Anda di halaman 1dari 16

PORTOFOLIO KEGAWATDARURATAN

Nama Peserta: dr. Dika Wisnu Prabawa


Nama Wahana: RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso
Topik: Atrial Fibrilasi
Tanggal (kasus): 21 September 2016
Nama Pasien: Tn. A No. RM: 41.54.43
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Rasmono, M.Kes
Tempat Presentasi:
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Tn A/ 45 th
Keluhan Utama: Sesak
Pasien datang ke UGD dengan keluhan sesak sejak pk 9 malam, 3 jam sebelum
MRS. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak muncul setelah pasien bekerja (sopir),
mengantar penumpang di seputaran kota Bondowoso. Sesak memburuk jika pasien tidur
terlentang, dan dirasakan berkurang jika pasien duduk. Selain itu pasien menyatakan
tubuhnya terasa lemas bersamaan dengan munculnya sesak. Pasien juga mengeluhkan mual,
tanpa disetai muntah. Saat ini keluhan sesak sudah berkurang.
Diagnosis: Atrial Fibrilasi
Tujuan:
- Menegakkan diagnosis
- Memberikan terapi yang sesuai
- Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit,
pengobatan serta prognosisnya.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
Bahasan: Pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi
Data pasien Nama: Tn. A No. Registrasi: 73.18.16
Nama Klinik: RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso Telp: (0332) Terdaftar Sejak:
421263 -28-12-2016
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Pasien laki-laki umur 45 tahun datang ke UGD keluhan sesak sejak pk 9 malam, 3 jam
sebelum MRS. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak muncul setelah pasien bekerja
1
(sopir), mengantar penumpang di sekitaran kota Bondowoso. Sesak memburuk jika
pasien tidur terlentang, dan dirasakan berkurang jika pasien duduk. Selain itu pasien
menyatakan tubuhnya terasa lemas bersamaan dengan munculnya sesak. Pasien juga
mengeluhkan mual, tanpa disetai muntah. Saat ini keluhan sesak, sudah berkurang.
2. Riwayat Pengobatan:
Pasien memiliki riwayat rutin kontrol ke poli jantung RSU Koesnadi Bondowoso dan
mendapatkan 3 jenis obat, namun pasien lupa nama obatnya. Sehari sebelum muncul
keluhan, dikatan pasien tidak minum obat 1 hari sebelumnya.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Pasien memiliki riwayat sakit jantung sejak 5 tahun yang lalu. Dan riwayat MRS, pasien
mengatakan, bahwa dulu dirinya dikatakan memiliki jantung dengan klep bocor oleh
dokter, namun hasil pemeriksaan dahulu tidak dibawa oleh pasien.
4. Riwayat Keluarga:
Tidak ada keuarga yang memiliki riwayat yang sama dengan pasien.
5. Riwayat pekerjaan:
Pasien sehari-hari bekerja sebagai sopir.

6. Riwayat kebiasaan
Pasien memiliki riwayat merokok, dan minum-minuman beralkohol.
Daftar Pustaka
1. Lili Ismudiati Rilantono, dkk, Buku Ajar Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Gaya Baru, 2002, Jakarta
2. Doli Kaunang, dr, SpJP, Ahli Jantung, Stroke dan Denyut Jantung Tidak Teratur, RS
Mediros, 2007
Hasil Pembelajaran
1. Dapat menegakkan diagnosis pada kasus AF
2. Dapat menangani kegawat daruratan pada kasus AF
SUBYEKTIF :
Keluhan utama : Sesak
Pasien laki-laki umur 45 tahun datang ke UGD keluhan sesak sejak pk 9 malam, 3 jam
sebelum MRS. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak muncul setelah pasien bekerja (sopir),
mengantar penumpang di sekitaran kota Bondowoso. Sesak memburuk jika pasien tidur
terlentang, dan dirasakan berkurang jika pasien duduk. Selain itu pasien menyatakan
tubuhnya terasa lemas bersamaan dengan munculnya sesak. Pasien juga mengeluhkan mual,
tanpa disetai muntah. Saat ini keluhan sesak, sudah berkurang.

