Anda di halaman 1dari 11

Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase

Penyakit ini dijumpai di Afrika, daerah Mediterania, Timur Tengah, dan Timur jauh. Penyakit ini
diturunkan dengan terkait kromosom X (pria yang terkena selalu menunjukan manifestasi klinis,
sedangkan wanita akan mengalami berbagai derajat hemolisis). Karena fenomena inaktivasi acak
dari kromosom X, wanita akan memiliki dua populasi eritrosit (red blood cell/RBC), satu normal dan
satu lagi mengalami defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) yang rentan terhadap hemolisi
semakin banyak dengan semakin besar ukuran populasi yang menagalami defisiensi. Di Inggris,
episode hemolitik akut biasanya terjadi akibat obat (sulfonamid, primakuin) atau terjadi selama
infeksi akut. Gambaan lainnya adalah ikterus neonatorum dan favisme.

Diagnosis pasti ditegakan dengan menurunnya atau tidaknya aktivitas enzim dalam eritrosit.

Talasemia ditemuka di Timur Tengah dan Timur Jauh serta daerah Mediterania, dan disebabkan oleh
defisiensi sintesis rantai atau . Defisiensi tersebut ditentukan secara genetik dan menyebabkan
talasemia atau . Pada talasemia , rantai terus diproduksi berlebihan sampai usia dewasa dan
terdapat HbF berlebihan.

Sifat talasemia minor (heterozigot)


Biasanya berupa anemia hipokromik mikrositik ringan tanpa gejala yang mungkin dikelirukan dengan
defisiensi Fe. Diagnosis ditegakan dengan menemukan peningkatan kaar HbA2 secara umum (4-7%.
). Kadar HbF juha mungkin sedikit meningkat (1-3%).

Talasemia mayor (homozigot)

Kedua orang tua memiliki sifat tersebut. Pasien relatif normal saat lahir (rantai memang masih
sedikit) tetapi kemudian mengalami anemia berat disertai terhambatnya pertumbuhan dan
cenderung mudah mengalami infeksi. Anemia hipokromis dan pada apus darah ditemukan sel target
dan berbintik-bintik. Terjadi hiperplasia eritroid pada sumsum tulang dan rantai pemicu tampak
sebagai badan inklusi pada pewarnaan supravital.

Bayi yang bertahan hidup mengalami hepatosplenomegali, tonjolam bulat pada tulang, tulang
panjang, batu empedu, dan ulkus tungkai. Pengobatan terdiri atas transfusi untuk mempertahankan
hemoglobin pada tingkat 10 g/dL tetapi ini, digabungkan dengan absorpsi Fe yang meningkat,
menyebabkan kelebihan Fe. Desferioksamin diberikan untuk menurunkan hemosiderosis dengan
penggantian asam folat, dan indikasi splenektomi adalah jika muncul hipersplenisme. Transplantasi
sumsum tulang pernah dilakukan dan berhasil.

Kedaan ini ditandai dengan adnya enzim G6PD yang tidak normal dengan aktivitas yang rendah
sehingga kalau sel darah merah terpapar dengan aktivitas yang renda akan mengalami hemolisis.
Bahan yang dapat menyebabkan hemolisis paada penderita defisiensi G6PD, termasuk kacang babi
(Vicia vava), kemang sepatu, derifat naftalen, dan obat yang bersifat oksidan. Obat yang
menyebabkan hemolisis pada defisiensi G6PD termasuk:

Analgetik (aspirin, fenasetin, asetanilit, antipirin, dan aminopirin)

Antimalaria (primakuin, kinin, pamokuin, kuinakrin)

Antibakteri (sulfa, nitrifurantoin, kloramfenikol, PAS)

Lain-lain (kinidin, probenised, vit. K, naftalen)

Perbedaan genetik dalam hal enzim metabolik lain dari eritrosit juga merupakan predisposisi untuk
terjadinya reaksi hemolitik terhadap obat. Di daerah dengan frekuensi kejadian defisiensi G6PD
relatif tinggi, ternyata individunya lebih tahan terhadap infeksi malaria falciparum. Hal ini
disebabkan oleh parasit malaria kurang dapat bertahan hidup dalam sel yang kurang mengandung
enzim G6PD.

Mekanisme biokimia terjadinya hemolisis pada penderita defisiensi G6PD adalah sebagai berikut.

Defisiensi G6PD akan menyebabkan produksi NADPH terganggu, selanjutnya menyebabkan


menurunnya aktivitas enzim glutation reduktase dan methemoglobin reduktase sehingga terjadi
penumpukan methemoglobin dan glutation teroksidasi. Dengan masuknya bahan oksidasin dalam
tubuh, sedangkan methemoglobin dan glutation teroksidasi sudah menumpuk dalam eritrosit, sel-sel
eritrosit akan mengalami hemolisis karena tidak adanya/tidak cukup zat yang melawan reaksi
oksidasi pada ikatan sulfhidril di dinding eritrosit. Dalam keadaan normal, methemoglobin dan
glutation yang teroksidasi ini selalu dalam keadaan tereduksi oleh adanya glutation tereduksi.

Kadar G6PD intraeritrosit biasanya menurun sesuai umur sel. Pada pasien dengan defisiensi G6PD
herideter (banyak terdapat varian), tingkat aktivitas menurun lebih cepat daripada normal. Pada
episode hemolitik yang berhubungan dengan defisiensi G6PD pada kulit hitam, hanya sel yang lebih
tua dengan kadar G6PD yang terendah yang mengalami kerusakan, sedangkan eritrosit yang lebih
tinggi dapat mempertahankan hidupnya. Pada saat itu, assai aktivitas enzim mungkin menunjukan
aktivitas G6PD yang normal meskipun dalam keadaan defisiensi. Defek enzim pada orang-orang
keturunan Timur Jauh lebih berat, dan bahkan eritrosit muda yang kekurangan G6PD mudah
mengalami hemolisis.

Epidemiologi

Defisiensi G6PD diperkirakan diderita 400 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi ditemukan di
negara-negara Sub-Sahara Afrika terutama di daerah-daerah dengan endemisitas malaria tinggi. Prevalensi
tinggi ditemukan di Afrika, Mediterania, Asia Tenggara dan Amerika Latin (Gambar 1). Di Amerika Serikat, defi
siensi G6PD terutama diderita keturunan Afrika dan Mediterania.Di Indonesia, prevalensi defi siensi G6PD
berkisar
2,7% hingga 14,2%. Prevalensi defi siensi G6PD yang tinggi di daerah endemis malaria dikaitkan dengan
resistensi terhadap infeksi malaria.4
ASPEK GENETIK DEFISIENSI G6PD
Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X. Laki-laki hanya memiliki satu kromosom X sehingga dapat
memiliki ekspresi gen yang normal maupun defisiensi G6PD. Perempuan yang memiliki 2 kopi gen G6PD
pada setiap kromosom X dapat memiliki ekspresi gen normal, heterozigot, maupun homozigot. Perempuan
heterozigot dapat memiliki mosaic genetik akibat inaktivasi kromosom X, dan dapat menderita defi siensi
G6PD.1 Persentase populasi defi siensi G6PD dan karier di India masing-masing 10% dan 11%.5 Gen G6PD
terletak pada regio telomerik lengan panjang kromosom X (band Xq28), dekat dengan gen hemofi lia A,
diskeratosis kongenital dan buta warna (Gambar 4). Gen tersebut terdiri dari 13 ekson dan 12 intron,
mengkodekan 515 asam amino. Wild type G6PD disebut 6GPD B. Semua mutasi gen G6PD yang
mengakibatkan defi siensi enzim tersebut berefek pada kode sekuensi. Hingga saat ini telah dilaporkan 14
mutasi, umumnya subtitusi terjadi pada 1 pasangan basa yang menyebabkan perubahan susunan asam
amino.1
Distribusi malaria global hampir sama dengan distribusi G6PD mutan sehingga muncul hipotesis bahwa defi
siensi G6PD ber sifat protektif terhadap malaria. Bukti efek perlindungan terhadap malaria diperoleh dari
penelitian in vitro pada kultur parasit pada eritrosit-eritrosit dengan genotipe G6PD berbeda, menunjukkan
bahwa pertumbuhan parasit melambat terjadi pada sel-sel dengan defisiensi G6PD. Eritrosit dengan defi siensi
G6PD yang terinfeksi parasit malaria mengalami fagositosis pada tahap maturasi parasit yang terjadi lebih
dini dan menjadi mekanisme protektif terhadap malaria.1,2

MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui kondisinya. Penyakit ini
muncul apabila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat, infeksi, maupun konsumsi kacang fava. Defi
siensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut yang di-induksi obat maupun infeksi,
favisme, ikterus neonatorum maupun anemia hemolitik non-sferosis kronis. Beberapa kondisi seperti diabetes,
infarkmiokard, latihan fisik berat telah dilaporkan menginduksi hemolisis pada penderita defi siensi G6PD.
Hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD biasanya ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia
dan ikterus. Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan retikulositosis.1-3

SKRINING DEFISIENSI G6PD PADA


NEONATUS
Di berbagai negara, skrining defi siensi G6PD pada neonatus rutin dilakukan. Hal ini penting karena
kernikterus yang merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada neonatus defi siensi G6PD dapat
dicegah dengan menghindari faktor-faktor penyebab hemolisis.6 Laporan dari Singapura menunjukkan setelah
program skrining defi siensi G6PD neonatus sejak tahun 1965 menggunakan sampel darah tali pusat, insidens
kernikterus turun drastis dalam 20 tahun terakhir. Dilaporkan hanya 1 kasus kernikterus pada neonatus defi
siensi G6PD di Singapura. Neonatus defi siensi G6PD dilindungi secara fisik di rumah sakit selama 2 minggu
pertama dan orang tuanya diberikan konseling mengenai obat-obatan yang dapat memicu krisis hemolisis.7
Pao, dkk.8 menemukan bahwa insidens hiperbilirubinemia pada neonatus defi siensi G6PD sebesar 32% dan
pada neonatus dengan G6PD normal hanya 12,3%, hal ini menunjukkan perlunya skrining defisiensi G6PD
pada neonatus. Pada neonatus lakilaki hemizigot defi siensi G6PD, kadar G6PD <4,6 u/g Hb dapat digunakan
sebagai cut off , sedangkan pada neonatus perempuan dianjurkan nilai cut off lebih tinggi, yaitu <6,6 u/g Hb
karena terdapat sejumlah populasi neonatus heterozigot defi siensi G6PD parsial.9
PENATALAKSANAAN
Strategi penatalaksanaan defi siensi G6PD yang paling efektif untuk mencegah hemolisis adalah mencegah
stres oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan kacang fava). Pendekatan ini memerlukan pemahaman pasien
dan bisa tercapai jika ada program skrining defi siensi G6PD. Hemolisis akut akibat G6PD biasanya tidak lama
dan tidak memerlukan terapi spesifi k. Pada kasus jarang (biasanya anak-anak) dapat terjadi anemia berat
yang memerlukan transfusi darah.1,2 Ikterus neonatorum akibat defi siensi G6PD diterapi seperti ikterus
neonatorum kasus lain. Jika kadar bilirubin tidak terkonjugasi melebihi 150 nmol/L diberi fototerapi untuk
mencegah kerusakan saraf. Jika kadarnya >300 nmol/L, transfusi darah mungkin diperlukan. Pasien anemia
hemolitik nonsferosis kongenital terkadang mengalami anemia terkompensasi yang tidak memerlukan
transfusi darah kecuali jika ada
eksaserbasi akibat stres oksidatif yang dapat memperburuk anemianya. Pasien anemia hemolitik non-sferosis
kongenital biasanya mengalami splenomegali tetapi tindakan splenektomi jarang memberi keuntungan. Batu
empedu juga merupakan komplikasi akibat hemolisis karena defi siensi G6PD.1,2

SIMPULAN
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi pertama jalur pentosa fosfat
dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk tereduksi nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate). Defi siensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan
terkait dengan kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28).
Prevalensi penyakit ini ditemukan tinggi di Afrika, Mediterania, Asia Tenggara dan Amerika Latin terutama di
daerah dengan
endemisitas malaria yang tinggi. Prevalensi di Indonesia berkisar 2,7% hingga 14,2%. Sebagian besar
penderita defi siensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui kondisinya. Penyakit ini muncul apabila
eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat, infeksi, maupun konsumsi fava beans. Defisiensi G6PD biasanya
bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut yang diinduksi obat maupun infeksi, favisme, ikterus
neonatorum maupun anemia hemolitik non sferosis kronis. Strategi penatalaksanaan defisiensi G6PD yang
paling efektif untuk mencegah hemolisis adalah mencegah stres oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan
kacang fava). Skrining dan diagnosis defisiensi G6PD pada neonatus dapat dilakukan dengan beberapa
metode dan penting untuk mencegah morbiditas dan mortalitas.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengkajian dalam rangka mendapat data tentang pasien melalui
pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Anamnesis dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu auto
anamnesis dan allo anamnesis. Auto anamnesis adalah anamesis yang dilakukan kepada
pasien langsung. Jadi data yang diperoleh adalah data primer, karena langsung darri
sumbernya. Sedangkan allo anamnesis adalah anamnesis yang dilakukan kepada keluarga
pasien untuk memperoleh data tentang pasien. Ini dilakukan pada keadaan darurat ketika
pasien tidak memungkinkan lagi untuk memberikan data yang akurat. Anamnesis pada
umumnya menanyakan identitas seperti nama, umur, pekerjaan kemudian dilanjutkan dengan
keluhan utama dari pasien tersebut.2
Pada riwayat penyakit sekarang (RPS) kita tanyakan lokasi, onset dan kronologisnya,
kuantitas keluhan apakah berat atau ringan, frekuensi, kualitas, faktor yang memperberat dan
faktor yang memperigan serta gejala-gejala penyerta lainnya.

Pada anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu (RPD) yang pernah
diderita oleh pasien ataukah pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.

Enzim G6PD
Enzim G6PD mengkatalisis langkah pertama dalam jalur fosfat pentosa, glukosa mengkonversi
ke ribosa-5-fosfat (gambar 1) dan melindungi sel terhadap stres oksidatif dalam bentuk NADPH.
Defisiensi G6PD merupakan salah satu kelainan enzimatik herediter yang paling sering dari
eritrosit manusia. Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa aktivitas G6PD memainkan peran
penting dalam mengontrol pertumbuhan sel melalui produksi NADPH (Zhao,2010).
Saat ini ditemukan sekitar 160 mutasi bersama dengan lebih dari 400 varian biokimia telah
dijelaskan (Cappellini,2008). Varian G6PD oleh WHO telah diklasifikasikan ke dalam empat
kategori tergantung pada aktivitas residu enzim dan manifestasi klinis. Varian kelas I memiliki
defisiensi enzim yang berat (kurang dari 10% dari normal) yang berhubungan dengan anemia
hemolitik kronis non-spherocytic. Varian kelas II juga memiliki defisiensi enzim berat (kurang
dari 10% dari normal), varian kelas III memiliki defisiensi enzim ringan (10% sampai 60% dari
normal). Varian Kelas IV tidak memiliki defisiensi enzim (60% sampai 150% dari normal)
(Zhao,2010).
Awalnya varian G6PD ditandai secara biokimia menurut aktivitas enzim dalam eritrosit,
mobilitas elektroforesis, Michaelis Konstan, pemanfaatan analog substrat dan termostabilitas
(Zhao,2010).
Peran G6PD pada metabolisme eritrosit
Pada sel eritrosit terjadi metabolism glukosa untuk menghasilkan energy (ATP), yang digunakan
untuk kerja pompa ionic dalam rangka mempertahankan milieu ionic yang cocok bagi eritrosit.
Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah
enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase, sebagian kecil glukosa mengalami
metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim G6PD untuk
menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membrane eritrosit dari
oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat
mempermudah dan mempercepat hemolisis. Yang paling sering mengalami defisiensi adalah
G6PD (Rinaldi,2009)
G6PD adalah enzim "housekeeping" yang melakukan fungsi-fungsi vital di seluruh sel tubuh.
Namun, dalam eritrosit yang tidak memiliki nukleus, mitokondria, organel lainnya, ada hambatan
tertentu pada metabolisme dan enzim ini memiliki peran penting. G6PD mengkatalisis langkah
pertama dari jalur fosfat pentosa (jalur heksosa monofosfat), sejumlah reaksi sampingan dari jalur
utama glikolisis dalam eritrosit dan dalam semua sel tubuh (Greene,1993)
Metabolisme glukosa melalui jalur heksosa monofosfat meningkat beberapa kali ketika eritrosit
terpapar dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal bebas (Rinaldi,2009). G6PD
menginisiasi jalur ini dengan menjadi katalis oksidasi glukosa-6-fosfat menjadi 6-
phosphogluconolactone oleh ko-enzim nikotinamida adenin-dinucleotidephosphate (NADP),
yang dikurangi menjadi NADPH. 6-phosphogluconolactone menghidrolisis secara spontan untuk
6-phosphogluconate. Ini berfungsi sebagai substrat untuk 6-phosphogluconate dehidrogenase dan
NADP. Langkah kedua dalam jalur enzimatik ini juga berhubungan dengan pengurangan NADP+
untuk NADPH. NADPH dihasilkan sebagai akibat dari reaksi mengurangi glutation teroksidasi
(GSSG) untuk mengurangi glutation (GSH) dalam reaksi dikatalisis oleh glutation reduktase.
GSH kemudian mengurangi hidrogen peroksida, oksidan kuat yang dihasilkan dalam
metabolisme sel dan sebagai konsekuensi dari respon inflamasi, dan oksidan endogen dan
eksogen lainnya, pada reaksi katalis oleh glutathione peroksidase (gambar 1) (Greene,1993).
Fungsi utama dari jalur fosfat pentosa adalah menghasilkan kapasitas pengurangan melalui
produksi NADPH dan akhirnya GSH. Hanya ini mekanisme yang tersedia bagi eritrosit untuk
menghasilkan kapasitas pengurangan dan sehingga penting untuk
kelangsungan hidup sel, sedangkan pada sel lain dari tubuh berarti produksi NADPH tetap ada
dan jalur pentosa fosfat hanya untuk 60% dari produksi NADPH(Greene,1993).
GSH dihasilkan melalui jalur fosfat pentosa, seperti diuraikan di atas, melindungi hanya terhadap
stres oksidan dalam eritrosit. Dalam eritrosit yang normal tanpa tekanan G6PD, aktivitas G6PD
hanya sekitar 2% dari total kapasitas. Ini meningkatkan kemungkinan terhadap tantangan dari
stres oksidan dan GSH dipertahankan pada tingkat stabil. Namun, eritrosit defisiensi G6PD telah
sangat mengurangi aktivitas G6PD (10 sampai 20% dari normal pada G6PD A (-) dan 0 sampai
10% dari normal pada G6PD Mediteranian dan varian serupa). Peningkatan stress oksidan dapat
menyebabkan penipisan GSH ditandai sebagai kemampuan dari defisiensi G6PD untuk
menghasilkan NADPH terlampaui oleh tingginya tingkat kehilangan GSH(Greene,1993).
Stres oksidan tidak terkompensasi dalam eritrosit normal (atau lebih mudah dalam eritrosit
defisiensi G6PD) menghasilkan oksidasi hemoglobin menjadi methem-globin, pembentukan
Heinz body, dan kerusakan membran. Jika terjadi sangat berat akan mengakibatkan hemolisis,
sementara bila terjadi lebih ringan tetapi stres oksidan tidak terkompensasi akan mengurangi
kemampuan eritrosit dan meningkatkan kemungkinan bahwa eritrosit akan dikeluarkan dari
sirkulasi ke sistem retikuloendotelial. Akibat hilangnya eritrosit , hematopoiesis ditingkatkan
karena tubuh berusaha untuk mempertahankan fungsi normal vaskular, dan ada banyak retikulosit
yang dikeluarkan (eritrosit muda dilepaskan dari sumsum tulang). Retikulosit biasanya mencapai
kurang dari 1% eritrosit total, tapi berikut hemolisis dapat terdiri sampai 15% dari eritrosit
(Greene,1993).

