Anda di halaman 1dari 17

DISKRIMINASI TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM

MEMPEROLEH PEKERJAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hukum Publik Internasional dan Hak Asasi Manusia

Oleh
IWAN KURNIAWAN, SH
NIM. 150720101007

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Setiap tindakan dalam
pemerintahan maupun perlakuan terhadap warga negara Indonesia dilakukan berdasarkan atas
hukum sebagai rujukan petama dalam penyelenggaraan pemerintahan serta dalam rangka
menjamin kehidupan masyarakat Indonesia. Persoalan yang paling penting dalam negara
hukum ialah adanya pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam
setiap bidang kehidupan yang artinya menghormati, melindungi, dan melakukan pemenuhan
terhadap HAM khususnya bagi para penyandang difabel.
Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta
dalam pembangunan. Penyandang disabilitas sebagai bagian dari anggota masyarakat
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Akan
tetapi dalam ranah kehidupan yang lebih luas, banyak terjadi seseorang dengan disabilitas
dikesampingkan dalam berbagai bidang kehidupan baik secara partisipasi sosial maupun
individual. Ketika seseorang tidak dapat bekerja, sulit diterima bergaul secara wajar, tidak
dapat diterima belajar disekolah karena yang dilihat adalah seseorang tersebut cacat, tidak
mampu, dan perlu direhabilitasi.1.
Pengalaman terhadap kejadian-kejadian yang menimpa kaum disabilitas dalam
kenyataannya bertentangan dengan jaminan yang sudah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Perlakuan diskriminasi dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan
pekerjaan, penyediaan fasilitas umum, memperoleh pendidikan, penegakkan hukum maupun
dalam hak-hak politik. Sebagai salah satu contoh perlakuan diskriminatif terhadap penyandang
disabilitas, kita masih sering membaca dalam pengumuman penerimaan calon pegawai negeri
atau karyawan swasta salah satu poin yang mensyaratkan bahwa pelamar harus sehat jasmani
dan rohani. Biasanya persyaratan tersebut tertulis tanpa penjelasan, sehingga maknanya pun
sangat umum. Arti sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain seseorang tidak memiliki
kekurangan fisik, terbebas dari segala penyakit seperti penyakit ginjal, kanker, atau penyakit
lainnya. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental (psikis)
namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua istilah sehat jasmani maupun
rohani lebih merujuk pada kondisi penyandang disabilitas. Seseorang akan
[1] YLBHI, 2014, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h.254
1
dengan langsung ditolak menjadi murid/siswa disekolah umum jika nyata-nyata dia memiliki
kekurangan secara fisik/disabilitas. Namun tidak bagi mereka yang mengidap penyakit
kencing manis, radang paru, jantung atau penyakit sejenis yang tidak nyata kelihatan. Hal ini
akan menjadi aneh ketika semua persyaratan tersebut digeneralisasikan untuk semua jenis
pekerjaan dan pendidikan. Fakta lain yang dapat dijadikan contoh adalah tentang keberadaan
fasilitas umum di sekitar kita. Fasilitas umum seperti transportasi umum, bangunan umum
seperti, kantor bank, rumah sakit, puskesmas, sekolah, kampus, dan sebagainya dibangun
dengan tanpa memperhitungkan keberadan para penyandang disabilitas. Penyandang
disabilitas sebagaimana anggota warga negara yang lain tentunya memiliki hak yang sama
untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh pemerintahnya. Mengesampingkan keberadaan
mereka berarti juga telah memperlakukan kelompok para penyandang disabilitas secara
diskriminatif.
Penyandang disabilitas sebagai salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial
perlu mendapat perhatian agar mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penyandang
disabilitas didalam mobilitasnya secara tidak langsung akan mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas jika dibandingkan dengan orang yang normal secara fisik penyandang
disabilitas secara psikis akan mengalami rasa rendah diri dan kesulitan dalam menyesuaikan
diri di masyarakat, karena perlakukan masyarakat atau lingkungan sekitar berupa celaan atau
belas kasihan ketika memandang mereka.2 Permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas
di Indonesia antara lain kurangnya akses informasi tentang pentingnya melakukan rehabilitasi,
kurangnya fasilitas umum yang mempermudah para penyandang disabilitas melaksanakan
kegiatan sehari-hari, kurangnya akses terhadap pendidikan dan kurangnya akses pekerjaan
untuk penyandang disabilitas.3
Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas juga merupakan bagian dari
warga negara Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama
dengan warga negara lainnya. Bahkan UUD 1945 telah mengatur bahwa Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan HAM
yang dilegitimasi oleh pemerintah berupa regulasi atau produk hukum berupa Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ada beberapa macam Hak Asasi Manusia
yang mendasar, antara lain : hak asasi pribadi (personal rights), hak asasi politik (political

