PENDAHULUAN
Tenggara yang sebagian wilayahnya berada di wilayah pesisir dan terdiri dari
berbagai pulau-pulau kecil yang tersebar di bagian Selatan dan Utara.Salah satu
hayati cukup tinggi yaitu Tiworo Kepulauan (Tikep). Tiworo Kepulauan memiliki
karang, padang lamun dan berbagai jenis organisme yang berasosiasi dengan
sebanyak 34 buah, pada tahun 2004, sebagian dari kawasan Selat Tiworo
Kawasan Wisata Laut melalui Keputusan Bupati Muna Nomor 157 Tahun 2004.
KKLD Selat Tiworo memiliki luas 27.936 hektar dan melingkupi 23 buah pulau kecil
Kayu Angin Kecil, Mandike, Masaringa, Indo, Katela, Ransaweta, Lumuna Besar,
Balu, Belanbelan Besar dan Belanbelan Kecil. Dari keseluruhan pulau tersebut yang
tidak berpenghuni dan secara administrasi KKLD Selat Tiworo terdiri dari 8 desa dan
ketergantungan terhadap sumberdaya pesisir dan laut dan disamping itu memang
1
perairan laut daerah ini sangat potensial untuk pengembangan beberapa usaha
perikanan. Selat Tiworo serta beberapa teluk dan selat kecil lainnya telah menjadi
fishing ground masyarakat sejak beberapa tahun silam serta areal budidaya
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, pukat harimau dan obat
bius, penebangan hutan mangrove, pengambilan batu karang dan pasir untuk
Selat Tiworo masih sangat minim dilakukan, hanya di beberapa lokasi saja. Olehnya
itu diperlukan penelitian yang dapat memberikan gambaran dan kondisi ekosistem
serta sosial ekonomi masyarakat Selat Tiworo, serta menemukan penyebab utama
secara tepat.
ekosistem tersebut.
2
3) Mengetahui kondisi sosial ekonomi serta hubungan antara aktivitas
1.3. Sasaran
terumbu karang, mangrove, padang lamun, jenis ikan karang serta biota
berkelanjutan.
pesisir dan lautdi Kawasan Konservasi Perairan Daerah Selat Tiworo secara optimal
dan berkelanjutan.
3
1. Tahap persiapan, meliputi kegiatan administrasi, koordinasi dengan tim,
juga dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk lokasi kegiatan yang
akan dilakukan.
meliputi data tentang (a) kondisi ekosistem terumbu karang, padang lamun,
dan mangrove, (b) identifikasi jenis-jenis ikan karang, benthos, dan biota
Tiworo.
3. Tahap analisa data, yang meliputi verifikasi data lapangan dan pengolahan
akhir.
4
BAB 2
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Sulawesi Tenggara hasil pemekaran dari Kabupaten Muna pada pertengahan 2014.
Tabel 1.1 Data nama daerah Kab. Muna Barat pertengahan tahun 2014
5
2. Kecamatan Barangka Desa Barangka, Desa Walelei, Desa Lapolea,
Desa Sawerigadi, Desa Bungkolo, Desa Waulai,
Desa Wuna, dan Desa Lafinde.
11. Kecamatan Napano Desa Masara, Desa Lahaji, Desa Umba, Desa
Kusambi Kombikuno, Desa Latawe, dan Desa
Tangkumaho.
6
2.2. Geologi
Pada umumnya pulau pulau kecil di KKPD Selat Tiworo adalah pulau pasir
bermangrove yang melingkupi hampir 2/3 atau lebih dari bagian pulau yakni Pulau
Ponda dan Pulau Tiga. Sedangkan pulau dengan kondisi mangrove yang sangat
tipis meliputi Pulau Katela, Balu, Maloang Kecil, Bero, Santigi dan Pulau Masaringa
dan pulau yang tidak bermangrove adalah Pulau Lumuna Besar, Indo, Kayuangin,
2.3. Topografi
Kondisi topografi tiap pulau yang masuk ke dalam kawasan cenderung landai
dengan kedalaman berkisar 10-15 m. Tipe terumbu karang yang ada di Selat Tiworo
adalah tipe karang tepi (fringing reef) dengan kemiringan lereng terumbu berkisar
40-500. Terumbu karang di kawasan Selat Tiworo tersebar rata pada kedalaman 3-
10 meter dengan substrat dasar perairan adalah pasir. KKPD Selat Tiworo, dibagi
dalam 3 (tiga) zona yakni zona perlindungan (zona inti) dengan luas 9.543,06 ha,
zona pemanfaatan (budidaya dan penangkapan) dengan luas 8.957,71 ha, dan
2.4. Kependudukan
Muna Tahun 2012, jumlah total penduduk di kawasan KKPD Selat Tiworo mencapai
6.897 jiwa dengan rincian 3.411 laki laki dan 3.486 perempuan.
