PENDAHULUAN
1
cahaya atau tidak sama sekali, TON merupakan salah satu penyebab kebutaan
yang pemanen3.
Prevalensi kebutaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui
dengan pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran
pada tahun 1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam
penyebab kebutaan lain-lain sebesar 0,15 % dari jumlah total kebutaan nasional
yang berkisar 1,5 %. Trauma okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata
yang menyebabkan kebutaan karena dapat dicegah. Di dunia, kira-kira terdapat
1,6 juta orang mengalami penurunan fungsi penglihatan unilateral akibat trauma
okuli. Berdasarkan jenis kelamin, beberapa penelitian yang menggunakan data
dasar rumah sakit maupun data populasi, menunjukkan bahwa laki-laki
mempunyai prevalensi lebih tinggi dengan insidensi pada laki-laki sebesar 20 per
100.000 dibandingkan 5 per 100.000 pada wanita, dengan rata-rata umur kejadian
trauma adalah 24 tahun.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
yang dapat dilihat dari pemeriksaan oftalmoskopi adalah saraf optik regio
intraokular1,3
Regio Panjang (mm) Diameter (mm)
Intraokular 1,0 1,5-1,75
Optic disc
Prelaminar
Laminar
Intraorbita 25 3-4
Intrakranial 10 4-7
Tabel 2.1 Ukuran saraf optik berdasarkan regio3,6
a. Regio Intraokular
Puncak saraf optik adalah tempat berawalnya penyakit kongenital maupun
penyakit okular yang didapat.Bagian anterior dapat dilihat dengan pemeriksaan
oftalmoskopi sebagai optic disc. Strukturnya berbentuk oval dengan ukuran
horizontal 1,5 millimeter dan vertikal 1,75 millimeter. Berbentuk cekung dengan
dua pembuluh darah yang melewati titik pusatnya, yaitu arteri retina medial dan
vena retina medial. Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu1,6 :
1. Lapisan fiber superfisial
2. Area prelaminar
3. Area laminar
4. Area retrolaminar
b. Regio Intraorbital
Regio intraorbital terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Annulus of Zinn
2. Meningeal Sheaths
c. Regio Intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh pial yang
merupakan percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan araknoid yang
mengelilinginya terhubung ke kanalperiosteum.
4
d. Regio Intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas arteri
oftalmika dan arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga melintasi saraf
optik dimana arteri komunikans anterior juga akan saling berhubungan sehingga
membentuk sirkulus Willisi. Kemudian saraf optik melintas kearah posterior
melewati sinus kavernosus dan mencapai kiasma optikum.
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang
berakhir di korpus genikulatum lateralis. Dari daerah ini keluar jalur
genikulokalkarin yang melewati setiap korteks penglihatan primer. Kiasma
optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki vaskularisasi yang sangat
banyak. Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar 12 millimeter dan
panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior dengan ketebalan 4 millimeter
5
dan arteri koroidal.Daerah lapisan fiber disuplai oleh arteri retina medial.Daerah
intraorbital disuplai oleh pembuluh darah pial bagian proksimal dan cabang-
cabang kecil dari arteri oftalmika.Daerah intrakanalikular disuplai oleh sebagian
besar arteri oftalmika. Daerah intrakranial disuplai oleh cabang utama dari arteri
oftalmika dan arteri karotis interna1,6,7.
6
1. Retina
Segmen posterior retina mentransduksikan gambar fotokimia
elektromagnetik menjadi rangsangan impuls. Dimana pada retina terdapat sel
batang yang memiliki jumlah sekitar 80 120 juta sel dan menyebar diseluruh
retina kecuali fovea dan sel kerucut yang memiliki jumlah 5 6 juta sel dengan
penyebaran hanya terpusat pada fovea yang memiliki kemampuan untuk
mengubah impuls fotokimia menjadi impuls saraf. Ketiadaan kedua sel ini di optic
disc menghasilkan daerah yang disebut sebagai titik buta (physiologic scotoma)
yang terletak sekitar fovea1,6,7.
Sel kerucut dibagi menjadi 3 sub bagian berdasarkan keadaan pigmen
yang masing-masing sensitif terhadap gelombang warna merah, hijau atau biru.
Signal retina yang berasal dari sel batang dan sel kerucut diproses pertama kali
melalui sel bipolar yang menghubungkan reseptor cahaya ke sel ganglion.
Kebanyakan sel ganglion dapat dibagi menjadi selparvocellular (Sel P) dan sel
magnocellular (Sel M). Sel P sangat lemah terhadap interpretasi warna dan
mempunyai lapangan reseptor yang kecil dan sensitivitas kontras yang lemah.
