Anda di halaman 1dari 47

GAGAL GINJAL KRONIK

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta

Farmasi Klinik

Dosen Pengampu : Dr. Maria Caecilia N.S.H., M.Sc., Apt.

Disusun oleh :

Fena Dana Wijayanti 1041311042

Fildza Anindia Hanum Aini 1061711043

Firdha Mustika Paramitha Dewi 1061711044

Joshua Ivan Pratama 1061711057

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

0
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI

SEMARANG

2017

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah

dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan

cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan

fosfat tetap stabil, serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu

dalam mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga

tulang tetap kuat. Tiap ginjal tersusun dari sekitar sejuta unit penyaring yang

disebut nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus

menyaring cairan dan limbah untuk dikeluarkan serta mencegah keluarnya sel

darah dan molekul besar yang sebagian besar berupa protein. Selanjutnya

melewati tubulus yang mengambil kembali mineral yang dibutuhkan tubuh dan

membuang limbahnya. Ginjal juga menghasilkan enzim renin yang menjaga

tekanan darah dan kadar garam, hormon erythropoietin yang merangsang

sumsum tulang memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk aktif

vitamin D yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang (Infodatin).

Gagal Ginjal merupakan suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali

dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan

1
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau

produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang

semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja

sebagaimana fungsinya (Wilson, 2006).

Penyakit gagal ginjal kronik yang cenderung kurang tertangani secara baik
banyak terjadi di negara berkembang. Kecenderungan ini memperkuat prediksi
bahwa tahun 2015, sebanyak tiga juta penduduk dunia perlu pengobatan
pengganti gagal ginjal kronik. Indonesia berada diurutan ke empat sebagai
negara terbanyak penderita gagal ginjal kronik. Dengan jumlah penderita
mencapai 16 juta jiwa. Jumlah angka penderita semakin meningkat dari tahun
ke tahun (Dharma, dkk 2015).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis dengan

penyebab yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara

progresif dan kemudian berakhir pada gagal ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal

kronik adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa bulan atau

tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal dan atau

penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min/1,73 m2

selama minimal 3 bulan (KDIGO, 2012). Kerusakan ginjal adalah setiap

kelainan patologis atau penanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan darah,

atau urin.

Penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal kronik ireversibel yang sudah mencapai

tahapan dimana penderita memerlukan terapi pengganti ginjal, berupa dialisis

atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2007).

2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Derajat gagal ginjal kronik dan risiko progresivitasnya diklasifikasikan sebagai

berikut:

3
Keterangan: GFR dan albuminuria menggambarkan risiko progresivitas sesuai

warna (hijau, kuning, oranye, merah, merah tua). Angka di dalam kotak

menunjukkan frekuensi monitoring/tahun yang dianjurkan.

1. Stadium 1 (glomerulo filtrasirate/GFR normal (> 90 ml/min))

Seseorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada stadium 1

apabila kadar ureum atau kreatinin berada di atas normal, didapati darah

atau protein dalam urin, adanya bukti visual kerusakan ginjal melalui

pemeriksaan MRl, CT Scan, ultrasound atau contrast x-ray, dan salah satu

keluarga menderita penyakit ginjal polikistik. Cek serum kreatinin dan

protein dalam urin secara berkala dapat menunjukkan sampai berapa jauh

kerusakan ginial penderita. Bagi penderita GGK stadium l dianjurkan

untuk:

a. Melakukan diet sehat, diantaranya:

Mengkonsumsi roti dan sereal gandum whole grain, buah segar dan

sayur sayuran, pilih asupan rendah kolesterol dan lemak, batasi asupan

makanan olahan yang banyak mengandung kadar gula dan tinggi

sodium, batasi penggunaan garam dan racikan yang mengandung tinggi

sodium saat memasak makanan, pertahankan kecukupan kalori,

pertahankan berat tubuh yang ideal, asupan kalium dan fosfor biasanya

4
tidak dibatasi kecuali bagi yang kadar di dalam darah diatas normal dan

pertahankan tekanan darah pada level normal, yaitu: 130/80 bagi

penderita diabetes dan penderita non diabetes. Pertahankan kadar gula

darah pada level normal.

b. Melakukan pemeriksaaan secara rutin ke dokter, termasuk melakukan

cek serum kreatinin untuk mendapatkan nilai GFR.

c. Minum obat - obatan yang diresepkan oleh dokter.

d. Berolah raga secara teratur.

e. Berhenti merokok.

2. Stadium 2 (penurunan GFR ringan atau 60 s/d 89 ml/min)

Seseorang perlu waspada akan kondisi ginjalnya berada pada stadium 2

apabila: kadar ureum atau kreatinin berada di atas normal, didapati darah

atau protein dalam urin, adanya bukti visual kerusakan ginjal melalui

pemeriksaan MRl, CT Scan, ultrasound atau contrast x-ray, dan salah satu

keluarga menderita penyakit ginjal polikistik.

3. Stadium 3 (penurunan GFR moderat atau 30 s/d 59 ml/min)

Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR

moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat

ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang

disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah

tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala-gejala iuga

terkadang mulai dirasakan seperti:

a. Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.

5
b. Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat

ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam

tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan

sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga

dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada

dalam tubuh.

c. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan

adanya kandungan protein di urin, Selain itu warna urin juga

mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila

bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang

dan terkadang penderita sering terbangun untuk buang air kecil di

tengah malam.

d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada

dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal

seperti polikistik dan infeksi.

e. Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur

disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.

Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga

kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada

dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah

tetap rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu

penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila kandungan

dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali

6
didapati kadar dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat

biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes.

Mengontrol minuman diperlukan selain pembatasan sodium untuk

penderita hipertensi.

4. Stadium 4 (penurunan GFR parah atau 15-29 ml/min)

Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15-30% saja dan apabila

seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu

dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/ dialisis atau melakukan

transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau

uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan

muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia,

penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.

Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah: fatique: rasa lemah/

lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia, kelebihan cairan, perubahan

pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya

kandungan protein di urin, rasa sakit pada ginjal, sulit tidur, nausea: muntah

atau rasa ingin muntah, perubahan cita rasa makanan, bau mulut uremic:

ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau

pernapasan yang tidak enak, dan sulit berkonsentrasi.

Penderita GGK stadium 4 dianjurkan untuk melakukan diet sehat antara

lain:

7
a. Mengkonsumsi roti dan sereal gandum whole grain, buah segar dan

sayur sayuran. Namun konsumsi beberapa jenis sayuran, buah dan

sereal gandum perlu dibatasi apabila kadar fosfor dan kalium dalam

tubuh berada diatas normal.

b. Pilih asupan rendah kolestrol dan lemak.

c. Menjaga asupan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan

untuk orang sehat yaitu 0.8 gram protein/kilogram berat badan.

d. Batasi asupan makanan olahan yang banyak mengandung kadar gula

dan tinggi sodium.

e. Pertahankan berat tubuh yang ideal, salah satunya dengan melakukan

aktivitas olahraga yang sesuai dengan kemampuan.

f. Menjaga kecukupan asupan protein, namun perlu diperhatikan

konsumsi makanan yang mengadung kadar protein yang tinggi.

g. Asupan vitamin D dan besi biasanya disesuaikan dengan kebutuhan.

h. Membatasi asupan fosfor, kalsium dan kalium apabila kadar dalam

darah diatas normal.

