Anda di halaman 1dari 6

BAB II

ANALISIS KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang perempuan berumur 35


tahun dengan keluhan nyeri kepala sejak lebih kurang 2 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan hilang timbul. Pasien juga mengeluh mata
tidak dapat melihat lagi sejak lebih kurang 3 bulan sebelum masuk rumah sakit.
6 bulan sebelumnya pasien mengeluh penglihatan terasa putih, kemudian
membaik dengan sendirinya, lalu pasien mengeluh lapang pandang terus
mengecil secara perlahan-lahan sampai penglihatan pasien hilang. Pasien juga
mengeluh lemas saat dikamar mandi disertai kaku kuduk dan pandangan mata
yang mengarah ke atas. Pasien juga tampak kurang bisa diajak berkomunikasi,
tampak gelisah, dan sekali-kali berbicara melantur dan kacau.
Pasien mengeluh nyeri kepala yang dirasakan diseluruh bagian kepala
yang dirasakkan semakin lama semakin memberat. Nyeri kepala merupakan
rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan diseluruh daerah kepala. Berdasarkan
kausanya digolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri
kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas terdapat kelainan
anatominya, sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang jelas
terdapat kelainan anatominya. Pada pasien ini nyeri kepala yang dirasakan
merupakan nyeri kepala primer, dimana nyeri kepala yang dirasakan
disebabkan karena adanya tumor di otak yang semakin lama semakin
bertambah sehingga akan menyebabkan penyerapan cairan tumor tersebut
sehingga vena mengalami obstruksi dan akan terjadi oedem sehingga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial dan menyebabkan nyeri kepala.
Pasien 6 bulan yang lalu mengeluh lapang pandang yang terus mengecil
secara perlaha-lahan, lalu 3 bulan terakhir pasien mengeluh penglihatan
menghilang.
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa kemungkinan lapang pandang
yang terus mengecil secara perlahan di sebabkan oleh adanya tumor hipofisa,
dimana kelenjar hipofisis terletak dekat dengan chiasma optikus dan nervus
optikus. Akibat dari adanya tumor hipofisis tersebut akan menekan chiasma
optikus yang menyebabkan gangguan lapang pandang, dan karena tumor
hipofisis yang semakin lama semakin membesar sehingga akan terjadi
penekanan pada nervus optikus sehingga nervus optikus akan rusak sampai
menyebabkan penglihatan pasien menghilang.
Hilangnya penglihatan total pada mata disebut mata buta, bisa di akibat
oleh penyakit pada mata, lesi pada nervus optikus, atau akibat lesi dari korteks
oksipital yang terkait.
Pada pasien ini juga didapatkan gejala gangguan status mental yang
disebabkan oleh adanya massa tumor diotaknya, sehingga pasien kurang
kooperatif, gelisah, dan sesekali berbicara melantur. Dari hasil pemeriksaan
psikiatri pasien ini di diagnosa dengan gangguan mental organik. Perubahan
status mental menyababkan ketidakmampuan pelaksanaan tugas sehari-hari,
lekas marah, emosi yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi dan
bahkan psikosis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien kesadaran kompos mentis.
Tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit reguler, frekuensi
pernapasan 20 x/menit, suhu 36,7C. Status generalis pasien didapatkan kepala,
hidung, leher, dalam batas normal. Pada pemeriksaan status neurologis di
dapatkan gangguan pada nervus II, dimana pasien mengalami kehilangan
penglihatan. Refleks fisiologis didapatkan dalam batas normal. Refleks
patologis tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan penunjang CT Scan kepala yang bertujuan untuk
