gejala atau gejala berlangsung selama kurang dari 72 jam)/
minor illnesses
- demam ringan
- sakit kepala
- tidak enak badan
- nyeri tenggorokan

7
- tenggorokan tampak merah
- muntah.
2. Poliomielitis non-paralitik (gejala berlangsung selama 1-2 minggu)/ major ilnesses
- demam sedang
- sakit kepala
- kaku kuduk
- muntah
- diare
- kelelahan yang luar biasa
- rewel
- nyeri atau kaku punggung, lengan, tungkai, perut
- kejang dan nyeri otot
- nyeri leher
- nyeri leher bagian depan
- kaku kuduk
- nyeri punggung
- nyeri tungkai (otot betis)
- ruam kulit atau luka di kulit yang terasa nyeri
- kekakuan otot.
3. Poliomielitis paralitik/ major ilnesses
- demam timbul 5-7 hari sebelum gejala lainnya
- sakit kepala
- kaku kuduk dan punggung
- kelemahan otot asimetrik
- onsetnya cepat
- segera berkembang menjadi kelumpuhan
- lokasinya tergantung kepada bagian korda spinalis yang terkena
- perasaan ganjil/aneh di daerah yang terkena (seperti tertusuk jarum)
- peka terhadap sentuhan (sentuhan ringan bisa menimbulkan nyeri)
- sulit untuk memulai proses berkemih
- sembelit
- perut kembung
- gangguan menelan
- nyeri otot

8
- kejang otot, terutama otot betis, leher atau punggung
- gangguan pernafasan
- rewel atau tidak dapat mengendalikan emosi
- refleks Babinski positif.

Secara klinis dapat dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan
saraf pusat yaitu:
Bentuk spinal dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung, diafragma, ada
ekstremitas dimana yang terbanyak adalah ekstremitas bawah. Tersering yaitu otot-otot besar,
pada tungkai bawah kuadriseps femoralis, pada lengan deltoid. Sifat kelumpuhannya ini
adalah asimetris. Refleks tendon menurun sampai menghilang dan tidak ada gangguan
sensibilitas.8,10
a. Bentuk bulbospinal didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bulbar.
b. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf kranial
dengan atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi dan temperatur
tubuh. Bila kelemahan meliputi saraf kranial IX, X dan XII maka akan menyebabkan
paralisis faring, lidah dan taring dengan konsekuensi terjadi sumbatan jalan nafas.
c. Bentuk ensefalitik ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor dan kadang-
kadang kejang.

Gambaran secara umum pasien yang menderita Poliomielitis

9
VI. DIAGNOSIS 2,3,4

Diagnosis poliomielitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang sehingga dapat menyingkirkan keadaan-keadaan atau penyakit yang
menyerupai poliomielitis.

Diagnosis polio dibuat berdasarkan :

1. Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio, baik yang liar maupun virus
vaksin.

2. Pengamatan gejala dan perjalanan klinik

3. Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara
tepat letak kerusakan saraf secara anatomik.

4. Pemeriksaan adanya gejala sisa neurologik (residual paralysis).

Penyakit polio dapat didiagnosis dengan beberapa cara yaitu :

1. Viral Isolation

Poliovirus dapat dideteksi dari faring pada seseorang yang diduga terkena penyakit polio.
Pengisolasian virus diambil dari cairan cerebrospinal adalah diagnostik yang jarang
mendapatkan hasil yang akurat. Jika poliovirus terisolasi dari seseorang dengan kelumpuhan
yang akut, orang tersebut harus diuji lebih lanjut menggunakan uji oligonucleotide atau
pemetaan genomic untuk menentukan apakah virus polio tersebut bersifat ganas atau lemah.

2. Uji Serology

Uji serology dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita. Jika pada darah
ditemukan zat antibody polio maka diagnosis bahwa orang tersebut terkena polio adalah
benar. Akan tetapi zat antibody tersebut tampak netral dan dapat menjadi aktif pada saat
pasien tersebut sakit.

10
3. Cerebrospinal Fluid ( CSF)

CSF di dalam infeksi poliovirus pada umumnya terdapat peningkatan


jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah sel limfositnya. Dan kehilangan
protein sebanyak 40-50 mg/100 ml ( Paul, 2004 ).