7
Tabel 1.2. Data kependudukan di Kawasan KKPD Selat Tiworo
2.4.1. Demografi
penduduk Kabupaten Muna Barat adalah sebanyak 83.364 jiwa, dengan kepadatan
mendiami daerah ini adalah Suku Muna, selain itu di daerah ini dihuni pula oleh
8
2.4.2. Pendidikan
kawasan KKLD Selat Tiworo yang tidak pernah sekolah adalah 6,79 %, tidak tamat
sekolah dasar 14,12 %, tamat sekolah dasar 26,72 %, tidak tamat SMP/sederajat
2,16 %, tamat SMP/sedarajat 5,10 %, tidak tamat SMA/sederajat 0,71 %, tamat SMA
2,61 % dan tamat Diploma/S1 0,38 %, sedangkan sisanya masih sekolah dan
masyarakat dewasa di KKPD Selat Tiworo sangat rendah yakni didominasi oleh
tamatan sekolah dasar kebawah sebesar 35,67 % dan yang memenuhi wajib belajar
9 tahun hanya 8,8 % (Bappeda Kab. Muna dan Polesterang, 2005). Sedangkan
berdasarkan data survei pra kampanye pride KKLD Selat Tiworo tahun 2012
adalah tidak pernah sekolah 4,7 %, tidak lulus SD 30,6 %, lulus sekolah dasar 47 %,
lulus SMP10,4 dan sisanya bersekolah di SMA dan sekolah SMA. Data ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan nelayan di lokasi desa terget sangat rendah
hanya sebagian kecil beragama Hindu dan Kristen Protestan. Minoritas Hindu dan
2.5. Ekonomi
perkebunan dan pertanian yang tersebar merata hampir diseluruh wilayah daerah
9
Kabupaten Muna Barat. Selain itu, di wilayah Kecamatan Tiworo Kepulauan juga
10
BAB 3
METODOLOGI
bulan mulai dari tahap persiapan, survei, analisis data, dan penyusunan laporan
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Selat Tiworo dan sekitarnya meliputi 9 pulau
Latoa, P. Balu, P. Ponda dan Pulau Indo. Terumbu karang tepi tersebar di semua
pulau tersebut terkecuali Pulau Balu dan Pulau Ponda (Kawasan Mangrove) yang
11
Tabel 3.1. Lokasi Ekspedisi Delphinus I
12
3.2. Jenis dan Sumber Data
a) Data primer yaitu data yang dikumpulkan langsung dari lapangan meliputi
b) Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui instansi terkait dalam hal
ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna Barat, maupun dari LSM
Observasi
mengidentifikasi jenis ikan karang dan benthos, melakukan ground check terhadap
kelestarian tersebut.
13
Wawancara
instansi maupun LSM yang ada di sekitar lokasi kegiatan terkait dengan jenis-jenis
yang diperoleh dari survey lapangan dan kajian terkait sebelumnya. Wawancara
Studi Pustaka
dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini, yaitu dengan cara mempelajari buku-buku
penunjang, laporan hasil penelitian sebelumnya, artikel maupun jurnal. Data yang
dikumpulkan melalui studi pustaka meliputi peta lokasi, jumlah penduduk, jumlah
karangdisajikan dalam bentuk struktur komunitas yang terdiri dari data persentase
Intercept Transect (PIT). Metode PIT, merupakan salah satu metode yang
dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya
di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang
cepat.
14
Metode ini dapat digunakan di daerah (Kabupaten) yang ingin mengetahui
yang rusak, dan terumbu karangnya yang masih sehat untuk kepentingan
berdasarkan persen tutupan karang batuhidup dengan mudah dan cepat. Secara
teknis, metode Point Intercept Transect (PIT) adalah cara menghitung persentutupan
(% cover) substrat dasar secara acak, dengan menggunakan tali bertanda di setiap
jarak 0,5 meter atau juga dengan pita berskala (roll meter).
Tiap koloni karang, yang dilewati atau berada dibawah garis transek dicatat
dengan interval 50 cm. Secara teknis di lapangan, yang dicatat ialah komponen
bentik dimulai dari titik 0,50; 1; 1,50; 2; 2,5 dan seterusnya sampai ke titik 25. Total
jumlah titik yang dilalui dan dicatat, 50 titik. Kategori yang harus dicatat ialah :
karang batu, dengan kode AC dan NA, biota lain dan substrat dan seterusnya, dapat
dilihat dalam Tabel 3.2 Transek dilakukan di daerah lereng terumbu bagian atas
15
Tabel 3.2. Tabel kategori karang hidup
S Sand Pasir
Sumber:Manuputty, 2009
yang sama dengan pengamatan karang. Metode yangdigunakan ialah sensus visual
(Under water Fish Visual Census, UVC), pada bidang pengamatan seluas 5 x 25
sejauh 2,5 m ke sebelah kiri dan 2,5 meter ke sebelahkanan garis transek (Gambar
4). Pengamat mencatat semua jenis ikan dan mengitung jumlah kehadiran ikan yang
16
ada didalam area transek.Pengamatan ikan karang dilakukan kurang lebih 5 menit di
titik awal setelah garis transek terpasang.Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran umum mengenai ikan karang di lokasi pengamatan dan agar kondisi ikan
dan perairan normal lagi setelah dilalui oleh pemasangtransek.Untuk ikan target dan
ikan indikator, jumlah dihitung secara kuantitatif sedangkan untuk ikan lainnya (major
secara ekor per ekor (kuantitatif). Untuk kelompok ikan target utama
secarakuantitatif.
Ikan major: ialah kelompok ikan karang yang selalu dijumpai diterumbu
17
Gambar 3.3. Metode Underwater Fish Vicual Sensus (UFVS)
berasosiasi dan berperan dalam menunjang tingkat kesuburan karang dan terumbu
karang.Lokasi pengamatan sama dengan lokasi transek karang dan sensus visual
ikan karang. Sampling dilakukan sesudah kegiatan sensus ikan karang, pada garis
kiri dari garis transek. Biota yang dicatat jumlah individunya sepanjang garis
transekialah :
Trochusniloticus (lola).
18
3.4.4. Pengamatan Ekosistem Padang Lamun
pengambilan data.
koreksi ulang. Berbagai jenis biota yang berasosiasi dengan padanglamun yang
biota.