Sementara sel M memiliki lapangan reseptor yang luas dan lebih responsif
terhadap cahaya dan pergerakan. Neurotransmitter yang didapati pada retina
adalah glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin dan dopamin1,6.
2. Saraf optik
Secara fisiologis, saraf optik dimulai dari lapisan sel ganglion yang
menyelubungi seluruh retina. Akson dari saraf optik tergantung dari produksi
metabolik badan sel ganglion retina. Transpor aksonal baik molekul maupun
sistem ekstra dan intraseluler memerlukan oksigen yang cukup tinggi. Hal ini
menyebabkan sistem transpor aksonal sangat sensitif terhadap kejadian iskemik,
inflamasi, dan proses kompresi1,6.
3. Kiasma optikum
Setelah melewati saraf optik, maka impuls sensoris akan diteruskan
melewati kiasma optikum yang berada dibagian anterior dari hipotalamus dan
dibagian anterior dari ventrikel tiga. Dibagian ini akan terjadi persilangan impuls
dari kedua mata baik yang berasal dari daerah medial maupun lateral6.
7
4. Traktus optikus
Lateral geniculate nucleus merupakan terminal dari akson yang berasal
dari sel ganglion retina. Bagian ini berada dibawah talamus posterior. Dibagi
menjadi 6 tingkat, yaitu 4 level tertinggi adalah terminal untuk akson sel P yang
mana hal ini untuk meningkatkan sensitivitas dari sel P. 2 tingkat dibagian bawah
merupakan bagian untuk menerima impuls dari sel M untuk mendeteksi gerakan.
Akson yang berasal dari mata kontralateral memiliki terminal di lapisan 1,4 dan 6.
Sedangkan dibagian kolateral berujung pada lapisan 2,3 dan 5.6.7
5. Korteks
Mengikuti sinaps pada nukleus genikularis lateral, akson melintas
kebelakang sebagai radiasi optik di korteks penglihatan primer di dalam lobus
oksipital. Korteks penglihatan primer (area Broadmann 17) tersusun horizontal
sepanjang kalkarin yang membagi permukaan medial lobus oksipital. Penyebaran
optik pada korteks penglihatan primer berada pada lapisan ke 4 dari 6 lapisan
korteks. Lapisan ini yang disebut sebagai lamina granularis interna lebih lanjut
dibagi menjadi 3 bagian kecil yaitu 4A, 4B dan 4C. Input sel P secara umum
berada pada bagian 4C bagian bawah dan input sel M berada pada bagian 4C
bagian atas6,7.
8
Cedera saraf optik juga bisa diklasifikasikan secara anatomis.Cedera yang
melibatkan bagian anterior dimana arteri retina media memasuki saraf optik
sehingga menimbulkan kelainan pada sirkulasi retina yang berhubungan dengan
kehilangan kemampuan melihat. Turbulensi pada sirkulasi retina dapat
berhubungan dengan perdarahan orbital yang mengganggu saraf optik. Sedangkan
cedera yang melibatkan daerah posterior, berada dibelakang tempat masuk arteri
retina media dan tempat keluarnya vena retina media. Cedera anterior
mengganggu sirkulasi retina, sedangkan cedera posterior tidak menyebabkan
kelainan sirkulasi apapun3,5.
2.5 Etiologi
Trauma optik neuropati berhubungan dengan cedera deselarasi disertai dengan
gaya yang besar. Umumnya diasosiasikan dengan trauma wajah.Pada sebuah
penelitian dengan 28 sampel yang telah di diagnosa dengan trauma optik
neuropati, didapati 20 kasus akibat dari kecelakaan berkendara (71,4%),
perkelahian sebanyak 5 kasus (17,9%) dan terjatuh sebanyak 3 kasus
(10,7%)2,3,5,8,9,12.
2.6 Epidemiologi
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab tersering, sekitar 17 63% kasus ini.
Dari penelitian yang melibatkan 101 pasien dengan trauma kepala setelah
kecelakaan mengendarai sepeda motor, terdapat 18 kasus trauma optik neuropati
(18%). Kemudian penyebab berikutnya adalah terjatuh, benturan di kepala,
penganiayaan, luka tusuk, luka tembak dan pembedahan sinus dengan
mengunakan endoskopi.2,12
Di Amerika Serikat, 0,5 5% kasus trauma kepala tertutup juga disertai
dengan adanya trauma optik neuropati dan 2.5% dari pasien dengan fraktur
midfacial. Angka kejadian TON diseluruh dunia sangat bervariasi yang didasari
sebanyak apa penyebab utamanya terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas dan
perkelahian. Insidensi trauma optik tidak langsung di benua Eropa dilaporkan 0,7
5% dengan kasus kurang dari 40 kejadian. Kejadian TON dilaporkan memiliki
angka insidensi lebih tinggi dinegara berkembang.Kasus TON paling sering
dijumpai pada laki-laki sebanyak 85% dengan usia rata-rata 34 tahun3,9.
