Anda di halaman 1dari 24

ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY

SYNDROME
(AIDS)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Keperawatan Medikal Bedal yang dikoordinatori oleh Ibu Sri Utami Dwiningsih

Disusun oleh:
Anggraeni Widyastuti
Ika Lita S.
M. Fajar yulianto
Suryo Rohmadhoni

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
2007

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sindrom imunodefisiensi yang didapat ( AIDS, Acquired Immuno Deficiency
Syndrome) diartikan sebagai bentuk paling berat dari keadaan sakit terus menerus
yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ). Selama
bertahun-tahun, HIV diartikan sebagai HTLV III (Human T-cell Lymphotropic
Virus tipe III) dan virus yang berkaitan dengan limfadenopati (LAV,
Lymphadenopathy Associated Virus). Manifestasi klinik infeksi HIV berkisar
mulai dari kelainan ringan dalam proses imun tanpa tanda-tanda dan gejala yang
nyata hingga keadaan imunosupresi yang berat yang berkaitan dengan berbagai
infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang
jarang terjadi. Pada musim gugur di tahun 1982, the Centres for Disease Control
and Prevention (CDC) memublikasikan definisi kasus penyakit AIDS sesudah
terdapat 100 kasus pertama yang dilaporkan.
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan pada tahun 1987 di Bali.
Meskipun pada tahun 1986 di Jakarta, Zubairi Djoerban juga telah melaporkan
kasus AIDS tetapi karena saat itu belum ada pemeriksaan western blot di
Indonesia maka kasus tersebut tidak tercatat di Departemen Kesehatan. Pada akhir
tahun 1998 UNAIDS (United Nnations aparograme on AIDS) mencatat 33,4 juta
orang yang hidup dengan HIV/AIDS diantaranya terdapat 13,8 juta perempuan
dan anak berusia di bawah 15 tahun sebanyak 1,2 juta orang. Sekitar 95% orang
yang terinfeksi HIV/AIDS berada di negara yang sedang berkembang.
Menurut catatan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan pada akhir tahun
1999 tercatat 1066 orang di Indonesia yang terinfeksi HIV dan berasal dari 23
propinsi. Diakui angka ini jauh lebih rendah dari angka yang sebenarnya karena
masih banyak kasus infeksi HIV yang tidak dilaporkan disamping kepedulian
tenaga kesehatan terhadap kemungkinan infeksi HIV belum merata. Karena
meluasnya kasus HIV di Indonesia dan keadaan yang semakin mengkhawatirkan
maka penulis mencoba mengangkat kaus ini sebagai makalah untuk memenuhi
tugas KMB III.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui berbagai hal
tentang penyakit AIDS yang terjadi di masyarakat luas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian, etiologi, dan patofisiologi dari AIDS
b. Mengetahui cara penularan AIDS
c. Mengetahui manifestasi klinik dari infeksi HIV
d. Mengetahui cara mendiagnosa, penatalaksanaan, dan proses keperawatan
pasien dengan AIDS

C. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode kajian pustaka yaitu penulis mencari
sumber dari buku-buku referensi yang relevan dengan judul yang diambil, selain
itu penulis juga mencari bahan dari internet untuk menunjang bahan yang telah
ada dan mencari informasi terkini tentang AIDS.

D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 3 bab, bab I pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Bab II isi yang
terdiri dari pengertian, etiologi, patofisiologi, pathways, cara penularan,
manifestasi klinik, evaluasi diagnosis, diagnosis, penatalaksanaan, dan proses
keperawatan. Bab III penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Serta daftar
pustaka yang berisi daftar referensi yang diambil penulis untuk menyusun
makalah ini.
BAB II
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

A. Pengertian
Ada beberapa pengertian menurut sumber masing - masing, yaitu :
Menurut Tuti Parwati, 1996
Menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena
adanya infeksi virus Human Imunodeficiency Virus (HIV).
Menurut dr. Adi Sasongko, MA. www.petra.ac.id.
Penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh. Virus penyebab AIDS adlah HIV (Human
Imunodeficiency Virus).
Menurut Brunner & Suddarth, 2001
Sindrom immunodeficiency yang didapat (AIDS, Acquired
Immunodeficiency Syndrome) diartikan dari bentuk yang paling berat dari
keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV. HIV
diketahui sebagai HTLV III (Human T-Cell Lymphatropic Virus type III)
dan virus yang berkaitan dengan limfadenopati (LAV, lymphadenopathy
associated virus).

