Anda di halaman 1dari 49

Indikasi intubasi:

Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lainlain)
yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan
refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-
kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan
ahli bedah.
Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada
ketegangan.
Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
Tracheostomni.
Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
operasi dengan posisi miring/ tengkurap
operasi dengan resiko tinggi
operasi dengan lambung penuh
terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)

Indikasi intubasi nasal (Anonim, 1986) antara lain :


- Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan gigi,
operasi pada lidah
- Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
- Bila direct vision pada intubasi gagal.
- Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.

Kontra Indikasi Intubasi Endotrakheal


Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa
kasus.
Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat
sulit untuk dilakukan intubasi.
Alat-alat yang dipergunakan
Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
- Blade lengkung (McIntosh). dewasa.
- Blade lurus. (blade Magill) bayi dan anak-anak.
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah
kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi
(non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-
anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa
biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang
dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan
perempuan 7,5 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube
diameter (mm)
Rumus lain: (umur + 2)/2
Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 =
panjang ET (cm)
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih
kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.
Pipa orofaring atau nasofaring. mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan
faring pada pasien yang tidak diintubasi.
Plester memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
Stilet atau forsep intubasi. (McGill) mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat
bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal
atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
Alat pengisap atau suction.

Prosedur Tindakan Intubasi.


a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis
lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang
dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri
dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
bentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan
tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan blade
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa
lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua
paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang
keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal
tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
Obat-Obatan yang Dipakai.
Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang paling
populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan dengan barbiturat
I.V. dengan dosis 20 100 mg.
Thiophentone non depolarizing relaxant
Cyclopropane
I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi. Iritabilitas laringeal
meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar dapat mendepresi
pernafasan.
N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain.
Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat
dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.

Komplikasi Intubasi Endotrakheal.


1. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
o Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff.
o Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera
tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
o Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan
intraocular meningkat dan spasme laring.
o Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

2. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.


Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi
laringeal cuff.
Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung.
Malfungsi tuba berupa obstruksi.

3. Komplikasi setelah ekstubasi.


Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara
sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
Gangguan refleks berupa spasme laring.

Syarat Ekstubasi
insufisiensi nafas (-)
hipoksia (-)
hiperkarbia (-)
kelainan asam basa (-)
gangguan sirkulasi (TD turun, perdarahan) (-)
pasien sadar penuh
mampu bernafas bila diperintah
kekuatan otot sudah pulih
tidak ada distensi lambung

Berikut merupakan langkah pelaksanaan anestesi umum yang biasa dilakukan oleh DM untuk
kasus:

Setelah pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang tensi, saturasi, precordial. Nyalakan
monitor. Nyalakan mesin anestesi. Atur kecepatan infuse.
Tunggu instruksi. Setelah lapor ke konsulen, dan operator sudah siap. Berarti anestesi sudah
boleh dilakukan.
Minta pasien untuk berdoa
Suntikkan pre medikasi: SA 0,25 mg dan Pethidin 30-50 mg
Suntikkan Recofol 100 mg.
Tunggu sampai refleks bulu mata hilang.
Bila refleks bulu mata telah hilang pasang masker dengan posisi benar. (Jaw thrust, chin lift,
tekan masker dengan ibu jari dan telunjuk)
Naikkan oksigen sampai 6-10 l
kurangi oksigen sampai 3 l. naikkan N2O menjadi 3l. buka isofluran/halotan
Tetap berada dalam posisi seperti itu. Sambil kadang-kadang lakukan pemompaan bila
diperlukan. Perhatikan infus, nadi, tensi, saturasi, pompa atau monitor mesin. Sesekali raba nadi
pasien.
Bila diperlukan pasien rileks maka berikan Succinil cholin atau tramus tergantung dosis yang
diperlukan.
Selanjutnya tinggal seni anestesinya. Kalau tensi naik dan turun, kalau nadi naik atau turun,
kalau nafas kurang spontan, lambat atau cepat. Yang kita lakukan bisa perdalam atau kurangi
obat anestesi, tambah obat tertentu, atur cairan, atur posisi pasien dan lain-lain.
Bila operasi sudah hampir selesai kurangi dosis perlahan sampai kemudian tinggal oksigen saja.
Operasi selesai bawa pasien ke RR. Dan tunggu sampai pasien bangun.
ANESTESI PADA SECTIO CAESAREA
beberapa perubahan fisiologis pada kehamilan
a. darah dan komponennya
Penurunan kadar albumin.
Peningkatan faktor pembekuan
Bila terjadi gangguan integrasi plasenta menyebabkan mudah terjadi DIC.
b. sistem kardiovascular
Volume darah meningkat 40-50%
Volume plasma lebih besar dari pada eritrosit
Curah jantung meningkat 40%.
Pada saat persalinan dan segera setelah persalinan terjadi peningkatan curah jantung sampai
80%.
Penekanan vena cava inferior pada waktu terlentang menyebabkan supine hipotensive
syndrome
c. sistem respirasi
Hiperventilasi, alveolar ventilasi meningkat 70%.
Tidal volume meningkat 40%.
Respiratory rate meningkat 15%.
Vascularisasi mucosa tractus respiratorius meningkat.
Posisi lithotomy / trendelenberg menurunnya Functional Respiration Capacity (FRC) mudah
terjadi hipoksia.
d. sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung lambat.
Lebih mudah terjadi regurgitasi.
Tekanan intragastrik meninggi.
Sekresi gastrin bertambah sehingga sekresi cairan lambung lebih asam.
Kehamilan mempunyai risiko lebih besar untuk terjadi aspirasi.
e. fetoplasental unit
Aliran darah uterus 10% dari curah jantung.
Hipotensi menyebabkan perfusi menurun fetal distress.
Kontraksi uterus yang sering dan kuat perburuk perfusi plasenta.
f. ruangan epidural dan subarachnoid.
Ruangan epidural lebih sempit karena vena-vena membengkak.
Pada saat kontraksi uterus akan terjadi peningkatan tekanan ruangan epidural.
Ruangan sub arachnoid berkurang karena kontraksi uterus dan pelebaran vena.

Pemilihan teknik anestesi


Anestesi umum
Persalinan pervaginam terjadi relaksasi uterus.
Sectio caesarea
Depresi terhadap bayi minimal
Baik untuk ibu
Memberikan fasilitas optimal pada operator.
Tehnik dikuasai anestesinya.
Regional anestesia
Pervaginam: menghilangkan nyeri.
Sectio caesarea mengurangi bahaya aspirasi.
Efek depresi terhadap bayi kurang.

PRE EKLAMSIA / EKLAMSIA


Epidural / spinal anestesia (kontroversial)
Anestesi umum
Dicegah pemanjangan paralise
Kontrol hipertensi
Cegah gagal ginjal

PERDARAHAN ANTEPARTUM
Penyebab plasenta previa dan solutio plasenta.
Anestesi umum dengan Ketamin.
Hati-hati penggunaan oxytocin.

PENYAKIT JANTUNG
Lebih baik gunakan Epidural anestesi
Cegah peningkatan curah jantung
Hati-hati penggunaan ergometrin
PENDERITA DIABETES
Risiko terjadi abnormalitas fetus.
Mengontrol metabolisme
Sebaiknya dengan epidural / spinal
Dapat dengan anestesi umum.

enyebab ARITMIA ARITMIA


BRADIKARDI TAKIKARDI
Anestesi obat obat (atropine,
(suksametonium, galamin, trilene,
prostigmin, halotan, siklopropan)
lignocain) hiperkarbia
refleks bradikardi hipoksia
selama intubasi hipotensi
stadium awal anestesi GA
hipoksia dangkal
spinal
pembedahan traksi infilrasi
mesenterium adrenalin
traksi bola mata traksi viscera
bedah saraf operasi bedah
saraf dan jantung
Kondisi penyakit jantung tirotoksikosis
pasien bradikardi demam
obat pre op hipovolemi
(digoksin, beta bloker, terapi pre
neostigmin) digoxin
hipotensi sakit payah
TIK meningkat
Terapi cari kausa, atropine

Penyebab HIPOTENSI HIPERTENSI


Anestesi obat (petidin, anestesi
thiopenton, halotan, dangkal
eter, muscle relaxan) ventilasi tidak
inhalasi paru adekuat retensi
bertambah tekanan CO2 hipoksia,
meningkat hiperkarbia TD
hipoksia dan meningkat
hiperkarbia pada obat ketamin,
stadium lanjut pavulon
transfusi darah transfusi darah
tidak cocok berlebihan
anestesi spinal malignant
atau epidural hiperpireksia
pembedahan posisi infiltrasi
trandelenberg, lateral adrenalin
kehilangan darah traksi viscera
stimulasi visceral oksitosin,
pelepasan ergometrin
tourniquet/calamp posisi
emboli trandelenberg
udara/lemak clamp pemb
darah besar

Kondisi anemia hipertensi tak


pasien dehidrasi terdiagnosa
penyakit jantung dapat MAO
iskemik, gagal jantung, inhibitor
aritmia vesica urinaria
sindrom posisi penuh
hipotensi quadriplegi
quadriplegi-TD
bervariasi
syok septic
Terapi cari kausa cari kausa
infus cepat cairan naikkan kepala
IV RL 10 cc/kgBB sedasi (petidin,
naikkan largactil)
koensentrasi O2 monitoring
turunkan dosis tanda vital
obat anestesi jika TD
sistol < 80 mmHg (O2
100%)
vasopressor
efedrin HCl
tinggikan kaki
pasien untuk
kembalikan venous
return

ANESTESI PADA PEDIATRI

FISIOLOGI
Heart rate lebih cepat
Tekanan darah lebih rendah
RR lebih cepat
Kompliance paru lebih rendah
Kompliance dinding dada lebih besar
Rasio permukaan tbh & BB lebih besar
Kandungan air lebih besar
ANATOMI
Ventrikel kiri belum sempurna
Sirkulasi residual fetal
Kanulasi arteri & vena sulit
Kepala dan lidah besar
Lubang hidung sempit
Laring terletak anterior & cephalad
Epiglotis panjang
Trakea & leher pendek
Adenoid & tonsil besar
Otot diafragma & intercostal lemah relatif kurang tahan lelah
Resistan terhadap aliran udara lebih tinggi
PENGARUH PD FARMAKOLOGI
Biotransformasi hepar & ginjal blm sempurna
Penurunan ikatan protein
Induksi & recovery cepat
MAC lebih tinggi
Volume distribusi lebih besar pd obat dgn pelarut air
Neuro muskular junction blm sempurna

PERSIAPAN PREOPERATIF
Wawancara preoperatif
- anak : takut sakit & berpisah dgn ortu
- Penjelasan diberikan sesuai usia :
Infeksi saluran nafas atas (ISPA)
- Infeksi sblm anestesi resiko komplikasi pulmo (hipersekresi, wheezing 10x,
laringospasme 5x, hipoksemia & atelektasis) harus diobati dulu
- Bila terpaksa operasi : pemberian antikolinergik, ventilasi masker, kelembaban udara
pernafasan, pengawasan yg lebih lama di RR
Laboratorium
Puasa pre operasi
- bayi = 4 jam
- anak = 5 jam
Premedikasi
- midazolam (0,07-0,2 mg/kgBB)
- ketamin 2-3 mg/kgBB
- atropin menurunkan insiden hipotensi pd anak < 3 bln, mengurangi sekret
Monitoring : suhu (malignant hipertermia & hipotermia)
kadar glukosa (hipoglikemia < 30 mg/dL(neonatus)
Induksi anestesi :
Inhalasi : agen inhalasi
Intravena : ketamin, propofol, pentotal
Intramuskuler : ketamin, midazolam,
Perrektal : ketamin, pentotal
Induksi intravena
- Thiopental (3mg/kg neonate, 5-6 mg/kg u/ infant & children) efek sedasi pasca operasi
- Ketamin 1-2 mg/kgBB
- Propofol 2-3 mg/kg hipnosis kuat, gejolak HD
- Midazolam 0,3-0,5 mg/kgBB
- Diazepam 1-2 mg/kgBB
Induksi inhalasi anestesi :
Alternatif, bila iv line blm terpasang
Sevoflurane & Halothan
Sevoflurane induksi halus, iritasi minimal
Halothan bronkodilatasi, aritmogenik
Desflurane & isofluran batuk, iritasi jahan nafas, laringospasme
Teknik induksi secara inhalasi
Umur < 6 bln : langsung ditempel pada muka bayi
6 bln-5 tahun : Steal induksi
> 5 tahun : Single breath induction
>7/8 tahun : Slow inhalasi induction
INTUBASI TRAKEA
Blade lurus memudahkan intubasi e/c lidah relatif besar
Uncuffed ET pada anak < 8-10 tahun
me resiko batuk, me resiko barotrauma/edema laring
Ukuran diameter ET
4 + Umur/4 = tube diameter (mm)
Rumus lain: (umur + 2)/2
Ukuran panjang ET
12 + Umur/2 = panjang ET (cm)

