Anda di halaman 1dari 28

REFLEKSI KASUS

ENSEFALOPATI HEPATIKUM
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan
Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga

Disusun oleh :
Desyta Peronica
20120310140

Dokter pembimbing :
dr. Rastri Mahardika, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD SALATIGA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, refleksi kasus dengan judul

Ensefalopati Hepatikum

Disusun oleh :
Nama: Desyta Peronica
NIM: 20120310140

Disahkan oleh :
Dokter Pembimbing,

dr. Rastri Mahardika, Sp. PD


BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Tn. J

Usia : 71 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Krajan, Bringin

Status perkawinan : Menikah

Masuk RS : 26 Mei 2017

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan penurunan kesadaran sejak tadi siang (hari yang sama saat

masuk rumah sakit). Sebelum mengalami penurunan kesadaran. Pada pagi harinya

pasien mengeluhkan nyeri ulu hati dan sesak nafas. Sejak 1 hari sebelum masuk

rumah sakit pasien sulit diajak berkomunikasi. Keluarga pasien juga mengatakan

pasien demam sejak 2 hari dan akhir-akhir ini sulit tidur pada malam hari. pada

pasien juga dikeluhkan oleh keluarga pipis nya berwarna coklat. Tidak didapatkan

mual dan muntah pada pasien. Pasien baru pulang dirawat dirumah sakit seminggu

yang lalu dengan hepatitis B dan gambaran USG yang menunjukkan sirosis hepatis.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mempunnyai riwayat mondok di rumah sakit karena nyeri ulu hati dan

pulang pada tanggal 16 Mei 2017.

Riwayat Penyakit Keluarga

Didapatkan riwayat penyakit keluarga pasien ada yang pernah sakit hepatitis B.

Riwayat darah tinggi, penyakit gula, serta kematian mendadak pada anggota

keluarga disangkal.

Riwayat Personal Sosial

Pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien mempunyai kebiasaan minum obat

warung jika demam dan tidak enak badan. Pada pasien tidak didapatkan kebiasaan

merokok dan minum alkohol.

Anamnesis Sistem:

Kepala/Leher : Tidak ada keluhan

THT : Tidak ada keluhan

Respirasi : Sesak nafas

Kardiovaskular : Tidak ada keluhan

Gastrointestinal : Nyeri ulu hati

Urogenital : Pipis berwarna coklat

Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan

Integumentum : Tidak ada keluhan


III. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT PASIEN

1. S (Subjektif)

Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan penurunan kesadaran. Sebelum

mengalami penurunan kesadaran. Pada pagi harinya pasien mengeluhkan nyeri ulu

hati dan sesak nafas. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien sulit diajak

berkomunikasi. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 2 hari. Pada pasien juga

dikeluhkan oleh keluarga pipis nya berwarna coklat.

2. O (Objektif)

a. Kesan Umum : pasien tidak sadar

b. Kesadaran : Semi koma (E1V1M2)

c. Vital Sign

-Tekanan darah : 140/90 mmHg

-Nadi : 77x/menit

-Frekuensi napas : 23x/menit

-Suhu : 38,10C

d. Kepala dan Leher

-Conjungtiva anemis : (-/-)

-Sklera ikterik : (+/+)

-Pupil : (2/2)

-Pembesaran limfonodi : (-)

-JVP : meningkat

e. Thorax
A. Paru-paru :

Inspeksi : Bentuk dada simetris. Tidak didapatkan jejas

Palpasi : Vocal Fremitus (tidak dapat dilakukan). Sela iga melebar (-/-)

Perkusi : Redup(-/-) , Sonor (+/+)

Auskultasi : Suara nafas paru vesikuler (+/+), wheezing (-/-)

B. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba kuat angkat

Perkusi : Batas atas jantung pada SIC 2 linea parasternalis sinistra,


batas kanan jantung pada SIC 4 linea parasternalis kanan, batas kiri atas
jantung pada SIC 2 linea parasternalis kiri, dan kiri bawah setinggi SIC 4
linea midclavicula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-/-), gallop (-/-)

f. Abdomen

Inspeksi :

Tak tampak jejas dilapang perut

Lapang perut simetris, datar

Auskultasi :

Bising usus (+)

Perkusi :

Suara timpani pada lapang perut

Batas hepar kanan >12cm dan hepar kiri >8cm

Palpasi :