B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah infeksi oleh HIV. Virus ini diketahui sebagai
Human T Cell Lymphatropic Virus (HTLV) atau The Lymphadenophaty
Associated Virus (LAV) yang ditemukan oleh Luc Montaigner (1983) dan Robert
gallo (1984). Tetapi pada tahun 1985 kedua virus tersebut dinyatakan sama oleh
Committee Taxonomy International dan disebut HIV (Human Imunodeficiency
Virus).
Tahun 1994 diketahui ada 2 jenis virus yang menyebabkan AIDS :
HIV 1 : penyebarannya lebih luas hampir di seluruh dunia yaitu jenis
Retovirus
HIV 2 : di Afrika Barat, Portugal lebih mirip dengan Monkey Virus
merupakan suatu virus lentivirus.
Target sel HIV berupa :
Sel limfosit T4 yang merupakan target utama, sedangkan target yang lain
seperti : Sel monosit, makrofag, folikular dendritik, sel retina, serviks, langerhans,
sel otak, endotel sel cerna.
Masa Inkubasi HIV :
Sulit diketahui, rata-rata 5 bulan hingga 5 sampai 10 tahun.

C. Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus
yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV
(partikel virus yang lengkap yang dibungkus oleh selubung pelindung)
mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung dimana p24
merupakan komponen stuktural yang utama. Tombol (knob) yang menonjool
lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41.
Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-positif adalah gp120
dari HIV.
Sel-sel CD4+ mencangkup monosit, makrofag dam limfosit T4 helper
(yang dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV). Limfosit T4
helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di atas. Sesudah
terikat dengan membrane sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas
benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim
yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman
ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded
DNA (DNA utas ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanent.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini, sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus
(CMV; Cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simplex, dan hepatitis.
Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi dikatifkan, replikasi serta
pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru
dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel
CD4+ lainnya.
Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan
tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi
reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun
dan terangkut ke seluruh tubuh untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh.
Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki
kemampuan untuk memproduksinya. Replikasi virus akan berlangsung terus
menerus sepanjang perjalanan infeksi HIV. Ketika sistem imun tersti,ulasi,
replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah
yang menyebabakan infeksi berikunya pada sel-sel CD4+ yang lain.
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan
orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang vberperang
dengan infeksi virus lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun,
reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat apabila penderitanya sedang
menghadapi infeksi virus lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini
dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita
sesudah terinfeksi HIV.
Dalam respons imun, limfosit T4 memainkan beberapa peranan yang
penting yaitu : mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibody, menstimulasi limfosit T sitotoksik, memproduksi limfokin
dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Jika fungsi limfosit T4
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak meinmbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius.
Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun
dinamakan infeksi oportunistik.
D. Pathways
PATHWAYS

Hub. Seks Kontak langsung Ibu Hamil


VOA darah jarum suntik HIV (+)
Vaginal, Oral, Anal

Pencegahan + Perawatan HIV Penolakan Masyarakat

Kurang Informasi Menyerang sel-sel


Limfosit T4 HDR Gangguan Isolasi Sosial
Monosit, Makrofag, Retina
Kurang Pengetahuan Serviks, Lengerhans, Otak