MAINTENANCE
Anak < 10 kg Mapleson D circuit low resistance & ringan
Anak < 10 kg peak insp. Pressure 15-18 cm H2O
Anak lebih besar tidal volume 8 10 mL/kg
Pasca operasi
Posisi pasca operasi :
1. Head up : pada pasca operasi daerah abdomen
2. Head down : riwayat prdrhn banyak, hipovolemi
3. Lateral/semiprone : post TE, puasa kurang
Pengelolaan di RR gunakan Steward Score
MANAJEMEN CAIRAN PERIOPERATIF
Defisit cairan diganti harus tepat
o Aturan 4 : 2 : 1 (4 ml/kg/jam utk 10 kg pertama, 2 ml/kg/jam utk 10 kg kedua dan 1 ml/kg/jam
utk sisanya)
o Larutan D5 NS dgn 20 mEq/L NaCl dextrose + elektrolit seimbang
o Larutan D5 NS cocok utk neonatus, krn kemampuan mengatasi Na terbatas
Blood loss/Kehilangan darah
- EBV = Neonatus prematur (100 mL/kg), neonatus full term (85-90 mL/kg), infants (80
mL/kg)
- Perdarahan > 10% EBV --- berikan darah (Pilihan :PRC !)
- Hematokrit neonatus (55%), bayi 3 bln (30%), bayi 6 bln (35%)
Maintenance durante operasi
Jaga hemodinamik & oksigenasi yang baik
Agen inhalasi maintenance durante op:
Sevoflurane : onset cepat, iritasi kurang
Halotan : bronkodilator, tdk iritasi jalan napas
Pilihan teknik respirasi
Neonatus : harus kontrol
Bayi : sebaiknya kontrol
Anak pra sekolah : boleh dikontrol maupun di assist
Anak sekolah : Boleh spontan/diassist /dikontrol

REGIONAL ANESTESI
Caudal anestesi modifikasi epidural anestesia.
Dgn needle no 22, menggunakan 1% lidocain dan
0,125-0,25 % bupivacaine.
Volume 1/2 cc/kgBB untuk mid thorak
Juga u/ manajemen nyeri post operasi

LARINGOSPASME
Merupakan spasme kuat, involunter karena stimulasi nervus laringeus superior
Pencegahan : ekstubasi pasien awake atau deep
Terapi : jaw thrust- ventilasi tekanan positif, paralisis dgn suksinil kolin (4-6 mg/kgBB) atau
rocuronium (0,4 mg/kg)
Pasien anak diposisikan lateral, shg sekresi oral keluar
BATUK POST INTUBASI
Disebabkan edema trakea atau glotis
Terjadi pada anak umur 1-4 thn, intubasi berulang, operasi lama, operasi daerah kepala &
leher dan pergerakan ET berlebihan
Dexamethason 0,25-0,5 mg/kg intravena utk pencegahan
MANAJEMEN NYERI POST OPERASI
Fentanyl 1-2 g/kg dan meperidine 0,5 mg/kg
Ketorolac 0,75 mg/kg KI relatif pada anak?
Acetaminophen po, rektal
Analgesia regional
Minggu, 26 Desember 2010
ASPIRASI
Diposkan oleh TMC di 16.18 Label: Anestesi

masuknya isi lambung atau cairan lambung ke dalam paru-paru

asam lambung dan makanan (meskipun efeknya tak sehebat efek asam lambung) masuk ke
paru-paru menyebar ke seluruh paru terutama alveoli gangguan pertukaran O2 dan CO2
jatuh ke keadaan hipoksia dan sianosis

Efek proteksi paru-paru batuk disertai laringospasme, berguna untuk mencegah lebih banyak
lagi aspirat yang masuk, namun berakibat juga penyumbatan saluran nafas

Kasus-kasus yang menyebabkan penurunan efek proteksi paru-paru :


1. Pasien dengan gangguan kesadaran oleh narkotika, anestetika, maupn sedativa yang
berlebihan
2. Pasien dengan koma atau kesadaran menurun karena trauma kapitis
3. Pasien dengan gangguan saraf (mis: fraktur vertebra servikalis), penderita sindrom
Guilelenbare (terjadi kelumpuhan otot secara menyeluruh termasuk otot pernafasan)
4. Pasien dengan gangguan pernafasan
5. Pasien dengan distensi abdomen yang sangat hebat (mis: peritonitis)

Derajat kerusakan yang parah ditentukan oleh:


- pH aspirat (asam lambung) < 2,5
- Volum aspirat (asam lambung) > 25 cc
Walaupun pH netral, bila volumnya banyak, kerusakan yang hebat tetap terjadi

Kerusakan paru-paru yang terjadi berupa :


- Degenerasi epitel bronkus
- Edema paru
- Perdarahan di dalam alveoli
- Terdapat daerah-daerah atelektasis
- Nekrosis sel alveoli

Setelah aspirat cair masuk ke paru-paru :


- Dalam 4 jam mulai merusak alveoli
- Setelah 24 jam terjadi infiltrasi fibrin di alveoli
- Dalam 24-36 jam terjadi pengelupasan mukosa alveoli
- Setelah 48 jam terbentuk membran hialin di alveoli paru-paru tampak edema dan
hemoragik
- Setelah 72 jam terjadi degenerasi epitel bronkus kerusakan paru yang luas

Aspirat berupa partikel padat :


- Besar : obstruksi
- Kecil : inflamasi dengan pembentukan granuloma dan abses di alveoli dan menempel di
dinding bronkus
Gejala klinik yang tampak :
- Bronkospasme pasien tampak sesak
- Takipnea (nafas dangkal, cepat) pasien tampak lelah bernafas
- Pernafasan cuping hidung (+)
- Retraksi interkostal suprastrenalis (+)
- Pasien sianosis, takikardi, hipotensi berlanjut dengan syok dan tanda-tanda payah
jantung (+)
- Gejala cardiac failure (+) :
Wheezing di bagian atas paru-paru
Ronki yang difus di seluruh bagian paru-paru
- Foto toraks gambaran infiltrat putih besar tersebar di seluruh paru
- Pemeriksaan gas darah tekanan O2 menurun --> terjadi ARDS (Adult Respiratory Distress
Syndrome) kematian

Sindrom Mendelson (Acid Respiratory Pneumonitis) karena tidak dilakukan pengosongan


lambung

Sindroma Mandelson (pneumonitis aspirasi)


aspirasi isi lambung pH < 2,5
Gejala:
- dispneu
- takikardi
- edema paru
- takipneu
- spasme bronkus
- hipotensi

Terapi :
1. Bronchial toilet
- Pasien dipasangi pipa ET
- Aspirat diisap sampai bersih
- Posisi kepala lebih rendah daripada kaki
- Dibantu dengan melakukan bronkoskopi
- Merupakan indikasi, tetapi risikonya besar
2. Bantuan pernafasan
- Aspirasi ringan pemberian O2
- Aspirasi berat : pemberian nafas buatan dengan konsentrasi O 2 yang cukup tinggi (100%)
melalui pipa trakea dengan alat bantu mekanis (ventilator / respirator)
- Pemberian nafas buatan diharapkan dapat memperbaiki alveoli yang kolaps dan menekan
cairan edema di dalam alveoli untuk masuk ke dalam sirkulasi paru-paru
3. Obat-obatan bronkodilator, mis: aminofilin
4. ATB dosis tinggi
5. Bantuan kardiosirkulasi berikan obat-obatan inotropik (+)
6. Pemberian cairan : bila pasien hipovolemia
7. Pemberian kortikosteroid, diharapkan dapat :
- Menurunkan reaksi radang di alveoli
- Mempermudah pelepasan O2 dari eritrosit ke dalam jaringan
- Mencegah aglutinasi leukosit dalam paru-paru
8. Obat-obatan untuk mengatasi edema paru
9. Obat-obatan untuk mengatasi cardiac failure

Pasien aspirasi sebaiknya dirawat di ICU untuk mengevaluasi keadaan organ-organ penting
seperti otak, jantung, paru-paru, dan ginjal
URUTAN PELAKSANAAN ANESTESI UMUM
Diposkan oleh TMC di 15.54 Label: Anestesi

Berikut merupakan langkah pelaksanaan anestesi umum yang biasa dilakukan oleh DM untuk
kasus:

Setelah pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang tensi, saturasi, precordial. Nyalakan
monitor. Nyalakan mesin anestesi. Atur kecepatan infuse.
Tunggu instruksi. Setelah lapor ke konsulen, dan operator sudah siap. Berarti anestesi sudah
boleh dilakukan.
Minta pasien untuk berdoa
Suntikkan pre medikasi: SA 0,25 mg dan Pethidin 30-50 mg
Suntikkan Recofol 100 mg.
Tunggu sampai refleks bulu mata hilang.
Bila refleks bulu mata telah hilang pasang masker dengan posisi benar. (Jaw thrust, chin lift,
tekan masker dengan ibu jari dan telunjuk)
Naikkan oksigen sampai 6-10 l
kurangi oksigen sampai 3 l. naikkan N2O menjadi 3l. buka isofluran/halotan
Tetap berada dalam posisi seperti itu. Sambil kadang-kadang lakukan pemompaan bila
diperlukan. Perhatikan infus, nadi, tensi, saturasi, pompa atau monitor mesin. Sesekali raba nadi
pasien.
Bila diperlukan pasien rileks maka berikan Succinil cholin atau tramus tergantung dosis yang
diperlukan.
Selanjutnya tinggal seni anestesinya. Kalau tensi naik dan turun, kalau nadi naik atau turun,
kalau nafas kurang spontan, lambat atau cepat. Yang kita lakukan bisa perdalam atau kurangi
obat anestesi, tambah obat tertentu, atur cairan, atur posisi pasien dan lain-lain.
Bila operasi sudah hampir selesai kurangi dosis perlahan sampai kemudian tinggal oksigen saja.
Operasi selesai bawa pasien ke RR. Dan tunggu sampai pasien bangun.

