SYNDROME
(AIDS)
Disusun oleh:
Anggraeni Widyastuti
Ika Lita S.
M. Fajar yulianto
Suryo Rohmadhoni
BAB I
PENDAHULUAN
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui berbagai hal
tentang penyakit AIDS yang terjadi di masyarakat luas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian, etiologi, dan patofisiologi dari AIDS
b. Mengetahui cara penularan AIDS
c. Mengetahui manifestasi klinik dari infeksi HIV
d. Mengetahui cara mendiagnosa, penatalaksanaan, dan proses keperawatan
pasien dengan AIDS
C. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode kajian pustaka yaitu penulis mencari
sumber dari buku-buku referensi yang relevan dengan judul yang diambil, selain
itu penulis juga mencari bahan dari internet untuk menunjang bahan yang telah
ada dan mencari informasi terkini tentang AIDS.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 3 bab, bab I pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Bab II isi yang
terdiri dari pengertian, etiologi, patofisiologi, pathways, cara penularan,
manifestasi klinik, evaluasi diagnosis, diagnosis, penatalaksanaan, dan proses
keperawatan. Bab III penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Serta daftar
pustaka yang berisi daftar referensi yang diambil penulis untuk menyusun
makalah ini.
BAB II
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS)
A. Pengertian
Ada beberapa pengertian menurut sumber masing - masing, yaitu :
Menurut Tuti Parwati, 1996
Menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena
adanya infeksi virus Human Imunodeficiency Virus (HIV).
Menurut dr. Adi Sasongko, MA. www.petra.ac.id.
Penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh. Virus penyebab AIDS adlah HIV (Human
Imunodeficiency Virus).
Menurut Brunner & Suddarth, 2001
Sindrom immunodeficiency yang didapat (AIDS, Acquired
Immunodeficiency Syndrome) diartikan dari bentuk yang paling berat dari
keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV. HIV
diketahui sebagai HTLV III (Human T-Cell Lymphatropic Virus type III)
dan virus yang berkaitan dengan limfadenopati (LAV, lymphadenopathy
associated virus).
B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah infeksi oleh HIV. Virus ini diketahui sebagai
Human T Cell Lymphatropic Virus (HTLV) atau The Lymphadenophaty
Associated Virus (LAV) yang ditemukan oleh Luc Montaigner (1983) dan Robert
gallo (1984). Tetapi pada tahun 1985 kedua virus tersebut dinyatakan sama oleh
Committee Taxonomy International dan disebut HIV (Human Imunodeficiency
Virus).
Tahun 1994 diketahui ada 2 jenis virus yang menyebabkan AIDS :
HIV 1 : penyebarannya lebih luas hampir di seluruh dunia yaitu jenis
Retovirus
HIV 2 : di Afrika Barat, Portugal lebih mirip dengan Monkey Virus
merupakan suatu virus lentivirus.
Target sel HIV berupa :
Sel limfosit T4 yang merupakan target utama, sedangkan target yang lain
seperti : Sel monosit, makrofag, folikular dendritik, sel retina, serviks, langerhans,
sel otak, endotel sel cerna.
Masa Inkubasi HIV :
Sulit diketahui, rata-rata 5 bulan hingga 5 sampai 10 tahun.
C. Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus
yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV
(partikel virus yang lengkap yang dibungkus oleh selubung pelindung)
mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung dimana p24
merupakan komponen stuktural yang utama. Tombol (knob) yang menonjool
lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41.
Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-positif adalah gp120
dari HIV.
Sel-sel CD4+ mencangkup monosit, makrofag dam limfosit T4 helper
(yang dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV). Limfosit T4
helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di atas. Sesudah
terikat dengan membrane sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas
benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim
yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman
ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded
DNA (DNA utas ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanent.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini, sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus
(CMV; Cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simplex, dan hepatitis.
Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi dikatifkan, replikasi serta
pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru
dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel
CD4+ lainnya.
Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan
tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi
reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun
dan terangkut ke seluruh tubuh untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh.
Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki
kemampuan untuk memproduksinya. Replikasi virus akan berlangsung terus
menerus sepanjang perjalanan infeksi HIV. Ketika sistem imun tersti,ulasi,
replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah
yang menyebabakan infeksi berikunya pada sel-sel CD4+ yang lain.
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan
orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang vberperang
dengan infeksi virus lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun,
reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat apabila penderitanya sedang
menghadapi infeksi virus lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini
dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita
sesudah terinfeksi HIV.
Dalam respons imun, limfosit T4 memainkan beberapa peranan yang
penting yaitu : mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibody, menstimulasi limfosit T sitotoksik, memproduksi limfokin
dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Jika fungsi limfosit T4
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak meinmbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius.
Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun
dinamakan infeksi oportunistik.
D. Pathways
PATHWAYS
Status Imun
Pada anak
Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan gejala minor, dan tidak
terdapat sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat,
pemakaian kortikosteroid lama.
G. Evaluasi Diagnostik
1) Tes Antibodi HIV
Kalau seseorang terinfeksi oleh virus HIV, system imunnya akan
bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
umumnya terbentuk dalam waktu 3-12 minggu setelah terkena infeksi, kendati
pembentukan antibody ini dapat memerlukan waktu sampai hingga 14 bulan;
kenyataan ini menjelaskan mengapa seseorang dapat terinfeksi tetapi pada
mulanya tidak memperlihatkan hasil tes yang positif. Sayangnya, antibody
untuk HIV tidak efektif dan tidak dapat menghentikan perkembangan infeksi
HIV. Kemampuan untuk mendeteksi antibody HIV dalam darah telah
memungkinkan pemeriksaan skrinning produk darah dan memudahkan
evaluasi diagnostic pada pasien-pasien terinfeksi HIV. Pada tahun 1985, Food
And Drug Administration atau FDA mengeluarkan lisensi untuk uji kadar
antibody HIV bagi semua pendonoran darah dan plasma.
Ada tiga buah tes untuk memastikan adanya antibody terhadap HIV
dan membantu mendiagnosis infeksi HIV. Tes enzyme-linked immunosorbent
assay atau ELISA mengidentifikasikan antibody yang secara spesifik ditujukan
kepada virus HIV. Tes ELISA tidak menegakkan diagnosis penyakit AIDS
tetapi lebih menunjukkan bahwa seseorang pernah terkena atau terinfeksi oleh
virus HIV. Orang yang darahnya mengandung antibody untuk HIV disebut
sebagai orang yang seropositif. Pemeriksaan western blot assay merupakan tes
lainnya yang dapat mengenali antibody HIV dan digunakan untuk memastikan
seropositivitas seperti yang teridentifikasi lewat prosedur ELISA. Indirect
immunofluorescence assay atau IFA kini sedang digunakan oleh sebagian
dokter sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositivitas. Tes lainnya, radioimmunoprecipitation assay atau RIPA, lebih
mendeteksi protein HIV ketimbang antibody.