9
2.7 Mekanisme Trauma
Cedera langsung maupun cedera tidak langsung menyebabkan iskemia saraf
optik. Mekanisme cedera saraf optik dapat dibedakan menjadi cedera primer dan
cedera sekunder. Mekanisme cedera primer menyebabkan cedera permanen pada
akson saraf optik saat terjadinya tumbukan yaitu berupa pengikisan akson saraf
optik dan vaskularisasinya2,3.
Mekanisme cedera sekunder menyebabkan kerusakan pada saraf optik
akibat gangguan homeostasis selular. Cedera reperfusi dan iskemia akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi membran sel lemak yang nantinya akan
menyebabkan munculnya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Efek bradikinin yang timbul saat trauma akan menyebabkan pelepasan dari asam
arakidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan oleh metabolisme asam
arakidonat, radikal bebas dan oksidan lainnya akan menyebabkan terjadinya
edema pada kanal optik, yang selanjutnya akan memperberat terjadinya iskemia.
Pada saat terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium akan memasuki
kompartemen intraselular, sehingga meningkatkan konsentrasi ion kalsium
intraselular dimana ion ini memiliki sifat seperti toksin metabolik yang akan
menyebabkan kematian sel. Sel polimorfonuklear akan muncul secara dominan
pada hari pertama dan kedua setelah trauma. Setelah itu akan digantikan oleh
makrofag pada hari ke 5 sampai ke-7. Ketika sel polimorfonuklear menyebabkan
kerusakan sel yang cepat, sedangkan makrofag menyebabkan terhambatnya
kerusakan jaringan, demyelinisasi dan gliosis3,10,13.
Kedua mekanisme ini pada akhirnya akan menyebabkan vasospasme dan
pembengkakan saraf optik. Hal ini diperberat dengan ketidakmampuan dinding
kanal optik untuk meluas sehingga akan memperburuk terjadinya iskemia dan
kerusakan akson2,3.
Beberapa penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf
pusat mendukung perbedaan antara mekanisme cedera primer dan sekunder.
Iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam cedera sekunder akibat trauma.
Iskemi parsial dan reperfusi dari area iskemia sepintas menghasilkan radikal bebas
yang nantinya akan menyebabkan kerusakan reperfusi2,13,14.
10
Sebuah penelitian tentang pengamatan efek trauma pada saraf optik, yaitu
sel mikroglial retina melalui sistem Mitogen-activated protein (MAP) Kinase
meningkatkan efek sitotoksik sehingga menyebabkan kematian sel ganglion
retina. Dalam keadaan stres, konsentrasi adenosin ekstraselular yang dicurigai
meningkatkan jalur anti inflamasi. Namun dalam keadaan trauma optik neuropati,
akumulasi dari adenosin ekstraseluler ini ditranportasikan kedalam intraseluler
melalui melalui equilibrative nucleoside transporters yang mana menyebabkan
konversi MAP oleh adenosin kinase sehingga konsentrasi adenosin ekstraseluler
menjadi rendah. Hal ini kemudian akan menyebabkan efek anti inflamasi akan
menjadi berkurang14.
2.8 Diagnosis
Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Penegakan diagnosis dari trauma optik neuropati didasarkan atas adanya
riwayat trauma. Trauma saraf optik sebaiknya tidak digunakan jika kemampuan
penglihatan dan fungsi pupil masih dalam keadaan normal. Apabila dijumpai
kesadaran menurun, anamnesa dilakukan kepada orang lain yang berada di dekat
penderita pada saat kejadian atau mereka yang mengantar penderita ke rumah
sakit. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan mekanisme trauma yang jelas.
