Anda di halaman 1dari 16

HAK RECALL PARTAI POLITIK DI INDONESIA

(Kajian Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia)

SKRIPSI

Oleh:
DANO DESRAN SANAKY
NIM : 2009 21 203

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memeroleh gelar sarjana hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .. i

LEMBARAN PENGESAHAN . ii

ABSTRAK.. iii

MOTTO... iv

LEMBARAN PERSEMBAHAN.. v
KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.. 1

B. Rumusan Masalah.... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Kegunaan Penelitian..... 9

E. Kerangka Konseptual.................... 10

F. Metode Penelitian. 13

G. SistematikaPenulisan... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengaturan Hak recall dalam Sistem Hukum Indonesia. 18

B. Hak Recall dalam Konsep Hak Asasi manusia. 21

BAB III PEMBAHASAN

A. Parameter pengaturan Hak Recall............ 35

B. Implementasi Hak Recall Partai politik terhadap keanggotaan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat .................................................... 40

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 55

B. Saran 55

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Disebut republik dan

bukan kerajaan (Monarchi), kerana pengalaman bangsa Indonesia di masa sebelum

kemerdekaan, penuh diliputi oleh sejarah kerajaan-kerajaan besar dan kecil diseluruh wilayah

Nusantara. Namun sejak Bangsa Indonesia merdeka dan membentuk Negara Modern yang

diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945, bentuk pemerintahan yang dipilih adalah

Republik. Oleh karena itu, falsafah dan kultur politik yang bersifat kerajaanyang didasarkan atas

sistem feodalisme dan paternalisme tidaklah dikehendaki oleh Bangsa Indonesia modern.

Bangsa Indonesia menghendaki Negara Modern dengan pemerintahan res publica.1[1]

Dalam konstitusi ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaat),

bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat).2[2] Didalamnya terkandung pengertian adanya

pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi. Dianutnya prinsip pemisahan dan

pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adanya jaminan Hak Asasi Manusia dalam UUD NRI

Tahun 1945, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan

setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap

1[1] Jimly Asshiddiqie., Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Hal. 57

2[2] SF Marbun dan mahfud MD.,Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000,
Hal. 51
penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham negara hukum yang

demikian, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara.3[3]

Oleh karena itu harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan

menurut prinsip-prinsip demokrasi.4[4] Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum

itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat.5[5] UUD NRI 1945 Pasal 1 Ayat (2)

menyatakan bahwa Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar.6[6] Kedaulatan sendiri berarti kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dan itu

berarti rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. Dengan menyandang prinsip

kedaulatan rakyat inilah yang mengantarkan Indonesia menganut sistem demokrasi sebagai

metode awal penyelenggaraan negara. Dalam sistem demokrasi haruslah dijamin bahwa rakyat

terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan dan melakukan pengawasan serta

menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.7[7]

Sehingga dalam Negara demokrasi modern hanya dapat dilakukan melalui sistem

demokrasi perwakilan, membutuhkan adanya Lembaga Negara DPR sebagai penyandang

kedaulatan rakyat yang bertindak untuk dan atas nama rakyat. Dalam hal ini anggota DPR tidak

sekedar mencerminkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat, namun lebih dari itu, yakni

3[3] Op. Cit

4[4] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. Hal. 150

5[5] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, Hal. 58

6[6] Lihat Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945

7[7] Jimly Asshiddiqie, Partai Politik dan Pemilihan Umum sebagai Instrumen demokrasi, Jurnal
Konstitusi, Volume 3 Nomor 4, Desember 2006, Hal. 6
anggota DPR memiliki ikatan emosional untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang

diwakilinya, dalam hal ini telah terbentuk ikatan psikologis antara wakil rakyat dan rakyat.8[8]

DPR sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang hadir dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia merupakan perwujudan dari pelaksanaan amanat UUD NRI 1945.

