Anda di halaman 1dari 48

Menguji Kewenangan

Pembatalan Perda
Koran SINDO
Minggu, 26 Juni 2016 - 11:20 WIB
Pengaturan ini ditegaskan lagi dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam hal suatu peraturan
perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dengan UU, pengujiannya
dilakukan oleh MA.

Menurut ketentuan Pasal 7 UU 12/2011, perda merupakan salah satu jenis aturan
dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang posisinya berada di bawah UU.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, hanya MA-lah yang
berwenang menguji sebuah perda. Sehingga dari sudut pandang konstitusi,
ketentuan pembatalan perda yang dilakukan oleh mendagri jelas bertentangan
secara vertikal dengan UUD 1945 dan secara horizontal dengan UU 12/2011.

Hak pemda untuk membuat perda dilindungi oleh konstitusi. Ditegaskan dalam Pasal
18 ayat 6 UUD 1945 bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Ini artinya, kewenangan pemda dalam membuat perda bersumber
langsung dari konstitusi.

Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa penyusunan perda bukanlah perkara
sederhana. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui, termasuk konsultasi dengan
pemerintah pusat. Perda tidak hanya disusun oleh pemda dan DPRD saja. Ada
banyak stakeholder yang terlibat melalui partisipasi masyarakat. Bahkan ada perda
yang memang diinisiasi oleh kelompok masyarakat sipil. Secara biaya, penyusunan
sebuah perda bisa memakan ratusan juta rupiah dana APBD. Karenanya,
pembatalan sebuah perda harus betul-betul melalui pertimbangan yang matang.

Selain berpotensi melanggar konstitusi, mekanisme pembatalan perda ini juga masih
menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya bagaimana mekanisme yang digunakan
kementerian dalam negeri dalam mengkaji perda-perda yang diduga bermasalah
itu? Apakah pembatalan dilakukan terhadap keseluruhan perda atau hanya
sebagian pasal saja? Bagaimana akibat hukum atas kebijakan yang lahir atas dasar
perda yang dibatalkan? Upaya hukum apa yang tersedia jika pemda dan/atau
masyarakat daerah merasa dirugikan karena pembatalan perda itu?

Tidak ada pengaturan yang lebih lanjut yang dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Minimnya pengaturan memberikan kewenangan yang sangat
luas bagi mendagri. Luasnya diskresi mendagri ini sayangnya tidak diikuti dengan
adanya mekanisme kontrol. Di sinilah rentan terjadi penyalahgunaan wewenang.

Ke depan, perdebatan ini bisa dibawa ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Pihak-


pihak yang merasa dirugikan dengan kewenangan pembatalan perda ini, bisa
mengajukan judicial review atas UU Pemda. MK akan memberikan kata final atas
pertanyaan-pertanyaan terkait konstitusionalitas kewenangan pemerintah untuk
membatalkan
SUDUT HUKUM | Ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2006
tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah : dinyatakan bahwa
produk hukum daerah bersifat Pengaturan dan penetapan. Produk hukum
daerah yang bersifat pengaturan terdiri dari Peraturan Daerah atau dengan
sebutan lain. Peraturan Kepala Daerah; dan Peraturan Bersama Kepala
Daerah. Sedangkan produk yang bersifat penetapan terdiri dari Keputusan
Kepala Daerah; dan institusi Kepala Daerah. Keputusan Kepala Daerah bersifat
produk hukum penetapan masuk dalam lapangan Peraturan kebijakan, dan
atau beschinkking.
Peraturan Daerah baik daerah Propinsi, Kabupaten/Kota merupakan produk
hukum DPRD yang ditetapkan kepala daerah setelah mendapatkan persetujuan
bersama dan beralu lebih sempit terbatas pada daerah yang bersangkutan. Pasal 12
undangundang Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah
serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 diatas, materi muatan peraturan daerah terdiri


atas empat (4) bagian yaitu:
1. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah ;
2. Dalam rangka Tugas Pembantuan ;
3. Dalam kaitannya dengan kodisi khusus di daerah ;
4. Pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi baik
dilingkungan daerah yang bersangkutan maupun Peraturan Perundangundangan yang berskala
nasional.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
juga mengatur mengenai ini, Pasal 13 dan Pasal 14 ada 16 urusan pemerintahan
baik bersifat wajib maupun pilihan untuk menjadikan dasar penetuan materi
muatan Peraturan Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Dalam
hubungan Keuangan, Pelayanan Umum, dan Pemanfaatan Sumber D aya Alam
(SDA) antar Pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15, 16, 17
dan 18 dalam undang-undang ini juga dapat dijadikan sumber materi dalam muatan
Perda.

Sebutkan dan Jelaskan Asas dan Materi Muatan Peraturan Perundang-


Undangan

Diposting oleh bemft inisnu di Jumat, September 30, 2016

Advertisement

Sebutkan dan Jelaskan Asas dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan - Pada

kesempatan yang baik ini kita akan belajar tentang Asas dan Materi Muatan Peraturan

Perundang-Undangan. Peraturan ada yang tertulis dan tidak tertulis. Contoh peraturan tertulis

undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan sebagainya.

Contoh peraturan tidak tertulis adalah hukum adat, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang
dilaksanakan dalam praktik penyelenggaraan negara atau konvensi. Peraturan yang

tertulis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Advertisement

Keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwewenang,

Isinya mengikat secara umum, tidak hanya mengikat orang tertentu, dan

Bersifat abstrak (mengatur yang belum terjadi).

Ferry Edwar dan Fockema Andreae menyatakan, bahwa perundang-undangan (legislation,

wetgeving atau gezetgebung) mempunyai dua pengertian, pertama perundang-undangan

merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan perundang-undangan negara,

baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kedua perundang-undangan adalah segala

peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik tingkat pusat

maupun di tingkat daerah.

Berikut penjelasan mengenai Asas dan Materi Muatan Peraturan


Perundang-Undangan :

1. Asas Peraturan Perundang-Undangan

Menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto ada beberapa asas dalam Peraturan Perundang

undangan antara lain :

Undang undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi memiliki kekuatan atau

kedudukan yang lebih tinggi pula.

Undang undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang undang yang bersifat

umum (lex specialis derogate lex generalis)

Undang undang tidak dapat diganggu gugat


Sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan

materiil bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan atau pelestarian.

Sementara menurut UU RI No. 10 Tahun 2004 pasal 5 menjelaskan beberapa asas dalam

pembentukan Peraturan Perundang - undangan antara lain:

Memiliki kejelasan tujuan

Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat atau yang berwenang

Kesesuaian antara jenis dan materi muatan

Dapat dilaksanakan berdasarkan perhitungan efektivitasnya dalam kehidupan masyarakat

baik filosofis, yuridis, maupun sosiologis.

Kedayaguanaan dan kehasilgunaanya, artinya pembentukan Peraturan Perundang

undangan dibuat karena benar benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera.

Kejelasan rumusan yang harus memenuhi aspek teknis penyusunanya, sistematikanya,

pemilihan kata-katanya, serta bahasa hukum yang mudah dimengerti sehingga tidak

menimbulkan berbagai persepsi dalam pelaksanaanya.

Keterbukaan dalam prosesnya.

2. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

Materi muatan yang harus diatur dalam undang undang antara lain

a. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi

Hak asasi manusia

Hak dan kewajiban warga negara

Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara

Wilayah negara dan pembagian daerah

Kewarganegaraan dan kependudukan

Keuangan negara

b. Diperintahkan oleh suatu undang undang untuk diatur dengan UU

c. Materi Perpu dama dengan materi UU

d. Materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan UU

e. Materi peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU untuk melaksanakan

peraturan pemerintah

f. Peraturan daerah memuat materi dalam rangka penyelenggaraan otonomi dearah dan tugas

pemerintah
g. Peraturan desa memuat materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa

Pasal 6 ayat (1) No. 10 tahun 2004 menjelaskan materi mautan Peraturan Perundang undangan

harus mengandung asas berikut ini

Pengayoman

Kekeluargaan

Kenusantaraan

Bhineka Tunggal Ika

Kemanusiaan

Kebangsaan

Keadilan

Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah

Ketertiban dan kepastian hukum

Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan

Itulah pembahasan kami mengenai Sebutkan dan Jelaskan Asas dan Materi Muatan

Peraturan Perundang-Undangan. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam

penjelasan diatas, untuk itu komentar dalam bentuk kritik, saran atau masukan sangat penulis

harapkan demi kemajuan tulisan ini, baca juga tulisan kami sebelumnya yang membahas

tentang Jelaskan Hakikat dan Landasan Berlakunya Peraturan Perundang-Undangan.

semoga dapat bermanfaat.


Rumusan Ketentuan Pidana dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
LAST_UPDATED2Rabu, 02 Juli 2014 08:54
Rumusan Ketentuan Pidana dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Wisnu Indaryanto [1]