Status Imun

Inf Akut, Inf Kronis Asimtomatis PEL Penyakit Lain

Demam, Batuk Imun Hiperaktivitas


Keringat malam, Sel limfosit B
Mual, muntah
Neurologis Inf Sekunder Kanker

Mielopati Inf Virus Sarkoma kaposi


Neuropati Inf Parasit Limfoma
Peny SSP Mikrobekterm

Perubahan Nutrisi Hiperplasia


< kebutuhan tubuh
Demensia Pada Usus Nyeri
kompleks

Resti tertular penyakit lain/ Diare


Resti Infeksi Perubahan
Proses pikir
E. Cara Penularan
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang tertular.
Penderita kadang belum merasakan keluhan dan gejalanya. HIV dapat ditularkan
hanya :
Bila kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh.
Makin besar jumlah virusnya makin berat infeksinya.
Jumlah virus yang banyak terdapat dalam :
o Cairan darah, sperma
o Cairan vagina/serviks
o Otak
Jumlah virus dalam jumlah sedikit terdapat dalam :
o Urin
o Saliva, keringat
o ASI
Ada tiga cara penularan HIV :
1. Hubungan seksual
Vaginal, oral, anal, mempunyai factor resiko sekitar 80-90 % sedunia.
2. Kontak langsung dengan jarum suntik
o Transfuse darah yang tercemar HIV (90%)
o Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan 0,0051%
o Pemakaian jarum suntik bersama-sama
o Melalui kecelakaan kerja : tertusuk jarum, resiko penularan 0,03 %
3. Secara vertikal: dari ibu hamil pengidap HIV terhadap bayi atau anak dalam
kandungan
Sejak hamil
Saat atau setelah melahirkan, resiko penularan 50%
Melalui ASI, resiko sekitar 14 %
Resiko terinfeksi :
Pria dengan aktif seksual : biseksual atau homoseksual dengan banyak
pasangan.
Drug users : intravena.
Pasien hemophilia atau pasien yang memerlukan transfuse darah.
Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.
F. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis infeksi HIV pada dasarnya disebabkan oleh HIV itu
sendiri (sindrom retroviral akut demensia HIV), infeksi oportunistik, atau kanker
yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap
berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CDC (Center for Disease Control).
Grup I : Infeksi Retroviral Acute
Frekuensi gejala infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis
menunjukkan demam, pembesaran kelenjar limfe leher, hepatosplenomegali, nyeri
tenggorok, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada mukokutan, letargi, batuk,
faringitis, meningitis, keringat malam, gangguan GIT : mual, muntah, leukopenia,
limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan neurology seperti meningitis
aseptic, sindrom Guillan-Bare, atau psikosis akut. Sindrom ini biasanya sembuh
sendiri tanpa pengobatan.
Grup II : Infeksi Kronik Asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi
limfadenopati umum. Terjadi penurunan system imun tubuh, replikasi lambat dan
aktivitas HIV tetap berlangsung.
Grup III : PGL (Persisten Generalized Lympodenopathy)
Gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia bacterial kandidiasis
vagina, sariawan, herpes zooster, leukoplakia, ITP, dan TB paru. Masa ini dulu
disebut AIDS Related Complex (ARC). Kelenjar limfe membengkak, dapat
persisiten selama bertahun-tahun, pasien tetap tampak sehat, progresi bertahap
adanya hierplasia folikel, timbul involusi (invasi sel-sel limfosit TB). Kelainan
psikoneurologis sulit diidentifikasi.
Grup IV : Gejala Lanjut
Penurunan daya tahan yang lanjut ini menyebabkan resiko tinggi
terjadinya infeksi oportunistik berat atau keganasan. Pada infeksi oportunistik
keluhan sedikit dirasakan, sel limfosit T4 turun drastic sehingga sentral system
imun terganggu. Infeksi yang sering dialami adalah infeksi virus, parasit, dan
mikrobakterium. Timbul neoplasma : sarcoma kaposi, limfoma sel B di otak.
Pada orang dewasa
Bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak
ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat,
pemakaian kortikosteroid lama.
Gejala mayor :
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
Diare kronik yang lebih dari satu bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan neurology
Demensia atau ensefalopati HIV
Gejala minor :
Batuk menetap lebih dari 1 bulan
Dermatitis generalisata yang gatal
Herpes zooster berulang
Kandidiosis orofaring
Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Pada anak
Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan gejala minor, dan tidak
terdapat sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat,
pemakaian kortikosteroid lama.

