Anda di halaman 1dari 37

SKENARIO 1

LEKAS LELAH DAN PUCAT

Seorang perempuan berusia 19 tahun dating ke praktek dokter umum dengan keluhan lekas
lelah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan setelah melakukan aktivitas ringan maupun berat.
Keluhan disertai dengan wajah yang tampak pucat.
Pada anamnesis didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-kanak pasien jarang makan
ikan, daging, maupun sayur. Untuk mengatasi keluhannya tersebut, pasien belum pernah berobat.
Tidak ada riwayat penyakit yang diderita sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit,
temperature 36,80 C, TB= 160 cm, BB=60 kg, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik.
Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil:

1
KATA SULIT

1. MCV (Mean Corpuscular Hemoglobin) adalah volume korpuskula rata-rata, yaitu ukuran
dari volume sel darah merah rata-rata yang dilaporkan sebagai bagian dari hitung darah
lengkap standar. (fL). (kamuskesehatan.com)

2. MCH (mean corpuscular hemoglobin atau mean cell hemoglobin) adalah ukuran dari
massa hemoglobin yang terkandung dalam sel darah merah. (pg)
(kamuskesehatan.com)

3. MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration) adalah konsentrasi hemoglobin


rata-rata sel hidup yang dilaporkan sebagai bagian dari hitung darah lengkap standar. (%)
(kamuskesehatan.com)

4. Konjungtiva anemis adalah konjungtiva seperti anemia. Biasanya terjadi pada pasien
dengan Hb < 9 gr/dL.

5. Sklera tidak ikterik ialah sclera tidak berwana kuning (tidak terjadi penumpukan
bilirubin).

6. Hematokrit adalah proporsi volume sampel darah dengan sel darah merah, diukur dalam
ml/dL dari daerah keseluruhan atau dalam %.

2
PERTANYAAN

1. Apakah diagnosis dari pasien pada scenario ini?


Pasien terdiagnosis anemia defisiensi besi, karena pada anamnesis awal pasien mengeluh
lekas lelah dan berwajah pucat, pada pemeriksaan lab ditemukan penurunan Hb, MCH,
MCV, MCHC, juga ditemukan bahwa pasien jarang mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat besi (seperti ikan, daging, sayur), dan tidak ada riwayat penyakit
sebelumnya.

2. Mengapa pada pasien terjadi penurunan Hemoglobin (Hb), MCH, MCV, MCHC?
Penurunan Hb terjadi karena ferum turun, sehingga pembentukan eritropoiesis juga
menurun, karena ketiga bentuk indeks eritrosit berkaitan dengan kadar eritrosit dan Hb
maka MCH, MCV, dan MCHC juga turun.

3. Apa hubungan asupan makanan pada keluhan pasien tersebut?


Asupan makanan dibutuhkan dalam pembentukan hemoglobin dalam eritrosit. Pada
hemoglobin dibutuhkan zat besi untuk berikatan dengan rantai globin. Dan zat besi dapat
diperoleh dengan mengkonsumsi makanan kaya akan zat besi seperti daging dan ikan yang
termasuk dalam besi heme (mudah diserap di usus), dan juga sayur yang termasuk dalam
besi non heme.

4. Mengapa pada pasien ditemukan konjungtiva anemis dan wajah pucat?


Karena eritrosit dan hemoglobin menurun, sehingga tidak dialirkan cukup ke seluruh
tubuh.

5. Apakah jenis kelamin berpengaruh pada keluhan pasien? Mengapa?


Iya, Jumlah penderita anemia lebih banyak wanita dibanding pria. Beberapa alasan wanita
lebih banyak terkena anemia yaitu 1) Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih banyak
mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani, sehingga masih banyak yang
menderita anemia; 2) Wanita lebih jarang makan makanan hewani dan sering melakukan
diit pengurangan makan karena ingin langsing; 3) Mengalami haid setiap bulan, sehingga
membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak daripada pria (Depkes 1998).

6. Bagaimana cara menghitung MCH, MCV, dan MCHC?

()
= =

()
= =

3

= 100% = %

7. Apakah diperlukan pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis?


Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab penyaring, (pemeriksaan kadar ferum,
ferritin)

8. Bagaimanakah terapi pasien pada scenario ini?


Terapi per oral: Ferum Sulfat dengan dosis 3200 mg. pengobatan dilakukan 3-6 bulan.
Jika Hb< 7 gr/dL maka diberikan secara parenteral yaitu infus packed red cell.

9. Bagaimana morfologi eritrosit anemia defisiensi besi?


Morfologi eritrosit pada anemia defisiensi besi ialah berbentuk mikrosit, sel pensil (ciri
khas dari anemia defisiensi besi), dan sel target.

4
HIPOTESIS

Anemia berdasarkan morfologi eritrositnya dibedakan menjadi anemia makrositik,


anemia normositik normokrom, dan anemia hipokromik mikrositer. Salah satu kelainan dari
anemia hipokromik mikrositer adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi terjadi karena
kurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang mengakibatkan
berkurangnya Hb. Beberapa gejala anemia defisiensi besi ialah ditemukannya konjungtiva anemis,
pucat, lekas lelah, sering mengantuk, konsentrasi menurun, dan sebagainya. Untuk menegakkan
diagnosis anemia defisiensi besi diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab (Hb
menurun, MCV, MCH, MCHC, SHDT, ferum, ferritin). Terapi untuk pasien ini dapat dilakukan
secara per oral yaitu dengan pemberian Ferum Sulfat 3200 mg (murah dan efektif) dalam waktu
3-6 bulan, sedangkan jika Hb<7 gr/dL dapat diberikan secara parenteral/ infus red packed cell, dan
juga terapi secara kausal.