4. Pemeriksaan Darah Perifer

Tidak pemeriksaan spesifik untuk diagnosis poliomielitis pada gejala awal, sama seperti virus
lainnya. Pemeriksaan darah perifer mungkin dalam batas normal atau terjadi leukositosis
pada fase akut major illnesses yaitu 10.000-30.000/ul dengan predominan PMN.

VII. DIAGNOSIS BANDING6,9,11


Poliomielitis bentuk non paralitik, hendaknya kita perlu memikirkan kemungkinan
diagnosis banding kepada penyakit-penyakit berikut:
1. Reaksi meningeal simpatik seperti misalnya dapat dilihat pada mastoiditis dan sinusitis.
2. Khoriomeningitis limfositaria.
3. Penyakit Weil.
Poliomielitis bentuk paralitik, harus kita diagnosis banding dengan penyakit-penyakit:
1. Bila monoplegia:
- Lesi N. Iskhiadikus, misalnya karena injeksi kinin.
- Paralisis Erb. misalnya karena traksi pada pleksus brakhialis pada kelahiran letak sungsang.
- Kelumpuhan pasca difteri.
- Poliartritis rematika.
2. Bila paraplegia:
- Mielitis transversa.
- Sindrom Guillain-Barre.
Apabila penderita poliomielitis denga sekuele polio yang diperolehnya beberapa tahun yang
lalu sehingga akan terdapat otot-otot tertentu yang lemah dengan atoni, atrofi dan arefleksi,
hendaknya diingat kemungkinan:
1. Suatu motor neuron disease seperti misalnya penyakit Aran-Duchenne.
2. Siringowieli.
3. Suatu miopati.

11
12
VIII. PENATALAKSANAAN3,4,5,6

Pengobatan pada penyakit polio sampai sekarang belum ditemukan cara atau metode
yang paling tepat. Sedangkan penggunaan vaksin yang ada hanya untuk mencegah dan
mengurangi rasa sakit pada penderita.
1. Dalam fase akut.
(Dari mulanya penyakit sampai 4 minggu sesudahnya)
- Penderita hendaknya diberikan istirahat total.
- Pada anggota tubuh yang terasa nyeri, diberikan botol hangat.
- Berikan analgetik, fenobarbital dan sebagainya.
- Sesudah 2 minggu dan setelah keadaan likuor kembali normal dapat dilakukan fisioterapi.
2. Fase rekonvalesensi pertama (1 6 bulan).
- Fisioterapi
Dalam pelaksanaan fisioterapi perlu terdapat kerja sama yang baik antara neurolog, ortoped,
dan fisioterapist.
Dalam rangka fisioterapi, dapat dilakukan masage, latihan dan elektroterapi (kontraksi yang
ditimbulkan oleh elektroterapi itu pada otot-otot tersebut akan menjaga otot-otot itu agar
tidak menjadi atropi. Bila kemudian saraf mengalami regenerasi, maka otot-otot masih cukup
baik untuk menerima serabut-serabut saraf baru)
- Tindakan ortopedis untuk menghindarkan timbulnya kontraktur misalnya dengan memasang
gipsspalk da lain-lain.
3. Fase rekonvalensi kedua (6 bulan 3 tahun).
- Latihan-latihan sebaiknya dilakukan di dalam kelompok-kelompok, agar anak yang cacat
tidak merasa minder dari anak-anak yang lain.
- Dalam fase ini mungkin ortoped akan dapat mengusahakan agar dilakukan tindakan operatif
seperti misalnya tenotomi atau transplantasi tendon.