Rekomendasi untuk memulai terapi pengganti ginjal adalah apabila fungsi

ginjal hanya tinggal 15% ke bawah. Uraian diatas adalah upaya-upaya

dilakukan untuk memperpanjang fungsi ginjal serta menunda terapi dialisis

atau transplantasi selama mungkin.

5. Stadium 5 (penyakit ginjal stadium akhir terminal atau < 15 ml/min)

8
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk

bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal

(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala

yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain, kehilangan nafsu makan,

nausea, sakit kepala, merasa lelah, tidak mampu berkonsentrasi, gatal -

gatal, urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali, bengkak, terutama di

seputar wajah, mata dan pergelangan kaki, keram otot dan perubahan warna

kulit. Seseorang didiagnosa menderita gagal ginjal terminal disarankan

untuk melakukan hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

Diet sehat bagi penderita gagal ginjal terminal yang menjalani dialisis

antara lain:

a. Mengkonsumsi roti dan sereal gandum whole grain, buah segar dan

sayur sayuran. Namun konsumsi beberapa jenis sayuran, buah dan

sereal gandum yang mengandung kadar fosfor dan kalium yang tinggi

perlu dibatasi atau dihindari.

b. Pilih asupan rendah kolestrol dan lemak.

c. Menjaga asupan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan

untuk orang sehat yaitu 0.8 gram protein/ kilogram berat badan.

d. Batasi asupan makanan olahan yang banyak mengandung kadar gula

dan tinggi sodium.

9
e. Pertahankan berat tubuh yang ideal salah satunya dengan

mengkonsumsi cukup kalori dan melakukan aktivitas olahraga yang

sesuai dengan kemampuan

f. Meningkatkan asupan protein sesuai dengan kebutuhan individu masing

masing penderita yang ditentukan oleh ahli gizi.

g. Asupan vitamin D dan besi disesuaikan dengan kebutuhan.

h. Membatasi asupan fosfor tidak lebih dari 1000 mg atau sesuai dengan

kebutuhan

individu masing- masing menurut rekomendasi ahli gizi.

i. Membatasi asupan kalium tidak lebih dari 2000 mg s/d 3000 mg atau

disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing menurut

rekomendasi ahli gizi.

3. Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Menurut Wilson dan Price (2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik

adalah sebagai berikut :

a. Penyakit infeksi tubulointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluks

nefropati

b. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis

c. Penyakit vaskuler hipertensif: Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis

maligna, Stenosis arteria renalis

10
d. Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,

sklerosis sistemik progresif

e. Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik, asidosis

tubulus ginjal

f. Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme,

amiloidosis

g. Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah

h. Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,

fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur

uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra)

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRB) pada tahun

2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut

glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal

polikistik (10%) (Sudoyo & Aru, 2006)

1. Glomerulonelritis

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan

primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya

berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonelritis sekunder apabila

kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,

lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multiple atau amiloidosis.

2. Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)

diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

11
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya.

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik > 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi).

2. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau

material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat

ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di

medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh

berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan

genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai

adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh

karena sebagian besar baru bermanilestasi pada usia di atas 30 tahun.

3. Obesitas

Obesitas meningkatkan risiko dari faktor risiko utama dari PGK seperti

hipertensi dan diabetes. Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih keras

menyaring darah lebih dari normal untuk memenuhi kebutuhan metabolik

akibat peningkatan berat badan. Peningkatan fungsi ini dapat merusak ginjal

dan meningkatkan risiko terjadinya PGK dalam jangka panjang.

4. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

12
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab pada

akhirnya akan terjadi kerusakan nefron. Bila nefron rusak maka akan terjadi

penurunan laju filtrasi glomerolus dan terjadilah penyakit gagal ginjal kronik

yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan dan fungsi

non-eksresi. Gangguan fungsi non-eksresi diantaranya adalah gangguan

metabolisme vitamin D yaitu tubuh mengalami defisiensi vitamin D yang mana

vitamin D berguna untuk menstimulasi usus dalam mengabsorpsi kalsium,

maka absorbsi kalsium di usus menjadi berkurang akibatnya terjadi

hipokalsemia dan menimbulkan demineralisasi ulang yang akhirnya tulang

menjadi rusak. Penurunan sekresi eritropoetin sebagai factor penting dalam

stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk

hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga pengangkutan oksigen oleh

hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami keadaan

lemas dan tidak bertenaga.

Penurunan laju filtrasi glomerulus menandakan adanya gangguan ginjal.

Gangguan ginjal dapat di deteksi dengan memeriksa clerence kretinin urine

selama 24 jam yang menunjukkan penurunan clerence kreatinin dan

peningkatan kadar kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat

megakibatkan edema, CHF dan hipertensi. Hipotensi dapat terjadi karena

peningkatan sekresi aldosteron. Kehilangan garam mengakibatkan resiko

hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan

natrium sehingga status uremik memburuk. Asidosis metabolic akibat ginjal

tidak mampu mengeksresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan ekskresi

13
asam akibat tubulus ginjal tidak mampu mengeksresi ammonia (NH3-) dan

mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan ekskresi fosfat dan

asam organic yang terjadi.

Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai,

memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan

untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien terutama dari saluran

pencernaan. Eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal menstimulasi sumsum

tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Apabila produksi eritropoetin

menurun akan mengakibatkan anemia berat yang disertai dengan keletihan,

angina dan sesak nafas.

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.

Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah

satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya

filtrasi melalui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum dan

kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan

terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang (Nurlasam, 2007).

5. Gejala Gagal Ginjal Kronik

Gejala klinis yang terjadi pada penderita Gagal Ginjal Kronik, yaitu :

1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah,

diare, pucat (anemia) dan hipertensi.

14
2) Nokturia (buang air kecil di malam hari). Pembengkakan tungkai, kaki

atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi

penimbunan cairan).

3) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.

4) Tremor tangan.

5) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.

6) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,

berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)

7) Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih

menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif,

edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-

kejang dan kesadaran menurun sampai koma.

6. Diagnosis Gagal Ginjal Kronik

Diagnosis penyakit gagal ginjal kronik umumnya dilakukan melalui

pemerikasaan rutin urin dan darah. Melalui pemeriksaan rutin, terutama pada

orang-orang beresiko tinggi, akan mudah untuk mendeteksi jika ada penurunan

fungsi ginjal. Jika memang dicurigai positif, maka tes tersebut dapat diulang

untuk memastikan diagnosis. Macam-macam tes untuk mendeteksi kadar

kerusakan ginjal:

a. Tes urin

Salah satu gejala penyakit ginjal adalah terdapat protein atau darah dalam

urin. Perubahan pada urin ini dapat muncul 6-10 bulan atau lebih lama

sebelum gejala timbul

15
b. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Laju filtrasi gromerulus / LFG (Gromerular Filtration Rate / GFR) adalah

pengukuran terhadap seberapa baik ginjal bekerja berdasarkan jumlah

kotoran yang berhasil disaring ginjal dari darah. Hasil perkiraan laju

filtrasi glomerulus normal adalah 90 ml cairan per menit.

c. Pemindaian

Dalam kasus gagal ginjal stadium lanjut, ginjal dapat mengkerut dan

berbentuk tidak utuh. Sebelum perubahan bentuk ginjal tersebut terjadi,

pemindaian digunakan untuk mengetahui apakah terjadi penyumbatan

tidak normal dalam aliran urin pasien. Proses ini dilakukan dengan alat

seperti Computerised Tomography (CT) Scan atau pemindaian Magnetic

Resonance Imaging (MRI).

d. Biopsi ginjal

Biopsi dilakukan dengan mengambil sampel kecil dari jaringan ginjal.