Kemungkinan terpapar benda berbahaya juga harus dipertimbangkan. Riwayat
kelainan mata harus ditelaah untuk mengetahui penyebab pasti kehilangan
kemampuan penglihatan memang disebabkan oleh trauma. Demikian juga dengan
penggunaaan obat-obatan, pengobatan, dan alergi obat. Luka terbuka
menimbulkan risiko tetanus dan riwayat imunisasi tetanus juga harus ditelaah2.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Visus
Penilaian visus merupakan langkah paling mudah dan paling penting
dalam menentukan fungsi visual. Visus merupakan kemampuan untuk
membedakan bagian suatu objek dan mengidentifikasinya secara utuh. Penilaian
visus dapat menggunakan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Snellen
11
Chart dan Bailey-Lovie Chart. Pemeriksaan ini dilakukan dalam jarak baku, yaitu
jarak antara chart dan pasien dalam jarak 6 meter. Kemudian pasien diminta
untuk membaca setiap baris huruf yang ada. Nilai visus pada trauma saraf optik
tidak langsung sering kali menurun dengan sangat signifikan.Pada penelitian
dengan 56 kasus, semuanya dengan ketidakmampuan untuk melihat setelah
terjadinya trauma saraf optik tidak langsung. Penilaian visus sangat penting untuk
dilakukan pada pasien trauma optik. Nilai visus dapat bervariasi2,15.
b. Pupil
Pada kasus trauma optik neuropati unilateral, ditemukan kondisi yang
memungkinkan untuk ditegakkan diagnosis trauma optik neuropati yaitu adanya
defisit pupil aferen. Defek pupil aferen dapat dinilai secara kuantitatif dengan
menggunakan filter fotografik densitas normal.Trauma optik neuropati dapat
terjadi unilateral ataupun bilateral. Ditandai dengan adanya relative afferent
pupillary defect (RAPD) dalam kasus TON bilateral yang simetris15,16.
12
c. Pemeriksaan Warna
Pada pemeriksaan ini minta pasien untuk melihat objek berwarna merah
dengan satu mata secara bergantian. Objek ini dapat dilihat dan diinterpretasikan
secara berbeda pada mata yang bermasalah. Dapat dilihat sebagai warna hitam
ataupun coklat. Pemeriksaan warna dilakukan untuk menilai sel kerucut yang
masing-masing mempunyai sensitivitas spesifik untuk setiap gelombang warna
yaitu warna biru, merah dan hijau15.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan untuk menilai defek kongenital pada
ketiga sel tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan pada
defek warna yang didapat. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu dengan cara
Ishihara, Hardy-Rand-Rittler, City University dan Farnsworth-Munsell 100-hue.
Dimana dari keempat pemeriksaan ini, Farnsworth-Munsel 100-hue merupakan
pemeriksaan yang paling sensitif untuk defek kongenital maupun defek yang
didapat, termasuk akibat trauma optik. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah dengan cara red desaturation. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menggunakan membandingkan persepsi warna merah dikedua mata pada satu
waktu. Pada kasus neuropati optik, kemampuan ini dapat berkurang sampai
50%15.
d. Pemeriksaan Lapangan Pandang
Tes lapangan pandang dilakukan pada pasien dengan kesadaran baik dan
mampu berkoordinasi dengan baik. Meskipun tidak ada patognomonik defek
lapangan pandang sebagai diagnosis dari trauma saraf optik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk monitoring dari masalah oftalmologi dan neurologis. Pada kasus
trauma optik umumnya dapat ditemukan defek lapangan pandang15,17.
e. Sensitivitas Kontras
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur nilai minimal kontras yang
diperlukan untuk melihat suatu objek. Hal ini diperlukan untuk mendeteksi
disfungsi penglihatan dini bahkan jika nilai visus berdasarkan snellen chart dalam
batas normal.Umumnya pemeriksaan ini dilakukan dengan bagan Pelli-Robson,
Vistech ataupun bagan Cambridge17.
13
f. Pemeriksaan Segmen Posterior
Sebelum dilakukan pemeriksaan oftalmoskopi, sebaiknya diakukan palpasi
pada pinggiran orbita untuk mengetahui apakah terdapat fraktur. Pembengkakan
periorbital kemungkinan bisamenutupi adanya proptosis15.
Tahanan tekanan kebelakang bola mata pada saat dilakukan tonometri
dapat dengan cepat mengetahui adanya perdarahan dibelakang orbita.
Pembengkakan alis dapat meningkatkan kesulitan pemeriksaan oftalmologi.
Pemeriksaan fundus yang adekuat akan dapat menilai kelainan sirkulasi retina.
Avulsi komplit dan parsial dari ujung saraf optik dapat menimbukan cincin
perdarahan ditempat cedera dengan tampilan deep round pit. Cedera anterior
antara bola mata dan dimana arteri retina media memasuki saraf optik
menimbulkan gangguan pada sirkulasi retina, termasuk obstruksi vena dan
traumatic anterior ischemic optic neuropathy2,15,17.