[2] Eny Hikmawati dan Chatarina Rusmiyati, Kebutuhan Pelayanan Sosial Penyandang Cacat, Jurnal Informasi 2
Vol. 16 Nomor 1 Tahun 2011, hal 18
[3] Eny Hikmawati dan Chatarina Rusmiyati, Op.Cit, hal 19
rights), hak asasi hukum (legal equity rights), hak asasi ekonomi (property rights), hak asasi
peradilan (procedural rights), serta hak asasi sosial budaya (social culture rights).4 Dari uraian
latar belakang tersebut diatas maka penulis mengambil judul DISKRIMINATIF
TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM MEMPEROLEH PEKERJAAN
SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pemikiran dan latar belakang diatas, pokok permasalahan yang
ingin dianalisis dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah bentuk tindakan diskriminatif dalam persyaratan memperoleh pekerjaan
terhadap Penyandang disabilitas yang melanggar HAM?
2. Bagaimanakah Perlindungan Atas Tindakan Diskriminatif Penyandang Disabilitas di
Indonesia dalam memperoleh pekerjaan?

[4] Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tindakan Diskriminatif Dalam Mendapatkan Pekerjaan Terhadap Penyandang


Disabilitas

Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan
masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya
penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya
perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama
perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut
dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia universal.5 Penyandang disabilitas merupakan kelompok
masyarakat yang beragam, diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas
fisik, disabilitas mental maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Kondisi
penyandang disabilitas tersebut mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan untuk
berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar sehingga memerlukan
dukungan dan bantuan dari orang lain.6 Selain itu penyandang disabilitas menghadapi
kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat non disabilitas dikarenakan hambatan
dalam mengakses layanan umum, seperti akses dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun
dalam hal ketenagakerjaan.
Kecacatan seharusnya tidak menjadi halangan bagi penyandang disabilitas untuk
memperoleh hak hidup dan hak mempertahankan kehidupannya. Landasan konstitusional bagi
perlindungan penyandang disabilitas di Indonesia, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 28 A
UUD 1945, yakni :
"Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya".
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup
merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable
rights). Hak hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup,
maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Selain hak untuk hidup, apabila membicarakan isu-isu
mengenai hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas, kita juga harus mengakui bahwa
[5] Majda El Muhtaj, 2008, DimensiDimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan 4
Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 273.
[6] International Labour Office, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di
Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, hlm. 3.
penyandang disabilitas sebagai manusia dan warga negara memiliki hak sipil dan politik, serta
memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak Sipil dan politik dipandang sebagai hak-hak
yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati
keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam
bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, yang meliputi:
Hak hidup, Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, Hak bebas dari
perbudakan dan kerja paksa, Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, Hak atas kebebasan
bergerak dan berpindah, Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum, Hak
untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama, Hak untuk bebas berpendapat dan
berekspresi, Hak untuk berkumpul dan berserikat, dan Hak untuk turut serta dalam
pemerintahan. Selain itu Hak ekonomi, sosial, dan budaya, juga harus dilindungi dan dipenuhi
agar manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya seperti Hak atas pekerjaan, Hak
mendapatkan program pelatihan, Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik,
Hak membentuk serikat buruh, Hak menikmati jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, Hak
menikmati, Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan,
Hak terbebas dari kelaparan, Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi,
Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma, Hak untuk berperan serta
dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan. 7 Penyandang
disabilitas membutuhkan perhatian dari pemerintah untuk memperoleh hak-hak tersebut.
Penyandang disabilitas bagi sebagian orang masih dipandang sebagai seseorang yang
lemah, aib, tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak memiliki keahlian. Bahkan masih
banyak pihak yang mendiskriminasikan penyandang disabilitas lebih didasarkan pada kondisi
fisik atau kecacatan yang disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para
penyandang disabilitas secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa
dengan kondisi penyandang disabilitas yang mereka miliki, dianggap tidak mampu melakukan
aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat
dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan.
Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima seorang
penyandang disabilitas sebagai karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang
disabilitas tidak akan mampu melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan

[7] Mengenal Kovenan Hak Sipil dan Politik, http://indraswat.wordpress.com, tanggal akses 5
12 Oktober 2014.
penyandang disabilitas, sehingga bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para
penyandang disabilitas sama artinya

[7] Mengenal Kovenan Hak Sipil dan Politik, http://indraswat.wordpress.com, tanggal akses 5
12 Oktober 2014.
dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus menyediakan
beberapa alat bantu bagi kemudahan para penyandang disabilitas dalam melakukan
aktifitasnya padahal pada Pasal 13 Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat menyebutkan Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis serta derajat kecacatannya dan pada pasal 14
Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan, perusahaan
negara seperti BUMN dan BUMD maupun perusahaan swasta harus mempekerjakan
sekurang-kurangnya satu orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi
pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 orang karyawan tanpa diskriminasi dalam
pengupahan dan jabatan yang sama. Kemudian Pasal 28 Undang-undang tersebut bahkan
memberi ancaman, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 diancam dengan pidana kurungan
selama-lamanya 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya 200 juta. Persoalannya, kendati
sudah adanya aturan tersebut, malah implementasi dari undang-undang ini masih jauh dari
yang diharapkan, tak semua perusahaan dan instansi pemerintah menerapkan ketentuan seperti
itu.
Ketentuan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memberi kerangka acuan global bahwa Tiap-
tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan .
Makna yang terkandung didalamnya mempunyai arti bahwa tidak ada perbedaan setiap warga
untuk memperoleh pekerjaan, baik warga penyandang cacat maupun masyarakat pada
umumnya. Namun pada kenyataannya, banyak sekali penyimpangan terhadap pasal tersebut.
Kita masih sering membaca dalam pengumuman penerimaan calon pegawai atau karyawan
salah satu poin yang mensyaratkan bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani. Biasanya
persyaratan tersebut tertulis tanpa penjelasan, sehingga maknanya pun sangat umum. Arti
sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia
juga terbebas dari segala penyakit seperti penyakit ginjal, kanker, jantung atau
penyakitlainnya. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental
(psikis) namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua istilah sehat jasmani
maupun rohani lebih merujuk pada kondisi penyandang disabilitas. Seseorang akan dengan
langsung ditolak menjadi pelamar kerja jika nyata-nyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang.
Namun tidak bagi mereka yang mengidap penyakit kencing manis, radang paru, atau penyakit
sejenis yang tidak nyata kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika kedua persyaratan

6
tersebut digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan. Salah satu contoh nyata perlakuan
diskriminatif terhadap penyandang disabilitas yaitu Gufron dengan lengan yang tidak tumbuh
seperti lazimnya lengan orang lain selalu gagal memperoleh pekerjaan di perusahaan swasta
dan instansi pemerintah, karena tidak terpenuhinya syarat sehat secara jasmani dan rohani. 8
Diskriminasi juga terjadi kepada Ade Rahmat, penyandang tuna netra yang mengikuti ujian
penerimaan CPNS di Kota Bandung, ia harus didampingi oleh dua orang panitia untuk
membacakan isi pertanyaan dan menuliskan jawaban serta seorang kerabat sebagai saksi. Saat
ujian, kesulitan muncul saat harus mengerjakan pertanyaan jenis logika karena dari 200
pertanyaan, 80 di antaranya menggunakan gambar. Kesulitan sebenarnya tidak hanya dialami
oleh Ade, namun juga panitia pendamping karena sulit untuk menjelaskan gambar pada
pertanyaan dimaksud dan bagi penyandang cacat, khususnya tuna netra daftar pertanyaan yang
diajukan seharusnya menggunakan huruf braille.9
Pada Pasal 5 Undang Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disebutkan
bahwa:
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan,10