2) Pelacakan HIV
Antigen p24; positif untuk protein virus yang bebas
Reaksi rantai polymerase atau PCR:polymerase chain reaction;
mendeteksi DNA atau RNA virus HIV
Kultur sel mononuclear darah perifer untuk HIV-1; positif kalau dua
kali uji kadar/assay secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse
transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat
Kultur sel kualitatif; mengukur muatan virus dalam sel
Kultur plasma kuantitatif; mengukur muatan virus lewat virus bebas
yang infeksius dalam plasma
Mikroglobulin B2; protein meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit
Neopterin serum; kadar meningkat dengan berlanjutnya penyakit
3) Status imun
Sel-sel CD4+; menurun
Rasio CD4:CD8; menurun
Hitung sel darah putih; normal hingga menurun
Kadar immunoglobulin; meningkat
Tes fungsi sel CD4+; sel-sel T4 mengalami penurunan kemampuan
untuk bereaksi terhadap antigen
Reaksi sensitivitas pada tes kulit; menurun hingga tidak terdapat
Darah tepi (Hb, leukosit, monosit, trombosit, limfosit); leucopenia,
limfopenia, trombositopenia, displasia sumsum tulang
Infeksi Terapi
Kandidiasis esophagus Flukonazol
Tuberkulosis Rifampisin, INH, Etambutol,
Pirazinamid, Streptomisin,
MAC Klaritromisin, Etambutol, Rifabutin,
Siprofloksasin
Toksoplasmosis Primetamin, Sulfadiazin, Asam Folat,
Klindamisin
Sitomegalovirus Gansiklovir, Foskamet
Herpes simpleks Asiklovir
Herpes zoster Asiklovir
PCPS Kotrimoksasol
RTI PI
Azidotimidin (AZT) Indinavir
Didanosin (ddl) Ritonavir
Dideoksistidin (ddC) Saquinavir
Stavudin (d4T) Nelvinavir
J. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang
potensial, termasuk praktik seksual yang beresiko dan penggunaan obat bius
IV. Diantaranya :
a) Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali
factor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia,
mual, vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan. Disamping itu,
kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus
dinilai. Penimbangan, berat badan, pengukuran antopometri,
pemeriksaan kadar BUN (bloood urea nitrogen), protein serum,
albumin dan transferin.
b) Kulit dan membran mukosa diinspeksi untuk menemukan tanda-tanda
lesi, ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau
gejala kemerahan, ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim
yang menunjukkan kandidiasis. Daerah perianal harus diperiksa untuk
menemukan ekskoriasi dan infeksi pada pasien dengan diare yang
profus. Pemeriksaan kultur luka dapat dimintakan untuk
mengidentifikasi mikroorganisme yang infeksius.
c) Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi
gejala batuk, produksi sputum, napas yang pendek, ortopnea, takipnea
dan nyeri dada. Keberadaan suara pernafasan dan sifatnya juga harus
diperiksa. Ukuran fungsi paru yang lain mencakup hasil foto ronsen
thoraks, hasil pemeriksaan gas darah arteri dan hasil tes faal paru.
d) Status neurologis ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien,
orientasinya terhadap orang, tampat serta waktu dan ingatan yang
hilang. Pasien juga dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik
(perubahan visual, sakit kepala, patirasa dan parestesia pada
ekstremitas) serta gangguan motorik (perubahan gaya jalan, paresis atau
paralisis) dan serangkaian kejang.
e) Status Cairan dan elektrolit dinilai dengan memeriksa kulit serta
membran mukosa untuk menentukan turgor dan kekeringannya.
Peningkatan rasa haus, penurunan haluaran urine, tekanan darah yang
rendah dan penurunan tekanan sistolik antara 10 dan 15 mmHg dengan
disertai kenaikan frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk, denyut
nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urine sebesar 1,025 atau
lebih menunjukkan dehidrasi. Gangguan keseimbangan elektrolit
seperti penurunan kadar natrium, kalium, kalsium, magnesium dan
klorida dalam serum secara khas akan terjadi karena diare hebat.
Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai tanda-tanda dan
gejala deplesi elektrolit; tanda-tanda ini mencakup penurunan status
mental, kedutan otot vomitus, dan pernapasan yang dangkal.
f) Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara
penularan penyakit harus dievaluasi. Disamping itu, tingkat
pengetahuan keluarga dan sahabat perlu dinilai. Reaksi psikologis
pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting
yang harus digali. Reaksi dapat bervariasi antara pasien yang satu
dengan yang lainnya dan dapat mencakup penolakan, amarah, rasa
takut, rasa malu, menarik diri dari pergaulan sosial dan depresi.
Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan riwayat stress
utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali bermanfaat. Sumber-
sumber yang dimiliki pasien untuk memberikan dukungan kepadanya
juga harus diidentifikasi.