G. Evaluasi Diagnostik
1) Tes Antibodi HIV
Kalau seseorang terinfeksi oleh virus HIV, system imunnya akan
bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
umumnya terbentuk dalam waktu 3-12 minggu setelah terkena infeksi, kendati
pembentukan antibody ini dapat memerlukan waktu sampai hingga 14 bulan;
kenyataan ini menjelaskan mengapa seseorang dapat terinfeksi tetapi pada
mulanya tidak memperlihatkan hasil tes yang positif. Sayangnya, antibody
untuk HIV tidak efektif dan tidak dapat menghentikan perkembangan infeksi
HIV. Kemampuan untuk mendeteksi antibody HIV dalam darah telah
memungkinkan pemeriksaan skrinning produk darah dan memudahkan
evaluasi diagnostic pada pasien-pasien terinfeksi HIV. Pada tahun 1985, Food
And Drug Administration atau FDA mengeluarkan lisensi untuk uji kadar
antibody HIV bagi semua pendonoran darah dan plasma.
Ada tiga buah tes untuk memastikan adanya antibody terhadap HIV
dan membantu mendiagnosis infeksi HIV. Tes enzyme-linked immunosorbent
assay atau ELISA mengidentifikasikan antibody yang secara spesifik ditujukan
kepada virus HIV. Tes ELISA tidak menegakkan diagnosis penyakit AIDS
tetapi lebih menunjukkan bahwa seseorang pernah terkena atau terinfeksi oleh
virus HIV. Orang yang darahnya mengandung antibody untuk HIV disebut
sebagai orang yang seropositif. Pemeriksaan western blot assay merupakan tes
lainnya yang dapat mengenali antibody HIV dan digunakan untuk memastikan
seropositivitas seperti yang teridentifikasi lewat prosedur ELISA. Indirect
immunofluorescence assay atau IFA kini sedang digunakan oleh sebagian
dokter sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositivitas. Tes lainnya, radioimmunoprecipitation assay atau RIPA, lebih
mendeteksi protein HIV ketimbang antibody.

2) Pelacakan HIV
Antigen p24; positif untuk protein virus yang bebas
Reaksi rantai polymerase atau PCR:polymerase chain reaction;
mendeteksi DNA atau RNA virus HIV
Kultur sel mononuclear darah perifer untuk HIV-1; positif kalau dua
kali uji kadar/assay secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse
transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat
Kultur sel kualitatif; mengukur muatan virus dalam sel
Kultur plasma kuantitatif; mengukur muatan virus lewat virus bebas
yang infeksius dalam plasma
Mikroglobulin B2; protein meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit
Neopterin serum; kadar meningkat dengan berlanjutnya penyakit
3) Status imun
Sel-sel CD4+; menurun
Rasio CD4:CD8; menurun
Hitung sel darah putih; normal hingga menurun
Kadar immunoglobulin; meningkat
Tes fungsi sel CD4+; sel-sel T4 mengalami penurunan kemampuan
untuk bereaksi terhadap antigen
Reaksi sensitivitas pada tes kulit; menurun hingga tidak terdapat
Darah tepi (Hb, leukosit, monosit, trombosit, limfosit); leucopenia,
limfopenia, trombositopenia, displasia sumsum tulang

4) Pemeriksan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan


Diperiksa sesuai dengan jenis penyakitnya, Misalnya kandidiasis, TB
paru, Lab rutin, Radiologis, USG, CT Scan, Bronkoskopi, dll.

H. Diagnosis Penyakit AIDS


Manifestasi infeksi HIV memperlihatkan keragaman. Diagnosis didasarkan
pada riwayat klinis, identifikasi factor resiko pemeriksaan fisik, bukti
laboratorium yanmg menunjukkan disfungsi kekebalan, identifikasi antibody HIV,
tanda-tanda serta gejala, dan infeksi dan atau malignasi yang termasuk dalam
system klasifikasi CDC untuk infeksi HIV. System klasifikasi ini menggolongkan
infeksi HIV dan penyakit AIDS pada pasien dewasa dan remaja berdasarkan
kondisi klinis yang berkaitan dengan infeksi HIV serta jumlah sel T CD4+.
Definisi kasus surveilans yang diperluas telah menghasilkan identifikasi
dan diagnosis yang lebih dini bagi lebih banyak orang dengan penyakit AIDS.
Kondisi klinis dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang memuat daftar
kondisi klinis masing-masing kategori tersebut. Jumlah sel-T CD4+ meliputi tiga
kisaran yang memandu penanganan klinis dan terapeutik penderita yang terinfeksi
HIV. Meskipun klasifikasi yang sudah diperbaharui menekankan jumlah sel-T
CD4+, namun klasifikasi ini memungkinkan masuknya persentase CD4+
(persentase sel-sel T CD4+ dari jumlah total limfosit). Persentase CD4+ tidak
begitu dipengaruhi oleh keragamanpada hasil-hasil pengukuran yang berulang
dibandingkan jumlah absolute sel-T CD4+. Namun demikian, data-data yang
mengaitkan riwayat alami infeksi HIV dengan persentase CD4+ tidak selalu
tersedia secara konsisten sebagaimana halnya data-data mengenai jumlah absolute
sel-T CD4+.
Langkah-langkah Diagnosis
1. Lakukan anamnesis gejala infeksi oportunistik dan kanker yamng terkait
dengan AIDS
2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker
terkait. Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan
funduskopi
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosit total, antibody HIV,
dan pemeriksaan Rontgen
Bila hasil pemeriksaan antibody posirif maka dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4, protein purified derivative atau PPD, serologi toksoplasma, serologi
sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.