19
3.4.5. Pengamatan Ekosistem Mangrove
x 10 m yang telah ditentukan untuk melihat jenis mangrove, jumlah individu setiap
jenis, dan mengukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada
20
3.4.6. Pengamatan Biota Endemik dan Langka
secara visual ini dibantu dengan alat kamera underwater untuk merekam
keberadaan hewan endemik ini. Biota yang dijumpai di pulau yang masuk ke dalam
bahwa kawasan ini memiliki nilai jual sebagai daerah tujuan wisata dan harus dijaga
penunjang dalam pertumbuhan ekosistem terumbu karang, selain itu bisa juga
arus dengan membandingkan panjang tali dan waktu. Salinitas perairan diukur
permukaan dasar yang telah dibersihkan kemudian ditutup dan dibaca skala
21
3.4.8. Data Sosial Kemasyarakatan
dan mangrove yang ada di KKLD Selat Tiworo. Responden ditentukan secara
permasalahan yang akan diteliti atau sebagai orang yang terlibat langsung dalam
22
Perhitungan persentase tutupan karang hidup dengan menjumlahkan persentase
berdasarkan kisaran tingkat persentase penutupan karang (Gomez dan Yap 1988),
yaitu :
ni
Di =
A
Keterangan:
23
Banyak apabila jumlah individu Ikan Target sepanjang transek antara 25-
50 ekor, dan
24
BAB IV
HASIL KEGIATAN
KKLD Selat Tiworo terletak diantara Pulau Sulawesi dan Pulau Muna dan
memiliki luas 27.936 hektar. Penetapan Selat Tiworo sebagai Kawasan Konservasi
Perairan Daerah berdasarkan keputusan Bupati Muna Nomor 157 Tahun 2004
Wisata Laut. Secara geografis KKLD Selat Tiworo terletak pada posisi '0416'40" LS
pada 8 (delapan) desa yakni Desa Tasipi (Pulau Tasipi), Desa Mandike (Pulau
Bero), Desa Bero (Pulau Tiga), Desa Santigi (Pulau Santigi), Desa Tiga (Pulau
Mandike), Desa Lasama (Pulau Indo), Desa Katela (Pulau Katela), dan Desa Santiri
25
Secara geografis KKLD Selat Tiworo berbatasan dengan :
Dari ke 8 desa tersebut hanya desa Lasama (Pulau Indo) yang merupakan pulau
tidak berpenghuni serta Desa Santiri (Pulau Maloang) yang hanya memiliki satu
orang penghuni.
Pada umumnya pulaupulau kecil di KKLD selat Tiworo adalah pulau pasir
bermangrove yang melingkupi hampir 2/3 atau lebih dari bagian pulau yakni Pulau
Ponda dan Pulau Tiga. Sedangkan pulau dengan kondisi mangrove yang sangat
tipis meliputi Pulau Katela, Balu, Maloang Kecil, Bero, Santigi dan Pulau Masaringa
dan pulau yang tidak bermangrove adalalah Pulau Lumuna Besar, Indo, Kayuangin,
Kondisi topografi tiap pulau yang masuk ke dalam kawasan cenderung landai
dengan kedalaman berkisar 10-15 m. Tipe terumbu karang yang ada di Selat Tiworo
adalah tipe karang tepi (fringing reef) dengan kemiringan lereng terumbu berkisar
40-500. Terumbu karang di kawasan Selat Tiworo tersebar rata pada kedalaman 3-
KKLD Selat Tiworo, dibagi dalam 3 (tiga) zona yakni zona perlindungan
(zona inti) dengan luas 9.543,06 ha, zona pemanfaatan (budidaya dan
penangkapan) dengan luas 8.957,71 ha, dan Zona Wisata (Tourism Use Zone)
26
4.2. Kondisi Ekosistem Selat Tiworo
pulau yang ada di KKLD Selat Tiworo, yakni Pulau Mandike, Pulau Bero, Pulau Tiga,
Pulau Santigi, Pulau Latoa, Pulau Tasipi, Pulau Maloang, dan Pulau Indo. Jumlah
dalam kategori baik serta mewakili keseluruhan lokasi pengamatan pada masing-
masing pulau. Untuk pendataan luas tutupan digunakan metode Point Intersep
Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. Bentuknya relatif memanjang dari
Timur ke Barat, pada sisi Barat dan Timur jika terjadi surut terendah maka tedapat
27
Secara geografis terletak pada 0403929- 0403959 Lintang Selatan dan
Timur. Kondisi topografi di ke 2 (dua) stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-10
m dan kemiringan lereng terumbu 40-500. Tipe terumbu di Pulau Mandike yaitu
fringing reef (karang tepi) yang memanjang dari arah Barat ke Timur.
10-15 m sudah jarang ditemui karang, di kedalaman ini lebih didominasi oleh
hamparan pasir yang cukup luas. Hal ini jugalah yang mungkin menyebabkan faktor
cukup keruhnya perairan pada saat melakukan pendataan. Kondisi perairan pada
28
Gambar 4.2.3.Pengambilan data karang dengan metode Point Intercept Transec (PIT) di pulau Mandike
kondisi karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas tutupan karang
untuk Pulau Mandike. Kondisi terumbu karang di ke 2 (dua) stasiun disajikan dalam
10%
8% 2%
10%
54%
7%
1%
AC NA SC DCA SP R S
Gambar 4.2.4 Persentase kondisi (%) Ekosistem Karang stasiun I Pulau Mandike
29
Kondisi tutupan komponen karang untuk stasiun 1 masuk dalam kategori
rusak dengan total persentase karang hidup hanya sebesar 18 % yang terdiri dari
terdiri dari patahan karang 14 % dan karang yang mati ditumbuhi alga (DCA) 10 %.
20% 28%
4%
4%
20% 24%
AC NA DCA DC FS R
Gambar 4.2.5 Persentase kondisi (%) Ekosistem Karang stasiun 2 Pulau Mandike
masuk dalam kategori baik dengan total persentase karang hidup sebesar 52 %
yang terdiri dari Acropora 28 % dan Non Acropora 24 %. Pada stasiun 2 persentase
karang mati lebih tinggi dibandingkan pada stasiun 1, dimana total persentase
karang mati sebesar 44 % yang terdiri dari dead coral algae 20 %, dead coral
nelayan yang sering melintas di area terumbu karang. Jangkar-jangkar kapal yang
30
sedang berlabuh merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadi
patahan karang, ini dapat kita lihat dengan besaran persentase patahan karang di 2
stasiun pengamatan (14 % stasiun 1 dan 20 % stasiun 2). Selain itu hasil survei
sudah cukup lama mati dan diselimuti alga (Dead Coral withAlgae-DCA) cukup tinggi
penyebab matinya karang batu ini dan kemudian terbentuk DCA, salah satunya
adalah adanya sedimentasi yang cukup tinggi yang berasal dari daratan utama dan
Mandike cukup bervariasi. Selain karang keras, juga ditemukan karang lunak (soft
coral) 2 %, sponge 2%, serta makroalgae (flesy seawead) 4%. Kondisi terumbu
a b
c d
31
Ikan Karang
5 5
ikan yang terdiri dari 3 family :Acanthuridae, Apogonidae dan Nemipteridae. Pada
32
Ada 7 family ikan yang diidentifikasi pada stasiun 2 pulau Mandike. Ikan
target dari family Haemulidae dominan pada stasiun tersebut dengan 32 spesies.
