Seorang perempuan berusia 19 tahun dating ke praktek dokter umum dengan keluhan lekas
lelah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan setelah melakukan aktivitas ringan maupun berat.
Keluhan disertai dengan wajah yang tampak pucat.
Pada anamnesis didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-kanak pasien jarang makan
ikan, daging, maupun sayur. Untuk mengatasi keluhannya tersebut, pasien belum pernah berobat.
Tidak ada riwayat penyakit yang diderita sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit,
temperature 36,80 C, TB= 160 cm, BB=60 kg, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik.
Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil:
1
KATA SULIT
1. MCV (Mean Corpuscular Hemoglobin) adalah volume korpuskula rata-rata, yaitu ukuran
dari volume sel darah merah rata-rata yang dilaporkan sebagai bagian dari hitung darah
lengkap standar. (fL). (kamuskesehatan.com)
2. MCH (mean corpuscular hemoglobin atau mean cell hemoglobin) adalah ukuran dari
massa hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah. (pg)
(kamuskesehatan.com)
4. Konjungtiva anemis adalah konjungtiva seperti anemia. Biasanya terjadi pada pasien
dengan Hb < 9 gr/dL.
5. Sklera tidak ikterik ialah sclera tidak berwana kuning (tidak terjadi penumpukan
bilirubin).
6. Hematokrit adalah proporsi volume sampel darah dengan sel darah merah, diukur dalam
ml/dL dari daerah keseluruhan atau dalam %.
2
PERTANYAAN
2. Mengapa pada pasien terjadi penurunan Hemoglobin (Hb), MCH, MCV, MCHC?
Penurunan Hb terjadi karena ferum turun, sehingga pembentukan eritropoiesis juga
menurun, karena ketiga bentuk indeks eritrosit berkaitan dengan kadar eritrosit dan Hb
maka MCH, MCV, dan MCHC juga turun.
()
= =
()
= =
3
= 100% = %
4
HIPOTESIS
5
SASARAN BELAJAR
6
1. Memahami dan menjelaskan eritropoiesis
1.1 Definisi
[-rithro-poi-esis] [erythro (sel darah merah) + -poiesis (pembentukan)] Adalah
pembentukan dari eritrosit; Pada masa fetus, eritropoiesis terjadi pada lien dan sumsum
tulang, namun pada manusia dewasa terjadi hanya pada sumsum tulang. Disebut juga
eritrositopoiesis atau eritrogenesis.
(Dorland, 2014)
1.2 Mekanisme
(Anthony , 2012)
Produksi eritroit dimulai dengan stem cell hematopoietic (HSC) yang kemudian
berdiferensiasi menjadi Multipolten Stem Cell (MPP). MPP akan berdiferensiasi menjadi
2 buah sel progenitor, yaitu progenitor myeloid (CMP ataupun CFUGEMM) dan progenitor
limfosit. CMP akan berdifernsiasi menjadi CFUmk dan CFUgm. CFUMK kemudian
berdiferensiasi menjadi 2 sel progenitor eritroid yaitu:
Burst-forming unit-eritroid (BFU-E) yang aktivitasnya dipengaruhi oleh IL-3 atau
GM-CSF, dibutuhkan waktu seminggu menjadi CFU-E.
7
Colony-forming unit-eritroid (CFU-E) yang aktivitasnya dipengaruhi oleh
eritropoietin (EPO).
Kemudian CFU-E akan membelah diri menjadi proeritoblas yang akan melalui lagi 5
proses pematangan menjadi eritrosit. Setiap satu proeritoblas dapat menghasilkan 8 sel
eritrosit yang matang.
Tahapan pada eritropoiesis dapat ditemukan pada sediaan darah tepi. Beberapa ciri khas
dapat ditentukan saat eritrosit makin matur, yaitu:
Diameter sel berkurang
Perbandingan antar nucleus dan sitoplasma menurun
Kromatin nucleus makin padat, kasar dan menghitam
Nukleolus menghilang
Sitoplasma berubah warna dari biru (banyak ribosom) menjadi kemerahan
(banyak Hb)
8
Aktivitas: Mengakumulasi komponen yang dibutuhkan untuk pembentukan
hemoglobin, sintesis enzim dan protein untuk pengambilan besi.