Deteksi kerusakan ginjal kemudian dilakukan dengan memeriksa sel-sel

ini dengan mikroskop.

Penting untuk melakukan deteksi dini PGK yang dapat dilihat dalam diagram di

bawah ini:

Siapa yang berisiko Apa yang perlu dilakukan? Seberapa sering?

tinggi

menderita penyakit

ginjal?

Umur >50 tahun Periksa Tiap 12 bulan

16
Diabetes Tekanan darah

Hipertensi Urine dipstick

Perokok (microalbuminuria jika

Obesitas diabetes)

Riwayat keluarga CCT atau eGFR

menderita penyakit

ginjal

Keterangan : CCT = Creatinin Clearens Test

eGFR = Perkiraan laju filtrasi glomerulus

7. Penatalaksanaan Terapi Gagal Ginjal Kronik

A. Terapi Non Farmakologi

Modifikasi diet sebagai metode untuk mengendalikan abnormalitas


metabolik dan kemungkinan untuk memperlambat perkembangan kegagalan
ginjal. Diantaranya :

1. Pengaturan diet kalium

Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal, sehingga perlu


dibatasi asupan kalium dalam diet. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah
40- 80 mEq/ hari (Price et al., 2006).

2. Pengaturan diet natrium

Ekskresi Na urin per 24 jam dapat diukur selama periode berat badan stabil
dan diet asupan natrium disesuaikan menurut timbulnya edema pergelangan kaki
pada pagi hari. Pada umumnya diet 6 gram NaCl baik sebagai permulaan (Price,
2006)

3. Fosfor dan Kalsium

17
Mempertahankan kadar fosfor serum normal dapat mencegah osteodistrofi
ginjal dan progesifitas ke arah GGK. Kadar fosfor harus dipertahankan 3,5-4
mg/dl. Sumber makanan yang kaya akan fosfor (daging, telur) harus dibatasi.
Diatasi dengan pemberian Calsium Carbonat (CaCO3) sebagai pengikat fosfor
secara oral. Pasien GGK memerlukan 1000-1500 mg kalsium per hari untuk
mempertahankan keseimbangan kalsium. Jika pemberian CaCO3 atau kalsium
glukonat tidak menormalkan kadar kalsium serum atau terapi dengan 1,25
dihidroksi vitamin D3 dapat dimulai dengan 0,25g yang dapat ditingkatkan
dengan interval 2-4 minggu untuk menormalkan kalsium serum (Price, 2006).

4. Pengaturan diet protein

Pembatasan asupan protein dapat memperlambat perkembangan gagal ginjal


dengan atau tanpa diabetes. Jumlah protein yang diperbolehkan adalah 0,6-0,75 g/
kg/ hari (DiPiro et al., 2005), bila pasien menerima dialisis jumlah protein yang
diperbolehkan hingga 1g/ kg/hari (Price, 2006).

B. Terapi Farmakologi
1. Diabetes dan Hipertensi dengan PGK
a. Keparahan PGK dapat dibatasi dengan mengontrol hiperglikemia dan
hipertensi. Algoritma pengelolaan diabetes pada PGK dapat dilihat pada
gambar 1.
b. Dilakukan terapi diabetes.
c. Mengontrol tekanan darah (gambar 2) dapat mengurangi nilai penurunan GFR
dan albuminuria pada pasien tanpa diabetes. The Kidney Disease Improving
Global Outcomes (KDIGO) merekomendasikan tekanan darah 140/90
mmHg, jika ekskresi albumin urin 30 mg / 24 jam.
d. Jika ekskresi albumin pada urin 30 mg / 24 jam, maka target tekanan
darahnya 130/80 mmHg dan digunakan terapi lini pertama dengan
antihipertensi golongan Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI) atau
penghambat reseptor angiotensin II (ARB). Bila terjadi tambahan reduksi
proteinuria, maka ditambahkan diuretik thiazide yang dikombinasikan dengan
ARB.

18
e. Calcium Chanel Blocker (CCB), seperti Nondihydropyridine umumnya
digunakan sebagai antiproteinurik lini kedua ketika ACEI atau ARB
dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi.
f. Klirens ACEI berkurang pada penderita PGK; Oleh karena itu, pengobatan
harus dimulai dengan dosis terendah, dan kemudain disesuaikan secara
bertahap untuk mencapai target tekanan darah.

19
Target:
Tekanan Darah
? 140/90 mmHg, jika ekskresi
albumin urin <30 mg/24 jam
atau Cek nilai ACR , sCR, & GFR Metformin:
? 130/80 mmHg, jika ekskresi tiap tahun untuk pasien diabetes Lanjutkan jika GFR >45mL/min/1.73 m 2
2
albumin urin >30 mg/24 jam dengan PGK yang telah 5 tahun Tinjau ulang, jika GFR 30-44 mL/min/1.73 m
HbA1C didiagnosis DM tipe 1 / DM tipe 2 Hentikan, jika GFR < 30 mL/min/1.73 m
2

~ 7%, tetapi bisa dipertimbangkan


> 7%,jika beresiko hipoglikemi /
harapan hidup kecil.

Panduan penggunaan Jika ekskresi albumin urin >30 mg/24 jam,


ACE i / ARB awali dengan ACEI / ARB ( Perhatian, jika
2
- Kontra indikasi pada kehamilan, ni l ai GF R <30 mL/m i n/1.73 m
pasien dengan Bilateral Renal Artery at au TD < 110/70 mmHg)
Stenosis / pasien dengan angiodema Pemeriksaan ACR tiap 4-6 minggu
terhadap ACEI / ARB .

- Cek nilai GFR dan ion Kalium

- Jangan gunakan pada pasien muntah hebat,


Apakah ekskresi abumin urin Ya Apakah tekanan darah sesuai Ya Periksa TD setiap 3 bulan
diare, atau deplesi volume intravaskuler
<30 mg/24 jam atau berkurang target? dan periksa Urin dan Darah
akibat resiko serangan ginjal akut (prerenal).
30% - 50%? secara rutin
Tidak
Tidak
Tingkatkan dosis ACEI / ARB
dan atau tambahkan diuretik Tiazid
Tingkatkan dosis ACEI / ARB
(Diuretik loop jika terjadi oedema) Ya

Tambahkan CCB Dihidropiridin.


Jika TD masih tetap tidak memenuhi
Jika diperlukan, tambah anithipertensi Tidak TD sesuai target setelah
target, tambahkan Clonidine,
lain, seperti beta-bloker atau 4-6 minggu?
Hidralazin, atau Minoksidil
alfa bloker untuk mencapai targetTD

Gambar 1. Algoritma Diabetes dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

17
PGK-ND tanpa DM

Sekresi Albumin Urin Tidak Pilih pengobatan sesuai


dengan algoritma terapi Target TD ? 140/90 mmHg
> 30 mg / 24 jam? Hipertensi

Alternatif penurunan proteinuria jika Kontra Indikasi


Ya terhadapACEI / ARB:
- CCB Non-dihidripiridin (Diltiazem, Verapamil). Tidak
disarankan digunakan beserta beta-bloker. Mungkin
ACEI / ARB; dimulai dapat digunakan pada kehamilan.
- Antagonis Aldosteron (Spironolakton, Eplerenon).
TargetTD dari dosis rendah dan Dapat meningkatkan resiko hiperkalemia
?130/80 mm Hg ditingkatkan setiap - Inhibitor Renin Direk (Alsikiren). Tidak disarankan pada
4 minggu kombinasi denganACEi/ARB,
2
jika eGFR < 60 mL/min/1.73 m

Ya
TD memenuhi target? Lanjutkan terapi

Tidak

Tidak direkomendasikan Tambahkan diuretik Tiazid


kombinasiACEI dan ARB (Diuretik Loop, jika oedema),
CCB / beta-bloker

Gambar 2. Terapi Hipertensi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK), PGK Non Dialisis (PGK-ND) tanpa Diabetes Melitus (DM)

18
2. Anemia dengan PGK
a. KDIGO mendefinisikan Anemia sebagai kondisi dimana Hb < 13 g/dL (130
g/dL; 8.07 mmol/L) untuk laki-laki dewasa dan < 12 g/dL (120 g/L; 7.45
mmol/L) untuk wanita dewasa.
b. Terapi diawali dengan Erythropoetic-Stimulating Agent (ESA) pada semua
pasien PGK dengan Hb 9-10 g/dL (90-100 g/L; 5.59-6.21 mmol/L). Target Hb
masih bersfiat kontroversial.
c. Kekurangan zat besi adalah penyebab utama resistensi terapi anemia
menggunakan ESA. Penambahan zat besi dibutuhkan pada kebanyakan pasien
PGK untuk memenuhi penyimpanan zat besi akibat kehilangan darah yang
terus berlanjut dan adanya peningkatan kebutuhan zat besi.
d. Terapi zat besi secara parenteral dapat meningkatkan respon terhadap terapi
ESA dan pengurangan dosis diperlukan untuk mencapai dan mempertahanakan
indeks target. Sebaliknya terapi secara oral penyerapannya kurang baik dan
sering terjadi ketidakpatuhan pasien, karena efek samping yang muncul.
(gambar 3)
e. Preparasi zat besi secara IV memiliki profil farmakokinetik yang berbeda, dan
tidak berkorelasi dengan efek farmakodinamik.
f. Efek samping zat besi secara IV meliputi; reaksi alergi, hipotensi, pusing,
dyspnea, sakit kepala, sakit punggung bagian bawah, artralgia, sinkop, dan
artritis. Beberapa reaksi ini dapat diminimalkan dengan menurunkan dosis atau
laju infus. Sodium ferri glukonat, sukrosa besi, dan ferumoxytol dilaporkan
lebih baik daripada dekstran besi.
g. Pemberian epoetin alfa secara subkutan (SC) lebih disukai, karena jalur IV
tidak diperlukan, dan dosis SC dapat mempertahankan indeks target antara
15% sampai 30% lebih rendah dari dosis IV.
h. Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh lebih lama daripada epoetin alfa dan
aktivitas biologis berkepanjangan. Dosis diberikan lebih jarang, mulai dari
seminggu sekali bila diberikan IV atau SC.
i. ESA dapat ditoleransi dengan baik. Hipertensi adalah efek samping yang paling
umum.

19
Anemia pada PGK

Evaluasi kadar besi


melalui TS at dan Serum
Feritin

J ik a F e riti n < 1 00 n g /m L ( < 1 0 ? g /L ; J ik a Fe r it in 1 0 0 - 5 0 0 n g / m L ( <1 0 ? g / L ; 1 0 0 - 5 0 0 p mo l /L )


<2 2 5 p m o l/ L ) p a d a P G K -N D / < 2 0 0 n g / m L p ada PG K- N D /P G K-H D / 20 0-5 00 ng/mL J ik a F er i ti n >5 00 ng /m L ( >50 0
( < 2 0 0 ? g / L ; < 4 5 0 p m o l/ L ) p a d a P G K - H D d a n ( 2 0 0- 5 0 0 ? g/ L ; 4 5 0 -11 0 0 p m ol / L ) p a d a ?g/L;>1100 pmol/L) atauTSat >30%(0.30)
TS at <20% (<0.20) diberi Besi secara i.v. (hingga PGK- HD dan TS at 20-30% (0.20-0.30) diberi Besi secara i.v. jangan diberi tambahan Besi.
1 g dalam dosis terbagi). Pada PGK - ND , 1-3 bulan P a d a P G K - N D , 1 - 3 b u l an p er c ob a an da p at
percobaan dapat diberi Besi secara oral. diberi Besi secara oral.

Jika Hb >10 g/dL (>100 g/dL; >6.21 mmol/L) Jika Hb <10 g/dL (<100 g/dL; <6.21 mmol/L)
Evaluasi kembali kadar besi mengikuti aturan suplementasi besi ESA dapat dipertimbangkan jika peningkatan Dimu lai de nga n tera pi ES A;p emilihan ESA
dan prosesnya sesuai kriteria di atas. kualitas hidup diharapkan dan pasien sadar d i p e r ti m b a n g k a n d a r i ti n g k a t P G K d a n
serta menerima resiko dari terapiESA. pengatiran perawatan (Pengaturan Dialisis dan
pengobatan lain)..

J ika Hb 1 0-11 g /d L (10 0-110 g/dL; 6. 21 -6. 8 3 Nilai Hb setiap minggu sampai stabil, kemudian
mmol/L) pada PGK-D atau dipelihara hingga di setidaknya tiap bulan ( PGK -D) dan tiap 3 bulan
bawah 10 g/dLpadaPGK -ND .Dilanjutkan regimen (PGK -ND ).
ESA yang ada. Dilajutkan dengan memantau kadar Besi setidaknya
setiap 3 bulan.

J i k a Hb t i d a k n a i k 1 g / d L ( > 1 0 g /d L ; 0 . 6 2
J i ka Hb d i n a ik k a n > 1 g /d L (>1 0 g / d L ; 0 . 6 2 mmol/L) setelah 4 minggu, dosis ESA dapat dinaikkan
mmol/L) dalam 2 minggu atau melebihi 11 g/dL sebesar 25% (jika hiporesponsif terhadapESA, hindari
( 11 0 g /d L ; 6 . 8 3 m mo l / L ) p a d a P G K - D a t a u kenaikan dosis ESA yang berulang melebihi dua kali
10 g/dL pada PGK- ND, kurangi dosis sebanyak 25% dosis awal yang berdasarkan Berat badan).
atau ubah dosisnya.

Gambar 3. Algoritma Terapi untuk Manajemen Anemia Menggunakan Besi dan Terapi Erythropoiesis Stimulating-Agent (ESA)

20
3 Penyakit Ginjal Kronik yang Berhubungan dengan Gangguan Mineral dan
Tulang
a. Gangguan metabolisme mineral dan tulang (CKD-MBD) sering terjadi pada
PGK dan termasuk akibat dari kelainan hormon paratiroid (PTH), kalsium,
fosfor, produk kalsium fosfor, vitamin D, dan bone turnover, juga karena
kalsifikasi jaringan lunak.
b. Keseimbangan kalsium-fosfor dimediasi melalui interaksi hormon yang
kompleks dan berefek pada tulang, saluran pencernaan, ginjal, dan kelenjar
paratiroid. Seiring perkembangan penyakit ginjal, aktivasi vitamin D pada
ginjal terganggu, sehingga mengurangi penyerapan kalsium di usus.
Rendahnya konsentrasi kalsium darah merangsang sekresi PTH. Saat fungsi
ginjal menurun, keseimbangan kalsium serum dapat dipertahankan hanya
dengan cara menghambat resorpsi kalsium pada tulang, yang akhirnya
mengakibatkan osteodistrofi ginjal (ROD).
c. Hiperparatiroidisme sekunder juga menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas dan kematian mendadak pada penderita hemodialisis.
d. Terapi
Melakukan diet fosfor, dialisis, dan paratiroidektomi adalah pengobatan
non-farmakologi untuk pengelolaan hyperphosphatemia dan CKD-MBD.
Panduan KDOQI memberikan kisaran kalsium, fosfor, kalsium fosfor yang
diinginkan, dan PTH utuh berdasarkan tahap CKD (lihat tabel 1).

Tabel 1. Panduan Kadar Kalsium, Fosfor, Produk Kalsium-Fosfor, dan


Hormon Paratiroid Intak

Penyakit Ginjal Kronik


PARAMETER
STAGE 3 STAGE 4 STAGE 5
Kalsium terkoreksi Rentang Normal Rentang Normal 8.4 9.5 mg/dL
Fosfor 2.7 4.6 mg/dL 2.7 4.6 mg/dL 3.5 5.5 mg/dL
Produk Ca x P < 55 mg/dL < 55 mg/dL < 55 mg/dL
Hormon Paratyroid 35 70 pg/mL 70 110 pg/mL 150 300 pg/mL
Intak

21
e. Agen Phosphate-Binding
Agen lini pertama untuk mengendalikan konsentrasi serum fosfor dan
kalsium (tabel 2). Pedoman KDOQI merekomendasikan bahwa unsur kalsium
dari kalsium yang mengandung pengikat sebaiknya tidak melebihi 1500 mg /
hari, dan total asupan harian dari semua sumber sebaiknya tidak melebihi 2000
mg. Hal ini mungkin memerlukan kombinasi kalsium dan produk yang tidak
mengandung kalsium (misalnya, sevelamer HCl dan lantanum karbonat).
Efek samping dari semua pengikat fosfat umumnya terbatas pada efek GI,
termasuk sembelit, diare, mual, muntah, dan sakit perut. Resiko hiperkalsemia
mungkin memerlukan pembatasan penggunaan pengikat yang mengandung
kalsium dan atau mengurangi asupan dalam makanan. Pengikat aluminium dan
magnesium tidak dianjurkan untuk pemakaian biasa pada PGK karena pengikat
aluminium memiliki toksisitas pada SSP dan memperburuk anemia, sedangkan
pengikat magnesium bisa menyebabkan hipermagnesemia dan hiperkalemia.
f. Terapi Vitamin D
Pengendalian kalsium dan fosfor yang tidak wajar harus dicapai sebelum
inisiasi dan selama terapi vitamin D lanjutan.cCalcitriol, 1,25-
dihydroxyvitamin D, secara langsung menekan sintesis dan sekresi PTH dan
meningkatkan reseptor vitamin D. Dosis tergantung pada stadium PGK (tabel
3).
Vitamin D analog paricalcitol dan doxercalciferol yang lebih baru dapat
dikaitkan dengan berkurangnya hiperkalsemia, paricalcitol,
hyperphosphatemia. Terapi vitamin D berhubungan dengan penurunan angka
kematian.

22
Tabel 2. Agen Agen Pengikat Fosfat untuk Terapi Pada Hiperfosfatemia Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Obat Isi Dosis awal Dosis titrasi Keterangan
Kalsium Karbonat 40% unsur Kalsium 0.5-1 g, 3 kali Dinaikan/ diturunkan 500 Agen lini pertama; karakteristik disolusi dan mengikat
sehari bersama mg setiap makan (200 mg fosfat, mungkin berbeda-beda antara 1 produk dengan
makan kalsium dasar) produk lainnya.
Kurang lebih 39 mg ikatan fosfor tiap 1 g kalsium
karbonat.
Kalsium Asetat 25% unsut kalsium 0.5-1 g, 3 kali Dinaikan/ diturunkan 667 Agen lini pertama; tingkat efikasi mirip dengan kalsium
(25% unsur (169 mg unsur sehari bersama mg setiap makan (169 mg karbonat, dengan unsur elemen kalsium yang lebih
Kalsium) kalsium tiap 667 makan kalsium dasar) rendah.
mg kapsul)
Kurang lebih 45 mg ikatan fosfor tiap 1 g kalsium
asetat.
Sevelamer 800 mg tablet 800-1600 mg, 3 Dinaikkan/ diturunkan 800 Agen lini pertama; juga kolesterol LDL yang lebih
Karbonat 0,8 dan 2,4 gram kali sehari bersama mg setiap makan. rendah.
serbuk untuk makan (dosis 1 Pertimbangan pada pasien yang beresiko kalsifikasi
suspensi oral kali sehari juga ekstraskeletal.
efektif) Dihubungkan dengan lebih rendahnya resiko asidosis
dan efek samping gastrointestinal daripada Renagel
(Sevelamer HCl) yang tersedia tidak lebih lama.

Lanthanum 500, 750, dan 1000 1500 mg per hari Dinaikkan/ diturunkan 750 Agen lini pertama; potnsial untuk akumulasi lanthanum,
Karbonat mg tablet kunyah dalam dosis mg per hari karena absorpso gastrointestinal (tidak diketahui
terbagi, bersama konsekuensi jangka panjang).
makan
Aluminium Kandungan 300-600 mg, 3 kali Tidak untuk penggunaan Bukan agen lini pertama; beresiko terhadap toksisitas
Hidroksida berbeda-beda (100- sehari bersama jangka panjang. aluminium; jangan digunakan bersamaan dengan produk
600 mg/unit) makan. Diperlukan titrasi dosis yang mengandung sitrat.
Cadangan untuk penggunaan jangka pendek (4 minggu)
pada pasien dengan hiperfosfatemia yang tidak
merespon dengan binder lainnya.

23
Tabel 3. Agen Agen Vitamin D
Nama Bentuk Rute
Dosis Awal Rentang Dosis Frekuensi Pemberian
Generik Vitamin D Pemberian
Nutrisi Vitamin D
Ergokalsiferol D2 PO Berdasarkan tingkat OHD25 400 50000 UI Perhari (Dosis 4002000 UI)
Cholaklasiferol D3 PO Tiap minggu/bulan untuk
dosis yang lebih tinggi (50000
UI)
Vitamin D Aktif
Kalsitriol D3 IV 1-2 mcg 0.5-5 mcg Tiga kali tiap minggu
PO 0.25 mcg 0.25-5 mcg Setiap hari / 3 kali seminggu
Analog Vitamin D
Paricalcitol D2 PO PGK-ND: 1 mcg/hari atau 2 mcg, 3 1-4 mcg Setiap hari / 3 kali seminggu
kali seminggu jika PTH 500 pg/mL
(500 ng/L); 2 mcg/hari atau 4 mcg, 3
kali seminggu jika PTH >500 pg/mL
(>500 ng/L);
PGK stage 5 : dosis (mcg) didasarkan
pada rasio PTH/80 dan diberikan 3 kali
perminggu
IV PGK stage 5 : 0.04-1 mcg, 3 kali 2.5 15 mcg Tiga kali per minggu
perminggu
Doxercalciferol D2 PO PGK-ND: 1 mcg per hari 5-20 mcg Setiap hari / 3 kali seminggu
PGK stage 5: 10 mcg, 3 kali
perminggu
IV PGK stage 5: 4 mcg, 3 kali perminggu 2-8 mcg Tiga kali per minggu

24
g. Kalsimimetik
Cinacalcet mengurangi sekresi PTH dengan meningkatkan sensitivitas reseptor
calciumsensing. Efek samping yang paling umum adalah mual dan muntah. Cara paling
efektif untuk menggunakan cinacalcet dengan terapi lain belum diputuskan adalah: Dosis
awal; 30 mg per hari, yang dapat disesuaikan dengan konsentrasi PTH dan kalsium yang
diinginkan setiap 2 sampai 4 minggu sampai maksimum 180 mg setiap hari.
h. Hiperlipidemia
` Prevalensi hiperlipidemia meningkat saat fungsi ginjal menurun.Pedoman nasional
menjelaskan mengenai penanganan dislipidemia secara agresif harus ditangani pada pasien
dengan PGK. Pedoman KDIGO merekomendasikan pengobatan dengan statin (misalnya
atorvastatin 20 mg,fluvastatin 80 mg, rosuvastatin 10 mg, simvastatin 20 mg)pada orang
dewasa berusia 50 tahun atau lebih, yang merupakan pasien PGK-ND dengan stadium 1
sampai 5.
Pada pasien dengan ESRD, profil lipid harus ditinjau ulang setidaknya setiap tahun
dan 2 sampai 3 bulan setelah mengganti pengobatan.

C. Terapi pengganti ginjal


a. Hemodialisa

Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk menggantikan kerja ginjal yaitu
menyaring dan membuang sisa sisa metabolisme dan kelebihan cairan, membantu
menyeimbangkan unsur kimiawi dalam tubuh serta membantu menjaga tekanan darah.
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai
pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapilerkapiler
selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan
panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal (Rahardjo, 2006).

b. Dialisis peritoneal (DP)

Dialisis peritoneal adalah tindakan medis dengan memasukkan cairan yang mengandung
campuran gula dan garam khusus ke dalam rongga perut, sehingga akan menyerap zat-zat

25
racun dari jaringan. Cairan tersebut kemudian akan dikeluarkan dan dibuang. Akhir-akhir ini
sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar
negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yan jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006)

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal adalah terapi penggantian ginjal yang melibatkan pencangkokan


ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang yang membutuhkan. Transplantasi ginjal
menjadi terapi pilihan untuk sebagian besar pasien dengan gagal ginjal dan penyakit ginjal
stadium akhir. Transplantasi ginjal menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:

1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70- 80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

Pengaturan Cairan pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis

Pada populasi hemodialisis, penambahan berat akibat cairan interdialisis (interdialytic

weight gain) merupakan suatu tantangan yang besar bagi pasien dan petugas kesehatan.

Pembatasan asupan air merupakan satu dari sejumlah pembatasan diet yang dihadapi oleh

orang yang menjalani dialisis. Kelebihan berat akibat cairan memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap angka morbiditas dan mortalitas pada orang-orang yang menjalani

26
hemodialisis. Kelebihan cairan berhubungan dengan berbagai macam komplikasi seperti

hipertensi, ascites, edema perifer. Hal ini tentunya mempengaruhi kualitas hidup pasien

(Pace, 2007).

Ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk merumuskan asupan cairan pada

pasien yang menjalani dialisis. Kopple dan Massry (2004) merekomendasikan sebagai

berikut:

Asupan cairan (mL/hari) = 600 mL + urin output + kehilangan cairan ekstrarenal

dimana 600 mL mewakili kehilangan cairan bersih per hari (900 mL insensible water loss

dikurangi 300 mL cairan yang diproduksi melalui proses metabolisme). Kehilangan cairan

ekstrarenal meliputi diare, muntah dan sekresi nasogastrik.

Penyesuaian Dosis

Strategi penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu dalam terapi obat

individu dan dapat mencegah penurunan kualitas hidup pasien lebih lanjut (Falconnier dkk,

2001). Metode yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan

mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya (Munar dan Sigh,

2007).

a. Menggunakan Rumus Cockcroft & Gault (Bauer, 2006)

Untuk Laki-laki :

Untuk Perempuan:

27
CrClest adalah bersihan kreatinin dalam mL/min, umur dalam tahun, BW (Body

Weight) adalah bobot badan pasien dalam kg, SCr adalah kreatinin serum. Nilai 0,85

adalah faktor koreksi untuk perempuan karena perempuan memiliki massa otot yang

lebih kecil dari pada laki-laki. Persamaan ini hanya berlaku untuk pasien dengan bobot

badan yang normal, memiliki usia diatas 18 tahun dan memiliki kreatinin serum yang

stabil.

b. Menggunakan Rumus Jellife & Jellife (Bauer, 2006).

Pasien yang memiliki konsentrasi kreatininserum yang tidak stabil, bersihan

kreatininnya dihitung dengan persamaan Jeliffe & Jeliffe, sebagai berikut :

Essmale = IBW[29,3-(0,203 x umur)] atau

Essfemale = IBW[25,1-(0,175 x umur)]

Ess adalah nilai eksresi kreatinin, IBW adalah bobot badan ideal dalam kg dan umur

dalam tahun. Setelah didapatkan nilai Ess, dilakukan perhitungan terhadap nilai koreksi

produksi kreatinin dengan rumus :

Esscorrected = Ess[1,035 (0,0337 x Scrave)]

CrCl (in mL/min/1.73m2) = E/(14,4 x Scrave)

Scrave adalah nilai rata-ratadua kreatininserum yang ditentukan dalam mg/dL, Scr1

adalah kreatinin serum pertama dan Scr2 adalah kreatinin serum kedua, keduanya

dalam mg/dL, dant selisih waktu antara pengukuran Scr1 dan Scr2.

c. Menggunakan Rumus Salazar & Corcoran (Bauer, 2006).

Pasien yang obesitas, diukur bersihan kreatininnya dengan menggunakan persamaan

Salazar & Corcoran sebagai berikut :

28
Wt adalah bobot badan dalam kg, umur dalam tahun, Ht tinggi dalam meter, dan SCr

adalah kreatininserum dalam mg/dL.

d. Perhitungan Penyesuaian Dosis (Shargel, et al, 2005).

Setelah bersihan kreatinin dihitung dengan persamaan yang sesuai, dilakukan

perhitungan penyesuaian dosis untuk obat yang dieksresikan terutama melalui ginjal,

golongan obat yang bersifat nefrotoksik maupun golongan obat dengan indeks terapi

sempit yang dieksresikan melalui ginjal. Metode yang dapat digunakan dalam

penyesuaian dosis adalah Metode fraksi eksresi obat dalam bentuk utuh.

Penyesuaian dosis dihitung dengan menggunakan rumus GuistiHayton

dengan menggunakan data nilai fraksi obat yang dieksresikan dalam bentuk utuh()

untuk masing-masing obat yang perlu penyesuaian. Untuk sebagian besar obat,

nilaitelah ada dalam literatur.

Rasio bersihan kreatinin pada ginjal normal dan ginjal yang terganggu fungsinya

dihitung dengan persamaan

ku/knadalah rasio bersihan kreatininpada ginjal yang terganggu fungsinya dengan



ginjal yang normal, adalah fraksi obat yang dieksresikan dalam bentuk utuh,


adalah nilai bersihan kreatinin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan

adalah nilai bersihan kreatinin pada ginjal normal.

29
Dosis dihitung dengan menggunakan rasio bersihan kreatinin. Penyesuaian dosis

berdasarkan dosis awal

Dengan Duadalah dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal danDnadalah

dosis pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penyesuaian dosis juga dapat

dilakukan dengan mengubah interval pemberian obat dengan persamaan:

dengan u adalah interval untuk pasien uremia dan N adalah interval pada fungsi

ginjal normal.

30
31
32
BAB III

KASUS DAN PENYELESAIAN

A. Data pasien

Nama : Tn. F

Tanggal lahir : 17/08/1948

Usia : 69 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Berat/Tinggi badan : 68 kg/171

Ruangan : owl

Tanggal masuk : 23/04/2016

Diagnosis : CKD Hipertensi

Keluhan pasien:

Tanggal 23 : Pasien mengeluh susah tidur, demam

Tanggal 24 : Pasien mengeluh pusing, demam

Tanggal 25 : Pasien merasa susah tidur, batuk, demam

Tanggal 26 : Pasien tidak bisa tidur, batuk, demam

Tanggal 27 : Pasien mengeluh susah tidur, batuk, demam

Tanggal 28 : Pasien mengeluh pusing, batuk, demam

Tanggal 29 : Pasien mengeluh pusing, batuk, demam

Tanggal 30 : Pasien mengeluh pusing, batuk, demam

Tanggal 31 : Pasien mengeluh susah tidur, batuk,demam

Tanggal 1 : Pasien mengeluh pusing, batuk, demam

Tanggal 2 : Pasien mengeluh susah tidur

33
Pemeriksaan dan tanda-tanda vital

Tanggal
Jenis Nilai normal
23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4 29/4 30/4 31/4 1/5 2/5

Albumin 3,4-4,8 g/dl 2,02 1,52 1,52

Ureum 10-50 mg/dl 82 107

Kreatinin 0,6-1,1 mg/dl 2,57 2,75

darah

Hb 13,2-17,3 g/dl 7,4 10

Hematokrit 33-45 % 21,3 27,7

Kolesterol <200 mg/dl 197

TG <160 mg/dl 151

Asam Urat 3,5-7,2 mg/dl 7,1

Ureum 10-50 mg/dl 82

Natrium 135-147mmol/L 138,2

Kalium 3,5-5 mmol/L 4,38

Klorida 9,5-105 mmol/L 111,5

Calsium 8,8-10,8 8,0

mmol/L

Fe 70-200 g/L 89,5

PH urin 4,8-7,4 6,0

Urobilinog <2 mg/dl 0,2

en

Tekanan 120/80 mmHg 160/ 170/ 150/ 170/ 150/ 140/ 160/ 140/ 180/ 140/9

Darah 90 90 90 110 100 80 80 100 100 0

Respiration 18-22x/menit 20 20 20 22 20 20 23 19 20 24

Rate

Nadi 80 75 80 96 84 68 80 79 86 75

Suhu 36-37,5C 39 38,5 38,5 38,3 38 38 38 37,8 37.8 37,8 37

34
Profil Penggunaan obat

Nama Obat Regimen Rute


23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4 29/4 30/4 31/4 1/5 2/5
dosis

Parenteral

Infus Ringer ml/jam Iv

Laktat 20 tpm

Resfar 1 fl/hr/4jam Iv

Furosemid 0,5 cc/jam Iv

4A/Hari

Albuminal 100cc Iv

25%

Per Oral

Spironolacton 3 x 25 mg Po

Irbesartan 1x 150 mg Po

Digoxin 2x Po

Chaana 3 x II caps Po

Furosemid 1x1 Po

Paracetamol 3 x 1 (500 Po

mg)

Masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat

Analisis SOAP

SUBJEKTIF

35
a. Pasien : Bapak F, 68 tahun di rawat inap 23 April 2 Mei 2016

b. Diagnosa : CKD - Hipertensi

c. Riwayat Penyakit : -

OBJEKTIF

Pemeriksaan tanda-tanda vital

Tanggal
Parameter Nilai normal
23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4 29/4 30/4 31/4 1/5 2/5

Tekanan 120/80 mmHg 160/ 170/ 150/ 170/ 150/ 140/ 160/ 140/ 180/ 140/9

Darah (TD) 90 90 90 110 100 80 80 100 100 0

Respiration 18-22x/menit 20 20 20 22 20 20 23 19 20 24

Rate

Nadi 80 75 80 96 84 68 80 79 86 75

Suhu 36-37,5C 39 38,5 38,5 38,3 38 38 38 37,8 37.8 37,8 37

Kesimpulan

TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD

RR RR

Jenis Nilai normal 23/4 25/4 26/4 30/4 Keterangan

Albumin 3,4-4,8 g/dl 2,02 1,52 1,52 Menurun

Ureum 10-50 mg/dl 107 Meningkat

Kreatinin 0,6-1,1 mg/dl 2,57 2,75 Meningkat

darah

Hb 13,2-17,3 g/dl 7,4 10 Menurun

36
Hematokrit 33-45 % 21,3 27,7 Menurun Hasil Pemeriksaan
Kolesterol <200 mg/dl 197 Normal
Lab
TG <160 mg/dl 151 Normal

Asam Urat 3,5-7,2 mg/dl 7,1 Normal

Ureum 10-50 mg/dl 82 Meningkat

Natrium 135-147mmol/L 138,2 Normal

Kalium 3,5-5 mmol/L 4,38 Normal

Klorida 9,5-105 mmol/L 111,5 Meningkat

Calsium 8,8-10,8 8,0 Menurun

mmol/L

Fe 70-200 g/L 89,5 Normal

PH urin 4,8-7,4 6,0 Normal

Urobilinog <2 mg/dl 0,2 Normal

en

Tekanan 120/80 mmHg 170/ 150/ 160/ Meningkat

Darah 90 90 80

Assesment

Suhu tubuh tinggi menandakan pasien demam

Albumin menurun bisa disebabkan oleh keadaan malnutrisi, nefrotik sindrom

Ureum dan kreatinin darah meningkat disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal untuk

mempertahankan homeostasis tubuh sehingga mengakibatkan gagal ginjal

Kadar Serum Kreatinin

Kadar serum kreatinin pasien pada tanggal 23 menunjukkan hasil 2,57 mg/dL nilai ini

diatas rentang normal dari serum kreatinin yaitu 0,6 1,1 mg/dL.

Hitungan GFR (tgl 23) berdasar rumus Cockroft Gault :

(140)
= 72

37
(14062) 61
= = 25,71 /
72 2,57

Kadar serum kreatinin pasien pada tanggal 30 menunjukkan hasil 2,75 mg/dL nilai ini

diatas rentang normal dari serum kreatin ini yaitu 0,6 1,1 mg/dL.

Hitungan Klirens Kreatinin (tgl 30) berdasar rumus Cockroft Gault :

(140)
= 72

(14062) 61
= = 24,03 /
72 2,75

Berdasarkan perhitungan klirens kreatinin, didapatkan hasil klirens kreatinin pasien

adalah 24,03 ml/menit, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gagal ginjal

kronis.

Pengukuran nilai GFR:


GFR = 175 x Scr-1,54 x Usia-0,203
GFR = 175 x 2,57-1,54 x 69-0,203 = 17,31 ml/menit/1,73m2 (tanggal 23)
GFR = 175 x 2,75-1,54 x 69-0,203 = 15,60 ml/menit/1,73m2 (tanggal 30)
Berdasarkan perhitungan GFR, didapatkan hasil GFR pasien adalah 15,60
ml/menit/1,73m2, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gagalginjal kronis
stadium 4.