Mega Benthos
37
28
3 2
Spesies yang ditemukan dan memiliki kelimpahan yang paling besar adalah Bulu
Babi Hitam (Diadema setosum) dan Coral Mushroom. Sedangkan kelimpahan yang
paling sedikit adalah Kima (Tridacna spp) dan beberapa spesies lainnya yang
dikategorikan other.
33
Kelimpahan Mega Benthos
di Pulau Mandike (Stasiun 2)
37
17 16
3 1
satu. Dimana kelimpahan Coral mushroom lebih besar dibanding dengan Bulu Babi
Hitam (Diadema sitosum). Salah satu spesies yang ditemukan adalah Bulu Babi
Pensil yang memiliki kelimpahan yang paling sedikit. Dan spesies yang
dikategorikan other.
b. Pulau Latoa
Pulau Latoa merupakan salah satu pulau yang termasuk dalam kawasan
zona inti pada KKPD Selat Tiworo dengan luas pulau sebesar 605,13 Ha. Luas total
zona inti KKPD selat Tiworo 9.543,06 Ha terdiri dari 5 pulau yakni Pulau
Pasipi.
masyarakat. Pulau Latoa memiliki ciri fisik utama sebagai Pulau mangrove. Luasan
hutan mangrove pada pulau ini sebesar 490,13 Ha. Pulau Latoa memiliki
34
asosiasimurni antara 3 ekosistem penting pesisir berupa hutan mangrove , padang
tutupan karang di Pulau Latoa terdiri dari 2 stasiun pengamatan. Hasil survey yang
16.0%
34.0%
10.0%
20.0%
18.0%
AC NA DCA DC FS R
Gambar 4.3.2 Persentase kondisi (%) Ekosistem karang pada stasiun I Pulau Latoa
35
terdiri dari acropora 2 %, non acropora 34 %. Komponen kondisi ekosistem terumbu
Berdasarkan grafik diatas selain karang mati juga terdapat kematian karang
bleaching di suatu perairan disebabkan oleh 2 faktor utama yakni kenaikan suhu air
laut yang cukup ekstrim serta adanya biota pemangsa karang yaitu archanster planci
(bintang laut berduri). Patahan karang (R) juga ditemukan 16 % dan alga 10 %.
Patahan karang diperkirakan dari aktivitas penangkapan oleh nelayan yang biasa
20.0% 28.0%
4.0%
4.0%
20.0% 24.0%
AC NA DCA DC FS R
Gambar 4.3.3 Persentase kondisi (%) Ekosistem karang pada stasiun 2 Pulau Latoa
Berdasarkan grafik diatas selain karang mati juga terdapat kematian karang
bleaching di suatu perairan disebabkan oleh 2 faktor utama yakni kenaikan suhu air
laut yang cukup ekstrim serta adanya biota pemangsa karang yaitu Archantaster
planci (bintang laut berduri). Patahan karang (R) juga ditemukan 16 % dan alga 10
36
%.Patahan karang diperkirakan dari aktivitas penangkapan oleh nelayan yang biasa
Ikan Karang
8 12
5 3 3 4 3
49
27
6 2 9 4 1 3
37
Pulau Latoa stasiun 2 diidentifikasi 9 family ikan dengan terbanyak dari family
Mega Benthos
16
11
3 1
sitosum), Coral mushroom, Tridacna sp., dan Bulu Babi Pensil. Kelimpahan yang
paling besar adalah Bulu Babi Hitam (Diadema sitosum) dan Coral mushroom.
Sedangkan kelimpahan yang paling sedikit adalah Tridacna sp, dan Bulu Babi
Pensil.
38
c. Pulau Maloang
Pulau Maloang, pulau yang berukuran 6.17 Ha. Pulau ini merupakan zona
wisata pada KKLD Selat Tiworo. Luasan 3.080,91 Ha zona inti terdiri dari 4 pulau
yakni Pulau Indo, Pulau Masaringan, Pulau Simuang dan Pulau Maloang sendiri.
Pulau ini juga memiliki hutan mangrove dengan luasan 2.79 Ha. Pulau Maloang
terbagi dua pulau, yakni Pulau Maloang Besar dan Pulau Maloang Kecil.
barat. Kondisi topografi di ke 2 (dua) stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-20m
dan kemiringan lereng terumbu 75-800. Berdasarkan metode RRA yang digunakan
lokasi ini dipilih berdasarkan kondisi karang yang masih relatif baik dan cukup
mewakili data luas tutupan karang untuk Pulau Maloang. Kondisi terumbu karang di
39
Persentase Kondisi (%)
Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Maloang
2.0% 8.0% 8.0%
8.0%
10.0% 24.0%
20.0% 20.0%
AC NA DCA DC FS OT R S
Gambar 4.4.2 Peersentase kondisi (%) ekosistem karang pada stsiun I Pulau Maloang
%, hal ini mengindikasikan kondisi tutupan karang hidup stasiun 1 Pulau Maloang
masuk dalam kategori baik. Persentase karang kategori acropora 8 % dan non
4.0% 18.0%
6.0%
62.0%
10.0%
AC NA DCA OT R
Gambar 4.4.3 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stsiun 2 Pulau Maloang
40
Stasiun 2 Pulau Maloang memiliki luas tutupan karang hidup yang tinggi
nelayan yang menangkap dilokasi tersebut dibatasi. Lokasi ini sangat diperhatikan
Ikan Karang
17
7 7 9
2
41
Pulau Maloang stasiun 1 teridentifikasi ikan karang dengan jumlah 6 family
dan Pomacentridae. Jumlah ikan pada Pulau Maloang antara 2 55 ekor. Pulau
198
10 10 6
dengan 7 spesies.