Suatu Peraturan Perundang-undangan, baik itu Undang-Undang di


tingkat Pemerintah Pusat maupun Peraturan Daerah di tingkat Provinsi dan
Kapbupaten/Kota harus memiliki kerangka yang baik. Kerangka Peraturan
Perundang-undangan tersebut sebagai berikut:
a. Judul;
b. Pembukaan;
c. Batang Tubuh;
d. Penutup;
e. Penjelasan (jika diperlukan); dan
f. pidana pokok, terdiri atas:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda; dan
5. pida tutupan
g. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu; dan
3. pengumuman putusan hakim.
Batang Tubuh sebagaimana tercantum dalam huruf c diatas adalah sebagai
berikut:Ketentuan Umum; Materi Pokok yang Diatur; Ketentuan Pidana
(jika diperlukan) ;Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); dan Ketentuan
Penutup.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba membahas tentang
Ketentuan Pidana yang ada dalam Peraturan Perundang-undangan. Seperti
kita ketahui bersama, Ketentuan Pidana hanya dapat dimuat dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah (baik Peraturan Daerah Provinsi
atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota), selain kedua jenis Peraturan
perundang-undangan tersebut tidak dapat memuat Ketentuan Pidana. Kata
dapat dalam kalimat penulis sebelumnya berarti bahwa kedua jenis
Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang atau Peraturan Daerah)
tidak harus memuat ketentuan tentang pidana. Dalam hukum pidana
kita mengenal istilah ultimum remidium yang artinya kurang lebih bahwa
sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak
dapat dilaksanakan. Dengan perkataan lain, dalam suatu Undang-Undang
sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir, setelah sanksi
perdata, maupun sanksi administratif. Oleh karena itu ketentuan yang
mengatur mengenai pidana dalam sebuah Peraturan Perundang-undangan
menggunakan kata jika diperlukan alias dapat atau tidak wajib.
Untuk memasukan ketentuan tentang pidana dalam Undang-Undang
atau peraturan Daerah diperlukan kehati-hatian dari para pembentuk
peraturan itu sendiri. Ketentuan pidana memuat rumusan yang
menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang
berisi norma larangan atau norma perintah. Selain itu, dalam merumuskan
ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum yang terdapat dalam
Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, menyatakan bahwa pidana terdiri atas:
pada umumnya, Peraturan Daerah hanya dapat memberikan ancaman
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), akan tetapi Peraturan
Daerah juga dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda selain
ketentuan tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan lainnya.
Mengenai teknis penempatan pidana dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, ditempatkan dalam bab tersendiri yaitu bab
Ketentuan Pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau
sebelum bab Ketentuan Peralihan. Jika bab yang mengatur tentang
ketentuan peralihan tidak ada, maka letaknya adalah sebelum Ketentuan
Penutup. Hal ini berbeda dengan ketentuan mengenai sanksi administratif.
Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas
pelanggaran suatu norma dalam Pasal dirumuskan menjadi satu bagian
(Pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan tersebut. Artinya tidak ada kemungkinan sanksi pidana,
sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab tersendiri.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk tidak ada pengelompokan bab? hal ini bisa saja
terjadi, maka ketentuan pidana ditempatkan dalam Pasal yang terletak
langsung sebelum Pasal atau beberapa Pasal yang berisi ketentuan
peralihan. Jika tidak ada Pasal yang berisi ketentuan peralihan, maka
ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa Pasal yang berisi
ketentuan penutup.
Seperti kita ketahui bersama, dalam hukum pidana mengenal
pembedaan dua jenis tindak pidana. Kesatu adalah tindak pidana yang
termasuk dalam Kejahatan seperti yang tercantum dalam Buku Kedua
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pelanggaran yang tercantum
dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu,
rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari
perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut sebagai kejahatan atau
pelanggaran. Selain itu, rumusan ketentuan pidana juga harus menyatakan
secara tegas kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif,
alternatif, atau kumulatif alternatif. Sifat kumulatif menggunakan kata
sambung dan, sifat alternatif menggunakan kata sambung atau, sedangkan
yang bersifat kumulatif alternatif menggunakan kata sambung dan/atau.
Hal ini sangat penting karena berpengaruh langsung pada orang atau pihak
yang akan dijatuhi pidana itu sendiri.
Hal yang menjadi bahan diskusi akhir-akhir ini adalah bagaimanakah
teknik menuliskan ketentuan pidana apabila dalam sebuah peraturan
perundang-undangan terdapat lebih dari satu Pasal atau bahkan banyak
Pasal yang memuat ketentuan pidana? Ada peraturan perundang-undangn
yang mencantumkan banyak ancaman pidana dalam Pasal-Pasal
sebelumya kedalam satu Pasal saja dengan menuliskan pengacuan dalam
Pasal-Pasal sebelumnya tersebut. Sebagai contoh Peraturan Daerah
Kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun 2011 tentang Perizinan Usaha Bidang
Perindustrian dan Perdagangan. Dalam Peraturan Daerah tersebut
ketentuan pidana hanya dimuat dalam satu Pasal saja yang di dalamnya
mencantunkan banyak Pasal (lebih dari sepuluh Pasal) dengan mengacu
pada Pasal-Pasal sebelumnya. Bentuk lain dapat ditemui dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang
mencantumkan Ketentuan Pidana dalam bab tersendiri namun pengacuan
Pasal sebelumnya yang diancam pidana dituliskan dalam Pasal-Pasal
tersendiri.
Jika dilihat dari sudut pandang efisiensi penulisan dan perasaan
pihak yang mempunyai kepentingan atau terkena dampak dari sebuah
peraturan perundang-undagan, maka bentuk pertama tadi dirasa lebih
tepat. Penjelasannya adalah bahwa dengan menuliskan banyak pasal yang
diancam pidana ke dalam satu Pasal saja maka Peraturan perundang-
undangan yang dibentuk tidak terdiri dari banyak Pasal dan perasaan bagi
yang membaca tidak terkesan bahwa peraturan tersebut tidak melindungi
kepentingan dengan memuat banyak pasal tentang pidana.
Akan tetapi jika kita lihat dalam lampiran II Undang-Undang nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
angka 118, Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas
norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan
pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Artinya bahwa
penulisan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma yang
ada dalam pasal yang diancam pidana. Orang yang akan dipidana harus
memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana itu sendiri. Misalnya, pasal
penipuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
unsur-unsur penipuan dalam pasal tesebut adalah: barang siapa/setiap
orang; dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain; secara
melawan hukum; dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu;dengan tipu muslihat; dan seterusnya. Jadi, orang bisa dipidana atas
perbuatan penipuan apabila telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam
Pasal tersebut. Artinya, penulisan ketentuan pidana dalam sebuah
peraturan perundang-undangan sebaiknya tetap menuliskan unsur-unsur
yang ada dalam sebuah Pasal yang diancam pidana itu sendiri bukan hanya
menuliskan pengacuan angka pasal yang diancam. Lalu bagaimana tentang
frasa menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma yang
ada dalam angka 118 lampiran II tersebut? Beberapa pasal artinya lebih
dari satu, bisa dua, tiga, dan seterusnya. Menurut penulis, bisa saja
ketentuan pidana menuliskan beberapa pasal ke dalam sebuah pasal
ketentuan pidana tetapi dengan batasan bahwa beberapa pasal tersebut
memiliki kesamaan unsur pidana antara satu pasal dengan pasal lainnya.
Jadi, menurut penulis, penulisan ketentuan pidana dalam sebuah
Peraturan Perundang-undangan harusnya tetap menyebutkan secara tegas
norma larangan atau norma perintah yang dilanggar. Selain itu, hal yang
paling penting bahwa setiap pembentuk Peraturan Perundang-undangan
harus berhati-hati dalam merumuskan ketentuan pidana itu sendiri.
Pidana adalah jalan terakhir dalam upaya penegakan hukum setelah
sanksi-sanksi yang lain dirasa tidak dapat memenuhi hukum. Sifat ultimum
remidium pidana hendaknya dijadikan landasan dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Referensi:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
d. Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun 2011 tentang Perizinan
Usaha Bidang Perindustrian dan Perdagangan
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
DPR dan Pemerintah akhir bulan ini telah mengesahkan UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut menggantikan undang-
undang sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan. Alasan DPR dan Pemerintah mengganti undang-undang itu bahwa UU
No. 10 Tahun 2004 terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan
kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik.

Salah satu kekurangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 adalah tidak dimasukannya Ketetapan
MPR (TAP MPR) dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, DPR dan
Presiden menyempurnakan nya dengan memasukan TAP MPR.

Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan terdiri atas:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/Perppu
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Propinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Bunyi Pasal ini berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, yang dalam pasal yang sama
menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundan-undangan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. UU/Perppu
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Sumber artikel : http://hukumdanpolitik.blogspot.com/2011/10/hierarki-peraturan-perundang-
undangan.html
I. Pendahuluan

1). Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan :

Landasan Filosofis
dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah berkaitan dengan dasar ideologi negara,
dalam hal ini adalah Pancasila. Suatu rumusan peraturan perundang-undangan harus
mendapatkan pembenaran (rechvaardiging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis.
Pembenaran tersebut harus sesuai dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan dan cita-cita
kesusilaan.

Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis mengandung makna bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat
harus berkaitan dengan kondisi atau kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.

Landasan Yuridis Suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum


atau dasar hukum atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi.

2) Prinsip-prinsip Peraturan Perundang-undangan :

Dasar peraturan perundang-undangan selalu peraturan perundang-undangan (landasan yuridis


yang jelas).

Hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis
Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah
oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi

a. Peraturan perundang-undangan baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan lama


(lex posteriore derogat legi priori)

b. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-


undangan yang lebih rendah (lex superior derogate legi inferiori)
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis deroget legi generalis)

Setiap jenis peraturan perundang-undangan materinya berbeda Hirarki Peraturan Perundang-


undangan.

Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,


pasti tidak terlepas mengenai Stuffen Bau theory karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut
sebagai Teori Aquo) seperti yang telah di ajarkan kepada kita pada mata kuliah pengantar
hukum indonesia . Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma
hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.

Namun sekarang Teori Aquo mulai di terapkan dalam hukum positif di Indonesia
dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-
undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan pertama kali dipositifkan
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut sebagai UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan 2004). UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan No. 10 Tahun 2004
setidak-tidaknya mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.

Namun seiiring perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum
dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti. Kemudian, pergantian
tersebut ditandai dengan adanya undang-undang terbaru mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011). UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan 2011 secara umum Secara umum memuat materi-materi pokok yang
disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
jenis, hierarki, dan materi muatan, Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan
Perundang-undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang;
pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah.

Sebagai penyempurnaan terhadap UU No. 10 Tahun 2004, UU No. 12 Tahun 2011


memuat materi muatan baru yang ditambahkan, yaitu antara lain:
a. Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis
Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c. Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
e. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti,
dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang
ini.[1]

Sedangkan baik UU No. 10 Tahun 2004, maupun UU No. 12 Tahun 2011, sama-sama
mengatur mengenai Teori Aquo. Sebelumnya, dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004
mengatur Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah

Sedangkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur Teori Aquo pada bagian jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kemudian terdapat penjelasan mengenai muatan jenis dan hierarki Peraturan


Perundang-undangan sesuai pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa : Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 3
ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
meyebutkan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum


dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

Definisi Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan


Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

Definisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dalam Pasal 1


angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-


undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Definisi Peraturan Pemerintah diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh


Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Definisi Peraturan Presiden diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh


Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau
dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Definisi Peraturan Daerah Provinsi diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk


oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

Definisi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU


Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang


dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.
II. Rumusan Masalah

Dari jenis dan hirarkies peraturan perundang-undangan sesuai Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 ini Maka yang dapat kita lihat adalah bahwa terdapat tiga hal yang berubah
apabila kita bandingkan dengan jenis dan hirarki Peraturan-Perundang-undangan yang
terdapat dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu masuknya
kembali Ketetapan MPR , Peraturan Daerah yang memiliki tingkatan antara Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang pada undang-undang sebelumnya
adalah sejajar , serta yang terakhir dihapuskannya peraturan desa dari peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang sebelumnya peraturan desa tercantum dalam pasal 7 ayat (1)
sebagai bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan. Pertanyaan kemudian kemudian muncul
adalah :

1. Implikasi Yuridis terhadap konsep PERDA pada Undang-undang No. 10 Tahun 2004
terhadap pembagian PERDA pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 yang memunculkan
adanya hirarkies antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/kota ?