Selanjutnya untuk dapat diangkat menjadi anggota DPR, seseorang harus dipilih melalui suatu

pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang

dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun sekali sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19

Ayat (1) junto Pasal 22E Ayat (1) (2) UUD NRI 1945.9[9]

Dalam prakteknya untuk memilih anggota DPR, Partai Politik diletakan sebagai peserta

dalam suatu pemilihan umum yang memilih anggota DPR.10[10] ;proposisi ini secara tegas

dinyatakan dalam Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa Peserta pemilihan

umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah adalah Partai Politik.11[11] Pasal tersebut menunjukan bahwa penempatan

seorang anggota DPR adalah merupakan pemberian mandat dari sebuah partai politik, dengan

kata laintanpa partai politik mustahil seseorang dapat menjadi anggota DPR, selain itu setiap

anggota DPR tergabung dalam fraksi yang merupakan representasi dari keberadaan partai

politim di DPR. Sehingga terdapat konteks pertanggung jawaban antar keduanya. Di satu sisi

anggota DPr bertanggung jawab atas penegakkan AD/ART partai politik dan di sisi lainnya

partai politik memiliki tanggung jawab untuk melakukan kontrol terhadap kinerja para

8[8] Josef M. Monteiro, Lembaga-Lembaga Negara Setelah Amandemen UUD 1945, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta,2014. Hal 13

9[9] Lihat UUD NRI 1945

10[10] Janedjri M. Gafar, Demokrasi Konstitusional, Jakarta, Konstitusi Press, Oktober 2012. Hal 128

11[11] Lihat Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI 1945


anggotanya di DPR dan bentuk kontrol (pertanggung jawaban partai poltik) tersebut adalah

dalam bentuk mekanisme Hak Recall Partai Politik.12[12]

Dalam UUD NRI 1945 Pasal 22B menyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-

undang.13[13] Inilah yang menjadi dasar dalam pengaturan hak recall partai politik yang

selanjutnya diatur dalam Pasal 239 Ayat (1) dan (2) Huruf (d), (e) dan (g) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,14[14] yang sebelumnya

diatur dalam Pasal 213 Ayat (1) dan (2) UU. No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.15[15] Hak Recall juga diatur dalam Pasal 16 Ayat (1), (2)

dan (3) UU. No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.16[16] Hak Recall secara terminolgi dapat

diartikan sebagai suatu proses penarikan kembali atau penggantian anggota DPR oleh induk

organisasinya yakni partai politik.17[17]

Konstruksi hukum antara partai politik, DPR dan anggota DPR yang seperti itu

menimbulkan persoalan lebih lanjut, yakni apakah keanggotaan seseorang sebagai anggota DPR

12[12] Jimly Asshiddiqie, Jurnal Konstitusi, Op. Cit. Hal 6

13[13] Lihat UUD NRI 1945 Pasal 22B

14[14] Lihat Pasal 239 Ayat (1) dan (2) Huruf (d),(e) dan (g) UU no. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD

15[15] Lihat Pasal 213 Ayat (1) dan (2) UU No. 27 tahun 2009 tentang Susunan dan kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD

16[16] Lihat Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3) UU. No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik

17[17] BN. Marbun, SH. Kamus Politik Edisi Keempat Diiperbahrui Dan Dilengkapi Pengarang
merupakan kewenangan mutlak dari partai politik yang notabene merupakan peserta pemilihan

umum ataukah masing-masing anggota DPR memiliki kemandirian yang terlepas dari partai

politiknya ? dan apakah seorang anggota DPR dapat ditarik (Recall) begitu saja oleh partai

politik yang telah mengantarnya sebagai anggota parlemen ?.18[18]

Hak Recall Partai Politik merupakan hal yang urgen sebagai bagian dari mekanisme

kontrol partai poltik terhadap kadernya, namun dalam praktiknya recall yang dilakukan partai

politik lebih sebagai upaya untuk menyingkirkan mereka yang dianggap kritis dan menentang

kebijakan partai poltik. Sebut saja misalnya recall yang pernah dilakukan terhadap Lily Chodijah

Wahid. Lily Wahid direcall karena sikapnya yang yang memilih berbeda dengan kebijakan

fraksinya yaitu Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang mendukung pemerintah, yakni menerima

Hasil Kerja Pansus terkait Kasus Century untuk diteruskan kepada lembaga Penegak Hukum.