SYOK ANAFILAKTIK

Definisi
Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan phylaxis = perlindungan). Anafilaksis berarti
Menghilangkan perlindungan. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa
sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan
reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah
tersensitisasi. Syok anafilaktik(= shock anafilactic ) adalah reaksi anafilaksis yang disertai
hipotensi dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Reaksi Anafilaktoid adalah suatu reaksi
anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan gejala dan
tanda biasanya diterapi sebagai anafilaksis.
Sejarah
Tahun 2641 SM, seorang Pharao meninggal mendadak Raja Menes meninggal tidak seberapa
lama setelah disengat tawon (wasp). Tahun 1902, dua ilmuwan Perancis yang bekerja di
Mediterania menemukan phenomena yang sama dengan yang terjadi pada Pharao itu. Richet
dan Portier, menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah beberapa lama diinjeksi
ulang dengan ekstrak yang sama . Hasilnya anjing itu mendadak mati. Phenomena ini mereka
sebut aldquo; Anaphylaxis. Atas kerjanya ini, Richet dianugerahi Nobel pada tahun 1913.
Patofisiologi
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau
reaksi tipesegera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
Fase Sensitisasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa,
saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
Plasma (Plasmosit).
Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini
kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Fase Aktivasi Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang . Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut Newly formed mediators. Fase Efektor Adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian
juga dengan Leukotrien.
Alergen
Terr menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu
makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan.
Allergen penyebab Anafilaksis Makanan
Krustasea: Lobster, udang dan kepiting
Moluska : kerang Ikan Kacang-kacangan dan biji-bijian Buah beri Putih telur Susu
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABU Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran
Antibiotika: Penicillin, Streptomisin, Cephalosporin, Tetrasiklin, Ciprofloxacin, Amphotericin B,
Nitrofurantoin.
Agent diagnostik-kontras: Vitamin B1, Asam folat Agent
anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine, Acetil cystein , Codein,
Morfin, Asam salisilat dan HCT Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon
(Wasp). Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
Gejala klinis
Anafilaksis merupakan reaksi sistemik, gejala yang timbul juga menyeluruh.
Gejala permulaan: Sakit Kepala, Pusing, Gatal dan perasaan panas Sistem Organ Gejala Kulit
Eritema, urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang cyanosis Respirasi
Bronkospasme, rhinitis, edema paru dan batuk, nafas cepatdan pendek, terasa tercekik karena
edema epiglotis, stridor, serak, suara hilang, wheezing, dan obstruksi komplit. Cardiovaskular
Hipotensi, diaphoresis, kabur pandangan, sincope, aritmia dan hipoksia Gastrintestinal Mual,
muntah, cramp perut, diare, disfagia, inkontinensia urin SSP, Parestesia, konvulsi dan kom Sendi
Arthralgia Haematologi darah, trombositopenia, DIC
Diagnosis
Anamnesis Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat hewan, makan
sesuatu atau setelah test kulit ) Timbul biduran mendadak, gatal dikulit, suara parau sesak
,sekarnafas, lemas, pusing, mual,muntah sakit perut setelah terpapar sesuatu.
Fisik diagnostik Keadaan umum : baik sampai buruk Kesadaran Composmentis sampai Koma
Tensi : Hipotensi, Nadi:Tachycardi, Nafas : Kepala dan leher : cyanosis, dispneu, conjunctivitis,
lacrimasi, edema periorbita, perioral, rhinitis Thorax aritmia sampai arrest Pulmo Bronkospasme,
stridor, rhonki dan wheezing, Abdomen : Nyeri tekan, BU meningkat Ekstremitas : Urticaria,
Edema ekstremitas Pemeriksaan Tambahan Hematologi : Hitung sel meningkat
Hemokonsentrasi, trombositopenia eosinophilia naik/ normal / turun. X foto : Hiperinflasi dengan
atau tanpa atelektasis karena mukus plug, EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular
disritmia, Kimia meningkat, sereum triptaase meningkat
Diagnosis banding:
- Syok bentuk lain
- Asma akut
- Edema paru dan emboli paru
- Aritmia jantung
- Kejang
- Keracunan obat akut
- Urticaria
- Reaksi vaso-vagal
Penatalaksanaan dan Management syok anafilaktik
- Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis
- Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat atau sengatan hewan
longgarkan 1-2 menitn tiap 10 menit.
- Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala (posisi shock)
dengan alas keras.
- Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi
- Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia persiapkandari
mulut kemulut
- Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl fisiologis,
0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan Tensi dan produksi urine
- Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas tubuh /24 jam
Bila 100 mmHg 500 cc/ 1 Jam
- Bila perlu pasang CVP
Medikamentosa I.
Adrenalin 1:1000, 0,3 0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom, Dapat diulang
2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit, Pemberian IV pada stadium terminal /pemberian dengan
dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faali diberikan 1-2 ml selama 5-20 menit
(anak 0,1 cc/kg BB)
Medikamentosa II.
Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg dosis tunggal,
PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam, bila tetap sesak + hipotensi segera rujuk, (anak
:1-2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV
Medikamentosa III.
Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10 ml garam faali
atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 1,2 mg/kg/jam IV. Corticosteroid 5-20 mg/kg BB
dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6 jam, pemberian selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin
300mg setelah 3-5 menit Monitoring
Observasi ketat selama 24 jam, 6jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik
- Klinis : keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan keluhan
- Darah : Gas darah
- EKG Komplikasi (Penyulit) Kematian karena edema laring , gagal nafas, syok dan cardiac
arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan
angoioedema menetap sampai beberapa bulan, Myocard infark, aborsi dan gagal ginjal juga
pernah dilaporkan.
Prevensi (Pencegahan)
- Mencegah reaksi ulang
- Anamnesa penyakit alergi px sebelum terapi diberikan (obat,makanan,atopik)
- Lakukan skin test bila perlu
- Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama pemberian
- Catat obat px pada status yang menyebabkan alergi
- Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
- Desensitisasi alergen spesifik
- Edukasi px supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi
- Bersiaga selalu bila melakukan injeksi dengan emergency kit Prognosis Bila penanganan cepat,
klinis masih ringan dapat membaik dan tertolong
Algoritme Management Penderita Syok Anafilaktik Ringan:
- Baringkan dalam posisi syok, Alas keras
- Bebaskan jalan nafas
- Tentukan penyebab dan lokasi masuknya
- Jika masuk lewat ekstremitas, pasang torniquet
- Injeksi Adrenalin 1:1000 0,25 cc (0,25mg) SC Sedang
- Monitor pernafasan dan hemodinamik
- Suplemen Oksigen
- Injeksi Adrenalin 1:1000- 0,25cc(0,25mg) IM(Sedang) atau 1:10.000
2,5-5cc (0,25-0,5mg) IV(Berat), Berikan sublingual atau trans trakheal bila vena kolaps
- Aminofilin 5-6mg/kgBB IV(bolus), diikuti 0,4-0,9mg/kgBB/menit perdrip (untuk
bronkospasme persistent)
- Infus cairan (pedoman hematokrit dan produksi urine) Berat
- Monitor pernafasan dan hemodinamika
- Cairan, Obat Inotropik positif, Obat vasoaktif tergantung hemodinamik
- Bila perlu dan memungkin- rujuk untuk mendapat perawatan intensif RJPO Basic dan
Advanced Life Support (RJPO) Arrest Nafas dan Jantung.
DaftarPustaka
- Rab, Prof.Dr. H tabrani. Pengatasan shock, EGC Jakarta 2000, 153-161
- Panduan Gawat Darurat, Jilid I, FKUI, Penerbit FKUI Jakarta 2000, 17-18
- Ho, Mt, Luce JM, Trunkey, DD, Salber PR, Mills J, Resusitasi KardioPulmoner dan Syok,
EGC Jakarta 1990 : 76-78
- Purwadianto, A, Sampurna, B, Kedaruratan Medik, Bina Rupa Aksara, Jakarta 2000, 56-57
- Effendi, C, Anaphylaxis dalam PKB XV , Lab. Ilmu Penyakit Dalam FKUA/ RSUD Dr. Soetomo,
2000 : 91-99
- Rehata, NM, Syok Anafilaktik Patofisiologi dan penanganan dalam up date on shock,
pertemuan Ilmiah
terpadu I FKUA Surabaya, 2000 : 69-75
- Barata Widjaya, KG, Imunologi Dasar ed. 3 , Penerbit FKUI, 1996: 76-80
- Sunatrio, S, Penanggulangan Reaksi Syok Anafilaksis dalam Anestesiologi, Bag. Anestesiologi
dan terapi
intensif FKUI Jakarta 1990, 77-85
- Kondos, GT, Brundage, BH, Anaphylaxis dalam Don H, Decission Making in critical care,
Baltimore, 1985, 46-47
- 10.Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper, Harrisons,
Principles Internal Medicine 17th Companion Handbook

Minggu, 26 Desember 2010


STADIUM ANESTESI
Diposkan oleh TMC di 15.53 Label: Anestesi

Stadium 1 : Stadium analgesia atau disorientasi


- Induksi kesadaran hilang
- Nyeri ( ) o.k bedah kecil
- Berakhir : refleks bulu mata hilang

Stadium 2 : stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium


- Kesadaran (-)/ refleks bulu mata (-) ----- ventilasi teratur
- Terjadi depresi pada ganglia basalis rx berlebihan bila ada rangasang
(hidung, cahaya, nyeri, rasa, raba)

Stadium 3 :
Disebut Stadium Pembedahan; ventilasi teratur ---- apneu, terbagi 4 plana :
Plana 1:- Ventilasi teratur : torako abdominal
- Pupil terfiksasi, miosis
- Refleks cahaya (+)
- Lakrimasi
- Refleks faring dan muntah (-)
- Tonus otot mulai

Plana 2 :- Ventilasi teratur : abdominaltorakal


- Volume tidal
- Frekuensi nafas
- Pupil : terfiksasi ditengah, midriasis
- Refleks cahaya
- Refleks kornea (-)

Plana 3 :- Ventilasi teratur : abdominal dgn kelumpuhan saraf interkostal


- Lakrimasi (-)
- Pupil melebar dan sentral
- Refleks laring dan peritoneum (-)
- Tonus otot

Plana 4 : - Ventilasi tidak teratur dan tidak adequat ok otot diafragma


lumpuh ( tonus otot tidak sesuai volume tidal)
- Tonus otot
- Pupil midriasis
- Refleks sfingter ani dan kelenjar lakrimalis (-)

Stadium 4 : Stadium paralisis


- Disebut juga stadium kelebihan obat.
- Terjadi henti nafas sampai henti jantung

Ventilasi normal :
- Wanita dewasa : dominan abdomen (diafragma)
- Pria dewasa : dominan torakal

Pupil
Pada pupil yang diperhatikan : - gerak
- fixasi posisi pupil
Stadium I : tidak melebar karena psikosensorik dan pengaruh emosi
Stadium II : pupil midriasis karena rangsang simpatik pada otot dilatator
Stadium III : pupil mulai midriasis lagi karena pelepasan adrenalin pada anestesi dengan eter
atau siklopropan tapi tidak terjadi pada halotan dan IV

Stadium pembedahan : pupil terfiksasi ditengah dan ventilasi teratur


Anestesi dalam (kelebihan dosis) :
- Pupil dilatasi maksimal ok paralisis N.kranialis III
- Ventilasi perut dan dangkal
Sebab lain pupil midriasis :
1. Saat induksi : o.k sudah setengah sadar (sub concious fear)
2. Premedikasi atropin tanda opiat
3. Hipoksia
4. Syok dan perdarahan

Refleks bulu mata


N : sentuhan berkedip (kontraksi)
(-) : akhir stadium I, awal stadium II
Refleks kelopak mata
N : tarik kelopak mata ada tarikan (kontraksi)
(-) : awal stadium III
Refleks cahaya :
N : Pupil miosis
(-) : Stadium 3 plana 3

Minggu, 26 Desember 2010


TERAPI CAIRAN
Diposkan oleh TMC di 16.06 Label: Anestesi

Komposisi Cairan Tubuh


Laki-
Perempuan Bayi
laki
Total air
60 50 75
tubuh (%)
Intraseluler 40 30 40
Ekstraseluler 20 20 35
- Plasma 4 4 5
- Interstitial 16 16 30

Kompartemen Cairan Tubuh


(mEq/L) Plasma Interstitial Interseluler

Kation Na 142 114 15

K 4 4 150

Ca 5 2,5 2

Mg 3 1,5 27

Total 154 152 194

Anion Cl 103 114 1

HCO3 27 30 10

HPO4 2 2 100

SO4 1 1 20
Asam
5 5 0
Organik
Protein 16 0 63

Total 154 152 194

Kebutuhan Cairan
Kebutuhan air pada orang dewasa setiap harinya adalah 30-35 ml/kgBB/24jam
Kebutuhan ini meningkat sebanyak 10-15 % tiap kenaikan suhu 1 C
Kebutuhan elektrolit Na 1-2 meq/kgBB (100meq/hari atau 5,9 gram)
Kebutuhan elektrolit K 1 meq/kgBB (60meq/hari atau 4,5 gram)

Kebutuhan Harian Bayi Dan Anak


Berat Kebutuhan air (perhari)
badan
s/d 10 kg 100 ml/kgBB
11-20 kg 1000 ml + 50 ml/kgBB (untuk tiap kg
di atas 10 kg)
> 20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB (untuk tiap kg
di atas 20 kg)
Keseimbangan Cairan Tubuh
Air masuk Air keluar

Minuman: 800- Urine : 600-1600


1700 ml ml.
Makanan: 500- Tinja : 50-200 ml.
1000 ml.
Hasil oksidasi: Insensible loss :
200-300 ml. 850-1200 ml

Kebutuhan Cairan Meningkat


demam (12% setiap 1o > 37o C)
hiperventilasi
suhu lingkungan meningkat
aktivitas berlebih
kehilangan abnormal seperti diare
Kebutuhan Cairan Menurun
hipotermia (12% setiap 1o > 37o C)
kelembaban sangat tinggi
oliguria atau anuria
tidak ada aktivitas
retensi cairan misal pada gagal jantung

Masalah yang sering ditemukan pada pre operatif adalah


1. Hipovolemia
a. Aktual
1) Perdarahan.
2) Dehidrasi.
b. Potensial
Puasa.
2. Hipervolemia

TERAPI CAIRAN PERI OPERATIF


A. Preoperatif
Pasien normohidrasi
pengganti puasa (DP): 2 ml/kgBB/jam puasa
(bedakan dengan kebutuhan cairan per hari (30-35ml/kg/hari))
cairan yang digunakan : kristaloid
pemberian dibagi dalam 3 jam selama anestesi :
50 % dalam 1 jam pertama
25 % dalam 1 jam kedua
25 % dalam 1 jam ketiga
B. Durante operasi
- Pemeliharaan: 2 ml/kg/jam
- Stress operasi:
operasi ringan : 4 ml/kgBB/jam
operasi sedang : 6 ml/kgBB/jam
operasi berat : 8 ml/kgBB/jam

Jenis pembedahan (menurut MK Sykes)


a. Pembedahan kecil / ringan
- Pembedahan rutin kurang dari 30 menit.
- Pemberian anestesi dapat dengan masker.
b. Pembedahan sedang.
- Pembedahan rutin pada pasien yang sehat.
- Pemberian anestesi dengan pipa endotracheal.
- Lama operasi kurang dari 3 jam.
- Jumlah perdarahan kurang dari 10% EBV
c. Pembedahan besar.
- Pembedahan yang lebih dari 3 jam.
- Perdarahan lebih dari 10% EBV
- Pembedahan di daerah saraf pusat, laparatomi, paru dan kardiovaskuler

Perdarahan :
hitung EBV
jika perdarahan
10% EBV berikan kristaloid substitusi dengan
perbandingan 1 : 2-4ml cairan
10% kedua berikan koloid 1 : 1 ml cairan
> 20 % EBV berikan darah 1 : 1 ml darah

Contoh :
Pria BB 50 kg
EBV 50 X 70 ml = 3500 ml
maka jika perdarahan 800 ml digantikan dengan
10% pertama (350 ml) kristaloid 700-1400 ml
10% kedua (350 ml) koloid 350 ml
100 ml darah 100 ml