Kategori Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan nilai GFR


GFR category GFR (ml/min/1.73 m2) Terms
G1 90 Normal or high
G2 6089 Mildly decreased
G3a 4559 Mildly to moderately decreased
G3b 3044 Moderately to severely decreased
G4 1529 Severely decreased
G5 <15 Kidney failure

38
Hemoglobin menurun, maka pasokan oksigen ke berbagai bagian tubuh berkurang,

sehingga fungsi tubuh akan terhambat dan mengalami anemia, gagal ginjal.

Hematokrit menurun menandakan adanya gangguan pada ginjal.

Kalsium menurun menyebabkan hipokalsemia, penyebab hilangnya kalsium dalam

jangka lama melalui air kemih atau kegagalan untuk memindahkan kalsium dari tulang

Tekanan darah tinggi menandakan pasien mengalami hipertensi.

Analisis DRP

1. DPR ada indikasi tidak ada obat (butuh obat) : -

2. DRP tidak ada indikasi ada obat (tidak butuh obat) : digoksin

3. DRP dosis terlalu tinggi : -

4. DRP dosis terlalu rendah : -

5. DRP efek samping : Irbesartan = Hiperkalemia

Spironolakton = Nyeri kepala, urtikaria

Digoksin = Diare, nyeri kepala, mual, muntah

Furosemid = Hipokalemia, hiperurisemia

6. DRP salah obat : furosemid : dapat memicu

7. DRP interaksi obat : Interaksi Minor:

Irbesartan + Digoxin : Irbesartan dan Digoxin bersamaan menaikan kadar kalium

Irbesartan + Furosemid : Irbesartan meningkatkan dan furosemid menurunkan kadar

serum kalium

39
Irbesartan + Spironolakton : Irbesartan dan spironolakton bersamaan meningkatkan kadar

kalium

Digoxin + Furosemid : Digoxin memingkatkan dan furosemid menurunkan kadar

kalium

Digoxin + Spironolakton :

Spironolakton dan digoksin bersama-sama meningkatkan kadar kalium

Menurunkan klirens ginjal

Spironolakton meningkatkan efek digoxin

Spironolakton meningkatkan dan furosemid menurunkan kadar kalium

PLAN

Disarankan untuk melakukan perhitungan nilai CrCl agar mengetahui kondisi ginjal

dari pasien. Akan tetapi berat badan pasien belum diketahui

Jika nilai CrCl rendah, pasien disarankan untuk hemodialisa

Pasien dengan gagal ginjal kronis (GFR < 25 ml/menit) yang tidak menjalani perawatan

dialisis, asupan kalori yang diperbolehkan untuk usia kurang dari 60 tahun adalah 35

kcal/kg/hari (K/DOQI, 2002)

Kalsium rendah diberikan terapi pengobatan, seperti kapsul CaCO3, injeksi Ca

glukonas

Pemberian Channa dan Albuminal masih belum bisa menormalkan kadar albumin pada

pasien. Perlu penambahan pemberian albuminal untuk bisa menaikkan kadar albumin

pada pasien

Dilakukan monitoring kadar kalium pada pasien karena ada interaksi antar obat yang

berpengaruh terhadap kadar kalium

40
Dilakukan monitoring terhadap pemberian ulang paracetamol karena pasien memiliki

hipertensi

KIE

Mengurangi konsumsi garam < 2 g (KDIGO, 2012)

Membatasi asupan protein 0,8 g/kgbb/hari pada pasien dengan GFR 30 ml/menit/1,73

m2 (KDIGO, 2012)

Mencegah kondisi stress dengan dukungan dari keluarga pasien

Dianjurkan mengonsumsi makanan yang tinggi zat besi seperti protein hewani

Mengurangi asupan cairan baik melalui makanan dan minuman

Menghindari makanan atau minuman yang mengandung kalium, seperti pisang, air

kelapa

Istirahat yang cukup

Furosemid tidak dianjurkan untuk dikonsumsi malam hari karena obat ini menyebabkan

sering buang air kecil sehingga mengganggu waktu tidur

Spironolakton tidak dianjurkan untuk dikonsumsi malam hari karena obat ini

menyebabkan sering buang air kecil sehingga mengganggu waktu tidur

41
DAFTAR PUSTAKA

Bauer, L. A. 2006. Clinical Pharmacokinetics Handbook. Washington: McGram Hill.

Busse, W.W. dan Lemanske, R.F. 2001. Advances in Immunology. N Engl Journal Med. 62.
344.

Corwin, J.Elizabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Dharma, D. S., dkk. (2015).Penyakit Ginjal Deteksi Dini dan Pencegahan. Yogyakarta : CV
Solusi Distribusi
Daugirdas, J.T. Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook Of Dialysis, 4th Edition. Philadelphia:
Lipincott William and Wilkins.

Falconnier, A. D., Haefeli, W. E., Schoenenberger, R. A., Surber, C., Martin-Facklam, M.


2001. Drug Dosing in Patient with Renal Failure Optimized by Immediate Concurrent
Feedback. JGIM, 16, 369375.

Infodatin. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Jeremy, dkk, 2002. At a Glance : Sistem Respirasi Edisi 2. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.2002. Iso Farmakoterapi.. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2000. Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri, volum 2,
No. 1 : 50-67.

Kelly, HW., dan Sorkness, C.A., 2008. Asthma, in Dipiro, et al (Edition 7)


:Pharmacotheraphy A Phatopysiologycal Approch. New York: McGraw-Hill.
Kemenkes RI. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Infodatin-Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.

Kimberly N., Justin P., dan elleen B. 2010. Effect of Smooking in the Association Between
Environmental Triggers and Asthma Severity Among Adults in New England.
Journal of Asthma Allergy Educators OnlineFirst. 10. No. 10
Munar, M.Y, Singh, H. 2007. Drug Dosing Adjustment in Patients with Chronic Kidney
Disease. American Academy of Family Physician, 75, 10, 14871496.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2005. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma
di Indonesia. Jakarta: PDPI.

42
Peter H. 1998. ABC of Allergies of Pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment..
BMJ. 61. 316.

Price, Sylvia A.,Lorraire, Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta : EGC.
Raharjo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Terapi Hemodialisa. Edisi 4. Jilid II.
Jakarta: Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Rengganis, Iris. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta.
Shargel, L., Wu-Pong, S., Yu, A. B. C. 2005. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics. Fifth edition. United States : The McGraw-Hill Companies.

Sudoyo dan Aru. (2006). Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen llmu
Penyakit Dalam FKUI.

Supriyatno, H.B., 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Maj
Kedokt Indon, Volum 55, No. 3 : 237-243.

Tjay,Tan.Hoan dan Rahardja, Kirana. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex


MediaKomputindo

Wells BG., JT Dipiro, TL Schwinghammer, CW.Hamilton, Pharmacoterapy Handbook 6th


ed International edition, Singapore, McGrawHill, 2006:826-848. Asma, Pedoman
Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2004
Wells, B.G., DiPiro, J.T., Schwinghammer, T.L., dan DiPiro C.V. 2015. Pharmacotherapy
Handbook Ninth Edition. New York: McGraw-Hill Education.

Wilson, M. L dan Price, A. S. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta : EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai