Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM THYPOID

A. Pengertian

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut

usus halus. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan

manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim

demam tifoid dan demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever,

enteric fever, thyphus dan paratyphus abdominalis (Mansjoer, 2000).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim

dari demam tifoid adalah typhoid fever, enteric fever. Tifoid berasal dari

bahasa Yunani yang berarti smoke, karena terjadinya penguapan panas

tubuh serta gangguan kesadaran disebabkan demam yang tinggi (Dinda,

2008).

Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan

rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin.

Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif,

penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier. Demam Tifoid juga

dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis. Demam tifoid adalah

penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit

kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu

yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit.

Demam tifoid (termasuk paratifoid) disebabkan oleh kuman salmonella


typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B dan salmonella

paratyphi C. Jika penyebabnya adalah salmonella paratyphi, gejalanya lebih

ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh salmonella typhi (Anonim,

2008).

B. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pencernaan

1. Anatomi Sistem Pencernaan

Gambar 1. Anatomi sistim pencernaan (Sherwood, 2001)

Menurut Watson (2002), secara sistematis saluran pencernaan

terdiri dari 2 bagian, yaitu:

a. Saluran pencernaan atas terdiri dari

1) Mulut
Mulut adalah permulaan dari saluran pencernaan yang terdiri atas 2

bagian yaitu bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang

antara gusi, gigi, bibir dan pipi. Sedangkan bagian dalam yaitu

rongga mulut yang dibatasi sisi-sisinya oleh tulang maksilaris dan

semua gigi, dan di sebelah belakang bersambungan dengan awal.

Didalam mulut terdapat saliva dan ludah yang dihasilkan oleh 3

kelenjar yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibularis dan

kelenjar seblingualis. Saliva adalah cairan yang bersifat alkali yang

mengandung misin, enzim pencernaan zat tepung yaitu ptialin dan

sedikit zat padat. Fungsi saliva yaitu ;

a) Kerja fisis membasahi mulut, membersihkan lidah dan

mempermudah saat berbicara.

b) Kerja kimiawi disebabkan oleh amilase ludah, setelah makanan

dicerna dimulut maka makanan tersebut ditelan dengan membentuk

makanan menjadi lobus dan dengan bantuan lidah lidah dan pipi

sera belakang mulut makanan masuk ke dalam faring.

2) Faring

Faring merupakan organ yang berhubungan dengan rongga mulut dan

kerongkongan (esofagus). Didalam lingkungan faring terdapat tonsil

yaitu kumpulan limfa yang mengandung limfosit yang merupakan

pertahanan terhadap infeksi.

3) Esofagus

Esofagus adalah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm, dimulai

dari faring sampai pintu masuk kardiak lambung. Makanan bejalan


dalam esofagus karena gerakan peristaltik. Lingkaran serabut otot di

depan makanan mengendor dan yang di belakang berkontraksi maka

gelombang peristaltik mengantar makanan ke lambung.

4) Gaster (Lambung)

Lambung menerima makanan dari esofagus melalui orifisium kardiak

dan bekerja sebagai penimbun sementara. Kontraksi otot lambung

mencapur makanan dengan getah lambung. Getah ini mengandung 0,4

% HCl yang mengasamkan semua makanan, bekerja sebagai

antiseptikdan desinfektan. Beberapa enzim pencernaan yang terdapat

dalam getah lambung yaitu:

a) Pepsin berfungsi mengubah protein menjadi pepton

b) Renin adalah ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein

dari karsinogen yang dapat larut

c) Lipase berfungsi memecahkan lemak.

b. Saluran pencernaan bagian bawah

1) Usus Halus

Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan makanan yang

berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum yang terdiri dari :

a) Duodenum atau usus 12 jari

Panjangnya kira-kira 25 cm, berbentuk sepatu kuda. Saluran

empedu dan saluran pankreas masuk kedalam duodenum pada

suatu lubang yang disebut ampula hepatopangkreas. Di duodenum

juga terdapat getah pangkreas yang terdiri dari 3 jenis enzim yaitu

enzim amilase, lipase dan tripsin.


b) Yeyenum dan Ileum

Yeyenum menempati 2/5 sebelah atas usus halus, sedangkan ileum

menempati 3/5 akhir.di usus terdapat getah usus (sukus enterikus)

yang terdiri dari beberapa enzim yang menyempurnakan

pencernaan semua makanan yaitu enterokinase, eripsin, intertase

dan laktase. Setelah makanan dicerna seluruhnya kemudian

diabsorbsi dalam usus halus melalui dua saluran yaitu pembuluh

kapiler darah dan saluran limfe di vili.

