Pembatalan Perda
Koran SINDO
Minggu, 26 Juni 2016 - 11:20 WIB
Pengaturan ini ditegaskan lagi dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam hal suatu peraturan
perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dengan UU, pengujiannya
dilakukan oleh MA.
Menurut ketentuan Pasal 7 UU 12/2011, perda merupakan salah satu jenis aturan
dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang posisinya berada di bawah UU.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, hanya MA-lah yang
berwenang menguji sebuah perda. Sehingga dari sudut pandang konstitusi,
ketentuan pembatalan perda yang dilakukan oleh mendagri jelas bertentangan
secara vertikal dengan UUD 1945 dan secara horizontal dengan UU 12/2011.
Hak pemda untuk membuat perda dilindungi oleh konstitusi. Ditegaskan dalam Pasal
18 ayat 6 UUD 1945 bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ini artinya, kewenangan pemda dalam membuat perda bersumber
langsung dari konstitusi.
Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa penyusunan perda bukanlah perkara
sederhana. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui, termasuk konsultasi dengan
pemerintah pusat. Perda tidak hanya disusun oleh pemda dan DPRD saja. Ada
banyak stakeholder yang terlibat melalui partisipasi masyarakat. Bahkan ada perda
yang memang diinisiasi oleh kelompok masyarakat sipil. Secara biaya, penyusunan
sebuah perda bisa memakan ratusan juta rupiah dana APBD. Karenanya,
pembatalan sebuah perda harus betul-betul melalui pertimbangan yang matang.
Selain berpotensi melanggar konstitusi, mekanisme pembatalan perda ini juga masih
menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya bagaimana mekanisme yang digunakan
kementerian dalam negeri dalam mengkaji perda-perda yang diduga bermasalah
itu? Apakah pembatalan dilakukan terhadap keseluruhan perda atau hanya
sebagian pasal saja? Bagaimana akibat hukum atas kebijakan yang lahir atas dasar
perda yang dibatalkan? Upaya hukum apa yang tersedia jika pemda dan/atau
masyarakat daerah merasa dirugikan karena pembatalan perda itu?
Tidak ada pengaturan yang lebih lanjut yang dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Minimnya pengaturan memberikan kewenangan yang sangat
luas bagi mendagri. Luasnya diskresi mendagri ini sayangnya tidak diikuti dengan
adanya mekanisme kontrol. Di sinilah rentan terjadi penyalahgunaan wewenang.
Advertisement
Sebutkan dan Jelaskan Asas dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan - Pada
kesempatan yang baik ini kita akan belajar tentang Asas dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan. Peraturan ada yang tertulis dan tidak tertulis. Contoh peraturan tertulis
Contoh peraturan tidak tertulis adalah hukum adat, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang
dilaksanakan dalam praktik penyelenggaraan negara atau konvensi. Peraturan yang
Advertisement
Isinya mengikat secara umum, tidak hanya mengikat orang tertentu, dan
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kedua perundang-undangan adalah segala
peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik tingkat pusat
Menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto ada beberapa asas dalam Peraturan Perundang
Undang undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi memiliki kekuatan atau
Undang undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang undang yang bersifat
Sementara menurut UU RI No. 10 Tahun 2004 pasal 5 menjelaskan beberapa asas dalam
undangan dibuat karena benar benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
pemilihan kata-katanya, serta bahasa hukum yang mudah dimengerti sehingga tidak
Materi muatan yang harus diatur dalam undang undang antara lain
Keuangan negara
e. Materi peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU untuk melaksanakan
peraturan pemerintah
f. Peraturan daerah memuat materi dalam rangka penyelenggaraan otonomi dearah dan tugas
pemerintah
g. Peraturan desa memuat materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa
Pasal 6 ayat (1) No. 10 tahun 2004 menjelaskan materi mautan Peraturan Perundang undangan
Pengayoman
Kekeluargaan
Kenusantaraan
Kemanusiaan
Kebangsaan
Keadilan
Itulah pembahasan kami mengenai Sebutkan dan Jelaskan Asas dan Materi Muatan
penjelasan diatas, untuk itu komentar dalam bentuk kritik, saran atau masukan sangat penulis
harapkan demi kemajuan tulisan ini, baca juga tulisan kami sebelumnya yang membahas
Salah satu kekurangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 adalah tidak dimasukannya Ketetapan
MPR (TAP MPR) dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, DPR dan
Presiden menyempurnakan nya dengan memasukan TAP MPR.
Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan terdiri atas:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/Perppu
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Propinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bunyi Pasal ini berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, yang dalam pasal yang sama
menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundan-undangan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. UU/Perppu
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Sumber artikel : http://hukumdanpolitik.blogspot.com/2011/10/hierarki-peraturan-perundang-
undangan.html
I. Pendahuluan
Landasan Filosofis
dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah berkaitan dengan dasar ideologi negara,
dalam hal ini adalah Pancasila. Suatu rumusan peraturan perundang-undangan harus
mendapatkan pembenaran (rechvaardiging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis.
Pembenaran tersebut harus sesuai dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan dan cita-cita
kesusilaan.
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis mengandung makna bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat
harus berkaitan dengan kondisi atau kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.
Hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis
Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah
oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi
Namun sekarang Teori Aquo mulai di terapkan dalam hukum positif di Indonesia
dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-
undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan pertama kali dipositifkan
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut sebagai UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan 2004). UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan No. 10 Tahun 2004
setidak-tidaknya mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.
Sedangkan baik UU No. 10 Tahun 2004, maupun UU No. 12 Tahun 2011, sama-sama
mengatur mengenai Teori Aquo. Sebelumnya, dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004
mengatur Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
Sedangkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur Teori Aquo pada bagian jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Implikasi Yuridis terhadap konsep PERDA pada Undang-undang No. 10 Tahun 2004
terhadap pembagian PERDA pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 yang memunculkan
adanya hirarkies antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/kota ?
III. Analisa
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan
pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, ruang
lingkup materi muatan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diperluas tidak saja Undang-
Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
- materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan
atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
- terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Dari penjelasan diatas, kita dapat mengetahui dengan adanya hierarkis mengenai PERDA
Provinsi dan PERDA Kabupaten/kota menimbulkan konsekuensi yuridis yaitu :
1. Hilangnya otonomi daerah, yang seharusnya tiap pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksankan otonomi dan tugas
pembantuan sesuai pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan Daerah dan
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai pasal
1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.
Dengan adanya perbedaan pada PERDA Provinsi dan PERDA Kabupaten/kota sesuai Asas
Lex Superiori darogat legi Inferiori maka setiap peraturan daerah yang dibuat harus sesuai
atau berdasarkan peraturan yang lebih tinggi diatasnya, terutama untuk Perda Kabupaten/kota
harus sesuai dengan Perda Provinsi karena Perda provinsi kedudukannya lebih tinggi. Dengan
demikian maka secara eksplisit Otonomi daerah sesuai yang tertuang pada pasal 18 ayat 6
UUD NRI 1945 dan Pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 menjadi hilang, karena yang
seharusnya tiap pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya menjadi tidak
berjalan sebab dalam menjalankan otonomi tersebut dalam hal ini perda kabupaten harus
mengacu dan tidak bertentangan dengan perda provinsi. Sehingga maksud Otonomi daerah
yang tertuang pada pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 dan pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004
menjadi tidak jelas.
2. Tidak adanya hubungan yang jelas antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda
Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau
setara. Karena jika di tinjau dari pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 kududukan Perda Provinsi
dan Perda Kabupaten/kota ini memiliki hubungan hierarkis tetapi pada faktanya banyak
Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/kota yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
Kemudian Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa
peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan
PerUndang-Undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, tetapi pada
faktanya banyak Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/kota yang bertentangan dengan
kepentingan umum yang belum di batalkan oleh pemerintah. Contoh : Perda Pemkot
Surabaya yang masih melegalkan Ndoly ( tempat prostitusi di Surabaya). Bahkan tempat
prostitusi tersebut merupakan salah satu pemasok dana pemasukan terbesar APBD Pemkot
Surabaya.