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga telah disebutkan bahwa Negara telah
menjamin bahwa setiap warga negaranya berhak memperoleh Hak Asasi. Salah satunya adalah
hak memperoleh pekerjaan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab
XA Pasal 28 D ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Mengacu pada
Pasal tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa dalam hak dan perlindungan kerja merupakan
hal mutlak yang harus diberikan kepada setiap orang yang bekerja tanpa mengenal dikriminasi
dan membeda-bedakan seseorang atas dasar status, ras, agama maupun kondisi fisik
seseorang.11 Pasal tersebut jelas menerangkan bahwasanya setiap penyandang cacat memiliki
hak yang sama dengan warga lainnya, tidak ada diskriminasi dan pembedaan. Bertumpu pada
dasar falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka setiap warga negara memiliki kesempatan yang
sama baik dalam hal pekerjaan, mengakses fasilitas umum, mendapatkan kehidupan dan
penghidupan yang layak, dan sebagainya.

[8] Perlakuan Diskriminasi Masih Terjadi pada Penyandang Cacat, dalam http://www.hukumonline.com 7
/berita/baca/hol20798/perlakuan-diskriminasi-masih-terjadi-pada-penyandang-cacat. Rabu, 24 Desember 2008.
[9]Penyandang Cacat Nilai Tes CPNS Diskriminatif, http://www.tempo.co/read/news/2014/02/19/058555791/
Penyandang-Cacat-Nilai-Tes-PNS-Diskriminatif, Rabu, 19 Februari 2014 | 19:24 WIB
[10]Pasal 5 Undang Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
[11] Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h.94.
Apa yang termaktub dalam peraturan yang telah diatur oleh pemerintah baik di
Indonesia maupun Negara lain ternyata tidak disertai dengan pelaksanaannya di lapangan.
Hampir di seluruh dunia diketahui bahwa 80 persen dari penyandang disabilitas hidup di
bawah garis kemiskinan.12. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah pedesaan yang
terpencil dan jauh dari pusat kota. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas menghadapi
kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya sebab mereka memiliki
hambatan dalam mengakses layanan umum. Penyandang disabilitas seringkali tidak memiliki
akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan perekonomian.
Kurangnya akses dalam transportasi, bangunan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan
beberapa contoh yang menjadi penghambat dalam kehidupan sehari-hari para penyandang
disabilitas. Para penyandang disabilitas juga memiliki kemungkinan kecil untuk dipekerjakan
dibandingkan dengan mereka yang tanpa disabilitas. Selain itu ketika mereka dipekerjakan,
seringkali mereka bekerja untuk pekerjaan yang dibayar rendah dengan kemungkinan promosi
yang sangat kecil.
Paradigma yang baru saat ini lebih memandang penyandang disabilitas sebagai subjek
bukan objek lagi. Kemudian tidak dilihat juga sebagai individu yang cacat, namun sebagai
individu yang bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri secara penuh dan mempunyai
hak, kewajiban yang setara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian,
penyandang disabilitas berhak untuk bersaing dalam segala bidang kehidupan sesuai dengan
jenis dan tingkat derajat kecacatannya. Berbekal pada kemampuan dan keterampilan yang
dimiliki, tidak sedikit penyandang disabilitas bahkan berhasil mengangkat tingkat
kesejahteraan dalam kehidupan yang lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari peran penempatan
tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat (the right person on the right job) sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya. HAM tidaklah bertumpu pada perbedaan suku,
agama, bahkan kelainan fisik sekalipun.
Tindakan diskriminatif sebagai bentuk pelanggaran HAM merupakan suatu kejadian
yang bisa setiap saat kita jumpai dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, hal ini
disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan satu dengan yang lain.
Perbuatan diskriminatif dapat merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu
maupun kelompok tertentu dan memperlihatkan bahwa spektrum diskriminasi dapat terjadi