Mega Benthos
42
Kelimpahan Megabentos yang ditemukan di Pulau Maloang hanya ada dua
spesies, Coral mushroom dan Bulu babi hitam (Diadema setosum), Coral mushroom
memiliki kelimpahan lebih tinggi dibanding Bulu babi hitam (Diadema setosum).
10 10
setosum, Tridacna spp. Diantara 3 spesies tersebut, kelimpahan yang paling sedikit
d. Pulau Tasipi
Pulau Tasipi berada pada letak geografis 040379.9 (LS) dan 12202004.1
(BT). Pulau ini memiliki 2 dusun dan 153 KK. Kawasan konservasi laut yang berada
di Selat Tiworo salah satunya adalah Pulau Tasipi. Sumber air masyarakat Pulau
43
Gambar 4.5.1 Peta Pulau Tasipi
Berdasarkan metode RRA yang digunakan lokasi ini dipilih berdasarkan kondisi
karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas tutupan karang untuk
Pulau Tasipi. Kondisi terumbu karang di ke 2 (dua) stasiun disajikan dalam diagram
24.0%
40.0%
2.0% 12.0%
6.0%
2.0%
2.0%
AC NA SC DCA DC FS OT R S
Gambar 4.5.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun I Pulau Tasipi
%.Lokasi pengamatan ini masuk dalam kategori baik. Kematian karang 2 % dan
44
dikarenakan lokasi ini tidak jauh dari tempat perahu nelayan dijangkarkan.
Pengamatan dilokasi ini juga ditemukan soft coral 2 %, other 2 %, algae dan
30.0%
50.0%
2.0%
2.0% 8.0% 4.0%
AC NA SC DCA DC OT S
Gambar 4.5.3 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun 2 Pulau Tasipi
yang masuk dalam ketegori baik.karang hidup non acropora 30% merupakan
persentase tertinggi karang hidup bila dibandingkan dengan acropora yang hanya
Ikan Karang
25 32
3 3 3 9 12
45
Pulau Tasipi teridentifikasi ikan karang dengan jumlah 8 family yang terdiri
Pomacentridae dan Scaridae. Jumlah ikan pada Pulau Tasipi antara 3 70 ekor.
Pulau Tasipi didominasi dari family Caesionidae dengan jumlah 70 ekor dengan
e. Pulau Santigi
Kondisi topografi di stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-15m dan kemiringan
lereng terumbu 40-50o. Berdasarkan metode RRA yang digunakan, lokasi ini dipilih
berdasarkan kondisi karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas
tutupan karang untuk Pulau Santigi. Kondisi terumbu karang di stasiun disajikan
46
Persentase Kondisi (%)
Ekosistem Karang
Stasiun 1 Pulau Santigi
32.0% 42.0%
8.0%
12.0%
6.0%
AC NA DCA DC R
Gambar 4.6.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun I Pulau Santigi
hidup sebesar 54 % yang terdiri dari 42 % acropora dengan karang yang paling
karang mati sebesar 46 % terdiri dari DCA 6 %, rubble 32 % dan pemutihan karang
8 %.
bahwa di lokasi ini telah banyak mendapatkan tekanan oleh aktivitas manusia.
Pengunaan bom serta alat tangkap seperti trawl dan pukat dapat menyebabkan
mengindikasikan telah terjadi peningkatan suhu yang cukup tinggi, sehingga karang
47
Ikan Karang
Pulau Santigi diidentifikasi 7 family ikan. Ikan yang paling teridentifikasi dari
Mega Benthos
101
32
7 3
48
Pulau Santigi memiliki kelimpahan spesies yang beraneka ragam. Spesies
yang ditemukan adalah Bulu Babi Hitam (Diadema setosum), Coral mushroom,
Tridacna sp dan spesies lain yang dikategorikan other. Kelimpahan yang paling
besar adalah Bulu Babi Hitam (Diadema setosum). Kelimpahan yang dikategorikan
sedang adalah Coral mushroom. Sedangkan kelimpahan yang paling sedikit adalah
f. Pulau Tiga
Timur. Kondisi topografi di ke 2 stasiun cukup landai dengan kedalaman 15-20m dan
lokasi ini dipilih berdasarkan kondisi karang yang masih relatif baik dan cukup
mewakili data luas tutupan karang untuk Pulau Tiga. Kondisi terumbu karang di
49
(gambar 10). Sedangkan persentase karang mati di 2 stasiun pengamatan juga
cukup tinggi yakni 50-56 % . Persentase dead coral algae merupakan yang terbesar
22,0% 42,0%
4,0%
30,0%
2,0%
AC NA DCA DC R
Gambar 4.7.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun 1 dan 2 Pulau Tiga
Tingginya persentase karang mati yang ditumbuhi alga dan patahan karang
di pulau ini mengindikasikan bahwa terumbu karang di pulau ini mengalami tekanan
kerusakan yang cukup parah. Menurut kepala desa setempat salah satu faktor yang
tangkap trawl yang dilakukan oleh nelayan dari daerah lain. Penggunaan trawl yang
sistem kerjanya menyapu dan mengeruk dasar perairan dan dilakukan di area
50
Gambar 4.7.3 kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Tiga
Ikan Karang
15 16 17
1 2 6 4 1
spesies yang beragam antara 1 61 ekor. Family Aulostomidae dan Mulidae jumlah
51
Kelimpahan Ikan karang Stasiun II
Pulau Tiga
5 5
2 2 2
1
Ikan pada stasiun 2 Pulau Tiga bervariasi dari family dan spesies yang
teridentifikasi. Sekitar 6 dari family ikan yang teridentifikasi dengan jumlah spesies
antara 1 5 ekor. Family Apogonidae dan Lutjanidae tertinggi dengan jumlah 5 ekor.
Ikan bibir tebal (Haemulidae) terendah dengan jumlah 1 ekor saja. Ikan bibir tebal
Mega Benthos
34 36
52
Di stasiun 1 di Pulau Tiga memiliki 2 kelimpahan spesies. Spesies yang
memiliki kelimpahan paling besar adalah Bulu Babi Hitam (Diadema sitosum) dan
37
1
1.Spesies yang memiliki kelimpahan paling besar adalah Bulu Babi Hitam (Diadema
sitosum), kemudian Coral Mushroom, dan kelimpahan yang paling sedikit itu adalah
Tridacna sp.
g. Pulau Bero
53
Pengamatan terumbu karang di Pulau Santigi terletak di bagian Barat.