Pertanyaan Anda ini berkaitan erat dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik.Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
12/2011) berbunyi:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Selain asas-asas tersebut, dalam sebuah materi muatan perundang-undangan harus pula tercermin
asas-asas berikut yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011 yang berbunyi:
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat [2] UU 12/2011, yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan
bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,
asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Melihat dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik harus mengacu pada berbagai asas di atas, termasuk pula dalam pembentukan
sebuah undang-undang. Selain itu, asas-asas tersebut juga menjadi pedoman dalam merumuskan
suatu ketentuan pidana.
Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Proses
dan Teknik Pembentukannya, mengatakan bahwa ketentuan pidana merupakan ketentuan
yang tidak mutlakada dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perumusan ketentuan
pidana tersebut tergantung pada masing-masing peraturan perundang-undangan. Namun demikian,
peraturan perundang-undangan yang dapat mencantumkan Ketentuan Pidana hanya Undang-
Undang dan Peraturan Daerah (hal. 99). Kata dapat yang digunakan oleh Maria Farida tersebut
mengindikasikan bahwa undang-undang tidak harus selalu ada ketentuan pidana di dalamnya.
Pendapat Maria Farida tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 yang
mengatakan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 tersebut mempertegas bahwa di dalam undang-undang memang
mencantumkan ketentuan sanksi di dalamnya. Untuk menjawab pertanyaan Anda, di sepanjang
penelusuran kami, sanksi biasanya diatur di bab khusus dengan judul Sanksi atau dapat pula
dengan judul Ketentuan Pidana.
Pada sisi lain, ada pula undang-undang yang tidak memuat sanksi pidana di dalamnya atau tidak
dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut, seperti pada Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
UU HAM hanya mengatur hak, kewajiban, larangan atau pembatasan. Meskipun demikian, tidak
berarti undang-undang itu tidak sah atau tidak dijalankan dengan baik. Setiap undang-undang yang
dibuat sudah selayaknya memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik dan harus tercermin dalam materi muatan undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat
(1) UU 12/2011 di atas.
Dalam Penjelasan Umum UU HAM disebutkan bahwa Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia
ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi
manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi
manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari penjelasan tersebut kita dapat ketahui bahwa UU HAM hanya mengatur ketentuan pokok-pokok
mengenai HAM secara umum saja, untuk sanksi dapat diberlakukan peraturan perundang-undangan
lain yang sesuai konteks tindak pidana pelanggaran HAM apa yang dilakukan, misalnya dengan
mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah kami jelaskan dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya suatu undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya harus
memperhatikan berbagai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, termasuk
pula dalam merumuskan ketentuan mengenai sanksi. Namun, ada undang-undang yang tidak
mengatur mengenai sanksi atau ketentuan sanksi tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit oleh
karena sanksi itu telah disebutkan dalam peraturan lainnya yang masih terkait dengan undang-
undang tersebut. Akan tetapi, bukan berarti keberlakuan undang-undang tersebut menjadi tidak sah
atau tidak bisa dijalankan dengan baik.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
b. Undang undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula.
a. asas yang berlaku dalam pancasila selaku asas asas dalam hukum umum bagi
peraturan perundang undangan, memiliki pengertian bahwa pancasila selaku cita
hukum, yang juga merupakan norma fundamental, sebagai norma tertinggi bagi
berlakunya semua norma norma hukum yang berlaku pada kehidupan rakyat
Indonesia.
b. asas asas Negara berdasar atas hukum selaku asas asas hukum umum bagi
perundang undangan, memiliki pengertian bahwa asas pemerintahan yang diatur
dengan atau berdasarkan undang undang.
a. Peraturan harus jelas dan mudah diakses bagi orang yang dimaksudkan,
walaupun masih tetap menimbulkan masalah besar. Hukum bekerja melalui badan
perantara dan hal tersebut tidak berarti bahwa pembuat hukum harus membuat
hukum sejelas mungkin.