5
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan menjelaskan eritropoiesis


1.1 Definisi
1.2 Mekanisme
1.3 Morfologi (Normal dan abnormal)
1.4 Faktor yang diperlukan dalam pembentukan

2. Memahami dan menjelaskan Hemoglobin (Hb)


2.1 Definisi
2.2 Biosintesis dan fungsi (peran zat besi terhadap Hb)
2.3 Kurva disosiasi Oksigen

3. Memahami dan menjelaskan Anemia


3.1 Definisi
3.2 Klasifikasi
3.3 Etiologi
3.4 Manifestasi klinis
3.5 Pemeriksaan laboratorium penyaring

4. Memahami dan menjelaskan Anemia defisiensi besi


4.1 Definisi
4.2 Etiologi
4.3 Patogenesis dan patofisiologi
4.4 Epidemiologi
4.5 Manifestasi klinis
4.6 Diagnosis dan diagnosis banding
4.7 Tatalaksana dan pencegahan
4.8 Komplikasi
4.9 Prognosis

6
1. Memahami dan menjelaskan eritropoiesis
1.1 Definisi
[-rithro-poi-esis] [erythro (sel darah merah) + -poiesis (pembentukan)] Adalah
pembentukan dari eritrosit; Pada masa fetus, eritropoiesis terjadi pada lien dan sumsum
tulang, namun pada manusia dewasa terjadi hanya pada sumsum tulang. Disebut juga
eritrositopoiesis atau eritrogenesis.
(Dorland, 2014)
1.2 Mekanisme

(Anthony , 2012)

Produksi eritroit dimulai dengan stem cell hematopoietic (HSC) yang kemudian
berdiferensiasi menjadi Multipolten Stem Cell (MPP). MPP akan berdiferensiasi menjadi
2 buah sel progenitor, yaitu progenitor myeloid (CMP ataupun CFUGEMM) dan progenitor
limfosit. CMP akan berdifernsiasi menjadi CFUmk dan CFUgm. CFUMK kemudian
berdiferensiasi menjadi 2 sel progenitor eritroid yaitu:
Burst-forming unit-eritroid (BFU-E) yang aktivitasnya dipengaruhi oleh IL-3 atau
GM-CSF, dibutuhkan waktu seminggu menjadi CFU-E.

7
Colony-forming unit-eritroid (CFU-E) yang aktivitasnya dipengaruhi oleh
eritropoietin (EPO).
Kemudian CFU-E akan membelah diri menjadi proeritoblas yang akan melalui lagi 5
proses pematangan menjadi eritrosit. Setiap satu proeritoblas dapat menghasilkan 8 sel
eritrosit yang matang.

Sumber: Rodak. 2015

Tahapan pada eritropoiesis dapat ditemukan pada sediaan darah tepi. Beberapa ciri khas
dapat ditentukan saat eritrosit makin matur, yaitu:
Diameter sel berkurang
Perbandingan antar nucleus dan sitoplasma menurun
Kromatin nucleus makin padat, kasar dan menghitam
Nukleolus menghilang
Sitoplasma berubah warna dari biru (banyak ribosom) menjadi kemerahan
(banyak Hb)

Tahapan perkembangan eritrosit adalah sebagai berikut (Keohane. 2015)


1. Proeritroblas/Pronormoblas/rubriblas
Nukleus: Besar, 8:1, bulat, ada nucleolus, kromatin ungu dan terbuka
Sitoplasma: Bewarna biru tua karena banyak ribosom
Divisi: melakukan mitosis dan menghasilkan 2 atau lebih (pengaruh EPO)
proeritroblas anak sebelum matur menjadi basofilik eritroblas.
Lokasi: sumsum tulang

8
Aktivitas: Mengakumulasi komponen yang dibutuhkan untuk pembentukan
hemoglobin, sintesis enzim dan protein untuk pengambilan besi.
Lama: lebih dari 24 jam.
2. Basofilik eritroblas/basofilik normoblas/prorubrisit
Nukleus: Kromatin mulai padat, 6:1, bewarna ungu kemerahan
Sitoplasma: Bewarna biru lebih dari proeritroblas (basofilik)
Divisi: melakukan mitosis dan menghasilkan 2 anak sebelum matur menjadi
basofilik eritroblas.
Lokasi: sumsum tulang
Aktivitas: Produksi bahan-bahan hemoglobin (banyak organel sel)
Lama: lebih dari 24 jam.
3. Polikromatofilik eritoblas/polikromatofilik normoblas/rubrisit
Nukleus: Kromatin makin terkondensasi, 4:1 sampai 1:1, warna makin ungu
gelap
Sitoplasma: Warna pink (hemoglobin bertambah) dan biru bercampur
(polikromatofilik)
Divisi: melakukan mitosis dan menghasilkan 2 anak sebelum matur menjadi
ortokromatofilik eritroblas.
Lokasi: sumsum tulang
Aktivitas: Sintesis hemoglobin meningkat, masih ada ribosomnamun
transkripsi DNA turun.
Lama: 30 jam
4. Ortokromatofilik eritroblas/ortokromatofilik normoblas/metarubrisit
Nukleus: Sangat terkondensasi (piknotik), 1:2
Sitoplasma: Warna pink meningkat yang menandakan produksi hemoglobin
akan selsai, Organel terdegradasi, ribosom makin sedikit.
Divisi: Tidak bisa
Lokasi: sumsum tulang
Aktivitas: Sintesis hemoglobin dilanjutkan menggunakan ribosom yang tersisa.
Nukleus bergerak menuju membrane sel diakibatkan vimentin yang berguna
untuk mengikat posisi organel yang akhirnya nucleus akan dikeluarkan dari sel.
Nukleus yang keluar dari sel disebut piremosit yang dimakan oleh makrofag
pada sumsum tulang. Kadang-kadang ada fragmen yang tertinggal dalam
eritrosit yang disebut dengan badan Howell-Jolly.
Lama: 48 jam.
5. Retikulosit/Polikromatofilik eritrosit
Nukleus: Tidak ada nukleus
Sitoplasma: Warna pink dan sedikit kebiruan, bentuk irregular & lebih besar
Divisi: Tidak bisa
Lokasi: sumsum tulang (1 hari) dan bergerak ke lien untuk pematangan
beberapa hari setelah keluar dari sumsum tulang.