Perdarahan pada selubung saraf optik posterior sampai ke sumber
pembuluh darah retina menghasilkan sirkulasi retina yang masih intak, namun
menyebabkan pembengkakan pada ujung saraf optik. Papilledema bisa dilihat
pada kejadian dengan peningkatan tekanan intraakranial walaupun dijumpai
trauma optik neuropati. Pemeriksaan segmen posterior dapat dilakukan dengan
menggunakan slit-lamp biomicroscopy, direct ophtalmoscope dan indirect
ophtalmoscope. Pemeriksaan dengan menggunakan slit-lamp merupakan
pemeriksaan terbanyak yang dilakukan saat ini17.
g. Tonometri
Tonometri adalah sebuah pemeriksaan objektif untuk menilai tekanan
intraokular yang didasarkan pada banyaknya tenaga yang dibutuhkan untuk
meratakan kornea. Pemeriksaan tonometri dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik Goldmann17.
14
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosis Traumatic Ocular Neuropathy (TON) adalah:
1. Visual evoked potential (VEP)
Karena sulitnya penilaian neuro-oftalmologi pada fungsi jaras visual pada pasien
cedera berat atau selama rekonstruksi kraniomaksilofasial, VEP dan
elektroretinogram (ERG) diyakini sebagai metode elektrofisiologis untuk
mengumpulkan informasi apakah fungsi penglihatan intak ataupun patologis. VEP
juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien yang diduga cedera saraf optik
bilateral. Evaluasi elektrofisiologi dengan multiplanar CT penting pada identifikasi
segera pada trauma saraf optik. Hasil evaluasi memberikan informasi apakah
dibutuhkan intervensi bedah dan/atau terapi konservatif untuk mencegah kerusakan
sekunder saraf optik5.
2. Imaging
Pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan radiologis merupakan
pilihan terbaik untuk melihat adanya cedera pada saraf optik.Computed
Tomography (CT) scan dan Magneting Resonance Imaging (MRI) memiliki efek
yang sangat bagus dalam mendiagnosa trauma optik. CT scan dalam kejadian
trauma optik neuropati memperlihatkan implikasi patologis spesifik dalam fungsi
saraf optik, termasuk hematoma selubung saraf optik dan dugaan kista
araknoid15,17.
Penggunaan CT scan berada jauh di atas MRI untuk melihat garis-garis
fraktur tulang, sedangkan MRI lebih baik digunakan untuk melihat jaringan-
jaringan lunak yang berada di daerah orbita, salah satunya untuk menilai trauma
kiasma. Terkadang kedua pemeriksaan ini diperlukan secara bersamaan untuk
menilai keadaan klinis. Namun, MRI harus dilakukan setelah CT scan untuk
menghindari apabila ada benda asing yang mengandung logam di daerah orbital.
Penggunaan teknik imaging non invasif berupa optical coherence
tomography (OCT) memberikan gambaran resolusi tinggi dan melintang dari
retina manusia. Digunakan untuk memperkirakan ketebalan lapisan retina.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan kerusakan akson dari lapisan fiber saraf
retina dan makula pada kasus glaukoma dan cedera saraf optik5,15.
15
Selain pemeriksaan CT Scan dan MRI, pemeriksaan ultrasonografi (USG)
mata juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk membantu
menegakkan diagnosis TON, pemerikasaan USG dapat mendeteksi adanya
abnormalitas pada diameter saraf opti pada pasien dengan trauma kepala yang
berdampak pada saraf optik. Namun pemeriksaan USG tidak sesensitif
pemeriksaan CT scan dan MRI15.
2.11 Tatalaksana
Penanganan trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi maupun terapi pembedahan. Dalam sebuah penelitian mengenai
trauma optik neuropati melaporkan bahwa 0-48% kasus mempunyai prognosis
yang baik tanpa pengobatan, 44-82% mengalami perbaikan dengan pengobatan
steroid dosis tinggi dan 37-71% mengalami perbaikan dengan terapi pembedahan
untuk dekompresi dari saraf optik.
1. Konservatif
Penanganan trauma optik neuropati belakangan ini dilakukan hanya
dengan pendekatan konservatif. Di Inggris, ditemukan bahwa 65% oftalmologis
melakukan hal ini, dengan mempertimbangkan perbaikan visus dan kemampuan
penglihatan.
2. Farmakologi
Dalam beberapa dekade belakangan, penggunaan kortikosteroid dosis
tinggi dalam kasus-kasus trauma merupakan pilihan utama.Hal ini berdasarkan
pada kerja kortikosteroid yang menurunkan angka sintesis protein.Sehingga
nantinya diharapkan radikal bebas yang secara patologis dapat merusak sel-sel
tubuh dapat dicegah. Penggunaan kortikosteroid ini mulai dilakukan sejak tahun
1980 berdasarkan hasil penelitian yang mengemukakan bahwa obat ini memiliki
sifat antioksidan dan penghambat munculnya radikal bebas13,14,19.