d. Aspek yang terpenting dari sebuah hukum justru terdapat di luar hukum
tersebut, yaitu terkait dengan implementasi hukum dan kebijakan yang
dirumuskan di dalamnya
Kemudian Lon L. Fuller berpendapat bahwa hukum adalah alat untuk mengatur
masyarakat. Tugas pembentuk peraturan perundang-undangan akan berhasil
apabila ia sampai pada tingkat dimana keseluruhan persayaratan telah terpenuhi.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut pandangan Lon
L. Fuller, yaitu:
a. peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya, kemudian dituangkan dalam
aturan-aturan yang berlaku umum
b. aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi
obyek pengaturan aturan-aturan tersebut
c. tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non-
retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk
berlaku bagi waktu yang akan datang
f. tidak boleh mengandung beban yang melebihi apa yang dapat dilakukan
h. harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang dindangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari
c. masalah kelembagaan
Menurut Montesquie dalam bukunya LEspirit des lois menjelaskan, bahwa dalam
pembentukan perundang-undangan hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas, antara
lain :
f. Gaya harus padat dan mudah; kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorikal
hanya tambahan yang membingungkan.
g. Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan tidak relatif,
dengan maksud meminimalisasi kesempatan untuk perbedaan pendapat dari
individu
h. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual,
menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik
i. Hukum hendaknya tidak halus, karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan
pengertian yang sedang ; bahasa hukum bukan latihan logika, melainkan untuk
pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata.
produk-produk hukum yang dibuat harus dapat diterima oleh masyarakat secara
wajar maupun spontan
c. Landasan filosofis. Landasan ini berkaitan dengan cita hukum, dimana semua
masyarakat mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapka dari hukum. Cita
hukum tersebut tumbuh dari system nilai mereka mengenai baik ataupun
buruknya, pandangan terhadap hubungan individual dan kemasyarakatan dan
sebagainya. Kesemuanya merupakan bersifat filosofis, artinya menyangkut
pandangan mengenai hakikat sesuatu
d. Mencegah kelangkaan sumber daya publik akibat pemakaian yang tidak efisien
Asas ini menghendaki agar suatu organ dapat memberi penjelasan, bahwa
pembuatan suatu peraturan tertentu memang berada dalam kewenangannya. Hal
ini sekaligus pula member alasan bagi organ pembuat undang-undang untuk tidak
melimpahkan kewenangannya tersebut kepada organ lain. Di Indonesia, presiden
dalam melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya, dapat membentuk
peraturan pemerintah. Dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden juga dapat
membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), namun
tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan dalam undang-undang yang
dilaksanakan.
Aspek lain dari asas organ/lembaga yang tepat, adalah pembagian kewenangan
antara organ pusat dan daerah. Peraturan-peraturan di tingkat pusat umunya,
banyak memuat kebebasan dalam pembuatan kebijakan, termasuk kewenangan
yang diberikan bagi organ daerah untuk membuat peraturan daerah, asalkan tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternative atau alternative-alternatif lain
untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan. Asas ini berkaitan pula dengan
asas tujuan yang jelas. Apabila tujuan telah dapat dirumuskan secara baik, maka
persoalan berikut yang harus dijawab adalah apakah mesti dibuat dengan
peraturan perundang-undangan tertentu.
Dalam asas ini, memuat bagaimana bentuk usaha dari banyak pihak untuk
menegakkan peraturan peundang-undangan yang bersangkutan. Tidak ada
gunanya peratuan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. Selain
pemerintah, masyarakat juga berharap adanya jaminan (garantie) akan
tercapainya hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu peraturan perundang-
undangan. Termasuk pula mengenai aspek pembiayaan dan konsekuensi biaya
yang akan ditimbulkan ketika suattu undang-undang akan dilaksanakan, yang
tidak hanya terkait dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
melainkan pula dalam hal undang-undag akan dilaksanakan atau ditegakkan
nantinya.
a. Asas Terminologi dan Sistematika yang Jelas (het beginsel van duidelijke
terminologie en duidelijke systematiek)
b. Adanya hubungan kejelasan yang diinginkan dengan materi dan keahlian pihak-
pihak yang menjadi sasaran peraturan yang bersangkutan
c. Asas Perlakuan yang Sama dalam Hukum (equality before the law/het rechts
gelijkheidsbeginsel)
Peraturan tidak boleh ditujukan kepada suatu kelompok tertentu yang dipilih
semaunya dan juga tidak diperbolehkan adanya ketidaksamaan (diskriminasi),
serta tidak boleh timbul adanya ketidaksamaan (kontradiksi), karena hal tersebut
akan menimbulkan adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan
hokum.
e. Asas Pelaksanaan Hukum Sesuai dengan Keadaan Individual (het beginsel van
de individuele rechtsbedeling)
Asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal, atau
keadaan-keadaan tertentu sehingga dengan demikian peraturan perundang-
undagan dapat juga memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum,
juga bagi masalah yang bersifat khusus. Namun sebaiknya jika asas ini diletakkan
pada pihak-pihak yang melaksanakan/menegakkan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan itu sendiri.
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu bahwa setiap
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh pejabat yang berwenang
c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan materi
muatan yang tepat. Dalam penentuan materi muatan, juga disebutkan dalam Pasal
6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang terdiri dari asas pengayoman,
kemanusiaa, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika,
keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum, dan/keseimbangan, keserasian dan keselarasan, serta asas lain
sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
Menurut Jimly Asshiddiqie, asas materiil yang telah disebutkan sebelumnya, masih
terdapat kekurangan. Salah satu prinsip yang paling penting seharusnya menjadi
paradigma pokok setiap peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
adalah Pancasila. Jika dalam peraturan tersebut sudah tercermin adanya sila
dalam pancasila, maka hukum Indonesia akan benar-benar mencerminkan nilai-
nilai pancasila. Namun untuk mengantisipasi terjadinya konflik/pertarungan
kepentingan, maka lembaga pengujian peraturan perundang-undangan
diharapkan dapat berperan serta mengatasi konflik tersebut.
Dengan adanya banyak pemikiran mengenai konflik yang akan timbul seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka amat beralasan apabila penempatan asas-asas
pembentuk peraturan perundang-undangan yang baik dalam hukum positif
(normative-nya) cukup dengan rumusan umum dalam batang tubuh undang-
undang, sedangkan ilustrasi asas-asas pembentukan pertaturan perundang-
undangan yang baik, dimuat dalam bagian penjelasan undang-undang. Dengan
demikian akan lebih membuka kemungkinan bagi pengembangan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik itu sendiri, serta tidak
akan menimbulkan konsekuensi hukum dalam proses pembentukan undang-
undang, karena asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
tidak dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan undang-undang. Akan tetapi,
menjadi wajib dan bersifat limitative, sebagaimana telah dikemukakan, karena
asas asas hukum tidak sama dengan norma hukum. Namun tidak berarti setiap
pembentukan undang-undang dapat dilakukan tanpa memerhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana
dikemukakan para ahli.
D. Fungsi asas asa Pembentukan Peraturan Perundang undangan yang Baik dalam
Pembentukan Peraturan Perundang undangan
Menurut Herlien Budiono, asas hukum bertujuan untuk memberikan arahan yang
layak/pantas (rechtmatig) dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-
aturan hukum. Disamping itu, asas-asas hukum berfungs sebagai pedoman atau
arahan orientasi berdasarkan mana hukum dapat dan boleh dijalankan.
Sedangkan menurut pandangan Yusril Ihza Mahendra, asas-asas hukum dan asas-
asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, merupakan condition
sine quanon bagi berhasilnya suatu peraturan perundang-undangan yang dapat
diterima dan berlaku di masyarakat, Karena telah mendapatkan dukungan
landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Dijadikannya asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik sebagai pedoman dalam pembentukan
undang-undang, yang akan dapat memberikan jaminan dalam perumusan norma
hukum, yang selanjutnya akan diformulasikan dalam materi muatan undang-
undang, sehingga tujuan pembentukan undang-undang dan kualitas dari undang-
undang yang dibentuk dapat dicapai.