13
VAKSINASI POLIO
Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan serum
konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Meskipun berbagai cara
penggunaan/memasukkan serum telah dicoba dengan hasil yang kontroversial, namun
akhirnya terbukti (pada wabah tahun 1931), bahwa cara ini tidak mempunyai manfaat yang
bermakna secara klinis.3,4
Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal. Penelitian
berkembang menjadi dua arah yaitu virus yang dimatikan dengan menggunakan
feno/formalin (IPV) atau virus dilemahkan (attenuated vaccine OPV) dengan cara melakukan
pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara tersebut menghasilkan dua macam vaksin
yaitu yang pertama adalah Inactivated Polio Vaccine dan disusul dengan Oral Polio Vaccine.
Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan angka kesakitan akibat
virus polio. Kriteria vaksin yang baik adalah vaksin itu harus antigenik, proporsi vaksin
trivalent harus sesuai dengan virus liar yang ada di lingkunan, replikasi dan mutasi harus
sangat minimal. Vaksin OPV mengandung vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan
berkembangbiak dalam usus. Imunisasi cara ini tidak hanya membentuk antibodi humoral
yang dapat menghambat virus polio menimbulkan infeksi di sistem saraf pusat, namun juga
merangsang sekretori IgA, antibodi sekretori yang mencegah perlekatan dan replikasi virus di
epitel usus. Virus dapat bertahan sampai 17 bulan setelah imunisasi dan pada anak dengan
agammaglobulin, bahkan dapat bereplikasi terus sampai 684 hari. Suntikan IPV bisa
menimbulkan antibodi antipolio humoral yang tinggi, namun karena tidak menimbulkan
kekebalan interstinal yang cukup, IPV tidak bisa menghentikan trasmisi virus polio liar.4
Eliminasi4,5,6
Eliminasi (elimination) penyakit merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang
bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi suatu penyakit sampai pada tingkat nol di
suatu wilayah geografis. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan
tingkat nol. Contoh: eliminasi tetanus neonatorum, poliomielitis, di suatu wilayah. Eliminasi
infeksi merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi
infeksi yang disebabkan oleh suatu agen spesifik sampai pada tingkat nol di suatu wilayah
geografis. Eliminasi infeksi bertujuan memutus transmisi (penularan) penyakit di suatu
wilayah. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mencegah terulangnya transmisi.
Contoh: eliminasi campak, poliomielitis, dan difteri. Eliminasi penyakit/ infeksi di tingkat
wilayah merupakan tahap penting untuk mencapai eradikasi global.
Untuk mempercepat eliminasi penyakit polio di seluruh dunia, WHO membuat

14
rekomendasi untuk melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Indonesia melakukan PIN
dengan memberikan satu dosis polio pada bulan September 1995, 1996, dan 1997. Pada tahun
2002, PIN dilaksanakan kembali dengan menambahkan imunisasi campak di beberapa
daerah. Setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) acute flaccid paralysis (AFP) pada tahun
2005, PIN tahun 2005 dilakukan kembali dengan memberikan tiga dosis polio saja pada
bulan September, Oktober, dan November. Pada tahun 2006 PIN diulang kembali dua
kali/dosis polio yang dilakukan pada bulan September dan Oktober 2006. Dengan adanya
PIN tersebut, frekuensi imunisasi polio bisa lebih dari seharusnya. Tetapi WHO menyatakan
bahwa polio sebanyak tiga kali cukup memadai untuk imunisasi dasar polio.
Eradikasi4,5,6
Berbagai manfaat akan diperoleh apabila eradikasi polio global berhasil dicapai,
terutama dunia terbebas dari penyakit polio dan cacat/lumpuh/layu yang terjadi akibat
penyakit tersebut, mengurangi pengeluaran biaya yang diperlukan oleh sistem kesehatan
untuk menyelenggarakan imunisasi dan perawatan kasus-kasus polio yang diperkirakan
mencapai US S 1.5 milyar pertahun.
Pada tahun 1988, dalam sidangnya yang ke 41, WHO telah menetapkan program
eradikasi polio global (global polio eradication initiative) yang ditujukan untuk
mengeradikasikan penyakit polio pada tahun 2000 (ERAPO 2000). Target ini kemudian
diformulasikan lagi pada pertemuan World Summit for Children yang berlangsung tanggal
29-30 September 1990 di New York, yakni dalam sasaran kesejahteraan anak.
Terbukanya peluang untuk melaksanakan eradikasi polio dimungkinkan oleh karena :
a. Infeksi polio hanya berlangsung pada manusia, tidak ada binatang reservoir
(binatang pengidap polio) maupun pengidap kronis (chronic carrier).
b. Sumber virus polio dari lingkungan yang dapat bertahan lama tidak ada; virus
polio didaerah tropis diluar tubuh hanya bertahan sekitar 48 jam.
c. Kekebalan berlangsung seumur hidup.
d. Vaksin polio yang efektif telah berhasil dikembangkan, yakni vaksin polio inaktif
pada tahun 1955 oleh Dr. Jonas Salk dan vaksin polio oral (life attenuated) tahun
1960 oleh Dr. Albert Sabin.