Lily Wahid merupakan satu-satunya anggota DPR adri Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang

pada saat itu memilih opsi C yaitu opsi yang menyatakan adanya permasalahan hukum dalam

Bail Out Century.

Sebagaimana yang telah terjadi pada Lily Chodijah Wahid seperti yang tersebut diatas,

jelas terlihat bahwa ada pembatasan hak oleh partai politik terhadap anggotanya di parlemen.

Pembatasan hak tersebut oleh partai politik didasarkan pada Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3) UU.

No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan Pasal 239 Ayat (1) dan (2) Huruf (d), (e) dan (g)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang salah satu

poinnya menjelaskan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan antar waktu (biasa disebut Recall)

yang intinya adalah karena melanggar AD dan ART Partai Politik yang tentunya nuansanya

bersifat politis. dalam kasus inilah terlihat jelas bahwa ada konflik norma yang terjadi. Yaitu

18[18] M. Hadi Subhan, SH., MH, Recall : Antara Hak Partai Politik dan Hak Berpolitik Anggota Partai
Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3 nomor 4, Desember 2006. Hal 31
antara Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3) UU. No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan Pasal 239

Ayat (1) dan (2) Huruf (d) (g) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

dengan Pasal 28D (1), (2) dan (3), 28E (3), 28G (1) dan 28I (1) UUD NRI 1945 yang terkait

dengan Hak Asasi Manusia.

Persoalan inilah yang bagi penulis menarik untuk diteliti, mengingat Indonesia adalah

salah satu negara demokrasi yang mengangkat rakyat setinggi-tingginya seperti yang tersebut

dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 194519[19] dan bangsa Indonesia juga sangat menjunjung

tinggi Hak Asasi Manusia, yang hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pengaturan mengenai

Hak Asasi Manusia dalam UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yakni

UU. No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.20[20]

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan yang akan dirumuskan dalam

penulisan proposal ini adalah:

Apakah Hak Recall Partai Politik di Indonesia sesuai dengan Hak Asasi Manusia ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan

dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini secara umum bertujuan memberikan gambaran dan pemahaman mengenai hak

recall partai politik terhadap keanggotaan anggota DPR di Parlemen serta mengkritisi norma-

19[19] Lihat Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945

20[20] Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta. 1998


norma hukum yang mendasari hak recall dalam rangka pengembangan Ilmu Hukum terutama

Hukum Tata Negara

2. Sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum

khususnya di bidang Hukum Tata Negara terkait dengan Hak Recall Partai politik di Indonesia

2. Kegunaan Praktis

a. penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah dalam hal memberikan sumbangsi pemikiran

akademis sebagai sarana pengsosialisasian mengenai Hak Recall Parati Politik terhadap

keanggotaan anggota DPR di parlemen.

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Recall

Menurut BN. Marbun, Recall adalah suatu hak untuk mengganti anggota DPR oleh

induk organisasinya.21[21] Bintan R. Saragih, mengartikan recall adalah hak suatu organisasi

sosial politik yang mempunyai wakil di MPR, DPR, dan DPRD untuk mengganti wakil-wakilnya

di lembaga perwakilan sebelum yang bersangkutan habis masa keanggotaannya, dengan terlebih

21[21] BN. Marbun, 1996, Kamus Politik, Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 43
dahulu bermusyawarah dengan pimpinan lembaga perwakilan tersebut.22[22] Adapun Mahfud

MD seperti yang dikutip oleh Nimatul Huda, mengartgikan recall adalah hak untuk mengganti

anggota Lembaga Permusyawaratan Rakyat/Perwakilan dari kedudukannya sehingga tidak lagi

memiliki status keanggotaan dalam lembaga tersebut.23[23]