9
Aktivitas: retikulosit masih memiliki sedikit ribosom yang tersisa untuk
menyelesaikan pembentukan hemoglobin yang dapat dilihat dengan pewarnaan
metilen biru.
6. Eritrosit matur
Nukleus: Tidak ada nukleus
Sitoplasma: bikonkaf, warna merah dengan bagian tengah lebih terang (1/3 sel)
Divisi: Tidak bisa
Lokasi: Sirkulasi darah selama 120 hari sampai penghacuran eritrosit di lien
Jumlah: Laki-laki: 4.2-6 juta/mm3, Perempuan: 3.8-5.2 juta/mm3
Aktivitas: Menghantarkan oksigen ke jaringan. Bentuk permukaannya
memungkinkan untuk pertukaran gas yang lebih besar. Eritrosit juga sangat
fleksibel sehingga dapat mengenai berbagai macan bentuk kapiler di tubuh.

Tempat eritropoiesis berlangsung adalah pada pulau eritroblastik yang berisi satu makrofag
dan berbagai macan sel eritropoiesis (makin matang ke perifer) yang bertempat pada
sumsum tulang dekat sinus berada.

Polikromatofilik Ortokromatofilik
Proeritroblas Basofilik eritroblas
eritroblas eritroblas

Retikulosit Eritrosit
Tabel 1. Morfologi sel-sel pada eritropoiesis (Rodak. 2013)

1. Kematian Eritrosit
Semua sel akan mati ketika enzim metaboliknya mengalami kehancuran. Eritrosit tidak
mempunyai nucleus sehingga tidak bisa memperbaiki proteinnya terutama enzim. Selain
itu karena tidak ada mitokondria, eritrsot berganting pada glikolisis dalam pembentukan
ATP. Hilangnya enzim glikolitik menyebabkan penuaan sel yang diesebut senses yang
akhirnya difagositosis oleh makrofag.

Terdapat dua cara kematian eritrosit, yaitu (McKenzie. 2010):

10
Hemolisis dibantu makrofag (ekstravaskuler)
Pada setiap saat volume darah yang masuk ke lien tinggi sehingga membuat
pergerakannya tidak teratur -> memadat -> glukosa dalam plasma menurun ->
glikolisis diperlambat -> ATP turun -> kerja protein & lipid membrane terganggu
-> permeabilitas selektif hancur -> air memasuki sel -> bentuk menjadi bulat ->
susah keluar lien -> fosfatidil serin keluar sebagai sinyal untuk makrofag ->
dimakan oleh makrofag -> komponen dikatabolis -> ferum disimpan, globin
didegradasi menjadi asam amino, protopoirin dari heme menjadi bilirubin yang
dialirkan ke hati.

Sumber: McKenzie, 2010

11
Sumber: McKenzie. 2009

Hemolisis mekanik (intravaskuler)


Eritosit dapat hancur dalam pemburuh darah karena turbulensi pada jantung
ataupun pada bifurkasi pembuluh darah -> Hb diikat oleh glikoprotein plasma
haptoglobin (protein fase akut) -> beberapa ferum tersisa membentuk ferritin &
hemosiderin.

1.3 Morfologi (Normal dan abnormal)


Normal
Eritrosit normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan
diameter 7,8 m, dengan ketebalan pada bagian yang
paling tebal 2,5 m dan .Normalnya bagian tengah
eritrosit tidak melebihi 1/3 diameternya, dan disebut
eritrosit normokhromatik.
Umur sel darah merah selama 120 hari
Sel darah merah matang berbentuk cakram bikokaf
tanpa inti sel, mitokondria, badan golgi, dan
komponen sel lainnya
Mampu membentuk energi ATP melalui glikolisis
anaerob

12
Fungsi utama sel darah merah adalah mengangkut Oksigen ke seluruh tubuh dan CO2
ke paru-paru. Membutuhkan protein Hemoglobin untuk melakukan ini.
Tiap sel darah mengandung 640 juta molekul protein hemoglobin.

Abnormal
1. Kelainan Ukuran
Makrosit, diameter eritrosit 9 m dan volumenya 100 fL
Mikrosit, diameter eritrosit 7 dan volumenya 80 fL
Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar

2. Kelainan Warna
Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang,
warnanya lebih gelap.

3. Kelainan Bentuk
Sel sasaran (target cell), Pada bagian tengah dari daerah pucat eritrosit
terdapat bagian yang lebih gelap/merah.
Sferosit, Eritrosit < normal, warnanya tampak lebih gelap.
Ovalosit/Eliptosit, Bentuk eritrosit lonjong seperti telur (oval), kadang-
kadang dapat lebih gepeng (eliptosit).
Stomatosit, Bentuk sepeti mangkuk.
Sel sabit (sickle cell/drepanocyte) Eritosit yang berubah bentuk menyerupai
sabit akibat polimerasi hemoglobin S pada kekurangan O2.
Akantosit, Eritrosit yang pada permukaannya mempunyai 3 - 12 duridengan
ujung duri yang tidak sama panjang.
Burr cell (echinocyte), Di permukaan eritrosit terdapat 10 - 30 duri kecil
pendek, ujungnyatumpul.
Sel helmet, Eritrosit berbentuk sepeti helm.
Fragmentosit (schistocyte), Bentukeritrosit tidak beraturan.
Teardropcell, Eritrosit seperti buah pearatau tetesan air mata.
Poikilositosis, Bentuk eritrosit bermacam-macam.

13
Abnormal

14
1.4 Memahami dan menjelaskan faktor yang diperlukan dalam eritropoiesis
Proses Pembentukan eritrosit memerlukan:
a. Sel induk: CFU-E, BFU-E, normoblast (eritroblast)
b. Bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin B12, asam folat, protein, dan lainlain
c. Mekanisme regulasi: factor pertumbuhan hemopoetik dan hormone eritropoetin
(Bakta, 2015)

1. Faktor yang mempengaruhi Eritropoietin


Karena fungsi eritrosit adalah pembawa oksigen, maka factor penentu eritropoietin terbesar
adalah keadaan hipoksia (kurangnya oksigen dalam tubuh). Sistem pendekteksi oksigen
primer dalam tubuh terletak pada fibroblast peritubular pada ginjal yang dapat
memproduksi EPO. Normalnya, EPO yang diproduksi cukup untuk menggantukan 1% dari
eritrosit yang mati setiap hari, atau pada kondisi seperti hemoragik, destruksi eritrosit
meningkat atau factor lain yang menurunkan kadar oksigen. Berikut merupakan
karakteristik EPO: (McKenzie. 2009)