Untuk mencapai eradikasi polio tersebut WHO menetapkan 4 strategi global untuk
mengeradikasi polio pada tahun 2000, yakni:
1. Imunisasi rutin dengan cakupan > 80%

15
2. NID (National Immunization Days) identik dengan PIN (pecan Imunisasi
Nasional.
3. Surveilans AFP dan surveilans virus polio liar.
4. Mopping-up

Eradikasi polio di indonesia4,5,6


Latar belakang kebijaksanaan dan strategi ERAPO di Indonesia adalah kesepakatan
WHA (World Health Assembly) 1988 yang menetapkan dicapainya target eradikasi polio
global pada tahun 2000. Untuk mencapai target tersebut diIndonesia telah ditetapkan
langkah-langkah kegiatan berikut:
1. Imunisasi rutin dengan OPV sebanyak 4 kali
2. Pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan
3. Surveilans AFP dan virus polio liar.

Analisa SWOT4,5,6
Dalam upaya untuk mengeradikasi penyakit polio secara global, WHO telah membuat
tahapan dan kegiatan perioritasnya. Tahapan dan kegiatan perioritas ini berorientasi pada
suatu tujuan tertentu, sehingga suatu negara bisa melakukan upaya eradikasi polio yang
direkomendasikan oleh WHO sesuai dengan tahapan dan prioritas dimana negara tersebut
berada. Adapun analisa SWOT (Strength, weakness, opportinity, threat) dalam eradikasi
polio di Indinesia adalah:
Analisa 1 tentang Strength
Perlu mengetahui kompetensi yang menonjol dari upaya kesehatan polio. Adanya
endemis polio di Indonesia menunjukkan adanya bukti-bukti virologis dan atau
epidemiologis tentang transmisi virus polio liar di Indonesia; sehingga di Indonesia
dilaksanakan perioritas: A. Melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional Polio (National
Immunizatin Day) Gunanya: untuk menghentikan transmisi virus polio liar di Indonesia.
B. Melaksanakan surveilans AFP yang didukung oleh pemeriksaan laboratorium C.
Memperkuat program immunisasi rutin Polio
Analisa 2 tentang Weaknessess
Perlunya kejelasan tentang tingkat kelemahan program polio. Dalam hal pelaksanaan
PIN, terdapat kelemahan dalam hal pendistribusian vaksin polio di daerah-daerah
terpencil, sehingga hasil yang diharapkan tidak mencapai target. Misalnya ada beberapa
daerah di Nias, dimana untuk mencapai daerah-daerah yang berbukit di pegunungan

16
membutuhkan waktu selama 2-3 hari sehingga efektivitas vaksin polio tidak maksimal
walaupun menggunakan termos es. Selain itu juga pelaporan pelaksanaan PIN tahun
1997 masih belum lengkap, karena pada tahun 1987 dilaporkan sebanyak 2.319 kasus,
namun pelaporan masih belum lengkap sehingga angka terakhir kemungkinan lebih dari
3.500.
Analisa 3 tentang Oppurtunity
Adanya Surveilans AFP dan Surveilans virus polio liar dapat mencapai program
eradikasi polio di Indonesia pada tahun 2000. Surveilans polio bertujuan untuk
memantau adanya transmisi virus polio liar disuatu wilayah sehingga upaya
pemberantasan menjadi terfokus dan efisien. Sasaran surveilans adalah kelompok yang
rentan terhadap polio, yaitu anak berusia dibawah 15 tahun. Untuk meningkatkan
sensitivitas surveilans polio, pengamatannya dilakukan pada semua kelumpuhan yang
terjadi secara akut dan sifatnya layuh.
Analisa 4 tentang Threats
Adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) polio di salah satu daerah, menunjukkan masih
lemahnya tingkatan sasaran surveilans polio di Indonesia.