OBYEKTIF
Kesan sakit : Sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)

2
Pemeriksaan fisik (21-09-2016)
Tanda tanda vital
Tekanan darah : Tidak terukur
Nadi : 144 x/menit ireguler
Temperatur : 37 0C
Respiration Rate : 28 x/menit
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 60 kg

Kepala/Leher
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-
Refleks pupil : positif, pupil isokor 3mm/3 mm, refleks cahaya +/+
Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba
Perkusi : Batas atas jantung setinggi ICS II, batas bawah
jantung setinggi ICS V, batas kanan jantung 1 cm PSL (parasternal line)
kanan, batas kiri jantung ICS V Posterior axilary line sinistra.
Auskultasi : S1S2 tunggal ireguler, suara tambahan (-)
Pulmo

VENTRAL DORSAL

I Bentuk dada normal, simetris, Gerak nafas tertinggal (-) ,


Ketinggalan gerak (-), Simetris, Ketinggalan gerak (-),
retraksi (-)
retraksi (-)
P Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fremitus raba (+) Fremitus raba (+)

P Sonor Sonor
A RO (-) WH (-) RO (-) WH (-)
Kesan: tidak terdapat kelainan pada paru

Abdomen
Inspeksi: cembung
Auskultasi: Bising usus normal
Palpasi: soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi: Timpani
Kesan: tidak terdapat kelainan pada abdomen

Ektremitas :
3
Oedem (-/-)
(-/-)

Hangat (+/+)
(+/+)

Laboratorium
o Darah Lengkap

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan


WBC 28,2 x103/L 4.10 11.00 Tinggi
%NE 95,9 % 47.00 80.00 Tinggi
%LY 2,63 % 13.00 40.00 Rendah
%MO 1,17 % 2.00 11.00 Normal
%EO 0,62 % 0.00 5.00 Normal
%BA 0,182 % 0.00 2.00 Normal
#NE 36,6 x103/L 2.50 7.50 Tinggi
#LY 1,0 x103/L 1.00 4.00 Normal
#MO 0,446 x103/L 0.10 1.20 Normal
#EO 0,062 x103/L 0.00 0.50 Normal
#BA 0,070 x103/L 0.00 0.10 Normal
RBC 5,86 x106/L 4.00 5.90 Normal
HGB 16,6 g/dL 13.50 17.50 Rendah
HCT 52,8 % 41.00 53.00 Normal
MCV 90,0 fL 80.00 100.00 Normal
MCH 28,3 Pg 26.00 34.00 Normal
MCHC 31,4 g/dL 31.00 36.00 Normal
PLT 97,3 x103/L 140.00 Normal
440.00
Kimia Darah

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan


BUN 49,9 mg/dL 8.00 23.00 Normal
Creatinin 2,64 mg/dL 0.70 1.20 Tinggi
SGOT 81,0 U/L 11.00 33.00 Normal
SGPT 58,4 U/L 11.00 50.00 Normal
Albumin - g/dL 3.40-4.80 -
Gula Darah 109 mg/dL 70.00 140.00 Tinggi
4
Sewaktu
EKG

Heart Rate : 144 kali / menit, Reguler


Aksis : Normal
Gelombang P : -
PR Interval : Menyempit
QRS Duration : Normal
ST-T change : -
QRS change : -
Kesan : AF Rapid

Radiologi

5
Kesan : cardiomegaly (RVH) dengan gambaran hipertensi pulmonal susp ASD

ASESSMENT
Decomp Cordis + AF Rapid

PLANNING
Planning Diagnosis :
Upaya diagnosis sudah optimal dinilai dari penelusuran anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang mendukung ke arah diagnosis Atrial
Fibrilasi

Planning Terapi :
(21/9/2016)
Masuk Rumah Sakit Intensif ICU
Cardioversi batal HR 100x/mnt
Dobutamin 5 mcq/kgBB/jam
Follow up hari 1 (22/9/16)
S : sesak
O : TD 88/60 mmhg
HR 112x/mnt
A : Decomp cordis + AF
P : - digoxin 1x1
- Ranitidine 2x50 mg
- cefoperason sulbactam 3x1 gr
- SP dobutamin 10 mcq/kgBB/mnt
- SP raivas 0,3 mcq/kgBB/mnt
Follow up hari 2 (23/9/16)
S : Sesak -, mual +

6
O : TD 94/67 mmHg
HR 144x/mnt
A : Decomp cordis + AF
P : - digoxin 1x 0,25 mg
- Ranitidine 2x50 mg
- cefoperason sulbactam 3x1 gr
- fuurosemid 1-1-1
- pantoprazole 2x40 mg
- SP dobutamin 12 mcq/kgBB/mnt
- SP raivas 0,2 mcq/kgBB/mnt