2. Konsep Demokrasi

Demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat yang dijelmakan kedalam

sebuah lembaga. Lembaga tersebut terdiri atas orang-orang yang dipilih oleh dan untuk mewakili

kepentingan rakyat.24[24] Kata demokrasi telah mengalami perkembangan. Hal ini terbukti

bahwa, rakyat (demos) menurut paham demokrasi kuno sudah tidak sesuai lagi dengan rakyat

menurut paham demokrasi modern.25[25]

Dalam paham demokrasi kuno istilah rakyat dimaksudkan sebagai segolongan penduduk

negara yang tergolong orang-orang merdeka. Adapun mereka yang dianggap budak dipandang

tidak memiliki hak apapun. Mereka dianggap sebagai benda mati. Dengan demikian, demokrasi

menurut paham kuno merupakan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya terletak ditangan

sekelompok orang yang dipandang penting dalam masyarakat, baik karena keturunan,

pendidikan, maupun kekayaan. Paham ini telah dipraktikan pada masa pemerintahan Yunani

Kuno.26[26]

22[22] Bintan R. Saragih, Peranan DPR-GR Periode 1965-1971 dalam menegakkan kehidupan
ketatanegaraan yang konstitusional berdasarkan UUD 1945, disertasi , Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran, Bandung, 1992, Hal 323.

23[23] Nimatul Huda, Hukum Tata Negara, Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hal. 462

24[24] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, Hal 159

25[25] Sri Soemantri dan Bintan R. Seragih, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, Hal 72.

26[26] Ibid
Dalam paham demokrasi modern, demokrasi memiliki ciri utama, yakni mengakui

pendapat rakyat dalam pemerintahan melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam lembaga

perwakilan. Itulah sebabnya paham ini sering disebut demokrasi perwakilan.27[27]

Maksud dan tujuan sejati demokrasi dikemukakan pericles seperti yang dikutip oleh

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim sebagai realisasi kemerdekaan dan persamaan martabat

yang prinsipil dari warga negara.28[28] Didalam negara demokrasi tidak seorang pun yang

dianggap lebih rendah dari yang lain karena keturunannya.29[29] Martabat dan fungsi orang

akan dihargai sesuai dengan kecakapannya mengurus soal-soal kepentingan umum. Setiap orang

diberi kesempatan untuk menjalani hidup sesuai dengan kemauannya sendiri, tetapi tunduk dan

patuh pada hukum, kebiasaan, dan undang-undang.30[30]

Teori trias politica dari montesquieu seperti yang dikutip oleh Jazim Hamidi, menyertai

perkembangan demokrasi selanjutnya sehingga kekuasaan tidak tertumpuk pada satu tangan.

Dengan demikian, akan terjadi pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan

yudikatif.31[31]

3. Konsep tentang Partai politik

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang

nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang disebut sebagai partai politik adalah organisasi

yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara indonesia secara sukarela

27[27] Ibid Hal. 73

28[28] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1988, Hal. 62

29[29] Ibid

30[30] Ibid

31[31] Jazim Hamidi, Teori Dan politik Hukum Tata Negara, Total Media, Yogyakarta, 2009, Hal. 54
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan

politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.32[32]

Terdapat beberapa pandangan mengenai Partai Politik. Menurut Schattscheider (1942)

seperti yang dikutip oleh ichlasul Amal, Political Party Created democracy, partai politiklah

yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, partai politik merupakan pilar

atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat perlembagaannya (The

degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat

perlembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik

suatu negara.33[33]

Namun, disamping pandangan positif mengenai partai politik banyak juga pandangan

kritis dan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa

partai politik sebenarnya tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit

politik yang berkuasa dan sekedar sarana bagi mereka untuk mencapai kekuasaan. Partai politik

hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung dan berhasil

memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui melalui pemilihan umum. Untuk memaksakan

berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu untuk kepentingan segolongan orang.34[34]