Oral Polio Vaccine (OPV) 4,5,6


Oral Polio Vaccine (OPV) merupakan vaksin pilihan karena dapat menimbulkan
antibodi yang tinggi. Dosis tunggal akan menimbulkan kekebalan pada 50% resipien, 3 dosis
akan meningkatkan kekebalan sampai 95%. Kekebalan yang terjadi tidak timbul secara
bersamaan tetapi bersifat sekuensial. Respon pertama terutama terhadap virus tipe 1 (paling
imunologik) disusul virus tipe 2 dan terakhir tipe 3. Serokonversi terjadi paling cepat dengan
tipe 1, sedang protektifitas terhadap tipe 3 tercapai setelah 4-5 dosis, bahkan protektifitasnya
dapat mencapai diatas 95% dan tercapai setelah dosis kedelapan. Keuntungan vaksin ini
adalah mudah diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya jauh lebih murah dibandingkan IPV.
OPV selain dapat mencegah kelumpuhan, juga merangsang kekebalan usus dan menghambat
penempelan, invasi dan replikai virus liar. Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah
akan menaikkan kadar secretori IgA usus terhadap virus polio dan memutus rantai hidup
virus liar.
Oral polio vaksin (OPV) diberikan dalam bentuk tetesan melalui mulut. Vaksin ini
mengandung sejumlah kecil virus hidup yang telah dimodifikasi dari masing-masing tipe
polio sehingga tidak menimbulkan penyakit tersebut, dan antibiotik (neomysin) dalam jumlah

17
amat kecil.
Dosis OPV berisi 3 type virus polio dengan titer
Tipe 1 : 106 TCID (tissue culture infective dose) 50/CCID (cell culture infective
dose) 50 (10 5,5-10 6,5)
Tipe 2 : 105 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 4,5-10 5,5)
Tipe 3 : 10 5,5 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 5,0-10 6)

Gambar 2.2 Oral Polio Vaccine

Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8 C. Vaksin sangat stabil
namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan perubahan pH setelah
terpapar udara, kebijaksanaan Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial manganjurkan
bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasca imunisasi
masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijaksanaan WHO membolehkan botol-botol yang

18
berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi, apabila tanggal
kadarluwarsa tidak terlampui, vaksin di simpan dalam keadaan yang sangat dingin (2-8C),
botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu harus dibuang.
Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper) yang baru. Di unit
pelayanan, vaksin polio yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 2 minggu dengan
ketentuan :
Vaksin belum kadaluarsa
Vaksin disimpan dalam suhu 2 C - 8C
Tidak pernah terendam air
Sterilitasnya terjaga

Cara pemberian :
Diberikan secara oral melalui mulut, 1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali (dosis)
pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu. Pada daerah yang tingkat kasus
polionya tinggi (seperti Indonesia) merupakan daerah endemik polio, pemberian extra
imunisasi polio segera setelah lahir (polio 0 pada kunjungan 1) dengan tujuan meningkatkan
cakupan imunisasi. Imunisasi polio 0 diberikan saat bayi akan dipulangkan dari rumah
sakit/rumah bersalin, agar tidak mencemari bayi yang lain mengingat virus polio hidup dapat
dieksresi melalui tinja. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak imunisasi polio 4,
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).

Penyimpanan OPV
Oral polio vaccine (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur 2-8C. Vaksin yang
beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-
gulirkan, di jaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai orange muda (sebagai
indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai
dapat dibekukan lagi, kemudian dapt dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan
tanggal kadarluwarsa harus selalu diperhatikan.
Kontra indikasi OPV
Penyakit akut atau demam (temp. >38,5C), imunisasi harus ditunda
Muntah atau diare, imunisasi ditunda
Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif oral maupun suntikan,
juga pengobatan radiasi umum
Keganasan dan penderita HIV