Pada anak dan bayi


Pemeliharaan:
10 kg pertama 4 ml/kgBB/jam
10 kg kedua 2 ml/kgBB/jam
Kg selanjutnya 1 ml/kgBB/jam
bedakan dengan kebutuhan per hari :
Defisit puasa (DP): cairan pemeliharaan x jam puasa
Stress operasi :
Ringan : 2 ml/kgBB/jam
Sedang : 4 ml/kgBB/jam
Berat : 6 ml/kgBB/jam

C. Pasca operasi
Terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit, nutrisi
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris)
c. Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif
d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan
Pada penderita pasca operasi nutrisi diberikan bertahap (start low go slow).
Penderita pasca operasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75-125
gr/hari Hipoalbuminemia edema jaringan, infeksi, dehisensi luka operasi, penurunan enzym
pencernaan

1. Pasien tidak puasa post operasi.


a. Kebutuhan cairan (air) post operasi.
Anak
BB 0-10 kg 1000 cc / 24 jam
BB 10-20 kg 1000 cc + 50 cc tiap > 1 kg
BB > 20 kg 1500 cc + 20 cc tiap > 1 kg
Dewasa
50 cc / kgbb/ 24 jam.
b. Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa
Na+ 2-4 mEq / kgbb
K+ 1-2 mEq / kgbb
c. Kebutuhan kalori basal
Dewasa
BB (kg) x 20-30
Anak berdasarkan umur
Umur Kcal / kgbb /
(tahun) hari
<1 80-95
1-3 75-90
4-6 65-75
7-10 55-75
11-18 45-55

2. Pasien tidak puasa post operasi.


Pada pasien post op yang tidak puasa, pemberian cairan diberikan berupa cairan maintenance
selama di ruang pulih sadar (RR). Apabila keluhan mual, muntah dan bising usus sudah ada
maka pasien dicoba untuk minum sedikit-sedikit.
Setelah kondisi baik dan cairan peroral adekuat sesuai kebutuhan, maka secara perlahan
pemberian cairan maintenance parenteral dikurangi. Apabila sudah cukup cairan hanya diberikan
lewat oral saja.

Rumus Darrow
BB (kg) Cairan
(ml)
0-3 95
3-10 105
10-15 85
15-25 65
>25 50
Tetesan infus: Mikro: BBx darrow /96
Makro: BB x darrow/24

Melihat tanda-tanda pada pasien disesuaikan dengan prosentase EBV yang hilang:
TANDANYA
Tensi 120 100 < 90 < 60-70
systole mmhg mmhg mmhg mmhg
Nadi 80 100 > 120 > 140
x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt
Perfusi Hangat Pucat Dingin Basah
Estimasi Minimal 600 1200 2100 ml
perdarahan ml ml
Estimasi Minimal 1-2 2-4 4-8 liter
infus liter liter

Melihat tanda klinis dan sesuaikan dengan prosentase defisit.


Tanda Ringan Sedang Berat
Defisit 3-5 % dari 6-8 % dari BB 10 % dari BB
BB
Hemodinamik - - -
Tachycardia Tachycardia Tachycardia.
- Hipotensi - Cyanosis.
ortostatik - Nadi sulit
- Nadi lemah diraba
- Vena - Akral
kolaps dingin.
Jaringan - Mukosa - Lidah lunak - Atonia,
lidah kering - Keriput mata
- Turgor - Turgor cowong
kulit normal menurun - Turgor
sangat
menurun
Urine - Pekat - Pekat, - oligouria
produksi /
jumlah
menurun
SSP Tak ada - Apatis - Sangat
kelainan menurun /
coma

Problem puasa
a. Pada keadaan normal kehilangan cairan berupa
Insesible water losses (IWL)
Sensible water losses (SWL)
Pada orang dewasa kehilangan 2250 cc yang terdiri atas
1) IWL 700 ml / 24 jam
(suhu lingkungan 25 oC kelembaban 50-60 %, suhu badan 36-37 oC).
2) SWL
Urine 1 cc / kgbb / jam (24 cc / kg / bb / 24 jam)
b. Kebutuhan elektrolit tidak terpenuhi
Kebutuhan normal: Na+ 2-4 mEq / kgbb / 24 jam
K+ 1-2 eEq / kgbb / 24 jam
c. Kebutuhan kalori tidak terpenuhi
Kebutuhan normal: 25 Kcal / kgbb / jam
d. Pada operasi elektif yang dipuasakan, penggantian cairan hanya untuk maintenance saja
e. Pemberian cairan pre operasi adalah untuk mengganti bila ada
1) Kehilangan cairan akibat puasa.
2) Kehilangan cairan akibat perdarahan.
3) Kehilangan cairan akibat dehidrasi.
f. Pemberian darah pre operasi di dasarkan atas pertimbangan yang matang dan apabila
perlu dilakukan pemeriksaan darah lebih dahulu.
Cairan pengganti
- Kristaloid 2-4 kali dari jumlah perdarahan.
- Koloid 1 kali dari jumlah perdarahan
- Darah (WB) 1 kali dari jumlah perdarahan
JENIS CAIRAN INFUS
Berdasarkan Partikel dlm Cairan dibagi menjadi:
I. KRISTALOID
A. Cairan Hipotonik
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum ( 285 mOsmol/L) cairan ditarik dari
dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya
Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis)
dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik.
Komplikasi : kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intracranial
Contoh NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
B. Cairan isotonik
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah) =
285 mOsmol/L, sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga
tekanan darah terus menurun).
Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi.
Contoh: Ringer-Laktat (RL), dan normal saline / larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%)
C. Cairan Hipertonik
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum ( 285 mOsmol/L), sehingga menarik cairan
dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema
(bengkak).
Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl
0,9%, produk darah (darah), dan albumin

II. KOLOID
Mempunyai partikel besar, yg agak sulit menembus membran semipermeabel/ dinding
pembuluh darah. dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat
menarik cairan dari luar pembuluh darah.
Contohnya adalah dextran, albumin dan steroid, HES (Hydroxy Etil Starch)
Berdasar tekanan Onkotik-nya ada 2 mcm :
- Iso-Onkotik : Co/ Albumin 25%
- Hiper-Onkotik : Co/ Albumin 5%

Efek Pemberian Ci Infus terhadap Kompartemen Ci Tubuh :


Dext 5% Kristaloid Kristaloid Koloid Koloid
(Hipotonis) Isotonis hipertonis Iso- Hiper-
Onkotik Onkotik
Vol.Intra-
vask.
Vol.Inter-
stitiel -
Vol.Intra-
sel - -

Beberapa Contoh Cairan Infus


1. Asering (Ringer Asetat/Asering)
Keunggulan:
- Asetat dimetabolisme di otot aman bagi pasien dg gangguan liver
- Pd kasus bedah mempertahankan suhu tubuh
- Efek vasodilator
- Efektif mengatasi asidosis
Komposisi :
Na+ = 130
Cl- = 108.7
K+ = 4
Ca++ = 2.7
Asetat = 28
2. KAEN 1B
Komposisi :
Mengandung elektrolit mEq/L
Na+ = 38.5
Cl- = 38.5
Dekstrosa = 37.5 gr/L
3. KAEN 3A
Komposisi :
Mengandung elektrolit mEq/L
Na+ = 60
Cl- = 50
K+ = 10
Laktat = 20
Dekstrosa = 27 gr/L
4. KA-EN 3B
Mengandung elektrolit mEq/L
Na+ = 50
Cl- = 50
K+ = 20
Laktat = 20
Dekstrosa = 27 gr/L
indikasi:
Kasus-kasus baru di mana status gizi tidak terlalu jelek, antara lain:
- Pneumonia
- Pleural Effusion
- Ketoasidosis diabetik (setelah rehidrasi dg NaCl 0,9%)
- Observasi Tifoid
- Observasi demam yang belum diketahui penyebabnya
- Status asthmaticus
- Fase pemulihan dari DBD
5. KA-EN 4A
Mengandung elektrolit mEq/L
Na+ = 30
Cl- = 20
Laktat = 10
Dekstrosa = 40 gr/L
6. KA-EN 4B
Mengandung elektrolit mEq/L
Na+ = 30
Cl- = 28
K+ = 8
Laktat = 10
Dekstrosa = 37.5 gr/L
7. Ringer Laktat
Tiap 100 ml terdiri atas:
NaCl 0,6 g
NaLaktat 0,312 g
KCl 0,04 g
CaCl 0.027 g

Osmolaritas:
Na+ 131
K+ 5
Ca2+ 2
Cl- 111
HCO3- (laktat) 29
8. NS (Normal Salin/ NaCl 0,9%)
Tiap 500ml mengandung NaCl 4,5g
Osmolaritas:
Na+ 154
Cl- 154
9. Glukosa 5%
Tiap 500ml mengandung glukosa 25g
Osmolaritas 280 mOsm/l setara dengan 800kJ/l atau 190kkal/l
10. Glukosa 10%
Tiap 500ml mengandung glukosa 55g
Osmolaritas 555 mOsm/l setara dengan 1680kJ/l atau 400kkal/l
11. D5 NS
Tiap 500ml mengandung
glukosa 25g
NaCl 2,25g
Kandungan elektrolit
Na+ 77
Cl- 77
Setara dengan 840kJ/200kkal
11. D5 NS
Tiap 500ml mengandung
glukosa 27,5g
NaCl 1,125g
Kandungan elektrolit
Na+ 38,5
Cl- 38,5
Setara dengan 840kJ/200kkal
12. HES 6%
Tiap 500 ml terdiri atas:
HES 30 g
NaCl 3,45 g
NaLaktat 2,24 g
KCl 0,15 g
CaCl 0.11 g

Osmolaritas (mmol/l):
Na+ 138
K+ 5
Ca2+ 3
Cl- 125
HCO3- (laktat) 20
Osmolaritas berkisar 280 mOsm/l
pH: +6