Jika dihubungkan dengan materi yang akan penulis bahas dalam skripsi ini
yaitu mengenai peranan bagian hukum pemerintah daerah dalam pembuatan
peraturan daerah, maka berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2004 bahwa yang
membuat dan menetapkan peraturan daerah adalah Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan DPRD, harus diingat bahwa dalam membuat peraturan
daerah Kepala Daerah mempunyai perangkat-perangkat sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah, salah satunya adalah bagian hukum yang
mempunyai tugas membantu Kepala Daerah dalam hal ini di bidang hukum yang
salah satu tugasnya membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) apabila
memang Ranperda tersebut dibutuhkan untuk kemudian hasilnya di bawa oleh
Kepala daerah dan dibahas bersama DPRD.
(1) Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/
Walikota.
(2) Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang
sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh
DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau
Bupati/ Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
(3) Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur
atau Bupati/ Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
PENGAWASAN PREVENTIF SEBAGAI BENTUKPENGUJIAN
PERATURAN DAERAH[1]
Abstract
Revocation of regulation has created legal uncertainty associated with the type
of law that gives the imposition of regional taxes and levies and the type of lawthat gives certain
rights to the public. Local Regulations as delegatedlegislation as the work of the
Regional Head and parliament can not be undoneby unilateral decision of the central
government for granted.
A. Pendahuluan
Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disingkat
UUDNRI) Tahun 1945 menyatakan bahwa: Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik. Hal ini berarti bentuk negara kesatuan berkonsekuensi bahwa hanya ada satu
pemerintahan nasional yang sah dan satu hukum nasional yang sah yang berlaku di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia[3]. Dalam konteks hubungan antara pusat dengan daerah,
sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah bergeser dari sistem yang sentralistik menjadi
sistem desentralisasi yang mengedepankan asas otonomi.
B. Pembahasan
Pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja para hakim
dalam mewujudkan rasa keadilan.Kegiatan pengawasan ditujukan semata-mata hanya untuk
menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, efektif dan berorientasi pada pencapaian
visi dan misi organisasi. Dengan adanya pengawasan diharapkan mampu untuk (1)
menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan,
hambatan dan ketidak adilan, (2) mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan,
penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (3) mendapatkan cara-cara
yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
secara efektif.[10]
Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonomi, yaitu
pengawasan preventif (preventief toetzicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht).
Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum dan tindakan tertentu organ pemerintahan
daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang mengesahkan, sedangkan
pengawasan represif adalah wewenang pembatalanatau penangguhan. Wewenang
pembatalan Perda yang merupakan pengawasan represif dapat dikategorikan
sebagai executive review dimana Pemerintah melakukan pengujian terhadap Perda, dengan
menggunakan indikator pengujian berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki
hirarki lebih tinggi dari Perda, di antaranya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri serta indikator kepentingan umum. Analisa
hukum terhadap pembatalan Perda ini dilakukan dengan menggunakan indikator kepastian
hukum pembatalan Peraturan Daerah, eksistensi pembatalan Peraturan Daerah oleh
pemerintah, dan bentuk aturan hukum pembatalan Perda.
Berdasarkan Pasal 145 UU Pemda ada kewajiban mengirimkan semua Perda yang
sudah ditandatangani ke Kemendagri. Dalam dua bulan, Kemendagri seharusnya me-review.
Kalau misalnya Perda tidak sesuai peraturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan.
Kalau kemudian penyelenggara pemerintahan di daerah dan DPRD tidak puas,
bisa mengajukan keberatan ke MA. Kemudian yang kedua, MA melalui mekanisme judicial
review. Ketentuan UU Pemda yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk mereview Perda, tidak berarti menutup peluang MA untuk melakukan reviewPerda.
UU Pemda hanya memberikan kriteria untuk excecutive review, bukan berarti judicial
review jadi ditutup. Karena untuk mereview Perda bisa mengaju pada peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan MA.