memberikan informasi spesifik mengenai jumlah, ukuran, kepadatan jejas
tumor, meluasnya edema cerebral serta memberi informasi tentang sistem
vaskular. Pada pemeriksaan CT Scan kepala pasien ini didapatkan adanya
kelainan berupa massa di sella dan suprasella yang mendesak ventrikel 3.
Adapun pemeriksaan MRI dapat berfungsi untuk dapat mendeteksi jejas kecil
dan tumor didalam batang otak dan daerah hipofisis, dimana tulang
mengganggu dalam gambaran dengan menggunakan CT Scan. Pada
pemeriksaan pasien ini didapatkan adanya massa pada sella dan suprasella
yang mendesak ventrikel 3.
Pada kasus ini penatalaksanaan yang diberikan dibagi 2 yaitu:
penatalaksanaan secara non-medikamentosa dan medikamentosa. Terapi non-
medikamentosa yaitu dengan bedrest selama masa perawatan untuk terapi
peningkatan intracranial yaitu meninggikan kepala 30o dengan tujuan
mengurangi nyeri kepala yang dirasakan pasien.
. Terapi Medikamentosa yang diberikan pada pasien ini berupa
dexametason 5 mg/ 12 jam yang merupakan kelompok obat kortikosteroid
yang bekerja dengan cara mencegah pelepasan zat-zat didalam tubuh yang
menyebabkan peradangan. Dexamentason bekerja dengan cara menekan atau
mencegah migrasi neutrofil, mengurangi produksi prostaglandin (senyawa
yang berfungsi sebagai mediator inflamasi), dan menyebabkan dilatasi kapiler,
sehingga akan mengurangi respon tubuh terhadap kondisi peradangan
(inflamasi).
Omeprazole 40mg/ 12 jam, omeprazole merupakan golongan PPI
(proton pomp inhibitor) yang bekerja menghambat sekresi asam lambung
dengan cara berikatan pada pompa H+K+ATPase (pompa proton) dan
mengaktifkannya sehingga terjadi pertukaran ion kalium dan ion hydrogen
dalam lumen sel.
Gabapentin 1x300 mg/ 24 jam, gabapentin adalah obat antikonvulsan
atau anti kejang. Gabapentin meningkatkan jumlah gamma-aminobuttyric acid
(GABA) di otak. Beberapa serangan epilepsi terjadi ketika GABA didalam
otak berada dalam tingkat yang rendah, sehingga dengan meningkatnya jumlah
GABA, gabapentin mencegah terjadinya kejang. Gabapentin juga bekerja
untuk menghilangkan rasa nyeri akibat kerusakan saraf. Pemberian gabapentin
pada pasien ini karena pasien pernah memiliki riwayat kejang sebelumnya
sehingga diberikan gabapentin untuk mencegah terjadinya kejang.
Haloperidol 2x0,5mg (k/p), pada pasien ini diberikan haloperidol
karena pasien mengalami depresi yang diakibatkan karena adanya tumor
diotak. Haloperidol merupakan obat yang dikategorikan kedalam agen
antipsikotik, antidiskinetik, dan antiemetik. Haloperidol berfungsi untuk
mengatasi berbagai masalah kejiwaan seperti skizoprenia, mania, dan masalah
psikosis lainnya. Haloperidol juga dapat mengatasi masalah yang
mempengaruhi cara berfikir, perilaku, dan perasaan dengan cara menghambat
efek kimia didalam otak. Secara umum haloperidol menghasilkan efek selektif
pada sistem saraf pusat melaluin penghambat kompetitif reseptor dopamin
(D2) postsinaptik pada sistem dopaminergik mesolimbik. Pada pasien ini juga
diberikan sahobion 1x1 tablet untuk mengatasi anemia.
Adapun terapi operatif yang diberikan yaitu craniotomy removal tumor
dan osteoplasty rekontruksi a.i tumor hipofisis. Terapi operatif ini bertujuan
untuk mengurangi efek massa yang mempengaruhi fungsi visual dan
menyembuhkan gejala hiperfungsi hormonal. Tujuan lain yaitu untuk
mengangkat adenoma sekomplit mungkin. Indikasi dilakukan terapi operatif
yaitu :
Operasi dilakukan secara mikroskopik, dengan indikasi adanya
visual loss dan hypopituitary yang progresif.
Pada pasien dengan gangguan fungsi tiroid atau ACTH, operasi