Catatan: kandungan antar merek dagang dapat berbeda-beda. Namun dalam rentang yang
hampir mirip.
Menggigil paska anestesi regional sekitar 40-60% . Ciri khas menggigil
berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap
hipotermia selama anestesi regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang
berasal dari non termoregulator dan bersifat involunter juga bisa muncul pada periode
pasca pembedahan. Menggigil non termoregulator dapat berhubungan dengan
pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan
etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat
terlihat seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai
menggigil juga dapat terlihat.6
2.1. FISIOLOGI
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5 37,5 0C pada suhu
lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem
termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas
fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme
adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi.8
Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi
dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada
pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil merupakan salah satu konsekuensi
terjadinya hipotermia perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele,
yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan
katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan
intraokuler. Definisi hipotermia adalah temperatur inti 10C lebih rendah di bawah standar
deviasi rata rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan
yang normal (28 350C). Kerugian paska operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi
termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung
yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif.8
Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari
termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon
Universitas Sumatera Utara
6
eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di
perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan
termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas.8
Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satu satunya jalur
termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur serabut saraf
asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada
daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain,
medula oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai
termosensitif, diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk
koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh.8
Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan jalur
saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.8
2.1.1. Termosensor dan Jalur Saraf Aferen
Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi yang diperoleh dari
penelitian pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor
termal terdapat pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan
memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin
mengeluarkan impuls pada suhu 25 300C. Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A .
Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu 45 500C dan berjalan pada serabut saraf
tipe C.8
Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan
dalm waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur
lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan
temperatur lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada
penelitian terhadap sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada penelitian tersebut,
disebutkan bahwa produksi panas tubuh selalu diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh.
Termoregulasi terhadap dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat
oleh pusat reseptor panas. Reseptor dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh
terhadap temperatur dingin dan input aferen yang berasal dari reseptor dingin
ditransmisikan langsung ke hipotalamus.8
Universitas Sumatera Utara
7
Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi reseptor dingin sentral tidak begitu
jelas secara anatomis. Produksi panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila
temperatur inti tubuh menurun kurang dari 360C. Pusat termoreseptor dingin kurang begitu
penting bila dibandingkan input sensoris dingin perifer, akan tetapi suatu penelitian
terhadap transeksi korda spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan
aktif bila temperatur inti tubuh di bawah titik ambang batas set point dan kurang sensitif
terhadap termoreseptor perifer.8
Gambar 2.1. Alur Kontrol Termoregulasi6
2.1.2. Hipotalamus Pusat Integrasi
Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang
berada di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara
integral dan hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik
hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa
ahli membaginya dalam saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon
Universitas Sumatera Utara
8
peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh.
Saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal
yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin
sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh pada area preoptik hipotalamus.
Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior,
formatio retikularis, dan medula spinalis.8
Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer
dengan stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan
respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang
berasal dari reseptor dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,50C dibawah nilai normal,
neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas,
dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas.8
Suatu penelitian terhadap manusia menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom
bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu : deteksi panas sentral, deteksi dingin perifer,
pusat inhibisi panas sebagai respon metabolik terhadap dingin, dan inhibisi termoregulasi
keringat terhadap kulit yang dingin.8
Temperatur set point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7
37,10C. Set point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan
pada manusia sangat unik. Pada manusia set point ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh
sekitar 36,20C sampai menjelang pagi, meningkat lebih dari 10C menjelang malam. Wanita
memiliki nilai set point yang lebih tinggi 10C selama siklus menstruasi pada fase luteal. Pada
tumor intrakranial seperti space occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat
menyebabkan peningkatan temperatur set point dengan mekanisme yang belum jelas.8
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus.6
2.1.3. Respon Efektor
Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan tingkah laku yang
secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai
dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan
vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan
peningkatan rata rata metabolisme.8
Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan
dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat
mengindikasikan adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks
serebri tanpa melalui hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini
menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha
mencari penghangat atau memakai penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku
terhadap dingin didasari oleh besarnya signal panas yang diterima kulit.8
Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk
mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar
dibawah ini.8
Universitas Sumatera Utara
10
Gambar 2.3. Mekanisme kontrol termoregulasi.6
2.2. PATOFISIOLOGI
Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan anestesi dan
mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan tindakan anestesi baik umum
maupun regional akan hilang. Seorang anestesiologist harus mengetahui management
kontrol termoregulasi pasien. Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi
termoregulator yang ditandai dengan peningkatan ambang respon terhadap panas dan
penurunan ambang respon terhadap dingin.6
Hampir semua obat obat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur
inti pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0 1,50C selama satu jam
pertama anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan
epidural menurunkan ambang vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda,
akan tetapi ukurannya kurang dari 0,60C dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran
dilakukan di atas ketinggian blok.6
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 2.4. Hubungan anestesi dengan penurunan core temperatur.6
Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung berinteraksi
dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada
dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh terhadap
termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional tidak
diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan
pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal aferen.6
Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi).6
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.6. Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi.6
Pada anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil sampai dan pada inti
hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun sekitar 1
2 0C, hal ini berhubungan dengan redistribusi panas tubuh dari kompartermen inti ke perifer
dimana spinal menyebabkan vasodilatasi.6
Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas blokade dari lokal anestesi disebabkan
karena ketidakmampuan kompensasi otot di bawah ketinggian blokade untuk terjadinya
menggigil. Sama seperti pada anestesi umum, hipotermia terjadi pada jam pertama anestesi,
atau setelah dilakukan tindakan anestesi spinal. Hal ini terjadi karena proses redistribusi
panas inti tubuh ke perifer oleh vasodilatasi yang disebabkan blokade anestesi spinal.6
Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu sendiri tapi
juga karena faktor lain seperti cairan infus atau cairan irigasi yang dingin, temperatur
ruangan operasi dan tindakan pembedahan. Pasien akan mengalami penurunan temperatur
tubuh oleh karena terjadi redistribusi panas di bawah ketinggian blok ditambah pemberian
cairan dengan suhu yang rendah akan memberikan implikasi yang tidak baik pada pasien
yang menjalani pembedahan terutama pasien dengan usia tua karena kemampuan untuk
mempertahankan temperatur tubuh pada keadaan stress sudah menurun.6
Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan meningkatkan kejadian
menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya pada suhu 300C, tetapi
penghangatan ini tidak berlaku pada pasien yang tidak hamil karena tidak ada perbedaan
jika diberikan dalam keadaan dingin atau hangat. Menggigil selama anestesi regional
anestesi dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan yang optimal, pemberian
selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat yang efektifitasnya sama untuk
mengatasi menggigil paska anestesi umum.6
Universitas Sumatera Utara
13
Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh sensasi terhadap
dingin. Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa persepsi dingin secara subjektif
tergantung pada input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh
regional anestesi. Setelah terjadi redistribusi panas tubuh ke perifer pada induksi anestesi
umum dan regional, hipotermia selanjutnya tergantung pada keseimbangan antara
pelepasan panas pada kulit dan metabolisme panas yang akan melepas panas tubuh. Selama
anestesi spinal terdapat dua faktor yang akan mempercepat pelepasan panas dan mencegah
timbulnya perubahan temperatur inti yang terlihat setelah anestesi : pertama, dengan
menurunkan ambang vasokonstriksi yang digabungkan dengan vasodilatasi pada tungkai
bawah selama blok terjadi. Oleh karena itu kehilangan panas terus berlangsung selama
anestesi spinal meskipun mekanisme aktivitas efektor berlangsung di atas ketinggian blok.
Hal ini terlihat khususnya pada kombinasi antara anestesi umum dan epidural. Kedua,
anestesi spinal menurunkan ambang vasokonstriksi selama tindakan anestesi dan
meningkatkan rata rata sensasi dingin bila dibandingkan hanya dengan anestesi umum saja
karena vasokonstriksi yang secara kuantitatif terpenting pada ekstremitas bawah dihambat
oleh blokade itu sendiri.6
Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme
kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
Rangsangan dingin akan diterima afektor diteruskan ke hipothalamus anterior dan
memerintahkan bagian efektor untuk merespon berupa kontraksi otot tonik dan klonik
secara teratur dan bersifat involunter serta dapat menghasilkan panas sampai dengan 600%
diatas basal. Mekanisme ini akan dihambat oleh tindakan anestesia dan pemaparan pada
lingkungan yang dingin dan dapat meningkat pada saat penghentian anestesia.6
Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh hipotermia dapat
memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan meningkatkan
konsumsi oksigen 100% 600%2,4 , dan meningkatkan resiko angina dan aritmia pada pasien
dengan penyakit kardiovaskuler.2 Morbiditas yang mungkin terjadi dan telah dilaporkan
cukup bermakna adalah peningkatan kebutuhan metabolik (hal ini dapat membahayakan
pada pasien dengan cadangan hidup yang terbatas dan yang berada pada resiko kejadian
koroner), menimbulkan nyeri pada luka, meningkatkan produksi CO2, denyut jantung,
memicu vasokonstriksi dan dengan demikian meningkatkan resistensi vaskular, tekanan
darah, dan volume jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan
intrakranial. Sebagai tambahan, resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat
Universitas Sumatera Utara
14
pada pasien hipotermik. Karena alasan alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu
normal merupakan baku perawatan.6
2.3 ETIOLOGI
Etiologi menggigil masih belum jelas, tetapi, diperkirakan bahwa hipotermia selama
pembedahan dan gangguan pada pusat termoregulator merupakan faktor penyebab yang
utama. Penelitian elektromiografi menunjukkan bahwa menggigil paska tindakan anestesi
berbeda dengan menggigil yang disebabkan oleh flu. Faktor lain yang diperkirakan sebagai
modulator menggigil meliputi penggunaan obat anestesi, dan respon febril. Menggigil
merupakan respon terhadap hipotermia selama pembedahan dengan anestesi regional dan
general yang terjadi karena perbedaan antara suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh.
Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada dalam resiko untuk mengalami
hipotermia1. Ahli anestesi menempatkan menggigil pada posisi ke 8 sebagai yang sering
terjadi dan ke 21 sebagai komplikasi yang perlu dicegah.9 Pada manusia suhu inti tubuh
dipertahankan dalam batas 36.5 37.5C. 10,11 Walaupun literatur yang ada saat ini tidak
memberikan definisi yang jelas tentang normotermia ataupun hipotermia tetapi para ahli
menyatakan bahwa normotermia berada pada temperatur inti yang berkisar antara 36C
38C (96.8F 100.4F). Hipotermia terjadi bila temperatur inti kurang dari 36C (96.8F).
Hipotermia dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien mengeluh merasa
kedinginan atau menampilkan gejala hipotermia seperti menggigil, vasokonstriksi perifer,
dan piloereksi. 1
Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi.2 Yang mana anestesi
spinal menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan
transfer panas antar kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia
bervariasi, meliputi berikut ini :1
Usia ekstrim (Anak anak dan orangtua)
Kehamilan
Suhu ruangan
Lama dan jenis prosedur bedah
Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll)
Status hidrasi
Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin
Universitas Sumatera Utara
15
Pemberian anestesia umum
Pemberian anestesia regional
2.4 Mekanisme Pertukaran Panas
Pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan sekitar dicapai dengan berbagai cara seperti
yang dijelaskan berikut ini :
a. Radiasi
Radiasi mengarah kepada hilangnya panas via sinar infrared (sebuah tipe gelombang
elektromagnetis) yang keluar dari kulit. Gelombang ini berasal dari semua benda yang
ada dengan suhu diatas nol mutlak (absolute zero temperature), dan intensitas radiasi
meningkat sebanding dengan peningkatan suhu benda. Dalam kondisi normal, radiasi
meliputi sekitar 60 % dari panas yang hilang dari tubuh manusia.
b. Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas dari benda dengan suhu yang lebih tinggi ke benda
dengan suhu yang lebih rendah. Ini dikarenakan sifat panas yang merupakan energi
kinetik. Perpindahan panas dengan cara konduksi menyebabkan hilangnya panas dari
tubuh sebesar 15%.
c. Konveksi
Ketika panas hilang dari kulit, ia akan menghangatkan udara tepat di atas permukaan
kulit. Peningkatan suhu permukaan ini membatasi kehilangan panas tubuh yang berlebih
akibat konduksi. Akan tetapi ketika aliran udara dari kipas (atau hembusan angin)
melewati kulit, ia akan menggantikan lapisan hangat dari udara di atas permukaan kulit
dan menggantinya dengan udara yang lebih dingin, hal ini menyebabkan hilangnya
panas tubuh terus menerus akibat konduksi. Efek yang sama dihasilkan dengan
peningkatan aliran darah tepat di bawah permukaan kulit. Aksi dari aliran (darah dan
udara) menyebabkan hilangnya panas yang dikenal dengan konveksi.
d. Evaporasi
Perubahan air dari fase zat cair mejadi gas memerlukan panas, dan ketika air atau
keringat berevaporasi dari permukaan tubuh, panas yang digunakan adalah panas
tubuh. Normalnya, evaporasi meliputi 20% dari hilangnya panas tubuh (kebanyakan
merupakan akibat dari insensible fluid loss dari paru). Evaporasi memainkan peran
penting dalam adaptasi stress thermal.
Universitas Sumatera Utara
16
2.5 MONITOR SUHU
Efek fisiologik dari perubahan suhu tubuh adalah alasan utama untuk
memonitor suhu tubuh sewaktu tindakan anestesi. Sebagai proteksi supaya tidak
terkadi iskemik jaringan direkomendasikan suhu inti intraoperatif harus dijaga diatas
360C.
Pengukuran suhu harus akurat dan konsisten. Merupakan kewajiban dari
praktisi untuk menentukan metode terbaik mengawasi suhu inti pasien dan untuk
menggunakan perangkat pengawasan suhu secara benar sekaligus memperkirakan
bagian mana yang akan diukur, kenyamanan pasien, dan keamanan.
Selama periode perioperatif ketika suhu inti berubah dengan cepat, hubungan
antara suhu yang terukur pada berbagai bagian tubuh dapat berbeda. Suhu inti diukur
pada arteri pulmonal, distal esofagus, nasofaring dan membran timpani. Distal
esofagus (25% dari bagian bawah esofagus) memberikan gambaran suhu darah dan
serebral. Suhu membran timpani dan aural kanal memberikan estimasi suhu
hipotalamus dan berkorelasi dengan suhu esofagus. Suhu inti juga dapat diperkirakan
dengan menggunakan bagian oral, aksiler, ataupun kandung kencing. Suhu kulit dan
rektal yang disesuaikan dapat menggambarkan suhu inti dengan cukup baik, tetapi
menjadi tidak dapat diandalkan ketika terjadi Krisis Hipertermia Maligna.
Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa pengukuran suhu membrana
timpani menggunakan infra merah merupakan metode pengukuran suhu selama dan
pasca pembedahan yang lebih disukai. Perlu diingat bahwa ketepatan pembacaan suhu
bergantung pada operator, anatomi pasien, dan alat ukurnya.7
2.6 OBAT OBATAN
Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada
periode durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis
optimal obat-obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum
jelas. Sebagian besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Banyak
sediaan obat digunakan untuk tujuan ini, walaupun masih dalam tahap uji klinis
seperti clonidine, doxapram, ketanserin, alfentanil, dexametason dosis rendah,
Universitas Sumatera Utara
17
magnesium sulfat, ketamin,tramadol dll. Salah satu obat yang paling efektif adalah
Pethidin.8
Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan
ambang rangsang menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi.
Mekanisme pethidin sebagai antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja
pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine, antagonis reseptor
NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-2.
8
Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor- dan
reseptor-k dan merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya,
pethidin hampir sama dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine.16
Petidin intratekal akan berikatan dengan reseptor- dan reseptor-k di mana
reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang rangsang menggigil. Petidin intratekal
juga akan menstimuli reseptor-2 dimana jika reseptor ini distimuli akan
meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan mengantagonis
reseptor NMDA (N-methyl d aspatartate).8
Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan
norepinefrin pada hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan mennyebabkan
terjadinya menggigil dan vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan
ambang suhu untuk terjadinya menggigil. Pada prinsipnya pemberian petidin
intratekal ini untuk meningkatkan jumlah norepinefrin pada medulla spinalis dimana
hal ini akan memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju
hypothalamus.8
Gambar 2.7 struktur kimiawi dari pethidin
Universitas Sumatera Utara
18
2.6.1 FARMAKOKINETIK
Morfin kurang lebih 10 kali lebih poten dari pethidine. Dimana 80-100mg IM
dari pethidin memiliki efek yang sama dengan 10 mg morfin IM. Durasi dari pethidin
2-4 jam, sedikit lebih pendek dibandingkan morfin. Pada rentang dosis analgetik,
pethidin menghasilkan efek sedasi, euphoria, mual,muntah dan depresi pernafasan
sama seperti morfin. Tidak seperti morfin, pethidin baik diabsorpsi di saluran
cerna,tetapi jika dibandingkan dengan IM hanya kali efektiviatasnya.17 Waktu
paruh penggunaan pethidin intrathecal pada manusia pendek; 6 jam setelah
penyuntikan pethidin intrathecal hanya 0,4 % dari dosis awal yang terdeteksi pada
CSF di lumbal. Konsentrasi pethidin pada C7-T1 turun dengan cepat,hal ini
meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed depresi respirasi. Efek sistemik lama
timbul pada pemberian pethidin intrathecal karena sifat pethidin yang lebih cepat larut
dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efflux pethidin kedalam sistem vena dan
limphatik. 20
2.6.2 METABOLISME
Metabolism pethidine terjadi di hepar, dimana hampir 90% bentuk asal
pethidin mengalami demetilisasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi
meperidinic acid. Kemudian diekskresi melalui urin, tetapi tergantung dari nilai pH
dari urin. Sebagai contoh pH urin<5 sebanyak 25% dari bentuk asli pethidin
dikeluarkan. Jadi penambahan keasaman dari pH urin bisa dipertimbangkan untuk
mempercepat eliminasi dari pethidin. Menurunnya fungsi ginjal akan menyebabkan
terakumulasi bentuk normeperidine. Normeperidine memiliki waktu paruh 15
jam(<35 jam pada pasien dengan gagal ginjal) dan dapat dideteksi selama 3 hari
setelah pemberian. Normeperidine dapat menyebabkan stimulasi dari CNS. Toksisitas
dari normeperidine dapat menyebabkan terjadinya myoklonus dan kejang.16
2.6.3 EFEK SAMPING
A. Kardiovaskuler
Pethidin menyebabkan peningkatan heart rate (struktur kimia pethidin mirip
dengan atropine). Dosis tinggi dari morfin, fentanyl, sulfentanil, remifentanyl
dan alfentanyl berhubungan dengan bradikardia yang dimediasi oleh nervus
vagus. Morfin dan pethidin menyebabkan pelepasan dari histamine pada
Universitas Sumatera Utara
19
beberapa individu dan dapat menyebabkan menurunnya tahanan perifer
sistemik arterial blood pressure.18
B. Respirasi
Opioid dapat mendepressi ventilasi. Hal ini disebabkan ambang rangsang
apneu ditingkatkannya dimana PaCO2 meningkat selama periode apneu dan
menurunnya hypoxic drive. Morfin dan pethidin juga dapat menginduced
bronchospasme.18
C. Cerebral
Opioid dapat mereduksi cerebral oxygen consumption, cerebral blood flow
dan tekanan intracranial, tetapi efek ini masih lebih rendah dibandingkan
barbiturate atau benzodiazepine. Pethidin merupakan opioid yang unik,
dimana bila diberikan secara intrathecal memiliki struktur yang sama dengan
sameridin yang memiliki efek local anestetik.18
D. Gastrointestinal
Opioid dapat memperlambat waktu pengosongan lambung dengan
menurunkan peristaltik. Nyeri bilier disebabkan karena kontraksi dari spincter
Oddi. Pasien yang mendapat opioid dalam waktu lama seperti pada pasien
kanker menjadi toleran terhadap efek samping kecuali efek konstipasi yang
disebabkan menurunnya motilitas gastrointestinal.18
E. Endokrin
Stress respon terhadap tindakan pembedahan seperti sekresi hormone
katekolamin, antidiuretik hormone dan kortisol. Opioid memblok pelepasan
hormone-hormon ini. 18
Secara umum efek samping dari penggunaan opioid tergantung pada besarnya
dosis yang digunakan. Ada empat efek samping yang sering timbul pada penggunaan
neuraxial opioid,seperti pruritus, mual dan muntah, retensi urin dan depresi
pernafasan.17
a. Pruritus
Pruritus adalah efek samping yang paling sering timbul pada penggunaan
neuraxial opioids. Sering timbul didaerah wajah,leher dan thorak atas. Pruritus
sering timbul pada pasien obstetri,mungkin disebabkan interaksi antara estrogen
dengan reseptor opioid. Pruritus yang disebabkan pada penggunaan neuraksial
Universitas Sumatera Utara
20
opioid disebabkan oleh migrasi opioid ke cephalad pada CSF dan berinteraksi
dengan reseptor opioid di nucleus trigeminal. Antagonist dari opioid seperti
naloxone efektive untuk mengurangi pruritus yang terjadi. Antihistamine juga
efektive untuk mengatasi pruritus yang disebabkan oleh opioid.17
b. Retensi Urine
Retensi urin sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Retensi urin pada
penggunaan neuraxial opioid sering terjadi dibandingkan pada penggunaan secara
IV dan IM. Terjadinya retensi urin tidak tergantung pada besarnya dosis yang
digunakan atau besarnya absorbsi sistemik dari opioid. Retensi urin disebabkan
karena interaksi antara opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi pada spinal
cord di sacral. Interaksi ini menyebabkan inhibisi dari nervus parasimpatik di
sacral yang menyebabkan relaksasi otot detrusor dan meningkatkan maksimum
dari volume kandung kemih.17
c. Depresi pernafasan
Efek samping yang paling serius dari penggunaan opioid adalah depresi
pernafasan,yang bisa timbul beberapa menit atau beberapa jam setelah pemakaian
opioid. Insiden terjadinya depresi pernafasan setelah pemakaian neuraxial opioid
pada dosis konvensional sekitar 1%, sama dengan pemakaian opioid IV dan IM
dengan dosis konvensional. Depresi pernafasan yang cepat terjadi dalam waktu 2
jam setelah injeksi opioid pada neuraxial,dan yang lambat terjadi lebih dari 2 jam
setelah penyuntikan. Depresi pernafasan terjadi karena absorbsi kesistemik dari
opioid yang lipid soluble,walaupun perpindahan opioid di CSF ke cephalad dan
berinteraksi dengan reseptor opioid di daerah ventral medulla. Pasien obstetric
sedikit yang mengalami depresi pernafasan,mungkin disebabkan oleh
meningkatnya stimulasi dari pernafasan oleh progesterone.17
d. Sedasi
Sedasi setelah pemberian neuraxial opioid berhubungan dengan dosis dan bisa
timbul pada semua opioid, tapi paling sering pada penggunaan sulfentanyl. Pada
waktu timbul sedasi pada penggunaan neuraxial opioid,pertimbangkan akan
timbulnya depresi pernafasan pada pasien tersebut. Pengguanaan naloxone
0,25g/kgBB/jam IV efektive untuk penanganan mual dan muntah,
pruritus,depresi nafas dan perubahan status mental seperti paranoidpsychosis,
catatonia dan halusinasi yang disebabkan oleh pemakaian neuraxial
opioid.17
Universitas Sumatera Utara
21
2.7 KERANGKA KONSEP
Keterangan :
X menghambat
Vasodilatasi
ANESTESI
Redistribusi
panas tubuh
dari inti ke
perifer
Petidin
0,1mg/kgBB
Petidin
0,2mg/kgBB
Hipotalamus dan
medulla spinalis
inhibisi terhadap re-uptake biogenic monoamine,antagonis
reseptor NMDA dan stimulasi dari reseptor-2.
Tekanan darah
Menggigil
efek
sampingg
Universitas Sumatera Utara
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22687/4/Chapter%20II.pdf