Bahkan menurut Robert Michels seperti yang dikutip oleh ichlasul Amal, partai politik seperti

organisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.35[35]

32[32] Lihat Undang-Undang no. 2 Tahun 2011 tentang Partai politik

33[33] Ichlasul Amal , Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara wacana, Yogyakarta, 1998, Hal 28

34[34] Ibid Hal. 30

35[35] Ibid
Perkembangan hak recall secara historis diatur dalam UU. No. 10 Tahun 1966 dimana

terkandung maksud politis yang sangat kental dalam mengimplementasikan Undang-Undang ini,

yakni untuk menyingkirkan anggota-anggota parlemen yang masih setia kepada Soekarno.

Secara filosofis, regulasi ini jelas menabrak Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang

berkedudukan sebagai nilai positif yang tertinggi. Ketika masa orde baru berakhir, dan masuk

pada masa reformasi, hak recall kemabli diorbitkan pada UU. No. 23 Tahun 2009.

Hak recall atau penggantian antar waktu dapat dilakukan partai politik terhadap para

anggotanya yang duduk sebagai anggota parlemen, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Hak

recall sendiri tidak lepas dari eksistensi partai politik. Keberadaan partai politik merupakan salah

satu dari bentuk perlembagaan sebagai wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan, dan keyakinan

bebas dalam masyarakat demokratis. Karena itu, keberadaan partai politik berkaitan erat dengan

prinsip-prinsip kemerdekaan berpendapat, berorganisasi dan berkumpul.

Prinsip-prinsip diatas diakui dan dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit

diatur dalam Pasal 28E Ayat (3) yang berbunyi, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.36[36]

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif.37[37] Pertama kali

dilakukan adalah dengan bagaimana melihat aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia

36[36] Lihat Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

37[37] Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1992, Hal. 201
yang memiliki hubungan dengan hak recall partai politik dan selanjutnya lebih mendalam

melihat permasalahan yang terjadi dalam penerapannya.

2. Tipe penelitian

Tipe penelitian ini bersifat Perspektif Analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk

memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta yang

ada.38[38] Dengan berpatokan pada konsep dan teori yang ada pada data pustaka kemudian

dianalisis sesuai dengan kebutuhan penulis.

3. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan

informasi dan bahan yang jelas mengenai permasalahan dan isu yang sedang dikaji. Pendekatan-

pendekatan yang digunakani dalam penelitian hukum adalah:39[39]

a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)


b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
d. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

4. Bahan Hukum

Di dalam metode penelitian hukum, terdapat 3 macam bahan pustaka yang digunakan

penulis yakni :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari peraturan perundang-undangan

dan yurisprudensi.40[40]

38[38] Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, Hal. 35

39[39] Ibid, Hal. 93


b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum.41[41]

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum

lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia

dan Kamus Hukum beserta bahan-bahan dari internet.

5. Analisa Bahan Hukum

Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Bahan hukum yang

telah terkumpul dari studi dokumen dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang akan

dibahas. Bahan hukum tersebut kemudian ditafsirkan dan dianalisis guna mendapatkan kejelasan

atau pemecahan dari masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis akan melakukan penulisan yang keseluruhan pembahasannya

menggunakan sistematika sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, pada bagian ini penulis akan menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

40[40] Ibid, Hal. 141

41[41] Soejono Soekanto dan Sri Memuji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali
Pers, jakarta, 2006, hal. 13
BAB II Tinjauan Pustaka, pada bagian ini penulis akan menguraikan tentang Pengaturan Hak recall

dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hak Recall dalam Konsep Hak Asasi manusia .

BAB III Merupakan Hasil dan Pembahasan, yang akan menguraikan Parameter pengaturan Hak Recall

dan Implementasi Hak Recall Partai politik terhadap keanggotaan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat.

BAB IV Merupakan Penutup, yang menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran.

Anda mungkin juga menyukai