III. Analisa
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan
pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, ruang
lingkup materi muatan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diperluas tidak saja Undang-
Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada


pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala
aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan Artikel diatas kita telah mengetahui DPR dan Presiden


telahmengesahkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. UU tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang masih terdapat kekurangan
dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan
kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:

- materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan
atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;

- teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;

- terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Dengan disahkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka secara implisit


memiliki konsekuensi hukum, yaitu ketentuan pada undang-undang tersebut mengikat semua
lembaga yang berwenang dalam membentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
dan tidak berlakunya atau di cabutnya Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004, sesuai Asas
Lex Posteriori derogate Legi Priori yaitu Peraturan yang baru menggantikan atau peraturan
yang lama.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 ini memiliki beberapa perbedaan dengan
Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengenai materi
muatan yang terkandung dalam jenis dan hierarkis dalam pembentukan peraturan
perundangan-undangan, mulai dari dimasukkannya kembali TAP MPR dan pembagian
PERDA , yaitu yang sebelumnya PERDA Provinsi dan PERDA Kabupaten/kota menjadi satu
dan sejajar dalam otonomi daerah di pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ,
kemudian berubah pada pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 PERDA Provinsi
memiliki kedudukan lebih tinggi diatas PERDA Kabupaten/kota.
Pada analisa artikel diatas saya mencoba mengkritisi perubahan-perubahan yang ada
pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini terutama saya fokuskan pada perubahan
mengenai pembagian PERDA Provinsi dan PERDA Kab/kota sesuai pasal 7 pada UU
tersebut.
a. Peraturan Daerah Provinsi (sebelumnya Peraturan Daerah) menjadi norma yang mengacu
pada Peraturan Presiden, dan sekaligus menjadi acuan dari Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (sebelumnya Peraturan Daerah) menjadi norma yang


mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi.Materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dari penjelasan diatas, kita dapat mengetahui dengan adanya hierarkis mengenai PERDA
Provinsi dan PERDA Kabupaten/kota menimbulkan konsekuensi yuridis yaitu :

1. Hilangnya otonomi daerah, yang seharusnya tiap pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksankan otonomi dan tugas
pembantuan sesuai pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan Daerah dan
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai pasal
1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.
Dengan adanya perbedaan pada PERDA Provinsi dan PERDA Kabupaten/kota sesuai Asas
Lex Superiori darogat legi Inferiori maka setiap peraturan daerah yang dibuat harus sesuai
atau berdasarkan peraturan yang lebih tinggi diatasnya, terutama untuk Perda Kabupaten/kota
harus sesuai dengan Perda Provinsi karena Perda provinsi kedudukannya lebih tinggi. Dengan
demikian maka secara eksplisit Otonomi daerah sesuai yang tertuang pada pasal 18 ayat 6
UUD NRI 1945 dan Pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 menjadi hilang, karena yang
seharusnya tiap pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya menjadi tidak
berjalan sebab dalam menjalankan otonomi tersebut dalam hal ini perda kabupaten harus
mengacu dan tidak bertentangan dengan perda provinsi. Sehingga maksud Otonomi daerah
yang tertuang pada pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 dan pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004
menjadi tidak jelas.
2. Tidak adanya hubungan yang jelas antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda
Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau
setara. Karena jika di tinjau dari pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 kududukan Perda Provinsi
dan Perda Kabupaten/kota ini memiliki hubungan hierarkis tetapi pada faktanya banyak
Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/kota yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
Kemudian Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa
peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan
PerUndang-Undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, tetapi pada
faktanya banyak Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/kota yang bertentangan dengan
kepentingan umum yang belum di batalkan oleh pemerintah. Contoh : Perda Pemkot
Surabaya yang masih melegalkan Ndoly ( tempat prostitusi di Surabaya). Bahkan tempat
prostitusi tersebut merupakan salah satu pemasok dana pemasukan terbesar APBD Pemkot
Surabaya.

3. Banyaknya Kepala Daerah yang salah menafsirkan Otonomi Daerah.


Banyaknya kesalahan pemahaman terhadap otonomi daerah itulah yang melahirkan tumpang
tindih perizinan di banyak daerah. yang terkadang masalah perizinan inilah menimbulkan
konflik-konflik antar warga di daerah. contoh : izin mendirikan bangunan, eksploitasi lahan
dan pertambangan dan lain lain.
IV. Kesimpulan

Dengan disahkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2011 ini banyak membawa


perubahan dalam materi muatan yang terkandung di dalamnya, seperti yang tertuang pada
pasal 7 Undang-undang No.12 Tahun 2011 mengenai jenis dan pembentukan peraturan
perundang-undangan dimana salah satu perubahan yang ada adalah mengenai Pembagian
Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/kota seperti yang telah saya bahas diatas.
Dengan adanya pembagian yang memunculkan hierarki pada perda tersebut menimbulkan
konsekuensi yuridis mengenai pembuatan, pelaksanaan dan pemberlakuan peraturan daerah
di masing-masing daerah. Karena penerapan mengenai otonomi daerah di Indonesia yang tiap
daerah memiliki banyak perbedaan yang satu dengan yang lain harus didasarkan pada acuan
mengenai pembentukan peraturan daerah harus mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Sehingga para ahli banyak yang berpendapat dengan di baginya PERDA pada pasal 7 UU
No. 12 Tahun 2011 menjadi Perda provinsi yang lebih tinggi dari Perda Kabupaten
menunjukkan tidak adanya sinkronisasi dengan amanat konstitusi menegenai pemerintahan
daerah khususnya pada pasal 18 ayat 6 UUD NRI 1945 dan pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun
2011.
Pertanyaan :
Apakah Undang-Undang Harus Memuat Sanksi?
Kenapa dalam penyusunan UU tidak dicantum Bab atau Pasal yang mengatur tentang sanksi?
Sepanjang pengetahuan saya, ditulis hanya tentang Hak, Kewajiban dan Larangan. Padahal
apalah artinya sebuah peraturan perundang-undangan tanpa dijelaskan tentang sanksi terhadap
pelanggaran UU tersebut?
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Pertanyaan Anda ini berkaitan erat dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik.Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
12/2011) berbunyi:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Selain asas-asas tersebut, dalam sebuah materi muatan perundang-undangan harus pula tercermin
asas-asas berikut yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011 yang berbunyi:
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (2) UU 12/2011 menegaskan:


Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat [2] UU 12/2011, yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan
bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,
asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Melihat dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik harus mengacu pada berbagai asas di atas, termasuk pula dalam pembentukan
sebuah undang-undang. Selain itu, asas-asas tersebut juga menjadi pedoman dalam merumuskan
suatu ketentuan pidana.

Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Proses
dan Teknik Pembentukannya, mengatakan bahwa ketentuan pidana merupakan ketentuan
yang tidak mutlakada dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perumusan ketentuan
pidana tersebut tergantung pada masing-masing peraturan perundang-undangan. Namun demikian,
peraturan perundang-undangan yang dapat mencantumkan Ketentuan Pidana hanya Undang-
Undang dan Peraturan Daerah (hal. 99). Kata dapat yang digunakan oleh Maria Farida tersebut
mengindikasikan bahwa undang-undang tidak harus selalu ada ketentuan pidana di dalamnya.

Pendapat Maria Farida tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 yang
mengatakan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 tersebut mempertegas bahwa di dalam undang-undang memang
mencantumkan ketentuan sanksi di dalamnya. Untuk menjawab pertanyaan Anda, di sepanjang
penelusuran kami, sanksi biasanya diatur di bab khusus dengan judul Sanksi atau dapat pula
dengan judul Ketentuan Pidana.

Contoh undang-undang yang di dalamnya terdapat ketentuan sanksi adalah Undang-Undang


Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU
9/1998) danUndang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek). Sebagian
undang-undang menamakan bab yang mengatur ketentuan sanksi dengan nama Sanksi seperti UU
9/1998, yakni dalam Bab V, dan sebagian lainnya menamakan bab tersebut dengan nama
Ketentuan Pidana seperti UU Merek, yakni dalam Bab XIV.

Pada sisi lain, ada pula undang-undang yang tidak memuat sanksi pidana di dalamnya atau tidak
dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut, seperti pada Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

UU HAM hanya mengatur hak, kewajiban, larangan atau pembatasan. Meskipun demikian, tidak
berarti undang-undang itu tidak sah atau tidak dijalankan dengan baik. Setiap undang-undang yang
dibuat sudah selayaknya memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik dan harus tercermin dalam materi muatan undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat
(1) UU 12/2011 di atas.
Dalam Penjelasan Umum UU HAM disebutkan bahwa Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia
ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi
manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi
manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari penjelasan tersebut kita dapat ketahui bahwa UU HAM hanya mengatur ketentuan pokok-pokok
mengenai HAM secara umum saja, untuk sanksi dapat diberlakukan peraturan perundang-undangan
lain yang sesuai konteks tindak pidana pelanggaran HAM apa yang dilakukan, misalnya dengan
mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah kami jelaskan dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya suatu undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya harus
memperhatikan berbagai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, termasuk
pula dalam merumuskan ketentuan mengenai sanksi. Namun, ada undang-undang yang tidak
mengatur mengenai sanksi atau ketentuan sanksi tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit oleh
karena sanksi itu telah disebutkan dalam peraturan lainnya yang masih terkait dengan undang-
undang tersebut. Akan tetapi, bukan berarti keberlakuan undang-undang tersebut menjadi tidak sah
atau tidak bisa dijalankan dengan baik.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundang Undang


yang Baik
resume: buku maria farida, ilmu perundang undangan

A. Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundang undangan yang Baik


1. Menurut Para Ahli

Menurut Van De Vlies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan


perundang undangan yang baik, dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu asas
formal(formele beginselen) dan asas materiil (materiele beginsele.