Karakteristik Eritropoietin
Komposisi Glikoprotein polipeptida (165 asam amino, 34 kDa)
Stimulus untuk Hipoksia seluler
sintesis
Asal Ginjal 80-90%, hati <15%
Kadar normal Pada plasma 2-25 IU/L

Fungsi Menstimulasi BFU-E & CFU-E untuk membelah dan matang


Meningkatkan sintesis mRNA dan protein (hemoglobin)
Menurunkan waktu pematangan eritoblas
Meningkatkan laju keluarnya nucleus (ekstrusi)
Menstimulasikan pelepasan retikulosit secara prematur
Menghambat apoptosis dari sel progenitor eritrosit

Respon terhadap EPO meningkat, kecuali adanya penyakit ginjal


anemia

Ketika terjadi hipoksia, jaringan akan mengeluarkan Hypoxia-inducible factors (HIF-2


dan ) yang meningkatan produksi EPO. EPO akan mengaktivasikan factor transkripsi
GATA-1 dan FOG-1 pada sel progenitor, sehingga meningkatkan ekspersi gen spesifik-
eritroid dan meningkatan ekspersi dari gen anti-apoptosis. Selain HIF, keadaan hipoksia
juga mengeluarkan VEGF (Vascular Endothelial Growth Fctor) dan menurunkan
transferrin.

15
EPO adalah satu-satunya sitokin yang
berperan penting dalam pematangan sel.
Namun, ada beberapa hormone yang
juga berpengaruh seperti androgen yang
menstimulasikan sekresi EPO sehingga
memberi perbedaan tingkat eritropoietik
berdasarkan umur & gender. Beberapa
hormone lain seperti tiroid, adrenal dan
growth hormone

Sumber: Kasper. 2015

2. Memahami dan menjelaskan Hemoglobin (Hb)


2.1 Memahami dan menjelaskan definisi Hemoglobin
Hemoglobin adalah pigmen merah pembawa oksigen pada eritrosit, dibentuk oleh
eritrosit yang berkembang dalam sumsum tulang. Merupakan hemoprotein yang mengandung
empat gugus hem dan globin serta mempunyai kemampuan oksigenasi reversible. Satu molekul
hemoglobin mengandung empat rantai polipeptida globin, terbentuk dari antara 141 dan 146
asam amino; paling sering ditemukan adalah rantai dan , dengan rantai dan terlihat lebih
jarang.
(Dorland, 2014))

2.2 Biosintesis dan fungsi (peran zat besi terhadap Hb)


Fungsi utama sel darah merah adalah mengangkut O2 ke jaringan dan mengembalikan
karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru. Untuk mencapai pertukaran gas ini, sel darah merah
mengandung protein special yaitu hemoglobin.

16
Tiap sel darah merah mengandung sekitar 640 juta molekil hemoglobin. Tiap molekul
hemoglobin A (Hb A) dewasa normal (hemoglobin dominan dalam darah setetlah usia 3-6 bulan)
terdiri dari empat rantai polipeptida, 22 masing masing dengan gugus heme-nya. Berat molekul
HbA adalah 68000. Darah orang dewasa normal juga mengandung sejumlah kecil dua macam
hemoglobin lain: HbF dan HbA2. HbF dan HbA2 juga mengandung rantai tetapi berturut-turut
bersama rantai dan , sebagai ganti rantai . Perubahan utama dari hemoglobin janin ke dewasa
terjadi pada 3-6 bulan setelah lahir. (Hoffbrand, 2013)

Sintesis
Sintesis heme terutama terjadi di mitokondria
melalui suatu rangkaian reaksi biokimiawi yang
dimulai dari kondensasi glisin dan suksinil koenzim
A dalam pengaruh kerja enzim kunci asam -
aminolevulinat (ALA) sintase yang membatasi laju
reaksi. Piridoksal fosfat (Vit B6) adalah koenzim
untuk reaksi ini, yang dirangsang oleh eritropoietin.
Pada akhirnya protoporfirin bergabung dengan besi
dalam bentuk Ferro untuk membentuk heme. Setiap
molekul heme bergabung dengan satu rantai globin
yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang
terdiri dari empat rantai globin masing-masing
dengan gugus heme nya dalam suatu kantong
kemudian dibentuk untuk menjadikan satu molekul
hemoglobin.

Fungsi
Hemoglobin pada eritrosit vertebrata berperan penting dalam:
1. Pengangkutan oksigen dari organ respirasi ke jaringan perifer
2. Pengangkutan karbon dioksida dan berbagai proton dari jaringan perifer ke organ respirasi
untuk selanjutnya diekskresikan ke luar
3. Menentukan kapasitas penyangga darah.
(Harper, 2014)

Peranan zat besi dalam Hb


Dalam Hemoglobin, Besi terdapat pada gugus heme, sebuah cincin porfirin yang berfungsi
sebagai kelompok prostetik (komponen non-asam amino) dari protein. Heme mengandung sebuah
protoporfirin IX (cincin tetrapirol datar) dan sebuah senyawa besi Ferro (Fe2+) pada tengahnya.
Senyawa besi ferro mengandung 6 pasangan elektron per atom. Pada heme, 6 ikatan itu terdiri
dari:
4 berikatan pada atom N setiap 4 cincin pirole pada protoporfirin;
1 berikatan pada atom N pada Histidin proksimal (F8) pada rantai globin;
17
1 adalah tempat terikatnya oksigen pada hemoglobin.
Pada kondisi terdioksigenisasi, 1 tempat pengikatan oksigen diganti dengan molekul air.
Untuk masuk ke dalam heme, sebuah besi harus menjadi senyawa ferro (Fe2+) untuk terjadinya
pengikatan oksigen, sedangkan besi dalam bentuk ferri (Fe3+) yang biasanya terjadi pada besi pada
transferrin tidak bisa mengikat oksigen karena berkurang 1 tempat ikatan.
Sintesis heme terjadi pada mitokondria dengan kondensasi dari glisin dan suksinil koA
untuk membentuk asam 5-aminolevulinat dengan bantuan kofaktor suksinil koA sintase dan enzim
5-aminolevulinat sintase (ALAS). Reaksi ini terjadi apabila sel mendapatkan pasokan besi yang
adekuat. Sintesis heme berlanjut dengan beberapa tingkatan yang terjadi di sitoplasma sampai
khirnya terbentuk koproporpiriogen yang kemudian memasuki mitokondria kembali dan
mengikuti proses selanjutnya untuk membentuk cincin protoporfirin IX. Pada tah akhir, cincin
protoporfirin akan ditempel dengan besi dengan bantuan ferrokelatase sehingga membentuk heme.
Heme kemudian meninggalkan mitokondria untuk bergabung dengan rantai globin pada
sitoplasma.

Sumber: McKenzie. 2010

2.3 Memahami dan menjelaskan Kurva disosiasi Oksigen


Hemoglobin yang terikat dengan oksigen disebut oksihemoglobin dan tanpa oksigen disebut
deoksihemoglobin. Keduanya mempunyai struktur yang berbeda, dimana jembatan garam
intersubunitnya pecah (Relaxed structure), sedangkan pada deoksihemoglobin jembatan garamnya
kuat (Tense structure). Hal ini disebabkan oleh ada atau tidak adanya struktur kuartenener globin
yang terikat dengan oksigen.
Jumlah oksigen yang diangkut dan dilepaskan ke jaringan oleh hemoglobin tidak hanya
berpengaruh pada PO2 &PCO2, namun juga afinitas Hb terhadap O2. Kemampuan Hb dalam

18
melepaskan oksigen disebut afinitas oksigwn. Afinitas oksigen ditentukan dari proporsi oksigen
yang dilepaskan ke jaringan pada sebuah PO2 (Tekanan oksigen) tertentu.
Meningkatnya afinitas oksigen menyebabkan Hb mudah mengikat oksigen dan sukar
melepaskannya R (relaxed) structure
Menurunnya afinitas oksigen menyebabkan Hb dengan mudah melepaskan oksigen dan
sukar mengikatnya. T (tense) structure
Afinitas oksigen dalam hemoglobin biasanya dinyatakan dalam PO2 saat 50% hemoglobin
tersaturisasi (mengikat) dengan oksigen (P50). Dalam table, afinitas oksigen tersebut berbentuk
kurva sigmoid (S) yang disebut sebagai kurva disosiasi oksigen (KDO). Bentuk dari kurva tersebut
menggambarkan interaksi antar 4 subunit hemoglobin. Kurva sigmoid menggambarkan bahwa
makin banyak molekul O2 yang mengikat kepada Hb, makin banyak molekul O2 yang ingin terikat
pada Hb.
Bentuk kurva sigmoid menggambarkan beberapa kelebihan fisiologik:
Bentuk datar pada atas dari S memperlihatkan bahwa saturisasi O2 >90% tetap terjadi pada
rentang PO2 yang lebar. Hal ini membuktikan bahwa kita dapat bertahan hidup dan
berfungsi pada tempat dengan pasokan oksigen rendah (seperti pada daratan tnggi).
Bagian S yang curam terjadi pada PO2 dalam jaringan, yang menungkinkan pelepasan O2
dalam jumlah yang banyak pada jaringan atau kapiler. Hal tersebut memungkinkan transfer
oksigen dari paru-paru ke dalam jaringan dengan perubahan PO2 yang tidak tinggi.
KDO dapat bergeser ke kiri/ke
kanan sehingga:
Jika bergeser ke kanan
akan menyebabkan P50
meningkat afinitas
oksigen berkurang
makin banyak oksigen
yang diplepaskan ke
jaringan
Jika bergeser ke kiri akan
menyebabkan P50
menurun afinitas
oksigen meningkat
menurunnya pelepasan
oksigen ke jaringan.

KDO. Sumber: McKenzie. 2010

19
3. Memahami dan menjelaskan Anemia
3.1 Definisi
Anemia :
Penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin dalam darah dibawah normal value.
Satuan per mm3 atau volume packed red cell per 100 mL darah. Terjadi karena
terganggunya keseimbangan antara kehilangan darah (pendarahan atau destruksi sel
darah merah) dengan produksi darah merah dalam tubuh.
(Dorland, 2012)

3.2 Klasifikasi

Sumber: McKenzie. 2009

Klasifikasi anemia menurut etiologi :


A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
Anemia defisiensi besi

20
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin B12

2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi


Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik

3. Kerusakan sumsum tulang


Anemia aplastic
Anemia mieloplastic
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : Anemia pada gagal ginjal kronik.

B. Anemia akibat Hemoragia.


1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia Hemolitik
1. Anemia Hemolitik Intrakorpuskular
Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : akibat defisiensi G6PDiii.
Gangguan Hemoglobin (Hemoglobinopati)
Thalasemia
Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll.

2. Anemia Hemolitik Ekstrakorpuskular


Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik mikroangiopatik,dll

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks.

Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi dan Etiologi


1. Anemia hipokromik mikrositer
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah
yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem
(besi),
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik

21
2. Anemia normokromik normositer
Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah atau destruksi darah yang
berlebih sehingga menyebabkan Sumsum tulang harus bekerja lebih keras lagi dalam
eritropoiesis. Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran
darah tepi. Pada kelas ini, ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta
mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia.
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastic
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic

3. Anemia makrositer
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normaltetapi
normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh
gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNAseperti yang ditemukan pada
defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab
terjadi gangguan pada metabolisme sel.
a. Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi besi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
5.Anemia berdasarkan derajatnya:
1. Ringan sekali : Hb 10 g/dL
2. Ringan : Hb 8-9,9 g/dL
3. Sedang : Hb 6-7,9 g/dL
4. Berat : Hb <6 g/dL
(Buku Ajar IPD 2014)

3.3 Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
(produksi eritrosit menurun), kehilangan eritrosit dari tubuh (perdarahan), proses peningkatan
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). (Bakta, 2015)

Terdapat berbagai macam penyebab anemia, antara lain:


I. Pendarahan hebat yang mendadak (akut) karena kecelakaan, pembedahan, persalinan, atau
pecah pembuluh darah
22
II. Pendarahan kronik (menahun) karena pendarahan hidung, wasir (hemoroid), maag (ulkus
peptikum), kanker atau polip di saluran pencernaan, tumor ginjal atau kandung kemih
III. Pendarahan menstruasi yang sangat banyak
IV. Berkurangnya pembentukan sel darah merah karena kekurangan zat besi, kekurangan
vitamin B12, kekurangan asam folat, kekurangan vitamin C
V. Penyakit kronik yang mengakibatkan meningkatnya penghancuran sel darah merah,
pembesaran limpa, kerusakan mekanik pada sel darah merah
VI. Kekurangan G6PD (suatu enzim yang berperan dalam proses pembentukan dan
perombakan sel darah merah dan pencegahan hemolisis pada eritrosit). Kelainan
enzim G6PD menyebabkan proses pembentukan dan perombakan sel darah merah menjadi
tidak normal dan mudah pecah (hemolitik).
VII. Penyakit darah, seperti penyakit sel sabit (sel darah merah berbentuk bulan sabut seperti
huruf C) dan thalassemia.

3.4 Manifestasi klinis


Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome. Gejala umum
anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pad asemua jenis anemia pada kadar
hemoglobim yang sudah menurun sedemikian rupa dibawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena
anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-
gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagi berikut:
System kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina
pectoris dan gagal jantung
System saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan
otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas
System urogenital: gangguan haid dan libido menurun
Epitel: warna pucat pad akulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus
(Bakta, 2015)

3.5 Pemeriksaan laboratorium


penyaring
Tes penyaring dikerjakan pada tahap awal pad
asetiap kasus anemia. Dengan pemeriksaan ini
maka dapat dipastukan adanya anemia dan
bentuk morfologi anemia tersebut.
Pemeriksaan ini meliputi:
1. Kadar hemoglobin
2. Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC).
Dengan perkembangan electronic counting
di bidang hematologi maka hasil Hb, WBC
(darah putih), dan PLT (trombosit) serta
indeks eritrosit dapat diketahui sekaligus.
Dengan pemeriksaan yang baru ini maka

23
diketahui RDW (red cell distribution width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah
merah.
3. Apusan darah tepi
(Bakta, 2015)

4. Memahami dan menjelaskan Anemia defisiensi besi


4.1 Definisi
Anemia Defisiensi Besi :
Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena
cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang.
(Buku Ajar IPD 2014)
4.2 Etiologi

Kehilangan darah kronik melalui :


I. Saluran Cerna
4.2.1 Ulkus Peptikum
4.2.2 Varises Esophagus
4.2.3 Obat NSAID yang berkepanjangan
4.2.4 Cacing Tambang
II. Rahim
Defisiensi Asupan Makanan / Tidak Teratur
-Makanan tidak banyak mengandung zat besi
-Kurang Vitamin C sebagai pembantu penyerapan zat besi
-Menjadi seorang vegetarian tanpa mengetahui batas kemampuan tubuh
Vegetarian memiliki resiko lebih tinggi anemia defisiensi besi, dikarenakan Sayur-
sayuran merupakan Besi non-Heme, sedangkan Daging merupakan Besi Heme
Besi Heme lebih mudah diserap tubuh Prevalensi Anemia defisiensi Besi lebih rendah
Kehilangan Darah Akut
Merupakan penyebab penting terjadinya ADB. Kehilangan darah akan
mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan
kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/ hari (1,5-2 mg besi) dapat
mengakibatkan keseimbangan negative besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus
peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat anti
inflamasi non steroid) dan infestasi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necaor
americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari
pembuluh darah submukosa usus.

24
Hemosiderinuria, Hemoglobinuria, dan Hemosiderosis
Hemoglobinuria dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8
mg/hari.
Kurangnya asupan besi saat masa-masa krusial :
Remaja
Ibu Laktasi
Bayi (dimulai usia 6 bulan disarankan untuk menambahkan makanan mengandung zat
besi + ASI)
Hamil
Menstruasi
Sedang terapi Eritropoietin (biasa pada pasien gagal ginjal)
Malabsorpsi zat besi oleh tubuh. Penyerapan utama besi di Mukosa Duodenum
dan Proximal Jejunum. Penyebab Malabsorbsi :
-Gastritis Autoimmune
-Enteropathy
-Gastrektomi
(Jans Frederik, 2014)
(James LH, 2014)
(Buku Ajar IPD, 2014)
(Hoffbrand and Moss, 2013)

4.3 Patogenesis dan patofisiologi


Patogenesis
Perdarahan menahun Cadangan besi (Ferritin) menurun kondisi Iron Depleted State,
ditandai oleh :
Penurunan kadar Ferritin serum
Absrobsi Besi dalam usus meningkat
Perls Stain pada sumsum tulang negatif

Kekurangan besi terus berlanjut cadangan besi kosong pembentukan sel darah merah
(eritropoiesis terganggu) :
o Saat RBC mati (umur 120 hari), ferrum yang bebas akan terlepas dan di fagosit oleh
makrofag (ferrum dianggap sebagai antigen oleh makrofag karena bersifat radikal bebas
apabila tidak berikatan dengan protein) dipindahkan ke dalam transferin plasma
(protein pengantar serum besi ke dalam sel darah merah yang sedang berkembang, lebih

25
tepatnya menuju mitokondria) bersama dengan protein protoporfirin membentuk
Heme.
Menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tanpa gejala anemia klinis kondisi Iron
Deficient Erythropoiesis, ditandai oleh :
Kadar Free Protophyrin meningkat
Saturasi Transferin menurun
Total Iron Binding Capacity meningkat

Jumlah besi turun terus Kadar Hb Menurun kadar MCV dan MCH menurun Anemia
Mikrositik Hipokrom dengan gejala Anemia Defisiensi Besi (Cadangan Besi Kosong)
(Buku Ajar IPD, 2014)
Patofisiologi

Tahap pertama
Disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih
normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
Tahap kedua
Dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total
iron binding capacity (TBIC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
Tahap ketiga
Disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah
tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan
epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
4.4 Epidemiologi
ADB merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di
masyarakat. Sangat sering dijumpai di negara berkembang. Belum ada data yang pasti mengenai
prevalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo dkk memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan
25-84% pada perempuan yang tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan
prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan karena defisiensi besi. Sedangkan penduduk
suatu desa di Bali didapatkan angka prevalensi ADB sebesar 27%.