Kondisi topografi di stasiun cukup landai dengan kedalaman 7-15m dan kemiringan
lereng terumbu 40-50o. Berdasarkan metode RRA yang digunakan, lokasi ini dipilih
berdasarkan kondisi karang yang masih relatif baik dan cukup mewakili data luas
tutupan karang untuk Pulau Santigi. Kondisi terumbu karang di stasiun disajikan
8.0% 6.0%
4.0%
16.0%
54.0%
12.0%
AC NA DCA DC SI R
Gambar 4.8.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun I Pulau Bero
persentase karang hidup yang 66 % maka untuk lokasi ini kategori tutupan
54
Gambar 4.8.3 kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Bero
dilakukan di lapangan juga dijumpai beberapa karang mati yang ditumbuhi alga
lokasi ini penggunaan bahan peledak sangat kurang dilakukan. Kematian karang di
lokasi ini lebih disebabkan oleh proses sedimentasi yang berlangsung cukup lama
sehingga menyebabkan kematian karang yang ditumbuhi alga, hal ini disebabkan
karena tidak adanya penghalang seperti ekosistem padang lamun yang dapat
berfungsi sebagai penghalang dan penyaring sedimen yang akan masuk ke laut.
Ikan Karang
55
Antara 1 7 spesies yang teridentifikasi pada Pulau Bero dengan 7 jumlah
ini dengan masing-masing 7 jumlah spesies. ikan baronang (Siganidae) yang masuk
dalam kategori ikan target hanya ditemukan 1 spesies dan termasuk jumlah
Mega Benthos
12
paling besar adalah Coral Mushroom dan kelimpahan selanjutnya Bulu Babi Hitam
(Diadema sitosum).
56
h. Pulau Indo
Berdasarkan metode awal yang digunakan yaitu RRA untuk Pulau Indo
Sama halnya dengan pulau-pulau lain yang ada di KKPD Selat Tiworo, kondisi
topogrofi Pulau Indo juga relatif dangkal.Kondisi terumbu karang di Pulau ini cukup
menggunakan metode PIT pada 3 stasiun diperoleh nilai tutupan karang dan
komponen terumbu karang lainnya. Kondisi terumbu karang yang sangat bagus
dengan tutupan karang hidup 76 % tercatat dari stasiun 3 yang terletak di sebelah
Utara Pulau Indo tepatnya pada zona rataan terumbu kedalaman 5 m. Sementara
karang hidup 36 % dapat dilihat pada stasiun 1. Kondisi terumbu karang dengan
didominasi oleh tutupan rubble (R) dan karang mati (DCA). Berikut kondisi tutupan
57
karang Pulau Indo di 3 stasiun pengamatan yang disajikan dalam diagram dibawah
ini :
Gambar 4.9.2 Persentase kondisi (%) ekosistem karang pada stasiun 1,2 dan 3 di Pulau Indo
Terumbu karang Pulau Indo umumnya didominasi oleh tutupan karang mati
tertutupi alga (DCA) dan rubble (R). Komponen DCA terbesar terdapat di stasiun 2
dan 3 dengan jumlah persentase kerusakan 40-50 %. Hal ini sebagai refleksi dari
karang mati dalam bentuk utuh dalam waktu yang sudah lama. Selain itu lokasi
Pulau ini cukup dekat dengan pelabuhan barang serta daratan utama sehingga
Komponen patahan karang yang terdapat di 3 stasiun bisa jadi disebabkan oleh
aktifitas manusia di area terumbu karang, hal ini dikarenakan Pulau Indo merupakan
tempat destinasi wisata bagi masyarakat Kabupaten Muna Barat. Masyarakat yang
tidak tahu akan fungsi dan peran terumbu karang melakukan kerusakan baik itu
58
disengaja (menginjak karang pada saat melakukan snorkeling) maupun tidak
disengaja. Selain itu pulau ini juga sering dijadikan sebagai tempat persinggahan
oleh nelayan. Jangkar kapal nelayan yang berlabuh di pulau merupakan salah satu
Keanekaragaman biota di Pulau Indo cukup bervariasi dari hasil survei yang
a b c
d e f
59
Ikan Karang
6
4 4 3
Identifikasi ikan di Pulau Indo stasiun 2 secara keseluruhan terdiri dari ikan
3 ekor.
4 3 3 3
1 1 2 1 1 1
60
Kelimpahan Ikan Karang Stasiun III
Pulau Indo
23
9
4 2 1
Pulau Indo stasiun 3 teridentifikasi 5 family ikan karang terdiri dari ikan target
dan ikan indicator. Ikan target dari family Caesionidae mendominasi dengan jumlah
23 ekor. Terendah pada stasiun 3 dari family Nemipteridae yang hanya 1 ekor saja
Mega Bentos
24
9 8
6
1
61
Pulau Indo memiliki kelimpahan spesies yang beraneka ragam. Diantaranya
Bulu Babi Hitam (Diadema sitosum), Tridacna sp. dan coral mushroom. Kelimpahan
dari ketiga spesies ini tidak berbeda jauh. Sedangkan kelimpahan spesies yang
19
9 10
1
stasiun 1, yaitu Bulu Babi Hitam (Diadema sitosum), Tridacna sp. dan coral
mushroom. Sedangkan kelimpahan spesies yang paling sedikit adalah spesies yang
dikategorikan other.