2. Diagnosis
Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau infeksi
HIV
Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi
Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan rentang
perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang
menyertai ensefalopati HIV
Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit perianal
akibat diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan
dengan penurunan asupan oral
Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri
dari sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya
menulariorang lain.
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah
penularan HIV dan perawatan mandiri.
Masalah kolaboratif komplikasi potensial
Berdasarkan data-data hasil penelitian, komplikasi yang mungkin terjadi
mencakup :
o Infeksi oportunitis
o Kerusakan pernapasan atau kegagalan respirasi
o Sindrom pelisutan dan gangguan keseimbangan cairan serta elektrolit
o Reaksi yang merugikan terhadap obat-obatan
3. Nursing Care Plan
a) Diagnosa : Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan
atau infeksi HIV
Tujuan : Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang lazim
Intervensi :
Kaji kebiasaan defekasi normal pasien
Kaji terhadap diare : sering, feses encer, nyeri atau kram abdomen,
volume feses cair dan faktor pemberat dan penghilang
Dapatkan kultur feses dan berikan therapi antimikroba sesuai
ketentuan
Lakukan tindakan untuk mengurang pembatasan sesuai ketentuan
dokter :
Pertahankan pembatasan makanan dan cairan sesuai ketentuan
dokter
Hindari merokok
Hindari iritan usu seperti makanan berlemak atau gorengan,
sayuran mentah dan kacang-kacangan
Berikan makan sedikit dan sering
Kolaborasikan dalam pemberian antispasmodik antikolinergis atau
obat sesuai ketentuan
Pertahankan masukan cairan sedikitnya 3 L kecuali
dikontraindikasikan
b) Diagnosa : Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan
imunodefisiensi
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Intervensi :
Pantau adanya infeksi : demam, menggigil dan diaforesis, batuk,
napas pendek, nyeri, oral atau nyeri menelan, bercak berwara krim
di dalam ronggaoral, kemerahan dan bengkak atau drainase luka.
Lesi vesikuler diwajah, bibir atau area perianal
Ajarkan pasienatau pemberi keperawatan tentang perlunya
melaporkan kemungkinan infeksi
Pantau jumlah sel darah putih dan diferensiasi
Dapatkan kultur drainase luka, lesi kulit, urine, feses, sputum,
mulut dan daerah sesuai ketentuan
Instruksikan pasien untuk mencegah infeksi misalnya dengan
Bersihkan dapur dan permukaan kamar mandi dengan desinfectan
A. Kesimpulan
Penyebab air adalah infeksi dari HIV. Virus ini diketahui sebagai HTLV atau
LAV, ditularkan melalui hubungan langsung dan tak langsung seperti melalui cairan
semen, sekresi vagina, darah, dan ASI yang terinfeksi HIV. Dari HIV untuk menjadi
AIDS dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun atau lebih tanpa gejala dan atau tanpa
gejala. Tanda dan gejala seseorang yang terkena/terinfeksi HIV diantaranya
kehilangan berat badan secara drastis, diare, demam dan dingin, berkeringan di
malam hari, fatigue, dan malaise. Pemeriksaan dilakukan dengan tes antibodi HIV
(ELISA, Western Blot, IFA, dan RIPA), pelacakan HIV dan status imun dari pasien
itu sendiri. Pengobatan AIDS dapat dilakukan dengan pengobatan supportif, infeksi
oportunistik, dan penggunaan obat antiretroviral.
B. Saran
1. Pendidikan tentang AIDS kepada masyarakat umum terutama pada individu
yang aktif kegiatan seksualnya, pasien dan keluarganya
2. Pendidikan seksual sejak dini pada anak dapat dilakukan untuk mencegah AIDS
sejak dini
3. Hindari penggunaan jarum suntik secara bergantian, kontak langsung dengan
cairan yang mengandung HIV
4. Pendekatan secara agama juga perlu dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI