Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang perempuan berumur 35
tahun dengan keluhan nyeri kepala sejak lebih kurang 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan hilang timbul. Pasien juga mengeluh mata tidak dapat melihat lagi sejak lebih kurang 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. 6 bulan sebelumnya pasien mengeluh penglihatan terasa putih, kemudian membaik dengan sendirinya, lalu pasien mengeluh lapang pandang terus mengecil secara perlahan-lahan sampai penglihatan pasien hilang. Pasien juga mengeluh lemas saat dikamar mandi disertai kaku kuduk dan pandangan mata yang mengarah ke atas. Pasien juga tampak kurang bisa diajak berkomunikasi, tampak gelisah, dan sekali-kali berbicara melantur dan kacau. Pasien mengeluh nyeri kepala yang dirasakan diseluruh bagian kepala yang dirasakkan semakin lama semakin memberat. Nyeri kepala merupakan rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan diseluruh daerah kepala. Berdasarkan kausanya digolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas terdapat kelainan anatominya, sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatominya. Pada pasien ini nyeri kepala yang dirasakan merupakan nyeri kepala primer, dimana nyeri kepala yang dirasakan disebabkan karena adanya tumor di otak yang semakin lama semakin bertambah sehingga akan menyebabkan penyerapan cairan tumor tersebut sehingga vena mengalami obstruksi dan akan terjadi oedem sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan menyebabkan nyeri kepala. Pasien 6 bulan yang lalu mengeluh lapang pandang yang terus mengecil secara perlaha-lahan, lalu 3 bulan terakhir pasien mengeluh penglihatan menghilang. Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa kemungkinan lapang pandang yang terus mengecil secara perlahan di sebabkan oleh adanya tumor hipofisa, dimana kelenjar hipofisis terletak dekat dengan chiasma optikus dan nervus optikus. Akibat dari adanya tumor hipofisis tersebut akan menekan chiasma optikus yang menyebabkan gangguan lapang pandang, dan karena tumor hipofisis yang semakin lama semakin membesar sehingga akan terjadi penekanan pada nervus optikus sehingga nervus optikus akan rusak sampai menyebabkan penglihatan pasien menghilang. Hilangnya penglihatan total pada mata disebut mata buta, bisa di akibat oleh penyakit pada mata, lesi pada nervus optikus, atau akibat lesi dari korteks oksipital yang terkait. Pada pasien ini juga didapatkan gejala gangguan status mental yang disebabkan oleh adanya massa tumor diotaknya, sehingga pasien kurang kooperatif, gelisah, dan sesekali berbicara melantur. Dari hasil pemeriksaan psikiatri pasien ini di diagnosa dengan gangguan mental organik. Perubahan status mental menyababkan ketidakmampuan pelaksanaan tugas sehari-hari, lekas marah, emosi yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi dan bahkan psikosis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit reguler, frekuensi pernapasan 20 x/menit, suhu 36,7C. Status generalis pasien didapatkan kepala, hidung, leher, dalam batas normal. Pada pemeriksaan status neurologis di dapatkan gangguan pada nervus II, dimana pasien mengalami kehilangan penglihatan. Refleks fisiologis didapatkan dalam batas normal. Refleks patologis tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan penunjang CT Scan kepala yang bertujuan untuk memberikan informasi spesifik mengenai jumlah, ukuran, kepadatan jejas tumor, meluasnya edema cerebral serta memberi informasi tentang sistem vaskular. Pada pemeriksaan CT Scan kepala pasien ini didapatkan adanya kelainan berupa massa di sella dan suprasella yang mendesak ventrikel 3. Adapun pemeriksaan MRI dapat berfungsi untuk dapat mendeteksi jejas kecil dan tumor didalam batang otak dan daerah hipofisis, dimana tulang mengganggu dalam gambaran dengan menggunakan CT Scan. Pada pemeriksaan pasien ini didapatkan adanya massa pada sella dan suprasella yang mendesak ventrikel 3. Pada kasus ini penatalaksanaan yang diberikan dibagi 2 yaitu: penatalaksanaan secara non-medikamentosa dan medikamentosa. Terapi non- medikamentosa yaitu dengan bedrest selama masa perawatan untuk terapi peningkatan intracranial yaitu meninggikan kepala 30o dengan tujuan mengurangi nyeri kepala yang dirasakan pasien. . Terapi Medikamentosa yang diberikan pada pasien ini berupa dexametason 5 mg/ 12 jam yang merupakan kelompok obat kortikosteroid yang bekerja dengan cara mencegah pelepasan zat-zat didalam tubuh yang menyebabkan peradangan. Dexamentason bekerja dengan cara menekan atau mencegah migrasi neutrofil, mengurangi produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator inflamasi), dan menyebabkan dilatasi kapiler, sehingga akan mengurangi respon tubuh terhadap kondisi peradangan (inflamasi). Omeprazole 40mg/ 12 jam, omeprazole merupakan golongan PPI (proton pomp inhibitor) yang bekerja menghambat sekresi asam lambung dengan cara berikatan pada pompa H+K+ATPase (pompa proton) dan mengaktifkannya sehingga terjadi pertukaran ion kalium dan ion hydrogen dalam lumen sel. Gabapentin 1x300 mg/ 24 jam, gabapentin adalah obat antikonvulsan atau anti kejang. Gabapentin meningkatkan jumlah gamma-aminobuttyric acid (GABA) di otak. Beberapa serangan epilepsi terjadi ketika GABA didalam otak berada dalam tingkat yang rendah, sehingga dengan meningkatnya jumlah GABA, gabapentin mencegah terjadinya kejang. Gabapentin juga bekerja untuk menghilangkan rasa nyeri akibat kerusakan saraf. Pemberian gabapentin pada pasien ini karena pasien pernah memiliki riwayat kejang sebelumnya sehingga diberikan gabapentin untuk mencegah terjadinya kejang. Haloperidol 2x0,5mg (k/p), pada pasien ini diberikan haloperidol karena pasien mengalami depresi yang diakibatkan karena adanya tumor diotak. Haloperidol merupakan obat yang dikategorikan kedalam agen antipsikotik, antidiskinetik, dan antiemetik. Haloperidol berfungsi untuk mengatasi berbagai masalah kejiwaan seperti skizoprenia, mania, dan masalah psikosis lainnya. Haloperidol juga dapat mengatasi masalah yang mempengaruhi cara berfikir, perilaku, dan perasaan dengan cara menghambat efek kimia didalam otak. Secara umum haloperidol menghasilkan efek selektif pada sistem saraf pusat melaluin penghambat kompetitif reseptor dopamin (D2) postsinaptik pada sistem dopaminergik mesolimbik. Pada pasien ini juga diberikan sahobion 1x1 tablet untuk mengatasi anemia. Adapun terapi operatif yang diberikan yaitu craniotomy removal tumor dan osteoplasty rekontruksi a.i tumor hipofisis. Terapi operatif ini bertujuan untuk mengurangi efek massa yang mempengaruhi fungsi visual dan menyembuhkan gejala hiperfungsi hormonal. Tujuan lain yaitu untuk mengangkat adenoma sekomplit mungkin. Indikasi dilakukan terapi operatif yaitu : Operasi dilakukan secara mikroskopik, dengan indikasi adanya visual loss dan hypopituitary yang progresif. Pada pasien dengan gangguan fungsi tiroid atau ACTH, operasi ditangguhkan 2-3mg sampai pasien mendapatkan terapi tiroid atau terapi pengganti hidrocortison. Pasien dengan visual loss akut atau adenoma yang berhubungan dengan perdarahan atau abses maka segera perlu dipikirkan. Pasien telah melakukan operasi yaitu craniotomy removal tumor dan osteoplasty rekontruksi a.i tumor hipofisis. Kondisi pasien pasca operasi terlihat membaik. Setelah operasi pasien mengalami kejang satu kali dengan durasi yang singkat, dan pasien diberikan terapi phenitoin untuk mengatasi gejala kejang. Setelah operasi penglihatan pasien yang hilang tidak dapat kembali. Kondisi pasien pasca operasi terlihat membaik, tetapi sebelum pasien dipulangkan, pasien tampak lemas dan sampai akhirnya pasien mengalami penurunan kesadaran. Seperti yang kita ketahui bahwa struktur anatomi dari kelenjar hipofisis memegang peranan yang sangat penting untuk tubuh. Kelenjar hipofisis mengendalikan sebagian besar kelenjar adrenal di tubuh. Kelenjar hipofisis memiliki dua bagian yang berbeda yaitu kelenjar hipofisis anterior yang berfungsi mengeluarkan hormon ACTH yaitu untuk mengatur sekresi beberapa hormon korteksn adrenal, yang mempengaruhi metabolisme glukosa, lemak dan protein. Hormon GH berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan, hormon TSH untuk mengatur kecepatan sekresi tiroksin oleh kelenjar tioroid, tiroksin selanjutnya mengatur kecepatan sebagian besar reaksi kimia seluruh tubuh. Hormon prolaktin berfungsi untuk perkembangan kelenjar mammae dan pembentukan susu, hormon LH dan FSH berfungsi untuk mengatur pertumbuhan gonad serta aktivitas reproduksinya. Kelenjar hipofisis posterior berfungsi mengeluarkan hormon seperti ADH yang berfungsi mengatur kecepatan ekskresi air kedalam urin dan dengan cara ini membantu mengatur konsentrasi air dalam cairan tubuh. Semua hormon tersebut bekerja pada berbagai organ vital pada tubuh manusia, sehingga gangguan struktur anatomi tersebut yang bisa diakibatkan aleh perdarahan, udem, dan infeksi akan mengganggu homeostasis pada tubuh manusia. Banyak komplikasi yang mungkin terjadi pasca operasi, diantara komplikasi yang tersering seperti perdarahan, udem serebri, infeksi, dan juga dapat mencederai parenkim otak yang normal. Manifestasi yang bisa timbul berupa gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan metabolisme, dan sepsis yang menyebabkan komplikasi yang serius sehingga dapat berujung dengan kematian. Adapun terapi medikamentosa yang diberikan setelah operasi adalah ceftriaxone yang berfungsi untuk antibiotik spektrum luas. Dexamentason berfungsi untuk mencegah migrasi neutrofil, mengurangi produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator inflamasi), phenitoin berfungsi untuk mencegah serangan kejang yang mungkin terjadi oleh karena proses operasi yang mengganggu struktur otak, metamizole bertujuan untuk penghilang rasa sakit, antispasmodic (meredakan kejang otot), dan ranitidin diberikan untuk manghambat krja histamin secra kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung.
Prognosis tumor hipofisis memiliki komplikasi yang kuat untuk
kambuh. Sekitar 5% daritumor hipofisis akan menginvasi jaringan terdekat dan tumbuh dalam ukuran yang besar. Metastase tumor hipofisis sangat jarang terjadi, namun karsinoma hipofisis dapat bermetastase dan memiliki prognosis yang buruk. Pada kasus ini pasien memiliki prognosis yang buruk, dimana pasien sudah meninggal oleh karena adanya tumor yang terdapat pada area hipofisis sudah mengganggu struktur anatomi normal dari otak, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi normal dari kerja otak.