Follow up hari 3 (24/9/16)


S : sesak , mual +
O : TD 93/73 mmhg
HR 111x/mnt
A : Decomp cordis + AF
P : - digoxin 1x0,25
- Aminofluid 1 fls/hri
- Ranitidine 2x50 mg
- cefoperason sulbactam 3x1 gr
- SP dobutamin 8 mcq/kgBB/mnt
- SP raivas 0,1 mcq/kgBB/mnt

Follow up hari 4 (25/9/16)

S : Sesak -, mual +
O : TD 100/60 mmHg
HR 112x/mnt
A : Decomp cordis + AF
P : - digoxin 1x 0,25 mg
- Aminofluid 1 fls/hri
- Ranitidine 2x50 mg

7
- cefoperason sulbactam 3x1 gr
- fuurosemid 1-1-1
- pantoprazole 2x40 mg
- SP dobutamin 5 mcq/kgBB/mnt
- SP raivas stop

Follow up hari ke 5 (26/9/16)

S : sesak , mual +
O : TD 98/70 mmhg
HR 80x/mnt
A : Decomp cordis + AF
P : - digoxin 1x0,25
- Aminofluid 1 fls/hri
- Ranitidine 2x50 mg
- cefoperason sulbactam 3x1 gr
- SP dobutamin 3 mcq/kgBB/mnt
- vip albumin 3x1 sct
- pantoprazol 2x40 mg
- omeprazole 2x20 mg

8
ATRIAL FIBRILASI

Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu irama atrium yang cepat, yang tidak beraturan.
Gejalanya meliputi rasa berdebar-debar dan kadang-kadang disertai kelemahan,
dyspnea dan presyncope. Sering terbentuk trombus di atrium, yang dapat
menyebabkan resiko terjadinya stroke embolic. Diagnosa ditegakkan dengan EKG.
Perawatan melibatkan tingkat pengendalian dengan obat, pencegahan terjadinya
thromboembolism dengan antikoagulan, dan kadang-kadang konversi ke irama sinus
dengan obat atau kardioversi.
Atrial fibrilasi (AF) adalah gangguan jantung yang paling umum (ritme
jantung abnormal) dengan detak jantung cepat dan tak teratur, yang mengarah pada
akibat embolik serius.

Patogenesis
Beberapa tipe malfungsi jantung yang paling mengganggu tidak terjadi sebagai
akibat dari otot jantung yang abnormal tetapi karena irama jantung yang abnormal.
Sebagai contoh, kadang-kadang denyut atrium tidak terkoordinasi dengan denyut dari
ventrikel, sehingga atrium tidak lagi berfungsi sebagai pendahulu bagi ventrikel.

9
Fibrilasi atrium (AF) merupakan jenis aritmia yang paling sering dijumpai
terutama pada penderita stenosis mitral (MS). Atrium kanan mempunyai karakteristik
anatomis tertentu yang menyebabkan halangan elektrofisiologis alamiah yang
memungkinkan terjadinya simit reentry, sehingga memudahkan timbulnya aritmia
seperti flutter atrium.
Pada fibrilasi, frekuensi denyut jantungnya sulit dihitung. Kasus ini bisa terjadi
pada atrium jantung (fibrilasi atrium) dan pada ventrikel jantung (fibrilasi ventrikel).
Kondisi ini timbul karena adanya impuls listrik sangat cepat dan tak teratur.
Akibatnya, denyut atrium maupun ventrikel (bilik utama jantung) menjadi sangat
cepat dan tak teratur. Fibrilasi atrium disebabkan oleh gangguan katup jantung pada
demam reumatik, atau gangguan aliran darah seperti yang terjadi pada penderita
aterosklerosis. Gejalanya meliputi lemah, pucat, mual, berdebar-debar, dan disertai
shocked.
Sehubungan dengan kelainan irama jantung, kita perlu tahu bahwa pusat
pembangkit listrik jantung berada di atrium kanan (SA Node). Rangsang listrik
disalurkan ke pembangkit berikutnya yang berada di tengah, antara atrium dan
ventrikel (AV Node). Dari tempat ini, rangsang disalurkan ke kedua ventrikel jantung.
Pada atrial fibrilasi, dinding atrium berfungsi juga sebagai pusat listrik sehingga
menimbulkan rangsang yang tidak beraturan (kacau atrium). Untunglah, tidak semua
rangsang dari atrium diteruskan ke ventrikel jantung, sehingga tidak mengalami
situasi gawat-darurat akibat kacau ventrikel (ventrikel fibrilasi).
Rasa mencekam akan dirasakan penderita fibrilasi atrium, aritmia jantung karena
gangguan penyebaran rangsang melalui otot-otot atrium jantung, manakala
penyakitnya kambuh. Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya jantung berdetak tidak
normal, seolah-olah bisa saja berhenti setiap saat.

Manifestasi Klinis
Atrial fibrilasi sering tanpa disertai gejala, tapi kebanyakan penderita mengalami
palpitasi (rasa berdebar-debar), rasa tidak nyaman di dada, atau dapat disertai gejala-
gejala gagal jantung (seperti rasa lemah, sakit kepala berat, dan sesak nafas), terutama
jika denyut ventrikel yang sangat cepat (sering 140-160 denyutan/menit). Pasien dapat
juga disertai tanda dan gejala stroke akut atau kerusakan organ tubuh lainnya yang
berkaitan dengan emboli systemic.

10
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan EKG. Karakteristik :
Frekwensi : frekwensi atrium antara 350 sampai 600 denyut permenit; respons
ventrikuler biasanya 120 sampai 200 denyut per menit.
Gelombang P : tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak indulasi yang
iereguler, dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang F, interval PR tidak dapat
diukur.
Kompleks QRS : Biasanya normal .
Hantaran : Biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respons
ventrikuler ireguler, karena nodus AV tidak berespon terhadap frekwensi atrium yang
cepat, maka impuls yang dihantarkan menyebabkan ventrikel berespon ireguler.
Irama : irreguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Irregularitas irama
diakibatkan oleh perbedaan hantaran pada nodus AV.

Fibrilasi atrium bisa timbul dari fokus ektopik ganda atau daerah reentri multipel.
Aktifitas atrium sangat cepat (kira-kira 400-700 per menit), namun setiap rangsang
listrik itu hanya mampu mendepolarisasi sangat sedikit miokardium atrium, sehingga
sebenarnya tidak ada kontraksi atrium secara menyeluruh. Karena tidak ada
depolarisasi yang uniform, tidak terbentuk gambaran gelombang P, melainkan
defleksi yang disebut gelombang f yang bentuk dan iramanya sangat tidak teratur.
Hantaran melalui nodus AV berlangsung sangat acak dan sebagian tidak dapat melalui
nodus AV sehingga irama QRS sangat tidak teratur.

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya tujuan terapi aritmia adalah (1) mengembalikan irama jantung
yang normal (rhythm control), (2) menurunkan frekuensi denyut jantung (rate
control), dan (3) mencegah terbentuknya bekuan darah.
Pengobatan diperlukan bila laju QRS cepat atau sangat lambat. Bila QRS cepat dan
hemodinamik baik, dilakukan digitalisasi. Bila QRS cepat dan hemodinamik
terganggu atau bila ada payah jantung dilakukan konversi DC tersinkronisasi.
Penderita yang sudah menjalani digitalisasi dapat dikonversi atau dipelihara iramanya
dengan kinidin atau prokainamid. Bila dengan digitalis irama jantung masih cepat,
propanolol dapat menurunkan laju irama jantung asalkan tidak ada indikasi kontra.
Tujuan pengobatan AF adalah untuk mengembalikan irama jantung ke irama
11
sinus. Pada AF kronis yang tanpa keluhan (controlled AF), atau untuk profilaksis
sesudah suatu serangan AF akut, biasanya dimulai dengan obat-obat antiaritmia kelas
1. Klinidin merupakan obat yang paling sering digunakan di dalam kelompok obat-
obat ini.
Pemberian klinidin selalu harus didahului dengan obat-obat yang memiliki efek
menghambat konduksi nodus AV seperti digoksin, penyekat beta, atau antagonis
kalsium.
Klinidin (sulfat atau glukonat) biasanya diberikan per oral dengan dosis berkisar 300-
600 mg setiap 6 jam. Efek terapeutik klinidin tercapai bila konsentrasinya di dalam
plasma 2-5 ug/ml. Salah satu efek samping klinidin adalah terjadi perpanjangan
interval QRS dan QT, sehingga memudahkan timbulnya VT, fibrilasi ventrikel, atau
torsade de pointes melalui mekanisme reentri. Oleh sebab itu, pada penderita yang
menerima klinidin, apabila ditemukan interval QT memanjang, dosis klinidin harus
dikurangi.
Pada keadaan dimana obat-obat antiaritmia tidak berhasil mengembalikan Af ke
irama sinus, maka usaha selanjutnya adalah mempertahankan laju ventrikel yang
optimal dengan digoksin, penyekat beta dan antagonis kalsium (verapamil atau
diltiazem). Untuk penderita AF, laju ventrikel optimal adalah 90 kali/menit.
Pada AF akut dengan rapid ventricular response, apabila belum terjadi gangguan
hemodinamik, maka tindakan pertama ialah menurunkan laju ventrikel dengan
pemberian digoksin, pemberian antagonis kalsium atau penyekat beta (intravena) juga
dilaporkan efektif. Pada AF akut yang disertai gangguan stabilitas hemodinamik,
maka biasanya langsung dilakukan kardioversi, kemudian diikuti pengobatan
farmakologik seperti tersebut di atas.
Di dalam penelitian ditemukan bahwa pada penderita AF kronis, insiden
terserangnya stroke adalah 6 kali lebih tinggi dibanding yang tanpa AF, dan umur
rata-rata mereka lebih pendek dibandingkan dengan orang yang tidak menderita AF.
Dengan demikian, dianjurkan pemberian antikoagulan oral pada penderita AF, terlebih
bagi yang mengidap penyakit jantung rematik, gagal jantung, kardiomegali, katup
prostetik, sick sinus syndrome, atau yang memiliki fenomena emboli.
Sebuah penelitian yang terangkum dalam The New England Journal of Medicine
volume 342 menunjukkan, bahwa Amiodaron dosis rendah dapat lebih efektif dan
aman (dibandingkan obat lain), dalam mencegah timbulnya kekambuhan fibrilasi
atrium.
12
Penderita AF yang resisten atau karena suatu sebab tidak tahan terhadap obat-
obat antiaritmia kelas 1, dapat dicoba dengan obat antiaritmia kelas 3, yaitu
amiodaron. Amiodaron (cordarone) adalah obat antiaritmia yang unik karena memiliki
efek memperpanjang durasi potensial aksi dan sekaligus memperpanjang masa
refrakter atrium. Amiodaron dosis rendah telah dilaporkan efektif dalam
mengembalikan irama AF ke irama sinus (dalam keadaan darurat dapat diberikan per
intravena). Obat ini tidak banyak mempengaruhi kontraktilitas jantung sehingga
cukup aman diberikan kepada penderita gagal jantung. Dosis amiodaron untuk AF
adalah 600 mg/hari selama 2 minggu pertama dan 400 mg/hari selama 2 minggu
kedua, kemudian diikuti dosis pemeliharaan yaitu 200 mg/hari.
Penelitian tersebut memperbandingkan efektivitas dan keamanan Amiodaron
dibandingkan Sotalol atau Propafenone. Secara acak, pasien yang pernah mengalami
paling tidak satu kali episode fibrilasi atrium diberikan salah satu dari ketiga obat
tersebut selama enam bulan.
Jumlah pasien yang diteliti 403 orang, 201 orang diberikan Amiodaron dan 202
lainnya diberikan Sotalol atau Propafenone. Setelah diikuti perkembangannya selama
16 bulan, diketahui hanya 71 pasien yang diberi Amiodaron (35 persen), mengalami
kekambuhan fibrilasi atrium. Sementara kekambuhan pada pasien yang diberi Sotalol
dan Propafenone, tercatat 127 orang (63 persen).
Hal ini menunjukkan, Amiodaron terbukti lebih efektif dibandingkan Sotalol dan
Propafenone dalam mencegah kekambuhan fibriasi atrium. Sayangnya, belum ada
penelitian mengenai efektivitas dan keamanan pemberian Amiodaron dalam dosis
besar. Karena sumbatan pada pembuluh darah otak berhubungan dengan atrial
fibrilasi kronis pada jantung, maka perlu dipertimbangkan pemberian obat yang
menyebabkan darah tidak mudah membeku (antikoagulan) sehingga memperkecil
kemungkinan timbulnya gumpalan baru dan penyumbatan. Beberapa uji klinis yang
besar menyimpulkan bahwa pemberian antikoagulan akan menurunkan frekuensi
stroke sampai 60 persen.
Bila setelah dievaluasi ternyata respons frekuensi bilik jantung terhadap atrial
fibrilasi sulit dikendalikan dan peluang untuk mengalami stroke berulang masih cukup
besar, maka perlu dipertimbangkan tindakan kardioversi. Kardioversi adalah metode
sederhana menghentikan irama jantung dengan cara meletakkan dua buah cakram
elektrode di bagian atas dan bawah kiri permukaan dada, kemudian dilakukan shock
aliran listrik searah. Kejutan listrik diawali dengan energi rendah, meningkat sesuai
13
kebutuhan.
Respons pasien berupa sentakan tunggal dari otot dada dan tarikan ringan dari
lengan. Ritme normal segera terlihat di monitor dan beberapa waktu kemudian dapat
segera melakukan aktivitas seperti semula. Lebih mutakhir lagi, pada keadaan atrial
fibrilasi menjadi bagian dari penyakit pusat pembangkit listrik utama jantung, perlu
dilakukan tindakan ablasi pada AV Node dengan memasukkan kateter kecil ke dalam
jantung melalui pembuluh nadi di lengan atau di lipat paha, kemudian dilanjutkan
dengan pemasangan pacu jantung sebagai pengendali irama. Demikian jawaban kami
dan semoga lekas sembuh.

Penelitian berikutnya membuktikan bahwa Simarc aman dan merupakan obat


terbaik untuk mencegah komplikasi bekuan darah pada gangguan irama jantung
fibrilasi atrium di usia lanjut lebih dari 75 tahun. Sementara penelitian terbaru dilansir
oleh majalah kedokteran terkemuka, Lancet, awal Agustus 2007.
Diteliti 973 orang usia lanjut dengan gangguan irama jantung dan dipantau
selama lebih dari dua setengah tahun. Yang diberi obat Aspirin sebanyak 48 orang
mengalami stroke, sedangkan dengan Simarc hanya setengahnya, 24 orang. Jadi,
manfaat Simarc jelas lebih baik daripada Aspirin. Tingkat keamanan bagus,
komplikasi perdarahan tidak lebih sering ditemukan untuk pasien yang mengonsumsi
Simarc.
Standar penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk prevensi serangan stroke
pada pasien-pasien dengan kelainan fibrilasi atrium adalah dengan pemberian
warfarin. Syarat dari penggunaan warfarin pada pasien ini adalah tidak adanya faktor
resiko terjadinya perdarahan.
Danny McCormick beserta rekannya meneliti prevalensi dan kualitas dari
penggunaan warfarin pada pasien-pasien dengan fibrilasi atrium. Hal ini berlandaskan
asumsi bahwa walaupun penggunaan warfarin telah direkomendasikan untuk pasien-
pasien tersebut; pada kenyataannya kualitas dan prevalensi pemberian warfarin masih
belum optimal.
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan menelusuri rekam medis
(status) pasien-pasien yang datang ke fasilitas-fasilitas kesehatan di Connecticut,
Amerika Serikat. Dilakukan penghitungan jumlah pasien dengan kelainan fibrilasi
atrium, jumlah pasien yang memenuhi kriteria pemberian warfarin (ideal), jumlah
pasien yang menerima pengobatan warfarin, dan jumlah hari pengobatan dengan
14
warfarin yang mencapai range rasio kadar terapi yang sesuai standar internasional
(International Normalized Ratio / INR), yaitu sebesar 2,0-3,0. Hubungan antara
penggunaan warfarin dan pemunculan kejadian stroke dan faktor resiko perdarahan
ditentukan melalui perhitungan analisis multivarian.
Setelah melakukan penelitian, diketahui bahwa serangan fibrilasi atrium terjadi
pada 429 pasien (17%) dari total 2587 pasien. Dari 429 pasien dengan fibrilasi atrium
tersebut, yang kemudian menerima pengobatan warfarin adalah sebesar 42 %.
Walaupun begitu, hanya 43 pasien (53%) dari 83 pasien yang dikandidatkan (ideal
mendapatkan terapi warfarin), yang mendapat warfarin. Demikian pula diketahui
hanya 51% waktu pengobatan yang memenuhi rasio kadar terapi (INR) pada pasien-
pasien tersebut. Rasio odds dari pemberian warfarin menurun sesuai dengan
peningkatan jumlah faktor risiko perdarahan dan meningkat sesuai dengan
peningkatan faktor risiko stroke (tidak signifikan).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah serangan fibrilasi atrium sering dijumpai
pada pasien-pasien yang mengunjungi fasilitas-fasilitas kesehatan di Connecticut.
Pada kenyataannya, kurang dari separuh pasien-pasien tersebut yang mendapat terapi
warfarin, bahkan juga terhadap pasien-pasien yang sebenarnya ideal untuk menerima
warfarin. Demikian pula masih banyak pasien-pasien yang belum mencapai kadar
terapi warfarin optimal.
Banyak usaha dan penelitian untuk mengendalikan gangguan irama jantung. Tapi
yang utama, harus diatasi penyakit dasar yang menyebabkan timbulnya gangguan
irama tersebut. Apabila gangguan itu disebabkan serangan jantung (infark miokard
akut) harus dilakukan pengobatan yang tepat. Bila disebabkan karena gangguan katup
jantung seperti mitral stenosis, maka yang dilakukan adalah dengan penggantian
katup.
Untuk mengembalikan irama jantung agar normal lagi bisa dengan kardiovarsi
elektrik atau semacam kejut jantung. Kini, alat kejut listrik yang banyak dipakai
adalah defibrillator bifasik. Di era 1980-an lantas dikenal konsep penggunaan pacu
jantung permanen untuk mengatasi fibrilasi atrium. Dikenal juga tindakan ablasi
kateter, yakni dengan mematikan fokus (sumber listrik yang abnormal) dengan
semacam gelombang sehingga tidak menimbulkan gangguan irama lagi.

Komplikasi
Dampak penyakit ini, selain berdebar-debar dan mudah sesak bila naik tangga
15
atau berjalan cepat, juga dapat menyebabkan emboli, bekuan darah yang lepas, yang
bisa menyumbat pembuluh darah di otak, menyebabkan stroke atau bekuan darah di
bagian tubuh yang lain.7
Kelainan irama jantung (disritmia) jenis atrial fibrilasi seringkali menimbulkan
masalah tambahan bagi yang mengidapnya, yaitu serangan gangguan sirkulasi otak
(stroke). Ini terjadi karena atrium jantung yang berkontraksi tidak teratur
menyebabkan banyak darah yang tertinggal dalam atrium akibat tak bisa masuk ke
dalam ventrikel jantung dengan lancar. Hal ini memudahkan timbulnya gumpalan atau
bekuan darah (trombi) akibat stagnasi dan turbulensi darah yang terjadi. Atrium dapat
berdenyut lebih dari 300 kali per menit padahal biasanya tak lebih dari 100. Makin
tinggi frekuensi denyut dan makin besar volume atrium, makin besar peluang
terbentuknya gumpalan darah. Sebagian dari gumpalan inilah yang seringkali
melanjutkan perjalanannya memasuki sirkulasi otak dan sewaktu-waktu menyumbat
sehingga terjadi stroke. Pada penyakit katup jantung, terutama bila katup yang
menghubungkan antara atrium dan ventrikel tak dapat membuka dengan sempurna,
maka volume atrium akan bertambah, dindingnya akan membesar dan memudahkan
timbulnya rangsang yang tidak teratur. Sekitar 20 persen kematian penderita katup
jantung seperti ini disebabkan oleh sumbatan gumpalan darah dalam sirkulasi otak.
AF mengakibatkan pembentukan trombus (gumpalan) pada aurikel (ventrikel
jantung atas) yang dapat lepas ke dalam sirkulasi dan menghambat arteri pada sistem
saraf pusat (CNS), sehingga menyebabkan stroke, atau, bila terjadi di luar CNS,
mengakibatkan embolisme sistemik non CNS.
Fibrilasi atrium (kontraksi otot atrium yang tidak terorganisasi dan tidak
terkoordinasi) biasanya berhubungan dengan penyakit jantung aterosklerotik, penyakit
katup jantung, gagal jantung kongestif, tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit
jantung kongenital.

16

Anda mungkin juga menyukai