19
Inactivated Polio Vaccine (IPV) 4,5,6
Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun 1955 dan langsung
digunakan secara luas. Pada tahun 1963 mulai digunakan trivalent virus polio secara oral
(OPV) secara luas. Encanced potency IPV (eIPV) yang menggunakan molekul lebih besar
dan menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi digunakan tahun 1988. Inacctivated polio
vaccine merupakan vaksin yang cukup efektif, 2 dosis akan menimbulkan antibodi yang
protektif pada sekitar 90% resipien, sedang 3 dosis akan meningkatkan protektifitas sampai
99%. Protektifitas terhadap kelumpuhan berkaitan dengan tingginya kadar antibodi serum.
Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah dinonaktifkan sehingga tidak bisa bereplikasi.
Vaksin ini aman dalam arti tidak menimbulkan kelumpuhan akibat imunisasi dan tidak
berbahaya bagi penderita defisiensi imun, meskipun vaksin tersebut tetap dibuat dari virus
liar. Kerugiannya adalah vaksin ini harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang merangsang
timbulnya antibodi IgA sekretori di usus, sehingga tidak dapat menghambat perlekatan,
replikasi polio liar dan tidak dapat menghentikan trasmisi virus tersebut.
Indikasi
Indikasi pemberian Inactivated polio vaccine :
Semua anak harus menerima empat dosis IPV pada bulan 2, 4 dan 6,
dan 4-5 tahun.
Interval yang lebih disukai antara 3 dosis pertama adalah 2 bulan. Jika
perlindungan dipercepat diperlukan, interval minimum antara dosis adalah 4 minggu.
Tidak ada dosis tambahan yang diperlukan jika lebih banyak waktu dari yang
direkomendasikan berlalu antara dosis.
Mereka yang memulai seri vaksin dengan satu atau lebih dosis OPV harus menerima
IPV untuk menyelesaikan seri vaksinasi. Sebuah interval minimal 4
minggu harus berlalu antara OPV dan IPV, tetapi celah minimal 2
bulan adalah lebih baik.
Inactivated polio vaccine dapat diberikan bersamaan dengan semua lainnya secara
rutin direkomendasikan vaksin anak.

20
Gambar 2.3 Inactivated polio vaccine
Komposisi
Tiap dosis (0,5 mL) mengandung :
Virus polio Tipe 1 : 40 D unit antigen
Virus polio Tipe 2 : 8 D unit antigen
Virus polio Tipe 3 : 32 D unit antigen
2-phenoxyethanol 0,5%
Formaldehid 0,02%
Neomycin
Streptomycin
Polymyxin B

Dosis dan cara pemberian :


IPV harus diberikan sebanyak 0,5 ml secara intramuscular pada paha, sebaiknya paha
kanan
Menggunakan Autodisable Syringe (ADS) yang steril pada setiap penyuntikan
Bayi harus menerima minimal 4 dosis IPV dengan interval minimal 4 (empat) minggu
IPV diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan bersamaan dengan vaksin DPT/HB
IPV dapat diberikan dengan aman berbarengan denga vaksin DPT, DT, TT, Td,
Campak, Mumps, Rubella, BCG, Hepatitis B atau Hib dan tidak mempengaruhi
pembentukan respon imunologik yang dihasilkan masing-masing vaksin
Kontraindikasi
Bayi dengan riwayat
hipersensitif terhadap salah satu komponen vaksin termasukk phenoxyethanol,
formaldehid 0,02% neomycin, streptomycin, polymyxin B.

21
Bayi yang terinfeksi immunodeficiency virus (HIV) baik simptomatik maupun
asimptomatik bukan kontraindikasi IPV, harus diimunisasi dengan IPV
menurut jadwal standar. Tidak ada gejala klinis dengan vaksin polio yang
dimatikan telah dilakukan pada hamil perempuan. Meskipun tidak ada bukti
yang meyakinkan melaporkakan dampak buruk dari vaksin polio yang
dimatikan pada wanita hamil atau janin yang sedang berkembang, tetapi
pemberian polio pada ibu hamil tetap tidak diberikan.

Penyimpanan
Inactivated polio virus merupakan vaksin yang freeze sensitive ( tidak kuat terhadap
suhu beku) sehingga harus disimpan dan ditransportasikan pada kondisi suhu 2 8 C.5,9
- Pada tingkat provinsi, vaksin harus disimpan dikamar dingin/lemari es pada suhu
2-8 C
- Pada tingkat kabupaten/kota dan puskesmas, vaksin harus disimpan di lemari es
pada suhu 2-8 C
- Pada pelayanan, vaksin dibawa dengan menggunakan vaccine carrier yang berisi
cool pack (kotak air dingin)
- Berbeda dengan OPV, IPV tidak boleh dibekukan.