[12] ILO. Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan pelatihan dan Kerja 8
bagi Penyandang Disabilitas. Reader Kit ILO, hlm. 3.
dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan secara langsung maupun tidak langsung.
Diskriminasi tersebut dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan
Pemerintah yang mengandung unsur-unsur diskriminasi. Atau dapat pula berakar pada
perlakuan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan, jenis kelamin, ras,
agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi pisik atau karakteristik lain yang diduga
merupakan dasar dari tindakan diskriminatif. Meskipun penyandang disabilitas memiliki
keterbatasan kemampuan berupa kecacatan fisik, akan tetapi penyandang disabilitas tetap
mampu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Baik itu aktivitas untuk bekerja maupun
bersosialisasi. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa penyandang disabilitas sehat rohani
namun tidak sehat jasmani adalah salah yang justru memojokkan penyandang disabilitas dan
tidak adanya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan yang layak
menjadi sebuah diskriminasi. Orang yang disebut penyandang cacat dianggap mempunyai
rintangan atau hambatan dalam bermasyarakat. Bukankah sebenarnya yang mempunyai
hambatan adalah mereka. Hambatan tersebut berupa ketidaktahuan atau kekeliruan cara
pandang mereka sehingga tidak mampu memandang adanya potensi dan kemampuan dari
orang yang mereka sebut penyandang cacat atau bahkan yang sekarang ini mereka sebut
dengan orang dengan kecacatan. Ketidaktahuan atau kekeliruan cara berpikir dan keengganan
untuk berpikir kritis inilah yang membuat mereka tidak mampu membuat program-program
yang dapat menyelesaikan persoalan. Akibatnya, program-program yang mereka buat dan
mereka laksanakan adalah hal-hal yang bersifat rutin, karikatif, tidak didasarkan pada esensi
persoalan, dan cenderung simplifikatif, bahkan diskriminatif.

2.2 Perlindungan Atas Tindakan Diskriminatif Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam


Memperoleh Pekerjaan

Diskriminatif merupakan suatu bentuk ketidakadilan di berbagai bidang yang secara


tegas dilarang berdasarkan UUD 1945. Penegakan hukum melawan perlakuan diskriminatif
yang lahir akibat adanya perbedaan-perbedaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan arah kebijakan yang mendorong jaminan perlindungan
negara terhadap pelaksanaan hak-hak dasar masyarakat. Keberpihakan negara terhadap
pelaksanaan hak asasi manusia perlu diwujudkan dalam kerangka peraturan perundang-
undangan yang secara jelas dan tegas melarang praktik-praktik perlakuan diskriminatif dan

9
pelanggaran HAM, dan untuk selanjutnya dilaksanakan upaya penegakan hukum secara
konsisten.
Undang Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat memberikan landasan
hukum yang kuat bagi pekerja disabilitas fisik untuk mendapatkan kesempatan, hak,
kewajiban yang sama dengan pekerja yang non disabilitas, sehingga diskriminasi di tempat
kerja yang didapatkan disabilitas dapat dihindari. Dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan juga memberikan perlindungan hukum teknis terhadap pekerja
disabilitas yang berupa aksesibilitas, alat kerja dan alat pelindung diri yang disesuaikan
dengan jenis dan derajat kecacatannya. Pengusaha memikul tanggungjawab utama dan secara
moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan
tenaga kerja.13 Perlindungan tenaga kerja ditunjukan kepada perbaikan upah, syarat kerja,
kondisi kerja dan hubungan kerja, keselamatan kerja, jaminan sosial di dalam rangka
perbaikan kesejahteraan tenaga kerja secara menyeluruh. 14 Pekerja disabilitas fisik memiliki
hak, kewajiban, kesempatan, dan peran yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak sebagaimana yang didapatkan oleh pekerja non disabilitas. Hal
tersebut telah ditegaskan di dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan bahwa setiap tenaga kerja
memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya suatu
diskriminasi.
Diskriminasi dalam tatanan HAM secara esensi amat berbeda dengan segala sesuatu
yang lain. Tuhan yang Maha Esa menciptakan dan memandang manusia sungguh amat
berbeda dengan ciptaan-ciptaannya yang lainnya, oleh karena itu perlindungan HAM bagi
manusia seharusnya dapat dilindungi secara utuh, sehingga hak-hak kemanusian itu sudah
sedemikian tercipta sejak lahir kedunia. Sudah diketahui bersama bahwa manusia tidak dapat
dipisahkan dari mulai hak-hak melanjutkan hidupnya, hingga hak hidup untuk kualitas yang
utuh. Maka dikenal hak bermasyarakat, hak berpolitik, hak bernegara, dan kurang lebih sama
pentingnya ialah hak meyakini segala sesuatu yang dipandang sebagai pegangan hidupnya
dalam konteks spritual, hak memeluk sesuatu agama atau keyakinan, hak menjalani budaya,
dan adat istiadatnya. Jika rangkaian hak seperti itu, maka amat relevan pula bila ada hak untuk
tidak dibeda-bedakan (Freedoms from disckriminatory). Secara normatif, sudah ada beberapa
instrumen hukum dan peraturan untuk melindungi hak penyandang cacat dalam dunia kerja