2) Usus Besar

Usus besar merupakan sambungan dari usus halus yang dimulai dari

katub ikosekal. Fungsi ikosekal adalah untuk mengontrol pasase isi

usus kedalam usus besar dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus

halus. Lapisan usus besar terdiri dari dalam keluar, yaitu selaput

lendir, lapisan otot melingkar, Lapisan otot memanjang, jaringan ikat.

Adapun fungsi dari usus besar yaitu :

a) Absorbsi air, garam dan glukosa

b) Sebagai populasi bakteri

c) Sekresi musin

d) Defekasi

Bagian-bagian dari usus besar yaitu :

a) Sekum

Terletak dibawah iliaka kanan dan menempel di otot iliopsoas.

b) Apendiks verivornis
Bagian usus besar yang muncul seperti corong dari akhir sekum,

mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan

dapat dilewati oleh beberapa isi usus.

c) Kolon Asendens

Terletak disebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke daerah

hati.

d) Kolon Tranversum

Terletak dibawah hati berbelok pada flexura hepatica, lalu berjalan

melalui tepi daerah epigastri dan umbilika.

e) Kolon Desendens

Terletak di bawah limp, membelok sebagai flexura sinistra dan

kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal.

f) Kolon sigmoid

Merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam

rongga pelvis sebelah kiri.

3) Rektum

Merupakan struktur lanjutan dari kolon sigmoid. Panjang rektum

adalah sekitar 12 cm dan berjalan melalui diafragma pelvis menjadi

kanal anus.

4) Anus

Jalan keluar dari sisa makan yang diatur oleh jaringan otot lurik yang

membentuk baik sfinger internal dan eksternal.

2. Fisiologi Sistem Pencernaan


Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan nutrient, air

dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal

tubuh. Manusia menggunakan molekul-molekul organik yang terkandung

dalam makanan dan O2 untuk menghasilkan energi (Sherwood, 2001).

Makanan harus dicerna agar menjadi molekul-molekul sederhana

yang siap diserap dari saluran pencernaan ke dalam sistem sirkulasi untuk

didistribusikan ke dalam sel. Menurut Sherwod (2001), secara umum sistem

pencernaan melakukan empat proses pencernaan dasar, yaitu:

a. Motilitas

Motilitas mengacu pada kontraksi otot yang mencampur dan

mendorong isi saluran pencernaan. Otot polos di saluran pencernaan

terus menerus berkontraksi dengan kekuatan rendah yang disebut tonus.

Terhadap aktivitas tonus yang terus menerus terdapat dua jenis dasar

motilitas pencernaan yaitu :

1) Gerakan propulsif (mendorong) yaitu gerakan memajukan isi saluran

pencernaan ke depan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Kecepatan

propulsif bergantung pada fungsi yang dilaksanakan oleh setiap organ

pencernaan.

2) Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, mencampur

makanan dengan getah pencernaan. Kedua, mempermudah

penyerapan dengan memajankan semua bagian isi usus ke permukaan

penyerapan saluran pencernaan.

b. Sekresi
Sejumlah getah pencernaan disekresikan ke dalam lumen saluran

pencernaan oleh kelenjar-kelenjar eksokrin. Setiap sekresi pencernaan

terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen organik spesifik yang penting

dalam proses pencernaan (misalnya enzim, garam empedu, dan mukus).

Sekresi tersebut dikeluarkan ke dalam lumen saluran pencernaan.

c. Pencernaan

Pencernaan merupakan proses penguraian makanan dari struktur

yang kompleks menjad struktur yang lebih sederhana yang dapat diserap

oleh enzim. Manusia mengonsumsi tiga komponen makanan utama,

yaitu:

1) Karbohidrat

Kebanyakan makanan yang kita makan adalah karbohidrat dalam

bentuk polisakarida, misalnya tepung kanji , daging (glikogen), atau

tumbuhan (selulosa). Bentuk karbohidrat yang paling sederhana

adalah monosakarida seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa.

2) Protein

Protein terdiri dari kombinasi asam amino yang disatukan oleh ikatan

peptida. Protein akan diuraikan menjadi asam amino serta beberapa

polipeptida kecil yang dapat diserap dalam saluran pencernaan.

3) Lemak

Sebagian besar lemak dalam makanan berada dalam bentuk trigelsida.

Produk akhir pencernaan lemak adalah monogliserida dan asam

lemak. Proses pencernaan dilakukan melalui proses hidrolisis


enzimatik. Dengan menambahkan H2O dan enzim akan memutuskan

ikatan tersebut sehingga molekul-molekul kecil menjadi bebas.

d. Penyerapan

Proses penyerapan dilakukan di usus halus. Proses penyerapan

memindahkan molekul-molekul dan vitamin yang dihasilkan setelah

proses pencernaan berhenti dari lumen saluran pencernaan ke dalam

darah atau limfe.

Saluran pencernaan (traktus digestivus) merupakan saluran dengan

panjang sekitar 30 kaki (9 m) yang berjalan melalui bagian tengaj tubuh

menuju ke anus. Pengaturan fungsi saluran pencernaan bersifat kompleks

dan sinergistik. Terdapat empat faktor yang berperan dalam pengaturan

fungsi pencernaan, yaitu:

1) Fungsi otonom otot polos.

2) Pleksus saraf intrinsic.

3) Saraf ekstrinsik.

4) Hormon saluran pencernaan.

Proses pencernaan dimulai ketika makanan masuk ke dalam organ

pencernaan dan berakhir sampai sisa-sisa zat makanan dikeluarkan dari

organ pencernaan melalui proses defekasi.

a. Pencernaan Oral

Makanan masuk melalui rongga oral (mulut). Langkah awal adalah

proses mestikasi (mengunyah). Terjadi proses pemotongan, perobekan,

penggilingan, dan pencampuran makanan yang dilakukan oleh gigi.


Tujuan mengunyah adalah menggiling dan memecah makanan,

mencampur makanan dengan air liur, dan merangsang papil pengecap.

Ketika merangsang papil pengecap maka akan menimbulkan

sensasi rasa dan secara refleks akan memicu sekresi saliva. Di dalam

saliva terkandung protein air liur seperti amilase, mukus, dan lisozim.

Fungsi saliva dalam proses pencernaan adalah:

1) Memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja enzim

amilase.

2) Mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel-partikel

makanan dengan adanya mukus sebagai pelumas.

3) Memiliki efek antibakteri oleh lisozim.

4) Pelarut untuk molekul-molekul yang merangsang pupil pengecap.

5) Penyangga bikarbonat di air liur menetralkan asam di makanan serta

asam bakteri di mulut sehingga membantu mencegah karies.

b. Menelan

Selanjutnya adalah proses deglutition (menelan). Menelan dimulai

ketika bolus di dorong oleh lidah menuju faring. Tekanan bolus di faring

merangsang reseptor tekanan yang kemudian mengirim impuls aferen ke

pusat menelan di medula. Pusat menelan secara refleks akan

mengaktifkan otot-otot yang berperan dalam proses menelan. Tahap

menelan dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Tahap orofaring: berlangsung sekitar satu detik. Pada tahap ini

bolusdiarahkan ke dalam esofagus dan dicegah untuk masuk ke

saluran lain yang berhubungan dengan faring.


2) Tahap esofagus: pada tahap ini, pusat menelan memulai gerakan

peristaltik primer yang mendorong bolus menuju lambung.

Gelombang peristaltik berlangsung sekitar 5-9 detik untuk mencapai

ujung esophagus.

c. Kerja Lambung

Selanjutnya, makanan akan mengalami pencernaan di lambung. Di

lambung terjadi proses motilita. Terdapat empat aspek proses motilitas di

lambung, yaitu:

1) Pengisian lambung (gastric filling): volume lambung kosong adalah

50 ml sedangkan lambung dapat mengembang hingga kapasitasnya 1

liter

2) Penyimpanan lambung (gastric storage): pada bagian fundus dan

korpus lambung, makanan yang masuk tersimpan relatif tenang tanpa

adanya pencampuran. Makanan secara bertahap akan disalurkan dari

korpus ke antrum.