ditangguhkan 2-3mg sampai pasien mendapatkan terapi tiroid atau
terapi pengganti hidrocortison.
Pasien dengan visual loss akut atau adenoma yang berhubungan
dengan perdarahan atau abses maka segera perlu dipikirkan.
Pasien telah melakukan operasi yaitu craniotomy removal tumor dan
osteoplasty rekontruksi a.i tumor hipofisis. Kondisi pasien pasca operasi
terlihat membaik. Setelah operasi pasien mengalami kejang satu kali dengan
durasi yang singkat, dan pasien diberikan terapi phenitoin untuk mengatasi
gejala kejang. Setelah operasi penglihatan pasien yang hilang tidak dapat
kembali. Kondisi pasien pasca operasi terlihat membaik, tetapi sebelum pasien
dipulangkan, pasien tampak lemas dan sampai akhirnya pasien mengalami
penurunan kesadaran. Seperti yang kita ketahui bahwa struktur anatomi dari
kelenjar hipofisis memegang peranan yang sangat penting untuk tubuh.
Kelenjar hipofisis mengendalikan sebagian besar kelenjar adrenal di tubuh.
Kelenjar hipofisis memiliki dua bagian yang berbeda yaitu kelenjar hipofisis
anterior yang berfungsi mengeluarkan hormon ACTH yaitu untuk mengatur
sekresi beberapa hormon korteksn adrenal, yang mempengaruhi metabolisme
glukosa, lemak dan protein. Hormon GH berfungsi untuk meningkatkan
pertumbuhan, hormon TSH untuk mengatur kecepatan sekresi tiroksin oleh
kelenjar tioroid, tiroksin selanjutnya mengatur kecepatan sebagian besar reaksi
kimia seluruh tubuh. Hormon prolaktin berfungsi untuk perkembangan kelenjar
mammae dan pembentukan susu, hormon LH dan FSH berfungsi untuk
mengatur pertumbuhan gonad serta aktivitas reproduksinya.
Kelenjar hipofisis posterior berfungsi mengeluarkan hormon seperti ADH
yang berfungsi mengatur kecepatan ekskresi air kedalam urin dan dengan cara
ini membantu mengatur konsentrasi air dalam cairan tubuh. Semua hormon
tersebut bekerja pada berbagai organ vital pada tubuh manusia, sehingga
gangguan struktur anatomi tersebut yang bisa diakibatkan aleh perdarahan,
udem, dan infeksi akan mengganggu homeostasis pada tubuh manusia. Banyak
komplikasi yang mungkin terjadi pasca operasi, diantara komplikasi yang
tersering seperti perdarahan, udem serebri, infeksi, dan juga dapat mencederai
parenkim otak yang normal. Manifestasi yang bisa timbul berupa gangguan
keseimbangan elektrolit, gangguan metabolisme, dan sepsis yang
menyebabkan komplikasi yang serius sehingga dapat berujung dengan
kematian.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan setelah operasi adalah
ceftriaxone yang berfungsi untuk antibiotik spektrum luas. Dexamentason
berfungsi untuk mencegah migrasi neutrofil, mengurangi produksi
prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator inflamasi), phenitoin
berfungsi untuk mencegah serangan kejang yang mungkin terjadi oleh karena
proses operasi yang mengganggu struktur otak, metamizole bertujuan untuk
penghilang rasa sakit, antispasmodic (meredakan kejang otot), dan ranitidin
diberikan untuk manghambat krja histamin secra kompetitif pada reseptor H2
dan mengurangi sekresi asam lambung.

Prognosis tumor hipofisis memiliki komplikasi yang kuat untuk


kambuh. Sekitar 5% daritumor hipofisis akan menginvasi jaringan terdekat dan
tumbuh dalam ukuran yang besar. Metastase tumor hipofisis sangat jarang
terjadi, namun karsinoma hipofisis dapat bermetastase dan memiliki prognosis
yang buruk. Pada kasus ini pasien memiliki prognosis yang buruk, dimana
pasien sudah meninggal oleh karena adanya tumor yang terdapat pada area
hipofisis sudah mengganggu struktur anatomi normal dari otak, sehingga
menyebabkan terganggunya fungsi normal dari kerja otak.

Anda mungkin juga menyukai