[13] Imam Soepomo, 1987, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, hlm. 81 10
[14] G. G. Kartasapoetra, R.G Kartasapoetra, dan A.G. Kartasapoetra, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia
Berdasarkan Pancasila, Cet III, Sinar Grafika, Jakarta,.,hlm.127
yaitu :
1. Dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, Tiap-tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.[15]
2. Dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan, Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.[16]
3. Dalam Undang-undang No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat pasal 13
menegaskan bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.[17]
4. Dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 67 ayat (1)
menyatakan,Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya[18]
Pada dasarnya banyak peraturan perundang- undangan yang dibuat untuk memenuhi
atau melindungi hak asasi difabel, hal ini membuktikan bahwa penyandang disabilitas
mempunyai kesempatan yang sama dan dilindungi oleh pemerintah, dimana kesempatan ini
diberikan dalam berbagai bidang aspek untuk memenuhi kehidupan salah satunya dengan cara
bekerja dan memperoleh pekerjaan. Namun demikian penyandang cacat dalam dunia kerja
masih sangat lemah, meski telah ada perlindungan hukum dari beberapa undang-undang dan
peraturan pemerintah, tetapi hal ini masih terbukti sulit untuk meraih kesempatan dalam dunia
kerja, baik disektor pemerintah maupun negara, jika pun ada yang mempekerjakan penyadang
cacat hal ini belum tentu apakah benar terpenuhinya hak penyandang cacat dalam dunia kerja.
Sehingga dapat dikatakan hanya sedikit dari sekian banyak perusahaan ataupun instansi
pemerintah yang memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat,sehingga meskipun ada
peraturan perundangan yang mengatur perlindungan penyandang disabilitas akan tetapi tidak
mempunyai suatu kekuatan hukum untuk membuat efek jera kepada pelanggarnya. Selain itu,
pengaruh aspek struktur dan budaya hukum di Indonesia sehingga peraturan perundang-
undangan belum dapat dilaksanakan dan untuk itu diperlukan affirmative action yaitu, suatu
pengambilan kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun
profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang
sama dengan tujuan untuk mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek

[15]Indonesia, Undang-Undang tentang Undang-undang Dasar 1945, pasal 27 ayat 2 11


[16]Ibid. Pasal 28D ayat (2)
[17]Indonesia, Undang-undang tentang Penyandang Cacat, UU No. 4 Tahun1997, pasal 13.
[18]Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, pasal 67
kehidupan dan penghidupan terutama bagi penyandang disabilitas dan mereka berhak
mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah kepada penyadaran kepada publik akan
pahamnya terhadap konsep HAM khususnya bagi penyandang disabilitas dan kewajiban
mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial sehat dan wajar.
Pemerintah perlu mengadakan kegiatan serta sosialisasi yang bermisi pola penyadaran
kepada para penyandang disabilitas itu sendiri. Di Indonesia hanya sedikit penyandang
disabilitas yang mempunyai kesadaran akan hak-haknya dan gigih dalam memperjuangkan
hak dan kewajibannya. Kendala yang paling utama adalah perasaan inferior yang merupakan
problem psikologis yang cenderung dimiliki oleh kebanyakan penyandang disabilitas terutama
mereka yang tinggal di pedesaan serta pelosok-pelosok dan yang tidak mengenyam dunia
pendidikan yang lebih tinggi. Perasaan inferior karena problem atau keterbatasan fiskal dan
paradigma menerima kondisi apa adanya yang menimpanya seakan menjadi legitimasi untuk
tidak berfikir kritis, berjuang lebih keras, tidak mudah menyerah dan bersikap wajar