Asas formal, meliputi:


a. asas tujuan yang jelas
b. asas organ atau lembaga yang tepat
c.asas perlunya pengaturan
d. asas dapat dilaksanakan
e. asas consensus

sedangkan asas materiil meliputi:


a. asas terminologi dan sistematika yang jelas.
b. asas dapat dikenali
c. asas perlakuan yang sama dalam hukum
d. asas kepastian hukum
e. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Purnadi Purcabaraka dan Soerjono Soekanto, mencoba memperkenalkan beberapa


asas dalam perundang undangan, yakni

a. Undang undang tidak boleh berlaku surut

b. Undang undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula.

c. Undang undang yang bersifat khusus menyampingkan undang undang yang


bersifat umum
d. Undang Undang yang berlaku belakangan membatalkan undang undang yang
berlaku terdahulu
e. undang undang tidak dapat diganggu gugat.

Undang Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai


kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu melalui
pembaruan atau pelestarian.

Secara detail, A. Hamid S Attamimi menjelaskan dalam pembentukan perundang


undangan selain berpedoman pada asas asas pembentukan peraturan perundang
undangan yang baik, juga perlu dilandasi oleh asas asas hukum umum, yang di
dalamnya terdiri dari asas negara berdasar atas hukum (rechtstaat), pemerintahan
berdasarkan sistem konstitusi dan negara berdasarkan kedaulatan rakyat.
setidaknya terdapat beberapa pegangan yang dapat dikembangkan guna
memahami asas asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik
secara benar, yaitu:

a. asas yang berlaku dalam pancasila selaku asas asas dalam hukum umum bagi
peraturan perundang undangan, memiliki pengertian bahwa pancasila selaku cita
hukum, yang juga merupakan norma fundamental, sebagai norma tertinggi bagi
berlakunya semua norma norma hukum yang berlaku pada kehidupan rakyat
Indonesia.

b. asas asas Negara berdasar atas hukum selaku asas asas hukum umum bagi
perundang undangan, memiliki pengertian bahwa asas pemerintahan yang diatur
dengan atau berdasarkan undang undang.

c. asas-asas pemerintahan berdasar system konstitusi selaku asas-asas umum bagi


perundang-undangan, memiliki pengertian bahwa apa yang dicantumkan dalam
ketentuan-ketentuan UUD 1945 di bidang pembentukan peraturan perundang-
undangan ditegaskan kembali dalam asas ini

d. asas-asas bagi peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh para


ahli

Selanjutnya, Gert-Jan Veerman, Menteri Kehakiman Belanda pada 1991,


mengenalkan sebuah kerangka konseptual untuk menghasilkan undang-undang
yang berkualitas. Hal tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Peraturan harus jelas dan mudah diakses bagi orang yang dimaksudkan,
walaupun masih tetap menimbulkan masalah besar. Hukum bekerja melalui badan
perantara dan hal tersebut tidak berarti bahwa pembuat hukum harus membuat
hukum sejelas mungkin.

b. Hukum merupakan kompromi dari berbagai kepentingan dari berbagai orang


dan organisasi atau beberapa rasionalitas. Kepentingan yuridis dan ekonomis atau
kepentingan yuridis dan politis mungkin saja berbeda.

c. Penyusunan suatu kebijakan dan merancang suatu perundang-undangan akan


diikuti oleh kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh ekspektasi tentang bagaimana
peraturan dan ukuran-ukuran yang ada akan bekerja

d. Aspek yang terpenting dari sebuah hukum justru terdapat di luar hukum
tersebut, yaitu terkait dengan implementasi hukum dan kebijakan yang
dirumuskan di dalamnya

e. Tidak ada hukum yang sempurna.terlalu banyak orang yang terlibat di


dalamnya, terlalu banyak aturan dengan banyak kepentingan yang ada

Kemudian Lon L. Fuller berpendapat bahwa hukum adalah alat untuk mengatur
masyarakat. Tugas pembentuk peraturan perundang-undangan akan berhasil
apabila ia sampai pada tingkat dimana keseluruhan persayaratan telah terpenuhi.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut pandangan Lon
L. Fuller, yaitu:

a. peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya, kemudian dituangkan dalam
aturan-aturan yang berlaku umum

b. aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi
obyek pengaturan aturan-aturan tersebut

c. tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non-
retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk
berlaku bagi waktu yang akan datang

d. dirumuskan secara jelas dan mudah dimengerti

e. tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain

f. tidak boleh mengandung beban yang melebihi apa yang dapat dilakukan

g. tidak boleh terus-menerus diubah, sehingga menyebabkan seseorang kehilangan


orientasi

h. harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang dindangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari

Ahli hukum lain yang berpendapat mengenai asas-asas pembentukan peraturan


perundang-undangan yang baik adalah T. Koopmans, yang membagi asas tersebut
menjadi beberapa bagian, yaitu:

a. prosedur; berkaitan dengan keterbukaan pada proses pengambilan keputusan


dan pengumuman hasil akhirnya

b. bentuk dan kewenangan; diartikan sebagai pembagian tertentu dari batang


tubuh yang nampak dari pasal-pasalnya

c. masalah kelembagaan

d. masalah isi peraturan

Menurut Montesquie dalam bukunya LEspirit des lois menjelaskan, bahwa dalam
pembentukan perundang-undangan hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas, antara
lain :

f. Gaya harus padat dan mudah; kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorikal
hanya tambahan yang membingungkan.

g. Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan tidak relatif,
dengan maksud meminimalisasi kesempatan untuk perbedaan pendapat dari
individu

h. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual,
menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik

i. Hukum hendaknya tidak halus, karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan
pengertian yang sedang ; bahasa hukum bukan latihan logika, melainkan untuk
pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata.

j. Hukum hendaknya tidak meracunkan pokok masalah dengan pengecualian,


pembatasan atau pengubahan kecuali hanya apabila benar-benar diperlukan

k. Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/dapat diperdebatkan adalah


berbahaya merinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan lebih menumbuhkan
pertentangan-pertentangan.

l. Pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-maska dan


mempunyai manfaat praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi
pertimbangandasar, keadilan dan hakikat permasalahan; sebab hukum yang
lemah, tidak perlu dan tidak adil hanya akan membawa seluruh sistem perundang-
undangan kepada image yang buruk dan menggoyahkan kewibawaan negara.
Dengan menggunakan istilah lain, Bagir Manan mengemukakan, bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah mengacu pada landasan
pembentukan peraturan perundang-undangan, yang didalamnya terdiri dari:

a. Landasan yuridis. Karena landasan ini akan menunjukkan:

keharusan adanya kewenangan dari pembuat produk-produk hukum

keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis produk-produk hukum dengan


materi yang diatur

keharusan mengikuti tata cara tertentu

keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih


tinggi tingkatannya

produk-produk hukum yang dibuat harus dapat diterima oleh masyarakat secara
wajar maupun spontan

b. Landasan sosiologis. Landasan ini akan mencerminkan kenyataan yang hidup


dalam masyarakat. Dengan dasar ini, diharapkan peraturan yang dibuat akan
diterima oleh masyarakat. Peraturan yang diterima secara wajar aka mempunyai
daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional
untuk melaksanakannya

c. Landasan filosofis. Landasan ini berkaitan dengan cita hukum, dimana semua
masyarakat mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapka dari hukum. Cita
hukum tersebut tumbuh dari system nilai mereka mengenai baik ataupun
buruknya, pandangan terhadap hubungan individual dan kemasyarakatan dan
sebagainya. Kesemuanya merupakan bersifat filosofis, artinya menyangkut
pandangan mengenai hakikat sesuatu

Sedangkan menurut Erman Radjagukguk mengemukakan bahwa undang-undang


yang baik, merupakan undang-undang yang memenuhi unsur-unsur:

a. norma harus sesuai dengan perasaan hukum masyarakat

b. isinya merupakan pesan yang dapat dimengerti masyarakat

c. adanya aturan impelementasi

d. harus ada sarana pelaksanaannya

e. harus sesuai/sinkron dengan undang-undang yang lain

Berdasarkan uraian di atas, perumusan asas-asas peraturan perundang-undangan


yang baik, terdapat dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004.

B. Analisis Terhadap Asas Asas pembentukan perundangan undangan yang Baik


1. Asas yang Bersifat Formal

a. Asas Tujuan yang Jelas (Beginsel Van Duidelijke)


Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas ini akan dapat diterima oleh semua sistem
pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan Negara Indonesia yang berdasar
pada UUD 1945. Mengingat asas ini akan mengukur sampai seberapa jauh suatu
peraturan perundang undangan diperlukan untuk dibentuk.

Dalam teknis pembentukan perundang-undangan, penggambaran tujuan yang jelas


dari pembentukan peraturan perundang-undangan, dicantumkan dalam bagian
konsiderans (menimbang), termasuk pula pada pembagian penjelasan. Tujuan ini
memberikan petunjuk bagi setiap orang yang tersangkut dalam pelaksanaan suatu
undang-undang, agar dapat mengetahui secara jauh lebih mudah tentang maksud
pembuat undang-undang. Hal ini penting, khususnya apabila terdapat cacat di
dalam peraturan yang bersangkutan. Di dalam pembuatan undang-undang atau
suatu kebijakan, terdapat adanya suatu argumentasi mengenai adanya landasan
rasional yang menjadi dasar bagi pembuatan undang-undang atau suatu kebijakan,
agar menggambarkan tujuan yang ingin dicapai. Landasan rasional tersebut
meliputi:

a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya (untuk


mencegah kepemilikan sumber daya pada seseorang atau suatu kelompok)

b. Mengurangi dampak (negatif) dari suatu aktifitas terhadap komunitas maupun


lingkungan

c. Membuka informasi bagi public an mendorong kesetaraan antarkelompok

d. Mencegah kelangkaan sumber daya publik akibat pemakaian yang tidak efisien

e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan social

f. Memperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sector ekonomi maupun


social

b. Asas Organ/Lembaga yang Tepat (beginsel van het juiste organ)

Asas ini menghendaki agar suatu organ dapat memberi penjelasan, bahwa
pembuatan suatu peraturan tertentu memang berada dalam kewenangannya. Hal
ini sekaligus pula member alasan bagi organ pembuat undang-undang untuk tidak
melimpahkan kewenangannya tersebut kepada organ lain. Di Indonesia, presiden
dalam melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya, dapat membentuk
peraturan pemerintah. Dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden juga dapat
membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), namun
tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan dalam undang-undang yang
dilaksanakan.