I. Penatalaksanaan infeksi AIDS


Penatalaksanaan infeksi AIDS meliputi penatalaksanaan medik, psikologis
dan social. Penatalaksanaannya meliputi :
1. Pengobatan Suportif
Tujuan pengobatan ini ialah untuk meningkatkan keadaan umum
pasien. Pengobatan nin terdiri atas pemberian gizi yang sesuai, obat sistemik,
serta vitamin. Disamping itu perlu diupayakan dukungan psikososial agar
pasien dapat melakukan aktivitas seperti semula. Pengobatan ini meliputi :
Nutrisi dan vitamin yang cukup
Bekerja
Pandangan hidup yang positif
Hobi
Dukungan psikologis
Dukungan social
2. Pencegahan serta pengobatan infeksi oportunistik dan kanker
Pola infeksi oportunistik biasanya sesuai dengan poola mikroba yang
ada dilingkungan pasien. Di negeri kita yang sering dijumpai adalah infeksi
jamur, tuberculosis, toksoplasma, herpes, dan sitomegalovirus. Karena
kekebalan tubuh pasien amat menurun, diperlukan obat yang lebih kuat dan
waktu pengobatan yang lebih lama. Sebagian infeksi oportunistik seperti PCP
dan sitomegalovirus memerlukan pengobatan pemeliharaan. Acapkali pasien
juga menderita 2 sampai 3 infeksi oportunistik sekaligus. Obat yang digunakan
dalam pengobatan infeksi oportunistik dewasa ini dapat dilihat dalam table.

Infeksi Terapi
Kandidiasis esophagus Flukonazol
Tuberkulosis Rifampisin, INH, Etambutol,
Pirazinamid, Streptomisin,
MAC Klaritromisin, Etambutol, Rifabutin,
Siprofloksasin
Toksoplasmosis Primetamin, Sulfadiazin, Asam Folat,
Klindamisin
Sitomegalovirus Gansiklovir, Foskamet
Herpes simpleks Asiklovir
Herpes zoster Asiklovir
PCPS Kotrimoksasol

3. Pengobatan anti retroviral


Obat ini bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan HIV dalam
tubuh. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi obat antiretroviral
dapat menurunkan secara tajam viral load di darah, bahkan juga di kelenjar
limfe. Obat ini diberikan dalam bentuk RTI atau reverse transcriptase inhibitor
dan PI atau protease inhibitor. Dewasa ini terapi standar yang banyak dianut
adalah kombinasi 2 RTI dan 1 PI. Meski demikian uji klinis terus dilakukan
dengan menggunakan berbagai kombinasi, misalnya 2 PI saja atau bahkan ada
kombinasi 4-5 obat yang bertujuan untuk mencapai eradikasi HIV di dalam
tubuh. Sekarang kombinasi ini masih asing bagi kebanyakan dokter yang
berpraktek umum tetapi di masa depan bila kasus semakin banyak tak
mungkin standar terapi ini semakin popular, seperti halnya standar terapi
antituberkulosis.
Obat yang tergolong RTI dan PI

RTI PI
Azidotimidin (AZT) Indinavir
Didanosin (ddl) Ritonavir
Dideoksistidin (ddC) Saquinavir
Stavudin (d4T) Nelvinavir