62
Kelimpahan Mega Benthos
di Pulau Indo (Stasiun 3)
62
33
20
9
yang paling besar adalah Tridacna sp, sedangkan kelimpahan spesies yang
dikategorikan sedang adalah Bulu Babi Hitam (Diadema sitosum), dan kelimpahan
menyatakanbahwapemerintahdanpemerintahdaerahwajibmengelola data
63
4.3.2. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove
sebesar 4000 Pohon/Ha, Avicennia alba 1100 Pohon/Ha dan Sonneratia alba 300
Pohon/Ha. Total kerapatan jenis hutan mangrove Pulau Latoa sebesar 5400
64
Kerapatan Jenis (Pohon/Ha)
Hutan Mangrove
Pulau Latoa
300
1100
4000
39.96
58.42
65
Indeks Nilai Penting (INP) hutan mangrove di Pulau Latoa paling tinggi pada
b. Pulau Maloang
200 Pohon/Ha, dan Sonneratia alba 600 Pohon/Ha. Total kerapatan jenis hutan
mangrove Pulau Maloang sebesar 2200 Pohon/Ha yang termasuk kategori sangat
2004.
66
Kerapatan Jenis (Pohon/Ha)
Hutan Mangrove
Pulau Maloang
600
1100
200
300
Rhizopora apiculata
Agiceras corniculatum
Scyphiphora hydrophyllacea
Sonneratia alba
Gambar 4.3.3.5 Kerapatan Jenis (Pohon/Ha) Hutan Mangrove P. Maloang
2004.
47.3915
51.7101
0.2942 0.604
Rhizopora apiculata
Agiceras corniculatum
Scyphiphora hydrophyllacea
Sonneratia alba
67
Indeks Nilai Penting (INP) hutan mangrove di Pulau Latoa paling tinggi pada
c. Pulau Ponda
sebesar 2700 Pohon/Ha, dan Sonneratia alba 700 Pohon/Ha. Total kerapatan jenis
hutan mangrove Pulau Ponda sebesar 3400 Pohon/Ha yang termasuk kategori
Tahun 2004.
68
Kerapatan Jenis (Pohon/Ha)
Hutan Mangrove
Pulau Ponda
700
2700
2004.
Luas Penutupan Relatif (RCi %)
Hutan Mangrove
Pulau Ponda
22.7664
77.2335
Indeks Nilai Penting (INP) hutan mangrove di Pulau Latoa paling tinggi pada
69
d. Pulau Balu
Desa Santiri, Kecamatan Tiworo Tengah dengan jumlah penduduk 416 KK. Letak
geografis Pulau Balu 040 44 17.6 (LS) dan 1220 21 24.5 (BT). Pulau Balu
berdekatan dengan Tondasi sekaligus sebagai tempat/ sumber air masyarakat Pulau
Balu. Di pulau ini terdapat tumbuhan berupa pohon kelapa, pohon mangga, pohon
kerapatan jenis hutan mangrove Pulau Ponda sebesar 1700 Pohon/Ha yang
70
Kerapatan Jenis (Pohon/Ha)
Hutan Mangrove
Pulau Balu
1700
100
RCi (%)
Gambar 4.3.3.12 Luas Penutupan Relatif Spesies Rhizopora apiculata Pulau Balu
Indeks Nilai Penting (INP) hutan mangrove di Pulau Balu paling tinggi pada
spesies Rhizopora apiculata sebesar 100 yang berarti spesies yang mendominasi di
71
4.4. Ekosistem Padang Lamun
Tiworo yakni Pulau Mandike, Pulau Latoa, dan Pulau Tiga, dengan jumlah stasiun
masih relatif baik dibanding dengan pulau lain. Beberapa pulau yang masuk dalam
kawasan seperti Pulau Indo, Pulau Santigi, Pulau Bero, Pulau Tasipi, Pulau Maloang
dan Pulau Balu, pengamatan lamun tidak dilakukan disebabkan karena ekosistem
lamun pada beberapa pulau tersebut sangat tipis dan jarang ditemukan serta telah
mengalami kerusakan yang cukup parah sehingga tidak memungkin untuk dilakukan
pendataan.
Kerapatan Jenis dan Luas penutupan ekosistem padang lamun yang ada
pada kepulauan Selat Tiworo kabupaten Muna Barat dapat dilihat pada grafik
dibawah ini :
72
Berdasarkan hasil survey di dua titik stasiun pengamatan yang terletak di
30.4
24.8
7.6
5.6
ST 1 ST 2
terdapat pada stasiun 1 (ST 1) total 14% sedangkan pada stasiun 2 (ST 2) dengan
73
Luas Penutupan (%)
Ekosistem Padang Lamun
Pulau Mandike
14
ST 1
ST 2
13
b. Pulau Latoa
Pulau Latoa. Substrat dasar perairan berpasir, ditemukan 2 spesies lamun dengan
stasiun 2 (ST 2) kerapatan jenis Thalassia hemprichii 5.6 ind/m2 sedangkan Enhalus
acoroides18.8 ind/m2
74
Kerapatan Jenis (Ind/m2)
Ekosistem Padang Lamun
Pulau Latoa
18.8
10
4.8 5.6
ST 1 ST 2
Luas penutupan ekosistem padang lamun Pulau Lato paling tinggi terdapat
pada stasiun 1 (ST 1) total 7% sedangkan pada stasiun 2 (ST 2) dengan total 13%,
7 ST 1
ST 2
75
c. Pulau Tiga
Pulau Tiga. Substrat dasar perairan berpasir, ditemukan 2 spesies lamun dengan
41.2
26.8
18.4 15.2
ST 1 ST 2
76
Luas penutupan ekosistem padang lamun Pulau Lato paling tinggi terdapat
pada stasiun 1 (ST 1) total 35% sedangkan pada stasiun 2 (ST 2) dengan total 20%,
yang termasuk daalam kategori sedang pada stasiun 1 dan kategori kurang
35
20 ST 1
ST 2
Pulau Bero, Pulau Tiga, Pulau Santigi, Pulau Tassipi, Pulau Maloang, dan Pulau
Balu. Terkhusus untuk Pulau Maloang hanya mempunyai 2 orang penduduk dan
77
a. Sarana Sosial
perekonomian.
Mandike, Pulau Bero, Pulau Tiga, Pulau Santigi, Pulau Tassipi, dan Pulau Balu.
