Masgiz 2 Individu

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 8

MASALAH GIZI II

STUNTING PADA ANAK

disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas Masalah Gizi 2

Jurusan S1 Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

disusun oleh :

Antonius Ferry Marcellino Martadi

22030116140064

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
2017

BAB I

DEFINISI

Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)


kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar
yang ada. Stunting pada anak merupakan hasil jangka panjang konsumsi kronis
diet berkualitas rendah dengan kombinasi morbiditas penyakit infeksi dan
masalah lingkungan.
Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur 5-18 tahun
didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U)
dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Berdasarkan baku
antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan
berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai
Zscore ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut:
1. Klasifikasi indikator TB/U:
Sangat pendek : Zscore < -3,
Pendek : Zscore -3,0 s/d < -2,0
Normal : Zscore -2,0
2. Klasifikasi indikator IMT/U:
Sangat kurus : Zscore < -3,0
Kurus : Zscore -3,0 s/d < -2,0
Normal : Zscore -2,0 s/d 1,0
Gemuk : Zscore > 1,0 s/d 2,0
Obesitas : Zscore > 2,0
BAB II
PREVALENSI
Prevalensi stunting pada anak usia sekolah ( 5-18 tahun ) menunjukkan
terjadi fluktuasi dari tahun 2001 sampai 2013. Prevalensi tertinggi terjadi pada
tahun 2007 yaitu sebesar 33,4%. Prevalensi pada tahun 2001 sebesar 32%
menurun pada tahun 2004 menjadi 30%. Prevalensi ini menurun kembali pada
tahun 2010 menjadi 28%, namun kembali meningkat pada tahun 2013
meskipun tidak setinggi tahun 2007.

Secara keseluruhan, prevalensi pendek (TB/U) pada anak umur 5-18 tahun
pada anak laki-laki, prevalensi pendek tertinggi pada umur 13 tahun (40,2%),
sedangkan pada anak perempuan pada umur 11 tahun sebesar 35,8%. Ada
kecenderungan prevalensi yang meningkat pada usia 11-17 tahun untuk anak
laki-laki, dan pada usia 11-15 tahun untuk anak perempuan. Hal ini bisa
dikaitkan sebagai dampak dari krisis ekonomi tahun 1998 2000, dimana
sebagian besar anak-anak pada kelompok umur tersebut dilahirkan.
Kondisi sepertiga remaja perempuan menderita pendek sangat
memprihatinkan, karena akan mempengaruhi kondisi janin yang dikandungnya
nanti. Bila ibu hamil pendek, kemungkinan akan melahirkan bayi dengan
panjang lahir kurang dari normal, yang nanti kan menjadi remaja pendek juga.
Kondisi ini berbahaya karena dapat terjadi pendek lintas generasi bila tidak
dilakukan intervensi yang mempunyai daya ungkit.
Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) menunjukan bahwa terjadi peningkatan
prevalensi stunting di Indonesia dari 36,8 % pada tahun 2007 menjadi 37,2 %
pada tahun 2013, artinya 1 dari 3 anak Indonesia tergolong pendek (Riskesdas,
2013). (1)
Secara global, pada tahun 2010 prevalensi anak pendek sebesar 171 juta
anak-anak di mana 167 juta kejadian terjadi di negara berkembang. Prevalensi
stunting pada anak menurun dari 39,7% pada tahun 1990 menjadi 26,7% pada
tahun 2010 . Tren ini diperkirakan akan mencapai 21,8% atau 142 juta pada
tahun 2020. (1)
BAB III
DAMPAK
Stunting pada anak dapat berakibat fatal terhadap produktivitasnya di masa
dewasa. Anak stunting juga mengalami kesulitan dalam belajar membaca
dibandingkan anak normal. Anak yang mengalami stunting memiliki potensi
tumbuh kembang yang tidak sempurna, kemampuan motorik dan produktivitas
rendah, serta memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita penyakit tidak
menular. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang dapat
mengindikasikan adanya gangguan pada organorgan tubuh. Salah satu organ
yang paling cepat mengalami kerusakan pada kondisi gangguan gizi ialah otak.
Otak merupakan pusat syaraf yang sangat berkaitan dengan respon anak untuk
melihat, mendengar, berpikir, serta melakukan gerakan. Kekurangan gizi dapat
mengakibatkan gangguan fungsi otak secara permanen.
INTERVENSI

Intervensi yang dilakulan dalam rangka mempercepat pengurangan stunting


di Asia Tenggara adalah meningkatkan ketersediaan dan akses makanan bergizi
dengan melakukan kolaborasi antara swasta dan sektor publik. Asosiasi Negara-
negara Asia Tenggara ( ASEAN) dapat memainkan peran sebagai fasilitator. Sektor
swasta dapat memproduksi dan memasarkan makanan bergizi, sedangkan sektor
publik menetapkan standar, mempromosikan makanan sehat dan bergizi, dan
menjamin akses makanan bergizi untuk daerah termiskin, misalnya melalui
programprogram jaring pengaman sosial(1)

Intervensi efektif dibutuhkan untuk mengurangi stunting, defisiensi


mikronutrien, dan kematian anak . Jika diterapkan pada skala yang cukup maka
akan mengurangi (semua kematian anak) sekitar seperempat dalam jangka pendek.
Dari intervensi yang tersedia, konseling tentang pemberian ASI dan fortifikasi atau
suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar untuk mengurangi
beban morbiditas dan mortalitas anak. (1)

Peningkatan makanan pendamping ASI melalui strategi seperti penyuluhan


tentang gizi dan konseling gizi, suplemen makanan di daerah rawan pangan secara
substansial dapat mengurangi stunting dan beban terkait penyakit. Intervensi untuk
gizi ibu (suplemen folat besi, beberapa mikronutrien, kalsium, dan energi dan
protein yang seimbang) dapat mengurangi risiko berat badan lahir rendah sebesar
16%. Direkomendasikan pemberian mikronutrien untuk anak-anak seperti
suplementasi vitamin A (dalam periode neonatal dan akhir masa kanak-kanak),
suplemen zinc, suplemen zat besi untuk anak-anak di daerah malaria tidak endemik,
dan promosi garam beryodium. Untuk intervensi pengurangan stunting jangka
panjang, harus dilengkapi dengan perbaikan dalam faktor-faktor penentu gizi,
seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, beban penyakit, dan kurangnya
pemberdayaan perempuan(1)

Intervensi efektif dibutuhkan untuk mengurangi stunting, defisiensi


mikronutrien, dan kematian anak . Jika diterapkan pada skala yang cukup maka
akan mengurangi (semua kematian anak) sekitar seperempat dalam jangka pendek.
Dari intervensi yang tersedia, konseling tentang pemberian ASI dan fortifikasi atau
suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar untuk mengurangi
beban morbiditas dan mortalitas anak. Peningkatan makanan pendamping ASI
melalui strategi seperti penyuluhan tentang gizi dan konseling gizi, suplemen
makanan di daerah rawan pangan secara substansial dapat mengurangi stunting dan
beban terkait penyakit. Intervensi untuk gizi ibu (suplemen folat besi, beberapa
mikronutrien, kalsium, dan energi dan protein yang seimbang) dapat mengurangi
risiko berat badan lahir rendah sebesar 16%. Direkomendasikan pemberian
mikronutrien untuk anak-anak seperti suplementasi vitamin A (dalam periode
neonatal dan akhir masa kanak-kanak), suplemen zinc, suplemen zat besi untuk
anak-anak di daerah malaria tidak endemik, dan promosi garam beryodium. Untuk
intervensi pengurangan stunting jangka panjang, harus dilengkapi dengan
perbaikan dalam faktor-faktor penentu gizi, seperti kemiskinan, pendidikan yang
rendah, beban penyakit, dan kurangnya pemberdayaan perempuan
DAFTAR PUSTAKA

1. Mitra. 2015. Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk


Mencegah Terjadinya Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan). LPPM STIKes
Hang Tuah Pekanbaru.
2. Trihono dan Atmarita. 2015. Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah, dan
Solusinya. Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes.
3. Anisa, Paramitha. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 25 60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok
Tahun 2012. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.
4.

Anda mungkin juga menyukai