Efek samping IPV


Inactivated polio vaccine atau vaksin yang mengandung IPV dapat menyebabkan
nyeri otot, rasa sakit, bengkak atau warna merah di tempat injeksi. Sampai 1 dari 10 anak
mungkin mengalami demam ringan dan kehilangan selera.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan suatu kejadian (medik) sakit dan
kematian yang terjadi setelah menerima imunisasi yang disebabkan oleh imunisasi. Biasanya
terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi (dapat lebih lama, 6 bulan). Vaksin merupakan
produk biologis yang mengandung antigen penyakit, sehingga diperlukan keseimbangan
kondisi tubuh yang sehat pada saat pemberian imunisasi sehingga pembentukan
imunogenisitas dan reaktogenesis terbentuk sempurna serta menghasilkan komplikasi yang
lebih minimal.
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi

22
simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects),
interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis
sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi
karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang
terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap
protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan
preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan
teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur
dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau kejadian yang timbul secara kebetulan. Kejadian yang
memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
(pragmatic errors).
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata
tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan
keterangan mengenai:
1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. derajat sakit resipien
4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan
produksi, atau kesalahan prosedur.
Kejadian ikutan pasca imunisasi dibagi menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut
klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan
imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata
laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan
prosedur imunisasi, misalnya:
Dosis antigen (terlalu banyak)
Lokasi dan cara menyuntik
Sterilisasi semprit dan jarum suntik
Jarum bekas pakai
Tindakan aseptik dan antiseptik

23
Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
Penyimpanan vaksin
Pemakaian sisa vaksin
Jenis dan jumlah pelarut vaksin
Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat
kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung
misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi
suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih
dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan.
Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis
sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan
baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi
kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian
spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini
harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan
saja setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya
kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan
karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam
salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil
menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut
akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.
Kejadian ikutan pasca imunisasi atau KIPI dapat terjadi pasca imunisasi IPV tetapi
reaksi ini jarang terjadi, antara lain :

24
- Reaksi lokal : reaksi eritema kemerahan ( pembengkakan pada suntikan).
- Reaksi sistemik : demam, mual dan muntah, iritabilitas, anoreksia, menangis yang
menetap dan keletihan. Polio paralisis, polio paralisis pada resipien
munokompromais, komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
- Vaccine Associated Paralytic Poliomielitis (VAPP). World Health Organization
mendefinisikan sebagai ; suatu kelumpuhan layuh akut yang terjadi 4-30 hari
setelah menerima OPV, 4-75 hari setelah kontak dengan penerima OPV, disertai
masih adanya kelainan neurologis pada 60 hari setelah awitan atau penderita
meninggal. Prevalensi VAPP tersering pada penderita imunodefisiensi ( B cell
deficiencies ) agamaglobulin atau hipogamaglobulin.

Imunisasi pada kelompok resiko


Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien
termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah:
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI dengan
mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera
2. Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi
cukup bulan
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan
diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan;
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak
menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
3. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai
akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis
vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat
diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan
kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus

25
ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat
badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat
diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah
pemberian kemoterapi selesai.

4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin


Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk menghindarkan
hambatan pembentukan respons imun.

26
IX. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS7,9,12

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling berat dari penyakit polio adalah kelumpuhan yang menetap.
Kelumpuhan terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau
beberapa otot, sering ditemukan.Kadang bagian dari otak yang berfungsi mengatur
pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot dada.
Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-30 tahun setelah terserang polio. Keadaan ini
disebut sindroma post-poliomielitis, yang terdiri dari kelemahan otot yang progresif, yang
seringkali menyebabkan kelumpuhan.