4.5 Manifestasi klinis


Pada umumnya anemia defisiensi besi biasanya ringan dan tidak disertai gejala (asimtomatik).
Manifestasi penyakit yang tidak spesifik misalnya rasa lemah, lesu dan pucat mungkin terjadi pada
kasus-kasus yang berat. Pada anemia yang berlangsung lama, abnormalitas pada kuku jari dapat

26
terjadi seperti, kuku yang menjadi tipis1, mendatar dan melengkung seperti sendok (spooning).
Komplikasi yang aneh tetapi khas adalah pica yaitu keinginan untuk mengonsumsi bukan bahan
makanan seperti kotoran dan tanah liat. (Robbins, 2015)

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa pucat, badan lemah, lesu, cepat lelah,
mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena
penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia
tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar
hemoglobinnya terjadi lebih cepat.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi
Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical
dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem, dan
lain lain
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly: kumpulan gejala yang terdiri
dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.

3. Gejala penyakit dasar


Dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut.
Misalnya, pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dyspepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning, seperti jerami.
(IPD, 2014)

Stomatitis angularis

27
4.6 Diagnosis dan diagnosis banding
a) Anamnesis
a. Telinga terasa dengung
b. Lemah
c. Kaki Kram Saat naik tangga
d. Attention Deficit Disorder
e. Tidak tahan dingin

b) Pemeriksaan Fisik
a. Pertumbuhan tidak sempurna pada bayi
b. Glossitis
c. Koilonychia
d. Splenomegaly
e. Stomatitis Angular
f. Konjungtiva pallor dan mukosa pucat
g. Pica (Mau makan yang aneh-aneh)
h. Dysphagia

TAHAP PERTAMA
DIAGNOSIS Anemia
Defisiensi Besi

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan
Fisik

c) Pemeriksaan Penunjang
1. Complete Blood Count
a. Hemoglobin menurun (<12 gr/dL) TAHAP KEDUA
b. Trombosit meningkat (>450.000/mL) DIAGNOSIS Anemia
Defisiensi Besi
c. WBC normal ( 4.0 10 x109/L )
d. MCV menurun ( <80 fl ) 3. Pemeriksaan
Penunjang
e. MCH menurun ( <27 pg/cell ) Laboratorium

28
2. Test Serum Ferrum
a. Ferrum menurun
b. Ferritin <20 mg/mL dan Hemosiderin menurun (cadangan besi di jaringan
tubuh)
i. Setiap 1 mikrogram/L ferritin mengandung 8 mg ferrum
ii. Level ferritin meningkat saat terjadi inflamasi dibarengi
peningkatan C-Reactive Protein
c. Total Iron Binding Capacity (test lab mengukur kadar zat besi dalam
darah dengan cara mengukur kemampuan trasferin mengikat zat besi)
meningkat hingga >350 mg/dL
3. Pemeriksaan C-Reactive Protein
CRP yang meningkat mencerminkan adanya inflamasi dalam tubuh. Berdasarkan
gambar dibawah ini, Anemia Defisiensi Besi dapat berkombinasi dengan inflamasi
lainnya :

4. Pemeriksaan Perls Stain


Dengan sediaan sumsum tulang negatif, artinya tidak ada warna biru dalam
makrofag (memeriksa adanya hemosiderin di sumsum tulang)
5. Test Urin :
a. Hemoglobinuria
b. Hemosiderinuria
6. Pemeriksaan Sediaan Hapus Darah Tepi
a. Eritrosit Mikrositik Hipochromic
b. Thrombocyte Meningkat
c. Menemukan sel target, sel pensil

29
7. Pemeriksaan Feses :
a. Periksa adanya darah di feses (dengan uji kimia, kehilangan darah hingga
>20ml.
8. Mengetahui Etiologi Anemia dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang guna mencegah terjadinya ADB pada pasien di kemudian hari.

(James LH, 2014)


(Buku Ajar IPD, 2014)
(Hoffbrand and Moss, 2013)
(Matthew, W. and Jason, Ed. 2013)

30
Nilai batas ambang (cut off point) anemia di Indonesia menurut Departemen Kesehatan sebagai
berikut :
Bayi baru lahir (aterm) : 16,5 + 3,0 g/dL
Bayi 3 bulan : 11,5 + 2,0 g/dL
Anak usia 1 tahun : 12,0 + 1,5 g/dL
Anak usia 10-12 tahun : 13,0 + 1,5 g/dL
Wanita tidak hamil : 14,0 + 2,5 g/dL
Pria dewasa : 15,5 + 2,5 g/dL
Anak prasekolah : 11 g/dL
Anak sekolah : 12 g/dL
Wanita hamil : 11 g/dL
Ibu menyusui (3 bln post partus) : 12 g/dL
Wanita dewasa : 12 g/dL
Pria dewasa : 13 g/dL

Nilai normal Hb pada berbagai umur dan jenis kelamin (WHO).


(Menkes RI 736 a/menkes/XI/1989)

Diagnosis banding anemia defisiensi besi


Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti:
1. Anemia akibat penyakit kronik
2. Thalassemia
3. Anemia sideroblastik

ANEMIA ANEMIA
TEST THALASEMIA ANEMIA
NORMAL DEFISIENSI PENYAKIT
LABORATORIUM Hb PATI SIDEROBLASTIK
BESI KRONIK
MCV/MCH
SEDIAAN HAPUS
MIKROSITIK HIPOKROM
DARAH TEPI
BESI SERUM KURANG KURANG N/ N/
KADAR FERITIN N/
ELEKTROFORESIS
NORMAL NORMAL ABNORMAL
Hb
SUMSUM RING
TULANG SIDEROBLAST