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Perlindungan pemerintah dalam mengakomodir hak-hak penyandang cacat khususnya


dalam meraih pekerjaan, secara normatif hanya mengacu kepada UU No. 4 tahun 1997 yang
perumusannya masih mengandung kelemahan, dan multi interpretatif sementara itu, peraturan
teknis mengenai penguatan hak-hak penyandang cacat dalam sebuah peraturan daerah
(PERDA) masih belum ada, sehingga hal itu berimplikasi terhadap masih belum kuatnya hak-
hak penyandang disabilitas/cacat ditegakkan. Konsep berpikir masyarakat Indonesia yang
masih memandang rendah kaum penyandang difabel/cacat sehingga pemenuhan,
perlindungan, dan penghormatan hak asasi bagi para difabel yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia masih sangat rendah sehingga diskriminasi terhadap penyandang disabilitas /cacat
lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang disandangnya serta belum adanya
aturan yang mendefinisikan tentang arti sehat jasmani dan rohani secara jelas dan
diterapkannya hal tersebut pada setiap persyaratan dalam mendapatkan pekerjaan sehingga
membatasi dan tidak memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk Pemenuhan,
perlindungan,dan penghormatan terhadap hak difabel terutama dalam hal memperoleh
pekerjaan serta memperbaiki kehidupannya sehingga banyak kasus pelanggaran hak asasi
kaum difabel tidak mendapatkan penyelesaian sebagaimana mestinya, dan difabel pun tetap
selalu berada pada pihak yang terdiskriminasi.
3.2 Saran
Diperlukan adanya suatu diversifikasi peluang kerja, dan pemberdayaan tenaga kerja
terhadap penyandang disabilitas baik dari segi kualitas dan kuantitasnya, untuk pemerataan
kesempatan bagi tenaga kerja penyandang disabilitas. Perlu adanya perlindungan yang
mengakomodir kepentingan penyandang disabilitas terutama di kota/propinsi dengan
pembentukan suatu peraturan daerah karena dengan adanya rekonstruksi konsepsi hukum yang
mengakomodir kepentingan para penyandang disabilitas, dari yang bersifat negatif menjadi
positif pelaksanaannya bisa terjamin. Selain itu, perlu penjabaran teknis dalam peraturan
perundang-undangan yang memayungi penyandang disabilitas sehingga tidak menimbulkan
multi tafsir dalam implementasinya

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Eny Hikmawati dan Chatarina Rusmiyati, Kebutuhan Pelayanan Sosial Penyandang Cacat,
Jurnal Informasi Vol. 16 Nomor 1 Tahun 2011

G. G. Kartasapoetra, R.G Kartasapoetra, dan A.G. Kartasapoetra, 1992, Hukum Perburuhan di


Indonesia Berdasarkan Pancasila, Cet III, Sinar Grafika, Jakarta.

ILO. Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan pelatihan
dan Kerja bagi Penyandang Disabilitas. Reader Kit ILO.

Imam Soepomo, 1987, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta.
International Labour Office, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di
Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta.

Majda El Muhtaj, 2008, DimensiDimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.

YLBHI, 2014, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945
Indonesia, Undang Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Indonesia , Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Website
Mengenal Kovenan Hak Sipil dan Politik, http://indraswat.wordpress.com, tanggal akses 12
Oktober 2014

Perlakuan Diskriminasi Masih Terjadi pada Penyandang Cacat, dalam


http://www.hukumonline.com /berita/baca /Vol 20798/ perlakuan-diskriminasi-masih-terjadi-
pada-penyandang-cacat.tanggal akses Rabu, 24 Desember 2008.
Penyandang Cacat Nilai Tes CPNS Diskriminatif,
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/19/058555791/ Penyandang-Cacat-Nilai-Tes-PNS-
Diskriminatif, Rabu, 19 Februari 2014 | 19:24 WIB

14

Anda mungkin juga menyukai