Komplikasi yang sering terjadi antara lain :

1. Kelumpuhan permanen, kelainan bentuk otot.


2. Edema paru-paru
3. Syok
4. Pneumonia dan kesulitan bernapas.
5. Hipertensi
6. Infeksi/Peradangan saluran kemih.
7. Kelainan ginjal
8. Miokarditis

PROGNOSIS
Penyakit polio mempunyai prognosis yang buruk, karena pada kasus kelumpuhan
mengakibatkan kurang lebih 50-80 % kematian yang disebabkan oleh polio. Selain itu karena
belum dapat ditemukan obat yang dapat menyembuhkan polio. Pemberian vaksin juga masih
kurang efektif untuk mencegah polio, karena banyak orang yang telah diberi vaksin polio
tetapi masih terkena penyakit ini.
Jika sumsum tulang belakang dan otak belum terkena, maka lebih dari 90 % kasus
dapat sembuh sempurna.
Apabila otak dan sumsum tulang belakang sudak terkena maka sangat membahayakan
dan akan merupakan suatu keadaan kedaruratan medis dan dapat menyebabkan kelumpuhan
atau kematian yang biasanya berhubungan dengan gagal napas

27
X. KESIMPULAN

Polio adalah kelainan yang disebabkan infeksi virus (poliovirus) yang dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk otot dan saraf. Kasus yang berat dapat
menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian. Meskipun program eradikasi polio
secara global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih sangat endemik di
beberapa negara seperti India, Afrika dan Asia, teritama di Indonesia masih
ditemukan kasus polio baru hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus polio liar
di Indonesia belum berhenti.
Ada dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral
polio vaccine (OPV). Inactivated polio vaccine merupakan vaksin polio yang
dimatikan dan diberikan secara intramuscular dengan dosis 0,5 ml. Sedangkan Oral
polio vaccine merupakan vaksin polio yang dilemahkan dan diberikan secara oral
dengan 1 dosis atau 2 tetes. Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan kejadian sakit
atau kematian setelah mendapatkan imunisasi .Pemberian vaksin merupakan
pemasukan antigen ke dalam tubuh, sehingga tubuh dapat memiliki berbagai respon
terhadap antigen tersebut.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Pasaribu S. Aspek diagnostik poliomielitis. Sumatra utara : Bagian Ilmu Kesehatan


Anak : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara; 2005.

2. Sutiko A, Rahmawaty. Acute flaccid paralysis. Medan: Muslim Indonesia University ;


2005

3. Miller N. The polio vaccine: a critical assessment of its arcane history, efficacy, and
long-term health-related consequences. N.Z. Miller/Medical Veritas 1 (2004) 239
251

4. Rina O, Ritarwan K. Upaya eradikasi polio di indonesia. Tinjauan pustaka; 2005:198-


203.

5. Ismoedijanto. Progress and challenges toward poliomielitis eradication in Indonesia.


Department of Child Health, School of Medicine: Airlangga University Surabaya
Indonesia. Vol 34 ; 3 : 2003 : 598-604.

6. Herremans T, Reimerink J, Buisman A, Kimman T, Koopmasn T. Induction of


mucosal immunity by inactivated poliovirus vaccine is dependent on previous
mucosal contact with live virus. Chapter 5; 2007: 73-86

7. Weckx L, Schmidt, Hermann, Miyasaki C, Novo. Early immunization of neonates


with trivalent oral poliovirus vaccine. Bulletin of the world health Organization. 1992
; 7 (1) : 85-91

8. Racaniello VR. One hundred years poliovirus pathogenesis. Virology 344 : 9-16

9. Julius E. Suryawidjaja. Resurgensi poliomielitis :status terkini dari infeksi poliovirus


di Indonesia. Universa Medicina; 2005 : 24 (2) : 93-101

10. Lisnawati L. Generasi sehat melalui imunisasi. Jakarta : trasinfomedia ; 2011. H. 15-
56

29
11. Behrman, RE. 2006. Nelson Textbook Pediatrics 15th Ed. WB. Saunders CO,
Philadelphia. EGC

12. Jawetz, Melnick, Adelbergs. 2004. Medical Microbiology, 23th edition. New York.
Mc Graw Hill

13. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. 2010. Jakarta : Badan Penerbit IDAI

30

Anda mungkin juga menyukai