31
Anemia akibat Trait Anemia
Anemia penyakit kronik Thalasemia sideroblastik
defisiensi besi
Derajat Ringan berat Ringan Ringan Ringan berat
anemia
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <30 Menurun <50 Normal/ Normal/
TIBC Meningkat Menurun <300 Normal/ Normal/
>360
Saturasi Menurun Menurun/N 10 Meningkat Meningkat
Transferin <15% 20% >20% >20%
Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat Positif dg ring
tulang sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit

Feritin serum Menurun <20 Normal 20 200 Meningkat Meningkat


g/l g/l >50 g/l >50 g/l
Elektrofoesis N N Hb. A2 N
Hb meningkat

4.7 Tatalaksana dan pencegahan


Tata Laksana
Setelah diagnosis telah dilaksanakan, buat perencanaan terapi :
1) Terapi Kausal
Terapi terhadap penyebab anemia defisiensi besi agar terhindar dari kejadian yang sama di
waktu berikutnya
2) Terapi penggantian zat besi untuk tubuh
a. Terapi besi Oral
Terapi pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman. Menggunakan ferrous Sulfate
(3x200 mg/hari) dengan kandungan element besi 66 mg.
Diberikan saat perut kosong, apabila ada efek samping (ex : mual) diperbolehkan diminum
dibarengi dengan makan (absorpsi berkurang)
Pengobatan diberikan selama 3-6 bulan. Disarankan ditambah minum vitamin C dan
makan daging lebih banyak.

32
Matthew, W. and Jason, Ed. (2013)

b. Terapi besi parenteral


Pemberian hanya berdasarkan indikasi tertentu :
1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2. Gangguan pencernaan karena besi oral
3. Penyerapan besi terganggu karena gastrektomi
4. Kebutuhan zat besi yang besar dalam waktu cepat
5. Pasien sedang terapi eritropoietin pada anemia gagal ginjal kronik
Administrasi parenteral adalah
1. Intravena pelan
2. Intramuscular dalam
Obat pilihan :
33
1. Iron Ferric Gluconate
2. Iron Sucrose (20 mg Fe/mL)
3. Ferric Carboxymaltose / Injectafer (15 mg/kgbb max 750 mg dalam 2x
seminggu)
Tujuan terapi parenteral adalah mengembalikan kadar Hb sebesar 500-1000 mg.
c. Transfusi Darah
Indikasi Pemberian :
o Penyakit jantung anemik gagal jantung (emergency)
o Anemia yang sangat symptomatik
o Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat (ex: kehamilan trimester
akhir, sebelum operasi)
Jenis darah yang ditransfusikan adalah Packed Red Cell
Transfusi direkomendasikan pada wanita hamil dengan kadar Hb <6 g/dL untuk mencegah
terjadinya Abnormal Fetal Oxygenatio
o Detak jantung fetal tidak pasti
o Volume cairan amnion rendah
o Vasodilatasi cerebral janin
o Kematian janin
Jumlah yang diberikan adalah 2 packed red blood cell, kemudian terus follow up pasien
dengan pemeriksaan Hb-nya. [Matthew and Jason]
d. Pengobatan lain
Diet : makanan yang kaya akan protein hewani
Vitamin C : meningkatkan absorbsi besi, dosis 3x100 mg/hari
(IPD, 2014)
obat yang menurunkan absorbsi besi obat yang dipengaruhi absorbsi besi

antasid yang mengandung Al,Mg,Kalsium. levodopa.


tetrasiklin dan dosisiklin. metildopa.
Hidrogen antagonis. fluoroquinon.

penghambat pompa proton. penisilamin.


kolestiramin. tetrasiklin dan doksisiklin.
mikofenat.

34
Matthew, W. and
Jason, Ed. (2013)

(Matthew, W. and Jason, Ed. 2013)


(James LH, 2014)
(Buku Ajar IPD, 2014)

PENCEGAHAN
1. Pendidikan kesehatan:
a. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja,
misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang
b. Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi besi
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang paling sering
dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan
pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
3. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan, seperti
ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita
memakai pil besi dan folat.

35
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di
Negara barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
(IPD, 2014)

4.8 Komplikasi
Gangguan jantung yang pada awalnya hanya berdebar, lama-lama jantung bisa
membesar. Jantung yang membesar lama-lama terganggu fungsinya, sehingga
terjadilah gagal jantung
Gangguan kehamilan, kemungkinan tinggi terjadi lahir prematur & berat lahir
rendah.
Gangguan pertumbuhan & mudah kena infeksi, bila terjadi pada anak.
Cepat lelah, pucat, lemas, nafas cepat, sakit kepala, pusing atau pening.
Telapak kaki tangan dingin, sering sariawan, detak jantung cepat dan dada
berdebar.

4.9 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dialkukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi
klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai
berikut:
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarah yang tidak tampak berlangsung menetap
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin
B12, asam folat)
Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antacid yang berlebihan pada ulkus
peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)
(IDAI, 2012)

36
DAFTAR PUSTAKA

Anthony , Lm. (2012). Junqueira's Basic Histology. 12th ed. Jakarta: EGC. 198-210.
Hoffbrand, AV. and Moss, PAH. (2013). Anemia Hipokrom. In: Ferdy, S. Kapita Selekta
Hematologi. 6th ed. Jakarta: EGC. 29-45.
James LH. (2014). Iron Deficiency Anemia. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview#a2. Last accessed 21st Oct 2015.
Jans Frederik, D. et al. (2014). Diagnosis and treatment of unexplained anemia with iron deficiency
without overt bleeding. Danish Medical Journal. 4 (64), p1-13.
Keohane, EM; Smith, LJ & Walenga, JM. (2015). Rodaks Hematology: Clinical Principles And
Applications. 5th Edition. St. Louis: Elsevier Saunders
Matthew, W. and Jason, Ed. (2013). Iron Deficiency Anemia : Evaluation and Management.
American Family Physician. 87 (2), p98-104.
McKenzie, SB & Williams, JL. (2009). Clinical Laboratory Hematology. 2nd Edition. Harlow:
Pearson
Rodak, BF & Carr, JH. (2013). Clinical Hematology Atlas. 4th Edition. St. Louis: Elsevier
Saunders
Siti, S., et al. (2014). Anemia. In: Idrus, A., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:
Interna Publishing. 2571-2589.

37

Anda mungkin juga menyukai