Supel
Undulasi test (+)

Hepar teraba 3 jari di bawah arcus costa, keras dan ujung tumpul

Lien teraba 4 jari di bawah arcus costa

Ekstremitas

Akral hangat : +/+

CRT : < 2 detik

Udem pitting: (-)

g. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Lekosit 12.10 4.5-11
Eritrosit 5.07 4.5-6.5
Hemoglobin 15.7 13.0-18.0
Hematokrit 44.9 40-54
Trombosit 177 150-450
MCV 88.6 80-100
MCH 31.0 26-34
MCHC 35.0 30-35
HITUNG JENIS
Eosinofil% 0.4 1-6
Basofil% 0.3 0.0-1.0
Limfosit% 8.8 20-45
Monosit% 4.2 2-8
Neutrofil% 86.3 40-75
KIMIA
Glukosa Darah Sewaktu 121 <140
Ureum 67 10-50
Creatinin 1.9 1.0-1.3
SGOT 186 <37
3. SGPT 177 <42
4. Albumin 3.5 3.5-4.2
5. ELEKTROLIT
6.
Natrium 138 135-155
Kalium 2.7 3.6-5.5
Chlorida 101 95-108
Kalsium 8.0 8.4-10.5
Magnesium 2.2 1.70-2.5

ELEKTROCARDIOGRAFI

Interpretasi EKG :

Irama : Sinus

Frekuensi : 75x/menit

Axis : Normo axis


Morfologi gelombang ECG : Gambaran T-Inverted di V1-V5. P Pulmonal lead II, III
dan aVF

3. A (Assesment)

- Sirosis Hepatis
- Ensefalopati Hepatikum
- Ischemic Heart Disease (Ischemic pada anteroseptal)
Diagnosis Banding
- Hepatoma
- Pulmonary Hypertension

4. P (Planning)

Farmakologis Non-Farmakologis

IGD - Pasang NGT diet hepatosol


- Inf D5% 20 tpm - Pasang DC
- Inj. Omeprazole 2x1 amp - Observasi diruang High Care Unit
- Inj. Citicolin 2x500 mg - Pemeriksaan laboratorium (Darah
rutin, elektrolit, albumin)

Ruangan (HCU)
- Inf. D5% 20 tpm + drip comafusin 2 Usul Pemeriksaan
amp - Cek urin rutin
- Tes EEG
- Inj. Cefotaxim 2x1 amp
- USG Abdomen
- Inj. Omeprazole 2x1 amp - Edukasi keluarga pasien
- UDCA 2x250mg (PO)
- Pralax syr 3xC1 (PO)
- Spironolacton 1x100 mg (PO)
- Nitrocaf 2x1 (PO)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI HEPAR
Hati (hepar) merupakan organ terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar 1500
gram. Letaknya dikuadaran kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan terlindungi
oleh tulang rusuk (costae). Hati dibagi menjadi 4 lobus dan setiap lobus hati
terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri
dan membagi massa hati menjadi unit-unit kecil, yang disebut lobulus.Sirkulasi darah ke
dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi hati. Hati menerima
suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda. Sebagian besar suplai darah datang dari
vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan zat-zat gizi dari traktus gastrointestinal.
Bagian lain suplai darah tersebut masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika dan banyak
mengandung oksigen. Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang
disebut sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh
campuran darah vena dan arterial. Dari sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di
setiap lobulus, dan dari semua lobulus ke vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan
isinya ke dalam vena kava inferior. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah
masuk ke dalam hati dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya.

Disamping hepatosit, sel-sel fagositosis yang termasuk dalam sistem


retikuloendotelial juga terdapat dalam hati. Organ lain yang mengandung sel-sel
retikuloendotelial adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe dan paru-paru. Dalam
hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer. Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda
partikel (seperti bakteri) yang masuk ke dalam hati lewat darah portal.

B. FISIOLOGI HEPAR

Hepar merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh dan merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20-25% oksigen darah. Adapun beberapa
fungsi hepar yaitu :
1. Metabolisme Karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein saling
berkaitan satu sama lain. Hepar mengubah pentosa dan hektosa yang diserap dari usus
halus menjadi glikogen yang disebut glikogenesis. Glikogen kemudian ditimbun di hepar,
kemudian hepar akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses ini disebut
glikogenolisis. Karena proses inilah, hepar merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh,
yang selanjutnya hepar akan mengubah glukosa menjadi hektosa monophosphat shunt dan
terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai banyak tujuan : Menghasilkan
energi, biosintesis dan nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/biosistesis
senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvat acid (asam piruvat yang diperlukan dalam siklus
krebs).