Pengaturan secara yuridis normatif tentang kontrol norma hukum melalui hak menguji
materiil (judicial review) terhadap undang-undang di Indonesia, barulah secara tegas diatur
setelah perubahan UUDNRI Tahun 1945 pada tahun 2000 yang kewenangannya diserahkan
kepada MK. Sejak amandemen UUDNRI Tahun 1945, MK diberikan wewenang melakukan
pengujian secara materiil atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
sedangkan MA berwenang melakukan pengujian secara materiil atas peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal mana nampak secara
jelas dalam Pasal 24C ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 (tentang wewenang MK) dan Pasal 11
ayat (2.c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LN RI
Tahun 2004 Nomor 8, TLN Republik Indonesia Nomor 4358), Pasal 31 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (LNRI Tahun 2004 Nomor 9, TLN RI Nomor 4359).
Kalau dikatakan Perda sebagai produk legislatif, maka menjadi permasalahan apakah
Pemerintah berwenang untuk melakukan pembatalan Perda? Menurut penulis yang
berwenang untuk membatalkan Perda adalah MA.Mengapa dikatakan bahwa wewenang
pembatalan Perda merupakan wewenang MA? Karena sebagai negara yang menganut
sistem pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka tugas
lembaga eksekutif hanyalah menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan perintah
peraturan perundang-undangan, lembaga legislatif bertugas menetapkan undang-undang,
sedangkan tugas lembaga yudikatif adalah melaksanakan fungsi mengadili. Dengan demikian
maka proses pembatalan Perda merupakan wewenang dari MA sebagai puncak tertinggi
kekuasaan pengadilan. Sebagai konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan,
maka pengujian terhadap Perda apabila bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi seyogyanya merupakan wewenang MA sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Karena Hal ini berarti pembatalan Perda sebagai
pengawasan represif yang merupakan wewenang Pemerintah bertentangan
dengan UUDNRI 1945. Untuk memberikan penyeragaman dalam wewenang pengujian
peraturan perundang-undangan, maka pembatalan Perda harus dilakukan oleh MA.
Pembatalan Perda yang terkait dengan materi muatan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah atau menampung kondisi khusus daerah seyogyanya tidak dapat
dibatalkan oleh Pemerintah. Dalam hal tertentu, materi muatan ini tentunya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsekuensi hukum
dengan adanya materi muatan ini, maka adalah tidak logis apabila Pemerintah melakukan
pembatalan Perda hanya didasarkan pada tidak adanya pengaturan materi muatan Perda
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adanya materi muatan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah atau menampung kondisi khusus daerah
sudah pasti tidak memiliki pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yang lebih mengedepankan norma hukum abstrak-umum, sedangkan materi muatan
Perda dimaksud merupakan materi muatan Perda lebih mengedepankan norma hukum
konkrit-umum.
Menulis penulis, negara tidak lagi dapat mengintervensi pelaksanaan urusan yang
telah diserahkan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah. Dengan adanya
pembatalan Perda, maka negara telah mengintervensi penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Negara tidak lagi berhak untuk membatalkan Perda yang dibentuk. Dalam kaitan
dengan hubungan koordinasi, maka negara dapat melakukan koordinasi terkait dengan
pembentukan Perda. Koordinasi tersebut dapat diwujudkan melalui pengawasan preventif.
1. Kesimpulan
2. Saran
Bentuk pengawasan :
1) Pengawasan umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap segala kegiatan pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum
terhadap pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan
Gubernur/Bupati/Walikota atau kepala daerah sebagai wakil pemerintah di daerah
yang bersangkutan.
Mekanisme Pengawasan :
Mekanisme pengawasan terhadap perda yang dianggap bermasalah oleh pemerintah pusat
itu dengan cara, apabila ditemukanya suatu perda yang dianggap bermasalah maka
mekanisme pembatalan perda oleh Presiden dilakukan melalui proses pengajuan
rekomendasi pembatalan perda dari Menteri Keuangan kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri. Setelah melakukan evaluasi, Mendagri mengajukan permohonan pembatalan
kepada Presiden hal ini berdasarkan Pasal 158 UU No. 28 Tahun 2009,.