Jenis obat antiretroviral

Golongan Dosis Efek Samping Monitoring


I. Inhibitor
reverse
transcriptase
Zidovudin 500 mg/hari, 5x100 Nyeri kepala, Darah lengkap/3
(AZT), mg atau 100-200 lemah, intoleransi bulan LFT/3-6
Retrovir, mg/hari, dosis saluran cerna,
Avirzid minimal 3x100 mg. insomnia anemia,
dosis demensia HIV netropenia,
1000-1200 mg /hari penekanan
dosis pencegahan sumsum tulang,
penularan perinatal: tergantung dosis.
dosis pascapaparan Miopati,
HIV: pada gagal peningkatan enzim
ginjal diberikan CPK, hepatitis,
dosis. kardiomiopati,
perubahan warna
kuku
Didanosin (ddl) 2x125 mg Neuropati perifer, Amylase 1-2
Videx pankreatitis, bulan sekali
hiperurisemia, pemeriksaan
hepatitis, neurologik/bulan
kemerahan
Stavudin (d4T) 2x30 mg Neuropati perifer, pemeriksaan
zerir pankreatitis, neurologik/bulan
hepatitis, amilase/bulan
neutropenia
Lamivudin 2x150 mg Sakit kepala,
(3TCs) dikurangi pada nausea, diare,
Epivir gagal ginjal nyeri abdomen,
insomnia
II. Inhibitor
enzim protease
Saquinavir 3x200 mg Intoleransi saluran
invirase cerna, nyeri
abdomen, diare
Indinavir 3x800 mg Peningkatan
Crixivan bilirubin,
nefrotiliasis,
peningkatan
transminase
Ritonavir 2x600 mg Intoleransi saluran
Norvir cerna, parestesia
sekitar mulut,
peningkatan
kolesterol dan
trigliserida

J. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang
potensial, termasuk praktik seksual yang beresiko dan penggunaan obat bius
IV. Diantaranya :
a) Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali
factor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia,
mual, vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan. Disamping itu,
kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus
dinilai. Penimbangan, berat badan, pengukuran antopometri,
pemeriksaan kadar BUN (bloood urea nitrogen), protein serum,
albumin dan transferin.
b) Kulit dan membran mukosa diinspeksi untuk menemukan tanda-tanda
lesi, ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau
gejala kemerahan, ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim
yang menunjukkan kandidiasis. Daerah perianal harus diperiksa untuk
menemukan ekskoriasi dan infeksi pada pasien dengan diare yang
profus. Pemeriksaan kultur luka dapat dimintakan untuk
mengidentifikasi mikroorganisme yang infeksius.
c) Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi
gejala batuk, produksi sputum, napas yang pendek, ortopnea, takipnea
dan nyeri dada. Keberadaan suara pernafasan dan sifatnya juga harus
diperiksa. Ukuran fungsi paru yang lain mencakup hasil foto ronsen
thoraks, hasil pemeriksaan gas darah arteri dan hasil tes faal paru.
d) Status neurologis ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien,
orientasinya terhadap orang, tampat serta waktu dan ingatan yang
hilang. Pasien juga dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik
(perubahan visual, sakit kepala, patirasa dan parestesia pada
ekstremitas) serta gangguan motorik (perubahan gaya jalan, paresis atau
paralisis) dan serangkaian kejang.
e) Status Cairan dan elektrolit dinilai dengan memeriksa kulit serta
membran mukosa untuk menentukan turgor dan kekeringannya.
Peningkatan rasa haus, penurunan haluaran urine, tekanan darah yang
rendah dan penurunan tekanan sistolik antara 10 dan 15 mmHg dengan
disertai kenaikan frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk, denyut
nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urine sebesar 1,025 atau
lebih menunjukkan dehidrasi. Gangguan keseimbangan elektrolit
seperti penurunan kadar natrium, kalium, kalsium, magnesium dan
klorida dalam serum secara khas akan terjadi karena diare hebat.
Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai tanda-tanda dan
gejala deplesi elektrolit; tanda-tanda ini mencakup penurunan status
mental, kedutan otot vomitus, dan pernapasan yang dangkal.
f) Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara
penularan penyakit harus dievaluasi. Disamping itu, tingkat
pengetahuan keluarga dan sahabat perlu dinilai. Reaksi psikologis
pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting
yang harus digali. Reaksi dapat bervariasi antara pasien yang satu
dengan yang lainnya dan dapat mencakup penolakan, amarah, rasa
takut, rasa malu, menarik diri dari pergaulan sosial dan depresi.
Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan riwayat stress
utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali bermanfaat. Sumber-
sumber yang dimiliki pasien untuk memberikan dukungan kepadanya
juga harus diidentifikasi.
2. Diagnosis
Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau infeksi
HIV
Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi
Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan rentang
perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang
menyertai ensefalopati HIV
Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit perianal
akibat diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan
dengan penurunan asupan oral
Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri
dari sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya
menulariorang lain.
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah
penularan HIV dan perawatan mandiri.
Masalah kolaboratif komplikasi potensial
Berdasarkan data-data hasil penelitian, komplikasi yang mungkin terjadi
mencakup :
o Infeksi oportunitis
o Kerusakan pernapasan atau kegagalan respirasi
o Sindrom pelisutan dan gangguan keseimbangan cairan serta elektrolit
o Reaksi yang merugikan terhadap obat-obatan
3. Nursing Care Plan
a) Diagnosa : Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan
atau infeksi HIV
Tujuan : Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang lazim
Intervensi :
Kaji kebiasaan defekasi normal pasien
Kaji terhadap diare : sering, feses encer, nyeri atau kram abdomen,
volume feses cair dan faktor pemberat dan penghilang
Dapatkan kultur feses dan berikan therapi antimikroba sesuai
ketentuan
Lakukan tindakan untuk mengurang pembatasan sesuai ketentuan
dokter :
Pertahankan pembatasan makanan dan cairan sesuai ketentuan
dokter
Hindari merokok
Hindari iritan usu seperti makanan berlemak atau gorengan,
sayuran mentah dan kacang-kacangan
Berikan makan sedikit dan sering
Kolaborasikan dalam pemberian antispasmodik antikolinergis atau
obat sesuai ketentuan
Pertahankan masukan cairan sedikitnya 3 L kecuali
dikontraindikasikan
b) Diagnosa : Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan
imunodefisiensi
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Intervensi :
Pantau adanya infeksi : demam, menggigil dan diaforesis, batuk,
napas pendek, nyeri, oral atau nyeri menelan, bercak berwara krim
di dalam ronggaoral, kemerahan dan bengkak atau drainase luka.
Lesi vesikuler diwajah, bibir atau area perianal
Ajarkan pasienatau pemberi keperawatan tentang perlunya
melaporkan kemungkinan infeksi
Pantau jumlah sel darah putih dan diferensiasi
Dapatkan kultur drainase luka, lesi kulit, urine, feses, sputum,
mulut dan daerah sesuai ketentuan
Instruksikan pasien untuk mencegah infeksi misalnya dengan
Bersihkan dapur dan permukaan kamar mandi dengan desinfectan

c) Diagnosa : Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan


penyempitan rentang perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan
disorientasi yang menyertai ensefalopati HIV
Tujuan : Mempertahankan orientasi realita umum dan fungsi kognitif
optimal
Intervensi :
Kaji status mental dan neurologis dengan menggunakan alat yang
sesuai kemudian catatperubahan dalam orientasi, respons terhadap
rangsang, kemampuan untuk memecahkan masalah.
Pantau adanya tanda tanda infeksi SSp misal : sakit kepala,
kekakuan nukal, muntah, demam
Pertahankan lingkunagn yang menyenangkan dengan rangsang
auditorius, visual dan kognitif yang tepat
Dorong keluarga atau orang terdekat untuk bersosialisasi dan
berikan reorientasi dengan berita aktual, kejadian-kejadian di
dalam keluarga
Dorong pasien melakukan kegiatan sebanyak mungkin misal :
berpakaian setiap hari, bertemu teman-teman dll.
Kurangi rangsangan provokatif atau mencemaskan.
Kurangi kebisingan terutama pada malam hari.pertahankan
lingkungan yang aman misal : tempat tidur dengan posisi yang
rendah