Sarana pendidikan meliputi Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang di
beberapa pulau biasanya digabung menjadi Sekolah Satu Atap (SATAP) dengan
kondisi bangunan yang masih baik. Sarana peribadatan berupa masjid masih dalam
kondisi baik dan terawat. Sarana kesehatan di beberapa pulau berada dalam kondisi
Sarana pelabuhan berupa dermaga yang terbuat dari beton dan batu karang
yang rusak, salah satunya adalah Pulau Bero. Sarana perekonomian yang
ditemukan hanya kios-kios kecil yang menjajakan barang keperluan rumah tangga
Sarana yang paling banyak dikeluhkan adalah sarana air bersih dan listrik yang
sangat susah untuk didapatkan. Air bersih hanya didapatkan di Pulau Tiga, sehingga
pulau yang tidak memiliki air bersih harus membeli dari Pulau Tiga atau dari penjual
air yang berasal dari daratan Kab. Muna Barat. Sedangkan untuk sarana listrik
b. Ekonomi
nelayan dengan hasil tangkapan yang mengikuti musim. Hal ini mengindikasikan
78
adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya perikanan masih tinggi.
7-8 jam/hari. Selain sebagai nelayan, juga terdapat masyarakat yang bermata
pencarian sebagai pengumpul hasil laut, penjual air bersih (tawar) dan penjual kayu
pendataan masih dijumpai sistem tengkulak, sehingga nelayan yang kembali dari
c. Sosial Budaya
Penduduk pulau-pulau yang telah disebut diatas didominasi dengan Suku Bajo
dan Suku Bugis, selain itu juga terdapat Suku Muna dan Buton. Penyebaran
terdapat suku yang mendominasi suatu pulau tertentu. Hal tersebut dikarenakan
sudah terjadinya proses kawin mawin antar suku. Bhasa sehari yang digunakan
mayoritas bahasa yang digunakan adalah bahasa bugis dengan dialek bajo.
sangat bergantung pada hasil laut. Sumber daya yang tersedia yaitu, Mangrove,
padang lamun, terumbu karang, dan ikan masih dalam kondisi baik di beberapa
mangrove digunakan sebagai kayu bakar dan keperluan rumah tangga lainnya, dan
79
juga masih ada yang menyatakan bahwa sumber daya tersebut dapat menghindari
dan tahu cara-cara untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi sumber daya.
Beberapa pulau dan tempat juga dikeramatkan oleh masyarakat sehingga sumber
dayanya terjaga dengan baik. Selain itu masyarakat mendukung upaya pemerintah
peraturan-peraturan tersebut tidak diketahui secara detail oleh masyarakat, hal itu
perlindungan laut.
sumber daya perairan yang tidak ramah lingkungan, yaitu penggunaan pukat
harimau dan bom ikan yang berasal dari pulau-pulau tetangga. Masyarakat sangat
80
Pulau Indo
Pulau Indo merupakan salah satu pulau yang berada pada kawasan KKPD
Selat Tiworo Kab. Muna Barat.Bentuknya relatif berbentuk memanjang dari Timur ke
Barat. Pulau Indo juga termasuk pulau wisata yang ada pada kawasan KKPD Selat
Tiworo.
Selain itu lokasi Pulau ini cukup dekat dengan pelabuhan barang serta
secara terus menerus. Komponen patahan karang yang terdapat di 3 stasiun bisa
jadi disebabkan oleh aktifitas manusia di area terumbu karang, hal ini dikarenakan
Pulau Indo merupakan tempat destinasi wisata bagi masyarakat Kabupaten Muna
Barat. Masyarakat yang tidak tahu akan fungsi dan peran terumbu karang
melakukan kerusakan baik itu disengaja (menginjak karang pada saat melakukan
snorkeling) maupun tidak disengaja. Selain itu pulau ini juga sering dijadikan sebagai
tempat persinggahan oleh nelayan. Jangkar kapal nelayan yang berlabuh di pulau
yang cukup lama dalam pemulihannya. Beberapa usaha yang coba dilakukan dalam
transplantasi.
81
sebagai anakan/bibit. Pelaksanaan transplantasi disesuaikan dengan tujuan,
ekosistem pesisir.
dewasa yang berguna untuk memasok produksi larva (planula)hal ini juga sebagai
dasar perairan. Model dari substrat menyerupai jaring laba-laba yang keseluruhan
bagian substrat dilapisi oleh pasir laut. Bahan yang digunakan pada pembuatan
substrat tersebut adalah besi yang dilapisi oleh pasir laut, dimana pasir dilekatkan ke
besi menggunakan lem fiber. Pertimbangan yang diketahui pada saat pembuatan
82
karang dipilih pada lokasi yang tidak jauh dari lokasi penanaman karang guna
mengurangi stres pada karang dalam proses pengangkutan anakan karang. Lokasi
Organisme karang hidup pada laut memiliki penetrasi cahaya matahari yang cukup,
jauh dari pengendapan lumpur atau muara sungai, kadar garam atau salinitas anatar
Kegiatan Lapangan
Perakitan spider yang berjumlah 5 unit dimana 4 unit berdiameter 30 cm, 1 unit
dilakukan 26-27 Juli 2015. Meja transplantasi terbuat dari batangan besi yang
dilumuri dengan lem guna perekatan pasir laut. Meja dibuat berbentuk spider
mengikuti bentuk dan model yang dilakukan disalah satu Pulau Spermonde
terumbu karang yang tidak jauh dari lokasi transplantasi. Anakan karang yang
karang-karang yang bentuknya padat (massive). Koloni karang diambil dengan cara
83
Gambar 4.4.10 Pengambilan Anakan Karang
Koloni karang yang sudah dipotong (fragmen) diikatkan pada substrat yang sudah
tersedia, dengan menggunakan tali ries. Hindari karang terpapar terlalu lama oleh
sinar matahari guna menghindari stres pada anakan karang. Dalam satu meja
84
Penyimpanan dan Peletakan Meja Transplantasi
meja dilakukan dengan bantuan alat salam SCUBA untuk mengatur posisi meja
berjumlah 8orang dan merupakan tim Ekspedisi Delphinus 1 FDC UNHAS. Meja
0404059,7LS.
85
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
86