Penelitian yang telah dilakukan dalam memperkenalkan penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi dalam pengobatan trauma optik neuropati didasarkan
dari efek yang bermanfaat yang didapati pada penelitian eksperimental cedera
sistem saraf pusat. Dalam hal ini, kombinasi pemberian kortikosteroid dosis tinggi
dan pembedahan memberikan hasil yang baik pada penderita trauma optik
neuropati. Pemberian kortikosteroid yang dianjurkan untuk pertama kali adalah
16
deksametason dengan dosis 3 5 mg per kilogram berat badan perhari.Namun
sejumlah penelitian tidak menunjukkan baik itu terapi kortikosteroid dosis tinggi,
pembedahan maupun kombinasi kortikosteroid dosis tinggi dengan pembedahan
menunjukkan penanganan yang lebih baik satu sama lain. Penelitian dengan
menggunakan metilprednisolon intravena dengan pemberian 1 gram selama 3 hari
pada pasien dengan trauma optik neuropati terbukti efektif dalam meningkatkan
visus penderita19,20,21.
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi pada kasus TON dalam 8 jam
pertama setelah cedera dan dekompresi pembengkakan saraf optik oleh karena
penekanan akibat fragmen tulang untuk menunda kehilangan kemampuan
penglihatan memiliki efek yang sangat diminati. Beberapa penanganan yang
masih dalam tahap penelitian adalah dengan menggunakan penyekat glutamat,
kristalin, pemicu pertumbuhan saraf, nitrit oksida, TNF- Inhibitor dan
neuroprotektor20,21.
3. Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika terjadi penurunan kemampuan penglihatan
setelah dilakukan pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Namun penanganan
dengan pembedahan masih menjadi terapi empiris untuk trauma optik neuropati.
Tindakan orbitotomi lateral dilakukan sebagai tindakan dekompresi saraf optik.
17
Penelitian yang telah dilakukan, tindakan ini dengan jelas mempengaruhi nilai
visus dan pergerakan bola mata setelah operasi. Juga tidak ditemukan adanya
kelainan klinis ataupun efek samping dari tindakan ini pada penelitian
tersebut20,21. Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik
digunakan sebagai terapi TON indirek. Tetapi tidak terdapat konsensus waktu
optimum untuk intervensi optimum. Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat
menyebabkan gangguan vaskular dengan iskemia hingga kebutaan, dan
dekompresi saraf optik secara teori membebaskan strangulasi dan
memngembalikan fungsi saraf. Prosedur ini ditambah dengan pemberian steroid
untuk mengurangi inflamasi dan edema3.
Berbagai metode bedah yang digunakan berupa kraniotomi trans nasalis,
extra-nasal trans-ethmoidalis, trans-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial,
sublabial, dan endoskopi3.
Pada hematoma pembungkus saraf optik dapat dievakuasi dengan orbiotomi
medial atau lateral tergantung pada letak hematoma. Kriteria intervensi bedah
pada pasien dengan TON antara lain22 :
1. Kontraindikasi absolut pembedahan
a. Adanya avulsi saraf optik pada pemeriksaan CT.
18
1. Pada keadaan tidak terdapat kontraindikasi, pasien dapat diberikan
kortikosteroid sistemik, metilprednisolone 30mg/kg sebagai loading dose,
5,4mg/kg/jam sebagai maintanance selama 48 jam.
2. Kegagalan perbaikan keadaan.
3. Pasien yang membaik dapat dilakukan pengurangan dosis yang bertahap
4. Jika keadaan pasien relaps ketika kortiosteroid dihentikan, pertimbangkan
bedah dekompresi.
5. Pada umunya, pasien dengan ketajaman penglihatan 20/40 atao lebih buruk
membutuhkan dekompresi bedah.
6. Pasien tidak sadar tidak seharusnya dilakukan bedah dekompresi kecuali
bersangkutan dengan prosedur operasi lain.
7. Kombinasi steroid intervensi awal bedah dapat dipertimbangkan pada anak-
anak.
Perbaikan fungsi visual setelah TON dapat dinilai dengan penilaian
berkesinambungan fungsi visual. Follow up harian harus dilakukan selama fase
akut setelah trauma, segera setelah terapi bedahm dan selama periode pemberian
terapi kortikosteroid mega-dosis. Observasi jangka panjang dilakukan 3 bulan
atau lebih sejak terjadinya cedera untuk menilai keadaan final fungsi visual
2.12 Prognosis
Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 35 pasien dengan diagnosa trauma
optik neuropati, dijumpai pada 23 pasien bahwa faktor yang memperburuk
outcome penglihatan (nilai visus) adalah jika terdapat perdarahan pada etmoid
posterior, usia di atas 40 tahun, kehilangan kesadaran dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian kortikosteroid dosis tinggi dalam 48 jam sejak kejadian.
Berdasarkan studi, ada 4 variabel yang dianggap sebagai faktor prognosis yang
buruk untuk perbaikan fungsi visual, antara lain :
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
4. Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam pemberian terapi steroid
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan mata kanan tidak bisa melihat sejak 2 minggu
SMRS.
20
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluahn yang sama dengan pasien disangkal
Status Oftalmologis
Visus :
VOD :0 VOS : 5/5
Uji Hirscberg :
OD = Orthophoria OS = Orthophoria
OD = Normal OS = Normal
21
Pemeriksaan Segmen Anterior
22
Tekana Intra Okular
OD: 17,3 OS : tidak dilkukan pemeriksaan
Pemeriksaan funduskopi
OD OS:-
Papil : bulat, batas tegas
CDR : 0,3-0,4
a/v : narrowed
RM : (+)
Retina baik
3.4 Foto klinis pasien
23
Pemeriksaan penunjang
1. CT Scan
CT scan orbita tanpa kontras : bola mata kanan dan kiri normal, corpus
vitreus dan lensa kanan- kiri normal, otot bola mata dan n. Optikus kanan-
kiri normal, rima orbita, os. Zigomatikus dan sinus paranasalis kanan-kiri
normal.
Kesimpulan : CT scan orbita normal
CT Scan Orbita dengan kontras: bola mata kanan dan kiri normal, corpus
vitreus dan lensa kanan- kiri normal, otot bola mata dan n. Optikus kanan-
24
kiri normal, rima orbita, os. Zigomatikus dan sinus paranasalis kanan-kiri
normal.
Pada pemberian kontras tak nampak kontras enhancement abnormal
Kesimpulan : CT Scan orbita normal
3.5 Resume
Seorang laki-laki, 24 tahun, bekerja sebagai seorang TNI, datang ke poli mata
RSUDZA dengan keluhan utama mata kanan tidak bisa melihat sejak 2 minggu
Sebelum datang ke rumah sakit. Riwayat trauma pada daerah wajah karena
terkena bola saat bermain futsal. Setelah trauma, mata kanan pasien tidak bisa
melihat secara tiba-tiba sampai saat pemeriksaan.
Dari pemeriksaan oftalmologis okulus dextra didapatkan visus 0 (no linght
perception), pupil isokhor , RAPD (-), funduskopi OD didapatkan refleks fundus
(+) uniform, papil bulat dengan batas tegas, CDR 0,3-0,4, retina dalam batas
normal, hasil pemeriksaan TIO mata kanan dalam batas normal, hasil pemeriksaan
ultrasonografi orbita, CT Scan kepala dan CT scan Orbita kontras dan non kontras
juga memberikan hasil yang normal.
Diagnosis
Traumatic Ocular Neuropathy (TON) OD
Terapi
Drip metyl prednisolon 4x250mg
Injeksi ranitidine 2x1
25
BAB IV
PEMBAHASAN
26
akan menunjukkan respon konstriksi bila disinari dan akan terlihat pengaruhnya
pada kedua mata, sehingga apabila terjadi kerusakan pada jaras afferent NII salah
satu mata, akan mengakibatkan terganggunya pula jaras afferent pada mata yang
sehat. Cedera saraf optik pada kasus ini dapat diklasifikasikan sebagai cedera
tidak langsung. Hal ini terbukti dari tidak ditemukan kelainan signifikan pada
funduskopi OD. Cedera tidak langsung dapat terjadi pada trauma tertutup pada
kepala, menyebabkan timbulnya tekanan yang kemudian menekan saraf optik.
Pada pemeriksaan, tidak terdapat perubahan cepat pada pemeriksaan fundus.
Diskus optik dapat normal hingga 3-5 minggu setelahnya dan berubah pucat
seiring atrofi diskus terjadi.
Penanganan pada pasien ini yaitu dengan pemberian metilprednisolon dan
injeksi ranitine, sesuai kepustakaan yang menyatakan bahwa penanganan
traumatic optic neuropathy meliputi observasi, steroid dan dekompresi bedah.
Pada keadaan tidak terdapat kontraindikasi, pasien dapat diberikan kortikosteroid
sistemik, metilprednisolone 30mg/kg sebagai loading dose ,5,4mg/kg/jam sebagai
maintanance selama 48 jam.
Pasien yang membaik dapat dilakukan pengurangan dosis yang bertahap.