d) Diagnosa: Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit


perianal akibat diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
Tujuan : nyeri dapat terkontrol atau hilang
Intervensi :
Kaji keluhan nyeri, perhatian lokasi, intensitas (skala 1-10)
Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Berikan aktifitas hiburan misal : membaca dan menonton televisi
Kolaborasikan dalam pemberian analgetik antipiretik, analgesik
narkotik
Lakukan tindakan paliatif misal : masase, perubahan posisi, rentang
gerak pada sendi yang sakit

e) Diagnosa : Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang


berhubungan dengan penurunan asupan oral
Tujuan : perbaikan status nutrisi
Intervensi :
Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan berat badan,
usia, protein serum, albumin dll.
Dapatkan riwayat diet, termasuk makanan uang disukai dan tidak
disukai serta intoleransi makanan
Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi masukan oral
Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi
pasien
Dorong pasien untuk istirahat sebelum makan
Rencanakan makan sehingga jadwal makan tidak terjadi segera
setelah prosedur yang menimbulkan nyeri atau tidak enak
Instruksikan pasien tentang cara untuk memberi suplemen nutrisi :
mengkonsumsi makanan kaya protein
Konsultasi dengan dokter tentang makanan pengganti (nutrisi
enteral atau parenteral)
Dorong pasien untuk makan dengan pengunjung atau orang lain
bila mungkin
f) Diagnosa : Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit,
penarikan diri dari sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila
dirinya menulari orang lain.
Tujuan : penurunan rasa isolasi sosial
Intervensi :
Kaji pola interaksi sosial pasien yang lazim
Observasi terhadap perilaku indikatif isolasi sosial, seperti
penurunan interaksi dengan orang lain, bermusuhan,
ketidakpatuhan dan menyatakan kesepian
Berikan instruksi mengenai cara-cara penularan HIV
Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menggali sumber untuk
mendukung dan mekanisme pasitif untuk koping
Berikan waktu untuk bersama pasien lebih banyak daripada untuk
pengobatan atau prosedur
Dorong partisipasi dalam aktivitas pengalih seperti membaca,
televisi atau kerajinan tangan
g) Diagnosa : Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara
mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri.
Tujuan : peningkatan pengetahuan mengenai cara pencegahan penularan
penyakit
Intervensi :
Tentukan pemahaman saat ini dan persepsi terhadap diagnosa
Kaji kemampuan emosional untuk mengasimilasikan informasi dan
memahami instruksi.
Berikan informasi yang realitas dan optimistis selama setiap kontak
dengan pasien
Rencanakan pertemuan-pertemuan yang singkat untuk memberikan
informasi tambahanberikan nformasi mengenai perubahan gaya
hidup yang sesuai dan faktor-faktor yang membantu
mempertahankan kesehatan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyebab air adalah infeksi dari HIV. Virus ini diketahui sebagai HTLV atau
LAV, ditularkan melalui hubungan langsung dan tak langsung seperti melalui cairan
semen, sekresi vagina, darah, dan ASI yang terinfeksi HIV. Dari HIV untuk menjadi
AIDS dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun atau lebih tanpa gejala dan atau tanpa
gejala. Tanda dan gejala seseorang yang terkena/terinfeksi HIV diantaranya
kehilangan berat badan secara drastis, diare, demam dan dingin, berkeringan di
malam hari, fatigue, dan malaise. Pemeriksaan dilakukan dengan tes antibodi HIV
(ELISA, Western Blot, IFA, dan RIPA), pelacakan HIV dan status imun dari pasien
itu sendiri. Pengobatan AIDS dapat dilakukan dengan pengobatan supportif, infeksi
oportunistik, dan penggunaan obat antiretroviral.

B. Saran
1. Pendidikan tentang AIDS kepada masyarakat umum terutama pada individu
yang aktif kegiatan seksualnya, pasien dan keluarganya
2. Pendidikan seksual sejak dini pada anak dapat dilakukan untuk mencegah AIDS
sejak dini
3. Hindari penggunaan jarum suntik secara bergantian, kontak langsung dengan
cairan yang mengandung HIV
4. Pendekatan secara agama juga perlu dilakukan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

ms.wikipedia.org. AIDS. 23 0ktober 2007

www.petra.ac.id. HIV/AIDS. 23 Oktober 2007

Anda mungkin juga menyukai