2. Metabolisme Lemak
Hepar tidak hanya membentuk/mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
a. Senyawa 4 karbon Keton Bodies
b. Senya 2 karbon Active Acetate (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)
c. Pembentuk kolesterol
d. Pembentuk dan pemecah fosfolipid

Hepar merupakan pembentuk utama, sintesis, esterefikasi dan ekskresi kolesterol


dimana serum kolesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid.

3. Metabolisme Protein
Hepar mensintesis banyak macam protein dari asam amino, dengan proses deaminasi.
Hepar juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino dengan proses transaminasi.
Selain itu, hepar juga memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen.
Hepar merupakan satu-satunya organ yang membentuk plasma albumin, globulin dan
merupakan organ utama dalam produksi urea. Urea merupakan produk akhir dari
metabolisme protein. Globulin selain dibentuk di hati juga dibentuk di limpa dan sumsum
tulang. Albumin mengandung 584 asam amino.
4. Pembentukan Darah
Hepar merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya : membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, dan X.
Jika terdapat benda asing yang menusuk dan mengenai pembuluh darah maka yang
bereaksi adalah faktor ekstrinsik, apabila ada hubungannya dengan katub jantung yang
bereaksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus isomer agar kuat pembekuannya dan
ditambah dengan faktor XIII, sedangkan Vitamin K dibutuhkan untuk pembentukan
protrombin dan beberapa faktor koagulasi.

5. Metabolisme Vitamin
Semua vitamin disimpan didalam hepar khususnya vitamin A, D, E, dan K

6. Detoksikasi
Hepar merupakan tempat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi, dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan
seperti zat racun dan obat-obatan.
7. Fagositosis dan Imunitas
Sel Kupffer merupakan saringan penting bakteri, pigmen, dan berbagai bahan proses
fagositosis. Selain itu, sel kupffer juga ikut memproduksi globulin sebagai immune livers
mechamism.
8. Hemodinamik
Hepar menerima 25% dari cardiaca output, aliran darah hepar yang normal 1500
cc/ menit atau 1000-1800 cc/ menit. Daerah yang mengalir di dalam arteri hepatika 25%
dan di dalam vena porta 75% dari seluruh aliran darah ke hepar.
Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh pernapasan dan
hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu berolah raga, terpapar terik matahari, dan
syok. Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.
ENSEFALOPATI HEPATIKUM

A. DEFINISI

Ensefalopati hepatik (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan


oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsik hepar. Pasien EH
sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga
koma dalam.

EH adalah sebuah gangguan pada sistem saraf pusat sebagai akibat insufisiensi
hepar, setelah menyingkirkan penyebab lain, seperti metabolik, infeksi, vaskular
intrakranial, atau space-occupying lesions. EH merupakan suatu sindrom atau spektrum
abnormalitas neuropsikiatri pada pasien dengan disfungsi hepar, setelah menyingkirkan
penyakit otak lainnya. EH ditandai dengan perubahan personalitas, gangguan intelektual,
dan penurunan tingkat kesadaran. EH juga terjadi pada pasien tanpa sirosis dengan shunt
portosistemik spontan atau dibuat dengan bedah.

B. ETIOLOGI
a. Penyakit hati menahun dengan kolateral portal-sistemik yang ekstensif, diit protein
yang berlebihan, aktivitas bakteri usus yang berlebihan.
b. Sirosis hati dengan atau tanpa komplikasi
c. Hepatoma (karsinoma hepatoseluler)
Koma hepatikum tipe kronik dapat timbul pada sirosis hepatis tahap terminal atau
akibat faktor pencetus seperti ; diuresis yang berlebihan, perdarahan, parasentesis cairan
asites, diare dan muntah berlebihan, pembedahan, terlalu banyak minum alkohol, pemberian
sendatif, infeksi dan konstipasi.