Aspek lain dari asas organ/lembaga yang tepat, adalah pembagian kewenangan
antara organ pusat dan daerah. Peraturan-peraturan di tingkat pusat umunya,
banyak memuat kebebasan dalam pembuatan kebijakan, termasuk kewenangan
yang diberikan bagi organ daerah untuk membuat peraturan daerah, asalkan tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.

c. Asas Perlunya Pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginse)

Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternative atau alternative-alternatif lain
untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan. Asas ini berkaitan pula dengan
asas tujuan yang jelas. Apabila tujuan telah dapat dirumuskan secara baik, maka
persoalan berikut yang harus dijawab adalah apakah mesti dibuat dengan
peraturan perundang-undangan tertentu.

Perencanaan suatu undang-undang, lazimnya didahului dengan menyusun naskah


akademik. Mempersiapkan naskah akademik merupakan salah satu langkah
penting dalam proses legislasi, karena naskah akademik berperan sebagai quality
control yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah akademik
memuat seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui landasan
pembuatan suatu perundang-undangan yang baru, termasuk tujuan dan isinya.
Dalam penyusunan naskah akademik memerlukan banyak alokasi waktu dan daya-
upaya. Waktu dan upaya yang memadai memberikan kesempatan bagi pembuat
peraturan perundang-undangan untuk melakukan penelitian dan menganalisis
masalah, melebihi apa yang diperlukan bagi suatu produk hukum baru. Dalam
mempertimbangkan cara menyusun suatu naskah akademik yang bagus, pembuat
peraturan perundang-undangan hendaknya mempertimbangkan substansi dan
proses penyusunan naskah akademik yang akan dibuat.

Sebuah naskah akademik harus menelaah tiga permasalahan substansi, yaitu:


Pertama, mampu menjawab pertanyaan mengapa diperlukan peraturan baru,;
Kedua, lingkup materi kandungan dan komponen utama peraturan; dan Ketiga,
proses yang akan digunakan untuk menyusun dan mengesahkan peraturan, serta
hal-hal lain yang perlu dijawab oleh naskah akademik diluar dari ketiga hal
mendasar tersebut.

d. Asas Dapat Dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid)

Dalam asas ini, memuat bagaimana bentuk usaha dari banyak pihak untuk
menegakkan peraturan peundang-undangan yang bersangkutan. Tidak ada
gunanya peratuan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. Selain
pemerintah, masyarakat juga berharap adanya jaminan (garantie) akan
tercapainya hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu peraturan perundang-
undangan. Termasuk pula mengenai aspek pembiayaan dan konsekuensi biaya
yang akan ditimbulkan ketika suattu undang-undang akan dilaksanakan, yang
tidak hanya terkait dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
melainkan pula dalam hal undang-undag akan dilaksanakan atau ditegakkan
nantinya.

e. Asas Konsensus (het beginsel van konsensus)


Konsensus adalah adanya kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan
menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Mengingat pada pembentukan peraturan perundang-undangan yang
dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati
bersama oleh pemerintah dan rakyat.

Peran serta masyarakat dalam proses pembentukan perundang-undangan


merupakan permasalahan yang secara khusus menjadi catatan dan mengacu pada
mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta ketentuan
yang termuat dalam peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

2. Asas-asas yang Bersifat Materiil

a. Asas Terminologi dan Sistematika yang Jelas (het beginsel van duidelijke
terminologie en duidelijke systematiek)

Peraturan perundang-undangan yang jelas, dapat dicapai dengan berbagai cara,


diantaranya adalah melalui:

a. Adanya kejelasan maksimal dari setiap peraturan

b. Adanya hubungan kejelasan yang diinginkan dengan materi dan keahlian pihak-
pihak yang menjadi sasaran peraturan yang bersangkutan

Terminologi dan sistematika yang benar, member pengertian bahwa penempatan


pilihan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan, merupakan hal
yang utama yang mesti diperhatikan. Jika pertauran perundang-undangan tidak
jelas terstruktur sistematkanya memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji
baik dari segi-segi formal maupun materi muatannya.

b. Asas Dapat Dikenali (het beginsel van de kenbaarheid)

Apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh


setiap orang, terlebih oleh yang berkepentingan, maka ia akan kehilangan
tujuannya sebagai peraturan. Sedangkan peraturan perundang-undangan
merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah
diketemukan kembali dan mudah ditelusuri

c. Asas Perlakuan yang Sama dalam Hukum (equality before the law/het rechts
gelijkheidsbeginsel)

Peraturan tidak boleh ditujukan kepada suatu kelompok tertentu yang dipilih
semaunya dan juga tidak diperbolehkan adanya ketidaksamaan (diskriminasi),
serta tidak boleh timbul adanya ketidaksamaan (kontradiksi), karena hal tersebut
akan menimbulkan adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan
hokum.

d. Asas Kepastian Hukum (het rechtszekerheidsbeginsel)

Dalam prinsip penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, prinsip kepastian


hukum juga menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan publik yang dibuat dan
dilaksanakan. Dikarenakan setiap kebijakan publik dan peraturan perundang-
undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan
prosedur baki yang telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta
terdapat ruang untuk mengevaluasinya.

e. Asas Pelaksanaan Hukum Sesuai dengan Keadaan Individual (het beginsel van
de individuele rechtsbedeling)

Asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal, atau
keadaan-keadaan tertentu sehingga dengan demikian peraturan perundang-
undagan dapat juga memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum,
juga bagi masalah yang bersifat khusus. Namun sebaiknya jika asas ini diletakkan
pada pihak-pihak yang melaksanakan/menegakkan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan itu sendiri.

C. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik dalam


Hukum Positif

Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 memberi penjelasan, bahwa dalam


membentuk peraturan perundang-undangan, harus didasarkan pada asa
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu: kejelasan tujuan,
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan
rumusan dan keterbukaan.

Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maksud dari


asas-asas tersebut adalah :

a. Asas kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-


undangan harus mempunyai tujuan jelas yang ingin dicapai

b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu bahwa setiap
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh pejabat yang berwenang

c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan materi
muatan yang tepat. Dalam penentuan materi muatan, juga disebutkan dalam Pasal
6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang terdiri dari asas pengayoman,
kemanusiaa, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika,
keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum, dan/keseimbangan, keserasian dan keselarasan, serta asas lain
sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

d. Asas dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan


perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas nya di dalam
masyarakat
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu bahwa setiap peraturan
perundang-undangan yang dibuat karena memang dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat

f. Asas kejelasan rumusan, yaitu bahwa setiap peraturan perundang-undangan


harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminology yang mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan banyak interpretasi

g. Asas keterbukaan, yaitu bahwa dalam proses pembentukan peraturan


perundang-undangan mulai dari persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka

Menurut Jimly Asshiddiqie, asas materiil yang telah disebutkan sebelumnya, masih
terdapat kekurangan. Salah satu prinsip yang paling penting seharusnya menjadi
paradigma pokok setiap peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
adalah Pancasila. Jika dalam peraturan tersebut sudah tercermin adanya sila
dalam pancasila, maka hukum Indonesia akan benar-benar mencerminkan nilai-
nilai pancasila. Namun untuk mengantisipasi terjadinya konflik/pertarungan
kepentingan, maka lembaga pengujian peraturan perundang-undangan
diharapkan dapat berperan serta mengatasi konflik tersebut.

a. Lembaga pengujian peraturan perundang-undangan dapat melakukannya


sendiri dengan membetuk peraturan perundang-undangan dalam pengujian politik
atau legislative, atau lembaga peradilan melalui Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung (judicial review)

b. Mahkamah Agung dapat meluruskan peraturan di bawah undang-undang


terhadapa Undang-undang (Aspek legalitas)

c. Mahkamah Konstitusi dapat juga meluruskan Undang-Undang terhadap UUD


yang berisi nilai dasar dan nilai rinciannya

Melalui cara tersebut, maka diharapkan benrokan/konflik atau ketidakharmonisan


antara nilai-nilai yang termuat dalam pertauran perundang-undangan dengan
nilai-nilai dasar utama (Pancasila), dapat diselaraskan kembali.

Dengan adanya banyak pemikiran mengenai konflik yang akan timbul seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka amat beralasan apabila penempatan asas-asas
pembentuk peraturan perundang-undangan yang baik dalam hukum positif
(normative-nya) cukup dengan rumusan umum dalam batang tubuh undang-
undang, sedangkan ilustrasi asas-asas pembentukan pertaturan perundang-
undangan yang baik, dimuat dalam bagian penjelasan undang-undang. Dengan
demikian akan lebih membuka kemungkinan bagi pengembangan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik itu sendiri, serta tidak
akan menimbulkan konsekuensi hukum dalam proses pembentukan undang-
undang, karena asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
tidak dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan undang-undang. Akan tetapi,
menjadi wajib dan bersifat limitative, sebagaimana telah dikemukakan, karena
asas asas hukum tidak sama dengan norma hukum. Namun tidak berarti setiap
pembentukan undang-undang dapat dilakukan tanpa memerhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana
dikemukakan para ahli.

D. Fungsi asas asa Pembentukan Peraturan Perundang undangan yang Baik dalam
Pembentukan Peraturan Perundang undangan

Pembentukan undang-undang didasarkan pada perwujudan asas-asas hukum


(umum). Asas-asas hukum berfungsi untuk menafsirkan aturan-aturan hukum dan
memberikan pedoman bagi suatu perilaku, sekalipun tidak secara langsung
sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-asas hukum menjelaskan
norma-norma hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ideologis tertib
hukum.

Menurut Herlien Budiono, asas hukum bertujuan untuk memberikan arahan yang
layak/pantas (rechtmatig) dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-
aturan hukum. Disamping itu, asas-asas hukum berfungs sebagai pedoman atau
arahan orientasi berdasarkan mana hukum dapat dan boleh dijalankan.

Sedangkan menurut pandangan Yusril Ihza Mahendra, asas-asas hukum dan asas-
asas pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, merupakan condition
sine quanon bagi berhasilnya suatu peraturan perundang-undangan yang dapat
diterima dan berlaku di masyarakat, Karena telah mendapatkan dukungan
landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Dijadikannya asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik sebagai pedoman dalam pembentukan
undang-undang, yang akan dapat memberikan jaminan dalam perumusan norma
hukum, yang selanjutnya akan diformulasikan dalam materi muatan undang-
undang, sehingga tujuan pembentukan undang-undang dan kualitas dari undang-
undang yang dibentuk dapat dicapai.

Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas asas pembentukan peraturan perundang


undangan yang baik, berfungsi untuk memberikan pedoman dan bimbingan bagi
penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, bagi
penggunaan metode pembentukan yang tepat dan bagi mengikuti proses dan
prosedur pembentukan yang telah ditentukan. serta bermanfaat bagi penyiapan,
penyusunan, dan pembentukan suatu peraturan perundang undangan. Kemudian,
dapat digunakan oleh hakim untukmelakukan pengujian(toetsen), agar peraturan
peraturan tersebut memenuhi asas asas dimaksud, serta sebagai dasar pengujian
dalam pembentukan aturan hukum yang berlaku.

KEWENANGAN MEMBUAT PERATURAN DAERAH


java creativity 2014 23.57
Sebelum penulis menyebutkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang
kewenangan membuat Peraturan daerah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terlebih dahulu akan di
kemukakan beberapa ketentuan yang pernah berlaku dan mengatur tentang
pemerintahan daerah.

Menurut penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Undang-Undang Nomor


18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang mengubah
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 ditegaskan bahwa yang dimaksud
Pemerintah Daerah adalah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, namun dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2) bahwa Pemerintah
Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa pemerintah Daerah adalah Gubernur,
Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.

Mengenai siapa yang berwenang membuat dan menetapkan Peraturan


Daerah, pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 1957 Peraturan Daerah
ditetapkan oleh Kepala Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang
mempunyai wewenang menetapkan Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah secara jelas dinyatakan dalam Pasal 38 bahwa
Kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan
Peraturan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan dalam Pasal 136 ayat (1) bahwa yang berwenang
membuat dan menetapkan Peraturan Daerah adalah ditetapkan oleh kepala daerah
setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Jika dihubungkan dengan materi yang akan penulis bahas dalam skripsi ini
yaitu mengenai peranan bagian hukum pemerintah daerah dalam pembuatan
peraturan daerah, maka berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2004 bahwa yang
membuat dan menetapkan peraturan daerah adalah Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan DPRD, harus diingat bahwa dalam membuat peraturan
daerah Kepala Daerah mempunyai perangkat-perangkat sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah, salah satunya adalah bagian hukum yang
mempunyai tugas membantu Kepala Daerah dalam hal ini di bidang hukum yang
salah satu tugasnya membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) apabila
memang Ranperda tersebut dibutuhkan untuk kemudian hasilnya di bawa oleh
Kepala daerah dan dibahas bersama DPRD.

Berdasarkan ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


dijelaskan bahwa :

(1) Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/
Walikota.
(2) Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang
sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh
DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau
Bupati/ Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

(3) Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur
atau Bupati/ Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.

Sedangkan dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


disebutkan bahwa :

(1) Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,


atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan


Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPRD.

Peranan Kepala Daerah beserta seluruh perangkatnya memang sangat


dibutuhkan dalam pembuatan suatu produk perundang-undangan seperti Peraturan
Daerah karena apabila Peraturan Daerah tersebut telah disahkan, maka yang
menjalankan peraturan tersebut adalah Kepala Daerah sebagai kepala pemerintahan
di mana ia memimpin, Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya membuat
Peraturan Daerah tentunya dibantu oleh perangkat daerah yang berkompeten di
bidang tersebut, oleh karena itu keberadaan bagian hukum dalam suatu
pemerintahan daerah merupakan hal yang mutlak tetapi tentunya harus diimbangi
dengan kemampuan yang maksimal utamanya kemampuan untuk membuat suatu
rancangan peraturan daerah.
PENGAWASAN PREVENTIF SEBAGAI BENTUK
PENGUJIAN PERATURAN DAERAH


PENGAWASAN PREVENTIF SEBAGAI BENTUKPENGUJIAN

PERATURAN DAERAH[1]

Victor Juzuf Sedubun, S.H., LL.M.[2]

Abstract

Revocation of regulation has created legal uncertainty associated with the type
of law that gives the imposition of regional taxes and levies and the type of lawthat gives certain
rights to the public. Local Regulations as delegatedlegislation as the work of the
Regional Head and parliament can not be undoneby unilateral decision of the central
government for granted.

Keywords: Preventive Control, Local Regulations

A. Pendahuluan

Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disingkat
UUDNRI) Tahun 1945 menyatakan bahwa: Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik. Hal ini berarti bentuk negara kesatuan berkonsekuensi bahwa hanya ada satu
pemerintahan nasional yang sah dan satu hukum nasional yang sah yang berlaku di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia[3]. Dalam konteks hubungan antara pusat dengan daerah,
sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah bergeser dari sistem yang sentralistik menjadi
sistem desentralisasi yang mengedepankan asas otonomi.

Desentralisasi merupakan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah


melalui cara delegasi kepada pejabat-pejabatnya didaerah atau dengan devolusi kepada
badan-badan otonom daerah.Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat
Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Pemerintahan yang lebih rendah, baik yang
menyangkut bidang legislative, judikatif atau administratif. Dalam pelaksanaan sistem
desentralisasi, dikenal pula otonomi daerah, yang berasal dari bahasa Yunani, auto yang
berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan, yang dapat diartikan
secara harafiah otonomi dapat berarti hukum atau peraturan
sendiri.Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinil
adalah the legal self sufficiency of social body and its actual indenpendence. Dalam
pengertian ini ada dua ciri hakekat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual
indenpendence.
Kewenangan daerah menetapkan Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat
Perda) dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan merupakan atribusi kewenangan
berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 dan UU Pemda. Adanya Perda
sebagai Autonome Satzung sebagaimana diklasifikasi oleh Hans Nawiasky dibentuk
sebagai konsekuensi logis dari desentralisasi kekuasaan vertikal yang memberikan
otonomi kepada daerah. Hal ini sesuai dengan perkembangan demokrasi di bidang
pemerintahan, di mana negara-negara modern banyak memberikan kekuasaan kepada
daerah untuk lebih bebas mengatur dirinya.
Menurut Meinhard Schroder,[4] By-laws are autonomous legislation, formal
regulations enacted by a public body vested with the right of self-government, and are
often regulations of the local communities. By-law are partly an administrative
instrument and partly formal law. But due to their importance for municipal self-
government they area characterized more as statutes than as administrative
instruments.
Ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya Perda, di era
otonomi daerah ternyata tidak konsisten antara peraturan perundang-undangan yang satu
dengan yang lain.Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial
review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerahsekarang ini
mengingat Perda merupakan produk hukum di daerah yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD
di suatu daerah yang bersifat otonom.

B. Pembahasan

1. Pembentukan Peraturan Daerah


Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memiliki tujuan yang jelas
yang hendak dicapai dan memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya. Murphy[5] memberikan pandangannya mengenai tujuan hukum
yaitu memberikan kebaikan bersama. Selain itu, harus memperhitungkan efektifitas
peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis
maupun yuridis. Materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat memberikan
fungsi perlindungan dalam rangka menciptakan kebahagian hidup dalam masyarakat, harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia dan martabat setiap
warga yang diaturnya.

Perubahan Kedua menghasilkan adanya penambahan pasal terhadap Pasal 18 sehingga


menjadi Pasal 18A, dan Pasal 18B. Dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), ditegaskan
hal-hal sebagai berikut:
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan


pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan


lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Nomenklatur berhak menetapkan memiliki makna konstitusional bahwa


pemerintahan daerah tidak secara murni membentuk Perda berdasarkan prinsip
otonomi dan tugas pembantuan sesuai urusan pemerintahan yang merupakan
kewenangannya, tetapi penetapan atau berhak menetapkan ini merupakan hak
pemerintahan daerah terhadap urusan pemerintahan yang telah ditentukan norma,
standar, prosedur dan kriteria yang dipersyaratkan.
Pembentukan Perda oleh Pemda, dilakukan mulai dari tahap perencanaan sampai
dengan pengesahan dan pemberlakuan Perda tersebut. Pemerintah selaku pemegang
kekuasaan tertinggi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan wewenang tersebut. Selain
itu, Pemerintah dapat diminta untuk memberikan pertimbangan terhadap pembentukan Perda
yang mengatur hal-hal tertentu, seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pajak
Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah.
Terhadap pertimbangan tersebut, suatu Perda yang mengatur hal-hal di atas hanya dapat
disahkan apabila sudah mendapat pertimbangan dari Pemerintah. Sedangkan terhadap Perda
yang mengatur hal-hal di luar yang disebutkan di atas, tidak harus dilakukan konsultasi
dengan Pemerintah selama Perda tersebut masih dibahas di daerah. Perda yang sudah
disetujui bersama Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dikirim ke
Kemendagri untuk dievaluasi selanjutnya mendapat pengesahan dari Presiden.
Sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka Perda merupakan
suatu tuntutan dari adanya hubungan antara pusat dan daerah dalam bentuk negara kesatuan
berdasarkan prinsip otonomi. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan menjabarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan menghendaki adanya Perda yang sesuai
dengan potensi dan keragaman daerah.Penyelenggaraan pemerintahan daerah di satu sisi
memungkinkan pemerintah daerah dapat menetapkan Perda dalam batas kewenangannya, di
bawah supervisi dan pengawasan ketat dari penyelenggara pemerintahan di pusat.
Pelaksanaan pengawasan oleh penyelenggara pemerintahan di pusat tidak dapat
dilakukan semaunya, materi pengawasan terhadap peraturan daerah harus berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa peraturan daerah dimaksud
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum, sedangkan tata cara pengawasan dilakukan
oleh penyelenggara pemerintahan di pusat yang merupakan kewajiban pemerintahan daerah
untuk memberikan peraturan daerah dimaksud setelah disahkan sesuai dengan prosedural
tertentu.
Newman[6] berpendapat bahwa control is assurance that the performance conform
to plan. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar
pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan demikian menurut Newman,
pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang
berjalan, bahkan setelah akhir proses kegiatan tersebut.

Berbeda dengan Newman, Muchsan[7]mengemukakan bahwa pengawasan adalah


kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara defacto, sedangkan tujuan
pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah
sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan Manan[8] memandang kontrol sebagai sebuah fungsi sekaligus hak,


sehingga lazim disebut dengan fungsi kontrol atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi
pengawasan dan pengendalian. Pengawasan bertalian dengan arahan (directive).

Pengawasan, menurut Lotulung[9], adalah upaya untuk menghindari terjadinya


kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif, atau
juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif.