Diposting oleh ArissyaErmaya di 04.47
Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang undangan sesuai ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang
dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang.
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan.
d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi
c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesiadan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila.
f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh
berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras,
golongan, gender atau status sosial.
i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Lingkungan kuasa tempat (ruim tege bied) yang menunjukan tempat berlakunya hukum atau
perundang-undangan. Apakah sesuatu ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku
untuk seluruh wilayah Negara atau hanya sebagian wilayah Negara (Daerah Tingkat I tertentu atau
Daerah Tingkat II tertentu saja).
Seperti dibatasi oleh ruang atau tempat, untuk suatu wilayah Negara atau hanya berlaku untuk
suatu bagian dari wilayah Negara, serta suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu.
Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied) yaitu, menyangkut masalah atau persoalan yang
diatur, misalnya, apakah mengatur persoalan perdata atau mengatur persoalan publik, lebih sempit
lagi, apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan kewarganegaraan, Materi atau
persoalan tertentu yang diatur, menunjukan lingkup masalah atau persoalan yang diatur, persoalan
public atau perivat, persoalan perdata atau pidana dan lain sebagainya.
C. Orang (personengebied)
Lingkungan kuasa orang (personengebied) yaitu, menyangkut orang yang diatur, apakah
berlaku untuk setiap penduduk ataukah hanya untuk pegawai negeri saja misalnya, ataukah hanya
untuk kalangan anggota ABRI saja dan lain sebagainya.
Hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk, adanya
pembatasan mengenai orangnya, tetntang pegawai negeri, tentang pidana militer, tentang pajak
orang asing.
Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebield) yang menunjukan sejak kapan dan sampai kapan
berlakunya sesuatu ketentuan hukum dan perundang-undangan.
Kapan suatu peraturan perundang-undangan berlaku, berlaku untuk suatu masa tertentu
atau untuk masa tidak tertentu, berlaku sejak ditetapkan atau berlaku surut.
Dalam rangka menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan dan
kemandirian dalam mengatur urusan pemerintahan daerah. Masing-masing daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya berhak untuk
membuat kebijakan baik dalam rangka peningkatan pelayanan maupun dalam rangka meningkatan
peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah. Salah satu unsur penting dalam implementasi
proses tersebut adalah melalui pembentukan peraturan daerah.
Peraturan Daerah atau yang sering disingkat dengan Perda merupakan instrumen yang strategis
dalam mencapai tujuan desentralisasi. Peranan perda dalam otonomi daerah meliputi:
1. Perda sebagai instrumen kebijakan dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas dan
bertanggungjawab.
2. Perda merupakan pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3. Penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat daerah.
4. Sebagai alat transformasi perubahan daerah.
5. Harmonisator berbagai kepentingan.
Peraturan Daerah yang disebut dengan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah. Jenis peraturan daerah termasuk kedalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Baca juga : Sistem Pemerintahan.
Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk
oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah
Provinsi.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Perda memiliki muatan materi
sebagai berikut.
Muatan peraturan daerah mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan
(asas positivisme dan perspektif);
Memperhatikan asas lex specialis derogat legi generalis (debijzondere wet gaat voor de
algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat
umum.
Memperhatikan asas lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor de lagere wet),
yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan ketentuan yang lebih rendah.
Memperhatikan asas lex posterior derogate legi priori (de laterewet gaat voor de eerdere), yakni
ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu. Baca juga : Asas
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara.
Dalam UU Pemerintahan Daerah, peraturan daerah dapat memuat ketentuan mengenai pembebanan
biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu Perda dapat memuat ancaman pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain sanksi diatas, Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada
keadaan semula dan sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Itulah beberapa hal terkait peraturan daerah yang dapat ditulis oleh pemerintah.net dari berbagai
bahan yang tersedia. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Download :