Jika keadaan pasien relaps ketika kortiosteroid dihentikan, pertimbangkan bedah
dekompresi. Methycobalamin merupakan obat yang berisi Mecobalamin atau
Methycobalamin yang tergolong obat neurotropik. Obat ini adalah bentuk aktif
Vitamin B12 yang dapat mencapai otak, berperan dalam perbaikan kerusakan sel
saraf dan meningkatkan pembentuk sel saraf baru.Metilprednisolon merupakan
kortikosteroid yang dapat menstabilisasi membran lipid, mengurangi spasme,
meningkatkan pemasokan darah, dan mengurangi edema jaringan neural dan
nekrosis. Di dalam hepar kortikosteroid merangsang sintesis enzim yang berperan
dalam proses glukoneogenesis dan metabolisme asam amino. Peningkatan
produksi glukosa diikuti dengan bertambahnya ekskresi nitrogen. Hal ini
menunjukkan terjadinya katabolisme protein menjadi karbohidrat. Efek katabolic
protein ini bias menyebabkan beberapa efek samping, salah satunya adalah
penipisan lapisan mukosa lambung sehingga lebih mudah terjadi tukak lambung.
Hal ini dicegah dengan pemberian ranitidine yang merupakan suatu histamin
antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada
27
reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Nerva plus mengandung
vitamin B1 yang berperan sebagai koenzim pada dekarboksilasi asam alfaketo dan
berperan dalam metabolisme karbohidrat.Vitamin B6 di dalam tubuh berubah
menjadi piridoksal fosfat dan piridoksamin fosfat yang dapat membantu dalam
metabolisme protein dan asam amino, Vitamin B12 berperan dalam sintesa asam
nukleat dan berpengaruh pada pematangan sel dan memelihara integritas jaringan
syaraf. Dan Folic Acid berfungsi membantu proses metabolisme sel dalam tubuh
dan dalam proses pembentukan sel darah merah.
Perbaikan fungsi visual setelah TON dapat dinilai dengan penilaian
berkesinambungan fungsi visual. Follow up harian harus dilakukan selama fase
akut setelah trauma, segera setelah terapi bedah dan selama periode pemberian
terapi kortikosteroid mega-dosis. Observasi jangka panjang dilakukan 3 bulan
atau lebih sejak terjadinya cedera untuk menilai keadaan final fungsi visual.
Pasien tidak sadar tidak seharusnya dilakukan bedah dekompresi kecuali
bersangkutan dengan prosedur operasi lain.
Secara umum prognosis traumatic optic neuropathy pada cedera langsung
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan cedera tidak langsung
saraf optik. Berdasarkan studi, ada 4 variabel yang dianggap sebagai faktor
prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsi visual, antara lain :
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
4. Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam pemberian terapi steroid.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
12. Lee V, Ford R, Xing W, Bunce C, Foot B. Surveilance of Traumatic Optic
Neuropathy in The UK. Eyenet. 2010; 24
13. Boughton B. Traumatic Optic Neuropathy: Previous Therapies Now
Questioned or Shelved. Eyenet. 2009 November.
14. Ahmad S, El-Sherbiny N, El-Sherbini A, Fulzele S, Liou GI. Adenosine
Kinase as A Therapeutic Target in Traumatic Optic Neuropathy. In
International Genomic Medical Conference; 2013; Jeddah.
15. Yu Patrick, Wai, Man. Traumatic Optic Neuropathy- Clinical features and
management issues. Taiwan Journal Ophtalmology.2016;5
16. Broadway, David C. How to test for a Relative Afferent Pupillary Defect
(RAPD). Community Eye Health Journal. 2012;25
17. Hathiram.B, Vioky SK, Supriya R. Traumatic Optic Neuropathy Review
Article. Otorhinolaryngology Clinics: An Internatinal Journal.2013;3
18. Yu-Wai-Man. P, Griffths PG. Steroids for traumatic optic neuripathy
(review). Cochrane Library. 2013
19. Carta A, Ferrigno L, Salvo M, Bianchi, SM, Boschi A, Carta F. Visual
prognosis after indirect traumatic optic neuropathy. Neural Neurosurg
Psychiatry.2003;74
20. Singh, Anirudh. Traumatic optic neuropathy- management protocol.
Neuro-Ophtal. DOS times Vol 20 .2015
21. Wu N, Yin ZQ, Wang Y. Traumatic optic neuropathy therapy: an update
of clinical and experimental studies. The journal of internatioanl medical
research. 2008;36
22. Cockerham, Kimberly. 2005. Traumatic Optic Neuropathy. In: Thach, Allen
B. Ophthalmic Care Of The Combat Casualty. Washington: Office Of The
Surgeon General at TMM Publications. P: 395-403
30