Menurut penulis, makna dasar dari pengawasan adalah(i) pengawasan ditujukan


sebagai upaya pengelolalaan untuk mencapai hasil dari tujuan; (ii) adanya tolok ukur yang
dipakai sebagai acuan keberhasilan; (iii) adanya kegiatan untuk mencocokkan hasil yang
dicapai dengan tolok ukur yang ditetapkan; (iv) mencegah terjadinya kekeliruan dan
menunjukkan cara dan tujuan yang benar; serta (v) adanya tindakan koreksi apabila hasil
yang dicapai tidak sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman,
pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk
menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah
terjadi berdasarkan standart yang sudah disepakati dalam hal ini peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja para hakim
dalam mewujudkan rasa keadilan.Kegiatan pengawasan ditujukan semata-mata hanya untuk
menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, efektif dan berorientasi pada pencapaian
visi dan misi organisasi. Dengan adanya pengawasan diharapkan mampu untuk (1)
menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan,
hambatan dan ketidak adilan, (2) mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan,
penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (3) mendapatkan cara-cara
yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
secara efektif.[10]

2. Pengawasan Preventif Dalam Kaitan Dengan Pembatalan Peraturan Daerah


Pembatalan Perda merupakan proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa
yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan, atau diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di
mana terdapat kecocokan atau tidakcocokan, dan apakah sebab-sebabnya.Dengan
demikian, maka pengawasannya dapat bersifat (1) politik, bilamana yang menjadi ukuran
atau sasaran adalah efektivitas dan/atau legitimasi, (2) yuridis (hukum), bilamana tujuannya
adalah menegakkan yuridiksitas dan/atau legalitas, (3) ekonomis, bilamana yang menjadi
sasaran adalah efisiensi dan teknologi, (4) moril dan susila, bilamana yang menjadi sasaran
atau tujuan adalah mengetahui keadaan moralitas. Pengawasan juga merupakan kegiatan
menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya
terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak
ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berujud suatu rencana/plan).

Dengan demikian maka pengawasan yang dilakukan oleh penyelenggara


pemerintahan di pusat terhadap Perda pada hakikatnya merupakan upaya pemerintah
untuk mencocokan materi muatan Perda yang dibuat itu sesuai tidak dengan materi muatan
peraturan perundang-undangan di atasnya. Pengawasan terhadap Perda ini untuk mencapai
harmonisasi materi muatan yang terkait dengan otonomi daerah. Pengawasan ini pun
dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka koordinasi dan integrasi penyelenggaraan
pemerintahan, karena penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan subsistem dari
sistem penyelenggaraan pemerintahan nasional.

Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonomi, yaitu
pengawasan preventif (preventief toetzicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht).
Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum dan tindakan tertentu organ pemerintahan
daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang mengesahkan, sedangkan
pengawasan represif adalah wewenang pembatalanatau penangguhan. Wewenang
pembatalan Perda yang merupakan pengawasan represif dapat dikategorikan
sebagai executive review dimana Pemerintah melakukan pengujian terhadap Perda, dengan
menggunakan indikator pengujian berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki
hirarki lebih tinggi dari Perda, di antaranya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri serta indikator kepentingan umum. Analisa
hukum terhadap pembatalan Perda ini dilakukan dengan menggunakan indikator kepastian
hukum pembatalan Peraturan Daerah, eksistensi pembatalan Peraturan Daerah oleh
pemerintah, dan bentuk aturan hukum pembatalan Perda.

Pengawasan represif terhadap Perda melalui pembatalan Perda telah menimbulkan


ketidakpastian hukum terkait dengan jenis Perda yang memberikan pembebanan berupa
pajak daerah dan retribusi daerah serta jenis peraturan daerah yang memberikan hak-hak
tertentu kepada masyarakat, diantaranya perizinan. Dalam Perda tentang pajak daerah,
wajib pajak telah diberikan pembebanan berupa kewajiban untuk menyerahkan sejumlah
uang tertentu kepada daerah. Adanya pembatalan peraturan daerah tentang pajak daerah,
maka pembatalan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi daerah dan wajib pajak
daerah berkaitan dengan dasar legalitas penagihan pajak daerah. terkait pula dengan Perda
tentang retribusi daerah, baik yang berkaitan dengan golongan retribusi jasa umum,
retribusi jasa usaha, maupun retribusi perizinan tertentu, wajib retribusi daerah telah
diberikan pembebanan untuk melakukan pembayaran sebagai penggantian seluruh atau
sebagian pelayanan jasa yang telah diberikan oleh pemerintah pun, dengan adanya
pembatalan akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi daerah untuk melakukan
penagihan biaya retribusi dan tidak adanya dasar legitimasi bagi masyarakat. Hal yang sama
pun terkait dengan Perda tentang perizinan, yang telah memberikan hak tertentu kepada
masyarakat, maka pembatalan Perda ini pun telah menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah bukan merupakan pembatalan


dalam ranah peradilan. Pembatalan Perda ini merupakan pengawasan represif dalam ranah
hukum administrasi. Hal ini berarti, tindakan pembatalan Perda merupakan pembatalan
terhadap Perda yang sudah sah dan memiliki kekuatan hukum. Menurut pendapat Utrecht,
sebagaimana dikutip oleh Hadjon[11], mengatakan bahwa sah berarti diterima sebagai
sesuatu yang berlaku pasti, kekuatan hukum (rechtskracht) berarti dapat mempengaruhi
pergaulan hukum. Sehingga, pembatalan Perda, terutama bagi Perda yang berupa pajak
daerah, retribusi daerah dan perizinan yang telah menimbulkan hak dan kewajiban dalam
pergaulan hukum harus mempertimbangkan aspek keadilan hukum dan kepastian hukum
agar tidak menimbulkan kerugian dengan adanya pembatalan Perda.

Dalam hukum administrasi dikenal adanya 3 (tiga) bentuk pembatalan, di antaranya


batal karena hukum (nietigheid van rechtswege), batal (nietig), dan dapat dibatalkan
(vernietigbaar). Keputusan yang tidak sah dapat berakibat nietigheid van rechtswege
(batal karena hukum), nietig (batal), atau vernietigbaar (dapat dibatalkan). Nietig
berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada. Konsekuensinya, bagi
hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada. Vernietigbaar berarti bagi hukum
perbuatan yang dilakukan dan akibat hukumnya dianggap ada sampai waktu pembatalan
oleh hakim atau badan pemerintahan lain yang kompeten. Nietigheid van rechtswege
artinya bagi hukum akibat suatu perbuatan dianggap tidak ada tanpa perlu adanya suatu
keputusan yang membatalkan perbuatan itu. Tindakan pemerintahan dapat berakibat batal
karena hukum, batal atau dapat dibatalkan tergantung pada esensial-tidaknya kekurangan
yang terdapat di dalam keputusan itu.[12]

Berdasarkan Pasal 145 UU Pemda ada kewajiban mengirimkan semua Perda yang
sudah ditandatangani ke Kemendagri. Dalam dua bulan, Kemendagri seharusnya me-review.
Kalau misalnya Perda tidak sesuai peraturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan.
Kalau kemudian penyelenggara pemerintahan di daerah dan DPRD tidak puas,
bisa mengajukan keberatan ke MA. Kemudian yang kedua, MA melalui mekanisme judicial
review. Ketentuan UU Pemda yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk mereview Perda, tidak berarti menutup peluang MA untuk melakukan reviewPerda.
UU Pemda hanya memberikan kriteria untuk excecutive review, bukan berarti judicial
review jadi ditutup. Karena untuk mereview Perda bisa mengaju pada peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan MA.

Pengaturan secara yuridis normatif tentang kontrol norma hukum melalui hak menguji
materiil (judicial review) terhadap undang-undang di Indonesia, barulah secara tegas diatur
setelah perubahan UUDNRI Tahun 1945 pada tahun 2000 yang kewenangannya diserahkan
kepada MK. Sejak amandemen UUDNRI Tahun 1945, MK diberikan wewenang melakukan
pengujian secara materiil atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
sedangkan MA berwenang melakukan pengujian secara materiil atas peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal mana nampak secara
jelas dalam Pasal 24C ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 (tentang wewenang MK) dan Pasal 11
ayat (2.c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LN RI
Tahun 2004 Nomor 8, TLN Republik Indonesia Nomor 4358), Pasal 31 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (LNRI Tahun 2004 Nomor 9, TLN RI Nomor 4359).

Disamping kontrol terhadap undang-undang sebagaimana yang dijelaskan diatas,


maka Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Gubernur, Bupati, Walikota bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten,
Kota. Pembentukan Perda dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan
yang lebih tinggi, juga membutuhkan sarana untuk dikontrol, walaupun pembentukan Perda
berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Jimlly Asshiddiqie[13], Perda
adalah merupakan salah satu bentuk pelaksana undang-undang.

Kalau dikatakan Perda sebagai produk legislatif, maka menjadi permasalahan apakah
Pemerintah berwenang untuk melakukan pembatalan Perda? Menurut penulis yang
berwenang untuk membatalkan Perda adalah MA.Mengapa dikatakan bahwa wewenang
pembatalan Perda merupakan wewenang MA? Karena sebagai negara yang menganut
sistem pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka tugas
lembaga eksekutif hanyalah menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan perintah
peraturan perundang-undangan, lembaga legislatif bertugas menetapkan undang-undang,
sedangkan tugas lembaga yudikatif adalah melaksanakan fungsi mengadili. Dengan demikian
maka proses pembatalan Perda merupakan wewenang dari MA sebagai puncak tertinggi
kekuasaan pengadilan. Sebagai konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan,
maka pengujian terhadap Perda apabila bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi seyogyanya merupakan wewenang MA sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Karena Hal ini berarti pembatalan Perda sebagai
pengawasan represif yang merupakan wewenang Pemerintah bertentangan
dengan UUDNRI 1945. Untuk memberikan penyeragaman dalam wewenang pengujian
peraturan perundang-undangan, maka pembatalan Perda harus dilakukan oleh MA.

Pembatalan Perda yang terkait dengan materi muatan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah atau menampung kondisi khusus daerah seyogyanya tidak dapat
dibatalkan oleh Pemerintah. Dalam hal tertentu, materi muatan ini tentunya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsekuensi hukum
dengan adanya materi muatan ini, maka adalah tidak logis apabila Pemerintah melakukan
pembatalan Perda hanya didasarkan pada tidak adanya pengaturan materi muatan Perda
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adanya materi muatan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah atau menampung kondisi khusus daerah
sudah pasti tidak memiliki pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yang lebih mengedepankan norma hukum abstrak-umum, sedangkan materi muatan
Perda dimaksud merupakan materi muatan Perda lebih mengedepankan norma hukum
konkrit-umum.