3) Pencampuran lambung (gastric mixing): kontraksi peristaltik yang

kuat merupakan penyebab makanan bercampur dengan sekresi

lambung dan menghasilkan kimus. Dengan gerakan retropulsi

menyebankan kimus bercampur dengan rata di antrum. Gelombang

peristaltik di antrum akan mendorong kimus menuju sfingter pilorus.

4) Pengosongan lambung (gastric emptying): kontraksi peristaltik antrum

menyebabkan juga gaya pendorong untuk mengosongkan lambung.

Selain melaksanakan proses motilitas, lambung juga mensekresi

getah lambung. Beberapa sekret lambung diantaranya:


1) Sel-sel partikel secara aktif mengeluarkan HCL ke dalam lumen

lambung. Fungsi HCL dalam proses pencernaan adalah :

a) Mengaktifkan prekusor enzim pepsinogen menjadi pepsin dan

membentuk lingkungan asam untuk aktivitas pepsin.

b) Membantu penguraian serat otot dan jaringan ikat.

c) Bersama dengan lisozim bertugas mematikan mikroorganisme

dalam makanan.

2) Pepsinogen: pada saat di ekresikan ke dalam lambiung, pepsinogen

mengalami penguraian oleh HCL menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin

berfungsi dalam pencernaan protein untuk menghasilkan fragmen-

fragmen peptida. Karena fungsinya memecah protein, maka peptin

dalam lambung harus disimpan dan disekresikan dalam bentuk inaktif

(pepsinogen) agar tidak mencerna sendiri sel-sel tempat ia terbentuk.

3) Sekresi mukus: mukus berfungsi sebagai sawar protektif untuk

mengatasi beberapa cedera pada mukosa lambung.

4) Sekresi Gastrin: di daerah kelenjar pilorus (PGA) lambung terdapat

sel G yang mensekresikan gastrin. Aliran sekresi getah lambung akan

dihentikan bertahap seiring dengan mengalirnya makanan ke dalam

usus. Di dalam lambung telah terjadi pencernaan karbohidrat dan

mulai tejadi pencernaan protein. Makanan tidak diserap di lambung.

Zat yang diserap di lambung adalah etil alkohol dan aspirin.

d. Kerja usus halus


Makanan selanjutnya memasuki usus halus. Usus halus merupakan

tempat berlangsungnya pencernaan dan penyerapan. Usus halus di bagi

menjadi tiga segmen, yaitu:

1) Duodenum (20 cm/ 8 inci): pencernaan di lumen duodenum di bantu

oleh enzim-enzim pankreas. Garam-garam empedu mempermudah

pencernaan dan penyerapan lemak.

2) Jejenum (2,5 m/ 8 kaki)

3) Ileum (3,6 m/12 kaki)

Proses motalitas yang terjadi di dalam usus halus mencakup

Segmentasi yang merupakan proses mencampur dan mendorong secara

perlahan kimus. Kontraksi segmental mendorong kimus ke depan dan ke

belakang. Kimus akan berjalan ke depan karena frekuensi segmentasi

berkurang seiring dengan panjang usus halus. Kecepatan segmentasi di

duodenum adalah 12 kontraksi/menit, sedangkan kecepatan segmentasi

di ileum adalah 9 kontraksi/menit. Segmentasi lebih sering terjadi di

bagian awal usus halus daripada di bagian akhir, maka lebih banyak

kimus yang terdorong ke depan daripada ke belakang. Akibatnya, kimus

secara perlahan bergerak maju ke bagian belakang usus halus dan selama

proses ini kimus mengalami proses maju mundur sehingga terjadi

pencampuran dan penyerapan yang optimal.

e. Kerja Kolon

Dalam empat jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum

terminalis dan dengan perlahan melewati bagian proximal kolon

sepanjang saluran. Transport lambat ini memungkinkan reabsorbsi efisien


terhadap air dan elektrolit. Materi sisa dari makanan mencapai dan

mengembangkan anus, biasanya kira-kira 12 jam.

f. Defekasi

Bila terjadi pergerakan massa ke rektum, kontraksi rektum dan

relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan

massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari

sfingter ani interni dan sfingter ani eksternus. Keinginan berdefekasi

muncul pertama kali saat tekanan rektum mencapai 18 mmHg dan

apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus

melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah

refleks intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dinding rektum).

Ketika feses masuk rektum, distensi dinding rektum menimbulkan

sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan

gelombang peristaltik dalam kolon descendens, sigmoid, rektum,

mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati

anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus

mienterikus dan dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter

sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rektum

terenggang.

Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai

relfeks defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi

parasimpatis. Bila ujung saraf dalam rektum terangsang, sinyal akan

dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke

kolon descendens, sigmoid, rektum, dan anus melalui serabut


parasimpatis pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat

gelombang peristaltik dan merelaksasi sfingter ani internus, mengubah

refleks defekasi intrinsik menjadi proses defekasi kuat. Sinyal defekasi

masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil

napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen

mendorong isi feses dari kolon turun ke bawah dan saat bersamaan dasar

pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus mengeluarkan

feses (Guyton, 2008).

C. Etiologi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah salmonella typhi,

salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B dan salmonella paratyphi C

(Widodo, 2009).
D. Patofisiologi

Kuman salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui mulut dengan

makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam

lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid

plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman

salmonella typhi kemudian menembus ke lamina propina, masuk aliran limfe

dan mencapai kelenjar limfe messenterial yang juga mengalami hipertropi.

Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella typhi masuk kealiran

darah melalui duktus thoracicus. Kuman-kuman salmonella typhi lain

mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi bersarang di

plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotial

(Admin, 2008).

Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid

disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-

eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab

utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin

Salmonella typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu

terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan setempat Salmonella typhi

berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena Salmonella typhi dan

endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit

pada jaringan yang meradang (Admin, 2008).


E. Epidemiologi

Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit

ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6

tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan

penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang,

sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam

undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum

ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti

(Ashkenazi, 2002).

Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi

lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang

menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber

penularannya biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan

salmonella thypi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering

carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman pergram

tinja (Dinda, 2008).

Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan

yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di

daerah nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan

masih terus mengekskresi salmonella thypi dalam tinja dan air kemih selama

lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk

terjadinya carrier. Kuman-kuman salmonella thypi berada didalam batu

empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat,

akibat radang menahun (Dinda, 2008).


F. Manifestasi Klinik

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala yang

timbul sangat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,

tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran

penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai

gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini

menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah berpengalaman pun mengalami

kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam tifoid (Dinda, 2008).

Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit akut pada umumnya. Yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut,

batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya dijumpai suhu badan

meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa

demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung

merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan

mental berupa samnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang

ditemukan pada orang Indonesia (Widodo, 2009).

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah tepi

Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas,

terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum

dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia

dengan jumlah lekosit antara 3000 4000 /mm3 ditemukan pada fase

demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin.


Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia

terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis

umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju

endap darah meningkat.

2. Pemeriksaan urine

Didapatkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan

peningkatan lekosit dalam urine.

3. Pemeriksaan tinja

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya

perdarahan usus dan perforasi.

4. Pemeriksaan bakteriologis

Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella

typhi dan biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.

5. Pemeriksaan serologis

Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ).

Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella

adalah antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih

pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif

(lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian

menunjukkan diagnosa positif dari infeksi salmonella typhi.

6. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi

akibat demam tifoid.


H. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :

1. Komplikasi intestinal :

a. Perdarahan usus

b. Perforasi usus

c. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstra-intestinal :

a. Komplikasi kardiovaskular :

Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan

tromboflebitis.

b. Komplikasi darah :

Anemia hemolitik, trombositopenia dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru :

Pneumonia, empiema dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu :

Hepatitis dan kolesistisis.

e. Komplikasi ginjal :

Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang :

Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artitis.

g. Komplikasi neuropsikatrik :

Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, SGB, psikosis

dan sindrom katatonia.


Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang

terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan

umum terutama bila perawatan pasien kurang sempurna (Ramadoni, 2008).

I. Penatalaksanaan

Pengobatan demam tifoid terdiri atas tiga bagian yaitu perawatan, diet

dan obat-obatan.

1. Perawatan

Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk

isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai

minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi

pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan

pasien.

Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus

diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi

pneumonia hipostatik dan dekubitus.

Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang

terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

2. Diet

Dimasa lampau, pasien dengan demam tifoid diberi bubur saring,

kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan

pasien. Karena usus perlu diistirahatkan.

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini

dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah :

a. Kloramfenikol

b. Thiamfenikol

c. Ko-trimoksazol

d. Ampisillin dan Amoksisilin

e. Sefalosporin generasi ketiga

f. Fluorokinolon.

Obat-obat simptomatik :

a. Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin).

b. Kortikosteroid (tapering off Selama 5 hari).

c. Vitamin B komp. Dan C sangat diperlukan untuk menjaga kesegaran

dan kekuatan badan serta berperan dalam kestabilan pembuluh darah

kapiler.
J. Fokus Pengkajian

Dasar data atau data fokus pengkajian klien dengan demam thypoid

antara lain :

1. Pengumpulan Data

a. Wawancara

1) Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,

agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor

register dan diagnosa medik.

2) Keluhan utama

Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak

turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia,

diare serta penurunan kesadaran.

3) Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella

typhi ke dalam tubuh.

4) Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.

5) Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

6) Riwayat psikososial dan spiritual

Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang

digunakan. Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring

total dan lemah.


7) Pola-pola fungsi kesehatan

a) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual

dan muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan

tidak makan sama sekali, penurunan berat badan, tidak toleran

terhadap diet/sensitive misalnya buah segar/sayur, produk susu,

makanan berlemak. Penurunan lemak subkutan/massa otot,

kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa

pucat, luka, inflamasi rongga mulut.

b) Pola eliminasi

Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh

karena tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak

mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning

kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu

tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus,

sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.

c) Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien terganggu karena harus tirah baring total,

agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan dibantu.

Pembatasan aktivitas kerja sampai dengan efek proses penyakit.

d) Pola kenyamanan (nyeri)

Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang

dengan defakasi). Titik nyeri berpindah, nyeri tekan, nyeri mata,

foofobia.
e) Pola aktifitas, tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan

suhu tubuh, kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah.

Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare, merasa gelisah

dan ansietas.

f) Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya

dan ketakutan merupakan dampak psikologi klien.

g) Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan

penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak

terdapat suatu waham pad klien.

h) Pola hubungan dan peran

Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di

rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.

i) Pola reproduksi dan seksual

Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah

karena harus dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum

menikah tidak mengalami gangguan.

j) Pola penanggulangan stress

Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena

keadaan sakitnya.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan

Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest

total dan tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang

dideritanya saat ini.

b. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38-

410 C, muka kemerahan.

2) Tingkat kesadaran

Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

3) Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan

gambaran seperti bronchitis.

4) Sistem kardiovaskuler

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin

rendah, takhikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses

imflamasi dan nyeri). Kemerahan, area ekimosis (kekurangan

vitamin K). Hipotensi termasuk postural.

5) Sistem integumen

Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut

agak kusam. Kulit dan membran mukosa seperti turgor buruk,

kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).

6) Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.


7) Sistem gastrointestinal

Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas),

mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa

tidak enak, peristaltik usus meningkat.

8) Sistem abdomen

Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi

lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan

perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan darah tepi

Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas,

terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam

sumsum dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah.

Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000-4000 /mm 3

ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran

lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari

darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada

minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat

akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat.

2) Pemeriksaan urine

Didaparkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan

peningkatan lekosit dalam urine.

3) Pemeriksaan tinja

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya


perdarahan usus dan perforasi.

4) Pemeriksaan bakteriologis

Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan

biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.

5) Pemeriksaan serologis

Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ).

Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman

salmonella adalah antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O

adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi

peningkatan titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada

pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan

diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi.

6) Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau

komplikasi akibat demam tifoid.

Anda mungkin juga menyukai