spinal
Anestesi Spinal

Anestesi spinal (anestesi lumbal, blok sub arachnoid) dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesic local ke dalam ruang sub-arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5

Lokasi untuk Anestesi Spinal


Indikasi:

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum perineum

4. Bedah obstetric-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anesthesia
umum ringan
Kontra indikasi absolute:

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5. Tekanan intracranial meningkat

6. Fasilitas resusitasi minim

7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.


Kontra indikasi relative:

1. Infeksi sistemik

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kronik


Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, Ht, pt, ptt


Peralatan analgesia spinal

1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, EKG

2. Peralatan resusitasi

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal
dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)
Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,missal L2-L3, L3-L4,
L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.

4. Beri anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G,25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm
agak sedikit kearah sefal,kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.
Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obar dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter..

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.
Tinggi blok analgesia spinal

Factor yang mempengaruhi:

- Volume obat analgetik local: makin besar makin tinggi daerah analgesia

- Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

- Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.

- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan
penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

- Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas
analgesia bertambah tinggi.

- Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.

- Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik

- Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang
lebih tinggi.

- Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang
diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap
sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Komplikasi anestesia spinal

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed. Komplikasi
berupa gangguan pada sirkulasi,respirasi dan gastrointestinal.
Komplikasi sirkulasi:

Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuscepat tersebut masih terjadi hipotensi
harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-
4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.

Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat
diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

Komplikasi respirasi:

1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,bila fungsi paru-paru normal.

2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.

3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan
iskemia medulla.

4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak


adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

Komplikasi gastrointestinal:

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian obat


narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala
pasca pungsi lumbalmerupakan nyeri kepala dengan cirri khasterasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
Pencegahan:

1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus

2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater

3. Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari


Pengobatan:

1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

2. Hidrasi adekuat

3. Hindari mengejan

4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien
sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.
Retentio urine

Fungsi kandung kencing merupakanbagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia
spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf permanen merupakan komplikasi
yang sangat jarang terjadi.
Anastetik local untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. anastetik local
dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih
besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik.

Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik local yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg (2-5ml)

2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,


dose 20-50mg(1-2ml)

3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg

4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-
15mg(1-3ml)

Penyebaran anastetik local tergantung:

1. Factor utama:

a. berat jenis anestetik local(barisitas)

b. posisi pasien

c. Dosis dan volume anestetik local

2. Factor tambahan

a. Ketinggian suntikan

b. Kecepatan suntikan/barbotase

c. Ukuran jarum

d. Keadaan fisik pasien

e. Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:

1. Jenis anestetia local

2. Besarnya dosis

3. Ada tidaknya vasokonstriktor

4. Besarnya penyebaran anestetik local


Komplikasi tindakan

1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus
cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.

2. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2

3. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4. Trauma pembuluh saraf

5. Trauma saraf

6. Mual-muntah

7. Gangguan pendengaran

8. Blok spinal tinggi atau spinal total


Komplikasi pasca tindakan

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4. Retensio urine

5. meningitis
Anestesi Umum (intubasi)
2013 (1)
2012 (11)
Desember (4)
spinal
SPINAL ANESTESI
Penatalaksanaan Anastesi Pada SC
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA HERNIA INGUINAL LAT...
November (7)
Template Picture Window. Diberdayakan oleh Blogger.

Anestesi Spinal

Anestesi spinal (anestesi lumbal, blok sub arachnoid) dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesic local ke dalam ruang sub-arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5

Lokasi untuk Anestesi Spinal


Indikasi:

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum perineum

4. Bedah obstetric-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anesthesia
umum ringan
Kontra indikasi absolute:

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5. Tekanan intracranial meningkat

6. Fasilitas resusitasi minim

7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.


Kontra indikasi relative:

1. Infeksi sistemik

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kronik


Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, Ht, pt, ptt


Peralatan analgesia spinal

1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, EKG

2. Peralatan resusitasi

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal
dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)
Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,missal L2-L3, L3-L4,
L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.

4. Beri anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G,25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm
agak sedikit kearah sefal,kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.
Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obar dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter..

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm.
Tinggi blok analgesia spinal

Factor yang mempengaruhi:

- Volume obat analgetik local: makin besar makin tinggi daerah analgesia

- Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia


- Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.

- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan
penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

- Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas
analgesia bertambah tinggi.

- Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.

- Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik

- Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang
lebih tinggi.

- Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang
diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap
sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Komplikasi anestesia spinal

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed. Komplikasi
berupa gangguan pada sirkulasi,respirasi dan gastrointestinal.

Komplikasi sirkulasi:

Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuscepat tersebut masih terjadi hipotensi
harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-
4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.

Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat
diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

Komplikasi respirasi:

1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,bila fungsi paru-paru normal.

2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.

3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan
iskemia medulla.

4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak


adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

Komplikasi gastrointestinal:

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian obat


narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala
pasca pungsi lumbalmerupakan nyeri kepala dengan cirri khasterasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
Pencegahan:

1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus

2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater

3. Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari


Pengobatan:

1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

2. Hidrasi adekuat

3. Hindari mengejan

4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien
sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.
Retentio urine

Fungsi kandung kencing merupakanbagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia
spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf permanen merupakan komplikasi
yang sangat jarang terjadi.
Anastetik local untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. anastetik local
dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih
besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik.

Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik local yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg (2-5ml)

2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,


dose 20-50mg(1-2ml)

3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg

4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-
15mg(1-3ml)

Penyebaran anastetik local tergantung:

1. Factor utama:

a. berat jenis anestetik local(barisitas)

b. posisi pasien

c. Dosis dan volume anestetik local


2. Factor tambahan

a. Ketinggian suntikan

b. Kecepatan suntikan/barbotase

c. Ukuran jarum

d. Keadaan fisik pasien

e. Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:

1. Jenis anestetia local

2. Besarnya dosis

3. Ada tidaknya vasokonstriktor

4. Besarnya penyebaran anestetik local


Komplikasi tindakan

1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus
cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.

2. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2

3. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4. Trauma pembuluh saraf

5. Trauma saraf

6. Mual-muntah

7. Gangguan pendengaran

8. Blok spinal tinggi atau spinal total


Komplikasi pasca tindakan

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4. Retensio urine
5. meningitis
Diposkan oleh Moh Misbah di 03.35 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Selasa, 11 Desember 2012
SPINAL ANESTESI
SPINAL ANESTESI: SPINAL ANESTESI SubArachnoid Blok merupakan salah satu teknik
anestesi regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang...
Diposkan oleh Moh Misbah di 07.58 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Penatalaksanaan Anastesi Pada SC
Penatalaksanaan Anastesi Pada SC: Seksio sesarea berhubungan dengan peningkatan 2 kali
lipat risiko morbiditas dan mortalitas ibu dibandingkan pada persalinan vaginal.11 Kema...
Diposkan oleh Moh Misbah di 07.53 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA HERNIA INGUINAL LAT...
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA HERNIA INGUINAL LAT...: PENATALAKSANAAN
ANESTESI PADA HERNIA INGUINAL LATERALIS INKARSERATA KARYA TULIS ILMIAH Di
Ajukan untuk memenuhi Salah Satu Tug...

NYERI DADA

Diagnosis banding
Nyeri dada pasca operasi relatif sering dijumpai. Terpisah dari pasien yang telah menjalani
pembedahan toraks, sebab-sebab yang penting untuk dipikirkan adalah infark miokard, angina,
emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, dan ruptur esofagus (pada mereka yang telah menjalani
dilatasi esofagus atau muntah-muntah). 50% pasien yang diberikan suxamethonium mengalami
nyeri pada dada, leher dan/atau bahu.
Seperti pada praktek penyakit dalam, penyakit esofagus jinak (refluks asam atau spasme) lazim
dijumpai dan sering diprovokasi oleh pembedahan abdomen. Kadang-kadang kondisi ini sukar
dibedakan dari nyeri kardiak jika berdasarkan anamnesis.
Sebab-sebab yang lebih jarang dari nyeri dada diseksi aorta, perikarditis, dan nyeri alih
(referred pain) dari tulang belakang jarang ditemukan dalam praktek bedah dan hanya
membutuhkan sedikit bahasan.
Infark miokard akut (AMI) : pikirkan diagnosis ini pada setiap pasien dengan nyeri dada/rasa
kencang/tertindih di bagian tengah. Ini lebih cenderung terjadi dengan riwayat IHD terdahulu atau
pada kelompok risiko tinggi: diabetes, hipertensi, penyakit pembuluh darah tepi, perokok berat.
Pemicu khas adalah hipotensi, hipertensi, perdarahan mayor, hipoksia dan sepsis.
Angina : ini biasanya jelas dari anamnesis. Pasien akan memerikan nyeri yang identik dengan
angina yang biasa mereka keluhkan. Pemicu adalah sama seperti pada AMI. Perbedaan angina
dari AMI adalah berdasarkan EKG dan enzim-enzim jantung.
Emboli paru (PE =pulmonary emboli) menyebabkan nyeri dada di tengah dengan dispnea dan
hipotensi. Emboli yang lebih kecil menyebabkan infark paru, yang ditandai oleh nyeri pleuritik dan
hemoptisis tetapi dispnea lebih ringan dan TD masih terjaga.
Pneumonia : pneumonia pasca bedah biasanya tidak menyebabkan gambaran pneumonia
lobaris klasik ( nyeri dada pleuritik yang mendadak dengan dispnea dan demam). Biasanya ada
dispnea dengan demam.
Pneumotoraks : terjadi paling sering setelah kanulasi vena sentral atau trauma toraks. Pada
situasi lain lebih cenderung pada orang muda yang tinggi, kurus, asmatis dan pasien dengan
emfisema. Kadang-kadang terjadi setelah prosedur abdomen atau endoskopik toraks.
Ruptur esofagus : komplikasi yang mengancam jiwa pada pasien yang baru saja menjalani
instrumentasi esofagus, khususnya dilatasi dari suatu striktura, atau mereka yang sudah muntah-
muntah hebat. Nyeri khas lebih buruk ketika menelan. Ruptur esofagus sering diikuti oleh udara
yang teraba di leher atau mediastinum pada x-foto toraks.
Esofagitis dan spasme esofagus: masalah-masalah ini lebih sering dijumpai pada pasca operasi
pada pasien yang sudah ada riwayat penyakit ini. Penyakit baru lebih sukar didiagnosis dan
mungkin IHD perlu disingkirkan terlebih dulu.
Diseksi aorta: dapat terjadi kebetulan pada siatuasi perioperatif, mungkin dicetuskan oleh
hipertensi berat. Ciri-cirinya dalah nyeri dada berat yang tidak mereda, menjalar ke punggung,
tidak membaik dengan opioid, tanpa ada bukti infark miokard akut. Manajemennya berada di luar
lingkup buku ini.
Perikarditis : biasa dijumpai setelah kardiotomi. Namun biasanya jarang pada pasien bedah.

Prioritas dini
Nilai dan kelola ABC.
Berikan O2 pada kecepatan tinggi melalui masker wajah jika pasien tidak bernapas atau
mengalami sesak hebat. Periksa saturasi O2 dengan pulse oximetry.
Cek sirkulasi.
Akses vena. Jika pasien hipotensi dan tidak ada tanda-tanda edema paru, berikan infus cepat
(NaCl 0,9%, gelatin, starch) seperti disebut pada bab hipotensi. Periksa tanda-tanda perdarahan
operasi.
Cek masuknya udara pada kedua sisi: jika didiagnosis tension pneumohotrax, lakukan
dekompresi sebagaimana diuraikan pada Bab 37.
Sambungkan pasien ke monitor EKG.
Minta EKG 12-sadapan. Jangan mengandalkan pada monitor untuk diagnosis akurat.
Pesan X-foto toraks.
Setelah manajemen awal, luangkan waktu untuk anamnesis dan periksa pasien dengan
seksama.

Anamnesis
Mencakup riwayat penyakit dahulu dan faktor-faktor risiko. Jika ada distres, pasien mungkin tidak
bisa memberikan riwayat yang koheren. Apakah pasien mengalami nyeri serupa sebelumnya,
apakah diselidiki dan apa yang terjadi? Periksa informasi yang dicatat di bagian pendaftaran.
Biasanya nyeri kardiak bisa dibedakan dari nyeri pleuritik dan esofagus berdasarkan gambaran
klinik. Walaupun demikian, setelah operasi banyak pasien memperlihatkan gejala tidak khas dan
penyelidikan lanjut sering diperlukan. Tanyakan secara spesifik gejala-gejala penyerta (dispnea,
hemoptisis, muntah-muntah), faktor-faktor eksaserbasi dan pereda. Urutan kejadian yang tepat
yang memicu nyeri dada bisa didapat dari perawat atau dari penelusuran kartu observasi.

Pemeriksaan fisik
Nilai sirkulasi (nadi, TD, pefusi tepi, JVP), cak bising jantung baru (khas pada infark miokard yang
mempengaruhi katup mitral), dan cari tanda-tanda fisik dalam dada. X-foto toraks akan
membantu menegakkan diagnosis pada banyak pasien. Walaupun demikian, foto toraks pasca
operasi sering abnormal, sehingga bisa mengacaukan gambaran klinik.

Pemeriksaan penunjang
EKG 12-sadapan: diagnostik untuk AMI pada 50% kasus pada onset. Bisa normal pada angina
jika nyeri telah mereda. EKG normal selama nyeri dada hebat membantah adanya angina.
Depresi ST mencolok selama angina mengindikasikan AMI yang mungkin mengancam. Aritmia
dapat mencetuskan angina.
Gas darah arteri: kombinasi nyeri dada sentral, x-foto toraks bersih, dan hipoksia akut lebih
diagnostik untuk emboli paru pada pasien pasca bedah.
X-foto toraks membantu diagnosis ruptur esofagus, pneumonia, pneumotoraks. Edema paru
yang mungkin tidak terbukti secara klinik mungkin terlihat dengan x-foto toraks.
Hb : perdarahan/hemodilusi bisa merupakan pemicu untuk angina atau MI.
Uji saring lengkap untuk sepsis jika pireksia. Sepsis pada setiap tempat dapat mencetuskan
angina atau MI pada pasien dengan IHD yang melandasi.
Pengukuran enzim jantung serial : diagnosis retrospektif dari AMI bisa didasarkan atas enzIm-
emzim jantung, dengan riwayat nyeri dada dan perubahan gelombang ST/T pada EKG. CK dapat
meninggi pada pasca bedah karena kerusakan otot: ukur fraksi MB.

Infark miokard (MI)


Diagnosis
Ditegakkan hanya pada EKG dan perubahan enzim jantung. Perkembangan blok cabang berkas
kiri pada EKG yang menyertai nyeri kardiak memiliki makna diagnostik sama seperti tampilan
gelombang Q.

Manajemen
Nyeri: atasi nyeri dengan morfin atau diamorfin iv dalam dosis yang bisa dinaikkan setiap 2,5
mg
Aspirin: berikan aspirin 300 mg po atau nasogastrik (atau dengan supositoria jika tidak bisa oral.
CCU: pindahkan pasien ke CCU atau ICU untuk pemantauan irama.
Faktor pemicu: atasi setiap faktor yang mungkin telah mencetuskan infark: perdarahan,
hipotensi, hipoksia, sepsis.
Trombolisis dikontraindikasikan dalam 4-5 hari setelah pembedahan mayor. Pada bedah saraf
lebih lama. Trombolisis pada pasien pasca bedah harus diberikan dengan persetujuan dokter
bedah senior.
Heparin umumnya aman pada pasca bedah dan bisa diberikan jika trombolisis
dikontraindikasikan.
Elektrolit : cek Mg2+, Ca2+ dan K+. Kelainan-kelainan elektrolit ini biasa didapatkan setelah
operasi, dan merupakan predisposisi untuk aritmia.
Nitrat : atasi nyeri yang berlanjut dengan nitrat iv.
Rujukan ke ahli panyakit dalam: tim penyakit dalam harus mengambil alih masalah jantung. Jika
pasien dirawat di bangsal bedah, beritahu spesialis jantung sehingga pasien bisa dirujuk untuk
rehabilitasi jantung dan penyelidikan lanjut sesuai kebutuhan.
Arteriografi koroner dengan stenting pembuluh darah yang tersumbat mungkin bisa dikerjakan
di rumah sakit spesialis.

Angina
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan AMI telah disingkirkan, dan mungkin
perubahan EKG selama nyeri.
Penyelidikan lanjut seperti treadmill testing dan arteriografi koroner umumnya tidak sesuai pada
pasca bedah dini, namun angina tak-stabil dengan depresi ST yang mencolok dapat memberi
firasat akan terjadi infark miokard, dan pasien-pasien ini mungkin membutuhkan arteriografi
koroner selama masuk RS dengan indikasi operasi.

Manajemen
Nitrat: jika nitrat sublingual tidak segera meredakan nyeri, mulai pemberian infus nitrat: isosorbid
dinitrat 0,1% ( 1 mg/ml) harus diinfus dengan kecepatan awal 2 mg/jam, dan ditingkatkan secara
progresif jika nyeri menetap. TD harus dipantau setiap 30 menit selama infus nitrat: kurangi dosis
jika TD sistolik turun di bawah 100 mmHg. Mungkin ini harus dilakukan di bangsal bedah normal
tetapi lebih aman jika pasien dipindah ke CCU/HDU/ICU.
Opioid: atasi nyeri dengan morfin atau diamorfin iv dalam dosis yang ditingkatkan setiap 2,5 mg
jika tidak mereda dengan nitrat.
Aspirin: beri aspirin 300 mg po atau nasogastrik (atau dengan supositoria jika tidak bisa oral)
Faktor pemicu: atasi setiap faktor yang mungkin telah mencetuskan angina: perdarahan,
hipotensi, hipoksia, sepsis.
Rujuk ke spesialis penyakit dalam

Emboli paru (PE)


Diagnosis
Hipoksia: PE adalah penyebab paling mungkin dari hipoksia akut dengan x-foto toraks bersih
pada pasien pasca bedah. Obstruksi jalan napas (asma atau emfisema) harus disingkirkan.
EKG: inversi gelombang T lebih sering daripada pola S1-Q3-T3 . Biasa ada takikardia.
X-foto toraks. Perubahan-perubahan kecil efusi pleura kecil, atelektasis lazim didapat.
Scan paru: PE minor lebih sukar didiagnosis. Scan isotop paru mungkin membantu, tetapi
kecuali hasilnya normal scan isotop tidak bisa menyingkirkan keberadaan PE.
Spiral CT : ini adalah test diagnostik terbaik untuk PE tetapi belum tersedia secara luas. Ini
merupakan CT scan toraks yang bisa memvisualisasikan arteri pulmonalis lebih akurat dan lebih
cepat daripada angiogram pulmonalis.
Arteriografi pulmonalis: ini masih merupakan tes standar emas untuk PE, namun memakan
waktu dan merepotkan. Arteriografi pulmonalis jarang dibutuhkan pada pasien bedah.
Pada banyak pasien, diagnosis PE ditegakkan dengan dasar probabilitas: risiko yang berkaitan
dengan pembedahan, skenario klinik dan scan paru yang konsisten dengan diagnosis.

Manajemen
O2 : berikan O2 aliran tinggi dengan masker. Pantau pulse oximetry.
Cairan: awali resusitasi cairan seperti untuk pasien hipotensi jika TD rendah. Tekanan vena
yang meninggi adalah khas PE mayor dan pada situasi ini tidak menunjukkan kelebihan cairan.
Diuretik berbahaya.
Antikoagulasi : awali heparin dan warfarin sesudahnya seperti untuk DVT (trombosis vena
dalam). INR target adalah sama.
Trombolisis bisa dipertimbangkan pada pasien yang tak stabil, namun risiko perdarahan mayor
setelah pembedahan dapat menyingkirkannya kecuali pada keadaan khusus.
Caval filter: Kadang-kadang antikoagulasi dikontraindikasi-kan pada pasien bedah. Jika pasien
demikian terbukti memiliki tromboemboli, suatu filter sementara atau permanen dapat
dimasukkan melalui kulit ke dalam vena cava inferior.
Embolektomi emergensi: bisa dilakukan (jarang) untuk PE yang mengancam jiwa

Pneumonia
Diagnosis
Biasanya ditegakkan dengan x-foto toraks. Demam dan sputum purulen biasanya ada. Dapat
dijumpai nyeri pleuritik. Hasil lab menunjukkan infeksi (WCC, CRP) akan meninggi.

Manajemen
Rujuk ke Bab 41.

Pneumotoraks
Nyeri dada (+ dispnea) pada pasien bedah dapat disebabkan oleh pneumotoraks spontan. Lebih
sering pneumotoraks pada pasien bedah disebabkan trauma atau iatrogenik. X-foto toraks
biasanya bersifat diagnostik, namun pneumotoraks kecil bisa luput kecuali jika diambil foto ketika
ekspirasi. Manajemen dibahas pada Bab 41.

Ruptur esofagus
Diagnosis
Ditegakkan dengan x-foto toraks dan riwayat yang khas. X-foto toraks akan memperlihatkan
cairan bersama gas. Udara sering terlihat di mediastinum dan jaringan leher. Bubur barium
bersifat diagnostik.

Manajemen
Puasakan pasien (nil-by mouth).
Akses iv dan resusitasi cairan
Antibiotik: gentamisin 3-5 mg/kg iv (dosis tunggal) plus metronidazol 500 mg iv setiap 8 jam plus
cefotaxime 1 g iv setiap 8 jam.
Pembedahan : manajemen bersama ahli endoskopi untuk dilatasi. Hindari pemasangan pipa
nasogastrik.

Esofagitis dan spasme esofagus

Diagnosis
Anamnesis: biasanya nyeri serupa dengan yang dialami sebelumnya
Singkirkan sebab kardiak jika ragu.
Ex juvantibus dengan antasid dikenal dan aman
Dapat diperberat oleh AINS.

Manajemen
Supresi asam : biasanya terbaik dengan penghambat pompa proton (misal lansoprazol 30 mg,
omeprazol 20 mg). Jika puasa, pantoprazol 40 mg iv (lambat) atau ranitidin 50 mg tds iv.
Prokinetik : metoklopramid atau cisapride (hindari bersama eritromisin) keduanya berguna.

Cardiac Arrest
NTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)

Henti jantung terjadi bila pasien tiba-tiba pingsan dan tidak ada curah jantung. Akses cepat ke
defibrilator dan basic life support memberi harapan pasien bertahan hidup. Henti jantung dapat
terjadi tanpa fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, asistole atau disosiasi elektromekanik (juga
dikenal sebagai PEA (pulseless electrical activity). Berbagai kondisi klinik bisa menjurus ke henti
jantung. Sebagian di antaranya harus dideteksi sebelum terjadi henti jantung.

Henti jantung yang mengancam


Henti jantung dapat terjadi tanpa diantisipasi pada AMI, edema paru atau dengan penyakit
jantung berat yang mendasari. Kebalikannya, henti jantung di bangsal bedah sering didahului
oleh tanda-tanda peringatan seperti hipotensi, takikardia, nyeri dada, dispnea, demam, gelisah
atau bingung. Hipoksemia, hipovolemia, dan sepsis bisa berlanjut ke henti jantung jika tidak
didiagnosis dan dikoreksi dengan cepat. Jangan ragu meminta bantuan tim resusitasi atau tim
ICU. CPR untuk pasien yang sepsis atau hipovolemia biasanya gagal.
Bila pasien diidentifikasi sebagai sakit berat dan memiliki risiko henti jantung, poin-poin berikut
harus cepat dinilai:
Oksigenasi: apakah jalan napas bersih dan apakah pasien bernapas cukup? Berikan O2 aliran
tinggi dan dukungan ventilasi manual jika perlu. Pantau dengan pulse oximetry dan ukur gas
darah. Lihat bagian tentang dispena akut dan gagal napas (Bab 41).
Apakah pasien sadar?: apakah pasien dinarkosis atau oversedasi?
Apakah pasien hipovolemik? Kebanyakan pasien hipotensi harus diberikan cairan sebagai
bagian dari manajemen awal. Hanya jika pasien telah henti jantung cairan iv tidak efektif (bahkan
dapat memperburuk edema paru), namun kecemasan ini jangan sampai menghindari cairan
kepada banyak pasien hipotensi.
Bingung atau tingkat kesadaran menurun harus dianggap sebagai tanda perburukan klinik yang
bermakna dan penyebabnya harus segera dicari.
Singkirkan sepsis. Takipnea atau kegaduhan mental (bingung) bisa merupakan tanda pertama
septikemia pada pasien bedah. Periksa suhu badan. Ambil darah untuk biakan. Pikirkan masalah
intraabdomen: kebocoran empedu, kebocoran anastomosis usus. Berikan antibiotik jika ragu.
Periksa gangguan elektrolit termasuk asidosis metabolik.
Pertimbangkan untuk memindahkan pasien ke ICU.
Obati nyeri. Nyeri menyebabkan pelepasan adrenalin (epinefrin) dan meningkatkan risiko
aritmia jantung.

CPR (cardiopulmonary resuscitation)


Bilamana terjadi henti jantung, tim resusitasi harus selalu dipanggil kecuali jika pasien bukan
untuk CPR. Defibrilasi dini dan basic life support adalah yang terpenting.
Manajemen henti jantung dirinci pada buku ajar lain, namun protokol untuk basic dan advance life
support diberikan pada Gambar 36.1 dan 36.2 pada akhir bab ini.

CPR pada pasien bedah


CPR mempertahankan curah jantung yang rendah ke organ-organ vital bila dilakukan dengan
baik. Ada kalanya, kompresi jantung dengan dada terbuka digunakan untuk pasien dengan PEA
(pulseless electrical activity) setelah trauma tembus, setelah sternotomi atau selama
pembedahan abdomen atau toraks.
Pada fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel tanpa denyut, dua kejutan pertama harus
sebesar 200 J dan setelah itu 360 J. Saat durasi henti jantung meningkat, kemungkinan
defibrilasi berhasil adalah kecil.
Prognosis henti jantung paling baik pada pasien dengan henti jantung yang diketahui orang lain,
dengan CPR oleh seseorang yang terlatih dalam teknik. Bila ada fibrilasi ventrikel dilakukan
defibrilasi dini. Prognosis jelek adalah pasien asistole, penanganan terlambat, dan pasien dengan
penyakit banyak organ.
PEA juga memiliki prognosis jelek, kecuali jika penyebabnya cepat diidentifikasi dan diatasi.
Jika mekanisme yang melandasi adalah hipovolemia, yang dikelola dengan agresif dan
dikerjakan operasi, sebagian dari pasien-pasien ini akan selamat. Sebab-sebab lain dari PEA
meliputi edema paru, infark miokard, tension pneumothorax, tamponade jantung, dan masalah
elektrolit.
Adrenalin (epinefrin)( 1 mg iv) selalu diberikan sepanjang CPR untuk mempertahankan tonus
pembuluh darah dalam upaya mempertahankan sirkulasi otak selama resusitasi. Gunakan
larutan 1:10.000 ( 1 mg/10 ml) intravena, walaupun dosis ganda bisa diberikan melalui pipa
endotrakea jika vena tidak bisa diakses.
NaHCO3 sebaiknya diberikan menurut panduan gas darah, namun biasanya dibutuhkan setelah
15 menit henti jantung dengan dosis 50 ml Bic Nat 8,4% harus diberikan lebih dini jika henti
jantung disebabkan asidosis metabolik.
Periksa latar belakang penyakit untuk mendiagnosis masalah yang melandasi dan membantu
memutuskan apakah resusitasi perlu dilakukan berkepanjangan.
Hentikan resusitasi jika pasien tidak memberi respon terhadap advanced life support. Walaupun
setiap pasien berbeda, dalam praktek resusitasi dari fibrilasi ventrikel tidak mungkin berhasil
setelah 15-20 menit CPR, atau dari asistole atau PEA setelah 10-15 menit CPR. Namun, pada
kasus hipotermia atau overdosis obat anestesi lokal, nasihat ahli dari tim henti jantung atau tim
ICU harus diperoleh jika diindikasikan resusitasi yang berkepanja-ngan.

Pernyataan bukan untuk resusitasi


Banyak pasien di bangsal tidak cocok untuk resusitasi karena prognosis secara keseluruhan
buruk atau karena permintaan pasien. Bila terjadi ini harus dibahas dengan pasien dan/atau
keluarganya dan ditulis dengan jelas pada kartu pasien sehingga tindakan resusitasi tidak
dilakukan jika ada henti jantung.

Anestesi Umum (intubasi)

vbereksperimen dengan memasukan kokain pada saraf tulang belakang Anjing, kemudian ia
melihat Anjing tersebut kehilangan rasa sakit, meskipun disayat dengan pisau.

Eksperimen awal Leonard Corning, membawa perubahan penting di bidang Kedokteran Anestesi
dan sampai saat ini teknik Spinal Anestesi sangat bermamfaat di dunia kesehatan untuk
menolong pasien di kamar operasi.

Spinal Anestesi itu Apa?


Spinal Anestesi adalah pembiusan dengan memasukan obat berupa suntikan jarum halus melalui
tulang belakang (tulang punggung) sehingga pasien tidak mengalami rasa nyeri ketika di sayat
dengan pisau, namun pasien tetap sadar dan bisa bicara dengan petugas dan mengetahui
bahwa dia sedang menjalani operasi.

Apa mamfaat Spinal Anestesi bagi dunia kesehatan ?


Teknik Spinal Anestesi sangat berguna pada pasien yang tidak bisa dilakukan pembiusan umum
dengan teknik Intubasi endotrakeal, seperti pasien yang mengalami gangguan saluran napas,
yaitu asma bronkial, bronkitis alergi dan kelainan anatomi saluran nafas.
( Intubasi endotrakeal adalah salah satu tindakan untuk pembiusan umum)

Jadi dengan adanya teknik Spinal Anestesi, pembiusan tetap dapat dilakukan tanpa pembiusan
umum pada pasien yang mengalami gangguan saluran pernafasan.

Apa Tujuan Spinal Anestesi ?


Spinal Anestesi bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri pada daerah pinggang atas sampai
ujung jari kaki, jika diberi perlakuan atau rangsangan nyeri, pasien tidak akan merasakan sakit,
sebab persyarafan sebagai pengantar rasa sakit telah diblok dengan obat bius pada daerah
punggung.

Kasus apa saja yang bisa di lakukan Spinal Anestesi?


Spinal Anestesi dapat dilakukan pada tindakan Sectio Caesaria, pasien dengan Hernia, pasien
yang akan di operasi dengan patah tulang kaki dan Amputasi anggota gerak bawah.

Apa saja efek negatif atau Komplikasi dari Spinal Anestesi?


Dapat secara luas diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu Komplikasi langsung (di meja operasi),
seperti terjadinya Shock Spinal, Cauda equina cedera, pendarahan, hematoma dan jarum patah
saat melakukan penusukan.

Kemudian komplikasi tidak langsung (di unit perawatan pasca operasi), yaitu berlangsung dalam
waktu enam jam setelah Anestesi Spinal, dimana pasien akan mengalami sakit kepala dan sakit
tulang belakang.

Anda mungkin juga menyukai