Lama: lebih dari 24 jam.
2. Basofilik eritroblas/basofilik normoblas/prorubrisit
Nukleus: Kromatin mulai padat, 6:1, bewarna ungu kemerahan
Sitoplasma: Bewarna biru lebih dari proeritroblas (basofilik)
Divisi: melakukan mitosis dan menghasilkan 2 anak sebelum matur menjadi
basofilik eritroblas.
Lokasi: sumsum tulang
Aktivitas: Produksi bahan-bahan hemoglobin (banyak organel sel)
Lama: lebih dari 24 jam.
3. Polikromatofilik eritoblas/polikromatofilik normoblas/rubrisit
Nukleus: Kromatin makin terkondensasi, 4:1 sampai 1:1, warna makin ungu
gelap
Sitoplasma: Warna pink (hemoglobin bertambah) dan biru bercampur
(polikromatofilik)
Divisi: melakukan mitosis dan menghasilkan 2 anak sebelum matur menjadi
ortokromatofilik eritroblas.
Lokasi: sumsum tulang
Aktivitas: Sintesis hemoglobin meningkat, masih ada ribosomnamun
transkripsi DNA turun.
Lama: 30 jam
4. Ortokromatofilik eritroblas/ortokromatofilik normoblas/metarubrisit
Nukleus: Sangat terkondensasi (piknotik), 1:2
Sitoplasma: Warna pink meningkat yang menandakan produksi hemoglobin
akan selsai, Organel terdegradasi, ribosom makin sedikit.
Divisi: Tidak bisa
Lokasi: sumsum tulang
Aktivitas: Sintesis hemoglobin dilanjutkan menggunakan ribosom yang tersisa.
Nukleus bergerak menuju membrane sel diakibatkan vimentin yang berguna
untuk mengikat posisi organel yang akhirnya nucleus akan dikeluarkan dari sel.
Nukleus yang keluar dari sel disebut piremosit yang dimakan oleh makrofag
pada sumsum tulang. Kadang-kadang ada fragmen yang tertinggal dalam
eritrosit yang disebut dengan badan Howell-Jolly.
Lama: 48 jam.
5. Retikulosit/Polikromatofilik eritrosit
Nukleus: Tidak ada nukleus
Sitoplasma: Warna pink dan sedikit kebiruan, bentuk irregular & lebih besar
Divisi: Tidak bisa
Lokasi: sumsum tulang (1 hari) dan bergerak ke lien untuk pematangan
beberapa hari setelah keluar dari sumsum tulang.
9
Aktivitas: retikulosit masih memiliki sedikit ribosom yang tersisa untuk
menyelesaikan pembentukan hemoglobin yang dapat dilihat dengan pewarnaan
metilen biru.
6. Eritrosit matur
Nukleus: Tidak ada nukleus
Sitoplasma: bikonkaf, warna merah dengan bagian tengah lebih terang (1/3 sel)
Divisi: Tidak bisa
Lokasi: Sirkulasi darah selama 120 hari sampai penghacuran eritrosit di lien
Jumlah: Laki-laki: 4.2-6 juta/mm3, Perempuan: 3.8-5.2 juta/mm3
Aktivitas: Menghantarkan oksigen ke jaringan. Bentuk permukaannya
memungkinkan untuk pertukaran gas yang lebih besar. Eritrosit juga sangat
fleksibel sehingga dapat mengenai berbagai macan bentuk kapiler di tubuh.
Tempat eritropoiesis berlangsung adalah pada pulau eritroblastik yang berisi satu makrofag
dan berbagai macan sel eritropoiesis (makin matang ke perifer) yang bertempat pada
sumsum tulang dekat sinus berada.
Polikromatofilik Ortokromatofilik
Proeritroblas Basofilik eritroblas
eritroblas eritroblas
Retikulosit Eritrosit
Tabel 1. Morfologi sel-sel pada eritropoiesis (Rodak. 2013)
1. Kematian Eritrosit
Semua sel akan mati ketika enzim metaboliknya mengalami kehancuran. Eritrosit tidak
mempunyai nucleus sehingga tidak bisa memperbaiki proteinnya terutama enzim. Selain
itu karena tidak ada mitokondria, eritrsot berganting pada glikolisis dalam pembentukan
ATP. Hilangnya enzim glikolitik menyebabkan penuaan sel yang diesebut senses yang
akhirnya difagositosis oleh makrofag.
10
Hemolisis dibantu makrofag (ekstravaskuler)
Pada setiap saat volume darah yang masuk ke lien tinggi sehingga membuat
pergerakannya tidak teratur -> memadat -> glukosa dalam plasma menurun ->
glikolisis diperlambat -> ATP turun -> kerja protein & lipid membrane terganggu
-> permeabilitas selektif hancur -> air memasuki sel -> bentuk menjadi bulat ->
susah keluar lien -> fosfatidil serin keluar sebagai sinyal untuk makrofag ->
dimakan oleh makrofag -> komponen dikatabolis -> ferum disimpan, globin
didegradasi menjadi asam amino, protopoirin dari heme menjadi bilirubin yang
dialirkan ke hati.
11
Sumber: McKenzie. 2009
12
Fungsi utama sel darah merah adalah mengangkut Oksigen ke seluruh tubuh dan CO2
ke paru-paru. Membutuhkan protein Hemoglobin untuk melakukan ini.
Tiap sel darah mengandung 640 juta molekul protein hemoglobin.
Abnormal
1. Kelainan Ukuran
Makrosit, diameter eritrosit 9 m dan volumenya 100 fL
Mikrosit, diameter eritrosit 7 dan volumenya 80 fL
Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar
2. Kelainan Warna
Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang,
warnanya lebih gelap.
3. Kelainan Bentuk
Sel sasaran (target cell), Pada bagian tengah dari daerah pucat eritrosit
terdapat bagian yang lebih gelap/merah.
Sferosit, Eritrosit < normal, warnanya tampak lebih gelap.
Ovalosit/Eliptosit, Bentuk eritrosit lonjong seperti telur (oval), kadang-
kadang dapat lebih gepeng (eliptosit).
Stomatosit, Bentuk sepeti mangkuk.
Sel sabit (sickle cell/drepanocyte) Eritosit yang berubah bentuk menyerupai
sabit akibat polimerasi hemoglobin S pada kekurangan O2.
Akantosit, Eritrosit yang pada permukaannya mempunyai 3 - 12 duridengan
ujung duri yang tidak sama panjang.
Burr cell (echinocyte), Di permukaan eritrosit terdapat 10 - 30 duri kecil
pendek, ujungnyatumpul.
Sel helmet, Eritrosit berbentuk sepeti helm.
Fragmentosit (schistocyte), Bentukeritrosit tidak beraturan.
Teardropcell, Eritrosit seperti buah pearatau tetesan air mata.
Poikilositosis, Bentuk eritrosit bermacam-macam.
13
Abnormal
14
1.4 Memahami dan menjelaskan faktor yang diperlukan dalam eritropoiesis
Proses Pembentukan eritrosit memerlukan:
a. Sel induk: CFU-E, BFU-E, normoblast (eritroblast)
b. Bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin B12, asam folat, protein, dan lainlain
c. Mekanisme regulasi: factor pertumbuhan hemopoetik dan hormone eritropoetin
(Bakta, 2015)
Karakteristik Eritropoietin
Komposisi Glikoprotein polipeptida (165 asam amino, 34 kDa)
Stimulus untuk Hipoksia seluler
sintesis
Asal Ginjal 80-90%, hati <15%
Kadar normal Pada plasma 2-25 IU/L
15
EPO adalah satu-satunya sitokin yang
berperan penting dalam pematangan sel.
Namun, ada beberapa hormone yang
juga berpengaruh seperti androgen yang
menstimulasikan sekresi EPO sehingga
memberi perbedaan tingkat eritropoietik
berdasarkan umur & gender. Beberapa
hormone lain seperti tiroid, adrenal dan
growth hormone
16
Tiap sel darah merah mengandung sekitar 640 juta molekil hemoglobin. Tiap molekul
hemoglobin A (Hb A) dewasa normal (hemoglobin dominan dalam darah setetlah usia 3-6 bulan)
terdiri dari empat rantai polipeptida, 22 masing masing dengan gugus heme-nya. Berat molekul
HbA adalah 68000. Darah orang dewasa normal juga mengandung sejumlah kecil dua macam
hemoglobin lain: HbF dan HbA2. HbF dan HbA2 juga mengandung rantai tetapi berturut-turut
bersama rantai dan , sebagai ganti rantai . Perubahan utama dari hemoglobin janin ke dewasa
terjadi pada 3-6 bulan setelah lahir. (Hoffbrand, 2013)
Sintesis
Sintesis heme terutama terjadi di mitokondria
melalui suatu rangkaian reaksi biokimiawi yang
dimulai dari kondensasi glisin dan suksinil koenzim
A dalam pengaruh kerja enzim kunci asam -
aminolevulinat (ALA) sintase yang membatasi laju
reaksi. Piridoksal fosfat (Vit B6) adalah koenzim
untuk reaksi ini, yang dirangsang oleh eritropoietin.
Pada akhirnya protoporfirin bergabung dengan besi
dalam bentuk Ferro untuk membentuk heme. Setiap
molekul heme bergabung dengan satu rantai globin
yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang
terdiri dari empat rantai globin masing-masing
dengan gugus heme nya dalam suatu kantong
kemudian dibentuk untuk menjadikan satu molekul
hemoglobin.
Fungsi
Hemoglobin pada eritrosit vertebrata berperan penting dalam:
1. Pengangkutan oksigen dari organ respirasi ke jaringan perifer
2. Pengangkutan karbon dioksida dan berbagai proton dari jaringan perifer ke organ respirasi
untuk selanjutnya diekskresikan ke luar
3. Menentukan kapasitas penyangga darah.
(Harper, 2014)
18
melepaskan oksigen disebut afinitas oksigwn. Afinitas oksigen ditentukan dari proporsi oksigen
yang dilepaskan ke jaringan pada sebuah PO2 (Tekanan oksigen) tertentu.
Meningkatnya afinitas oksigen menyebabkan Hb mudah mengikat oksigen dan sukar
melepaskannya R (relaxed) structure
Menurunnya afinitas oksigen menyebabkan Hb dengan mudah melepaskan oksigen dan
sukar mengikatnya. T (tense) structure
Afinitas oksigen dalam hemoglobin biasanya dinyatakan dalam PO2 saat 50% hemoglobin
tersaturisasi (mengikat) dengan oksigen (P50). Dalam table, afinitas oksigen tersebut berbentuk
kurva sigmoid (S) yang disebut sebagai kurva disosiasi oksigen (KDO). Bentuk dari kurva tersebut
menggambarkan interaksi antar 4 subunit hemoglobin. Kurva sigmoid menggambarkan bahwa
makin banyak molekul O2 yang mengikat kepada Hb, makin banyak molekul O2 yang ingin terikat
pada Hb.
Bentuk kurva sigmoid menggambarkan beberapa kelebihan fisiologik:
Bentuk datar pada atas dari S memperlihatkan bahwa saturisasi O2 >90% tetap terjadi pada
rentang PO2 yang lebar. Hal ini membuktikan bahwa kita dapat bertahan hidup dan
berfungsi pada tempat dengan pasokan oksigen rendah (seperti pada daratan tnggi).
Bagian S yang curam terjadi pada PO2 dalam jaringan, yang menungkinkan pelepasan O2
dalam jumlah yang banyak pada jaringan atau kapiler. Hal tersebut memungkinkan transfer
oksigen dari paru-paru ke dalam jaringan dengan perubahan PO2 yang tidak tinggi.
KDO dapat bergeser ke kiri/ke
kanan sehingga:
Jika bergeser ke kanan
akan menyebabkan P50
meningkat afinitas
oksigen berkurang
makin banyak oksigen
yang diplepaskan ke
jaringan
Jika bergeser ke kiri akan
menyebabkan P50
menurun afinitas
oksigen meningkat
menurunnya pelepasan
oksigen ke jaringan.
19
3. Memahami dan menjelaskan Anemia
3.1 Definisi
Anemia :
Penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin dalam darah dibawah normal value.
Satuan per mm3 atau volume packed red cell per 100 mL darah. Terjadi karena
terganggunya keseimbangan antara kehilangan darah (pendarahan atau destruksi sel
darah merah) dengan produksi darah merah dalam tubuh.
(Dorland, 2012)
3.2 Klasifikasi
20
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin B12
C. Anemia Hemolitik
1. Anemia Hemolitik Intrakorpuskular
Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : akibat defisiensi G6PDiii.
Gangguan Hemoglobin (Hemoglobinopati)
Thalasemia
Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll.
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks.
21
2. Anemia normokromik normositer
Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah atau destruksi darah yang
berlebih sehingga menyebabkan Sumsum tulang harus bekerja lebih keras lagi dalam
eritropoiesis. Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran
darah tepi. Pada kelas ini, ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta
mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia.
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastic
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
3. Anemia makrositer
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normaltetapi
normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh
gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNAseperti yang ditemukan pada
defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab
terjadi gangguan pada metabolisme sel.
a. Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi besi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
5.Anemia berdasarkan derajatnya:
1. Ringan sekali : Hb 10 g/dL
2. Ringan : Hb 8-9,9 g/dL
3. Sedang : Hb 6-7,9 g/dL
4. Berat : Hb <6 g/dL
(Buku Ajar IPD 2014)
3.3 Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
(produksi eritrosit menurun), kehilangan eritrosit dari tubuh (perdarahan), proses peningkatan
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). (Bakta, 2015)
23
diketahui RDW (red cell distribution width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah
merah.
3. Apusan darah tepi
(Bakta, 2015)
24
Hemosiderinuria, Hemoglobinuria, dan Hemosiderosis
Hemoglobinuria dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8
mg/hari.
Kurangnya asupan besi saat masa-masa krusial :
Remaja
Ibu Laktasi
Bayi (dimulai usia 6 bulan disarankan untuk menambahkan makanan mengandung zat
besi + ASI)
Hamil
Menstruasi
Sedang terapi Eritropoietin (biasa pada pasien gagal ginjal)
Malabsorpsi zat besi oleh tubuh. Penyerapan utama besi di Mukosa Duodenum
dan Proximal Jejunum. Penyebab Malabsorbsi :
-Gastritis Autoimmune
-Enteropathy
-Gastrektomi
(Jans Frederik, 2014)
(James LH, 2014)
(Buku Ajar IPD, 2014)
(Hoffbrand and Moss, 2013)
Kekurangan besi terus berlanjut cadangan besi kosong pembentukan sel darah merah
(eritropoiesis terganggu) :
o Saat RBC mati (umur 120 hari), ferrum yang bebas akan terlepas dan di fagosit oleh
makrofag (ferrum dianggap sebagai antigen oleh makrofag karena bersifat radikal bebas
apabila tidak berikatan dengan protein) dipindahkan ke dalam transferin plasma
(protein pengantar serum besi ke dalam sel darah merah yang sedang berkembang, lebih
25
tepatnya menuju mitokondria) bersama dengan protein protoporfirin membentuk
Heme.
Menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tanpa gejala anemia klinis kondisi Iron
Deficient Erythropoiesis, ditandai oleh :
Kadar Free Protophyrin meningkat
Saturasi Transferin menurun
Total Iron Binding Capacity meningkat
Jumlah besi turun terus Kadar Hb Menurun kadar MCV dan MCH menurun Anemia
Mikrositik Hipokrom dengan gejala Anemia Defisiensi Besi (Cadangan Besi Kosong)
(Buku Ajar IPD, 2014)
Patofisiologi
Tahap pertama
Disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih
normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
Tahap kedua
Dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total
iron binding capacity (TBIC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
Tahap ketiga
Disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah
tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan
epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
4.4 Epidemiologi
ADB merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di
masyarakat. Sangat sering dijumpai di negara berkembang. Belum ada data yang pasti mengenai
prevalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo dkk memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan
25-84% pada perempuan yang tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan
prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan karena defisiensi besi. Sedangkan penduduk
suatu desa di Bali didapatkan angka prevalensi ADB sebesar 27%.
26
terjadi seperti, kuku yang menjadi tipis1, mendatar dan melengkung seperti sendok (spooning).
Komplikasi yang aneh tetapi khas adalah pica yaitu keinginan untuk mengonsumsi bukan bahan
makanan seperti kotoran dan tanah liat. (Robbins, 2015)
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa pucat, badan lemah, lesu, cepat lelah,
mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena
penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia
tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar
hemoglobinnya terjadi lebih cepat.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi
Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical
dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem, dan
lain lain
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly: kumpulan gejala yang terdiri
dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
Stomatitis angularis
27
4.6 Diagnosis dan diagnosis banding
a) Anamnesis
a. Telinga terasa dengung
b. Lemah
c. Kaki Kram Saat naik tangga
d. Attention Deficit Disorder
e. Tidak tahan dingin
b) Pemeriksaan Fisik
a. Pertumbuhan tidak sempurna pada bayi
b. Glossitis
c. Koilonychia
d. Splenomegaly
e. Stomatitis Angular
f. Konjungtiva pallor dan mukosa pucat
g. Pica (Mau makan yang aneh-aneh)
h. Dysphagia
TAHAP PERTAMA
DIAGNOSIS Anemia
Defisiensi Besi
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan
Fisik
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Complete Blood Count
a. Hemoglobin menurun (<12 gr/dL) TAHAP KEDUA
b. Trombosit meningkat (>450.000/mL) DIAGNOSIS Anemia
Defisiensi Besi
c. WBC normal ( 4.0 10 x109/L )
d. MCV menurun ( <80 fl ) 3. Pemeriksaan
Penunjang
e. MCH menurun ( <27 pg/cell ) Laboratorium
28
2. Test Serum Ferrum
a. Ferrum menurun
b. Ferritin <20 mg/mL dan Hemosiderin menurun (cadangan besi di jaringan
tubuh)
i. Setiap 1 mikrogram/L ferritin mengandung 8 mg ferrum
ii. Level ferritin meningkat saat terjadi inflamasi dibarengi
peningkatan C-Reactive Protein
c. Total Iron Binding Capacity (test lab mengukur kadar zat besi dalam
darah dengan cara mengukur kemampuan trasferin mengikat zat besi)
meningkat hingga >350 mg/dL
3. Pemeriksaan C-Reactive Protein
CRP yang meningkat mencerminkan adanya inflamasi dalam tubuh. Berdasarkan
gambar dibawah ini, Anemia Defisiensi Besi dapat berkombinasi dengan inflamasi
lainnya :
29
7. Pemeriksaan Feses :
a. Periksa adanya darah di feses (dengan uji kimia, kehilangan darah hingga
>20ml.
8. Mengetahui Etiologi Anemia dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang guna mencegah terjadinya ADB pada pasien di kemudian hari.
30
Nilai batas ambang (cut off point) anemia di Indonesia menurut Departemen Kesehatan sebagai
berikut :
Bayi baru lahir (aterm) : 16,5 + 3,0 g/dL
Bayi 3 bulan : 11,5 + 2,0 g/dL
Anak usia 1 tahun : 12,0 + 1,5 g/dL
Anak usia 10-12 tahun : 13,0 + 1,5 g/dL
Wanita tidak hamil : 14,0 + 2,5 g/dL
Pria dewasa : 15,5 + 2,5 g/dL
Anak prasekolah : 11 g/dL
Anak sekolah : 12 g/dL
Wanita hamil : 11 g/dL
Ibu menyusui (3 bln post partus) : 12 g/dL
Wanita dewasa : 12 g/dL
Pria dewasa : 13 g/dL
ANEMIA ANEMIA
TEST THALASEMIA ANEMIA
NORMAL DEFISIENSI PENYAKIT
LABORATORIUM Hb PATI SIDEROBLASTIK
BESI KRONIK
MCV/MCH
SEDIAAN HAPUS
MIKROSITIK HIPOKROM
DARAH TEPI
BESI SERUM KURANG KURANG N/ N/
KADAR FERITIN N/
ELEKTROFORESIS
NORMAL NORMAL ABNORMAL
Hb
SUMSUM RING
TULANG SIDEROBLAST
31
Anemia akibat Trait Anemia
Anemia penyakit kronik Thalasemia sideroblastik
defisiensi besi
Derajat Ringan berat Ringan Ringan Ringan berat
anemia
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <30 Menurun <50 Normal/ Normal/
TIBC Meningkat Menurun <300 Normal/ Normal/
>360
Saturasi Menurun Menurun/N 10 Meningkat Meningkat
Transferin <15% 20% >20% >20%
Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat Positif dg ring
tulang sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
32
Matthew, W. and Jason, Ed. (2013)
34
Matthew, W. and
Jason, Ed. (2013)
PENCEGAHAN
1. Pendidikan kesehatan:
a. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja,
misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang
b. Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi besi
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang paling sering
dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan
pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
3. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan, seperti
ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita
memakai pil besi dan folat.
35
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di
Negara barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
(IPD, 2014)
4.8 Komplikasi
Gangguan jantung yang pada awalnya hanya berdebar, lama-lama jantung bisa
membesar. Jantung yang membesar lama-lama terganggu fungsinya, sehingga
terjadilah gagal jantung
Gangguan kehamilan, kemungkinan tinggi terjadi lahir prematur & berat lahir
rendah.
Gangguan pertumbuhan & mudah kena infeksi, bila terjadi pada anak.
Cepat lelah, pucat, lemas, nafas cepat, sakit kepala, pusing atau pening.
Telapak kaki tangan dingin, sering sariawan, detak jantung cepat dan dada
berdebar.
4.9 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dialkukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi
klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai
berikut:
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarah yang tidak tampak berlangsung menetap
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin
B12, asam folat)
Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antacid yang berlebihan pada ulkus
peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)
(IDAI, 2012)
36
DAFTAR PUSTAKA
Anthony , Lm. (2012). Junqueira's Basic Histology. 12th ed. Jakarta: EGC. 198-210.
Hoffbrand, AV. and Moss, PAH. (2013). Anemia Hipokrom. In: Ferdy, S. Kapita Selekta
Hematologi. 6th ed. Jakarta: EGC. 29-45.
James LH. (2014). Iron Deficiency Anemia. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview#a2. Last accessed 21st Oct 2015.
Jans Frederik, D. et al. (2014). Diagnosis and treatment of unexplained anemia with iron deficiency
without overt bleeding. Danish Medical Journal. 4 (64), p1-13.
Keohane, EM; Smith, LJ & Walenga, JM. (2015). Rodaks Hematology: Clinical Principles And
Applications. 5th Edition. St. Louis: Elsevier Saunders
Matthew, W. and Jason, Ed. (2013). Iron Deficiency Anemia : Evaluation and Management.
American Family Physician. 87 (2), p98-104.
McKenzie, SB & Williams, JL. (2009). Clinical Laboratory Hematology. 2nd Edition. Harlow:
Pearson
Rodak, BF & Carr, JH. (2013). Clinical Hematology Atlas. 4th Edition. St. Louis: Elsevier
Saunders
Siti, S., et al. (2014). Anemia. In: Idrus, A., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:
Interna Publishing. 2571-2589.
37