Pelaksanaan pengawasan terhadap pembentukan Perda oleh penyelenggara


pemerintahan di pusat yang menghasilkan adanya pembatalan terhadap keberlakuan
suatu Perda. Dalam praktek yang ada, selama ini pembatalan Perda ada yang dilakukan
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disingkat Kepmendagri). Pembatalan
Perda oleh Mendagri tidak tepat,excecutive review terhadap Perda oleh Kemendagri, tapi
pembatalannya harus dituangkan dalam Peraturan Presiden. Menurut UU PPP,Kemendagri
sudah tidak bisa mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tidak bisa
sebuah Perdadibatalkan oleh Kepmendagri.Dengan demikian, Keputusan Mendagri yang
membatalkan Perda dapat dikatakan memiliki cacat hukum. Implikasi hukumnya, provinsi
dan kabupaten/kota bisa saja tidak menuruti pembatalan itu.Oleh karena itu, pembatalan
Perda oleh Pemerintah tidak dapat dilakukan terhadap keseluruhan Perda. Seyogyanya
dilakukan pembatasan terhadap pembatalan Perda, karena pembentukan Perda didasarkan
pada atribusi kewenangan yang berkaitan dengan materi muatan Perda dimaksud.

Pembatalan Perda sebagai pengawasan represif merupakan wewenang Pemerintah


dalam sistem negara kesatuan. Namun dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya berdasarkan UUDNRI Tahun 1945, pengawasan represif bukan
merupakan satu-satunya jenis pengawasan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Dalam
pendekatan penyerahan sebagaian urusan pemerintahan kepada penyelenggara
pemerintahan di daerah, maka negara mengakui keberadaan daerah sebagai organ negara
yang menjalankan urusan pemerintahan di daerah. Penyerahan urusan tersebut sekaligus
dengan penyerahan kewenangan pembentukan Perda kepada penyelenggara pemerintahan
di daerah.

Menulis penulis, negara tidak lagi dapat mengintervensi pelaksanaan urusan yang
telah diserahkan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah. Dengan adanya
pembatalan Perda, maka negara telah mengintervensi penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Negara tidak lagi berhak untuk membatalkan Perda yang dibentuk. Dalam kaitan
dengan hubungan koordinasi, maka negara dapat melakukan koordinasi terkait dengan
pembentukan Perda. Koordinasi tersebut dapat diwujudkan melalui pengawasan preventif.

C. Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

Hakekat muatan materi Perda yang mengakomodir kepentingan masyarakat di daerah


guna mencapai suatu kebahagiaan yang terbesar kepada masyarakat, mesti dihargai oleh
penyelenggara pemerintahan di pusat sebagai urusan penyeleggara pemerintahan di daerah
dalam mengupayakan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada masyarakat di daerah.
pengakuan tersebut pula maka daerah berhak menetapkan Perda untuk menampung kondisi
khusus kepada daerah dan mengatur kehidupan bersama masyarakat di daerahnya dalam
pergaulan antar individu. Dengan pengakuan itu, maka pemerintah di pusat tidak lagi dapat
mengintervensi pembentukan Perda, sekalipun muatan materi Perda yang dibentuk oleh
penyelenggara pemerintahan di daerah terdapat pertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, kecuali jika mutan materi tersebut bertentangan dengan konstitusi dan hakekat
pembentukan Perda itu sendiri. Dengan demikian maka harus ada pengawasan preventif
penyelenggara pemerintahan di pusat terhadap proses pembentukan Perda.

2. Saran

Untuk melakukan pencegahan terhadap adanya pemahaman daerah dengan adanya


otonomi yang telah mengarah pada suatu kebebasan, seyogyanya diperlukan adanya
pengawasan preventif yang bukan diartikan sebagai pembatasan terhadap prinsip
otonomi.Namun pengawasan preventif sebagai suatu upaya pencegahan terhadap Perda
sebelum diberlakukan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Melalui pengawasan preventif berupa pengesahan Perda yang telah ditetapkan, Pemerintah
melakukan koreksi atau perbaikan terhadap Perda.

Bentuk Pengawasan dan Mekanisme Pengawasan Terhadap Perda yang di anggap


bermasalah oleh Pemerintah Pusat.

Bentuk pengawasan :

1) Pengawasan umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap segala kegiatan pemerintahan daerah dengan baik. Pengawasan umum
terhadap pemerintahan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan
Gubernur/Bupati/Walikota atau kepala daerah sebagai wakil pemerintah di daerah
yang bersangkutan.

2) Pengawasan preventif dilakukan terhadap suatu rancangan peraturan daerah atau


sebelum suatu peraturan daerah disahkan dan berlaku. Dengan pengawasan perfentif
ini pemerintah pusat dapat memahami sejauh mana kebutuhan hukum masyarakat
didaerah apakah dipaksakan ataupun tidak.

3) Pengawasan represif merupakan suatu paksaan pemerintah terhadap daerah dalam


rangka menjaga keselarasan antara otonomi daerah dengan sistem Negara kesatuan
yang dianut Indonesia serta menjaga rasa keadilan masyarakat. dengan bentuk
pengawasan yang seperti ini maka sebenarnya pemerintah pusat telah dapat
menghindari lahirnya suatu peraturan daerah yang akhirnya kan merugikan masyarakat
itu sendiri.

Mekanisme Pengawasan :

Mekanisme pengawasan terhadap perda yang dianggap bermasalah oleh pemerintah pusat
itu dengan cara, apabila ditemukanya suatu perda yang dianggap bermasalah maka
mekanisme pembatalan perda oleh Presiden dilakukan melalui proses pengajuan
rekomendasi pembatalan perda dari Menteri Keuangan kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri. Setelah melakukan evaluasi, Mendagri mengajukan permohonan pembatalan
kepada Presiden hal ini berdasarkan Pasal 158 UU No. 28 Tahun 2009,.
Diposting oleh ArissyaErmaya di 04.47

ASAS-ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH, ASAS MATERI MUATAN, LINGKUNGAN


BERLAKUNYA HUKUM

1. ASAS-ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERDA

Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang undangan sesuai ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :

a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus


mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang
dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang.

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan.
d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena


memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat,
berbangsa dan bernegara.

f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari


perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

2. ASAS MATERI MUATAN


a. asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi

c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.

d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesiadan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila.

f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh
berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras,
golongan, gender atau status sosial.

i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

3. LINGKUNGAN BERLAKUNYA HUKUM (GELDING GEBIED


VAN HET RECHT)

A. Tempat (ruim tege bied atau territorial sphere)

Lingkungan kuasa tempat (ruim tege bied) yang menunjukan tempat berlakunya hukum atau
perundang-undangan. Apakah sesuatu ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku
untuk seluruh wilayah Negara atau hanya sebagian wilayah Negara (Daerah Tingkat I tertentu atau
Daerah Tingkat II tertentu saja).

Seperti dibatasi oleh ruang atau tempat, untuk suatu wilayah Negara atau hanya berlaku untuk
suatu bagian dari wilayah Negara, serta suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu.

B. Persoalan (zakengebied atau material sphere)

Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied) yaitu, menyangkut masalah atau persoalan yang
diatur, misalnya, apakah mengatur persoalan perdata atau mengatur persoalan publik, lebih sempit
lagi, apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan kewarganegaraan, Materi atau
persoalan tertentu yang diatur, menunjukan lingkup masalah atau persoalan yang diatur, persoalan
public atau perivat, persoalan perdata atau pidana dan lain sebagainya.

C. Orang (personengebied)

Lingkungan kuasa orang (personengebied) yaitu, menyangkut orang yang diatur, apakah
berlaku untuk setiap penduduk ataukah hanya untuk pegawai negeri saja misalnya, ataukah hanya
untuk kalangan anggota ABRI saja dan lain sebagainya.

Hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk, adanya
pembatasan mengenai orangnya, tetntang pegawai negeri, tentang pidana militer, tentang pajak
orang asing.

D. Waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)

Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebield) yang menunjukan sejak kapan dan sampai kapan
berlakunya sesuatu ketentuan hukum dan perundang-undangan.
Kapan suatu peraturan perundang-undangan berlaku, berlaku untuk suatu masa tertentu
atau untuk masa tidak tertentu, berlaku sejak ditetapkan atau berlaku surut.

Dalam rangka menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan dan
kemandirian dalam mengatur urusan pemerintahan daerah. Masing-masing daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya berhak untuk
membuat kebijakan baik dalam rangka peningkatan pelayanan maupun dalam rangka meningkatan
peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah. Salah satu unsur penting dalam implementasi
proses tersebut adalah melalui pembentukan peraturan daerah.

Peraturan Daerah atau yang sering disingkat dengan Perda merupakan instrumen yang strategis
dalam mencapai tujuan desentralisasi. Peranan perda dalam otonomi daerah meliputi:

1. Perda sebagai instrumen kebijakan dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas dan
bertanggungjawab.
2. Perda merupakan pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3. Penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat daerah.
4. Sebagai alat transformasi perubahan daerah.
5. Harmonisator berbagai kepentingan.
Peraturan Daerah yang disebut dengan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah. Jenis peraturan daerah termasuk kedalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Baca juga : Sistem Pemerintahan.

Peraturan Daerah terdiri atas:

Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk
oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah
Provinsi.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Perda memiliki muatan materi
sebagai berikut.

penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;


penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyusunan perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan
pengundangan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan yang
selanjutnya akan dibahas pada posting selanjutnya. Namun dalam pembentukannya, peraturan
daerah perlu memperhatikan beberapa asas berikut ini.

Muatan peraturan daerah mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan
(asas positivisme dan perspektif);
Memperhatikan asas lex specialis derogat legi generalis (debijzondere wet gaat voor de
algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat
umum.
Memperhatikan asas lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor de lagere wet),
yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan ketentuan yang lebih rendah.
Memperhatikan asas lex posterior derogate legi priori (de laterewet gaat voor de eerdere), yakni
ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu. Baca juga : Asas
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara.
Dalam UU Pemerintahan Daerah, peraturan daerah dapat memuat ketentuan mengenai pembebanan
biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu Perda dapat memuat ancaman pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain sanksi diatas, Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada
keadaan semula dan sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Itulah beberapa hal terkait peraturan daerah yang dapat ditulis oleh pemerintah.net dari berbagai
bahan yang tersedia. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Download :

1. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


2. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai