Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI VIRUS DENGUE

DEFINISI

Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok
(dengue shock syndrome/DSS). Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak. Gambaran manifestasi klinis yang
bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS
yang dirawat di RS sebagai puncak gunung.

EPIDEMIOLOGI

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts)
kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena
demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot,
dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan
penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang
ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand,
Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. World Health Organization (WHO) memperkirakan
sekitar 2,5 miliar orang di 100 negara endemik DBD, mentransmisikan virus dengue sehingga
50 juta infeksi terjadi setiap tahun dengan 500.000 kasus demam berdarah dengue dan 22.000
kematian berasal dari kalangan anak-anak. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007, menyatakan bahwa prevalensi nasional
demam berdarah dengue (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden)
adalah 0,62%. Sebanyak 12 provinsi mempunyai prevalensi demam berdarah dengue diatas
prevalensi nasional, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Bengkulu, DKI Jakarta, Nusa

20
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat,
Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di
Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1)
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali,
(3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan
sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30
tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita
maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD
telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya
kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun
1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus
dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C)
dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka
waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,
maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus
terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

Peningkatan kasus demam berdarah setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan
dengan tersedianya tempat peindukan bagi nyamuk betina, yaitu bejana yang berisi air jernih.
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue,
yaitu1:

1. Vektor; perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di


lingkungan, dan ruang gerak vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2. Pejamu; adanya penderita di lingkungan sekitar, paparan terhadap nyamuk, usia dan
jenis kelamin.
3. Lingkungan; curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

21
ETIOLOGI

Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm dan
mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-
2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya
seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi
yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.

PATOGENESIS

Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit
dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan
demam berdarah dengue.
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan
hipotesis yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :

22
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody dan
teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat
memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku
pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1
tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue
dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori
berperan penting dalam patofisiologi DBD.

23
Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar imunopatologi
DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan infeksi
sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus
dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui ini saat ini dikenal sebagai
antibody dependent enhancement (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis
DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder
dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan
DSS.
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan masuk
dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan
masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum
tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem
humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan
tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor
koagulasi.
Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:
- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks
imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari
bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in
vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam
monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus
tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit
terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.

24
Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek
sinergistik dari IFN-, TNF- dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di
seluruh tubuh.
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag).
Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T
(CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-) yang mengaktivasi sel lain
termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC.
Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen,
aktivasi platelet, produksi sitokin (TNF, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade
inflamasi.

25
PERJALANAN PENYAKIT

Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik. Bentuk infeksi
yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang parah atau tidak parah.
Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai dengan mendadak, diikuti dengan
tiga fase berikut demam (febrile), kritis, dan penyembuhan (recovery). Meskipun
perkembangan penyakit ini sangat kompleks dalam hal manifestasi klinis-nya,
penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam penyelamatan
hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju prognosis yang baik

26
ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul selama fase yang berbeda.
Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan diharapkan dapat menurunkan
angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat menyelamatkan hidup pasien
dengan infeksi virus dengue. Berikut merupakan fase infeksi virus dengue:

1. Fase febris
Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 7
hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada badan
yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia, eksantem yang
mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien menunjukkan manifestasi
berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual,
dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk membedakan secara klinis penyakit dengue
dengan non-dengue saat-saat awal demam, namun hasil tes torniquet yang positif
lebih mengindikasikan ke arah dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang
ditunjukkan tidak menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat
penting untuk mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam
rangka memahami proses ke arah fase kritis.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa dapat
dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan) pada lokasi injeksi
vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan gastrointestinal juga terjadi pada
fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat membesar dan kenyal setelah beberapa
hari demam. Prediksi yang tepat pada pemeriksaan hitung darah lengkap yaitu
menurunnya kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien akan menunjukkan
kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti masuk sekolah, belajar,
bermain, maupun berinteraksi sosial.
2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya
peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini. Jika
tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler,
dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya, kebanyakan merupakan akibat
dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase kritis.
Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan temperatur turun menjadi 37.5 38 C
atau kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 8. Leukopenia progresif
diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma.
Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda tambahan. Periode

27
kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 48 jam. Tingkat
kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan pada
tekanan darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan kebocoran
plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan intravena secara
dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat dideteksi seteah terapi cairan
intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang berat. Foto toraks posisi lateral
dekubitus atau USG yang memperlihatkan air fluid level pada toraks dan abdomen,
maupun edema pada dinding vesika fellea dapat menjadi deteksi dini. Disamping
kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar, dan hematom pada
daerah injeksi juga sering terjadi.
Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran, maka
sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal ketika syok
terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock), hipoperfusi akan
mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan DIC (disseminated
Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan perdarahan berat,
yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat). Leukosit dapat
meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat.
Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul setelah fase
demam, biasanya pada hari 3 7. Muntah persisten dan nyeri perut berat adalah
indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika memasuki keadaan
syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan mengalami hipotensi postural
selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada membran mukosa atau pada daerah
suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar yang membesar dan kenyal biasanya
dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat dideteksi jika kehilangan plasma
signifikan atau setelah penanganan dengan cairan intravena. Penurunan yang cepat
dan progresif pada hitung trombosit hingga 100.000 sel/mm kubik dan peningkatan
hematokrit diatas normal mungkin menjadi tanda paling awal dari kebocoran plasma.
Hal ini biasanya mendahului kejadian leukopenia (5000 sel/mm kubik).
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien bertahan hidup 24 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari
cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 72 jam berikutnya. Keadaan umum
membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis menjadi stabil.
Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut Pulau Putih diatas Laut Merah.
Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus. Hitung hematokrit akan normal atau

28
rendah karena efek dilusional dari cairan yang tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya
mulai meningkat. Hitung trombosit biasanya secara khas lebih akhir daripada sel
darah putih. Distres respirasi dari efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun
jika terapi intravena diberikan secara berlebihan. Selama fase kritis dan atau
penyembuhan, terapi cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal
atau gagal jantung kongestif.
Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat disimpulkan ke
dalam tabel berikut.

Tabel 1 Fase Infeksi Dengue

1 Fase febris Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan gangguan


neurologis dan kejang demam pada anak-anak yang
lebih muda

2 Fase kritis Syok karena kebocoran plasma; perdarahan yang berat;


kegagalan fungsi organ

3 Fase penyembuhan Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV


berlebihan)

29
Gambar 2 Perjalanan penyakit Dengue

4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma yang
mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau tanpa
distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ berat.
Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan
darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer disertai
perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin dan CRT yang
menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan
nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi perifer. Syok hipotensif
yang berkepanjangan (prolonged) dan hipoksia dapat megakibatkan kegagalan multi-
organ.

30
Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara tekanan
sistolik dengan diastolik) 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda dari
perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau frekuensi nadi yang
meningkat). Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan yang sering
berkomplikasi pada perdarahan besar.
Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi koagulasi, namun
hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar. Ketika perdarahan besar
terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat, dengan kombinasi
trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan kegagalan organ multipel dan
DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa harus syok berkepanjangan pada
pemberian aspirin (asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau kortikosteroid.
Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang beresiko
infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 7 hari ditambah berapapun dari tanda-
tanda dibawah ini:
- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit yang
tinggi atau secaraprogresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok atau
gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik, denyut
nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada syok lanjut,
tekanan darah yang tak terukur).
- Ada perdarahan yang bermakna
- Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi)
- Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut bertambah
hebat, ikterik)
- Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati
atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim, kardiomiopati)

MANIFESTASI KLINIS

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:

1. Silent dengue atau undifferentiated fever


2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama 2 7
hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia, ruam
kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam dengue meliputi demam
tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam biasanya mencapai 39 40 C,
dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5 7 hari, tetapi pada penelitian
selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak
dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan kemerahan dan bercak

31
merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama separuh pertama periode
demam dan kemungkinan makulopapular atau menyerupai demam skarlatina yang
muncul pada hari ke-3 atau ke-4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik
pertama kali (hari sakit ke -3 5) dan berlangsung selama 3 4 hari. Anoreksia dan
obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk,
epistaksis, dan disuria. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 67 77%
kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang bersifat patognomonik. Beberapa
bentuk perdarahan lain dapat menyertai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hitung leukosit biasanya normal saat awal demam kemudian leukopenia hingga akhir
periode demam; hitung trombosit masih normal, demikian komponen faktor
pembekuan. Ada beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum
biokimia (enzim) biasanya normal.
3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4 manifestasi
berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3) hepatomegali 4)
kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniket positif, memar
dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus tersebar di anggota gerak,
muka, aksila pada masa-masa awal demam. Epistaksis dan perdarahan membran
mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi, sedangkan perdarahan saluran pencernaan
hebat lebih jarang lagi kecuali jika renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba
pada awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2 4 cm dibawa arkus costae
kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan dengan parahnya penyakit tapi sering
ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri tekan pada daerah hepar terasa tetapi
biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan
patofisiologis utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah
gangguan hemostasis dan kebocoran plasma (trombositopenia dan peningkatan kadar
hematokrit). Tabel berikut ini memaparan gejala klinis demam dengue dan DBD.

32
Tabel 2 Gejala Klinis demam dengue dan DBD

4. Sindroma Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase kritis


dengue, yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan
frekuensi nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg),
hipotensi, akral dingin dan lembab, serta letargi.

33
Gambar 2 Kelainan Utama pada DBD. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis. Metode
diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi adanya virus,
asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik ini. Setelah onset
penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel darah yang berirkulasi,
serta pada jaringan lain, selama 4 5 hari. Selama tahap pertama dari penyakit, isolasi virus,
asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi. Di akhir fase
akut infeksi, serologi adalah metode pilihan untuk diagnosis.

Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu. Ketika
infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dengan
flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan mengalami respon
antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari antibodi spesifik. IgM
merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi ini terdeteksi 50% pada hari

34
3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3).
Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga
tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir
minggu pertama sakit, kemudian meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa
bulan, bahkan mungkin seumur hidup.

Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi
sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus non-
dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap berbagai
macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang terdeteksi pada kadar
yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan bahkan seumur hidup. Pada
tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan
mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder
dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum daripada uji hemoaglutinin-inhibisi
(uji HI).

Gambar 3 Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang digunakan untuk
mendeteksi adanya infeksi

35
Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan teknologi
kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat kurang senstif
maupun spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih rumit dan
mahal , namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode serologi.

Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah tidak
spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya. Sebelum
hari-5 sakit selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh isolasi virus pada
kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification test (NAAT), atau oleh
deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan kultur sel
membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat mendeteksi
RNA virus dalam 24 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan dan reagen yang
mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk mendeteksi antigen
NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan peralatan yang terbatas dan
mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi antigen dengue cepat (rapid)
dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari satu jam. Saat ini, metode ini
kurang spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi mengenai biaya dan keakuratannya.
Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik untuk infeksi
dengue.

36
Tabel 3 Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik

Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan
munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa pasien
selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak tersedia di
negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen bukanlah masalah
karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.

Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus atau
deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel yang
dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat berminggu-minggu atau
berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah terhadap respon IgM yang terdeteksi atau
sama sekali tidak ada pada beberapa infeksi sekunder, menurukan keakuratan uji IgM
ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA
atau dari uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut. Bagaimana pun, menunggu serum
saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat tidak berguna untuk diagnosis dan
penatalaksanaan.

37
Tabel 4 Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi, selama
periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma, dan sel-sel
mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening, timus, dan
sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman sampel harus
dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang luas dipakai
untuk mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat. RNA bersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya harus
di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain Reaction) lebih
sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 100%. Positif palsu dapat terjadi jika
kontaminasi saat proses amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut
jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgG-virus

38
sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang fokus pada
antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-struktural -1 (NS-1)
menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam pembentukan
kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer maupun sekunder
dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh
flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1 menghasilkan respon imun
humoral yang kuat. Banyak penelitian yang telah fokus menggunakan deteksi NS1
untuk diagnosis dini infeksi virus dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked immunosorbent
assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi spesifik anti rantai-u yang
dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat dengan
IgM anti-dengue yang terperangkap tadi. Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue
monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan
mengubah substat tak berwarna menjadi produk berwarna, yang diukur melalui
spektrometer. Serum, darah, dan saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari
atau lebih setelah onset demam. MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang baik namun hanya jika digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah
onset demam. Banyak penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya
lebih baik performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada
pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau sekarang.
Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau plasma dan sampel
darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer atau sekunder.
Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan
(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat menghambat
terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji HI. Sampel serupa
diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik, dan
kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0 untuk menghilangkan
aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI membutuhkan serum yang
diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit (sudah sembuh), atau dengan
serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan tujuh hari. Respon terhadap
infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi pada serum fase akut (sebelum
hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer antibodi HI kemudian. Selama infeksi
dengue sekunder, antibodi HI meningkat secara cepat, biasanya melebihi 1 : 1280.

39
Nilai yang lebih rendah dari ini umumnya diobservasi pada serum pada masa
penyembuhan dari pasien dengan respon primer.

Gambar 4 Uji Hemaagutinasi-inhibisi

5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur selama fase

akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah dibawah 100.000 per uL
per hari dapat dijumpai pada demam dengue, namun hal ini merupakan tanda yang
tetap pada demam berdarah dengue (DBD). Trombositopenia biasanya dijumpai pada
periode antara hari-3 dan 8 menjelang onset sakit.
Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20% yang
dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda hipovolemia karena
peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.

KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue
yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah kesehatan
masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih
tanda klinis ditambah tanda laboratoris, yaitu trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua
hasil laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan serologi.
Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO tahun 1997 ialah:

40
Kriteria Klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama 2 7
hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi cepat dan
lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris: trombositopenia (100.000/ul atau
kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%).

Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:

- Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan


adalah uji torniket positif atau mudah memar
- Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan. Perdarahan dapat
terjadi di kulit atau pada tempat lain.
- Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat tapi lemah,
tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal, kulit lembab, dan
gelisah
- Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.

PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD
dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien
DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan
penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak
baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

Demam dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan Tirah
baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

41
Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun
demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2
hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan
antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu
pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan
sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air
besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,
apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga
harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada
Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak
perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).

Demam Berdarah Dengue

Ketentuan Umum

Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD
terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of
defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata
dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan
suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma

42
danmerupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat
sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan
penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
danpenurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat
dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit
kelas B dan A.

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik
dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi
perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada 7BD.
Parasetamoi direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera
pada Tabel 5.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah
keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24
jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit.
Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.
Tabel 5 Dosis Parasetamol menurut Umur

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah
waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal

43
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu
(fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).

Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah
jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus
menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum
per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2
ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih
maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan
komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai
sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah
ini.
Tabel 6 Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang

Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada

44
anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang
sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel 7 Kebutuhan Cairan Rumatan

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20) =1900
ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak
konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan
pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat diketahui
dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus
setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika
memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam
intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru
dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok
yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan
nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar
hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan
intravena. Jenis Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:

Kristaloid.

Larutan ringer laktat (RL)


Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang
mengandung dekstran)

Koloid.

Dekstran 40
Plasma
Albumin

45
Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang
berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami
syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi
tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg
BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.

Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat
> 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan
berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak
ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat
teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian
koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian
cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila
kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam)
dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan
CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan
intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya.
Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal
jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal,
diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.

46
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia danasidosis metabolik sering
menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu
diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID,
sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung
plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada
syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan


fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.

Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah,
dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.

47
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah
cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis
tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka
pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di
ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan
khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang
penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien
untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena,
serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

Kriteria Memulangkan Pasien

Tampak perbaikan secara klinis


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Hematokrit stabil
Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
Tiga hari setelah syok teratasi
Nafsu makan membaik

TATALAKSANA ENSEFALOPATI DENGUE

Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus segera
dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa
(5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8
jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan.
Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari,
kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

48
dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan
elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-
obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas
indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat
diberikan asam amino rantai pendek.

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis
DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat dibagi dalam 3 bagan
yaitu

Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)
Tatalaksana kasus DBD, temasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit (Bagan 4)
Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV (Bagan 5)

49
Keterangan Bagan 2

Tatalaksana Kasus Tersangka DBD

Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu orang
tua/anggota keluarga diharapkan untuk waspada jika meiihat tanda/gejala yang mungkin

50
merupakan gejala awal penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi
2-7 hari mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan terasa lemah/anak tampak
lesu.Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu (1) Adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok
(gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus menerus,
kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak darah, maka pasien perlu dirawat
(tatalaksana disesuaikan dengan bagan 3,4,5) (2) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan,
periksa uji tourniquet/uji Rumple Leede/uji bendung dan hitung trombosit;

a. Bila uji tourniquet positif dan/ atau trombosit <_ 100.000/pl, pasien di observasi
(tatalaksana kasus tersangka DBD ) Bagan 3

b. Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit >_ 100.000/pl atau normal , pasien boleh
pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan
minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dll serta diberikan obat antipiretik
golongan parasetamol jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun
pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok yaitu anak menjadi
gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, berak hitam, kencing berkurang; bila perlu
periksa Hb, Ht, dantrombosit. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Hb/Ht
danatau penurunan trombosit, segera kembali ke rumah sakit (lihat Lampiran 1 formulir
untuk orang tua)

51
Keterangan Bagan 3

Tatalaksana Kasus tersangka DBD (Lanjutan Bagan 2)

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD derajat I) atau
disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola
seperti tertera pada Bagan 2

52
Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok
makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirop,
jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu > 38.5C. Pada
anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat
minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCL 0,45% : dekstrosa 5%
dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping itu perlu dilakukan
pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan trombosit setiap 2 jam. Apabila pada tindak lanjut telah
terjadi perbaikan klinis dan laboratorium anak dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht
cenderung naik dan trombosit menurun, maka infus cairan diganti dengan ringer laktat dan
tetesan disesuaikan seperti pada Bagan 3.

53
Keterangan Bagan 4

Tatalaksana Kasus DBD

Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus selama <_ 7 hari tanpa
sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (tersering perdarahan kulit dan mukosa
yaitu petekie atau *mimisan) disertai penurunan jumlah trombosit 100.000/pl,
danpeningkatan kadar hematokrit.

Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 % atau dekstrosa 5%
dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor tanda vital dankadar hematokrit
serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam

1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan
nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht cenderung turun minimal dalam
2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila
dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam
danakhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.

2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila keadaan
klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat (distres pernafasan),
frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, disertai
peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada
perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres pernafasan dan
Ht naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht turun berarti
terdapat perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis
membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad 1.

54
55
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic


Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book
13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h.
329- 333
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting.
Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada
Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13
September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines.
New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro
SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana
Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit
Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro
SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi
pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin
Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/ modules.php?
name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 27 Juni 2006.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1
Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.
16. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2010.

56

Anda mungkin juga menyukai