Anda di halaman 1dari 4

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-16

Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak,
Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi,
keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran
Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.Kerajaan
Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada
di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga
masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan
Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan
Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus
Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonom

i luas untuk menentukan nasibnya sendiri.

Sejarah - Sumedang Larang menjadi sebuah negara berdaulat sebelum jatuhnya Kerajaan Sunda 1527 -
Sumedang Larang bergabung dengan Kesultanan Mataram[1] 1620

Museum Prabu Geusan Ulun terletak di Kompleks Pendopo Kabupaten Sumedang terletak di
pusat Kota Sumedang. Kompleks ini semenjak Sumedang berdiri pada tahun 1705 hingga
sekarang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten Sumedang. Kompleks yang
didalamnya terdapat bangunan-bangunan tersebut berukuran seluas 1,8 ha dan dikelilingi dengan
tembok setinggi tiga meter. Di dalam kompleks terdapat bangunan-bangunan yang cukup tua ,
yaitu Gedung Srimangati yang dibangun pada tahun 1706, Gedung Bumi Kaler (1850), dan
Gedung Gendeng (1850). Selain itu, terdapat tiga gedunglainnya yang relatif baru, yaitu Gedung
Gamelan (1973), Gedung Pusaka (1990), dan Gedung Kereta Naga Paksi (1996).
Museum menempati Gedung Srimanganti. Gedung ini dibangun tahun 1706 oleh Bupati Dalem
Adipati Tanumaja yang memindahkan pusat kota kabupaten dari Tegal Kalong ke tempat ini.
Gedung Srimanganti merupakan bangunan permanen berdinding tembok. Berlantai tinggi
dengan permukaan tegel dan pada bagian teras belakang bangunan dijumpai adanya tiang-tiang
penyangga lantai kayu. Jendela-jendela berukuran cukup besar dengan bentuk segi empat dan
melengkung atau kurva. Pintu-pintu berukuran cukup besar serta pada bagian atas daun pintu
terdapat ventilasi yang dipenuhi hiasan floral. Juga dilengkapi tiang-tiang bangunan kokoh.
Gedung Srimanganti pada awalnya berfungsi sebagai kediaman resmi bupati dan keluarganya.
Pada tahun 1950 samapai dengan 1982 dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1982 dipugar dan setelah dipugar difungsikan sebagai
museum dengan nama Museum Prabu Geusan Ulun. Di dalam museum terdapat koleksi, antara
lain Meriam Kalantaka, peninggalan Kompeni tahun 1656, gamelan Panglipur yang merupakan
peninggalan Pangeran Rangga Gede (1625 1633), gamelan Pangasih peninggalan Pangeran
Kornel (1791 1828), dan gamelan Sari Arum peninggalan Pangeran Sugih (1836 1882). Di
samping itu juga terdapat koleksi lainnya seperti tempat tidur Pangeran Kornel dan baju-baju
kebesaran bupati masa lampau.
Di sisi kiri jalan, tepatnya dalam kawasan milik Unwim, terdapat sebuah menara
berwarna putih bergaya neo gothic. Pada menara tua dan tidak terurus itu, terdapat tumbuhan liar
yang memenuhi. Berbagai coretan pun mengotori tembok putihnya.

Menara apakah itu? Kebanyakan orang yang melewati tidak mengetahui apa pun
mengenai menara ini, bahkan menyadari keberadaannya pun tidak.

Sulit untuk mengetahu nama pasti menara ini. Ada yang menyebutnya Menara Jam.
Beberapa pihak menyebutnya sebagai Menara Baron Baud, sesuai dengan nama pemiliknya.
Akan tetapi, masyarakat sekitar menamai bangunan putih itu, Menara Loji.

Menurut artikel mengenai Jatinangor di situs Wikipedia, Menara Loji termasuk ke dalam
objek penting di kawasan pendidikan ini. Menara yang dibangun pada tahun 1800 ini dianggap
penting sebab merupakan bukti sejarah masa pendudukan Belanda di Jatinangor.

Pada masa penjajahan, Jatinangor adalah areal perkebunan pohon karet. Pemilik
perkebunan karet tersebut adalah seorang pria berkebangsaan Jerman, bernama Baron Baud. Ia
bersama perusahaan swasta milik Belanda, pada tahun 1841, mendirikan perkebunan karet yang
luasnya mencapai 962 hektar. Perkebunan ini membentang dari tanah IPDN hingga Gunung
Manglayang.

Untuk mengontrol perkebunannya yang luas, Baron Baud membangun sebuah menara.
Menara ini dilengkapi dengan sebuah lonceng yang terletak di puncak menara dan tangga untuk
sampai ke puncaknya.

Menara Loji memiliki dua fungsi utama. Pertama, untuk mengawasi para penyadap karet
yang ia pekerjakan. Kedua, sebagai penanda waktu kerja para penyadap karet. Pada pukul 05.00,
lonceng dibunyikan, tanda bagi pekerja untuk mulai menyadap karet.
Lonceng kembali berbunyi pada pukul 10.00, sudah saatnya bagi pekerja untuk
mengambil mangkuk-mangkuk yang telah terisi getah karet. Terakhir, lonceng dibunyikan lagi
pada pukul 14.00, para pekerja diperbolehkan pulang.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, tanah perkebunan karet Jatinangor


dinasionalisasikan, dan menjadi milik Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang. Sayangnya,
Pemda tidak melakukan penjagaan yang baik terhadap situs ini. Pada tahun 1980, lonceng
Menara Loji dicuri. Hingga kini, kasus pencurian ini belum terselesaikan.

Pada tahun 1990, area perkebunan dialihfungsikan menjadi kawasan pendidikan dengan
dibangunnya empat perguruan tinggi, yakni IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri), Ikopin
(Institut Koperasi Indonesia), Unpad, dan Unwim.
Inilah sebuah rumah tua antik di pedesaan kota Sumedang dengan desain arsitektur Belanda
masih kokoh berdiri. Padahal usia rumah sudah lebih dari 70 tahun. Waktu saya anak-anak kelas
1 SD, rumah ini sudah ada berdiri kokoh, dan saya sering menginap di rumah ini menemani
seorang kakek pemilik rumah.. sekarang umur saya sudah setengah abad lebih.

Saya tidak tahu persis kapan rumah ini dibangun, yang jelas 3 orang putra kakek pemilik rumah
(semua sudah almarhum) yang 2 diantaranya adalah mantan Rektor UNPAD, yakni Prof.Dr. Didi
Atmadilaga Alm., dan mantan Dekan Fakultas Peternakan IPB dan Dekan Fapoltan IPB, Prof.
Dr. Juju Wahju Alm.dibesarkan di rumah ini.

Rumah ini sudah lebih dari 30 tahun ditinggal kakek pemilik rumah, tapi sampai saat saya
memposting foto rumah, kondisi rumah masih kokoh berdiri di atas lahan seluas 5000 m2.
Rumput di sekeliling rumah tumbuh, sepertinya sudah kurang perawatan oleh pewaris rumah.

Anda mungkin juga menyukai