C. PATOGENESIS
Beberapa substansi neurotoksin mempengaruhi morfologi astrosit yang berperan
dalam menjaga blood-brain barrier (BBB), keseimbangan elektrolit, penyediaan nutrisi,
prekursor neurotransmitter, dan detoksifikasi beberapa zat kimia, termasuk amonia. Keadaan
ensefalopati hepatikum adalah hasil akhir dari akumulasi substansi neurotoksik di dalam otak.
Beberapa teori yang menjadi dasar berkembangnya ensefalopati hepatikum adalah sebagai
berikut:
1. Hipotesis Amonia4
Amonia terutama diproduksi di kolon sebagai hasil metabolisme protein dan
urea oleh bakteri dan digunakan dalam konversi glutamat menjadi glutamin oleh
enzim glutamin sintetase. Otot dan ginjal juga memproduksi amonia, namun tidak
bermakna jika dibandingkan dengan saluran cerna. Secara normal, amonia akan
didetoksifikasi hati (hepatosit periportal) dengan mengubahnya menjadi urea. Pada
sirosis, massa hepatosit berkurang sehingga menurunkan kemungkinkan detoksifikasi
amonia. Kemudian terjadi pirau portosistemik yang mengalihkan aliran darah dari hati
yang mengandung amonia ke sirkulasi sistemik.
Normalnya sel otot skeletal tidak memiliki enzim siklus urea, namun memiliki
glutamin sintetase. Aktivitas enzim glutamin sintetase meningkat pada sirosis
dengan pirau portosistemik. Namun, muscle wasting yang sering ditemukan
pada pasien sirosis menurunkan kapasitas enzim tersebut.
Ginjal, memiliki glutaminase yang berperan dalam produksi amonia. Namun
ginjal memiliki glutamin sintetase sehingga berperan juga dalam metabolisme
dan ekskresi amonia.
Astrosit juga memiliki glutamin sintetase. Namun pada keadaan
hiperamonemia, astrosit tidak dapat meningkatkan aktivitas glutamin sintetase
karena tingginya amonia. Kadar amonia yang tinggi menginduksi
pembengkakan astrosit karena terjadi ketidakseimbangan osmotik, yang
menyebabkan edema serebral dan hipertensi intrakranial.
Amonia memiliki berbagai efek toksik, antara lain:
Mengganggu transit asam amino, air, dan elektrolit yang melewati astrosit dan
neuron,
Merusak metabolisme asam amino dan penggunaan energi di otak,
Menghambat produksi potensi postsinaptik ekstasi dan inhibisi.
Meskipun demikian terhadap sekitar 10% pasien ensefalopati dengan kadar
amonia serum normal.
Peningkatan pembentukan amonia dapat terjadi akibat tingginya asupan
protein, konstipasi, perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, atau hipokalemia.
Dehidrasi, hipotensi arteri, hipoksemia, serta anemia dapat menimbulkan hipoksia
hepatik, sehingga kemampuan detoksifi kasi hati berkurang, dan akibatnya kadar
amonia meningkat. Progresivitas penyakit hati dan degenerasi hepatoma
mengakibatkan penurunan fungsi cadangan hati, sehingga kemampuan metabolisme
toksin oleh hati ikut ber kurang. Pada sirosis hati, sering terjadi perlambatan transit
makanan di saluran cerna, sehingga paparan dengan bakteri usus terjadi lebih lama,
mengakibatkan produksi amonia meningkat.
Norenberg (2006) mengajukan teori patogenesis EH yang melibatkan reseptor
benzodiazepine perifer (PBR/Peripheral Benzodiazepine Receptor) dan neurosteroid.
Dikemukakan bahwa amonia adalah toksin utama pada EH dan astrosit adalah target
utama. Peningkatan amonia mengakibatkan peningkatan jumlah reseptor PBR,
termasuk pada astrosit. PBR kemudian meningkatkan produksi radikal bebas
(ROS/Reactive Oxygen Species). Radikal bebas ini menimbulkan stres oksidatif pada
mitokondria, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria ini ke
mudian mengakibatkan disfungsi astrosit.4,10

Lemberg (2009) mengajukan teori patofisiologi EH yang melibatkan amonia,


glutamin, glutamat, dan stres oksidatif. Metabolisme amonia di otak terjadi melalui
glutamin sintetase yang ada di astrosit. Glutamin sintetase mengubah amonia dan
glutamat menjadi glutamin. Glutamin bersifat osmotik aktif, sehingga peningkatan
glutamin menyebabkan air masuk ke astrosit dan terjadi edema.4
Peningkatan amonia menimbulkan deplesi glutamat otak, padahal glutamat
adalah neurotransmiter eksitatori utama di otak. Hiperamonemia juga menimbulkan
stres oksidatif di mitokondria. Stres oksidatif ini mengaktifkan nuclear factor kappa
B, yang kemudian mengaktifkan iNOS (inducible nitric oxide synthase), lalu
menghasilkan nitric oxide, yang akhirnya menyebabkan disfungsi astrosit.

2. Hipotesis GABA
GABA merupakan neurotransmitter inhibitor yang diproduksi saluran cerna. Sekitar
25-45% neuron sistem saraf pusat (SSP) merupakan neuron GABA-ergik. Pada sirosis,
terdapat peningkatan kadar GABA dan benzodiazepin endogen di dalam plasma yang
kemudian melewati BBB.

Penelitian menunjukkan bahwa neurotoksin seperti amonia dan mangan dapat


meningkatkan produksi reseptor benzodiazepin perifer pada astrosit, yang kemuian
menghasilkan neurosteroid. Neurosteroid tersebut dapat berikatan ke kompleks
reseptor GABA sehingga meningkatkan neurotransmisi inhibisi.

3. Hasil Produk Bakteri dan Infeksi Bakteri


Sekitar 10% pasien ensefalopati hepatikum memiliki kadar amonia darah yang
normal. Pasien dengan kadar amonia yang tinggi tidak selalu mengalami ensefalopati.
Diduga beberapa produk bakteri, seperti merkaptan dan fenol (hasil metabolisme
asam amino), bersifat neurotoksik pada ensefalopati hepatikum. Pada penyakit hati
kronis, didapatkan peningkatan kadar fenol dan merkaptan. Kedua senyawa tersebut
diproduksi di usus halus dan dan diabsorbsi melalui aliran vena portal. Toksin
tersebut tidak dapat dikatabolisme karena hati telah mengalami kerusakan, sehingga
akhirnya masuk ke dalam pirau portosistemik. Toksin kemudian menembus sawar
darah otak dan menyebabkan gangguan fungsi serebral. Perdarahan gastrointestinal
dapat meningkatkan absorpsi toksin.

D. FAKTOR PENCETUS
Pada pasien sirosis, ensefalopati sering dicetuskan oleh keberadaan kondisi medis
lainnya, seperti:1,8
1. Gagal ginjal Mengurangi laju ekskresi urea, amonia, ataupun komponen nitrogen
lainnya.
2. Perdarahan saluran cerna Meningkatkan jumlah nitrogen dan amonia yang dapat
diabsorbsi di usus. Perdarahan juga menjadi faktor predisposisi hipoperfusi ginjal dan
gangguan fungsi ginjal.
3. Transfusi darah dapat menyebabkan hemolisis ringan dengan peningkatan kadar
amonia.
4. Konstipasi Meningkatkan absorbsi dan prouksi amonia.
5. Infeksi Faktor predisposisi gangguan ginjal dan meningkatkan katabolisme jaringan.
Pada pasien dengan asites, cairan harus dikeluarkan untuk menghilangkan
kemungkinan infeksi.
6. Obat-obatan dapat beraksi di sistem saraf pusat seperti opiat, benzodiazepin,
antidepresan, dan antipsikotik.
7. Hipokalemia Biasanya akibat penggunan diuretik. Hipokalemia memicu alkalosis,
yang mencetuskan perubahan NH4+ menjai NH3 (amonia).
8. Diet tinggi protein.
9. Keadaan lain seperti trombosis vena porta, hipoksia atau gangguan elektrolit.

E. GEJALA DAN TANDA

Pada pasien dengan gagal hati akut, dapat terjadi perubahan mental dalam hitungan
minggu hingga bulan. Pada ensefalopati berat dapat terjadi edema otak pada substansia abu
dan mengakibatkan hernia serebral.
Penilaian beratnya EH, antara lain menggunakan klasifikasi status mental berdasarkan
kriteria West Haven modifi kasi oleh Conn dan Bircher 1994.
Berdasarkan klasifikasi West-Haven, ensefalopati hepatikum dapat dikategorikan
dalam berbagai tingkatan sebagai berikut:6

1. Derajat 0 Minimal atau subklinis. Susah ditemukan perubahan perilaku. Perubahan


minimal dalam ingatan, konsentrasi, fungsi intelektual dan koordinasi. Tidak
ditemukan asteriksis.
2. Derajat 1 Kemampuan mempertahankan konsentrasi memendek. Hipersomnia,
insomnia ataupun perubahan dalam pola tidur. Euforia, depresi, atau gampang
teriritasi. Kebingungan ringan. Kemampuan melakukan tugas mental melambat.
Dapat ditemukan asteriksis.
3. Derajat 2 Letargi atau apatis. Disorientasi (khususnya orientasi waktu), perilaku
tidak sesuai, berbicara cadel, asteriksis jelas. Tampak mengantuk, letargi, kesulitan
mengerjakan pekerjaan mental, dan perubahan perilaku yang jelas.
4. Derajat 3 Somnolen namun masih dapat dibangunkan, tidak dapat mengerjakan
tugas mental, disorientasi tempat dan waktu, kebingungan yang jelas, amnesia, dan
bicara tidak komprehensif.
5. Derajat 4 Koma dengan atau tanpa respon terhadap stimulus nyeri.

Pada pasien dengan ensefalopati biasanya ditemukan asteriksis, yakni liver flap yang
muncul pergerakan maju tiba-tiba dari pergelangan tangan setelah dilakukan ekstensi.
Diagnosis membutuhkan pengalaman yang menyatukan berbagai gambaran klinis.
Ensefalopati hepatik derajat mild, yang juga disebut ensefalopati hepatik minimal
(EHM), adalah keadaan klinis di mana tidak terdapat tanda gangguan mental, namun pada tes
psikometrik sudah ditemukan kelainan. EHM penting karena mengurangi kualitas hidup, dan
merupakan risiko nyata EH.9

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS3,6
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang terjadi pada 30-45%
pasien sirosis.
Diagnosis SH sendiri ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis standar yang
dikeluarkan oleh International Hepatology Informatics Group (1994), yaitu secara klinis
didapatkan tanda-tanda SH seperti adanya varises esofagus, splenomegali (dan atau
perubahan darah tepi yang sesuai dengan hipersplenisme), asites, muscle wasting, perubahan
dermovaskuler seperti spider angioma, pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan tanda
yang menyokong sirosis seperti adanya nodulasi pada parenkim hati, asites, splenomegali,
atau perubahan vaskuler akibat sirosis. Derajat beratnya gangguan fungsi hati pada SH
dapat diklasifikasikan berdasarkan criteria Child-Turcotte-Pugh (CTP).Pengelompokan
pada kriteria ini adalah berdasarkan pemeriksaan klinis adanya ensefalopati hepatikum,
asites, pemeriksaan kadar albumin, bilirubin serum dan waktu protrombin atau
International Normalized Ratio (INR).
Pada autoanamnesis maupun alloanamnesis, untuk menegakkan diagnosis EH dapat di
cocokkan pada kriteria west haven. Selain untuk menegakkan diagnosis, kriteria west haven
juga bisa digunakan untuk menentukan derajat EH pada pasien tersebut.
Pemeriksaan Number Connecting Test(NCT), NCT-A dan NCT-B, maupun Critical
Flicker Frequency(CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun,
pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia.
Oleh karena itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta
keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan
aktivitas sehari-hari pasien hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan
kesadaran yang jelas. Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging(MRI) serta
elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan
lain pada otak. Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi
gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.
Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH.
Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter
keparahan pasien dengan EH.
Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia
mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia.

Pemeriksaan Penunjang
1. Peningkatan kadar amonia darah Bermakna bila ditemukan pada pasien dengan
sirosis denan perubahan mental status. Pemeriksaan amonia serial tidak diperlukan
dalam mengevaluasi perbaikan atau perburukan pasien.
2. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan gelombang amplitudo tinggi dengan
frekuensi rendah dan gelombang trifasik. Namun tidak spesifik untuk ensefalopati
hepatikum.
3. CT scan dan MRI untuk mengeksklusi lesi intrakranial.

G. PENATALAKSANAAN2
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi,
infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan
terhadap faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa
dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian
antibiotik spektrum luas diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi
tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan
sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi EH.
Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu
dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama
pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada
pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat.

1. Secara umum, tata laksana ensefalopati hepatikum adalah sebagai berikut:


a. Eksklusi penyebab perubahan status mental nonhepatik,
b. Pertimbangkan pemeriksaan kadar amonia arterial sebagai pemeriksaan awal,
khususnya pasien rawat inap,
c. Tata laksana pencetus yang mendasari, baik rehidrasi ataupun perbaikan elektrolit.
d. Hindari pengunaan obat-obatan yan mensupresi SSP, khususnya golongan
benzodiazepin. Bila dibutuhkan agen sedatif, pilihlah obat golongan lain, seperti
Haloperidol.
e. Pada pasien dengan ensefalopati berat (derajat 3 dan 4), sebaiknya dirawat di unit
perawatan intensif.
2. Terapi untuk menurunkan produksi amonia:
a. Diet Pembatasan asupan protein sebaiknya dilakukan khususnya pada pasien dengan
derajat yang berat, namun dengan tetap memperhatikan status nutrisi pasien. Umumnya
pasien ensefalopati masih dapat menoleransi asupan 60-80 g per hari.
b. Obat pencahar Dosis yang diberikan sebaiknya 30-45 ml (20-30 g) per oral. Dosis
disesuaikan hingga keluar feses lunak 2-3 kali per hari. Laktulosa dan laktilol
merupakan disakarida yang tidak diserap dan akan didegraasi oleh bakteri di dalam
usus menjadi asam laktat akan menurunkan pH lumen usus yang dapat menghambat
proliferasi bakteri koliform amoniagenik sehingga meningkatkan jumlah laktobasilus
non-amoniagenik. Hati-hati dalam penggunaannya karena dosis berlebih dapat
menyebabkan ileus, diare berat, gangguan elektrolit, dan hipovolemia yang dapat
memperberat gejala ensefalopati.
c. Antibiotik Untuk mengurangi konsentrasi bakteri amoniagenik. Dapat diberikan
neomisin 2-4 x 250 mg tiap harinya atau metronidazol 3 x 500 mg. Rifaximin 2 x 550
mg juga terbukti dapat menurunkan risiko ensefalopati hepatik rekuren. Rifaximin
merupakan antibiotik spektrum luas oral derivat rifamisin yang tidak diserap dengan
baik sehingga terdeposisi di dalam traktus gastrointestinal.
3. Terapi untuk meningkatkan klirens amonia:
a. L-ornitin L-aspartat Meningkatkan kadar glutamat untuk meningkatkan penggunaan
amonia untuk mengubah glutamat menjadi glutamin oleh glutamin sintetase.
b. Zink Pada umumnya pasien sirosis mengalami defisiensi besi. Pemberian zink dapat
meningkatkan aktivasi ornitin transkarbamilase, enzim yang dibutuhkan dalam siklus
urea untuk ureagenesis dan berefek hilangnya ion amonia. Dosis yang diberikan dapat
600 mg per oral tiap harinya.
c. Natrium benzoat, natrium fenilbutirat, natrium fenilasetat Natrium benzoat diberikan
2 x 5 g tiap harinya. Natrium benzoat akan berinteraksi dengan glisin membentuk
hipurat, senyawa yang membutuhkan amonia ketika diekskresi oleh renal.
d. L-carnitine Merupakan rantai pendek ester dari karnitin yang secara endogen
diproduksi di dalam mitokondria dan peroksism. Bekerja dengan menginduksi
ureagenesis yang mengurangi kadar amonia di darah dan otak. Dapat memperbaiki
aktivitas neuropsikologi, menurunkan derajat kelelahan mental dan fisik, kerusakan
depresi kognitif, dan memperbaiki kualitas hidup.
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam
tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan
penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya.7

- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)


Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya yang laksatif
menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga
mengurangi uptake glutamin.
Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan
sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion
hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion
amonium (NH4+).
Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen. Dari metaanalisis yang
dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan
dengan penggunaan antibiotik. Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik
dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes
psikometri pada pasien dengan EH minimal.
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3
hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa
dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH,
karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.

- Antibiotik4
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri
yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.
Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas
glutaminase.
Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan
diserap secara minimal.
Dosis yang diberikan adalah 2 x 500 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE
sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycinoral karena
rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya.

- L-Ornithine L-Aspartate(LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai
substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA
meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam
darah. Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH.
LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia
dengan merangsang ureagenesis. L-ornithinedan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -
ketoglutarate menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase(OAT) dan aspartate
aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan
untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan
amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated
glutaminase(PAG), dan menghasilkan amonia kembali.
Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien
sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi,
penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.
- Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang
bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan
berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus
sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja
probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk bakteri
patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik.
BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien Tn. J didapatkan penurunan kesadaran, dengan riwayat sebelum menurun
kesadaran pasien mulai sulit diajak berkomunikasi, mengalami sulit tidur. Dengan
disertakannya riwayat penyakit pada pasien yaitu hepatitis B dan sirosis hepatis, serta pada
pemeriksaan fisik didapatkannya perbesaran pada hepar sehingga dapat disimpulkan
diagnosis pada pasien ini adalah ensefalopati hepatikum.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah didapatkan, ensefalopati hepatikum


merupakan salahsatu komplikasi terbanyak pada pasien dengan sirosis hepatis.

Berdasarkan klasifikasi West-Haven, pada penderita dapat disimpulkan di diagnosis


ensefalopati hepatikum grade 4. Meskipun pupil pasien belum dilatasi, namun kesadaran
pasien sudah memasuki semi-koma dan sudah dijumpainya refleks patologis meskipun
minimal.

Pada pasien Tn. J karena didapatkan penurunan kesadaran yang mengindikasi


ensefalopati hepatikum grade 4, maka perencanaan yang paling utama adalah
direncanakannya untuk perawatan pasien secara High/ Intensive Care dan rehidrasi. Untuk
penanganan ensefalopati hepatikum secara farmakologisnya sendiri, untuk lini pertama
diberikan laktulosa sebanyak 30-60ml/ hari dan diberikan selama 3-6 bulan. Selain diberikan
laktulosa, juga diberikan antibiotik untuk mengurangi bakteri penghasil amonia. Dapat
diberikan rifaximin 2x500mg yang juga diberikan dalam jangka 3-6 bulan. Untuk
peningkatan klirens amonia nya dapat juga diberikan obat golongan L-Ornithine L-
Aspartate(LOLA).

Selain penanganan farmakologis untuk ensefalopati hepatikum, perlu juga


dipertimbangkan untuk temuan klinis lainnya. Pada ECG yang dilakukan pada pasien ini
didapatkan gambaran iskemik, walaupun secara pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.
Jadi untuk perencanaan terapi pada temuan ini dapat di evaluasi lebih lanjut kemungkinan
kemungkinan diagnosis banding ataupun diagnosis lain yang terdapat.

Pada kasus ini, perlu juga dilakukannya anamnesis yang lebih mendalam kepada
keluarga pasien untuk mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan dengan yang lainnya dengan
riwayat penyakit terdahulu pasien. Edukasi pada keluarga tentang keadaan pasien juga
merupakan suatu keharusan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumobroto HO. Sirosis hati. In: Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer
HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007. p. 335-
345.
2. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management of hepatic
encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-233.
3. Poh Z and Chang PEJ. 2012. A current review of the diagnostic and treatment
strategies of hepatic encephalopathy. International Journal of Hepatology. 44(2):150
157.
4. Lemberg A, Fernndez MA. Hepatic encephalopathy, amonia, glutamate, glutamin
and oxidative stress. Annals of Hepatology 2009; 8: 95-102
5. Muthia, Alisa N. Evidence Based Clinical Research: Peran Rifaximin dalam
Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik Akut. Departemen ilmu penyakit dalam divisi
hepatologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
6. Jubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Edisi KeV. Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009. hlm. 667-680.
7. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy: Review of
the Latest Data from EASL. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):1-16.
8. Robert S. Rahimi, Don C. Rockey. Complications of Cirrhosis. Curr Opin
Gastroenterol. 2012; 28(3):223-229.
9. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KOPAPDI; 2009.
10. Norenberg MD, Jayakumar AR, Rama Rao KV, Panickar KS. The peripheral
benzodiazepine receptor and neurosteroids in the pathogenesis of hepatic
encephalopathy and amonia neurotoxicity. In: Hussinger, Kircheis G, Schliess F,
ediotrs. Hepatic encephalopathy and nitrogen metabolism. The Netherlands: Springer;
2006. p.143-159.

Anda mungkin juga menyukai