Efek dari usia eritrosit pada aktivitas eritrosit-G6PD


G6PD adalah enzim age-dependent. Dalam G6PD B yang normal aktivitas eritrosit dari G6PD
menurun secara eksponensial, dengan waktu paruh 62 hari. Namun, meskipun ini kehilangan
aktivitas enzim G6PD B eritrosit yang lebih tua mengandung aktivitas G6PD yang cukup untuk
mempertahankan kadar GSH dalam menghadapi suatu stres oksidan dan usia rata-rata G6PD B
eritrosit adalah 100 hingga 120 hari (Greene,1993).
Pada eritrosit dengan defek G6PD A (-) adalah karena ketidakstabilan enzim yang lebih besar.
Secara baru terbentuk G6PD A (-) eritrosit mempunyai aktivitas enzimatik yang sama seperti
eritrosit yang baru dibentuk dari individu G6PD B. Namun, aktivitas G6PD dari sel ini menurun
dengan cepat. Waktu paruh dari G6PD A (-) eritrosit hanya 13 hari, dan pada individu G6PD A (-
) populasi terdiri dari campuran eritrosit terus menurunkan tingkat aktivitas (Greene,1993).
Pada individu G6PD A (-) ras afrika, enzim G6PD lebih besar ketidakstabilannya, waktu paruh
eritrosit ini hanya sekitar 8 hari. Retikulosit yang dilepaskan ke dalam sirkulasi pada orang ras
afrika telah mengurangi kadar G6PD dan eritrosit dewasa memiliki tingkat enzim biasanya
dibawah 1% aktivitas normal (Greene,1993).
Genetik G6PD
Lokus genetik untuk G6PD pada manusia dan semua mamalia terletak pada band Xq28-Xq27.3.
Hal ini berhubungan erat dengan lokus untuk buta warna, hemofilia A,diskeratosis bawaan dan
buta warna. Gen ini terdiri dari 13 ekson dan 12 intron, yang mencakup hampir 20 kb total.
Mengkode 515 asam amino dan daerah promoter yang kaya GC (lebih dari 70%)
(Cappellini,2008). Kelompok-kelompok ini hubungan sangat stabil dan sama pada semua
mamalia. Karena sex-linked ada lima kemungkinan genotip pada populasi di mana lokus G6PD
adalah polimorfik. Frekuensi dari kondisi defisiensi yang lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan, karena laki-laki yang ujung-izygous, hanya perlu satu salinan alel untuk
mengekspresikan kondisi defisiensi penuh sedangkan perempuan perlu dua alel (Greene,1993).
Laki-laki defisiensi hemizigot dan perempuan defisiensi homozigot mengekspresikan derajat
yang sama defisiensi enzim, sedangkan laki-laki hemizigot normal dan perempuan homozigot
normal juga memiliki tingkat enzim sebanding. Disebabkan karena deaktifasi acak dari satu
kromosom-X selama perkembangan embriologis pada perempuan, perempuan heterozigot benar-
benar memiliki dua populasi eritrosit (G6PD normal dan defisiensi G6PD) dengan berbagai
aktivitas G6PD tergantung proporsi dari kedua kelompok eritrosit. aktivitas G6PD perempuan
heterozigot bisa berkisar dari hampir normal hingga mendekati-defisiensi

Anda mungkin juga menyukai